• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI LIMIT MUHAMMAD SYAHRÛR: KONSEP BARU METODE ISTINBAT HUKUM KONTEMPORER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEORI LIMIT MUHAMMAD SYAHRÛR: KONSEP BARU METODE ISTINBAT HUKUM KONTEMPORER"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI LIMIT MUHAMMAD SYAHRÛR: KONSEP

BARU METODE ISTINBAT HUKUM KONTEMPORER

Fikria Najitama STAINU Kebumen

Email: fikria_elhamidi@yahoo.com Abstrak

Kebutuhan akan adanya metode yang tepat untuk merumuskan hukum agar mampu merespon problematika kontemporer telah mendorong lahirnya banyak gagasan baru. Sejumlah pemikir telah menawarkan beberapa konsep/metode istinbath yang baru, di antaranya Mahmud Muhamad Taha dan An-naim dengan konsep Nasakh-Mansukhnya, Hasan Hanafi dengan konsep turas tajdidnya dan masih banyak lagi pemikir lain yang melakukan hal serupa. Dari sekian banyak konsep yang ditawarkan, salah satu di antaranya yang menarik untuk dicermati adalah gagasan istinbath hukum model Syahrur. Syahrur adalah seorang pemikir fenomenal dalam dunia Islam kontemporer, yang menawarkan segenap gagasan pemikiran dekonstruktif sekaligus rekonstruktif yang unik. Keunikan ini tidak lepas dari background Syahrur yang merupakan seorang ahli ilmu alam khususnya matematika dan fisika. Tulisan ini berusaha untuk mengetengahkan metode yang ditawarkan Syahrur dan menganalisis format aplikasinya. Selain dari itu, tulisan ini juga akan mencoba mengkritisinya dengan membandingkan sejumlah perspektif dari para pemikir yang tidak setuju dengan metode gagasannya.

Kata kunci: Muhammad Shahrur, Teori Limit, Metode

(2)

Abstract

The need for appropriate methods to formulate the law so as to be able to respond the contemporary problems has spawned many new ideas. A number of thinkers have offered new concepts and methods of istinbath- the process of deriving certain rules or meanings from a text- such as Mahmud Muhammad Taha and an-Naim- with their concept of nasakh mansukh –abrogation of law-, Hasan Hanafi with his concept of Turas tajdid and many other thinkers offering similar ideas. Among many concepts, one of which is interesting to observe is the Sharur’s idea of istinbath model. Shahrur is a phenomenal thinker in the contemporary Islamic world, who offers a unique idea of deconstructive and reconstructive thought. This uniqueness can not be separated from his background as an expert in the natural sciences, especially in mathematics and physics. This article tries to present the method offered by Shahrur, analyze its application, as well as criticize it by comparing it with a number of perspectives from other thinkers who disagree with his ideas.

Keywords: Muhammad Shahrur, the limit theory, contemporary

methods of istinbath

Pendahuluan

Pemikiran Syahrûr mengenai Poligami yang mencoba menarik jaring relasi antara pengertian teks dan realitas patut dicermati dan dipertimbangkan. Di sini Syahrûr ingin menampilkan bahwa poligami merupakan sebuah solusi permasalahan sosial. Poligami dianggap sebagai sarana untuk memberi perlindungan bagi armalah (janda-janda yang mempunyai anak yatim). Akan tetapi, terkait dengan konsep penafsiran Syahrûr tentang pakaian perempuan nampak sangat riskan. Relativitas aurat memang terlihat realistis, namun pengkategorian aurat berat, yakni daerah

al-juyûb an sich cukup berbahaya. Hal ini juga mengindikasikan

kebolehan untuk daerah-daerah selainnya. Padahal beberapa daerah lain mempunyai posisi yang riskan bila ditampakkan.

(3)

(Bandung: Mizan, 2001), h. 273.

Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1

diakui bahwa Syahrûr merupakan pemikir Islam kontemporer yang memiliki komitmen dan wawasan keislaman yang luas. Syahrûr telah membuka cakrawala baru bagi diskursus pemikiran keislaman. Tawaran metodologinya layak untuk direspon, terlepas dari kelemahan-kelemahannya –yang bagaimanapun-- sangat manusiawi. Meminjam ungkapan Danial L. Pals, “Menjelaskan sesuatu dan melihatnya dari dimensi baru, meskipun keliru adalah lebih baik dan lebih penting dari upaya mengemukakan sesuatu yang semua orang dengan mudah dapat mengklaim sebagai hal biasa”.1

Pembahasan

A. Seting Historis Syahrûr dan Karir Intelektualnya

Muhammad Syahrûr dilahirkan di Damaskus (ibukota Syiria), pada 11 April 1938. Karier intelektual Syahrûr dimulai dari pendidikan di Madrasah ‘Abd al-Rahman al-Kawâkibî dan tamat pada tahun 1957. Kemudian ia berangkat ke Moskow, Uni Soviet (sekarang Rusia), untuk mempelajari teknik sipil, hingga berhasil meraih gelar diploma pada tahun 1961. Ia kemudian kembali ke negara asalnya dan pada tahun 1965 ia mengabdikan diri pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus.2

Dalam waktu yang tidak lama Universitas Damaskus mengutusnya ke Universitas Irlandia tepatnya Ireland National

University guna melanjutkan studinya menempuh program

Magister dan Doktoral dalam bidang yang sama dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Pondasi. Di tahun 1969 Syahrûr meraih gelar Master dan tiga tahun kemudian, 1972, ia menyelesaikan program Doktoralnya. Pada tahun ini juga ia diangkat secara resmi menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi hingga sekarang.

1 Danial L. Pals, Seven Theory of Religion, (New York: Oxford University

Press, 1996), h. 269.

2 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ’ah Mu’ashirah

(Damaskus: Al-Ahaly, 1990), h. 823. (nubzah ‘an al-muallif). Lihat juga, Aunul „Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,

(4)

Pemikiran Syahrûr sangat dipengaruhi oleh ide Marxis. Perkenalan dan kekaguman Syahrûr terhadap ide-ide Marxis muncul saat ia melanjutkan studinya di Moskow –sekalipun tidak mengklaim sebagai penganut Marxis- namun konsep Marxis sangat mempengaruhi tulisannya.3 Di samping itu, perjumpaannya

dengan Ja‟far Dakk al-Bab4 memiliki peran penting dalam

perkembangan intelektualnya. Dari Ja‟far Dakk al-Bab, Syahrûr banyak belajar tentang bahasa yang mengantarkannya melakukan penelitian terhadap berbagai kosa kata penting dalam al-Qur`ân. Karya Syahrûr antara lain: al-Kitâb wa al-Qur`ân; Qirâ’ah Mu’ashirah. Setelah kesuksesan buku al-Kitâb wa al-Qur`ân, Syahrûr kemudian menulis buku antara lain: Dirâsat Islâmiyyah Mu’ashirah fî al-Daulah

wa al-Mujtama’. Al-Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyâm, Masyru’ al-‘Amal al-Islâmî dan Nahwâ Ushûl Jadîdah lî al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah.

B. Metodologi Syahrûr

Ada dua metode inti yang digunakan oleh Syahrûr dalam melakukan istinbat hukum. Metode yang dimaksud adalah:

Pertama, analisis linguistik dan semantik. Kedua, penerapan ilmu

eksakta modern yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk teori limit (hudûd).

Berkaitan dengan metode pertama, ada tiga asumsi dasar yang digunakan Syahrûr dalam penafsirannya5, yaitu: Pertama,

Syahrûr menerapkan prinsip al-Jurjânî tentang anti sinonimitas (gayr taraduf) dalam ekspresi puitik terhadap teks al-Qur`ân. Syahrûr menyakini bahwa tak satu kata pun yang dapat diganti dengan kata lain tanpa merubah makna atau mengurangi

3 Charles Kurzman (ed), Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang

Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum, Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 210.

4 Lihat, Amin Abdullah, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul

Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer” dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab

Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Press,

2002), h. 132.

5 Andreas Christmann, “Bentuk Teks (Wahyu) adalah Tetap, tetapi

Kandungannya (selalu) Berubah”: Tekstualitas al-qur`an dan Penafsirannya dalam buku al-Kitab wa al-qur`an karya Muhammad Shahrour” (pengantar) dalam Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003), h. 29.

(5)

Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1

kekuataan ungkapan dari bentuk linguistik ayat. Dengan asumsi ini, dia berusaha menemukan perbedaan nuansa makna antara istilah-istilah yang selama ini dianggap sinonim, seperti inzâl/

tanzîl, furqân/qur`ân dan lain-lain.

