• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Teknologi asistif merupakan alat yang dirancang atau dimodifikasi secara langsung untuk membantu meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penyandang cacat yang berkaitan dengan Activity Daily Living (ADL) juga berkaitan dengan pembelajaran (akademik). Alat ini sangat dibutuhkan pada tunanetra khususnya dalam hal mobilitas. Keterbatasan tunanetra dalam melakukan mobilitas dapat membuat tunanetra menarik diri dari kegiatan sosial atau pergaulan masyarakat. Ia menyadari bahwa dengan ikutnya dia dalam kegiatan akan merepotkan orang lain, karena orang lain harus membantunya. Bahkan yang lebih ekstrim lagi memungkinkan seorang tunanetra akan menarik diri dari pergaulan kemasyarakatan.

Seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan seorang tunanetra akan dipengaruhi oleh ketidakmampuan dan terbatasnya tunanetra melakukan mobilitas. Karena itu mobilitas merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar dan harus dimiliki oleh peserta didik tunanetra sebagai suatu keterampilan yang harus menyatu dalam diri tunanetra. Persoalannya sekarang bahwa keterampilan melakukan mobilitas tidak secara otomatis dikuasai tunanetra, tetapi melalui proses latihan yang sistimatis dan kesempatan melakukan gerak serta berpindah dilingkungan.

Dengan demikian diperlukan suatu usaha dari lingkungan untuk memberikan pelayanan yang mengarah kepada usaha untuk menghilangkan batas-batas yang menyebabkan keterbatasan pada tunanetra.

Mobilitas tunanetra tidak akan optimal bila tidak didukung oleh tubuh yang segar dan sehat. Pendidikan jasmani dan keterampilan Orientasi dan Mobilitas adalah dua hal yang berbeda tujuan, tetapi dalam kehidupan peserta didik tunanetra, kedua kegiatan dan

(2)

2

keterampilan tersebut tidsak dapat dipisahkan. Dengan kata lain pendidikan Jasmani bagi tunanetra merupakan salah satu kebutuhan.

Oleh karena itu penulis ingin merancang sebuah alat yang dinamakan “bat glasses” guna membantu tunanetra dalam orientasi dan mobilitas. Keberfungsian alat yakni bisa mengantisipasi tunanetra untuk menghindari benda yang dihadapannya dengan memberikan efek getar pada kacamata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, dapat dikemukakan permasalahan pokok yang menjadi dasar perumusan masalah studi kasus yaitu:

1. Bagaimana desain alat “bat glasses” yang dirancang guna membantu tunanetra melakukan orientasi dan mobilitas? 2. Bagaimana cara penggunaan alat “bat glasses” yang sudah

dirancang pada tunanetra?

3. Bagaimana perkembangan tunanetra dalam orientasi dan mobilitas setelah diberikan alat “bat glasses”?

C. Tujuan Penulisan

Sejalan dengan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian adalah untuk memperoleh hasil gambaran mengenai:

1. Memperoleh desain alat “bat glasses” yang dirancang guna membantu tunanetra melakukan orientasi dan mobilitas. 2. Mengetahui penggunaan alat “bat glasses” yang sudah

dirancang pada tunanetra.

3. Mengetahui perkembangan tunanetra dalam orientasi dan mobilitas setelah diberikan alat “bat glasses”.

(3)

3

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Dasar Tunanetra dan Kebutuhannya

Dilihat dari kacamata pendidikan dan rehabilitasi tunanetra adalah mereka yang penglihatannya terganggu sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.

Dilihat dari kemampuan penglihatannya, yang termasuk tunanetra adalah mereka:

a. Kelompok yang mempunyai acuity 20/70 feet (6/21 meter) artinya ia bisa melihat dari jarak 20 feet sedangkan peserta didik normal dari jarak 70 feet ini tergolong kurang lihat (Low Vision).

b. Kelompok yang hanya dapat membaca huruf E paling besar pada kartu snellen dari jarak 20 feet, sedang orang normal dapat membacanya dari jarak 200 feet (20/200 feet atau 6/60 meter, dan ini secara hukum sudah tergolong buta atau legally blind).

c. Kelompok yang sangat sedikitr kemampuan melihatnya sehingga ia hanya mengenal bentuk dan objek.

