• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

6

MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK

PERIKANAN TANGKAP

ABSTRACT

Conflict of capture fisheries is generally managed in partial or ad-hoc manners and conflict resolution has not been effective because it may not remove the root of the conflict. The management may convert emerging conflicts into the hidden form that is potential to blow up any time. The research is directed to design an effective model of capture fisheries management conflicts in line with the concept of community based co-management and fishery system developed by Charles (2001) and FAO (1999). The comprehensive assessment is carried out by adopting respondents perception questionnaires, whereas participatory aspect in the management of capture fishery resources is assessed by using Pretty et.al. scale (1995). The proposed model of capture fisheries conflict management has four basic components, namely: 1) law and regulation 2) role and organization of coastal community 3) basic infrastructure and 4) socio economic condition which requires that conflict management be exercised by stakeholders. The proposed conflict resolution model is expected to offer the best solution to all involved parties whereas from the perspective of capture fisheries this model will increase community participation in the management of sustainable capture fisheries resources.

Key words: conflict management model, capture fisheries, stakeholder

Pendahuluan

Pengelolaan konflik (conflict management) memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya, termasuk didalamnya sumberdaya perikanan tangkap. Tanpa pengelolaan yang tepat, konflik yang timbul di masyarakat dapat menghambat dan akan berpengaruh terhadap produktifitas nelayan. Selain itu, tanpa pengelolaan konflik yang baik maka partisipasi masyarakat sulit dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan.

Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan dan bertanggung jawab pada hakekatnya merupakan upaya pengelolaan, pengembangan dan konservasi sumberdaya perikanan yang dapat menjamin pengusahaan sumberdaya hayati secara lestari, selaras, dan serasi kelestarian ekosistemnya (Anonimous 2003). Cara pandang seperti ini sebenarnya telah

(2)

209 dipahami oleh sebagian masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja, pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia, pengelolaan perikanan tangkapnya masih berbasis pada pemerintah pusat (government based fisheries resources

management), pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari tahap

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Sedangkan kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produk-produk kebijakan pemerintah.

Kelemahan yang melekat pada pengelolaan perikanan tangkap berbasis pada pemerintah pusat, kemudian memicu berkembangnya metoda pengelolaan alternatif yang disebut sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat ( co-management), Secara formal dan informal, pengelolaan perikanan berbasis masyarakat diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property right) atas sumberdaya kepada masyarakat. Konsekuensi dari penyerahan tersebut, akses dan kontrol terhadap sumberdaya perikanan menjadi milik dari anggota masyarakat tertentu, dengan dilandasi prinsip kesamaan (equality), pelestarian (sustainability) dan orientasi sistem (system oriented).

Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang melibatkan masyarakat nelayan, maka faktor kunci yang perlu dipertimbangkan adalah informasi yang akurat mengenai kondisi sumberdaya, pemanfaatan dan pengelolaannya (Dietz et al. 2003). Resolusi konflik, ketepatan, bentuk dukungan dan adaptasi semuanya membutuhkan informasi yang akurat. Level informasi yang dibutuhkan dapat bervariasi mulai dari informasi dasar yang menyangkut kondisi sumberdaya dan ekosistem, hingga ke informasi yang bersifat kompleks. Pada beberapa kasus, nelayan seringkali kurang peduli terhadap pengelolaan perikanan yang lebih modern, serta upaya merubah kebiasaan penangkapan ikan yang tidak memperhatikan prinsip kelestarian. Tapi begitu prinsip-prinsip pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan dipahami dengan baik, maka upaya-upaya untuk merubah perilaku pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak bertanggung jawab dapat dirubah (Anonimous 2004).

Model pengelolaan berbasis masyarakat melibatkan seluruh unsur (stakeholder) yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan sumberdaya perikanan. Stakeholder yang berkepentingan langsung antara lain:

(3)

210 penduduk/nelayan, industri, pemerintah daerah, peneliti dan masyarakat lokal. Sementara stakeholder yang berkepentingan secara tidak langsung, antara lain: lembaga ilmiah, lembaga konservasi, investor potensial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), industri pengolah hilir, pemerintah pusat, pariwisata dan kepolisian. Masing-masing stakeholder tersebut memiliki perbedaan keinginan, kebutuhan, tatanan nilai, tingkat pengetahuan, motivasi dan aspirasi. Perbedaan tersebut jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan konflik.