Kedua, Syahrûr menolak pendapat tentang atomisasi (ta’diyah), bahkan ia menafsirkan masing-masing ayat al-Qur`ân berdasarkan asumsi bahwa masing-masing ayat dimiliki oleh sebuah unit tunggal dalam sebuah kesatuan unit yang lebih besar dalam al-Kitab. Metode ini dinamakan metode intratekstualitas, dalam arti menggabungkan atau mengkomparasikan seluruh ayat yang memiliki topik pembahasan yang sama.6 Berdasarkan asumsi

ragam tematik ini, Syahrûr mendefinisikan ayat-ayat berdasarkan status metafisiknya, baik yang bersifat kekal, abadi, absolut dan memiliki kebenaran yang bersifat temporal, relatif dan memiliki kondisi subyektif.

Ketiga, Syahrûr menetapkan prinsip lain milik al- Jurjânî dalam hal analisis puisi, yaitu apa yang disebut dengan komposisi (an-nazm). Menurut al-Jurjânî, tidak ada unsur sekecil apapun dan yang tampak tidak penting sekalipun yang boleh diabaikan dalam komposisi puitis, karena mengabaikannya akan menyebabkan kesalahan fatal untuk memahami dan mengerti struktur maknanya atau tingkatan maknanya yang hadir dalam komposisinya.

Sedangkan berkaitan dengan metode kedua, Syahrûr mengadopsinya dari ilmu eksakta –terutama matematika dan fisika-7 yang merupakan spesialisasi keilmuannya, yang kemudian

diaplikasikan dalam bentuk teori limit (theory of limits). Teori ini berawal dari adanya konsep istiqâmah dan hanîfiyyah dalam al-

Kitâb. Hanîfiyyah merupakan penyimpangan dari jalan yang lurus,

sedangkan istiqâmah merupakan lawan dari hanîfiyyah yang berarti mengikuti jalan yang lurus. Syahrûr menyimpulkan bahwa kedua sifat ini merupakan bagian integral dari risalah yang mempunyai

6 Sahiron Syamsuddin, “Metode Intratekstual Muhammad Syahrûr

dalam Penafsiran al-qur`an” dalam A Mustaqim dan Syahiron Syamsuddin (ed.),

Studi al-qur`an Kontemporer, Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2002), h. 137

7 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories; An Introduction to

(6)

ISTINBATH MEI 2014

hubungan simbiotik. Hanîfiyyah adalah sifat alam yang terdapat juga ada pada manusia.8 Jika hanîfiyyah terdapat pada sifat alam,

Teori batas inilah yang dijadikan jawaban atas konsep istiqâmah- nya. Teori ini diperoleh diperoleh melalui penelaahan terhadap sifat dasar di atas dengan mendasarkan pada analisis matematika Isaac Newton.9

Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrûr menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori limit:

1. Range (Daerah hasil) dari persamaan fungsi Y= F(x) berbentuk garis lurus yang menghadap ke bawah (kurva tetutup) yang hanya memiliki satu titik balik maksimum yang berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Posisi demikian disebut batas maksimal (hadd al-

a’lâ). Adapun gambar persamaan fungsi tersebut adalah:

Y

Titik balik maksimum Y = F(x)

0 X

Posisi ini terjadi pada tindak pidana pencuriaan (al-Maidah: 38) dan pembunuhan (al-Isra‟: 33, al-Baqarah: 178, an-Nisa‟: 92).10

2. Range yang berbentuk kurva terbuka yang mempunyai satu titik balik minimum yang terletak berhimpit dengan garis

8 Hukum fisika mengatakan bahwa tidak ada benda yang gerakannya

dalam garis lurus terus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Muhammad Syahrûr, al-Kitab., h. 447-449. Lihat juga, Wael B. Hallaq, A History of Islamic, h. 137

9 Secara teoretis, Syahrûr mendasarkan teori Limitnya pada analisis

yang dikembangkan oleh seorang ahli fisika Isaac Newton, khususnya berkaitan dengan persamaan fungsi. Bentuk persamaannya adalah Y = F(x) jika mempunyai satu variable atau Y = F(x,z) jika mempunyai dua variable atau lebih. Lihat, Muhammad Syahrûr, al-Kitab, h. 450

(7)

Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1

lurus sejajar dengan sumbu x disebut posisi batas minimal (hadd al-adnâ). Adapum gambar dari fungsi ini adalah: Y

Titik balik maksimum Y = F(x)