d. Kelompok yang hanya dapat menghitung jari dari berbagai jarak

e. Kelompok yang tidak dapat melihat tangan yang digerakan. f. Kelompok yang hanya mempunyai Light Projection (dapat melihat terang serta gelap dan dapat menunjuk sumber cahaya)

g. Kelompok yang hanya mempunyai persepsi cahaya (Light

Perception) yaitu hanya bisa melihat terang dan gelap.

h. Kelompok yang tidak mempunyai persepsi cahaya (No Light

(4)

4

i. Sebetulnya bagi kita sebagai guru peserta didik tunanetra yang lebih penting adalah sejauh mana peserta didik tunanetra itu dapat mempungsikan penglihatannya dalam proses belajar mengajar.

Definisi yang didasarkan pada ukuran ketajaman penglihatan tidak banyak berfungsi dalam proses pendidikan dan rehabilitasi, dan ini hanya berfungsi untuk kepentingan hukum. Untuk melihat bagaimana kemampuan tunanetra memfungsikan penglihatannya, kita bisa menggunakan data/catatan yang telah ada. Juga bisa melalui observasi langsung selama tunanetra melakukan aktivitas atau juga bisa menanyakan pada orang-orang terdekat, guru, orang tua, dan lainnya.

Adanya ketunanetraan pada peserta didik mempunyai akibat langsung maupun tidak langsung. Akibat langsung adalah akibat yang disebabkan oleh ketunanetraan sedangkan akibat tidak langsung adalah akibat yang disebabkan oleh lingkungan. Akibat yang tidak langsung ini lebih sulit diatasi daripada akibat langsung dari ketunanetraannya.

Sebagai adanya akibat langsung dantidak langsung ini menyebabkan adanya kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus tunanetra bisa ditinjau dari tiga aspek:

a. Fisiologis

Peserta didik tunanetra adalah akibat adanya perubahan secara fisiologis dari sebagian aspek dalam organisme. Dengan demikian peserta didik tunanetra mungkin membutuhkan perawatan dan pemeriksaan medis, pengobatan dan evaluasi medis secara umum. Sebagai kegiatan organisme diperlukan latihan gerak dan ekspresi tubuh.

b. Personal

Ketunanetraan merupakan pengalaman personal, orang diluar dirinya tidak akan merasakan tanpa ia mengalaminya. Meskipun sama-sama mengalami tunanetra, belum tentu sama

(5)

5

apa yang dirasakannya. Individu yang mengalami ketunanetraan tidak hanya terganggu dan terhambat mobilitasnya tetapi ia juga akan terganggu keberadaannya sebagai individu.

Akibat dari ketunanetraan sebagai pengalaman personal, maka efek psikologisnya yang ditimbulkan banyak tergantung pada kapan terjadinya ketunanetraan dan bagimana kwalitas serta karakteristik susunan kejiwaannya. Akibat ketunanetraan sebagai pengalaman personal, maka timbul beberapa kebutuhan yang bersifat personal pula. Kebutuhan tersebut antara lain adalah latihan keterampilan Orientasi dan Mobilitas, keterampilan komunikasi berupa minat untuk berinteraksi dengan lingkungan terutama dalam hal mengolah dan menerima informasi dari lingkungan, keterampilan Sosial yang didalamnya ada keterampilan aktivitas kehidupan sehari-hari dan menolong diri sendiri. Pendidikan dan bimbingan penyuluhan juga merupakan kebutuhan personal secara khusus. Dalam kurikulum tahun 2013 pembelajaran tersebut masuk ke dalam program kekhususan Pengembangan Orientasi Mobilitas, Sosial, dan Komunikasi (OMSK).

c. Sosial

Ketunanetraan merupakan fenomena sosial. Apabila ketunanetraan terjadi dalam suatu kelompok masyarakat, maka struktur masyarakat akan mengalami perubahan. Keluarga merupakan unit terkecil dalam kelompok masyarakat. Apabila ketunanetraan terjadi dan muncul dalam suatu keluarga, maka tidak mungkin susunan keluarga kembali seperti sebelumnya. Keluarga akan mengadakan perubahan dan penyesuaian baik secara total maupun sebagian

Perubahan dan penyesuaian yang terjadi mungkin berakibat baik dan menyenangkan bagi semua anggota keluarga. Mungkin pula berakibat buruk terhadap hubungan dan interaksi antar anggota keluarga. Kurang baiknya hubungan

(6)

6

dan interaksi keluarga karena adanya seorang tunanetra di tengah keluarga, dapat terjadi antara anggota keluarga yang awas maupun antara anggota keluarga yang awas dengan yang mengalami tunanetra.

