MENGENAL BAHASA KAWI (1)
Oleh : Miswanto, S.Ag.
(Dosen STHD Klaten, Kini sedang Menempuh S2 di Unhi Denpasar)
PURWAKA
Bahasa ini merupakan yang digunakan pada kebanyakan susastra Hindu yang ada di Indonesia. Bahasa Kawi sering diistilahkan sebagai Bahasa Parwa, karena bahasa ini banyak ditemukan pada sastra-sastra parwa di Indonesia. Selain itu bahasa ini juga banyak digunakan untuk menulis prasasti-prasasti, lontar-lontar dan beberapa dokumentasi pada masa sejarah kerajaan Hindu di Indonesia. Bagi seorang calon Sarjana Agama Hindu atau Sarjana Sejarah amatlah penting untuk mendalami bahasa ini.
PENGERTIAN
Secara etimologis kata kawi berasal dari kata Sanskerta ‚kavya‛ yang artinya ‚puisi atau syair‛. Di India pada mulanya ‚kawi‛ dikenal sebagai seorang yang mempunyai pengertian luar biasa. Seorang yang bisa melihat jauh ke depan atau orang bijak. Kemudian dalam kesusastraan ‚kawi‛ dikenal sebagai seorang penyair; pencipta atau pengarang.
Berdasarkan penjabaran etimologis tersebut, maka Bahasa Kawi adalah bahasanya para pengarang atau para pujangga. Tetapi tidak semua bahasa yang dipergunakan oleh para pujangga adalah Bahasa Kawi. Bahasa ini merupakan ragam tulis dalam bahasa Jawa Jawa Kuno. Zoetmulder menyebutkan bahwa bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Dengan demikian bahasa Kawi adalah bahasa Jawa Kuno yang dewasa ini hanya dapat dijumpai dalam karya sastra-karya sastra seperti : Naskah-naskah keagamaan (seperti Lontar-lontar Tattwa, Sasana, Niti, dsb)
Naskah-naskah sastra (Purwa, Kakawin, Kidung, dll.) Naskah-naskah pengobatan (Usadha)
Naskah-naskah pengetahuan lain (seperti lontar Tutur, dsb) Peninggalan-peninggalan (misalnya : prasasti, babad dan Usana)
Dari uraian tersebut maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa bahasa Kawi adalah bahasa Jawa Kuno, ragam tulis yang dipergunakan oleh para Kawi (pengarang) untuk menampung buah pikirannya.
SEJARAH BAHASA KAWI
Zoetmulder (1994 : 3) menyebutkan bahwa bahasa Kawi dikenal sejak tahun 726 Saka atau 804 Masehi. Hal ini ditandai dengan adanya prasasti Sukabumi yang menyebutkan penanggalan Saka 726, bulan Caitra, pada hari kesebelan paro terang, pada hari Aryang (hari kedua dalam Sadwara), Wage (hari keempat dalam Pancawara) dan Saniscara (hari ketujuh dalam Saptawara). Hari tersebut bertepatan dengan tanggal 25 Maret 804 M.
Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa menyebutkan bahwa naskah Kawi yang tertua adalah naskah Candrakarana. Naskah ini berisikan tentang pelajaran bagaimana membuat sebuah kekawin (syair Jawa Kuno) dan daftar kata-kata Kawi (semacam kamus Kawi). Disebut naskah paling tua, karena di dalamnya disebut-sebut seorang raja keturunan wangsa Syailendra, kira-kira tahun 700 Saka atau 778 M. Berdasarkan gaya bahasa, tahun penulisan dan nama raja yang disebut dalam naskah yang diteliti itu, Poerbatjaraka kemudian mengelompokkan sastra Kawi menjadi tiga bagian, yakni :
Kitab-kitab Jawa Kuno yang tergolong tua
Naskah-naskah yang tergolong kelompok ini ada 2 macam yaitu yang pertama berbentuk prosa (parwa) dan berbentuk puisi (kekawin). Naskah yang tergolong parwa diantaranya : Candrakarana, Sanghyang Kamahayanikan, Brahmaóða Puràna, Agastya Parwa, Uttarakanda, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasanaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa dan Kunjarakarna.
Naskah yang tergolong puisi adalah Kekawin Ràmàyana. Kitab-kitab yang tergolong berkembang
Kitab kelompok ini lahir pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-13. Misalnya : Àrjunawiwaha, Kåûóàyana, Sumanasantaka, Smaradahana, Bhomakawya, Hariwangsa, Gatotkacasraya.
Kitab-kitab Jawa Kuno yang tergolong baru
Kitab yang digubah dari menjelang abad ke-14 sampai runtuhnya Majapahit. Karya sastra itu adalah kekawin : Brahmaóðapuràna, Kunjarakarna, Nagarakåtàgama, Àrjunawijaya, Parthayajña, Sutasoma, Nìtiúastra, Nirathaprakåta, Dharmasunya dan Hariúraya.
Sementara Wayan Simpen AB. dalam Riwayat Kesusasteraan Jawa Kuna mengklasifikasikan kesusasteraan Kawi atas lima bagian ringkasan sebagai berikut:
Zaman sebelum abad ke-9
Zaman ini adalah zaman pra sejarah sastra Kawi. Kehidupan bersastra pada jaman sebelum abad ke-9 diduga zaman sastra Jawa Kuno lisan. Cerita-cerita diwariskan secara lisan.
Zaman Mataram
Zaman ini dimulai dari abad ke-9 sampai abad ke-10, yaitu pada masa pemerintahan mPu Sindok (925-962 M) di Matarm sampai raja Dharmawangsa Teguh (991-1007 M). Karya sastra yang lahir pada masa ini adalah Kekawin Ràmàyana.
Zaman Kediri
Dimulai sejak pemerintahan Erlangga (1019-1049 M) hingga pemerintahan Kertanegara (1268-1292 M). Karya sastra zaman ini tergolong karya bertembang.
Zaman Majapahit I
Periode ini diawali sejak lahirnya kerajaan Majapahit (1293 M) sampai puncak keemasan Majapahit. Karya sastra yang lahir pada masa ini adalah Brahmaóðapuràna, Kunjarakarna, Àrjunawijaya, Parthayajña, Sutasoma, dan Nagarakåtàgama
Zaman Majapahit II
Zaman ini berawal dari bertahtanya Wikramawardhana (1389-1428 M) sampai runtuhnya Majapahit. Adapun karya yang lahir pada masa ini adalah : Nìtiúastra, Nirathaprakåta, Dharmasunya dan Hariúraya.
Selanjutnya dalam bidang bahasa, bahasa Kawi banyak berbaur dengan bahasa Bali dan membentuk sastra Kidung. Dari pembauran inilah diperkirakan memunculkan istilah Kawi-Bali (Jawa Tengahan/Bali Tengahan). Model bahasa ini dapat ditemukan dalam naskah-naskah Tutur, Usadha dan Babad. Zoetmulder menyebutkan bahwa sastra Kidung adalah kelanjutan dari bentuk sastra Kawi yang berasal dari Jawa.
Di Jawa sendiri semenjak kedatangan Islam, bahasa Kawi (Jawa Kuno) berkembang menurut 2 arah yang berlainan. Di satu sisi bahasa Jawa Pertengahan yang masih memperlihatkan ciri erat antara Budaya Hindu Jawa-Bali. Di sisi lain bahasa Jawa Kuno pun berkembang menjadi bahasa Jawa Modern dimana pengaruh bahasa Sanskerta banyak digantikan oleh bahasa Arab.
PENGARUH BAHASA SANSKERTA TERHADAP BAHASA KAWI
Pengaruh bahasa Sanskerta sangat dominant sekali terhadap bahasa Kawi. Hampir 80 % kosakata Kawi berasal dari kata atau urat kata Sanskerta. Dalam beberapa contoh berikut tampak pengaruh bahasa Sankerta dalam bahasa Kawi.
a. Pada salah satu bait dalam Prasasti Kedukan Bukit berbunyi, ‚Swastiúri sakawarsatita 605 ekadasi úuklapakûa wulan waisakha dàpunta hyang nayik di samwau manlap siddhayatra di saptami úuklapakûa‛. b. Pada Prasasti Sukabumi tertulis, ‚Swasti sakawarsatita 726 caitra masa tihti ekadasi úuklapakûa wara
ha,wa,ca, tatka ia bhagawanta bari i wulanggi sumaksayakan simaniran mula dawu‛
Menurut Agastia (1994 : 12) pengaruh Sanskerta terhadap sastra Jawa Kuno sangat kentara dengan adanya proyek yang ia sebut sebagai mangjawakën byasamata (membahasajawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa). Hal ini selaras dengan yang tersurat dalam Wirataparwa. Dalam salah satu baitnya disebutkan, ‚sira ta úri dharmawangsa wakën byasamata‛ (Beliau Sri Dharmawangsa membahasajawakan buah karya Bhagawan Byasa).