0 X

Posisi ini terjadi pada beberapa hal seperti, macam-macam perempuan yang haram dinikahi (Qs. an-Nisâ‟ [5]: 22-23), berbagai jenis makanan yang di haramkan (Qs. al-Mâ`idah [4]: 3, Qs. al-An‟âm [6]: 145-156), hutang piutang (Qs. al- Baqarah [2]: 283-284) dan tentang pakaian perempuan (Qs. an-Nisâ‟ [5]: 31).11

3. Range berupa kurva gelombang (gabungan antara kurva

terbuka dan tertutup) yang memiliki titik balik maksimum dan titik balik minimum. Keduanya terletak berhimpit pada garis lurus sejajar dengan sumbu x. Kurva ini memiliki titik pangkal dan titik final yang masing-masing bernilai nol, juga mempunyai titik singgung diantara dua titik tersebut yang bernilai nol.

Y Titik balik maksimum

Y = F(x)

Titik balik minimal

0 X

Ketentuan hukum yang ditempati oleh posisi ini adalah mengenai hukum waris (Qs. an-Nisâ‟ [5]: 11-14, 176) dan 11 Ibid., h. 453-455

(8)

poligami (Qs. an-Nisa‟ [5]: 3).12

4. Range yang dihasilkan berupa garis lurus sejajar dengan

sumbu x. Karena itu tidak mempunyai titik balik maksimal maupun titik balik minimal. Posisi ini disebut posisi lurus tanpa alternatif lain.

Y

Y = F(x)

0 X

Menurut Syahrûr, bentuk keempat ini hanya berlaku pada hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (Qs. an-Nur [24]: 2). Kemudian dengan berdasarkan ayat 3-10 dari surat yang sama (an-Nur), hukuman itu hanya dapat dijatuhkan dengan syarat adanya empat orang saksi atau melalui

li’an.13

5. Range yang berupa kurva terbuka dengan titik final yang cenderung mendekati sumbu x,y dan bertemu di daerah tak terhingga yang berhimpit dengan sumbu x. Posisi ini disebut dengan posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa ada persentuhan sama sekali kecuali di daerah tak terhingga. Y Y = F(x) 0 X 12 Ibid., h. 457-462 13 Ibid., h. 463.

(9)

Ketentuanposisiiniadalahkeduabatasmaksimaldanminimal tidak boleh disentuh, karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan Allah. Hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang dimulai dari tidak sampai menyentuh sama sekali keduanya (batas minimal) hingga hubungan yang mendekati zina.14

6. Range yang berupa gelombang dengan titik balik maksimal yang berada di daerah positif, terletak berhimpit dengan garis lurus sejajar dengan sumbu x dan titik balik maksimal berada di daerah negatif berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Disebut posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif.

Y

Batas maksimal positif Y = F(x)

0 X

Batas minimal negatif

Posisi ini berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif (+) berupa riba sedangkan zakat sebagai batas bawahnya yang bernilai negatif (-).15

C. Konstruksi Logis Pemikiran Syahrûr

1. Konsep Poligami

Poligami merupakan salah satu masalah yang terus memancing perdebatan di kalangan masyarakat. Menurut

14 Ibid., h. 464. 15 Ibid., h. 464

(10)

Syahrûr, ketika berbicara masalah poligami haruslah merujuk pada surat an-Nisa [4]: 1-3 dan 6.16 Hal ini merupakan

konsekwensi dari konsep Syahrûr yang menolak adanya tafsir atomistik. Dalam analisisnya, Syahrûr menangkap bahwa ayat- ayat tersebut lebih terkait dengan persoalan anak yatim. Jadi dalam hal ini, persoalan poligami mempunyai hubungan sebab akibat dengan persoalan anak-anak yatim.17

Dengan pendekatan linguistiknya, Syahrûr menganalisis surat an-Nisa [4]: 3, yang merupakan inti dari kajian poligami. Di sini dia menemukan dua kata penting, yaitu tuqsithû dan

ta’dilû. Menurut Syahrûr, dengan merujuk pada Lisân al-Arab, tuqsithû berasal dari kata qasatha. Kata tersebut mempunyai

dua pengertian yang kontradiktif. Makna pertama adalah al-

’adlu sebagaimana firman Allah dalam Qs. al-Mâ‟idah [5]: 42,

Qs. al-Hujurât [49]: 9, dan al-Mumtahanah [60]: 8. Adapun makna yang kedua adalah adz-dzul dan al-jur sebagaimana firman Allah dalam Qs. aj-Jin [72]: 14. Adapun kata penting yang kedua adalah ta’dilû yang berasal dari kata ‘a-da-la. Kata tersebut juga mempunyai dua makna yang kontradiktif. Makna pertama berarti al-istiwâ’ (lurus), sedangkan makna kedua adalah al-a’waj (bengkok).18