B. Hakikat Teknologi Asistif

Teknologi didefinisikan sebagai alat yang menggunakan prinsip atau proses penemuan saintifikasi yang baru ditemukan. Sedangkan adaptif, secara etimologi diartikan sebagai organisme mengatasi tekanan lingkungan untuk bertahan, berkaitan dengan aspek manusia dalam perencanaan produk teknologi adaptif berkaitan dengan Ergonomi yaitu aktivitas penelitian mengenai kemampuan keterbatasan manusia baik secara fisik maupun mental dan interaksinya dalam sistem manusia mesin alat yang integral. Penyandang cacat dalam melakukan aktivitas motor, sosial, edukasi dan budaya tidak terlepas dari barrier dalam melakukan mobilitasnya.

Memberikan pendidikan berkualitas kepada siswa di zaman informasi ini menuntut guru untuk senantiasa mengikuti perkembangan teknologi. Sangat penting bagi para guru untuk memiliki keterampilan teknologi yang dibutuhkan agar dapat memanfaatkan kekuatan komputer dan teknologi yang terkait dengannya untuk pengajaran yang efektif. Teknologi dalam bentuk komputer, jaringan informasi, dan multimedia akan memberikan akses kepada setiap orang di masyarakat untuk belajar.

Menurut Technology-Related Assistance for Persons with

Disabilities Act (1988) Amerika Serikat. "..assisstive technology devices..are any item, place of equepment or product system, whether acquired commercially of the shelf modified, or customized, that is used to increse, maintain, or improve functional capabilities of individuals with disabilities."

Sementara itu Wobschall dan Lakin at.al (McBroyer, 2002) mendefinisikan "..assistive technology is just a subset of tools used by

(7)

7

human being, providing in ways and places that are needed by relatively few people with significant impairment in `normal' physical, sensory, or cognitive abilities." Dengan demikian Assistive technology

pada hakikatnya adalah segala macam benda atau alat yang dengan cara dimodifikasi atau langsung digunakan untuk meningkatkan atau merawat kemampuan penyandang cacat (disabled person).

C. Pengembangan Teknologi Asistif

Teknologi adaptif, disadari sangat spesifik dan bersifat kasuistik, karena didasarkan berdasarkan hasil needs assesment. Namun, walaupun begitu kasus-kasus spesifik juga dapat ditarik secara generalis pada kasus-kasus sejenis dan berdekatan, sehingga walaupun ada adaptasi imtil seri komersial, tapi perubahannya tidak terlalu banyak. Karena prioritas tetap pada nilai kemaslahatan. Dalam rangka menciptakan produk-produk inovatif dan kreatif serta memberdayakan diri melalui identifikasi, menggali dan memanfaatkan potensi dan sumber yang ada, maka peningkatan kualitas pembelajaran dan kreativitas mahasiswa yang mengikuti perkuliahan teknologi adaptif serta dalam rangka mengembangkan jaringan kerjasama produksi, meningkatkan kualitas produk teknologi adaptif sehingga bernilai komersial, sangat penting dilakukan. Apalagi Produk hasil kajian mahasiswa tiap tahun terus tercipta dan cukup inovatif sehinga telah mendukung keunggulan Laboratorium Jurusan PLB dan menunjang perkembangannya sebagai Pusat Pengembangan Potensi Anak, yang memberi pelayanan terapi akademis pada masyarakat.

Teknologi Adaptif juga sangat menunjang, karena ternyata mendapat respon positif dari orang tua dan SLB. Beberapa produk telah memiliki nilai komersial tinggi, sehinga Sekolah berani memproduksi karena ada pesanan orang tua siswa. Selama ini produk yang ada di pasaran baik itu teknologi adaptif berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari hari, termasuk yang berkaitan khusus dengan pembelajaran belum sesuai dengan kebutuhan anak

(8)

8

dan harganya mahal sehingga tidak terjangkau. Produk teknologi juga tidak sesuai dengan kebutuhan kompensatoris dan baru bersifat terapeutik yang kebanyakan tidak diperuntukan bagi penyandang cacat.