Pengelolaan konflik yang terjadi pada masyarakat nelayan pada umumnya masih dilakukan secara parsial dan bersifat ad hock. Proses resolusi konflik belum dilakukan secara efektif sehingga dapat memicu timbulnya konflik susulan. Selain itu komitmen yang dihasilkan dari proses resolusi belum menyentuh akar/pokok konflik, tetapi hanya merubah konflik yang terbuka menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Dalam rangka mencari resolusi konflik yang efektif, maka penelitian ini diarahkan untuk menjawab masalah: Bagaimana model proses resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif ?

Kerangka Teoritis Model Proses Resolusi Konflik Perikanan Tangkap

Dalam rangka membangun model proses resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif, maka kerangka teoritis model proses resolusi konflik perikanan tangkap disusun ke dalam tiga komponen, yaitu: pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, resolusi konflik perikanan tangkap dan outcome resolusi konflik perikanan tangkap.

Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap

Pengertian pengelolaan perikanan menurut FAO (1997) adalah proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakan hukum dari aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya. Terdapat berbagai metoda pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat dikelompokkan menjadi:

(4)

211 1) Jumlah tangkap yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC)

Jika pelaksanaan TAC dimonitor dan ditegakkan secara benar, maka penangkapan ikan harus dihentikan sebelum tahun berakhir dan armada menjadi idle, tetapi species yang ditangkap kemungkinan lebih banyak. TAC dalam pelaksanaannya mendorong terjadinya race for catch, setiap nelayan memiliki insentif untuk meningkatkan kapasitas tangkapan. Kondisi ini pada akhirnya akan menguras sumberdaya perikanan yang ada.

2) Pengendalian input (input control)

Input control dilakukan dengan jalan membatasi ukuran kapal, ukuran mata jaring dan kekuatan mesin, ditujukan untuk membatasi kemampuan nelayan dalam mengekstraksi sumberdaya perikanan. Tetapi model pengelolaan ini tidak efektif karena nelayan ternyata menggantikan input yang dibatasi dengan input yang tidak dibatasi.

3) Pengendalian effort (effort control)

Effort control dilakukan dengan jalan membatasi lamanya trip. Dalam perspektif yang dinamik, perkembangan teknologi dan kreatifitas dikalangan nelayan adanya effort control justru akan mendorong pada proses ekstraksi yang semakin efektif, dalam artian walaupun jumlah hari tangkap dibatasi tetapi jumlah tangkapan akan semakin besar. Selain itu pengalaman empirik menunjukkan bahwa effort control telah mendorong terjadinya penumpukan kapital, meningkatnya biaya ekstraksi dan meningkatnya enforcement problems.

4) Pembatasan alat tangkap (gear restriction and catch rules)

Pembatasan alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permananen atau sementara. Kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif. Meske demikian, paling penting adalah kebijakan ini dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan yang kurang atau tidak efisien.

(5)

212 5) Penutupan area dan penutupan musim (closed areas and closed seasons)

Closed areas dan closed seasons juga hanya berguna untuk melindungi daerah pemijahan dan pembesaran, tetapi tidak untuk daerah lainnya sehingga masalah over-investment masih muncul.

Model pengelolaan tersebut secara empiris terbukti belum mampu mengatasi permasalahan yang fundamental dalam perikanan.

Berlawanan dengan rejim pengelolaan sumberdaya open access, saat ini telah muncul berbagai kelembagaan yang mengelola common pool resources

dengan jalan “membagi” sumberdaya tersebut ke dalam alokasi individual yang kemudian dikelompokkan sebagai private property. Pengaturan tersebut membuat semacam aturan main pemanfaatan sumberdaya dan enforcement secara lokal oleh “pemilik” sumberdaya tersebut.