Jika dikaji lebih lanjut, pengaruh tersebut dapat dikelompokkan menjadi ada 2 macam yaitu : a. Pengaruh formal
Pengaruh ini adalah pengaruh bahasa Sanskerta secara langsung, yaitu dangkatnya kata-kata Sanskerta ke dalam bahasa Kawi. Sebagi contoh jika diamati, Kamus Jawa Kuno-Indonesia yang ditulis oleh L. Mardiwarsito, banyak memakai tanda (S) yang artinya kata bersangkutan berasal dari bahasa Sanskerta. Coba anda lihat kutipan di bawah ini :
abdhi (S) = samudra; laut abha (S) = keindahan
abhicara (S) = tingkah laku; tindak-tanduk; kelakuan (baik), dst. b. Pengaruh non formal
Pengaruh ini adalah pengaruh isi kontekstual kata-kata pinjaman tersebut. Pengaruh ini berkaitan dengan agama dan kebudayaan Hindu. Sebagai contoh dalam bidang sastra, epos Ràmàyana dan Màhabhàrata yang dari India mengalami akuturasi budaya ketika masuk ke Indonesia menjadi Kekawin Ràmàyana dan Bhàratayuddha. Contoh :
Kata hima di India diartikan embun, cuaca penuh es; salju. Di Jawa keadaan seperti itu tidak pernah terjadi akhirnya kata hima diartikan sebagai kabut, dst.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA KAWI
‚Barang siapa hendak memahami agama, seni, sastra ataupun kehidupan sosial budaya India termasuk perkembangan bahasa-bahasanya (juga bahasa yang tidak turun dari bahasa Sanskerta), tidak dapat tidak harus belajar bahasa Sanskerta‛. Demikian pidato yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. A. Teeuw di UI tanggal 12 Juli 1975. Makna pidato itu dapat pula diperuntukkan bagi yang hendak memahami, seni, sastra dan budaya Indonesia secara menyeluruh mau tidak mau perlu memahami bahasa Kawi. Hal ini disebabkan hampir sebagian besar referensi yang menjurus ke arah itu memakai bahasa Kawi dan Jawa Tengahan.
A Teeuw menegaskan kembali bahwa : 1) bahasa Kawi merupakan bahasa pengantar dari kebudayaan pra modern Indonesia yang penting. 2) Dalam keseluruhan bahasa-bahasa Indonesia, bahasa Kawi merupakan ciri khas. 3) Dari segi sejarah perkembangan bahasa, bahasa Jawa mempunyai kekayaan bahan yang melingkupi jangka waktu tak kurang dari seribu tahun. 4) Dengan memahami bahasa Kawi, akan diperoleh pemahaman yang sehat mengenai hubungan dan perbandingan dalam rumpun bahasa Austronesia. 5) Bahasa Kawi telah terbukti maha penting dalam penelitian sastra dan sastra Kawi terbukti unggul pada masa sastra pra modern Indonesia. 6) Sastra Kawi juga merupakan sumber dan tempat asal dari banyak hasil sastra nusantara lain seperti: Bali, Jawa, Sunda, Sasak, Melayu, dll. 7) Bahasa dan sastra Kawi adalah pintu utama untuk pengaruh asing yang masuk ke Indonesia zaman pra Islam dan juga merupakan pintu ke luar untuk kebudayaan di masa Majapahit.
Akhirnya dapat dipahami kedudukan dan fungsi bahasa Kawi sebagai berikut.
Kedudukan bahasa kawi adalah bahasa documenter Indonesia yang memiliki materi terkaya dan bernilai luhur. Bagi umat Hindu di Indonesia bahasa Kawi adalah bahasa sumber kedua yang menyimpan materi agama Hindu. Fungsi bahasa Kawi adalah sebagai kunci untuk mengungkapkan kebudayaan bangsa Indonesia pada masa pra-Islam. Di samping itu fungsi bahasa Kawi adalah untuk menunjang : penelitian sejarah bahasa-bahasa daerah Indonesia; usaha mengembangkan bahasa Indonesia secara sadar dan aktif; pengembangan sastra daerah dan sastra Indonesia.
TATA BAHASA KAWI
Tata bahasa pada umumnya dapat berupa fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Berikut ini bagan yang menunjukkan hubungan antara tata bahasa dengan unsur-unsur tersebut.
1. Fonologi Bahasa Kawi
Secara etimologis fonologi berasal dari dua kata Latin yaitu phone yang berarti ‚bunyi‛ dan logos yang berarti ‚bunyi‛. Jadi fonologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu.. Fonologi juga merupakan bagian terkecil dari tata bahasa.
Tetapi ada pula yang mengatakan fonologi di luar tata bahasa. Jika kita mengkaji lebih dalam maka kita dapat mengingat sekilas pengertian bahasa menurut Jendra (1986 : 2) ‚suatu sistem simbol bunyi bebas yang diucapkan dalam atau melalui mulut manusia, yang disetujui dan dipelajari bersama oleh masyarakat pendukungnya, untuk dipergunakan sebagai alat kerjasama atau berhubungan‛.
Dari pengertian tersebut, maka bahasa terdiri atas dua unsur yakni : bunyi dan makna. Kedua unsur ini tidak bisa saling meniadakan. Bunyi tanpa makna adalah suatu kegaduhan, misalnya bunyi desiran angin, ember jatuh dll. Sebaliknya makna yang tidak diawali oleh bunyi, bukan pula bernama bahasa.
Fonologi bahasa Kawi yang dikenal sekarang hanyalah dari bahan-bahan tertulis. Oleh karena itu, fonologi bahasa Kawi secara positif tidak diketahui bagaimana ucapan kata-katanya atau ucapan kalimat bahasa itu.
Tidak bermakna, tetapi berfungsi membedakan arti
Bermakna
Sebagian bermakna
Makna leksikon
Sementara untuk ucapannya biasanya diperbandingkan dengan bahasa Sanskerta dan dialek-dialek bahasa Jawa yang masih ada sekarang.
2. Sistem Ejaan Bahasa Kawi
Segala macam lambang untuk menuliskan bahasa disebut sebagai huruf atau aksara. Secara otomatis, huruf atau aksara itu merupakan lambang atau gambaran dari bunyi. Sedangkan rentetan dari beberapa huruf disebut sebagai abjad.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa bahasa Kawi sangat dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Dalam hal ejaan fonemnya bahasa Kawi ternyata juga banyak mendapat pengaruh bahasa Sanskerta. Sebagai contoh vokal panjang/dìrga/diphthong yang dilambangkan dengan huruf à, ì, ù; kemudian bunyi beraspirat (bh, dh, kh, gh, ph, ch, th, dsb) serta bunyi desis (ú, û, s).
Sementara itu untuk Abjad Kawi banyak ditulis dengan akûara Jawa ataupun aksara Bali. Dalam sebagian besar naskah di Bali abjad Kawi banyak ditulis dalam aksara Bali, kecuali lontar-lontar kuno asli peninggalan Hindu Jawa yang masih bisa diselamatkan. Bentuk antara aksara Jawa dan Bali sendiri tidak jauh berbeda. Aksara atau Abjad ini juga sebagai lambang dari ejaan fonem bahasa Kawi.
Sebagaimana bahasa Sanskerta, ejaan fonem bahasa Kawi dibagi atas dua golongan besar yakni ejaan fonem vokal (akûara swàra) dan ejaan fonem konsonan (akûara wyañjana).
Berikut ini ikhtisar penggolongannya serta transkripsinya dalam huruf latin. 2.1. Ejaan Fonem Vokal (Akûara Swàra)
Ejaan fonem vokal dalam bahasa Kawi berjumlah 11. Akûara Swàra dalam bahasa Kawi dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni: vokal tunggal, vokal rangkap dan vokal perubahan.
a. Akûara Swàra Tunggal
Akûara swàra tunggal ada yang dibaca pendek (håûva) dan ada yang dibaca panjang (dìrgha). Berikut jenis beserta transkripsi huruf vokal tunggal dalam abjad Kawi (Jawa dan Bali).
No.
Ucapan
Dasar
Vokal Tunggal Beserta Pengangge Aksara
Pendek
Panjang
Jawa Bali
Jawa Bali
Pengangge
Latin Jawa Bali
Jawa Bali
Pengangge
Latin
1
Guttural
(Kaóþhya)
A
…
À
2
Palatal
(Tàlavya)
…
I
…
Ì
3
Labial
(Oûþhya)
…
U
…
Ù
4
Lingual
(Murdhanya)
…
Å
…
Æ
5
Dental
(Daóthya)
…
Í
…
Í
b. Akûara Swàra Rangkap (Samdhyakûara)
Akûara swàra rangkap disebut juga diphthong. Ejaan fonem vokal jenis ini semuanya dibaca panjang. Adapun yang termasuk vokal diphthong pada abjad Sanskerta adalah sebagai berikut.
No.
Dasar Ucapan
Jawa
Bali
Pengangge
Latin
Jawa
Bali
1
Gutturo-palatal
…
É
2
Gutturo-labial
…
AI
…
Ö
c. Akûara Swàra Perubahan
Yang termasuk Akûara swàra perubahan pada abjad Kawi (Jawa dan Bali) adalah: á = … (Wighnyan -Jawa) (Bisah-Bali)
2.2. Konsonan (Vyañjana)
Konsonan dalam abjad Kawi berjumlah 33 buah. Konon 33 huruf tersebut merupakan aksara suci dari 33 Dewa yang disebutkan dalam Veda. Oleh karenanya para pendeta baik di India maupun di Indonesia menggunakan 33 konsonan tersebut sebagai Vijaksara yang diucapkan pada waktu mereka melaksanakan puja. Dalam Ajaran Tantra, Vijaksara itu dituliskan dalam bentuk Yantra atau aksara Suci yang ditulis dalam Aksara Swalalita atau Modre (Jawa/Bali).
