• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Anak Difteri (Isi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Anak Difteri (Isi"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri.

Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun karier.

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

(2)

BAB II DIFTERI 2.1. Definisi

Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.

2.2. Etiologi

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan

pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada media yang mengandungK-tellurit atau

media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia Corynebacterium diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa.

Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C. diphtheria adalah kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai

Gambar 1. Morfologi Corynebacterium diphtheria

(3)

2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C. diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

Gambar 2. Toxin difteria dan reseptor toxin pada difteria

2.3. Epidemiologi

Difteria tersebar luas diseluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengan angka kematian 3,08%.

Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut ilmu tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit. Angka kesakitan dan kematian tahun 1992-1996 di Rumah Sakit Provinsi Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi.

(4)

Tabel 1 Jumlah Kasus Difteria dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit Propinsi di Indonesia Keterangan : *m = Meninggal RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo, Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung

RSWS = RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ujung Pandang

RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang

Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan/ debu bisa merupakan wahana penularan (vehicles of transmission).

2.4. Patogenesis dan Patofisiologis

Kuman C. diphtheria masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk pelipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptide dari

Tahun RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%

1991 22 50 28 10.7 0 0 70 8.6 32 21.9 1992 25 32 26 7.7 12 0 34 5.9 19 26.3 1993 19 26.3 18 0 7 0 12 0 16 62.5 1994 16 18.8 12 0 10 10 8 0 13 46.2 1995 2 5 6 0 4 0 9 11.1 7 14.3 1996 7 28.6 3 0 1 0 11 0 14 42.9

(5)

kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel degan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.

Pada pseudomembran kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya, Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematus dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakea-bronkus.

(6)

Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak dapat menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

2.5. Manifestasi Klinis

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampa keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheria (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada

sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,90C dan keluhan serta gejala lain

tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.

Gambar 3. Manifestasi klinis dari C. difteria pada manusia

(7)

2.5.1 Difteria Hidung

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibis atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

Tabel 2. Distribusi Kelompok Umur Kasus Difteria

Keterangan : *m = Meninggal

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo, Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung

RSWS = RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ujung Pandang

RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang Data tahun 1991-1996

2.5.2 Difteria Tonsil Faring

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha

melepaskan membran akan

Kelompok Umur (Tahun)

RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%

<1 3 0 6 16.6 0 0 105 0 15 26.7

1-4 66 31.8 48 8.3 19 0 39 6.7 40 26.3

5-9 30 36.7 30 0 10 10 0 0 42 37.5

>10 2 0 9 0 5 0 0 0 4 38.1

Jumlah 101 31.7 93 5.3 34 2.9 144 6.3 101 34.7

Gambar 4. Membran berwarna putih kelabu yang menutup tonsil dan dinding faring pada difteria faringitis

(8)

mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsung-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Gambar 5. (a). Pewarnaan Methylene blue pada Corynebacterium diphtheriae (ukuran : 1–8 μm). (b) Gambaran bentuk Pseudomembrane pada sekitar trakea. (c) Bull-neck terjadi pada pembesaran kelenjar getah bening region cervival

Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.

2.5.4 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga

Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan difteria telinga merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva

(9)

palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan 9sekret p9urulen dan berbau

Tabel 3. Manifestasi Klinis Difteria

Keterangan : *m = Meninggal

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo, Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang Data tahun 1991-1996

2.6 Diagnosis

Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.

Gejala Klinis RSCM RSHS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Demam <2 hari 12 18.2 58 62.4 40 27.8 13 12.9 >2 hari 54 81.8 35 37.6 104 72.3 88 87.1 Obtruksi Laring Derajat I 7 10.6 0 0 13 9.0 17 16.8 Derajat II 4 6 12 12.9 5 3.5 21 20.8 Derajat III 11 16.7 36 36.7 0 0 18 17.8 Derajat IV 10 15.2 8 6.6 59 3.5 23 22.8 Bullneck 39 59 31 33.3 37 25.7 36 35.6 Miokarditis 29 43.9 12 12.9 5 3.5 29 28.7 Gambar 6. Lesi pada Difteria Kulit

(10)

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C.diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).

(a) (b) (c)

Gambar 7. Pembiakan bakteri difteri dengan (a) agar darah; (b) McLoed’s agar plate culture; (c) Cystine tellurite plate culture

2.7 Diagnosis Banding Difteria Hidung

Penyakit yang menyerupai Difteria hidung adalah rhinorrhea(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).

Difteria Faring

Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.

Difteria Laring

Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.

Difteria Kulit

Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus.

(11)

2.8 Penyulit

Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.

Obtruksi jalan nafas

Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.

Dampak toksin

Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin.

Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6.

Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.

Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.

Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke -7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi

(12)

kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.

Infeksi sekunder bakteri

Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder bakteri sudah sangat jarang terjadi.

Tabel 4. Penyulit pada Difteria

Keterangan : *m = Meninggal

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo, Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang Data tahun 1991-1996

2.9 Prognosis

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.

Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena

1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana difteria

2) adanya miokarditis dan gagal jantung

3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

Penyulit RSCM RSHS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Obstruksi

Laring

32 46.9 47 2.1 28 17.9 79 31.6 Miokarditis 29 51.7 28 14.2 5 80 29 31.0

(13)

2.10 Imuninasi

Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 hari. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.

Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas) seorang terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila seorang mempunyai antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif.

Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa seorang telah mempunyai “pengalaman” dengan basil difteria sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas. Kerugian uji kepekaan Moloney, toksoid difteria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertussis dalam bentuk vaksin DTP. Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7 – 25 Lf dalam dosis 0,5 ml. Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis.

(14)

Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif 0.01 IU). Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa penelitian serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Booster pada sangat diperlukan untuk meningkatkan kekebalan, diberikan baik setahun setelah DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun.

Beberapa sediaan vaksin yang berisi toksoid difteria selain DTwP dan DTaP, antara lain :

Vaksin DT, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 5 tahun (pada anak yang telah mendapatkan vaksin DTP sebelumnya) atau imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP. Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal dua kali dengan interval minimal 1 bulan.

Gambar 8. Beberapa jenis vaksin DTP; (a) DTP-HB; (b) Adsorbed Td Vaccine; (c) Adsorbed DT Vaccine

Vaksin Td, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 7 tahun (pada anak yang telah mendapatkan vaksin DTP/DT sebelumnya) atau imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP/DT. Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal dua kali dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri hanya seperempat sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri pada DTP atau DT. Vaksin ini (adult type diphtheria vaccine) digunakan juga untuk booster setiap 10 tahun pada seluruh penduduk.

(15)

Vaksin TdaP, merupakan vaksin Td yang ditambah dengan komponen aP, untuk mengatasi masalah pertusis pada dewasa yang merupakan sumber penularan untuk kelompok bayi dan anak. Digunakan untuk menguatkan kembali kekebalan terhadap tetanus dan sekaligus difteri dan pertusis.

Gambar 9. Jadwal Imunisasi Anak Rekomendasi IDAI, tahun 2011 2.11 Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

 Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.

 Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian

(16)

pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

Tabel 5. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian Difteria hidung 20.000 Intramuskular

Difteria tonsil 40.000 Intramuskular atau intravena Difteria faring 40.000 Intramuskular atau intravena Difteria laring 40.000 Intramuskular atau intravena Kombinasi lokasi di atas 80.000 Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000 – 120.000 Intravena Terlambat pengobatan (>72

jam), lokasi dimana saja

80.000 – 120.000 Intravena

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif jika bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.

Pada mata lain yang diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien berkisar antara 20.000 – 120.000 KI seperti yang tertera pada tabel 5.

Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100mL glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula

(17)

perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala :

o Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)

o Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya secara bertahap.

 Pengobatan penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

 Pengobatan kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikutnya terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorokan serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologis dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

(18)

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Tabel 6. Pengobatan terhadap Kontak Difteria Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar

diberikan booster toksoid difteria

(+) (-)

Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40

mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status

imunisasi 2.12 Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.

Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan soerang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria ringan.

(19)

BAB III KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan segera, oleh karena itu bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi masih terdapat beberapa kasus yang terkena pada anak yang kadang dengan tanda dan gejala yang tidak khas.

Penyebab dari penyakit difteri adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,90C.

Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).

Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan

(20)

pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuskular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuskular untuk anak lebih dari 7 tahun.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Dr. T.H.Rampengan, SpA (k) dan Dr. I.R. Laurentz, SpA. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18

Gambar

Gambar 2. Toxin difteria dan reseptor toxin pada difteria
Tabel  1  Jumlah  Kasus  Difteria  dan  Kematian  di  Beberapa  Rumah  Sakit  Propinsi di Indonesia  Keterangan :   *m   = Meninggal   RSCM  =  RS
Gambar 3.  Patofisiologi Difteria pada tubuh
Gambar 3. Manifestasi klinis dari C.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan masyarakat Indonesia pada saat ini dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan kemungkinan yang bisa terjadi seakan-akan masyarakat Indonesia

Namun demikian, penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Nur (2007) yang juga menemukan adanya pengaruh negatif dan signifikan dari kepemilikan manajerial

1) Keanekaragaman jenis burung diurnal di Hutan Sebadal Taman Nasional Gunung Palung ditemukan 40 jenis yang masuk ke dalam 17 family dan 4 ordo dengan total

Berdasarkan identifikasi hasil pengolahan data menggunakan integrasi SERVQUAL dan Model Kano, pemilihan atribut kebutuhan dengan mempertimbangkan keluhan customer kafe

Berdasarkan penelitian di atas, maka dibuatlah sistem pendukung keputusan yang diharapkan berfungsi untuk membantu pihak JSC (Jakarta Smart City) untuk melakukan

International Business &amp; Marketing Management – Victoria University of Wellington. Marketing Management

An online resource bank and community forum where teachers can access thousands of Cambridge support resources, exchange lesson ideas and materials, and join subject-specific

Dan semoga setelah apa yang kita dapat atau kita ketahui dari pembelajaran ini dapat membantu kita dan menjadikan kita seorang yang dapat berfikir dan bertindak dengan benar