Karena berbagai kelemahan ini maka memunculkan model pengelolaan lain yang dinilai lebih efektif, yang dikenal sebagai right based fishing. Model pengelolaan ini berkembang karena model pengelolaan tradisional kurang jelas dalam mendefinisikan property right, oleh karenanya, setiap upaya untuk mengatasi permasalahan dalam perikanan seharusnya mampu mewadahi isu

property rights. Terdapat dua pendekatan yang terkait dengan property rights ini yaitu pengelolaan model common property resource (CPR) dan individual transferable quotas (TTQs).

Model pengelolaan lain yang merupakan alternatif dan berkembang saat ini adalah pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas/PSBK (co-management). Menurut Hanna (1998) co-management berfungsi sama seperti model pengelolaan sumberdaya perikanan lainnya, dalam artian model ini bertujuan untuk konservasi sumberdaya, membuat aturan alokasi sumberdaya diantara kepentingan yang berbeda, memonitor status populasi ikan dan dampak dari kebijakan, penegakan hukum dan resolusi konflik. Co-management memiliki struktur yang jelas dalam implementasinya, yaitu: batas yang jelas, skala, keterwakilan dan partisipasi.

Dengan batas yang jelas maka pengambilan keputusan dapat dilakukan sejalan dengan kondisi dan sistem politik. Selain itu adanya batas yang jelas ini dapat didefinisikan dan dibatasi jumlah nelayan yang boleh beroperasi,

(6)

213 menentukan daerah yang diawasi serta menjadi acuan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan suatu ekosistem.

Pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas (PSBK) terkait dengan jurisdiksi kelembagaan yang lebih besar sehingga membutuhkan PSBK yang mampu membangun jaringan pada tingkatan yang berbeda. Besarnya skala secara langsung akan mempengaruhi biaya dan efektivitas jaringan.

Keterwakilan dapat menyatukan stakeholder dalam proses pengelolaan yang merupakan elemen kritis dalam co-management. Tugas organisasional PSBK adalah memaksimalkan keterwakilan stakeholder sehingga setiap keputusan yang dibuat dapat merefleksikan kepentingan stakeholder. Keterwakilan penuh akan memperkuat keterkaitan diantara stakeholder dengan jalan memperkecil peluang free riding dimana sebagian stakeholder memperoleh manfaat tanpa memberikan kontribusi apapun. Sementara melalui partisipasi, keterlibatan stakeholder dalam perencanaan, implementasi dan monitoring menjadi lebih terjamin.

Pengelolaan konflik perikanan tangkap

Konflik perikanan tangkap umumnya muncul berkaitan dengan bagaimana mempertahankan kesejahteraan masyarakat disatu sisi, kepentingan industri dan kelestarian sumberdaya perikanan di sisi lain. Charles (1992) telah membuat model konseptual untuk menganalisis berbagai isu konflik perikanan. Kerangka tersebut dikenal sebagai paradigma segitiga (triangle paradigm) yang terdiri dari tiga isu yaitu efisiensi/rasional, konservasi dan komunitas sosial. Karena konflik dapat bersifat multidimensi dan melibatkan banyak pihak, maka diperlukan suatu model pengelolaan yang mampu meredam dampak konflik atau memaksimalkan dampak positif dari konflik yang ada.

Ramirez (2002) mengemukakan bahwa terdapat empat komponen penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan konflik, yaitu:

1) Pemangku kepentingan (stakeholder),

Konflik dapat melibatkan banyak pihak baik antar individu maupun kelompok masyarakat. Oleh karenanya menganalisis stakekolder yang terlibat dan memahami mengapa mereka terlibat merupakan elemen penting dalam

(7)

214 pengelolaan konflik. Lebih lanjut, Ramirez (2002) mengemukakan bahwa, dari perspektif stakeholder, konflik dapat terjadi dalam : (i) komunitas, (ii) antar komunitas, (iii) antara komunitas dengan pemerintah, (iv) antara LSM dengan pemerintah, (v) antara pengusaha dan komunitas, (vi) antara LSM dengan komunitas, (vii) antara sesama lembaga pemerintah baik setingkat maupun yang tidak setingkat.

Pemahaman terhadap stakeholder yang terkait dengan konflik menjadi sangat penting, karena konflik lebih terkait dengan masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan lebih dari 60 persen produksi perikanan dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam kaitannya dengan stakeholder ini, Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan perikanan, yaitu : a) jumlah

stakeholder perikanan adalah banyak, b) kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder, c) hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dan d) kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, politik dan ekonomi.