Ketigapuluhtiga konsonan abjad Devanàgarì tersebut dibedakan atas : Pañcavalimukha, Semi-vokal, Sibilant dan Aspirat.
Berikut beberapa penjelasan mengenai kelompok konsonan tersebut.
Menurut cara bacanya atau bunyinya, keempat macam konsonan atau aksara Vyañjana tersebut juga dibedakan menjadi :
a. Guttural, disebut juga ‚kaóþhya‛. Bunyi ini dihasilkan dengan cara mendekatkan lidah kepada guttur (kaóþha), yakni bagian langit-langit kerongkongan.
b. Palatal, disebut juga ‚talavya‛. Bunyi ini dihasilkan dengan cara mendekatkan lidah pada palatun (talu) atau tekak (langit-langit lembut).
c. Lingual atau cerebral, yang disebut juga ‚mùrdhanya‛. Kelompok ini dibunyikan atau dibaca dengan cara menggetarkan lidah (lingua) di dekat langit-langit keras (cerebrum atau mùrdha) ataupun dengan merapatkan lidah pada langit-langit keras.
d. Dental, yang disebut juga ‚danthya‛. Kelompok ini dibaca dengan cara mendekatkan gigi (denta atau dantha) atas dan gigi bawah sebelum membunyikannya.
e. Labial, yang disebut juga ‚oûþhya‛. Bunyi pada kelompok ini dihasilkan dengan cara mendekatkan kedua bibir (labium atau oûþha) atas dan bawah.
Untuk aksara desah ‚Ha‛ terdapat pengecualian, karena aksara ini tidak masuk dalam 5 kelompok tersebut di atas. Aksara ini berdiri sendiri sebagai bunyi desah.
Berikut pengelompokkan Vyañjana dalam abjad Devanàgarì dan Latin.
No.
Dasar
Ucapan
Va
rga
Pañcavalimukha
voka
S
emi
l
S
ibi
lan
Aspira
t
Tajam
Lembut
Nasal
1
Guttura
l (K
aóþ
hya
)
Jawa
…
...
…
…
…
…
Bali
Latin
Ka
Kha
Ga
Gha
Òa
Ha
2
P
alata
l
(T
àlavya
)
Jawa
…
…
…
…
…
Bali
Latin
Ca
Cha
Ja
Jha
Ña
Ya
Úa
3
L in gu al (Mu rd ha ny a)Jawa
…
…
…
…
…
…
…
Bali
…
Latin
Þa
Þha
Ða
Ðha
Óa
Ra
Ûa
4
De
ntal
(D
anthya)
Jawa
…
…
…
…
…
…
…
Bali
Latin
Ta
Tha
Da
Dha
Na
La
Sa
5
La
bial (
Oûþ
hya
)
Jawa
…
…
…
…
…
…
Bali
Latin
Pa
Pha
Ba
Bha
Ma
Wa
2.3. Angka
Masing-masing angka dalam abjad Kawi (Bali & Jawa) berbentuk sebagai berikut:
Angka dalam Aksara Jawa, Bali dan Latin
Jawa
Bali
Latin
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
Cara penulisannya yakni dengan mensejajarkannya secara berturut-turut kea rah kanan. Cara ini berasal dari India kemudian diperkenalkan oleh Bangsa Arab ke Eropa. Oleh karenanya Orang Eropa menyebutnya sebagai sistem Arab. Adapun contoh penulisannya adalah sebagai berikut
Jawa Bali
Latin 1981 2006 20.283 dan seterusnya. 2.4. Contoh Cara Baca
a. Kelompok Vokal
a seperti a dalam kata pada, misalnya hana
à seperti a dalam kata gelar(dibaca dua kali lebih panjang), misalnya àdi i seperti i dalam kata detik, misalnya kari
ì seperti i dalam kata pasir(dibaca dua kali lebih panjang), misalnya úìla u seperti u dalam kata aduk, misalnya guwug
ù seperti u dalam kata kasur(dibaca dua kali lebih panjang), misalnya kurù ë seperti e dalam kata gedung, misalnya grëmët
é seperti e dalam kata jahe, misalnya ménak ai seperti a dalam kata ramai, misalnya maitreya o seperti o dalam kata kota, misalnya odara ö seperti o dalam kata kota, misalnya langö å seperti r dalam kata ria, misalnya åddha í seperti lri dalam kata polri, misalnya kíipta á seperti h dalam kata duh
b. Kelompok Konsonan
K seperti k dalam kata keras
Kh seperti k diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya G seperti g dalam kata garuda
Gh seperti g diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya Ò seperti ng dalam kata ngantuk
C seperti c dalam kata catur
Ch seperti c diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya J seperti j dalam kata raja
Jh seperti diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya Ñ seperti ny dalam kata nyamuk
Þ seperti þ dalam kata tutuk(dalam bahasa Jawa, yang berarti memukul) Þh seperti þ diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
Ð seperti ð dalam kata dahar(dalam bahasa Jawa, yang berarti makan) Ðh seperti ð diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
Ó seperti rna (siap membaca r, kemudian dikuti óa ) T seperti t dalam kata tato
Th seperti t diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
D seperti d dalam kata dodol(dalam bahasa Jawa, yang berarti menjual) Dh seperti d diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
N seperti n dalam kata nanas(daun lidah menyentuh kaki gigi atas) P seperti p dalam kata pita
Ph seperti p diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya B seperti b dalam kata baris
Bh seperti b diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya M seperti m dalam kata makan
Y seperti y dalam kata ya R seperti r dalam kata rakit L seperti l dalam kata laut V seperti w dalam kata waktu Ú seperti s dalam kata syarat
Û seperti s dalam kata shift(bahasa Inggris) S seperti s dalam kata sabun
H seperti h dalam kata hati 2.5. Distribusi Fonem Vokal dan Konsonan
Distribusi fonem adalah penyebaran fonem dalam suatu kata. Maksudnya apakah fonem tersebut dapat menduduki posisi awal, tengah atau akhir.
a. Distribusi Fonem Vokal
Fonem Posisi
Awal Tengah Akhir a acala ‘gunung’ paran ‘tujuan’ eka ‘satu’
à àkasa ‘langit’ upàya ‘akal’ ulà ‘ular’ i ikan ‘ikan’ igit ‘gigit’ àdi ‘pertama ì ìr ‘tarik’ tìra ‘sepi’ nadì ‘sungai’ u udan ‘hujan’ kusuma ‘bunga’ hayu ‘cantik’ ù ùrddha ‘tinggi’ ahùti ‘korban’ ilù ‘ikut’ å/rë rës ‘takut’ parëng ‘bersama’ -
å/rö röp ‘diam’ - werö ‘mabuk’
í/lë lëpët ‘salah’ lalër ‘lalat’ dëlë ‘diserang dari depan’ í/lö lök ‘susah’ - lëlö
e emel ‘kotor’ desa ‘tempat’ ike ‘ini’ ai airlangga ‘airlangga’ daiwa ‘takdir’ wai ‘air’
o olan ‘ulat’ lobha ‘loba’ ilo ‘lihat’
au ausadha ‘obat’ kaurawa ‘kaurawa’
ö öb ‘naung’ iwöng ‘kacau’ rëngö ‘dengar’ ë ënah ‘tempat’ ibëk ‘penuh’ pare ‘dekat’
Dengan melihat distribusi fonem vokal tersebut, maka dapat disimpulkan
Fonem-fonem yang dapat menduduki posisi awal, tengah dan akhir adalah : a, à, i, ì, u, ù, í,e, ai, o, ö dan ë
Fonem-fonem yang hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah saja adalah : å/rë dan au Fonem yang hanya dapat menduduki posisi awal dan akhir saja adalah : å/rö dan í/lö b. Distribusi Fonem Konsonan
Contoh perhatikan fonem vokal yang bercetak tebal di bawah ini.