Jenis produk teknologi adaptif ini dapat dikelompokan kedalam dua jenis alat yaitu; teknologi adaptif yang berkaitan dengan ADL dan teknologi adaptif yang berkaitan dengan pembelajaran (akademik). Selanjutnya kedua jenis produk ini diuraikan sebagai berikut:

1. Teknologi adaptif yang berkaitan dengan kepentingan aktivitas kehidupan sehari-hari

Teknologi adaptif ini dikembangkan berdasarkan kompensatoris siswa penyandanga cacat.. Didasarkan atas kebutuhan siswa dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari dari mulai berjalan, makan, mandi, kegiatan di kamar mandi, BAAB/BAAK, dan sebagainya. Alat ini bisa dikembangkan dari alat teknologi yang sudah ada atau belum ada sama sekali. Produk kajian ini kemudian diuji cobakan efektivitasnya sehingga betul-betul sesuai dengan kebutuhan kasus/anak. Beberapa contoh alat/teknologi adaptif ADL hasil mahasiswa PLB yang ngontrak MK.Teknologi adaptif (2007) adalah; Board Parcice Walk, Kusi untuk BAB, nampan berlubang, penahan lutut, Non Slip Tray Set, Egips, Tongkat beroda, papan keseimbangan, Vesti Buler Board, Kursi terapi, Jemari sensoris, sepatu keseimbangan, tongkat penyeberangan, Standing Up-Support, dan sebagainya.

2. Teknologi adaptif ini dikembangkan berdasarkan kepentingan aktivitas akademik

Teknologi adaptif ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan siswa penyandang cacat sesuai dengan kompensatoris yang dimilikinya dalam berbagai aktivitas akademik di sekolah. Beberapa contoh produksi mahasiswa

(9)

9

yang mengikuti perkuliahan teknologi Adaptif (2007) yang berkaitan dengan kegiatan akademik adalah Box Pen, Reglet Low Vision, Kursi Belajar, Alas Buku, Meja Miring, Sabuk untuk Menulis, Alat Penyangga Pensil, Meja Kursi Tunadaksa, Papan Meja Pangku, Kursi Multi Guna, Mejakursi Bina Diri, Lampu Artikulasi, Kursi Disiplin dan sebagainya.

Proses produksi melibatkan mitra profesional secara keseluruhan diharapkan menghasilkan produk teknologi berstandard komersial. Mengingat konsep teknologi adaptif relative baru , maka hakikat teknologi adaptif, konsep dan prinsip-prinsipnya perlu dikaji secara mendalam.. Kajian perncanaan produk tidak terlepas dari ergonomic yakni aktivitas penelitian mengenai kemampuan dan keterbatasan manusia baik secara fisik maupun mental dan interaksinya dalam system manusia mesin alatsecara integral.Dimaklumi penyandang cacat dalam melakukan aktivitasnya tidak terlepas dari barrier dalam melakukan mobilitasnya maka potensi pasarnya cukup terbuka. Meskipun demikian kemaslahatan seyogyanya tepat menjadi prioritas dalam mengembangkan teknologi adaptif, sehingga nilai filosofis rancang bangun dan fungsi utamanya merupakan kunci utamanya. Dengan demikian produksi masal tidak sekedar untuk memenuhi pasar tapi lebih dari itu memiliki misi memenuhi kebutuhan kompensatoris, sehingga produksinya diproses melalui kajian terus menerus .

(10)

10

BAB III

DESAIN ALAT

A. Profil Alat

Nama alat yang dirancang bernama “Bat Glasses”.

Alat ini merupakan kotak berukuran 7x2 cm yang berisi rangkaian dari baterai, sensor jarak, saklar dan vibrator, yang di padukan dengan kacamata. Terdapat jepitan pada kotak tersebut guna untuk dipasangkan pada kacamata. Jika tombol power dinyalakan, maka otomatis sensor jarak dan vibrator akan berfungsi untuk mendeteksi benda yang dihadapannya dengan jarak yang disesuaikan.

