• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN INTELEKTUAL MUHAMMAD SYAHRUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMBAHASAN BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN INTELEKTUAL MUHAMMAD SYAHRUR"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

32 BAB III PEMBAHASAN

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN INTELEKTUAL MUHAMMAD SYAHRUR

A. Biografi Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur memiliki nama asli Muhammad Syahrur Ibn Dayb dan lahir pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Syiria. Ayahnya bernama Deys bin Deyb Syahrur dan ibunya Siddikah binti Salih Filyun, mereka merupakan keluarga bahagia. Istrinya yaitu Azizah, mereka mempunyai lima anak dan dua cucu. Ketiga anaknya telah menikah, yaitu Tariq dan istrinya Rihab, kemudian Lays dan istrinya Olga, serta Rima dan suaminya Luis. Dua anak lainnya belum berkeluarga yaitu Basil dan Mas‟un, serta dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan.1

Damaskus merupakan tempat pertama Muhammad Syahrur mendapatkan pendidikan yang di mulai dari jenjang sekolah Ibtidayah, I‟dadiyah dan

Tsanawiyah. Pada 1957 Syahrur berhasil menamatkan pendidikan dasar dan

menengahnya di lembaga pendidikan „Abd Al-Rahman Al-Kawakibi, Damaskus. Pada bulan Maret 1958 Syahrur mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan di Moskow, Uni Soviet dengan konsetrasi pada studi teknik sipil (handasah madaniyah). Gelar Diploma dalam teknik sipil didapatkan Syahrur pada 1964. Tahun berikutnya Syahrur bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Pihak universitas kemudian mengirimkan Syahrur ke Irlandia yakni Ireland National University untuk melanjutkan studi Magister dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi. Syahrur kemudian mendapatkan gelar Master Of Science pada 1969 dan gelar Doktoral pada 1972.2 Syahrur diangkat menjadi dosen di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus di bidang Mekanika Tanah dan Dasar Bumi sejak tahun 1972 sampai sekarang.3

1

Kurdi dkk, Hermenutika al-Qur‟an dan Hadis, (eLSAQ Press: Yogyakarta, Cet. I, 2010) hlm. 386

2

M. Aenul Abied Shah et al, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, Cet.I, 2001), hlm. 237

3

(2)

33

Syahrur pernah didelegasikan menjadi peneliti teknik sipil pada sebuah perusahaan konsulat di Saudi Arabia pada tahun 1982-1983.4 Pada tahun 1995 ia pernah diundang menjadipeserta kehormatan dalamrapat publik mengenai pemikiran-pemikiran Islam Libanon dan Maroko.5

Pada dasarnya basis pendidikan Syahrur adalah teknik dan ilmu eksak, namun ia juga tertarik mengkaji al-Qur‟an secara otodidak dan mendalam serta menggunakan ilmu filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori eksak. Syahrur juga menulis buku dan artikel tentang pemikiran keislaman untuk merespon isu-isu kontemmporer.6

B. Kondisi Sosial dan Politik Syiria

Syria merupakan tempat kelahiran dan berkiprahnya karir Muhammad Syahrur. Mayoritas penduduk Syiria beragama Islam Sunni yang hampir mencapai 70 persen dan minoritas berasal dari Syi‟ah Alawiyah, Suwaydah, dan Isma‟iliyah. Syiria menjadi negara yang merdeka pada tahun 1944 dan sebelum merdeka sejak tahun 1517-1918 menjadi bagian dari pemerintahan Usmaniyah. Syiria merupakan negara yang pernah diinvasi oleh Perancis dan pernah menjadi bagian dari pemerintahan Ustmaniah gerakan modernisasi Turkiy. Fakta sejarah tersebut jelas berimbas pada Syiria dan memunculkan tokoh-tokoh yang berusaha mengadakan reformasi keagamaan di Syiria, seperti al—Din al-Qasimi (1866-1914) dan Tahir al-Jaza‟iri (1852-1920).7

Pemerintahan Utsmaniyah melakukan pembaharuan yang dikenal dengan

The Tanzimat untuk menghadapi masyarakat Eropa. The Tanzimat ini

mencangkup kedalam berbagai aspek seperti militer, administrasi, hukum, dan pendidikan yang menekankan pada pengetahuan modern dan keahlian teknik. Hal ini kemudian berimbas juga di Syiria. Salah satu tokoh yang berusaha melakukan reformasi keagaaman yakni al-Din al-Qasimi yang menawarkan bagaimana umat Islam dapat memadukan rasionalitas (reason), kemajuan (progress) dan

4

Ibid, Muhammad Syahrur, al-Islam wa al-Iman: Manzhumah al-Qiyam, (Islam dan Iman;

Aturan-Aturan Pokok: Rekonstruksi Epistemologis Rukun Islam dan Rukun Iman, trj. M.Zaid Su‟di), hlm. 5

5

Op.Cit, Kurdi dkk, Hermenutika al-Qur‟an dan Hadis, hlm. 387

6

Abdul Mustaqim, “Teori Hudud Muhammad Syahrur”, AL-QUDUS: Jurnal Studi

al-Qur‟an dan Hadis, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 4

7

Muhammad In‟am Esha, Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, (UIN-Malang Press: Malang, Cet.I, 2008), hlm. 78