Fonem Posisi
Awal Tengah Akhir k kadi ‘sebagai’ mekar ‘mekar’ anak ‘anak’ kh khadga ‘pedang’ sukha ‘senang’ -
g gading ‘kuning’ ràga ‘nafsu’ gëdog ‘tumbuk’ gh ghosana ‘pengumuman’ sanggha ‘orang banyak’ -
nga ngaran ‘nama’ sangka ‘asal’ datëng ‘datang’ c catur ‘empat’ cacing ‘cacing’ -
ch chaya ‘cahaya’ seccha ‘enak’ - j jagat ‘dunia’ pañji ‘bendera’ - jh jhasa ‘ikan’ - -
ñ ñamut ‘kabur’ pañca ‘lima’ -
þ þika ‘huruf’ nasþa ‘gaib’ - þh þhika ‘huruf’ nasþha ‘gaib’ - ð ðadat ‘robek’ jaða ‘bodoh’ - ðh ðhara ‘gadis’ muðha ‘bodoh’ - ó - daóða ‘tongkat’ -
t tabeh ‘tabuh’ moktah ‘moksa’ dahat ‘sangat’ th thàni ‘pertanian’ natha ‘raja’ -
d daga ‘berontak’ nada ‘suara’ lad ‘iris’ dh dhana ‘uang’ yudha ‘perang’ -
n nadì ‘sungai’ nanà ‘hancur’ parawan ‘perawan’ p pawana ‘angin’ papag ‘songsong’ landep ‘tajam’ ph phala ‘buah’ nisphala ‘sia-sia’ -
b bala ‘kekuatan’ saban ‘dahulu’ halib ‘mustahil’ bh bhaga ‘bagian’ sabha ‘tempat’ -
m mata ‘mata’ parama ‘tertinggi’ padem ‘mati’ y yasa ‘jasa’ haywa ‘jangan’ apuy ‘api’
r rabi ‘istri’ urma ‘gelombang’ ujar ‘kata’ l laki ‘laki-laki’ kùla ‘tepi’ rontal ‘lontar’ w wukir ‘gunung’ wawa ‘bawa’ -
ú úata ‘seratus’ piúuna ‘fitnah’ - û ûad ‘enam’ akûara ‘huruf’ - s saha ‘dengan’ pisuh ‘memaki’ -
Dengan melihat distribusi fonem konsonan tersebut, maka dapat disimpulkan :
Fonem-fonem yang dapat menduduki posisi awal, tengah dan akhir adalah : k, g, ng, t, d, n, p, b, m, y, r, l, s dan h.
Fonem-fonem yang hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah saja adalah : kh, gh, c, ch, j, ñ, þ (þh), ð (ðh), th, dh, ph, bh, w, ú dan û.
Fonem yang tidak dapat menduduki posisi awal adalah : ó Fonem yang hanya dapat menduduki posisi awal saja adalah : jh 2.6. Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah kosonan yang dapat bergugus/berkelompok. Berikut beberapa macam gugus konsonan:
a. Gugus yang terdiri dari dua konsonan dalam satu pola suku kata Gugus konsonan /gl, kl, sl, tl, wl, bl, ml/
Contoh : glar (benteng), klab (berkibar), sla (seling), tlës (baru saja mencuri), wlas (belas kasihan), blak (memar), mlek (memenuhi).
Gugus konsonan /dr, bhr, br, gr, hr, jr, kr, pr, sr, úr, tr, wr/
Contoh : drës (cepat), bhra (terang), bras (beras), grah (gerah), hruk (teriak), jro (dalam), krëm (keram), prah (meluap), srët (sendat), úrì (dewi, kesejahteraan), tri (tiga), wruh (tahu).
Gugus konsonan /by, dy, gy, hy, ky, ly, ny, sy, ty, wy/
Contoh : byar (terbuka), dyun (periuk), gya (segera), hyang (dewa), jyab (kelas), lyan (berbeda), nyu (kelapa), syuk (segera), tyup (tiup), wyah (saluran)
Gugus konsonan /dw,dhw, kw, lw, mw, nw, ngw, rw, sw, úw, tw, ww, yw/
Contoh : dwà (bohong), dhwas (hancur), kwa (demikian), lwe (luas), mwang (dan), nwam (muda), rwa (dua), swa (sendiri), úwa (anjing), twak (tuak), wwat (berat), ywa (kemudian).
Gugus konsonan selain daripada konsonan /l, r, y, w/ yaitu : /ngg, ngh, ngw, tk, tl, wk, wl/ Contoh : ndi (di mana), ngke (di sini), nggan (mungkin), nghel (payah), ngwe (tengah). b. Gugus yang terdiri dari tiga konsonan dalam satu pola suku kata
Contoh : stri (istri), kryan (sang putri). 2.7. Metatesis
Secara etimologis, metatesis berasal dari kata ‚meta‛ yang berarti ‚perubahan‛ dan ‚tithema‛ yang berarti ‚tempat‛. Metatesis adalah gejala perubahan bunyi bahasa akibat pertukaran atau perloncatan bunyi satu dengan yang lain dalam satu kata dengan tidak merubah arti.
Dari segi perubahan waktu, metatesis bahasa Kawi dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a. Metatesis Sinkronis
Metatesis sinkronis adalah perubahan bunyi dengan cara pertukaran atau perloncatan bunyi dalam suatu kata pada kurun waktu tertentu (sezaman)
Contoh : lumaku mlaku lumumpat mlumpat lumampah mlampah
Pada kata dasar yang diawali dengan huruf /l/ mendapat infiks um sering terjadi metatesis b. Metatesis Diakronis
Metatesis diakronis adalah perubahan bunyi dengan cara pertukaran atau perloncatan bunyi dalam suatu kata yang terjadi pada masa lampau hingga sekarang (melalui proses sejarah).
Perubahan bunyi /ë/ dan /ö/ menjadi /u/
Contoh : pëhan (Kawi) puhan (Jawa Sekarang) > ‘air susu’ rëngö (Kawi) rungu (Jawa Sekarang) > ‘dengar’ wërö (Kawi) wuru (Jawa Sekarang) > ‘mabuk’ asëh (Kawi) wasuh (Jawa Sekarang) > ‘cuci’ wërëh (Kawi) wuruh (Jawa Sekarang) > ‘buih’ Perubahan bunyi /ya/ menjadi /e/
Contoh : ramya (Kawi) rame (Jawa Sekarang) > ‘ramai’ kagyat (Kawi) kaget (Jawa Sekarang) > ‘kaget’ tampyal (Kawi) tampel (Jawa Sekarang) > ‘lekat’ kulyat (Kawi) kulet (Jawa Sekarang) > ‘menggeliat’ Perubahan bunyi /ö/ menjadi /ë/
Contoh : göng (Kawi) gëng (Jawa Sekarang) > ‘besar’ jöng (Kawi) jëng (Jawa Sekarang) > ‘kaki’ Perubahan bunyi /ö/ menjadi /o/
Perubahan bunyi /wa/ menjadi /o/
Contoh : bwat (Kawi) bot (Jawa Sekarang) > ‘berat’ twah (Kawi) toh (Jawa Sekarang) > ‘tanda hitam’ karwa (Kawi) karo (Jawa Sekarang) > ‘kedua’ kaywan (Kawi) kayon (Jawa Sekarang) > ‘kayu’ Perubahan bunyi /kû/ menjadi /s/
Contoh : kûtera (Kawi) setra (Jawa Sekarang) > ‘tegal’ sàkûàt (Kawi) sasat (Jawa Sekarang) > ‘nyata’ rùkûak (Kawi) rusak (Jawa Sekarang) > ‘rusak’ kûiti (Kawi) siti (Jawa Sekarang) > ‘tanah’ Perubahan bunyi /ngh/ menjadi /ng/
Contoh : tinghali (Kawi) tingali (Jawa Sekarang) > ‘lihat’ singha (Kawi) singa (Jawa Sekarang) > ‘singa’ tanghi (Kawi) tangi (Jawa Sekarang) > ‘bangun’ singhit (Kawi) singit (Jawa Sekarang) > ‘angket’ Perubahan bunyi /w/ menjadi /b/
Contoh : wagus (Kawi) bagus (Jawa Sekarang) > ‘bagus’ wala (Kawi) bala (Jawa Sekarang) > ‘tentara’ wuhaya (Kawi) buaya (Jawa Sekarang) > ‘buaya’ watu (Kawi) batu (Jawa Sekarang) > ‘batu’ wani (Kawi) bani (Jawa Sekarang) > ‘berani’ Perubahan bunyi /w/ menjadi /y/
Contoh : twas (Kawi) tyas (Jawa Sekarang) > ‘hati’ wadwa (Kawi) wadya (Jawa Sekarang) > ‘prajurit’ tandwa (Kawi) tandya (Jawa Sekarang) > ‘tanda’ 2.8. Pola Persukuan
Deretan fonem yang membentuk suku kata atau kata dalam tiap bahasa tidaklah selalu sama. Dalam bahasa Kawi deretan fonem yang membentuk stuktur baris ke samping dalam suku kata tidak begitu rumit. Stuktur fonem dalam bahasa Kawi dalam persukuannya dapat dirumuskan dengan pola sebagai berikut:
a. V (Pola suku kata yang hanya terdiri atas satu Vokal)
Contoh : i-kang (itu) i-ki (ini) u-bub (puput)
a-lap (ambil) e-ka (satu) b. K (Pola suku kata yang hanya terdiri atas satu Konsonan)
Contoh : n-‘partikel penentu’
c. VK (Pola suku kata yang terdiri atas Vokal dan Konsonan)
Contoh : ar-ti (arti) uñ-jal (bawa) ing (pada) d. KV (Pola suku kata yang terdiri atas Konsonan-Vokal-Konsonan)
Contoh : wa-tu (batu) ma-ti (mati) si (si) e. KVK (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Vokal-Konsonan)
Contoh : sung (beri) dhang (partikel penentu orang) a-lap (ambil)
f. KVV (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Vokal-Vokal)
Contoh : lu-luy (berani) wang-kay (bangkai) a-puy (api) g. KKV (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan-Vokal)
Contoh : ngke (sini) gya (cepat) kûi-ti (tanah) h. KKVK (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan-Vokal-Konsonan)
Contoh : wruh (tahu) twas (hati) lwah (sungai) i. KKKV (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan-Konsonan-Vokal)
Contoh : stri (istri)
j. KKKVK ((Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan- Konsonan –Vokal- Konsonan) Contoh : ra-kryan (suatu gelar kebangsawanan)
2.9. Hukum Sandhi
Sandhi dalam bahasa Sanskerta berarti ‚hubungan sendi‛. Dalam tata bahasa Kawi, yang sangat terpengaruh oleh bahasa Sanskerta, sandhi berarti menghubungkan dua buah perkataan atau lebih menjadi satu, terutama vokal-vokal pada perkataan-perkataan tersebut.