B. Tujuan

Tujuan dibuatnya alat ini adalah untuk memudahkan pengguna khususnya tunanetra dalam orientasi dan mobilitas guna mengantisipasi terjadi nya benturan terhadap objek yang dihadapannya dengan memberikan efek getar pada kacamata. Jarak sensor nya bisa disesuaikan tergantung keinginan tunanetra, sehingga alat ini cukup efektif dan efisien dalam penggunannya. Dilengkapi tombol on/off, jadi ketika sedang tidak dipakai bisa dimatikan guna menghemat baterai.

(11)

11

C. Material

Material inti yang digunakan untuk membuat alat ini adalah sebagai berikut:  Sensor inframerah  Bateri lipo (mp3)  Motor vibrator  Saklar  Kabel  Kacamata

Adapun material pelengkap:

 Penggaris  Mika  Solder  Timah  Lem Tembak  Jepitan  Pilok  Charger

D. Cara Membuat Alat

Adapun cara membuat alat ini sebagai berikut:

1.

Buatlah rangkaian seperti gambar berikut

2.

Dalam menyambungkan setiap kabelnya, mengunakan solder dan timah.

(12)

12

3.

Kemudian letakan rangkaian tersebut pada alas (penggaris) yang sudah diukur (7 cm), lalu lem menggunakan lem tembak.

4.

Jangan lupa sambungkan dengan saklar untuk bisa memakai tombol power, tempelkan diatas baterai menggunakan lem tembak. Sambungkan kabelnya ke baterai dan sensor jarak.

5.

Setelah rangkaian beres, tutupi dengan mika untuk membentuk kotak menggunakan lem.

6.

Jangan lupa diberi lubang pada bagian:

a. belakang, untuk mengatur jarak pada sensor b. samping, untuk charger dan tombol power

7.

Pasang penjepit menggunakan lem tembak.

8.

Berilah warna agar terlihat menarik menggunakan pilok.

9.

Alat siap digunakan!

E. Cara Pengoperasian Alat

Cara mengoperasikan alat ini cukup sederhana, pengguna cukup memasangkan pada kacamata dengan mencapit gagang kacamata disebelah kiri. Kemudian nyalakan tombol power on untuk memulai mendeteksi benda/sesuatu yang dihadapannya. Pengguna akan merasakan getaran pada kacamata ketika sensor mendeteksi sesuatu yang dihadapannya. Jika setelah selesai digunakan, dapat dimatikan kembali dengan menekan tombol off.

(13)

13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil

Nama : Yeremias Kasimirus Daranua TTL : Flores (NTT), 4 Maret 1996 Alamat : Cilimus rt 07/rw 06 Kota Bandung

Status : Mahasiswa UPI Jurusan Seni Musik

Agama : Kristen Khatolik

Hobi : Bermain Musik dan Bermain Bola

Riwayat Sekolah:

 TK Flores Manggarai

 SDLB Flores Manggarai

 SMPLB Flores Manggarai (Inklusi)

 SMALB Flores Manggarai (Inklusi)

B. Riwayat Ketunanetraan

Ketika berusia 6 tahun, Remi (nama panggilan) mengalamai sebuah insiden yang menyebabkan mata nya menjadi terganggu. Mata Remi terkena kayu yang panas ketika hendak memasak. Setelah diperiksakan ke dokter, mata Remi sudah tidak berfungsi lagi. Jenis ketunanetraan Remi yakni Totally Blind.

C. Hasil Uji Coba Alat

Alat diujikan kepada Remi seminggu setelah alat dirancang dan siap digunakan. Uji coba dilakukan 2 kali. Pada saat uji coba yang pertama, kelompok melaksanakan uji coba di sebuah ruangan tertutup. Kelompok menjelaskan terlebih dahulu kegunaan alat dan

(14)

14

bagaimana cara menggunakan alat tersebut. Setelah diberi pemahaman, barulah Remi mencoba mengimplementasikan alat tersebut.