Oleh sebab itu, agar pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dapat tercipta, pemerintah harus membangun suatu kondisi dengan mempertimbangkan kondisi stakeholder tersebut. Peran pemerintah tersebut dapat dilakukan diantaranya melalui menciptakan iklim yang memungkinkan bagi masyarakat nelayan untuk mengemukakan ide, dan keinginannya. Masyarakat nelayan juga harus diberikan peluang untuk membentuk organisasi pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan keinginan mereka serta membangun kerjasama.

Mengingat pentingnya posisi stakeholder dalam konflik perikanan tangkap, maka peranan stakeholder harus dipahami dengan benar. Oleh karenanya diperlukan suatu analisis stakeholder yang nantinya digunakan dalam pengelolaan konflik. Analisis stakeholder ini akan lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Grimble et al. (1995) mengemukakan tahapan yang dapat dilaksanakan pada saat melakukan analisis stakeholder, yaitu: a) menetapkan tujuan utama dari analisis, b) membangun sistem kesepahaman dan

(8)

215 nota pengambilan keputusan, c) mengidentifikasi stakeholder kunci, d) mengidentifikasi tujuan/keinginan, karakteristik dan kondisi terakhir stakeholder, e) mempelajari pola dan konteks interaksi antar stakeholder, serta f) membuat pilihan–pilihan bagi pengelola konflik.

Tahapan analisis stakeholder dalam pengelolaan konflik sebagaimanayang dikemukakan oleh Grimble et al. (1995) tersebut sesungguhnya merupakan prosedur standar dalam pengelolaan konflik. Priscolly (2003) tersebut mengemukakan hal yang serupa dalam kaitannya dengan tahapan yang harus dilakukan dalam pengelolaan konflik.

2) kerangka hukum

Komponen lainnya yang harus diperhatikan dalam pengelolaan konflik adalah kerangka hukum (legal frameworks). Ramirez (2002) mengemukakan bahwa secara ideal kerangka hukum harus mampu meredam konflik yang mungkin terjadi atau dapat digunakan dalam pengelolaan konflik yang tengah terjadi. Hukum yang dipatuhi dan lembaga penegak hukum yang berfungsi akan memberikan keamanan dan kepastian bagi pihak investor maupun publik. Selain itu, perangkat hukum yang memadai akan menjamin kesetaraan dan keadilan serta memberikan perlakuan yang konsisten ketika konflik muncul.

Berkaitan dengan kerangka hukum, dekade terakhir ini berkembang keyakinan bahwa aturan hukum dapat diperkuat dengan tidak menggantikan hukum yang telah ada dengan sistem hukum lain yang dalam implementasinya saling berkompetisi, tetapi dengan mengakomodasikan keragaman sistem hukum lokal tradisional. Penguatan hukum dengan cara ini akan lebih mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.

Dalam rangka menilai peranan kerangka hukum dalam pengelolaan konflik, Ramirez (2002) menyebutkan perlunya memberikan perhatian khusus pada hubungan kekuasaan (power relationship) yaitu: a) berdasarkan pada apa kekuatan tersebut dibangun ?, b) bagaimana kekuasaan mempengaruhi hubungan antar pihak yang berkonflik?, c) kapan dan bagaimana hubungan kekuasaan tersebut berubah ? dan d) faktor apa yang memegang peranan penting dalam hubungan kekuasaan tersebut (finansial, sosial atau personal) ?.Dengan

(9)

216 memperhatikan pola hubungan kekuasaan tersebut maka dapat dirancang suatu kerangka hukum yang dapat mewadahi berbagai kepentingan dan mampu mencegah ekses dari konflik yang mungkin terjadi yang disebabkan adanya pergeseran hubungan kekuasaan tersebut.

