• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan strategi yang dilakukan Cina untuk menangani separatisme di wilayah Xinjiang, khususnya pada masa pemerintahan Hu Jintao. Fenomena ini menarik karena pada saat yang sama, Beijing terus berupaya untuk mengembangkan kemitraan strategis dalam kerangka Shanghai Cooperation Organisation (SCO), khususnya dalam hal keamanan. Di samping itu, pada masa pemerintahan Hu Jintao juga terjadi kerusuhan di Xinjiang yang merupakan kerusuhan terbesar yang pernah ada di Cina.

Kebangkitan Cina sebagai aktor penting dalam percaturan politik internasional telah menjadi suatu fenomena yang menjadi perhatian dunia. Selain itu, Cina saat ini telah menjadi negara yang mengonsumsi energi terbesar dan menjadi kekuatan ekonomi kedua di dunia. Bahkan Cina diramalkan mampu menggeser posisi Amerika Serikat dalam beberapa tahun ke depan. Pertumbuhan ekonomi Cina ini dikarenakan Cina telah menjadi negara manufaktur dan pusat utama dari jaringan perdagangan yang memproduksi berbagai macam barang yang diekspor ke negara-negara berkembang. Cina juga telah muncul sebagai salah satu negara terbesar dalam hal produksi baja, semen, kapal-kapal, peralatan elektronik, dan tekstil.1

Walaupun mempunyai perkembangan ekonomi yang sangat pesat, namun Cina juga menghadapi gejolak politik di ranah domestik. Gejolak tersebut di antaranya terjadi di wilayah Xinjiang, tempat di mana populasi Muslim terbesar di Cina berada. Mayoritas penduduk Xinjiang adalah etnis Uyghur yang beragama Islam, dengan etnis Han sebagai mayoritas penduduk terbesar kedua. Wilayah Xinjiang adalah tempat kelompok separatis Uyghur yang menolak otoritas Cina dan menginginkan kemerdekaan, untuk kemudian mendirikan negara baru bernama Turkistan Timur.2 Usaha pendirian Turkistan Timur oleh kelompok separatis Uyghur menciptakan tensi politik tidak hanya antara kelompok separatis dan pemerintah Cina, namun juga antara etnis Uyghur dan Han. Separatis Uyghur

1 R.G. Sutter, China’s Rise in Asia-Promises, Prospects and Implications for the United States, Asia-Pacific

Center for Security Studies, February 2005, p. 2, <http://apcss.org/Publications/Ocasional%20Papers/ OPChinasRise.pdf>, diakses pada 9 Oktober 2015.

2 M.D. Haas & F.P.V.D. Putten, The Shanghai Cooperation Organisation, Netherlands Institute of

International Relations Clingendae, The Hague, p. 32, <http://www.clingendael.nl/sites/default/files/ 20071100_cscp_security_paper_3.pdf>, diakses pada 9 Oktober 2015.

(2)

menganggap wilayah tersebut mempunyai perbedaan budaya dengan Cina; Xinjiang adalah wilayah yang dianggap diokupasi oleh pemerintah Cina pada tahun 1949. Namun, pemerintah Cina mengklaim Xinjiang telah menjadi bagian dari Cina sejak dulu. Kelompok separatis Uyghur adalah Muslim yang merasa identitas mereka justru lebih dekat dengan etnis Turki di negara-negara Asia Tengah. Selain perbedaan budaya, agama juga menjadi alasan munculnya gerakan separatis di Xinjiang.3

Gejolak politik di Xinjiang menjadi hal yang dapat berakibat buruk kepada Cina, sebab Xinjiang yang berbatasan langsung dengan negara-negara di Asia Tengah. Wilayah ini berjarak sekitar 1.700 km dengan Kazakhstan, 1.000 km dengan Kyrgyzstan, dan sekitar 450 km dengan Tajikistan.4 Cina mendapatkan pasar dan suplai bahan mentah dari negara-negara Asia Tengah yang kaya akan sumber daya alam, yang kemudian menjadi sumber pemasukan bagi negara-negara tersebut yang sedang bergiat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Lancarnya arus barang juga merupakan pendukung utama kelancaran perdagangan antara Cina dan Asia Tengah, khususnya melalui Kazakhstan yang memiliki kondisi geografis yang baik dan pengembangan jaringan rel dengan Cina, yang kelak akan menghubungkan negara Asia Tengah lainnya dan Rusia. Di samping Kazakhstan, arus barang Cina ke Asia Tengah dapat melewati Kyrgyzstan melalui tiga rute. Satu rute menghubungkan Kashgar di Xinjiang dengan bagian utara Kyrgyzstan melalui Naryn, rute kedua menghubungkan Cina melalui Sary Tash dengan daerah di bagian selatan, kemudian ke Lembah Fergana dan Uzbekistan, dan rute ketiga dapat melewati wilayah Badakhshan (Gorno-Badakhshan Autonomous Oblast, GBAO) ke daerah pusat Tajikistan, yang cenderung agak sulit dilewati ketika musim dingin.5 Bila melihat ketiga rute tersebut, wilayah Cina yang sangat potensial sebagai jembatan antara Cina dan negara Asia Tengah adalah Xinjiang.