(3)

34

modernitas (modernity) dalam bingkai agama. Al-Qasimi mengkritik kecenderungan ulama Damaskus yang memperlakukan al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagai suatu pembahasan yang bersifat ritualistik saja tanpa melakukan penggalian ulang untuk mendapatkan makna yang sebernanya. Menurut al-Qasimi kemunduran Islam disebabkan karena adanya kecenderungan „taqlid‟ dalam memahami sendi-sendi agama. Kemunduran ini dapat teratasi dengan cara kembali kepada sumber utama yakni al-Qur‟an dan al-Sunnah serta menekankan pentingnya ijtihad. Ide reformasi al-Qasimi adalah khas pemikiran reformer awal karena mendapat pengaruh dari gurunya yaitu Muhammad Abduh.8

Gagasan reformasi al-Qasimi kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya seperti Tahir al-Jaz‟iri, Shukri al-Asali, Abdul Wahab al-Inklizi dan Salim al-Jaza‟iri. Kecenderungan gerakan mereka lebih pada peningkatan aspek pendidikan. Fenomena tersebut membuktikan bahwa Muslim di Syiria sudah mengenal adanya tradisi pembaharuan dan aktif terlibat di dalamnya. Pemikiran Syahrur dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari tradisi pemikiran pembaharuan dari pendahulunya. Perbedaan tempat dan waktu menyebabkan tantangan yang dihadapi juga berbeda, sehingga menjadi suatu keniscayaan adanya perbedaan corak reformasi yang akan digagas oleh seorang tokoh.9

Pemikiran Islam saat ini sudah memasuki era kontemporer, khususnya intelektual Islam di Arab. Kontemporer memiliki arti kekinian atau kini, era sekarang atau yang berlaku saat ini. Era kontemporer dalam dunia Islam khususnya, ditandai dengan adanya kesadaran atas diri atau kritik diri terhadap tantangan untuk menghadapi modernitas dan tuntutan tradisi (turats). Turats merupakan istilah yang menjadi kata kunci dalam memasuki wacana pemikiran Islam kontemporer. Adapun contoh pemikir-pemikir Islam yang lekat dengan proyek tersebut yakni seperti Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, dan M. Abed al-Jabiriy.10

Hasan Hanafi mengupayakan proyek peradaban (mashru‟ nadlawi) Islam yang disebut dengan proyek tradisi dan pembaharuan (al-Turats wa al-Tajdid). Proyek tersebut terbagi menjadi tiga agenda yang harus dihadapi yakni “sikap

8

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 79

9

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 80

10

(4)

35

kita terhadap tradisi lama”, “sikap kita terhadap Barat”, dan “sikap kita terhadap realitas”. Setiap dari ketiga sikap tersebut dielaborasikan dalam masing-masing tulisan dan buku yang berbeda. Pengantar proyek Hanafi terdapat dalam buku yang berjudul al-Turats wa al-Tajdid dan tiga agenda sikap yang menjadi pokok dari proyek tersebut diberi judul Min Aqidah ila al-Tsawrah; Muqaddimah fi Ilm

al-Istighrab; dan Manahij al-Tafsir: Muhawalah fi Ilm al-Ushul al-Fiqh.11

Muhammad Arkoun dalam melihat turats ia menggunakan metode historisisme yang berdasar pada formulasi para pemikir Barat (post) strukturalis Prancis seperti De Saursure (Linguistik), Levi‟s Strauss (Antropologi), Lacan (Psikologi), Barthes (Semiologi), Foucoult (Epistemologi), dan Derrida (Gramatologi). Menurutnya sebuah turats dibentuk dan dibakukan dalam sejarah sehingga untuk membacanya digunakan kerangka sejarah yang disebut dengan historisisme. Tujuan membaca teks, khususnya teks suci merupakan sebuah upaya untuk mengapresiasi teks tersebut ditengah perubahan yang terus terjadi. Upaya yang dilakukan Arkoun dan para reformer lainnya adalah mengharmonisasikan tradisi dengan modernitas dengan menggunakan metode baru sehingga ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks suci harus tetap relevan dengan segala keadaan.12 Adapun proyek yang digagas oleh al-Jabiri dikenal dengan “proyek kritik Nalar Arab (Masyru‟ Naqd Aql Arabiy)”. Dalam proyek tersebut al-Jabiri menekankan pada pentingnya kajian historis kritis dan keharusan menghadirkan turats yang cocok dengan modernitas. Menurutnya

turats hendaknya dibaca dengan menggunakan kerangka modernitas bukan

sebaliknya yakni mengukur modernitas dalam kerangka turats.13

Berdasarkan gagasan tokoh yang telah dijelaskan tadi pemikiran Islam kontemporer memiliki kecenderungan rekonstruktif dan dekonstruktif. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan sebagai bentuk interaksi intelektual Muslim dengan Barat di era Posmo. Kegelisahan seperti ini juga dirasakan oleh Syahrur yang tertuang ke dalam karya monumentalnya. Syahrur juga berbicara tentang

turats yaitu sesuatu yang menjadi pokok dalam pemikiran Islam kontemporer.

11

Ibid,.