3) kerangka kelembagaan/organisasi

Dimensi kelembagaan dan organisasi hendaknya menjadi komponen utama ketika suatu organisasi yang berasal dari luar terlibat dalam proses mediasi untuk menyelesaikan konflik yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Agar organisasi dari luar tersebut mampu berperan baik dalam proses mediasi, maka organisasi/kelembagaan tersebut harus memiliki karakteristik sebagai berikut : a) diakui secara resmi sebagai lembaga yang berperan sebagai mediator, b) dikenal oleh pihak yang berkonflik sebagai pihak ketiga yang netral dan memiliki legitimasi, c) sepakat untuk bekerja dalam dispute resolution system yang didasarkan pada mediasi dan disepakati oleh semua pihak, d) memiliki kemampuan yang memadai dalam teknik mediasi, e) memiliki kualifikasi dan familiar dengan perangkat hukum positif, hukum tradisional, peluang hukum, dan issue-issue teknis, f) memiliki kualifikasi dan familiar dengan metode

partisipatory, g) mampu berkomunikasi dengan jelas, serta h) memahami sejarah budaya lokal, organisasi, social kapital, lembaga politik, dan regulatory

framework. Tanpa memiliki karakteristik yang demikian, Ramirez (2002)

mengemukakan bahwa organisasi dari luar tersebut akan kurang berfungsi efektif sebagai mediator dalam resolusi konflik.

4) teknik resolusi konflik

Jepang merupakan salah satu negara yang berhasil melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan sekaligus mengelola konflik yang terjadi. Pengelolaan sumberdaya perikanan di negara ini berawal dari abad sebelas (Ruddle 1989). Pada masa tersebut (1603-1867) kekaisaran Jepang mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang terkontrol serta hak kepemilikan yang didefinisikan dengan jelas (Ruddle, 1989). Daerah penangkapan ditetapkan sebagai common property bagi warga desa nelayan. Masyarakat diberi hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumberdaya perikanan tangkap (SDPT) tersebut secara komunal. Pada beberapa daerah penangkapan, diperkenankan untuk

(10)

217 dikelola secara bersama antar desa (disebut irai) dengan syarat alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap berbeda (Ruddle 1989).

Adanya hak pemanenan sumberdaya perikanan tangkap yang eksklusif ini berfungsi pula untuk menghindari konflik yang biasanya muncul pada sumberdaya common access yang stoknya mulai terbatas. Karena perkembangan teknologi alat tangkap dan dampak negatif eksternal seperti (polusi, atau konflik antar kelompok masyarakat), sistem hak kepemilikan komunal (communal property rights systems) maka kerjasama dengan pemerintah tetap dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya lebih optimal. Bentuk kerjasama ini berupa perumusan kebijakan yang menjadi acuan dalam penangkapan, mediasi konflik antar kelompok masyarakat, kebijakan bagi industri yang mempengaruhi kelangsungan sumberdaya ikan, atau pertukaran informasi yang berkaitan dengan teknologi (Salz 1998).

Pengelolaan perikanan tangkap di Jepang pada dasarnya menerapkan prinsip co-management. Kesuksesan pola pengelolaan tersebut tidak terlepas dari peranan fishery cooperative association (FCA) dengan model pengelolaan yang dapat dianalogikan sebagai territorial user right for fisheries (TURF) yang dikelola dan dikendalikan oleh FCA (Uchida and Willen 2004). Dalam hal ini, kelompok masyarakat diberi hak eksklusif atas wilayah pantai tertentu serta sekaligus melarang masyarakat dari luar daerah untuk menangkap ikan di daerah tersebut. Pada 1948 fishery cooperative law diberlakukan sebagai payung hukum FCA. Berdasarkan hukum, hak menangkap ikan hanya diberikan pada FCA dan bukan kepada individu. Anggota FCA hanya dapat menangkap ikan di wilayahnya. Selanjutnya FCA mengatur pemanfaatan hak menangkap ikan seperti menetapkan peraturan yang berkenaan dengan siapa, bagaimana, dimana dan kapan menangkap ikan.