Sebagai jalur yang menghubungkan Cina dengan Asia Tengah. Xinjiang menjadi wilayah yang sangat strategis. Ia bukan hanya menjadi gerbang bagi arus perdagangan Cina, namun juga pasokan energi bagi Cina. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Cina dan Asia Tengah di bidang energi dan transportasi terkait pipa gas sepanjang 1.100 mil, yang akan mengalirkan gas dari Turki hingga ke Cina melalui Uzbekistan dan

3 E.V.W. Davis, ‘Uyghur Muslim Separatism in Xinjiang China,’ Asian Affairs: An American Review, vol.

35, no. 1, 2008, p. 17.

4 R. Castets, ‘The Uyghurs in Xinjiang-The Malaise Grows,’ China Perspectives, no. 49, September-October

2003, p. 2.

5 S. Ibraimov, ‘China-Central Asia Trade Relations: Economic and Social Patterns,’ China and Eurasia

(3)

Kazakhstan. Cina juga melakukan kerja sama membangun instalasi pipa dengan Kazakhstan untuk mengalirkan 14 juta ton minyak setiap tahunnya melalui Xinjiang.6

Mempertahankan Xinjiang dari isu disintegrasi juga penting bagi kepentingan nasional Cina. Inti dari kepentingan nasional Cina adalah mempertahankan rezim yang tengah berlangsung dengan cara mempertahankan legitimasi politik. Sangat penting bagi penguasa Cina untuk mempertahankan legitimasi politiknya dengan melindungi integritas teritorial dan kedaulatan nasional.7 Isu separatisme di Xinjiang akan mengancam

kepentingan Cina dalam mempertahankan integritas teritorialnya. Untuk itu, Cina telah berusaha menciptakan keamanan yang stabil di wilayah Xinjiang dengan berbagai macam cara, termasuk melalui SCO. Organisasi ini bermula dari Shanghai Five yang didirikan pada tahun 1996 sebagai kerja sama keamanan antara Cina, Rusia, Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Tajikistan. Shanghai Five bertujuan untuk memperkuat batas-batas wilayah dan mengusahakan kesepakatan untuk perlucutan senjata, mempromosikan kestabilan dan perdamaian regional, dan memperkuat kerja sama ekonomi.8 Kemudian, dengan bergabungnya Uzbekistan pada tahun 2001, Shanghai Five bertransformasi menjadi SCO. Melalui SCO, Cina juga memperkenalkan prinsip dalam kerja sama keamanan antaranggota, yaitu melawan tiga iblis (three evils): teroris, separatisme, dan ekstrimis agama.9 Prinsip tersebut secara tidak langsung berkaitan dengan gerakan separatis di wilayah Xinjiang.

Pada tahun 2009, terjadi kerusuhan yang dipicu oleh pertikaian antara etnis Uyghur dan etnis Han. Kerusuhan tersebut menjadi kerusahan antaretnis di Cina dengan korban meninggal terbanyak. Pemicu dari kerusuhan ini adalah faktor ekonomi dan rasa tertekan yang dialami etnis Uyghur akibat stereotype antiterorisme. Konflik diawali oleh isu pemerkosaan yang dilakukan etnis Uyghur kepada perempuan etnis Han yang terjadi di Shaoguan. Insiden ini akhirnya berbuntut panjang menjadi pertikaian antara etnis Uyghur

6 V. Frederenko, ‘The New Silk Road Initiative in Central Asia,’ Rethink Paper, Rethink Institute,

Washington, D.C., August 2013, p. 13,

<http://www.rethinkinstitute.org/wp-content/uploads/2013/11/Fedorenko-The-New-Silk-Road.pdf>, diakses pada 9 Oktober 2015.