12

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 82

13

(5)

36

Wacana pemikiran Islam kontemporer secara signifikan membawa pengaruh pada pemikiran Syahrur.14

Perhatian utama para pemikir keagaaman adalah masalah kemanusiaan, hak asasi manusia, hubungan agama dengan negara, demokrasi, hubungan sesama muslim dan non muslim, dan epistemologi atau fiqh baru. Arkoun, Hasan Hanafi, Syahrur, al-Jabiri, Abu Zaid, Rahman adalah para pemikir yang berada pada satu barisan, yang membedakan mereka adalah bagaimana cara yang digunakan mereka dalam menanggapi berbagai masalah tersebut. Mereka melihat masalah kemanusiaan yang terjadi ditingkat nasional, dan mereka secara indvidual mencari sumber penyebab permasalahan tersebut, diantaranya adalah disimpulkan bahwa hal itu akibat dari keterkungkungan umat oleh pemikiran masa lalu. Adapun cara yang digunakan oleh Syahrur tidak dengan membongkar kesakralannya, akan tetapi dengan melakukan penafsiran baru atas al-Kitab dengan metode-metode klasik yang telah dipilih kemudian dipoles hingga tampak baru.15

C. Fase-Fase Dan Dasar Pemikiran Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur dalam pemikirannya bertolak belakang dengan landasan metodologis, dalam memahami al-Qur‟an ia menjadikan linguistik sebagai dasar pandangannya (Majwad Lughah), disamping ia ahli eksak (teknik sipil), ia juga ahli filsafat bahasa.16 Syahrur memiliki kemampuan berbahasa yang baik, dia menguasai bahasa Inggris, Rusia, dan dari ibunya sendiri yakni bahasa Arab. Syahrur juga menekuni bidang yang menarik perhatiannya yakni filsafat Humanisme dan pendalaman makna bahasa Arab.17 Pada dasarnya metode Manhaj at-Tarikh al-Ilmi merupakan metode yang diambil dari teori linguistik Ibn Jinni dan al-Jurjani. Perpaduan dari kedua tokoh tersebut menyatu dan mejadi teori yang dikembangkan oleh Abu al-Farisi. Sintesa memberikan ketentuan bahwa bahasa adalah suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk realitas sosial, dan

14

Ibid,.

15

Lukman Zain dkk, Antologi Tokoh: Menelusuri Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam, (Yogyakarta: Pilar Religia, Cet.I, 2010), hlm. 246

16

Op. Cit, Kurdi dkk, Hermenutika al-Qur‟an dan Hadis, hlm. 393

17

(6)

37

struktur bahasa selalu berkaitan dengan fungsi penyampaian, serta adanya korelasi antara bahasa dan pemikiran.18

Syahrur menaruh perhatian dalam bidang pemikiran Islam yang kemudian tertuang dalam buah karyanya yang monumental. Syahrur kemudian masuk dalam jajaran intelektual muslim dalam wacana pemikiran keislaman kontemporer. Syahrur telah melewati perjalanan panjangnya selama sekitar 20 tahun untuk menciptakan karya monumentalnya. Adapun perjalanan pemikiran keislaman Syahrur dapat dibagi kedalam tiga fase.19

Pertama, yakni tahun 1970-1980 yang dimulai saat Syahrur studi di

Dublin Irlandia. Syahrur merasakan tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna ketika mempelajari kajian keislamaan, terutama ketika dia mengkaji tentang

“al-Dikr” baik mencangkup metodologi, istilah pokok, maupun pemahaman tentang

risalah dan kenabian. Syahrur merasa bahwa kajian keislaman telah terkungkung oleh tradisi taqlid yang hanya mengekor pada tradisi pemikiran terdahulu. Demikian halnya dengan kajian tentang pemikiran kalam dan fiqh. Kajian pemikiran kalam terjebak pada tradu pemikiran As‟ariyah dan Mu‟tazila, sedangkan kajian pemikiran fiqh terjebak pada tradisi pemikiran “Fuqoha‟

al-Khamsah”. Hal demikian yang kemudian akan menjadi idelogi yang membunuh

pembahasan yang bersifat ilmiah. Pembahasan yang telah berkembang selama sepuluh tahun inilah yang memunculkan realitas asasiyah, bahwasannya islam tidak hanya seputar yang ada dalam kajian awal yang hanya bersifat taqlidy. Produk pemikiran masa lalu tidak bisa dihadapkan dengan masa sekarang dengan segala problematika yang ada. Syahrur kemudian menegaskan umat Islam perlu untuk membebaskan diri dari tradisi taqlidy dan tidak ilmiah.20

Kedua, tahun 1980-1986 yang dimulai sejak pertemuan Syahrur dengan

Ja‟far Dak al-Bab yaitu teman sejawatnya mengajar di Universitas Damaskus. Ja‟far lulus doktoralnya dalam bidang bahasa tahun 1973 di Universitas Moskow. Ja‟far adalah orang yang memperkenalkan Syahrur dengan pemikiran Abu Ali al-Farisiy dan muridnya Ibn Jinny dan Abd al-Qahar al-Jurjaniy. Melalui tokoh-tokoh tersebut Syahrur memahami berbagai permasalahan bahasa seperti,

18

Op. Cit, Kurdi dkk, Hermenutika al-Qur‟an dan Hadis, hlm. 393

19

Op, Cit, Muhammad In‟am Esha, hlm. 75

20

(7)