Hukum Sandhi merupakan aturan-aturan sandhi yang sudah ditetapkan atau dibakukan. Oleh karenanya sastrawan Jawa Kuno atau seorang Kawi Sastra tidak bisa seenaknya dalam menggunakan tata bahasa yang ada kaitannya dengan Sandhi tersebut. Aturan-aturan dalam hukum sandhi tersebut adalah :
Dua bunyi yang sama (a, i dan u) menjadu satu yang panjang (dirgha/diphtong) Contoh: a + a = a i + i = ì u + u = ù
a + à = à i + ì = ì u + ù = ù à + à = à ì + ì = ì ù + ù = ù
Bunyi ë selalu ë hilang dan tidak mengubah vokal yang ada di mukanya, misalnya : a + ë = a wawa + ën = wawan
i + ë = i wëli + ën = wëlin u + ë = u tuhu + ën = tuhun ö + ë = ö rëngö + ën = rëngön Bunyi a jika diikuti bunyi lain daripada ë menjadi :
a + u = o ma + ulah = molah a + i = e bhaþara + indra = bhaþarendra
wruha + ing = wruheng Bunyi i, u, ö dan o jika diikuti lain daripada bunyi ë menjadi :
i + a = ya ananghi + a = ananghya u + a = wa tuhu + a = tuhwa u + i = wi sihku + iriya = sihkuwiriya o + a = wa mangilo + a = mangilwa ö + a = wa karëngo + an = karëngwan
3. Morfologi Bahasa Kawi
3.1. Kata dan Jenis Kata Bahasa Kawi
Morfologi bahasa Kawi adalah bagian dari tata bahasa Kawi yang membicarakan seluk-beluk bentuk kata. Sebagai satuan gramatis, kata terdiri atas satu atau beberapa morfem. Morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata yang dapat dibedakan artinya. Gabungan morfem yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas yang paling kecil inilah disebut sebagai kata. Sebagai contoh dalam ujaran, ‚màhabhaya tan sinipi iking alas pinaranta‛ (Sangat berbahaya tidak terhingga hutan yang kamu datangi ini). Satuan bentuk seperti tan, alas dan iki yang terdiri atas satu morfem ini disebut sebagai ‚morfem dasar‛. Sedangkan kata sinipi, pinaranta, màhabhaya ini disebut sebagai ‚morfem gabungan‛.
Dari uraian di atas dapat ditentukan bahsa kata yang terdiri dari satu morfem dasar disebut kata tunggal. Oleh karenanya kata ini disebut juga sebagai ‚kata dasar‛. Kata yang terdiri dari beberapa morfem yang dibentuk dari morfem dasar maupun morfem pangkal dengan proses morfologis disebut ‚kata turunan‛.
Adapun kata dalam bahasa Kawi dapat dibedakan atas beberapa macam jenis yaitu : kata benda, kata kerja, kata sifat, kata ganti orang, kata ganti milik (genetif), kata ganti tunjuk, kata ganti hubung, kata ganti tak tentu, kata ganti tanya, kata bilangan, kata sandang penentuan, kata sangdang penunjuk orang.
3.1.1. Kata Benda
Kata ini berfungsi menyatakan benda atau orang. Misalnya : sisya (murid), phala (buah), panah (panah), måga (binatang), iku (ekor) rwan (daun), watu (batu), pari (padi), waringin (beringin) dan lain-lain.
3.1.2. Kata Kerja
Contoh : magawe (bekerja), malayu (berlari), maburu (berburu), katon (terlihat), mangan (makan), umawa (membawa), magulingan (bergulingan), amati (membunuh), angrakûa (menjaga), angurip (menghidupkan) dan sebagainya.
3.1.3. Kata Sifat
Contoh : úweta (putih), kweh (banyak), magöng (besar), tikûóa (tajam), panës (panas), takut (takur), tikta (pahit) dan lain-lain.
3.1.4. Kata Ganti Orang
Kata ganti orang ada tiga macam yaitu : a. Kata Ganti Orang Kesatu/Pertama
Berikut ini beberapa contoh kata ganti orang pertama: Tunggal
aku = aku, saya, misalnya : aku ngaran bhaþara guru (Aku adalah Bhatara Guru) ngwang = saya, misalnya : sariranta kabeh sakeng sariraningwang tattwanya (badanmu seluruhnya dari badanku hakekatnya) nghulun = hamba, misalnya : sang yayati ngaraninghulun (Yayati nama saya)
pinakanghulun = hamba, misalnya : pinakanghulun tapwan manak (hambamu belum beranak) bhujàngga mpu = hamba pendeta
bhujàngga haji = saya (paóðita) Jamak
kami = kami, misalnya : brahmaóa daridra kami (Brahmana miskin saya)
kita = kita, misalnya : kita pinaka sangkan paraning saràt (kita adalah sebagai asal dan tujuan dari semua makhluk)
b. Orang kedua Tunggal
kanyu = engkau
ko = engkau, misalnya : ko ng bhuta Locaya (Kau bhuta Locaya) kamung = engkau, kamu , misal : kamung hyang watek dewata kabeh (Kamu para dewa sekalian)
rahadyan sanghulun = tuanku, misalnya : adwa rahadyan sanghulun (tetapi kelirulah tuanku) mpu, mpungku = tuanku, misalnya : hana ta pangning carita de mpu makabehan (Adalah cabang cerita hendaklah tuan semua dengarkan) Jamak
kamu = kamu
kita = tuan-tuan; kamu c. Orang ketiga
Tunggal
ya = ia, dia, misalnya : tinakwanan ta ya de ning guru (ditanyailah ia oleh guru)
sarika = ia, dia, misalnya : ring kapana kita swamitra lawan sarika (bagaimana engkau dapat bersahabat dengan dia)
rasika = ia, dia, misalnya : tatan hana marasane pwangkulun bheda sangke rasika (Tak ada orang yang dapat menyembuhkan hamba, kecuali dia)
sira = beliau, misalnya : sira ta kumawasaken påthiwimaóðala (Bagindalah menguasai dunia) Jamak
sira = mereka ya = mereka 3.1.5. Kata Ganti Milik (Genitif)
Kata ganti jenis ini kadang-kadang mempunyai bentuk yang agak berbeda, yakni dengan jalan menyingkatkannya dan kadang-kadang menambahkan n(i) di depannya. Kata ganti milik dalam bahasa Kawi juga dapat dibagi atas 3 macam yaitu :
a. Kata Ganti Milik Orang Kesatu/Pertama
Berikut ini beberapa contoh kata ganti milik orang pertama:
aku, ngku (dari kata aku), misalnya : anaku anak + aku anaku (ku yang ditambahkan pada kata yang berakhir k, maka hanya sebuah k saja yang ditulis) mami (dari kata mami), misalnya : sisya mami (murid saya)
ni nghulun, misalnya : wëtëng ninghulun (perut saya) ningwang, misalnya : carita ningwang (Ceritaku) Contoh dalam kalimat :
yan tuhu kita anaku (jika benar kamu anakku)
yan tuhu sisyamami, tagawe kita guru dakûina (jika benar-benar murid saya, buatlah upah untuk gurumu) salwiring kapangan masuk ing wëtëng ninghulun (segala macam yang dapat dimakan masuk kedalam perutku) b. Orang kedua
Berikut ini beberapa contoh kata ganti milik orang kedua: mu (dari kata kamu), misalnya : anakmu (anakmu) nyu (dari kata nyu), missal : swaminyu (suamimu)
ta /nta, misalnya : anakta (anakmu), ibunta (ibumu) Contoh dalam kalimat :
anakmu tan wënang datëng (Anakmu tidak boleh datang)
aku dinalihta swaminyu, arah lku murtako (aku kira suamimu! hai pergi enyahlah kau)
patëngëran iradenta yan mapanës ika gulunta mangëlëd apuy lwirnya (Tandanya bagimu apabila merasa panas lehermu sebagai menelan api)
c. Orang ketiga
Berikut ini beberapa contoh kata ganti milik orang ketiga:
ya / nya, misalnya : Sarmistha ngaranya (Sarmistha namanya)
nira / ira, misalnya : wwang atuha nira (orang tuanya), ling ira (katanya) Contoh dalam kalimat :
hana ta sang akupa ngaranya, ratuning pas (Adalah Akupa namanya, raja dari kura-kura) hana sira ratu parikësit ngaran ira (Adalah seorang raja sang Parikesit namanya)
3.1.6. Kata Ganti Tunjuk a. iki, ike, iku, iko, ikana
Vokal akhir dari masing-masing kata ganti penunjuk itu, untuk menujuk barang atau orang yang berhubungan dengan yang berbicara, yang diajak bicara dan yang dibicarakan.