7 Haas & Putten, p. 4.

8 Z. Sun, ‘The Relationship between China and Central Asia,’ Eager Eyes Fixed on Eurasia, Slavic Research

Center, 2007, p. 55, <https://src-h.slav.hokudai.ac.jp/coe21/publish/no16_1_ses/03_zhuangzhi.pdf>, diakses pada 9 Oktober 2015.

9 ‘Eurasia: Uphold Human Rights in Combating Terrorism,’ Human Rights Watch (daring), 14 June 2006,

<https://www.hrw.org/news/2006/06/14/eurasia-uphold-human-rights-combating-terrorism>, diakses pada 20 Oktober 2015.

(4)

dan etnis Han.10 Pada tanggal 5 Juli 2009, sekitar seribu orang Uyghur melakukan protes di Urumqi. Kerusuhan pecah saat aksi protes berlangsung; aksi protes berubah menjadi aksi penyerangan kepada etnis Han yang mengakibatkan 197 orang meninggal.11 Kerusuhan ini juga memicu semakin besarnya keinginan kelompok separatis Uyghur untuk memerdekakan diri dari Cina sehingga menarik perhatian yang sangat serius dari Beijing. Kerusuhan tahun 2009 membuat Cina mengambil langkah penting dalam menangani isu keamanan di wilayah Xinjiang. Salah satu solusi yang diberikan oleh pemerintahan Hu Jintao adalah mempercepat pembangunan di Xinjiang.12

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa mempertahankan wilayah Xinjiang dan menekan gerakan separatis yang berlangsung di wilayah tersebut tidak hanya menjadi kepentingan Cina dalam mempertahankan integritasnya sebagai sebuah negara, namun juga untuk menjaga pertumbuhan ekonomi serta pasokan energi Cina. Pemerintah Cina tidak hanya menggunakan otoritasnya, namun juga menggunakan kerja sama internasional SCO untuk menangani separatisme di Xinjiang. SCO menjadi bagian penting karena sejalan dengan prinsip “dunia harmonis” pada masa Hu yang menekankan pentingnya multilateralisme dalam menyelesaikan suatu isu. Melalui prinsip melawan “tiga iblis,” SCO menjadi kerja sama yang relevan bagi Cina untuk menstabilkan keamanan Xinjiang. Di sinilah arti penting mengkaji strategi Cina dalam menangani separatisme di wilayah Xinjiang, khususnya di masa Hu Jintao.

1.2 Pertanyaan penelitian

Bagaimana strategi Cina untuk menangani separatisme di wilayah Xinjiang melalui kerja sama SCO pada masa pemerintahan Hu Jintao?

10 A. Godbole & A.S. Goud, ‘China’s Xinjiang Problem: The 2009 Riots and its Aftermath,’ Institute for

Defence and Anlysis (IDSA) Issue Brief, 20 April 2012, p. 6, <http://idsa.in/system/files/IB_Xinjiang.pdf>, diakses pada 20 Oktober 2015.

11 Yan Hao, Geng Ruibin & Ye Yuan, ‘Xinjiang Riot Hits Regional Anti Terror Nerve,’ Xinhua (daring), 18

July 2009, <http://news.xinhuanet.com/english/2009-07/18/content_11727782.htm>, diakses pada 21 Oktober 2015.

12 “The fundamental way to resolve the Xinjiang problem is to expedite development in Xinjiang,” dikutip

dalam kunjungan Hu Jintao di Xinjiang pada tahun 2009. Lihat M. Tukmadiyeva, ‘Xinjiang in China’s Foreign Policy toward Central Asia,’ The Quarterly Journal, vol. 12, no. 3, Summer 2013, p. 95.

(5)

1.3 Reviu literatur

Penelitian ini akan berfokus pada strategi Cina untuk menangani separatisme di wilayah Xinjiang melalui SCO. Hal ini menjadi penting, sebab menjaga integritas wilayah merupakan hal yang utama bagi semua negara, termasuk Cina. Berkenaan dengan itu, telah banyak literatur yang ditulis oleh para ahli dengan tiga fokus: strategi Cina menggunakan forum multilateral, SCO sebagai suatu kerja sama keamanan regional, dan gejolak di wilayah Xinjiang.

a. Strategi Cina menggunakan forum multilateral

Dalam hubungan internasional, Cina tak jarang memanfaatkan multilateralisme sebagai strategi mencapai kepentingannya. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Anna Samson dalam tulisannya ‘A ‘Friendly Elephant’ in the Room? The Strategic Foundations of China’s Multilateral Engagement in Asia.’ Menurut Samson, strategi multilateralisme Cina hadir karena organisasi multilateral memberikan mekanisme dengan efektifitas yang tinggi bagi Cina untuk mencapai kepentingannya. Di samping itu, Cina biasanya meggunakan jalan multilateral ketika mengalami kesulitan bertindak secara unilateral ataupun bilateral. Banyak lembaga mulitilateral yang diikuti oleh Cina.