38

bahwasannya lafadz itu mengikuti makna, dan bahasa Arab merupakan bahasa yang tidak mengenal sinonimitas (muradif). Hal inilah yang kemudian mendasari Syahrur untuk intens mengkaji dan mendalami mushaf baik yang berkaitan dengan tema pokok seperti al-Kitas, al-Qur‟an, al-Furqon, al-Dzikr, al-Lauh al

Mahfuz. Kajian ini berlangsung hingga tahun 1982. Setalah itu Syahrur bersama

dengan Ja‟far Dak al-Bab kemudian mengkaji pemikiran-pemikiran pokok yang relevan dengan konsep.21

Ketiga, tahun 1986-1990 yang dimulai dengan adanya upaya untuk

mensistematisasikan berbagai pemikirannya bersama denga Ja‟far dalam sebuah buku yang kemudian diterbitkan pada tahun 1990. Sistematisasi sebuah karya bukanlah sesuatu yang mudah karena membutuhkan waktu yang lama untuk memilah-milah bagian per bagian. Syahrur mengatakan bahwa untuk sistematisasi satu bab saja mencangkup 200-an halaman dan baru selesai selama satu tahun yakni 1986-1987. Secara total buku mereka berhasil diterbitkan tahun 1988 dengan jumlah halaman mencapai 800-an.22

D. Karya-Karya Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam kontemporer yang memiliki karya monumental dan kontroversial. Tulisannya banyak tersebar di Damaskus, khususnya tulisan dalam bidang spesialisasinya yakni tentang teknik fondasi bangunan dan mekanika tanah.23 Adapun buku yang menuai banyak pro dan kontra yakni al-Kitab wa al-Qur‟an : Qira‟ah

Mu‟ashirah merupakan karya monumental Syahrur. Karya ini diselesaikan dalam

waktu yang cukup panjang dari tahun 1970-1990. Lebih tepatnya dimulai saat Syahrur masih dalam proses penulisan disertasi Doktoralnya sampai buku tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya di Damaskus. Adapun edisi Kairo diterbitkan oleh Sina Publisher dan Al-Ahali, penerbit avant garde gerakan pencerahan di Mesir. Secara keseluruhan, buku Bacaan Kontmporer (Qira‟ah

Mu‟ashirah) dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, merupakan bagian

terpenting yakni pemikiran-pemikiran dasar yang terdiri dari kaidah-kaidah metodologis yang menjadi landasan rentetan pemikirannya dalam interpretasi

21

Ibid,.

22

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 77

23

(8)

39

teks Qur‟ani. Kedua, merupakan hasil pemikiran dari metodologi dasar tersebut.24

Karya lain Syahrur yakni berjudul “Islam wa Iman: Manzhumah

al-Qiyam” yang diterbitkan tahun 1996 oleh al-Ahali Publishing Hose, Damaskus.

Dalam buku ini Syahrur mencoba mengkaji dasar agama Islam yakni konsep-konsep rukun Islam dan rukun iman klasik. Setelah mengkaji cukup lama terhadap ayat-ayat al-Qur‟anyagberkaitan dengan kedua tema tersebut, Syahrur menemukan pemahaman yang berbeda dengan ulama terdahulu. Buku ini juga berbicara mengenai kebebasan manusia, perbudakan dan tentang ritual ibadah yang terangkum dalam konsep al-Ibad wa al-„Abid, tentang hubungan anak dan orang tua serta tentang sejarah monoteisme dalamal-Qur‟an.25

Kemudian tahun 2000, Syahrur kembali menerbitkan buku dengan judul

“Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islamy: Fiqh al-Mar‟ah”. Buku lainnya

yakni berjudul: Dirasah Islamiyyah Ma‟asirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama‟

(1994); Masyru‟ Misaq al-„Amal Islami; as-Sunnah al-Rasuliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah (2012). Muhammad Syahrur selain menuliskan buah karyanya ke

dalam bentuk buku, syahrur juga aktif menuliskan gagasannya dalam bentuk artikel yang termuat dibeberapa majalah dan jurnal, seperti “Islam and the 1995 Beijing World Conferenceon Women” dalam Kuwaiti Newspaper,kemudian diterbitkan dalam buku yang berjudul Liberal Islam: a Sourcebook (1998); “The Devine Text and Pluralism in Muslim Politic Report”, “Mitsaq „Amal

al-Islamy” (1999) yang dalam edisi Bahasa Inggris berjudul “Proposal For an

Islamic Covenent” (2000).26

E. Tipologi/ Posisi Pemikiran Muhammad Syahrur

Posisi pemikiran Syahrur dalam wacana pemikiran Islam tidak terlepas dari konstelasi pemikiran Arab Islam kontemporer secara umum terutama dalam kaitannya dengan masalah modernisasi. Menurut Muhammad Syahrur, Hasan Hanafi dan Muhammad „Imarah. Pemikiran Islam Arab Kontemporer dapat dipetakan menjadi tiga, yakni:27

24

Op, Cit, M. Aenul Abied Shah et al, hlm. 238

25

Op.Cit, Kurdi dkk, hlm. 391

26

Op.Cit, Muhammad In‟am Esha, hlm. 107

27

(9)