Menurut Syahrûr, sesungguhnya Allah tidak hanya memperbolehkan poligami, akan tetapi sangat menganjurkannya. Namun ada dua syarat yang harus terpenuhi: Pertama, bahwa isteri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Dari penjelasan ini, maka perintah poligami dapat menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat tersebut.

16 Muhammad Syahrûr, Nahwâ Ushûl jadîdah lî al-Fiqh al-IslâmÎ, (Damaskus:

al-Ahaly, 2000), h. 301-302

17 Dengan merujuk pada bahasa Arab dan at-tanzîl al-hâkim, Syahrûr

menjelaskan bahwa kata yatim bermakna anak yang yang belum mencapai usia baligh yang telah kehilangan ayahnya, sementara ibunya masih hidup. Pengertian ini merujuk pada Qs. an-Nisa [4]: 6 dan surat al-Kahf [18]: 82. Ibid., h. 302

(11)

poligami

[Skema Range Poligami]

batas atas jumlah dan ketentuan

4 [empat isteri, dengan ketentuan

isteri kedua, ketiga, keempat merupakan armalah atau janda yang memiliki anak yatim] batas bawah jumlah dan

1 ketentuan

[satu isteri, baik perawan atau janda]

zaman

2. Pakaian Perempuan

Perempuan diwajibkan untuk menutup bagian-bagian tubuhnya yang apabila ditampakkan akan menyebabkan adanya gangguan (al-ada). Perintah ini berasal dari Qs. al- Ahzâb [33]: 59. Lebih lanjut Syahrûr menjelaskan bahwa gangguan terdiri dari dua macam, yaitu yang bersifat alami (at-tabi’î) dan sosial (al-ijtimâ’i).19

Berkaitan dengan jilbab, Syahrûr menjelaskan bahwa terma jilbab berasal dari kata ja-la-ba yang dalam bahasa Arab memiliki dua arti dasar, yaitu, pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Kedua, sesuatu yang meliputi dan menutupi sesuatu yang lain. Adapun kata al-jalabah berarti sobekan kain yang digunakan untuk menutupi luka sebelum bertambah parah dan bernanah.20

Dari pengertian ini muncul kata al-jilbab. Adapun aurat menurut Syahrûr berasal dari kata ‘aurah yang artinya adalah segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka seseorang

19 Muhammad Syahrûr, Nahwâ . h. 373.

(12)

akan merasa malu.21 Rasa malu mempunyai tingkatan yang

bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti adat kebiasaan setempat. Jadi, batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi yang berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-juyûb) bersifat tetap dan mutlak.

Terma al-juyûb didapatinya dari Qs. an-Nur [24]: 31. Ayat tersebut menunjukkan perintah Allah kepada perempuan untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyûb. Dengan analisis linguistiknya, Syahrûr menjelaskan bahwa al-juyûb berasal dari kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan jabtu al-qamisha, artinya aku melubangi bagian saku baju atau aku membuat saku pada baju. Al-Juyûb adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan satu tingkatan karena pada dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari kata ja-wa-ba yang memiliki arti dasar ”lubang yang terletak pada sesuatu” dan juga berarti pengembalian perkataan ”soal dan jawab”. Istilah al-Juyûb pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah lubang yang secara rinci berupa: bagian antara dua payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat.22 Semua bagian inilah yang dikategorikan sebagai

al-juyûb dan wajib ditutupi oleh perempuan. Bila dikaitkan

dengan teori limit yang dirumuskannya, ia menyatakan bahwa batas minimal pakaian perempuan yang berlaku secara umum adalah menutup daerah inti bagian atas, yaitu daerah payudara dan bawah ketiak, dan juga menutup daerah inti daerah bawah.23 Konsekwensinya, perempuan yang

menampakkan bagian al-juyûb berarti dia telah melanggar

hudûd Allah. Begitu juga perempuan yang menutup seluruh

tubuhnya tanpa terkecuali, maka dia juga melanggar hudûd Allah.