Untuk melihat strategi Cina, Samson memberi contoh kasus Six Party Talks (6PT). Dimulai pada tahun 2003, 6PT yang beranggotakan Cina, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, dan Rusia, dimaksudkan untuk mengatasi keprihatinan internasional mengenai potensi pengembangan kemampuan senjata nuklir oleh Korea Utara. Selain terlibat aktif, Cina merupakan salah satu negara kunci yang mendorong terbentuknya 6PT. Dalam mekanisme ini, Cina gencar menjadi penyelenggara dalam putaran-putaran negosiasi dan menjadi pendamai di antara peserta. Meskipun partisipasi Cina dalam 6PT sebagai bentuk konsistensi posisi Cina terkait dengan non-proliferasi nuklir, namun hal ini bukanlah alasan fundamental Cina untuk mendukung 6PT. Cina memperoleh instrumen untuk mencapai kepentingan stabilitas regional: 6PT memberikan Cina suatu peluang untuk menjaga stabilitas regional dengan meningkatkan prediktabilitas rezim Korea Utara dan mencegah Amerika Serikat untuk bertindak unilateral, dengan di saat yang sama Cina dapat tetap menjaga hubungan baik dengan Korea Utara dan Amerika Serikat. Untuk mencapai hal tersebut, Cina melakukan diplomasi di belakang layar di 6PT sehingga dapat

(6)

meyakinkan Korea Utara bahwa datang untuk bernegosiasi sudah dapat dianggap sebagai suatu kesuksesan.13

b. SCO sebagai suatu kerja sama keamanan regional

Dalam melihat SCO sebagai suatu kerja sama kawasan, penulis mereviu artikel yang ditulis oleh Kuralai Baizakova dan Marc Lanteigne. Tulisan Baizakova yang berjudul ‘The Shanghai Cooperation Organization’s Role in Countering Threats and Challenges to Central Asian Regional Security’ membahas transformasi Shanghai Five menjadi SCO yang ditandai dengan bergabungnya Uzbekistan. Transformasi ini mendorong SCO untuk memperdalam kerja samanya. Memastikan dan memperkuat keamanan militer dari anggota merupakan tugas penting SCO, namun bukanlah hal yang utama. Menurut Baizakova, tugas utama SCO adalah memupuk rasa saling percaya antaranggota serta pentingnya melakukan tindakan nyata dalam melawan ancaman baru, seperti terorisme.

Baizakova juga mengungkapkan bahwa SCO bukanlah aliansi militer ataupun kesatuan politik dari negara-negara, melainkan suatu struktur kerja sama keamanan regional yang fleksibel. Adanya ancaman eksternal terorisme dan ekstremisme serta tantangan terhadap stabilitas dan keamanan negara di kawasan Asia Tengah mendorong negara-negara anggota SCO untuk menjalin hubungan yang lebih erat. Baizakova melihat bahwa SCO memegang peran penting dalam hal keamanan dan resolusi konflik di kawasan, sebab tidak ada organisasi lain untuk menangani masalah keamanan di Asia Tengah. Di samping itu, keterlibatan Cina dan Rusia dalam organisasi kawasan ini memberikan rasa aman bagi negara-negara di Asia Tengah, karena SCO dapat digunakan sebagai wadah konsultasi, sinkronisasi, dan pemantauan kebijakan dari dua negara besar tersebut.14

Sementara itu, dalam artikel yang berjudul ‘In Media Res: The Development of the Shanghai Co-operation Organization as a Security Community Author,’ Lanteigne berusaha menjelaskan tentang dinamika SCO sebagai sebuah kerja sama keamanan. Ia menggunakan pandangan Rusia dan Cina dalam melihat perkembangan SCO sebagai organisasi keamanan. Namun, Lanteigne lebih berfokus kepada Cina. Dalam suatu argumennya, Lanteigne berpendapat bahwa munculnya SCO didorong oleh kekhawatiran

13 A. Samson, ‘A ‘Friendly Elephant’ in the Room? The Strategic Foundations of China’s Multilateral

Engagement in Asia,’ Security Challenges, vol. 8, no. 3, Spring 2012, pp. 57-82.