40

1. Aliran konservatif atau aliran tradisional-konservatif atau literalis-skripturalis. Adapun ciri yang menonjol dalam aliran ini adalah berpegang ketat secara literal terhadap warisan pemikiran masa lalu (turats) dalam rangka menjaga keutuhan karakter dan identitas nasional mereka. Aliran ini mengajak untuk kembali pada perilaku ulama salaf, yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi pertama yakni para sahabat, tabi‟in,dan atba‟ut

tabi‟in. Menurut mereka apa yang baik dimasa Nabi Muhammad yakni

abad VII M juga baik untuk siapapun mereka yang berimanan di zaman kapanpun.28

Ciri lain yang menonjol dari aliran tradisionalis-konservatif adalah bahwa setiap argumentasi harus jelas diambil dari al-Qur‟an dan hadits serta penggunaan rasio harus sesuai dengan al-Qur‟an dan teks hadits yang sahih. Dengan kata lain, cara berpikir mereka sangat deduktif dan

bayani. Akal dan rasio berfungsi sebagai pendukung. Oleh karena itu,

Muhammad „Abed al-Jabiri menyatakan bahwa nalar Arab adalah nalar

bayani.29

Aliran ini merupakan perpanjangan dari pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya di era klasik, seperti Daud adz-Dzahiri dan Ahmad Hanbal. Pemikiran mereka ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Taymiah, Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Abul A‟la al-Maududi, Sayyid Qutb, dan para penentang pemikiran Syahrur sekarang, seperti Salim al-Jabi, Yusuf ash-Shaydawi dan lainnya.30

2. Aliran progresif, aliran ini menyerukan sekularisme, modernisme dan menolak semua warisan Islam, termasuk al-Qur‟an sebagai tradisi yang diwarisi yang dinilai sebagai „narkotik‟ bagi pendapat umum. Karakteristik lain dari aliran ini adalah sikapnya yang taklid terhadap Barat. Menurut aliran ini, Barat bisa maju setelah mereka menggantikan kekuasaan agama dengan rasio dan hal itu juga harus diterapkan di dunia Islam jika tidak ingin tertinggal. Kaum Marxis-Komunis dan beberapa kaum Nasionalis Arab adalah para pelopor dari aliran ini. Aliran ini

28

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 111

29

Ibid,.

30

(10)

41

melakukan pemisahan agama dan negara karena menurut mereka tidak ada konsep kenegaraan di dalam Islam, karena Islam adalah konsep masa lampau. Sekularisme adalah alternatif peradaban. Tokoh-tokoh Arab yang menganut aliran ini diantaranya Thaha Husain, Kemal Attaturk, Ali Abdul Raziq, Adonis, dan lainnya.31

3. Aliran reformis-moderat, aliran ini merupakan sintesa dari dua aliran sebelumnya yang saling berdiametral. Aliran pertama cenderung anti kemodernan dan bersikap tekstualis-literalis, sementara aliran kedua cenderung sekuler dan berkiblat pada Barat. Aliran ketiga ini justru mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-Qur‟an dan menerima modernitas sejauh ia membawa kemaslahatan bagi umat. Adapun cara yang ditempuh untuk kembali pada al-Qur‟an adalah dengan pembacaan secara kontekstual dan berorientasi pada masa depan.32

Sebagai pengakuannya, Syahrur berada dalam posisi aliran ketiga yakni reformis-moderat. Menurut Syahrur, kembali kepada al-Qur‟an artinya menjadikan al-Qur‟an sebagai basic-moral-teologis dalam menyelesaikan problem kehidupan umat manusia dengan cara melakukan pembacaan atas Kitab Suci secara kontemporer, yakni pembacaan dilakukan dengan mempertimbangkan konteks kekinian.33

Syahrur mengkritik keras pandangan atau cara berpikir aliran konservatif dan progresif-sekularis. Menurut Syahrur aliran tradisionalis-konservatif yang literalis-fundamentalis telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya: pertama, mereka telah merubah pesan Islam yang universal menjadi pesan yang sempit dan bersifat lokal-temporal. Kedua, mereka telah melakukan sakralisasi terhadap warisan penafsiran masa lalu (turats), padahal itu semua hanya interpretasi manusia belaka. Akibatnya, pesan al-Qur‟an yang orisinal dan universal menjadi tertutup oleh “logosentris” sehingga kebudayaan Islam pun akhirnya menjadi ”membatu”.34

31

Ibid,.

32

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 113

33

Ibid,.

34

(11)

42

Syahrur juga mengkritik cara berpikir aliran progresif-sekularis. Menurutnya, kesalahan pandangan dari aliran ini di antaranya: pertama, mereka menganggap al-Qur‟an sebagai “narkotik” seperti halnya kaum Komunis yang menganggap agama adalah candu masyarakat. Faktanya mereka gagal memenuhi janjinya menyediakan modernitas bagi masyarakat. Kedua, mereka telah melakukan hegemoni dan menghalangi ekspresi publik tentang pluralisme. Menurut Syahrur, langkah yang tepat yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi modernitas adalah kembali kepada al-Qur‟an dengan melakukan pembacaan terhadap kitab suci secara kontekstual. Menurutnya, al-Qur‟an akan senantiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat jika dibaca secara kreatif dan kontekstual.35