Prinsip dasar yang digunakan dalam pengelolaan konflik perikanan di Jepang adalah hukum harus diterapkan secara fleksibel dan memperhatikan kondisi setempat (Ruddle 1989). Undang-undang perikanan yang diberlakukan di Jepang menghormati tradisi dan penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan dalam proses resolusi konflik. Nelayan Jepang menggunakan kombinasi formal dan informal dalam pengelolaan konflik. Sebagai contoh, untuk meminimalkan

(11)

218 konflik di laut, nelayan menghormati “first-comer rights” untuk menangkap ikan. Konflik-konflik yang terjadi biasanya diselesaikan oleh FCA. Sanksi yang diberikan oleh FCA berupa sanksi sosial atau berupa nasihat dari tokoh nelayan yang dihormati (Ruddle 1989). Jika level atau eskalasi konflik meningkat (misalnya konflik antar desa) proses penyelesaian konflik menggunakan metoda yang lebih formal tetapi pengaruh budaya tetap mendominasi sehingga negosiasi tetap dapat berjalan

Kerangka pemikiran

Resolusi konflik yang efektif diharapkan akan berdampak positif karena dibutuhkan dalam tahap perkembangan kearah yang lebih baik. Dalam hal ini konflik justru mampu mempererat masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil. Dengan demikian melalui resolusi konflik yang tepat akan tercipta kondisi positif pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dan terciptanya keadilan (equity) antar kelompok masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.

Agar proses resolusi konflik berlangsung dengan baik, Rijsberman (2000) menyatakan ada dua prekondisi yang harus disiapkan. Prekondisi yang pertama adalah lingkungan hukum atau kebijakan yang menunjang dan yang ke dua adalah adanya keseimbangan kekuatan diantara stakeholder yang terlibat dalam konflik.

Dengan memperhatikan tipologi konflik dan teknik resolusi konflik yang tepat maka dapat dirancang model proses resolusi konflik perikanan tangkap yang memperhatikan hukum dan kebijakan yang ada serta keseimbangan kekuatan antar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Disamping itu, model juga mempertimbangkan pengalaman-pengalaman empiris pengelolaan konflik dari negara/lokasi lain yang akan digunakan dalam perancangan model proses resolusi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian. Dalam model tersebut mencakup bentuk kelembagaan yang tepat untuk menyelesaikan konflik perikanan tangkap.

(12)

219 Model diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap yang didukung dengan partisipasi penuh segenap pemangku kepentingan baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam proses resolusi konflik. Model secara struktural menggambarkan hubungan antara berbagai variabel yang terkait dengan konflik dan pengelolaan perikanan tangkap. Uraian diatas secara ringkas dapat dituangkan dalam kerangka pemikiran seperti pada Gambar 36.

Gambar 36. Kerangka pemikiran model proses resolusi konflik perikanan tangkap

Metode

Penelitian secara spesifik diarahkan pada satu wilayah kecamatan di setiap kabupaten terpilih, yaitu Kabupaten Malang, Trenggalek dan Tulungagung. Setiap kecamatan terpilih memiliki wilayah pesisir yang berlokasi di teluk, yaitu Teluk Sendang Biru, Teluk Popoh dan Teluk Prigi.

Responden penelitian terdiri dari tiga kelompok, yaitu nelayan, petugas dan lembaga kemasyarakatan yang terkait dalam konflik dan resolusi konflik. Pada setiap lokasi, responden dipilih secara purposive dengan mempertimbangkan partisipasi yang bersangkutan dalam konflik dan resolusi konflik.

Hasil yang diharapkan Pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab : 1. Peningkatan partisipasi 2. Pelestarian sumberdaya 3. Menjamin keadilan PRAKONDISI : 1. Hukum dan kebijakan 2. Keseimbangan kekuatan ANALISIS DATA : 1. Hasil analisis keefektivan dan outcome Resolusi konflik 2. Pengalaman empiris dari lokasi lain dalam Pengelolaan konflik PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

(13)

220

Variabel Penelitian

Penelitian ini diarahkan untuk merancang alternatif model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif sesuai dengan konsep community based-co management and fishery system yang dikembangkan oleh Charles (2001). Tiga komponen penting yang dianalisis mencakup aspek manusia, sumberdaya alam dan manajemen, dengan indikator yang terdiri dari pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkeadilan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Selain itu model juga mengacu FAO (1999) yang memandang pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi, komunitas dan kelembagaan.

Pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui survai dan wawancara dengan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang disiapkan untuk setiap jenis konflik perikanan tangkap yang ada di lokasi penelitian.