14 K.I. Baizakova, ‘The Shanghai Cooperation Organization’s Role in Countering Threats and Challenges to

(7)

Cina saat banyaknya negara-negara yang terbentuk pasca runtuhnya Uni Soviet, yang berbatasan langsung dengan wilayah Cina. Cina khawatir bahwa negara-negara baru tersebut akan mempengaruhi Xinjiang, wilayah Cina yang juga tengah dilanda isu separatisme. SCO akhirnya terbentuk karena tujuan untuk mengamankan keamanan perbatasan. Namun, dalam perkembangannya SCO berubah menjadi organisasi keamanan yang tidak hanya mengamankan wilayah perbatasan, namun juga mempunyai peran untuk menjaga stabilitas regional.

Insiden 11 September 2001, menurut Lanteigne, memberikan pengaruh besar kepada SCO. Perang melawan teroris menjadi isu yang sangat berkembang setelah peristiwa tersebut. Hal inilah yang mendorong SCO mengeluarkan tiga prinsip yang dijadikan haluan keamanan SCO (three evil doctrine), yakni prinsip melawan terorisme, separatisme, serta ekstrimis agama. Dalam perkembangannya sekarang SCO lebih berfokus dalam menangani isu keamanan seperti terorisme dan separatisme. Walaupun Lanteigne tidak secara eksplisit menulis bahwa Cina mengambil peran dalam menentukan haluan keamanan SCO, tapi SCO telah menjadi organisasi yang membantu Cina dalam mengatasi isu di Xinjiang.15

c. Gejolak di Xinjiang

Untuk memahami permasalahan yang terjadi di Xinjiang, penulis mereviu artikel yang ditulis oleh Chien-peng Chung dan Yitzhak Shichor. Chung menulis artikel yang berjudul ‘China’s “War on Terror”: September 11 and Uighur Separatism.’ Di sini Chung menjelaskan bahwa selain Amerika Serikat yang mengibarkan bendera perang kepada terorisme setelah kejadian 9/11, Cina juga melakukan perang terhadap isu terorisme. Cina melabeli kelompok separatis Uyghur di wilayah Xinjiang sebagai kelompok teroris. Pemerintah Cina menyebut kelompok ini sebagai salah satu jaringan teroris Islam internasional, yang mendapatkan pembiayaan dari kelompok teroris Islam di Timur Tengah, mendapatkan pelatihan di Pakistan dan pengalaman tempur dari Afganistan. Artikel Chung ini juga menyebutkan kesulitan yang dihadapi Cina terhadap aksi yang dilancarkan oleh kelompok separatis Uyghur dalam beberapa dekade terakhir. Chung berargumen bahwa gerakan separatis Uyghur semakin menunjukkan aksinya secara jelas karena terinspirasi dari negara-negara yang berdiri setelah lepas dari Uni Soviet. Negara-negara tersebut berada di wilayah Asia Tengah, yang sebagian besar mempunyai mayoritas

15 M. Lanteigne, ‘In Media Res: The Development of the Shanghai Co-operation Organization as a Security

(8)

penduduk Muslim. Peningkatan tren aksi kelompok separatis Uyghur dapat terlihat dari banyaknya aksi yang mereka lakukan antara tahun 1990 hingga tahun 2001. Pihak-pihak yang terlibat dalam aksi kelompok separatis di wilayah Xinjiang ditangkap, disiksa, dan diberikan hukuman tanpa disidang terlebih dahulu.

Cina tidak bisa melepaskan wilayah Xinjiang, karena Xinjiang memproduksi sekitar sepertiga jumlah produksi kapas di Cina. Eksplorasi di wilayah Cekungan Tarim menunjukkan bahwa Xinjiang mempunyai cadangan minyak dan gas yang sangat besar. Begitu juga garis perbatasan antara Mongolia, Rusia, beberapa negara Asia Tengah, Pakistan, serta India, menjadilkan wilayah Xinjiang sangat strategis. Pemerintah Cina khawatir jika gerakan separatis di Xinjiang dapat memicu semangat untuk merdeka yang lebih kuat dari Taiwan dan Tibet. Artikel ini berusaha menjelaskan bahwa Xinjiang adalah wilayah di mana gerakan separatis Cina yang paling keras berlangsung, namun di saat yang sama wilayah tersebut adalah daerah yang sangat strategis. Kemerdekaan dan disintegrasi Xinjiang hanya akan memberikan pengaruh yang buruk kepada Cina sebagai sebuah negara.16