Syahrur dalam membaca dan memahami al-Qur‟an menggunakan hermeneutika. Hermeneutika berkaitan dengan aspek metodologi dan teori interpretasi tekstual yang terkait dengan sruktur triadik yakni teks, penafsir dan audiens. Menurut M. Nur Ichwan dalam kajiannya tentang peta hermenutika tradisional al-Qur‟an, yaitu hermenutika tradisional dan kontemporer. Perbedaan ini didadasarkan pada kriteria metodologisnya, khususnya sistematisasi tiga unsur pokok hermeneutika tersebut bukan atas dasar kronologi kesejarahannya.36

Menurutnya, dalam hermeneutika tradisional, struktur triadik ini belum merupakan keterkaitan secara sistematik. Hal ini baru terjadi pada hermeneutika kontemporer. Penafsiran secara riwayat (bi al-riwayah) sebagaimana dikenal dalam ulum al-Qur‟an mengabaikan aspek penafsir dan audiens, karena mengabaikan akal dan perkembangan masyarakat (audiens); sedangkan penafsiran bi al-dirayah klasik, mengabaikan aspek audiens dan terkadang aspek teks karena menekankan pada akal murni. Namun demikian, bukan berarti tidak bisa direkonstruksi dari kedua metode klasik itu. Dari sinilah sebenarnya hermenutika al-qur‟an kontemporer menemukan akar tradisional epistemologinya.37

35

Ibid,.

36

Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme Linguistik : Dalam Tafsir al-Qur‟an

Kontemporer “ala” Muhammad Syahrur, (Yogyakarta : eLSAQ Press, Cet.I, 2007), hlm. 178

37

(12)

43

Berdasarkan hasil kajian M. Nur Ichwan, hermeneutika al-Qur‟an kontemporer dapat dipetakan ke dalam dua aliran utama, yakni aliran objektivitas dan aliran subjektivitas. Dalam aliran objektifitas konteks penafsir dan audiens terserap dalam teks (Qur‟an); sedangkan dalam aliran subjektivitas teks al-Qur‟an terserap dalam konteks di mana ia ditafsirkan. Aliran objektivitas diwakili oleh Fazlur Rahman dengan hermeneutika neo-modernis al-Qur‟annya, sedangkan aliran subjektivitas diantaranya terderivasi kedalam beberapa model hermenutika, misalnya, hermeneutika sosial al-Qur‟an oleh Hasan Hanafi, Herrmenutika al-Qur‟an untuk pembebasan oleh Maulana Farid Essack dan Hermeneutika Feminis al-Qur‟an oleh Amina Wadud Muhsin.38

Berdasarkan pemetaan hermenutika al-Qur‟an tersebut, dapat dipastikan bahwa Muhammad Syahrur termasuk dalam kategori hermeneutika al-Qur‟an kontemporer, dengan fakta bahwa Syahrur telah meletakkan dasar-dasar epistemologi hermenutikanya secara sistematis dan hingga kini terus berusaha menyempurnakannya. Pembacaan kontemporer Syahrur mengaplikasikan pendekatan yang obyektif pada satu sisi dan sekaligus subjektif pada sisi yang lain. Obyek teks yang berbeda, oleh Syahrur didekati dengan metodologi yang berbeda pula. Dalam hal ini, Syahrur memegang aksioma bahwa “obyeklah yang menentukan pilihan terhadap metode bukan sebaliknya”.39

Perlu untuk dipahami bahwa Syahrur membagi tema kitab suci ke dalam tiga bagian besar, yaitu: kategori ayat muhkamat, ayat mutasyabihat, dan ayat la

muhkam wa la mutasyabih. Kategorisasi ini merupakan identifikasi objek kajian

secara detil. Dari aspek ini Syahrur berusaha konsisten dengan prosedur metode ilmiah, yaitu menentukan obyek kajian, batasan wilayahnya, dan karakternya masing-masing. Identifikasi objek kajian secara jelas digunakan untuk menentukan pendekatan dan metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian. Syahrur kemudian menegaskan bahwa untuk memahami ayat

muhkamat, mekanisme yang digunakan adalah ijtihad dengan kerangka teori

batas (nazariyat al-hudud). Aktivitas ini oleh Syahrur disebut dengan tafsir. Sedangkan untuk memahami ayat mutasyabihat khususnya al-Qur‟an, mekanisme metodologi yang digunakan adalah takwil. Kategorisasi ini

38

Ibid,,

39

(13)

44

ditentukan berdasarkan tema yang terkandung dalam masing-masing ayat,

muhkamat untuk tema-tema hukum (al-ahkam) yang beradapada wilayah risalah (message), dan bersifat subjektif, sedangkan mutasyabihat untuk tema-tema

ilmiah (al-ulum) yang beradapada wilayah nubuwwah (propechy) dan bersifat obyektif.40