21 Muhammad Syahrûr, Nahwa, h. 370

22 Ibid., h. 363 23 Ibid., h. 378

(13)

Skema Range Pakaian Perempuan Pakaian perempuan

batas atas [seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan]

batas bawah [daerah al-

juyûb] zaman

Simpulan

Dari pemaparan di atas, maka dapat diketahui, bahwa tawaran metodologi Syahrûr merupakan tawaran yang baru dan cukup menarik. Kolaborasi antara pendekatan linguistik dan aplikasi teori hudûd hasil rumusannya, cukup layak untuk diapresiasi secara positif. Kendati demikian, tawaran Syahrûr tersebut masih perlu dipertimbangkan. Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan: Pertama, penggunaan analisis semantik

an sich dalam penafsiran membuat hukum menjadi terasa

“kering” dan memunculkan berbagai kejanggalan. Sebagai misal model penafsirannya terhadap Qs. al-Baqarah [2]: 223 bila dihubungkan dengan al-Baqarah [2]: 222.24 Kedua, Syahrûr tidak

mengakomodir hadis sebagai bagian dari proses istinbâthnya, hal ini menimbulkan konstruk hukum tawarannya menjadi terlihat ahistoris.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer” dalam

(14)

Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul

Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002. Christmann,

Andreas, “Bentuk Teks (Wahyu) adalah Tetap, tetapi Kandungannya (selalu) Berubah”: Tekstualitas al-Qur`ân dan Penafsirannya dalam buku al-Kitâb wa al-Qur`ân karya Muhammad Shahrour” (pengantar) dalam Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, Yogyakarta: elSAQ Press, 2003.

Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories; An Introduction

to Sunni Usul al-Fiqh, Cambridge: Cambridge University

Press, 1997.

Hanafi, Hasan, Turas dan Tajdis, Sikap Kita Terhadap Turas Klasik, terj. Yudian W. Aswin, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001. Kurzman, Charles (ed), Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer

tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi,

Jakarta: Paramadina, 2001.

an-Na‟im, Abdullahi Ahmed, Dekontruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Yogyakarta: LKiS, 2001. Pals, Danial L. Seven Theory of Religion, New York: Oxford University

Press, 1996.

Shah, Aunul „Abied, (ed.), Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran

Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001.

Syahrûr, Muhammad, Al-Kitab wa al-Qur`ân: Qira’ah Mu’asirah, Damaskus: Al-Ahaly, 1990.

, Nahwa Usul jadidah li al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Al-Ahaly, 2000.

Syamsuddin, Sahiron, “Metode Intratekstual Muhammad Syahrûr dalam Penafsiran al-Qur`ân” dalam A Mustaqim dan Syahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur`ân Kontemporer,

Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2002.

, book review “al-Kitab wa al-Qur`ân” dalam

Jurnal al-Jami’ah. No. 62/XII/1998.

Thaha, Mahmud Muhammad, Arus Balik Syari’ah, terj. Khoiron Nahdiyyin, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Hiperemesis grav- idarum lebih banyak terjadi pada wanita yang baru pertamakali hamil dan pada wanita dengan paritas tinggi seperti ibu yang sudah mengalami kehamilan

Selanjutnya pelaksanaan pengadaan atau perekrutan pegawai tidak tetap (PTT) berdasarkan SK Kepala Sekolah kegiatan yang dilakukan meliputi a) analisis jabatan

Oleh karena itu untuk meningkatkan kemampuan smash secara maksima l dibutuhkan metode latihan yang tepat karena hal yang mendasari untuk melakukan pukulan smash

usaha kecil.. zakat, infak dan shadaqah kepada masyarakat; kedua yaitu menerima dan menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat atau pihak ketiga dengan untuk

Namun dengan berbagai keterbatasan daya dukung lahan dan teknologi di tingkat petani maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja petani didalam berusahatani

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang manajemen keuangan dan teori pasar modal mengenai pengaruh persepsi investor terhadap

IT) (Tahap Operasional dan Pemeliharaan). d) Kesalahan estimasi pendapatan terhadap model proyeksi revenue (Tahap Pra FS/FS). e) Kenaikan biaya energi akibat konstruksi tidak

Kemajuan komputer generasi ketiga lainnya adalah penggunaan sistem operasi (operating system) yang memungkinkan mesin untuk menjalankan berbagai program yang berbeda secara