Dalam artikel yang berjudul ‘Blow up: Internal and External Challenges of Uyghur Separatism and Islamic Radicalism to Chinese Rule in Xinjiang,’ Shichor berargumen bahwa permasalahan separatis di wilayah Xinjiang adalah isu yang pelik bagi Cina. Keberadaan gerakan Turmekistan Timur yang ingin menjadikan wilayah Xinjiang sebagai negara jelas merupakan sebuah ancaman. Gerakan separatis Uyghur sendiri didorong oleh perbedaan budaya dan agama yang mencolok dengan Cina. Dalam tulisan ini Shichor juga menyebutkan kesenjangan yang dirasakan oleh etnis Uyghur bila dibandingkan dengan etnis Han. Sebelum berada di bawah administrasi pemerintahan Cina, Xinjiang hanya didiami oleh sekitar 2% etnis Han, namun sekarang melonjak menjadi 42% dari total populasi. Pergerakan etnis Han yang sangat besar ke wilayah Xinjiang membuat etnis Uyghur merasa tertekan. Etnis Han yang berada di Xinjiang mempunyai akses politik, ekonomi, dan kesempatan yang lebih baik dalam mengisi posisi pekerjaan yang strategis. Namun demikian, Shichor berpendapat bahwa gerakan separatis di Xinjiang sudah mulai dapat ditekan oleh pemerintah Cina.17

16 C. Chung, ‘China’s “War on Terror”: September 11 and Uighur Separatism,’ Foreign Affairs, vol. 81, no.

4, July-August, 2002, pp. 8-12

17 Y. Shichor, ‘Blow up: Internal and External Challenges of Uyghur Separatism and Islamic Radicalism to

(9)

Sebagai ringkasan reviu literatur, dapat dicatat bahwa Anna Samson menjelaskan tentang kerja sama multilateral 6PT yang dimanfaatkan oleh Cina sebagai upaya untuk mencapai kepentingan terkait stabilisasi regional; mekanisme multilateral lebih efektif dibanding mekanisme bilateral. Kemudian, artikel Kuralai Baizakova menjelaskan pentingnya peran SCO sebagai organisasi regional dalam hal keamanan dan resolusi konflik, khususnya ketika tidak ada organisasi lain yang menangani masalah keamanan di kawasan Asia Tengah. Keterlibatan Cina dan Rusia dalam organisasi kawasan ini memberikan rasa aman bagi negara-negara di Asia Tengah. Marc Lanteigne menunjukkan bahwa SCO berfokus pada isu ekstrimisme, separatisme, dan terorisme, serta bahwa Cina memegang peranan penting dalam menentukan haluan keamanan SCO. Chien-peng Chung menggambarkan posisi Cina yang dilematis dalam menghadapi permasalahan di Xinjiang dan usaha Cina dalam melabeli aktivitas separatis di Xinjiang sebagai aksi terorisme yang harus diperangi. Artikel Yitzhak Shichor menjelaskan tentang meruncingnya permasalahan etnis Uyghur dan Han karena kesenjangan di antara keduanya. Kesemua literatur tersebut tidak secara langsung menjelaskan strategi Cina dalam menangani separatisme di wilayah Xinjiang, namun mereka memberikan bantuan kepada penulis dalam melihat pentingnya kerja sama multilateral – dalam hal ini SCO – bagi Cina dalam mencapai kepentingannya, khususnya dalam konteks kestabilan dan keamanan Xinjiang.

1.4 Kerangka konseptual

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis menggunakan konsep regional security partnership (kemitraan keamanan kawasan).