Berdasarkan posisi pemikiran Syahrur dalam wacana pemikiran Islam tersebut, menurut penulis hal itu mempengaruhi penafsiran Syahrur tentang konsep Ihsan. Konsep Ihsan menurut Syahrur mengandung pesan Islam yang universal bukan merupakan pesan yang sempit seperti yang dijelaskan dalam warisan penafsiran terdahulu (turats). Tidak bisa dipungkiri bahwa Syahrur beraliran reformis-moderat karena tetap mendasarkan pada al-Qur‟an dan Sunnah, namun Syahrur menggunakan analisis kontemporer dalam pembacaannya. Syahrur menggunakan hermeneutika al-Qur‟an kontemporer dan pendekatan subyektif untuk memahami term al-Furqan yang merupakan isi dalam pembahasan konsep Ihsan. Sehingga menurut subjektivitas Syahrur, Ihsan adalah rukun Islam yang ketiga, titik temu agama-agama samawi dan merupakan moral universal yang seharusnya dijadikan acuan bagi kehidupan manusia di dunia. F. Kritik Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur adalah tokoh pembaharu yang sangat kontroversial. Menurut Muhyar Fanami yang dijelaskan dalam buku Perkawinan Poligini Perspektif Muhammad Syahrur, terdapat sekitar 15 buku yang ditulis dengan tujuan menyerang dan mengkritik pemikiran Syahrur, seperti Tahafut al-Qira‟ah

al-Mu‟ashirah dan lain sebagainya. Berbagai tuduhan seperti murtad, kafir dan

sebagianya dilontarkan untuknya sampai pada pelarangan secara resmi peredaran buku-buku Syahrur di Timur Tengah. Terlepas dari pro dan kontra, pemikiran Syahrur yang liberal, kritis dan inovatif mengantarkan Syahrur menjadi tokoh yang patut untuk diperhitungkan di dunia muslim kontemporer.41

Penulis bermaksud menyajikan bentuk kritik terhadap pemikiran Syahrur tersebut dalam skripsi ini. Seperti yang disampaikan oleh Muhammad Zaki dalam

40

Ibid, Ahmad Zaki Mubarak, hlm. 180

41

Warkum Sumitro, Anas Kholish dan In‟amul Mushoffa, Konfigurasi Fiqih Poligini

Kontemporer: Kritik Terhadap Faham Ortodoksi Perkawinan Poligini di Indonesia, (UB Press:

(14)

45

bukunya. Ia menjelaskan bahwa kajian lingustik dalam penafsiran Syahrur terdapat ketidak-konsisten-n dalam penerapan analisis sintagmatis dan paradigmatis pada term-term Qur‟an yang salah satunya adalah term al-Furqan. Syahrur dengan menggunakan berbagai alat analisis bahasa dan argumen yang logis, kemudian sampai pada kesimpulan tentang term al-Furqon adalah “sepuluh wasiat Tuhan” dan sebagai ”al-sirat al-Mustaqim”. Menurut Muhammad Zaki Mubarok kesimpulan tersebut merupakan sebuah tafsiran yang subyektif. Menurutnya secara motodis Syahrur tidak menerapkan kajian sintagmatis. Pemaknaan ayat Furqon lebih pada konteks penjelasan fungsi al-Qur‟an yang diturunkan pada bulan Ramadhan yaitu sebagai petunjuk kepada manusia. Syahrur tidak melakukan eksplorasi semantik-etimologis terhadap kata Furqon, dan Syharur berangkat dari kajian paradigmatis terhadap ayat-ayat al-Kitab yang memuat kata al-Furqan.42

Ahmad Zaki menjelaskan bahwa terdapat kesalahan gramatikal dalam hal ini. Syahrur menganggap bahwa kata al-Furqan ma‟tuf pada kata al-Qur‟an. Menurut Zaki tidak benar bahwa al-Furqan adalah ma‟tuf pada al-Qur‟an, meskipun dapat dibenarkan bahwa a-Furqon identik dengan Qur‟an. Term al-Furqan dalam ayat lain seperti pada QS. al-Anfal [8]: 29 tidak dilibatkan oleh Syahrur. Ayat ini menjelaskan term Furqan dalam bentuk Nakirah. Menurut Ahmad Zaki ayat tersebut tidak membahas tentang konsep al-Furqan yang berarti sepuluh wasiat seperti yang dijelaskan oleh Syahrur. Namun, menurut Zaki hal tersebut juga sesuatu yang beralasan bagi Syahrur, mengapa ia tidak melibatkan ayat tersebut, karena dikhawatirkan akan menimbulkan pertanyaan lain. Hal tersebut menunjukkan subjektivitas dan ketidakonsistenan Syahrur dalam menerapkan kajian pragmatik. Syahrur hanya melibatkan ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan penafsirannya, dan meninggalkan ayat lain, meskipun memiliki keterkaitan dengan tema kajian.43

Kritik terhadap pemikiran Syahrur juga dilontarkan oleh Muhammad In‟am Esha dalam bukunya. Menurutnya pendekatan linguistik strukturalis yang digunakan oleh Syahrur berimplikasi terhadap otonomisasi teks. Berdasarkan prinsip-prinsip penafsiran Syahrur, ia menggunakan pendekatan linguistik

42

Op. Cit. Muhammad In‟am Esha, hlm. 260

43

(15)

46

strukturalisme Ferdinand de Saussure. Adapun prinsip yang pertama, memandang bahwa bahasa sebagai suatu relasi struktural yang unik dan berbeda antara bahasa satu dengan bahasa yang lainnya. Sehingga menurut Syahrur teks Ilahi adalah independen (otonom) sehingga aturan penafsirannya hanya didasarkan pada struktur linguistiknya. Hal tersebut mendasari Syahrur menggunakan analisis syntagmatic relation dan pardigmatic relation dalam memahami al-Qur‟an. Adapun implikasi dari pandangan Syahrur tentang otonomisasi teks merupakan penolakannya pada asbab an-nuzul dalam menafsirkan al-Qur‟an. Asbab an-nuzul jika digunakan hanya sebagai pendukung teori-teori yang cocok dengan pemikirannya saja.44