iki, ike (ini) orang atau barang yang dekat dengan orang yang berbicara (orang pertama) iku, iko (itu) orang atau barang yang dekat dengan orang yang diajak berbicara (orang kedua) ika, ikana (itu) orang atau barang yang dekat dengan orang yang dibicarakan (orang ketiga) Jarak ini tidak hanya menunjuk tempat saja tetapi juga jarak waktu
iki, ike sekarang; ika, ikana dahulu atau tadi Contoh dalam kalimat :
Iki pwa ya sabha pamintonan kasaktin (inilah gelanggang untuk mempertunjukkan kesaktian)
Majar ta sang astabasu: “rahayu yan mangkana nghulun ri kita ike sanak mami wwalung siki (Sang Astabasu berkata, ‚baiklah jika demikian saya akan menjelma padami saudara saya depalan ini‛ )
Iku/iko dinalihta swaminyu (Itulah kau kira suamimu)
Ika kewala sarananta i sëdëng ning haneng alas (Itu hanya syarat bagimu sementara sedang ada dalam hutan) Ndatan suka sang hyang pitara denira, apan tan yogya ikana ng rah yan tarpanakna ri sira (Sang dewa arwah
tidak senang, oleh karena dara itu tidak pantas untuk disajikan kepadanya) b. nihan, nahan
Kata ini biasanya dipakai untuk menunjuk kata orang. Nihan dipakai untuk kata-kata yang masih akan dikatakan. Sedangkan nahan untuk kata-kata yang sudah dikatakan.
Nihan biasanya diartikan ‚inilah, beginilah atau disinilah‛ Nahan biasanya diartikan ‚begitulah atau disanalah‛ c. ngke, ngka, ngkana
Kata ini dapat dipakai untuk menunjuk waktu atau tempat. ngke biasanya diartikan ‚sini, sekarang ini, di sini‛ ngka biasanya diartikan ‚sana, di sana, demikian‛ ngkana biasanya diartikan ‚sana, di sana, demikian‛ d. mangke, mangko, mangka
mangke biasanya diartikan ‚sekarang, pada saat ini, demikian‛
mangko biasanya diartikan ‚sekarang, demikian‛ (kata ini jarang dipakai) mangka biasanya diartikan ‚demikian, begitu‛
e. mangkana, samangkana, samangka
mangkana biasanya diartikan ‚demikian, begitu‛ (kata ini kadang-kadang dipakai pula untuk menunjuk kata-kata orang yang telah dikatakan)
samangkana biasanya diartikan ‚waktu itu, ketika itu, sebanyak itu, sebesar itu‛ samangka biasanya diartikan ‚yang demikian, maka,pada waktu itu‛
f. kumwa, kwa
kumwa biasanya diartikan ‚demikian‛ sama dengan kata nihan/nahan kwa biasanya diartikan ‚demikian‛ (untuk ungkapan).
3.1.7. Kata Ganti Hubung
Contoh : ikang (yang), anung (halnya), sing (apa saja) 3.1.8. Kata Ganti Tak Tentu
Contoh : asing (apapung, setiap), sira (seseorang), anu (sesuatu), bari-bari (apa-apa) 3.1.9. Kata Ganti Tanya
Contoh : syapa (siapa), apa (apa), aparan (apa), ndi (di mana), mapa (mengapa), pira (berapa). 3.1.10. Kata Bilangan
Berikut penyebutan bilangan dalam bahasa Kawi :
1 = tunggal 2 = rwa 3 = tëlu 4 = pat 5 = lima 6 = nëm 7 = pitu 4 = wwalu 9 = sanga 10= sapuluh 11= sawëlas 12= rwawëlas 13= tigawëlas 14= padwëlas 15= limawëlas 16= nëmwëlas 17= pituwëlas 18= wwaluwëlas 19= sangawëlas 20= rwangpuluh
Untuk bilangan 20 sampai 29 di samping ada kata salikur (21), tëlulikur (23) dan sebagainya juga terdapat rwangpuluh tunggal, rwangpuluh dwa, rwang puluh tëlu dan sebagainya seperti dalam bahasa Indonesia.
Adapun untuk : ratus (atus), ribu (iwu), laksa (lakûa), keti (koti, keti), juta (ayuta, yuta)
Contoh : 9.539.560 = sangang yuta limang keti tëlung lakûa sangang iwu limang atus nëmang puluh.
Jika kata bilangan itu dihubungan dengan kata-kata yang menyebutkan ukuran waktu, ruang, atau jumlah, maka kata bilangan itu mendapat tambahan ng di belakangnya. Tetapi kata ‚tunggal‛ berubah menjadi ‚sa‛.
Contoh :
patang wingi = empat malam limang tahun = lima tahun limang atus = limaratus limang wingi = lima malam wwalung dëpa = delapan depa nëmang iwu = enam ribu nëmang ayuta = enam juta tëlung siki = tiga buah/ekor salek = satu bulan satahun = satu tahun sawiji = satu biji
Jika awalan ka- ditambahkan pada kata bilangan, maka awalan ka- ini berarti ‘semua, bersama-sama, atau tingkatan’. Contoh : katëlu (ketiga-tiganya, semuanya); kapat (keempat-empatnya, semuanya) dan lain-lain. Jika awalan pa- di muka kata bilangan seringkali menyatakan arti ‘bagian’. Dan bentuk ini sering pula mendapat awalan ma- atau sa-. Contoh : mapasewu (menjadi seribu bagian), maparwa (menjadi dua bagian), saparwa (sebagian), dan sebagainya.
Jika awalan ping- di muka kata bilangan, maka itu akan menyatakan arti ‘mempergandakan’. Contoh : pingrwa (dua kali), pingtiga (tiga kali), pinglima (lima kali) dan sebagainya.
3.1.11. Kata Sandang Penentuan
Kata sandang penentuan ada 2 macam yaitu ang dan ng. Kata sandang ini biasanya ditempatkan di muka kata yang sudah ditentukan. Kalau kata itu belum diketahui atau belum ditentukan, maka ang dan ng tidak dipakai. Kata sandang ini sama fungsinya dengan the dalam bahasa Inggris.
Contoh : ang katha (cerita itu), mangrëngö ta ng danawa (mendengarlah raksasa itu). 3.1.12. Kata Sandang Penunjuk Orang
Ada beberapa macam kata sandang penunjuk orang dalam bahasa Kawi, yaitu : a. si seperti dalam bahasa Indonesia si dipakai untuk orang kebanyakan
Contoh : hana ta rakûasa si doluma ngaranya (adalah raksasa si Doluma namanya)
b. pun kata sandang ini sudah amat jarang dipakai, hampir sama dengan ipun dalam bahasa Bali Contoh : Bapa, mati angganya pun kaca
(Bapa mati badannya sang Kaca)
c. sang sang dipakai untuk orang ternama atau bangsawan Contoh : sang àrjuna, sang màhaåûi, sang mati ing rana
d. sang hyang sang hyang dipakai untuk dewa-dewa serta yang dianggap mulya seperti dewa. Contoh : sang hyang wiûóu, sang hyang wulan, sang hyang àtma.
e. dang hyang untuk menunjuk orang mulya karena kesuciannya.
Contoh : dang hyang drona, dang hyang kåpa, dang hyang narada
f. ra Sebagai penunjuk orang, dipakai juga kata ra. Biasanya sekali partikel ini dipakai orang yang berkata kepada orang yang lebih tinggi pangkatnya.
Contoh : pirëngön ra putu mpungku (dengarlah cucu tuan hamba).
g. sira sering juga kata sira dipakai untuk pengganti sang, hal ini terjadi lebih-lebih pada kata sebut yang mengenai macam.
Contoh : suka ta sira bara ri dating sang gandawati (senanglah seorang ayah dengan Datangnya Gandawati)
3.2. Kata Berimbuhan
Kata berimbuhan merupakan kata turunan yang dihasilkan melalui proses morfologis dengan pembubuhan imbuhan (afiks) pada suatu morfem dasar atau morfem pangkal. Imbuhan adalah morfem terikat yang dapat dibedakan menurut tempatnya melekat pada bentuk dasar yaitu : awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks), imbuhan gabung dan konfiks. Jika dilihat dari tempatnya melekat pada morfem dasar atau morfem pangkal, imbuhan dalam bahasa Kawi dibedakan menjadi : awalan jika diletakkan di awal morfem dasar, sisipan jika disisipkan di dalam morfem dasar dan akhiran jika diletakkan di akhir morfem dasar. Ada lagi imbuhan yang disebut imbuhan gabung dan konfiks.
3.2.1. Awalan
Prefiks atau awalan adalah imbuhan yang diletakkan di depan bentuk dasar (pangkal). Yang termasuk awalan dalam bahasa Kawi adalah : a-, an-, ma-, man-, pa-, pan-, sa-, ka-, maka-, pinaka-, nir-, pari-, pi-, su-, ping-, mana-, swa-, ra-, dur-, dan wi-.
a. Awalan a- (seperti awalan me- atau ber- dalam bahasa Indonesia)
Apabila morfem dasar diawali fonem konsonan, mendapat awalan a-, maka awalan a- tersebut melekat begitu saja pada morfem dasar. Contoh : atuha (berumur), ahyun (berkeinginan), ajanma (menjelma), akon (menyuruh), dst.