Remi mengikuti intruksi sesuai apa yang telah dijelaskan kelompok. Setelah itu Remi melakukan orientasi dan mobilitas menggunakan alat. Kelompok sengaja menghalangi Remi didepan, guna menguji alat untuk segera mendeteksi dan memberikan efek getar pada kacamata yang dipakau Remi.

Percobaan kedua dilakukan diluar ruangan guna menguji kemampuan sensor inframerah dalam mendeteksi benda/sesuatu, apakah ada pengaruh dari cahaya matahari yang bisa mengganggu sensor dalam mendeteksi. Alhasil, tidak ada pengaruh apapun dari cahaya matahari, sensor tetap bisa mendeteksi benda.

Dari hasil uji coba alat, pengguna yakni Remi memberikan pendapat setelah menggunakan alat tersebut. Remi mengatakan “kalau dari saya, saya sendiri baru melihat alat seperti ini, alat ini sangat terbantu sekali untuk mendeteksi benda-benda yang menghalangi ketika kita berjalan, lebih khusus digunakan bagi yang

totally blind seperti saya, lebih tepat digunakan dirumah atau di

asrama, karena seringkali saya sulit mencari benda yang disimpan dirumah semisal buku, piring dan lain-lain. Saya merasa cukup nyaman menggunakan alat ini, karena bentuk nya yang kecil, jadi praktis bisa dibawa kemana-mana. Dilengkapi pula tombol power, jadi saya bisa menggunakan alat ini sesuai kebutuhan. Jadi sekali lagi, alat ini sangat membantu.”

(15)

15

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa alat “bat glasses” ini merupakan bagian dari teknologi asistif yang berfungsi untuk memudahkan pengguna khususnya tunanetra dalam orientasi dan mobilitas guna mengantisipasi terjadi nya benturan terhadap objek yang dihadapannya dengan memberikan efek getar pada kacamata. Alat ini setelah dilakukan ujicoba kepada Remi selaku tunanetra totally blind, memberikan dampak yang positif. Inti dari setelah melakukan testimoni kepada Remi yakni alat ini sangat membantu guna mendeteksi benda-benda yang menghalanginya.

B. Saran

Berdasarkan hasil testimoni dengan Remi, saran dari beliau adalah sebaiknya alat ini diperbaiki kembali agar tidak terjadi konslet pada baterai atau sambungan kabelnya. Juga alat kalau bisa diperbanyak lagi dan disosialisasikan kepada yang lain agar bisa digunakan untuk tunanetra yang membutuhkan alat ini.

(16)

16

DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, Ahmad. (2016). NASKAH SPM SLB TUNANETRA 2016 (Revisi). Tersedia. [21 Desember 2016].

Sugiarmin, Mohammad. (2013). Pengembangan Teknologi Asistif. [Online]. Tersedia:

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19

5405271987031-MOHAMAD_SUGIARMIN/PENGEMBANGAN_TEKNOLOGI_ASISTI F.pdf. [21 Desember 2016].

Suherman, Yuyus (2013). Pengembangan Teknologi Adaptif. [Online]. Tersedia:

https://jofipasi.wordpress.com/2013/01/23/pengembangan- teknologi-adaptif-bagi-penyandang-cacat-melalui-jejaring-kemitraan/.html. [21 Desember 2016]

(17)

17

BIODATA PENULIS

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KHUSUS 2014 A FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Abdul Gofur (1400426)

Filemon Septianus (1404412)

Heri Hermawan (1407242)

Imron Faturohman (1404348)

Syahril Hudori (1403869)

(18)

18

(19)

Referensi

Dokumen terkait

20 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yakni dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan

Konsep Pieper tentang manusia dan masyarakat, sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini, menjadi perspektif penulis untuk mengemukakan konsep tentang persahabatan yang disimpulkan

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

Grafik hubungan antara tegangan dan regangan pada berbagai arus pengelasan dengan menggunakan kampuh V dapat dilhat pada gambar Dari grafik terlihat bahwa

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Berdasarkan pengamatan kemampuan berbahasa siswa pada siklus 1 telah mengalami peningkatan dari pratindakan walaupun belum mencapai persentase KKM yang telah ditentukan.

Perbedaan hasil peningkatan literasi sains yang besar antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan nilai Cohen (d) yaitu 1,6 ( large) dan mengindikasikan