Kedua, indikator bahwa Syahrur memanfaatkan linguistik strukturalis

adalah bahwa ia menggabungkan dua perpektif yaitu perpektif sinkronik dan perspektif diakronis yang digunakan untuk membaca ayat-ayat al-Qur‟an. Perspektif diakronis adalah upaya mengkaji dan mencermati perkembangan yang terjadi pada bahasa seiring dengan perjalanan waktu. Sedangkan perspektif sinkronis adalah upaya mendeskripsikan makna suatu kata sebagaimana ia dipakai di suatu zaman, tanpa melacak sejarahnya.45

Ketiga, ciri strukturalisme yang nampak dalam penafsiran Syahrur,

biasanya menggunakan prinsip dikotomis yang berposisi biner. Oleh karena itu, hampir dalam setiap analisisnya Syahrur selalu memunculkan konsep-konsep dan kategori yang bersifat dikotomis. Seperti dalam term Kitab ar-Risalah bereposisi biner dengan Kitab Nubuwwah; muhkamat-mutasyabihat; hanifiyyah-istiqomah;

inzal-tanzil; nubuwwah-risalah.46

Analisis dan corak berpikir dikotomis boleh dan sah untuk dilakukan, namun jika corakini digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟an maka hal itu dapat melahirkan sikap truth claim (mengklaim benar sendiri). Cara berpikir demikian akan bersifat hitam-putih, benar-salah, dan cenderung bias. Hal ini dapat dilihat dari cara berpikir Syahrur yang sering menyalahkan hasil penafsiran para ulama

44

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 306

45

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 307

46

(16)

47

terdahulu yang berbeda dengan hasil penafsirannya, tanpa melihat situasi dan perkembangan keilmuan pada saat para ulama tersebut menafsirkan al-Qur‟an.47

Hermeneutika takwil dan pemanfaatan teori-teori ilmu pengetahuan yang digunakan oleh Syahrur untuk membaca ayat-ayat mutasyabihat ternyata juga membawa implikasi pada terjadinya takalluf atau pemaksaan gagasan non-Qur‟ani ke dalam produk penafsirannya.48

Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada dalam metode penafsiran Syahrur, namun pemikiran seorang tokoh dapat menjadi kontribusi bagi pengembangan tafsir di Indonesia tanpa menghilangkan konteks keindonesiaan. Menurut Muhammad In‟am Esha, kontekstualisasi tafsir harus di bangun atas dasar prinsip berikut, pertama, menjaga hal-hal yang substansial dan konstan yang menjadi kesepakatan bersama secara rasional di antara komunitas akademis

mufassir, sehingga akan melahirkan produk tafsir yang lebih

otoritatif-intersubjektif dan tetap mencerminkan pandangan yang pluralistik bukan monolistik. Kedua, untuk menghindari pemaksaan gagasan non-Qur‟ani (seperti yang terjadi pada pemikiran Syahrur), al-Qur‟an tidak boleh diposisikan sebagai justifikasi teori ilmiah, tetapi diposisikan sebagai inspirasi dan motivasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, pengembangan tafsir di era kontemporer tidak harus meninggalkan turats (warisan keilmuan masa lalu) sama sekali, sehingga tidak terjadi diskontinguitas sejarah keilmuan tafsir. Turats haruslah dipandang secara proposional sesuai dengan konteks epistem yang berkembang pada waktu itu.49

Dalam hal ini pemikiran Syahrur telah memberikan kontribusi penting dalam pengembangan metodologi tafsir. Metode penafsiran Syahrur dapat dijadikan pertimbangan untuk meninjau ulang produk-produk penafsiran masa lalu yang dipandangan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.50

47

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 308

48

Ibid, Muhammad In‟am Esha, hlm. 313

49

Ibid,.

50

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh Pesan Iklan terhadap Keputusan Pembelian.Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Isi Pesan

kebanyakan dialog yang bertebaran sepanjang keseluruhan durasi film ini memiliki kekuatan di atas rata-rata & menurut saya ini adalah salah satu film dengan bahasa berat

b) Deskripsi material batuan dalam istilah geologi teknik yang sederhana untuk setiap derajat pelapukan, dan pengukuran struktur serta diskontinuitas sesuai dengan ISRM (1978b).

o Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terda- pat perbedaan yang signifikan pada usia, asupan energi dan kalsium, status gizi (IMT/U), dan persen lemak tubuh antara subjek

Oleh karena itu untuk meningkatkan kemampuan smash secara maksima l dibutuhkan metode latihan yang tepat karena hal yang mendasari untuk melakukan pukulan smash

Berdasarkan perbandingan metode wavelet linier dan wavelet thresholding dengan menggunakan tiga filter yaitu filter Haar, D4, dan C6 diperoleh kesimpulan bahwa

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka diperlukan integrasi beberapa energi alternatif, salah satunya adalah Municipal Solid Waste (MSW) yang diintegrasikan dengan