Apabila morfem dasar diawali oleh fonem vokal, mendapat awalan a-, maka berlakulah aturan sandhi. Arti Awalan a-
Contoh : aputra (mempunyai putra), ahyun (mempunyai keinginan), astir (mempunyai istri), dll. Berarti melakukan pekerjaan
Contoh : alampah (berjalan), agawe (bekerja), apretijna (berjanji) Berarti dalam keadaan
Contoh : agirang (dalam keadaan gembira), alara (dalam keadaan bersedih), dll. b. Awalan an-
Awalan an- mempunyai 4 alomorf : an-, am, ang dan an-.
Alomorf an- digunakan apabila morfem dasar tempatnya melekat dimulai dengan konsonan t dan s, kemudian konsonan t dan s akan luluh.
Contoh : anëpi (menuju tepi), aniwi (menyungsung) anonton (melihat) dll.
Alomorf am- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan p, b, w; kemudian konsonan-konsonan tersebut akan luluh
Contoh : aminta (meminta), amawa (membawa), amëtu (muncul).
Alomorf an- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan c; kemudian konsonan tersebut akan luluh
Contoh : anakar (mencakar), anakra (memanah dengan cakra)
Alomorf ang- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan r, l, k, g, h, j; kemudian konsonan-konsonan tersebut tidak luluh kecuali k
Contoh : angalap (memetik), angering (mengikuti), angrakûa (menjaga), angrëngö (mendengar), anglilir (menglilir), angidul (menuju selatan), angawe (mengerjakan), anghadap (menghadap),angjala(menjolok) Arti Awalan an-
Berarti melakukan pekerjaan
Contoh : angrakûa (menjaga), angalap (memetik), dll. Berarti pergi ke-
Contoh : angalas (pergi ke hutan), angalor (pergi ke utara), angulwan (pergi ke barat) Berarti bekerja dengan alat
Contoh : anakra (memanah dengan cakra), anakar (mencakar dengan kuku), dll.
Pemakaian an- sering mengalami penghilangan bunyi vokal /a/ apabila morfem dasarnya dimulai dengan bunyi vokal. Contoh : angaranngaran (bernama), anginaknginak (mengenakkan) dll
Hal ini dapat pula terjadi pada morfem dasar yang diawali huruf bilabial. Contoh : amanganmangan (makan); amanahmanah (memanah), amawamawa (membawa); amëtumëtu (muncul/keluar).
c. Awalan ma-
Apabila awalan ma- melekat pada morfem dasar diawali fonem konsonan, maka awalan ma- melekat begitu saja pada morfem dasar tersebut. Contoh : maputra (beranak), mahyun (berkeinginan), maweh (memberi), makon (menyuruh), dst.
Apabila awalan ma- melekat pada morfem dasar diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : mànak (beranak) mojar (berkata) dll.
Arti Awalan a-
Berarti mempunyai
Contoh : maputra (mempunyai putra), mambëk (berkelakuan), dll. Berarti melakukan pekerjaan
Contoh : malampah (berjalan), magawe (bekerja), madandan (berhias) Berarti dalam keadaan
Contoh : malara (bersedih), menak (bersenang-senang) Berarti memakai
Contoh : agirang (dalam keadaan gembira), alara (dalam keadaan bersedih), dll. d. Awalan man-
Awalan an- mempunyai 3 alomorf : mang-, mam-, man-.
Alomorf mang- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan l, h, g, t, dan j. Contoh :mangajar (mengajar), manglade (berperang) mangjadma (menjelma) dll.
Alomorf mam- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan p, ph, b, bh, w; Contoh : maminta (meminta), mamuja (memuja), mamukti (memakan), dll
Alomorf man- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan t, c dan s Contoh : manonton (melihat), manembah (menyembah), manakar (mencakar) dll.
Arti Awalan an-
Berarti melakukan pekerjaan
Contoh : malaga (berperang), mamuja (memuja), dll. Berarti berlaku seperti
Contoh : mangrare (seperti anak-anak), dll. e. Awalan pa-
Apabila awalan pa- melekat morfem dasar diawali fonem konsonan, maka awalan pa- tersebut melekat begitu saja pada morfem dasar. Contoh : papangguh (bertemu), patunjung (memakai tunjung), dst.
Apabila awalan pa- melekat pada morfem dasar yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : pànak (berputra), pebu (beribu), dll.
Arti Awalan pa-
Berarti suatu keadaan
Contoh : padosa (berdosa), papangguh (berpenglihatan), dll. Berarti memakai
Contoh : panatha (memakai raja), pawiku (memakai wiku), Berarti membagi menjadi
Contoh : parwa (membagi menjadi dua), pasewu (membagi menjadi seribu), dll. f. Awalan sa-
Apabila awalan sa- melekat morfem dasar diawali fonem konsonan, maka awalan sa- tersebut melekat begitu saja pada morfem dasar. Contoh : saràt (sedunia), salawas (selama), dst.
Apabila awalan sa- melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : sànak (satu keluarga), sojar (seluruh perkataan), dll.
Arti Awalan sa- Berarti seluruh
Contoh : saràt (sedunia), sànak (seluruh keluarga), dll. Berarti setelah
Contoh : sadatëng (setelah tiba), samangkana (setelah demikian), dll. Berarti satu
Contoh : somah (satu rumah), salampah (satu perjalanan), sajña (satu pikiran) dll. g. Awalan ka-
Apabila suatu morfem dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan ka-, maka awalan ka- tersebut melekat begitu saja pada morfem dasar. Contoh : katon (terlihat), karëngö (terdengar), dst.
Apabila awalan ka- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi.
Contoh : kengët (teringat), kàjar (diajar), dll. Arti Awalan ka-
Berarti dapat di-
Contoh : katëmu (dapat ditemui), kawalës (dapat dibalas), dll. Berarti tidak sengaja
Contoh : karëngö (terdengar), kapanah (terpanah), dll. h. Awalan maka-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan maka-, maka awalan maka- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : makastri, makasisya, makaphala dst.
Apabila awalan maka- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : makebu, makari, dll.
Arti Awalan maka-
Berarti memakai, sebagai, menganggap, menjadikan
Contoh : makastri (sebagai istri) makebu (sebagai ibu), makàri (sebagai adik), dll. i. Awalan pinaka-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan pinaka-, maka awalan pinaka- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : pinakabapa, pinaka sarana, dst.
Apabila awalan pinaka- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : pinakànak, pinakàdi, dll.
Arti Awalan pinaka-
Berarti memakai, sebagai, menganggap, menjadikan
j. Awalan nir-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan nir-, maka awalan nir- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : nirguóa, nirmala, nirbhaya, dst.
Apabila awalan nir- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, dan k, t, c, maka nir- tersebut berubah menjadi nis-. Contoh : niskala, niscaya, nistresna dll.
Arti Awalan nir-
Berarti tidak atau tanpa
Contoh : nirdon (tanpa tujuan), nirguóa (tidak ada guna), nirbhaya (tidak ada bahaya) dll. k. Awalan pari-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan pari-, maka awalan pari- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : paripuróa, paritusta, dst.
Apabila awalan pari- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : parìndik (segala peraturan), dll.
Arti Awalan pari-
Berarti sangat; sekitar
Contoh : paribhasa (sekitar bahasa) paripuróa (sangat sempurna), paribhoga (sekitar makanan), dll. l. Awalan pi-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan pi-, maka awalan pi- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : pitutur (hal nasehat), pituhu (hal kebenaran), dst.
Apabila awalan pi- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : pyambëk (hal tingkah laku), pyolas (hal belas kasihan) dll.
Arti Awalan pi- Berarti hal
Contoh : pidon (hal tujuan), pitutur (hal nasehat), pitresna (hal kasih sayang), dll. m. Awalan su-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan su-, maka awalan su- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : suputra (anak baik), surùpa (cantik), dst.
Apabila awalan su- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi.
Arti Awalan su- Berarti baik
Contoh : sujana (orang yang baik); suúìla (tingkah laku yang baik), sucarita (cerita yang baik), dll. n. Awalan ping-
Pembentukan :
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan ping-, maka awalan ping- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : pingrwa (dua kali), pingtiga (tiga kali), dst.
Arti Awalan ping-
Berarti ganda atau kali
Contoh : pingpitu (tujuh kali); pingnëm (enam kali), dll. o. Awalan màha-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan màha-, maka awalan màha- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : màhasakti (sangat sakti), màhadiya (sangat mulia). Apabila awalan màha- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : mahottama (sangat utama), dll.
Arti Awalan màha- Berarti sangat
Contoh : mahasakti (sangat sakti), màharàja (hal nasehat), pitresna (hal kasih sayang), dll. Berarti besar
p. Awalan swa-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan swa-, maka awalan swa- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : swakarma, mahöttama
Apabila awalan swà- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi.
Arti Awalan swa- Berarti sendiri
q. Awalan upa-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan upa-, maka awalan upaa- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : upabhoga, upajiwa, dst.
Apabila awalan upa- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi.
Arti Awalan upa- Berarti sekitar
Contoh : uparëngga (sekitar perhiasan), upalakûana (sekitar perbuatan), dll. r. Awalan ra-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan ra-, maka awalan ra- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : rakawi, dst.