Kemitraan keamanan kawasan

Keamanan merupakan suatu hal yang vital bagi suatu negara karena berkaitan dengan kemampuan suatu negara untuk memelihara tatanan, ketertiban, dan memberikan perlindungan bagi rakyatnya dari ancaman dalam maupun luar negeri. Untuk mengatasi ancaman yang datang dari luar teritorialnya, banyak negara yang memilih untuk melakukan kerja sama dengan negara lain. Inilah yang menjadi basis dari konsep kemitraan keamanan kawasan sebagaimana dikembangkan oleh Fulvio Attinà. Kemitraan keamanan kawasan merupakan suatu pengaturan keamanan dalam sebuah wilayah internasional yang berasal dari konsensus antarpemerintah untuk bekerja sama dalam menangani ancaman keamanan serta peningkatan stabilitas dan perdamaian di kawasan. Cara pengaturan tersebut dengan menggunakan berbagai macam kesepakatan, instrumen,

(10)

dan mekanisme seperti perjanjian keamanan formal, organisasi internasional, perjanjian aksi bersama, perjanjian perdagangan dan ekonomi lainnya, proses dialog multilateral, pakta perdamaian – termasuk tindakan membangun kepercayaan, langkah-langkah diplomasi preventif, dan tindakan yang berhubungan dengan lingkungan domestik.18

Attinà mengasumsikan bahwa pemerintah melakukan perjanjian dalam menghadapi permasalahan keamanan ketika ia menghadapi situasi tertentu. Pertama, negara-negara di kawasan menyadari adanya saling ketergantungan secara timbal balik dan ketergantungan pada permasalahan transnasional bersama. Kedua, hubungan internasional di kawasan tersebut tidak terpolarisasi oleh persaingan kekuatan besar. Dalam situasi seperti ini, pemerintah meletakkan instrumen-instrumen dan mekanisme dalam melakukan praktik-praktik pengelolaan keamanan yang terinspirasi oleh prinsip-prinsip kerja sama keamanan yang berdasarkan pada pertukaran informasi, dialog, kolaborasi, dan penggabungan sumber daya. Untuk menangani berbagai macam isu keamanan domestik dan internasional dipergunakanlah berbagai macam sumber daya, termasuk ekonomi, militer, teknik, dan budaya. Di dalam hal ini, semua negara yang tergabung berkontribusi sebagai mitra dalam sebuah kerangka institusi dan praktik-praktik yang terlembaga.19

Attinà secara ringkas menggambarkan konsepnya seperti di bawah ini: Pra-kondisi:

 Kesadaran dari negara-negara di kawasan untuk saling ketergantungan dan efek lokal dari permasalahan global.

 Tidak ada kompetisi dalam hal kekuasaan di kawasan serta tidak ada penggunaan kekerasan dalam konflik internasional.

Kondisi:

 Konsensus dari pemerintah-pemerintah di kawasan dalam membangun kerja sama keamanan dengan mengurangi kekerasan dalam hubungan internasional, meningkatkan stabilitas domestik dan internasional, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdamaian.

 Tidak adanya aliansi militer yang berlawanan. Struktur dan sarana:

 Perjanjian tertulis

 Perjanjian operasi, kantor multilateral, dan organisasi internasional

18 F. Attinà, ‘Regional Security Partnership: The Concept, Model, Practice, and A Preliminary Comparative

Scheme,’ Jean Monnet Working Papers in Comparative and International Politics, vol. 58, 2005, p. 3.

(11)

 Seperangkat ukuran internal dan internasional, serta mekanisme pengelolaan dan pencegahan konflik

 Keterlibatan kekuatan regional tambahan (sangat mungkin). Konsekuensi:

 Pengurangan kesenjangan antara doktrin keamanan maupun budaya negara-negara di kawasan.

 Peningkatan keamanan dan kebijakan pertahanan.20

Melalui gambaran singkat ini, dapat dipahami bahwa terdapat suatu pra-kondisi yang mendorong terjadinya kondisi untuk melakukan kerja sama keamanan kawasan. Kemudian, kondisi tersebut mendorong negara-negara untuk membuat suatu bentuk struktur dari kerja sama, seperti suatu kesepakatan tertulis, kantor pusat dari kerja sama tersebut, serta mekanisme-mekanisme tertentu terkait pengelolaan atau pencegahan suatu konflik. Semua ini pada akhirnya akan memunculkan konsekuensi seperti peningkatan keamanan dan kebijakan pertahanan negara-negara di kawasan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kemitraan keamanan kawasan merupakan suatu pengaturan keamanan di suatu kawasan berdasarkan keinginan negara-negara untuk bekerja sama dalam menangani ancaman keamanan. Melalui konsep ini pula, secara pra-kondisi SCO akan dilihat sebagai kerja sama keamanan multilateral yang hadir karena adanya konsensus dari pemerintah-pemerintah negara anggota yang sadar akan permasalahan lokal dan dapat dirasakan dampaknya oleh negara anggota lainnya. Selanjutnya, dalam kerangka SCO, negara anggota akan berupaya untuk membuat suatu aturan atau mekanisme politik terkait permasalahan keamanan yang hendak diselesaikan. Pada akhirnya, SCO sebagai kerja sama keamanan dapat memberikan konsekuensi sesuai yang diharapkan oleh negara anggota SCO.