Apabila awalan ra- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi.
Arti Awalan ra- Berarti terhormat
Contoh : rànak (anak terhormat), rena (ibu terhormat), dll. s. Awalan dur-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan m, g, b, mendapat awalan dur-, maka awalan dur- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : durmukha, dst.
Dur- akan berubah menjadi dus- apabila morfem dasarnya diawali oleh fonem s, k, û . Arti Awalan dur-
Berarti tidak baik atau jahat
Contoh : durúìla (tingkah laku jahat), durjana (orang jahat, dll. t. Awalan wi-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan wi-, maka awalan wi- tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : wijaya, dst.
Apabila awalan wi- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi. Contoh : wyagra, dst
Arti Awalan wi- Berarti sangat
Contoh : wipatha (sangat hancur), dll. 3.2.2. Sisipan
Infiks atau sisipan adalah imbuhan yang disisipkan di tengah kata dasar atau morfem pangkal. Yang termasuk sisipan dalam bahasa Kawi adalah : -in-, -um-, -er-, dan -el-. Di antara sisipan tersebut yang paling banyak digunakan dalam bahasa Kawi adalah sisipan -in- dan -um-. Untuk sisipan -er- dan -el- jarang sekali dipakai dalam tata bahasa Kawi..
a. Sisipan -in-
Sisipan -in- tidak mengalami perubahan bentuk pada saat disisipkan pada morfem dasar yang diawali dengan fonem konsonan. Bentuknya akan selalu tetap yaitu diletakkan diantara konsonan pertama dengan vokal yang mengikutinya. Contoh : kinon (dilihat), pinapah (dipapah).
Apabila morfem dasar diawali dengan fonem vokal mendapat infiks -in-, maka infiks tersebut diletakkan di muka kata dasar seolah-olah sebagai awalan. Bila kata dasarnya diawali dengan fonem h, maka fonem tersebut sering kali luluh. Contoh : iningët (diingat), inikët (diikat).
Arti infiks -in-
Berarti menunjukaan kata pasif atau sama dengan awalan di- atau ter- dalam bahasa Indonesia. Contoh : kinon (terlihat), wineh (diberi) dll.
b. Sisipan -um-
Sisipan -um- akan terletak di antara konsonan pertama dengan vokal berikutnya apabila melekat pada morfem dasar yang diawali dengan konsonan. Contoh : lumampah (berjalan), gumawe (mengerjakan) Apabila morfem dasar diawali dengan fonem vokal mendapat infiks -um-, maka infiks tersebut diletakkan di muka kata dasar seolah-olah sebagai awalan. Contoh : umëtu (muncul), umikët (mengikat).
Apabila sisipan -um- terletak morfem dasar yang diawali dengan fonem konsonan bilabial (p, b, m. w), maka infiks tersebut diletakkan di muka kata dasar dan huruf bilabial tersebut sering kali luluh. Contoh : umawa (membawa), umuat (membuat).
Arti infiks -um-
Berarti menunjukaan kata kerja aktif atau sama dengan awalan me- atau ber- dalam bahasa Indonesia. Contoh : sumilih (mengganti), tumiru (meniru), umingët (mengingat) dll.
3.2.3. Akhiran
Akhiran atau sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di akhir kata dasar. Yang termasuk akhirran dalam bahasa Kawi adalah akhiran : -a, -e, -an, -akën, -i, -ka, -man, -wan dan –wati.
a. Akhiran -a
Akhiran –a tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan. Contoh : wëruha (supaya tahu), hilanga (supaya hilang).
Bila akhiran -a melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal maka hukum sandhilah yang berlaku. Contoh : ratwa (supaya menjadi raja)
Bila akhiran -a melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal i, maka akhiran tersebut akan berubah menjadi -ana. Dalam hal ini ana termasuk alomorf dari akhiran -a. Contoh : gantyana (akan membunuh), yuktyana (akan membenarkan)
Arti Akhiran -a
Berarti suatu kejadian yang belum terjadi seperti supaya, agar, akan hendaknya, semoga Contoh : ratwa (akan menjadi raja), nulisa (supaya menulis), anginuma (agar minum). b. Akhiran -ën
Akhiran –ën tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan. Contoh : sahutën (supaya digigit), tulungën (supaya ditolong), tonën (supaya dilihat).
Bila akhiran -ën melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal, maka akhiran tersebut akan berubah menjadi alomorf -n. Contoh : rëngön (dengarlah), wawan (supaya di bawa)
Arti Akhiran -ën
Berarti menyatakan suatu perintah : harus di-, supaya dll Contoh : wehën (supaya diberi), tonën (supaya dilihat). c. Akhiran -an
Akhiran –an tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan. Contoh : wëkasan (akhirnya).
Bila akhiran -an terletak morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal i, maka akhiran tersebut akan berubah menjadi alomorf -n. Contoh : winursitan (dihormati), binojanan (diberi makan).
Bila akhiran -an melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan vokal, maka hukum sandhilah yang berlaku. Contoh : tunwan (bakarkan), tirwan (tirukan)
Arti Akhiran -an
Berarti suatu yang di-
Contoh : dinakûinan (diberi upah) Berarti mirip atau seperti
Contoh : panggungan (seperti arena) d. Akhiran -akën
Akhiran –akën tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan. Contoh : warahakën (beritahuan), alapakën (ambilkan).
Bila akhiran -akën melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan vokal, maka hukum sandhilah yang berlaku. Contoh : tirwakën (tirukan), maryakën (hentikan)
Dapat pula akhiran -akën berubah menjadi akhiran –akëna, bila digunakan untuk membuat kalimat perintah, yang belum nyata terjadi. Contoh : manggihakëna (akan mendapatkan).
Arti Akhiran -akën
Berarti menyatakan kalimat pasif, sering berarti supaya, akan. Contoh : wehakën (supaya diberikan)
e. Akhiran -i
Akhiran -i tidak berubah apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan. Contoh : susupi (masuklah), tinghali (lihatlah).
Bila akhiran -i melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal maka hukum sandhilah yang berlaku. Contoh : umare (mendatangi)
Bila akhiran -a melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal i, maka akhiran tersebut akan berubah menjadi -ani. Contoh : amatyani (membunuh).
Arti Akhiran -i
Berarti melakukan pekerjaan
Contoh : malare (menyakiti), tumangisi (menangisi) Berarti pasif
Contoh : tinghali (lihatlah). f. Akhiran -ka
Akhiran -ka tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan. Contoh : kanyaka (gadis-gadis), balaka (anak-anak)
Bila akhiran -ka melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal, maka akhiran tersebut tidak mengalami perubahan.
Arti Akhiran -ka Berarti banyak
Contoh : balaka (anak-anak). g. Akhiran -man
Selamanya bentuk akhiran -ka tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh vokal. Contoh : guóaman (berguna).
Arti Akhiran -ka
Berarti mempunyai atau mengandung Contoh : guóaman (mempunyai guna). h. Akhiran –wan
Bentuknya tidak mengalami perubahan ketika melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh vokal /a/. Contoh : dharmawan (mengandung kebenaran), himawan (mengandung salju).
Arti Akhiran -ka
Berarti mempunyai atau mengandung Contoh : guóawan (mempunyai guna). i. Akhiran -wati
Akhiran -wati biasanya dipakai untuk wanita. Ini biasanya melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh vokal /a/. Contoh : satyawati (mengandung kesetiaan), tirtawati (mengandung air).
3.2.4. Imbuhan Gabung
Imbuhan gabung adalah imbuhan yang merupakan gabungan antara dua buah imbuhan atau lebih, yang dibubuhkan pada morfem dasar tidak bersamaan. Imbuhan gabung dalam bahasa Kawi antara lain : (um + a), (um + akën), (in + akën), (in + an), (ma + akën).
a. Imbuhan Gabung um + a
Sama dengan bentuk sisipan -um- dan akhiran -a
Contoh : tumuruna (akan menurun), gumantya (akan mengganti) Arti :
Berarti melakukan suatu pekerjaan Contoh : gumantya (akan mengganti). b. Imbuhan Gabung um + akën
Sama dengan bentuk sisipan -um- dan akhiran -akën
Contoh : umalapakën (mengambilkan), gumawayakën (mengerjakan) Arti :
Berarti melakukan suatu pekerjaan atau tindakan
Contoh : tuminghalakën (melepaskan), umanahakën (memanahkan). c. Imbuhan Gabung in + akën
Sama dengan bentuk sisipan -in- dan akhiran -akën
Contoh : tininggalakën (ditinggalkan), ginawayakën (dikerjakan) Arti :
Berarti kata kerj a pasif
Contoh : inujarakën (dikatakan), pinanahakën (dipanahkan). d. Imbuhan Gabung in + an
Sama dengan bentuk sisipan -in- dan akhiran -an Contoh : winarahan (diajarkan), inujaran (dikatakan) Arti :
Berarti kata kerj a pasif
Contoh : inaranan (dinamai), rinasan (dirasakan). e. Imbuhan Gabung ma + akën
Sama dengan bentuk sisipan -ma- dan akhiran -akën
Contoh : mojarakën (mengatakan), macaritàkën (menceritakan) Arti :
Berarti melakukan suatu pekerjaan atau tindakan