Dalam penelitian ini, konsep kemitraan keamanan kawasan membantu penulis dalam mendeskripsikan bagaimana SCO dapat dilihat sebagai sebuah strategi Cina dalam menangani separatisme di Xinjiang melalui forum multilateral di bidang keamanan. Sesuai dengan konsep kemitraan keamanan, anggota-anggota SCO dipandang sebagai mitra bagi satu sama lain dalam menangani permasalahan yang dianggap ancaman bersama.

(12)

1.5 Argumen utama

Dalam menangani separatisme di Xinjiang, Cina menggunakan strategi kemitraan keamanan kawasan melalui kerja sama multilateral SCO dengan basis doktrin melawan “tiga iblis”. Hal ini diterapkan antara lain melalui mekanisme multilateral yang dapat mencegah dan mengelola permasalahan “tiga iblis” diantaranya dengan menyepakati Konvensi Shanghai Melawan Ekstrimis, Separatis, dan Terorisme sebagai kerangka kerja resmi yang mengikat Cina dan negara anggota SCO lainnya untuk aktif terlibat dalam melawan “tiga iblis”. Konvensi ini direalisasikan dengan membentuk basis pusat perlawanan terorisme (Regional Anti-Terrorism Structure, RATS) di Tashkent yang dapat Cina manfaatkan untuk meminta informasi, melakukan koordinasi, serta penyiapan operasi untuk menangani aktivitas “tiga iblis” yang berada di luar teritorial Cina. Berikutnya melalui kerja sama militer seperti pemberian bantuan militer kepada Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan dari Cina dalam melawan aktivitas “tiga iblis,” serta melakukan latihan militer bersama (joint military excersice) dengan negara anggota SCO. Di samping itu, pemberian bantuan dana dalam hal ekonomi dimanfaatkan Cina untuk menanamkan pengaruh agar dapat meminta dukungan dalam melakukan aksi melawan “tiga iblis”. Penggunaan strategi kerja sama kawasan yang digunakan Cina dalam menangani aksi separatis di Xinjiang sejalan dengan prinsip “dunia harmonis” pada masa pemerintahan Hu Jintao yang menekankan pentingnya penggunaan kerja sama multilateral dalam menangani permasalahan Cina, termasuk dalam permasalahan keamanan.

1.6 Sistematika penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua membahas permasalahan keamanan Cina di Xinjiang. Di sini akan diuraikan tentang awal mula pergolakan di Xinjiang, kaitan permasalahan ini dengan Asia Tengah, serta pentingnya stabilisasi keamanan wilayah Xinjiang bagi Cina.

Bab Ketiga berisi tentang kerja sama multilateral SCO, mulai dari sejarah, kepentingan negara anggota terhadap SCO. Pada bagian ini juga dipaparkan mengenai prinsip “dunia harmonis“ sebagai landasan keterlibatan Cina dalam kerja sama SCO. Pada Bab Keempat, penulis akan membahas strategi yang dilakukan Cina pada masa pemerintahan Hu Jintao dalam menangani separatisme di wilayah Xinjiang melalui kerja sama SCO. Tesis ini kemudian ditutup dengan Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dan inferens yang dapat ditarik dari temuan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, sumber segala kebenaran, sang kekasih tercinta yang tidak terbatas pencahayaan cinta-Nya bagi hamba-Nya, Allah Subhana Wata‟ala

Melalui kegiatan observasi di kelas, mahasiswa praktikan dapat. a) Mengetahui situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. b) Mengetahui kesiapan dan kemampuan siswa dalam

Dua hal yang dipelajari penulis dengan pendekatan kemosistematika dalam peng- amatan adalah: (1) ketetapan karakter pada kelompok besar tetumbuhan yang memiliki arti dalam

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali, yang penelitiannya meliputi wawancara pada Masyarakat Suku Bali di Desa Cipta Dharma atau

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

mendorong konsumsi non beras melalui pelatihan mendorong konsumsi non beras melalui pelatihan berjenjang bagi kader PKK untuk meningkatkan berjenjang bagi kader PKK