Analisis data dan perancangan model

Penilaian aspek pemahaman menggunakan kuesioner persepsi responden dengan menggunakan skala ordinal (1-5). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PT, diukur dengan skala Pretty et al. (1995) dengan menggunakan skala Pretty (1-7).

Perancangan model dilakukan secara deskriptif dengan memperhatikan hasil analisis keefektivan dan outcome resolusi konflik, temuan lapangan, pengalaman negara lain/referensi lainnya serta mempertimbangkan prekondisi yang merupakan prasyarat model, yaitu hukum dan kebijakan dan adanya keseimbangan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

(14)

221 Gambar 37. Bagan alir proses penelitian

Hasil

Berdasarkan hasil survei di tiga lokasi penelitian, berhasil diidentifikasi 27 kasus konflik perikanan tangkap yang dapat dikelompokkan ke dalam sembilan jenis konflik yaitu: konflik perbedaan alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik pengolahan limbah (PENL), konflik pencemaran lingkungan dan perusakan terumbu karang (PERK), konflik bagi

(15)

222 hasil (BAGH), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), konflik tambat labuh (TAML), dan konflik retribusi (RETR). Konflik yang paling sering terjadi adalah konflik perebutan daerah tangkap (DAET) sebanyak enam jenis, yang kemudian disusul dengan konflik perbedaan alat tangkap (ALTA) sebanyak lima jenis dan konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA) sebanyak lima jenis. Dari seluruh konflik yang terjadi, sebagian besar termasuk dalam tipologi alokasi internal sebanyak 20 jenis, sementara sebagian kecil sisanya termasuk dalam tipologi alokasi eksternal sebanyak empat 4 jenis dan tipologi mekanisme pengelolaan sebanyak tiga 3 jenis, sementara konflik yang termasuk dalam tipologi jurisdiksi tidak dijumpai di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini diketahui pula penyebab utama (KONF) terjadinya konflik perikanan tangkap adalah keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), masing-masing adalah 0,723; 0,582; 0,564; 0,548 dan 0,272. Sementara teknik resolusi konflik (RESO) yang utama sesuai dengan penyebab konflik (KONF) adalah mediasi dan negosiasi masing-masing dengan nilai 0,670 dan 0,387.

Demikian pula dapat dibuktikan bahwa pemilihan teknik resolusi konflik yang tepat berkorelasi positif dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap (PARI) khususnya partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO).

Keragaman kelompok dalam masyarakat ditambah dengan kehadiran tokoh menyebabkan konflik yang pada awalnya bersifat laten berubah menjadi mencuat. Hal ini terjadi sebagaimana pada konflik antara nelayan lokal dan andon di Teluk Popoh dan Teluk Prigi. Pada awalnya, situasi yang muncul adalah kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon yang mampu memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. Perbedaan hasil tangkapan ini sesungguhnya disebabkan karena perbedaan teknologi penangkapan dimana nelayan lokal masih menggunakan teknologi tradisional. Karena kehadiran beberapa tokoh dan juga pengelompokan masyarakat nelayan maka situasi ini kemudian mencuat dan menjadi konflik terbuka yang tereskalasi menjadi krisis yang ditandai dengan

(16)

223 pembakaran sarana penangkapan milik nelayan andon. Konflik menjadi semakin komplek dengan adanya isu perbedaan budaya antara nelayan lokal dan nelayan andon yang mewarnai konflik yang terjadi di Teluk Prigi.

Konflik perebutan daerah tangkap (DAET) disebabkan banyak nelayan dengan alat tangkap yang berbeda berada pada satu daerah penangkapan (fishing ground pada waktu yang bersamaan. Sudah sejak lama fishing ground yang menjadi sumber konflik dipersepsikan nelayan memiliki sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya ikan yang cukup banyak sehingga mendorong nelayan dari berbagai daerah menangkap ikan di lokasi tersebut.

Konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA) terjadi di tiga lokasi penelitian. Konflik dipicu oleh dua hal yaitu: 1) tingkat kesadaran nelayan lokal meningkat tentang dampak negatifnya apabila menggunakan alat tangkap tersebut, dan 2) nelayan lokal mengetahui adanya peraturan atau hukum yang melarang penggunaan alat tangkap tersebut. Temuan lain yang terkait dengan permasalahan ini adalah tidak adanya aturan yang melarang penggunaan potas dalam operasi penangkapan ikan demersal di Kabupaten Blitar. Hal ini tentunya merupakan justifikasi dari nelayan dari Kabupaten Blitar untuk menggunakan bahan tersebut dalam kegiatan penangkapan ikan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diperoleh kesimpulan bahwa konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian juga terkait dengan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa telah terjadi pengurangan stok sumberdaya (STOK) perikanan tangkap dan adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP). Hasil estimasi dengan menggunakan metoda Walter-Hillborn (1976) untuk ikan pelagis dan demersal di perairan Malang, Tulungagung dan Trenggalek diperoleh kesimpulan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan diperairan tersebut masih dibawah tingkat lestarinya, yaitu 32 persen untuk ikan pelagis dan 22 persen untuk ikan demersal. Hal ini menunjukkan bahwa isu pengurangan stok sumberdaya sebagai faktor penyebab konflik perikanan tangkap sebenarnya tidak sepenuhnya benar, tetapi terdapat faktor lain dibalik isu tersebut.

Konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian seluruhnya diselesaikan dengan metoda penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute

(17)

224

Resolution/ADR). Tidak terdapat konflik perikanan tangkap yang diselesaikan melalui mekanisme litigasi (pengadilan). Hal ini disebabkan karena pihak yang berkonflik masih bersedia dipertemukan dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka. Kalau upaya resolusi konflik berada di luar kemampuan mereka, maka konflik dibiarkan dan pada akhirnya akan selesai dengan sendirinya.

Metoda negosiasi dan mediasi paling banyak digunakan dalam proses resolusi konflik. Kehadiran tokoh masyarakat yang disegani merupakan faktor penting dalam proses resolusi konflik. Secara umum kelembagaan non-formal yang terdapat dalam struktur masyarakat setempat terbukti sudah mampu menyelesaikan atau meredam konflik yang terjadi. Selain itu adanya sikap dan kebiasaan dalam masyarakat yang mengutamakan keharmonisan dalam interaksi sosialnya menyebabkan resolusi konflik menjadi lebih efektif bila diselesaikan oleh lembaga non-formal (tokoh masyarakat, dan kelompok). Jika eskalasi konflik meluas dan melibatkan banyak pihak sementara tokoh masyarakat tidak mampu mengatasinya, maka peranan pihak ke tiga melalui proses mediasi atau fasilitasi digunakan dalam meyelesaikan konflik tersebut. Pihak ketiga yang dilibatkan biasanya dari unsur Muspika dan Muspida setempat, terutama Dinas Perikanan dan Kelautan, PPN/PPI dan aparat keamanan.

Penyelesaian konflik ditandai dengan adanya kesepakatan-kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis. Kepatuhan masyarakat terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dihasilkan tidak terlepas dari peranan tokoh masyarakat nelayan yang sangat dihormati (LEAD). Namun demikian masih juga terjadi pelanggaran yang disebabkan masih ada sebagian nelayan yang belum mengetahui tentang kesepakatan yang dihasilkan dari proses resolusi konflik. Oleh karena itu kegiatan sosialisasi menjadi sangat penting selain kegiatan penyadaran hukum masyarakat yang harus terus dilakukan.

Pengawasan dan penegakan hukum dilakukan oleh aparat keamanan baik dari unsur Polisi Air dan Udara (Pol Airud), Dinas Perikanan dan Kelautan (dalam hal ini PPNS) serta masyarakat pengguna sumberdaya itu sendiri (Pokwasmas). Masyarakat nelayan senantiasa aktif dalam melakukan pengawasan, sekali lengah maka bisa berakibat pada rusaknya sumberdaya perikanan dan lingkungan atau

(18)

225 terjadinya konflik dalam masyarakat akibat salah satu pengguna alat tangkap merasa dirugikan oleh yang lainnya.

Dampak dari aplikasi teknik resolusi konflik yang tepat diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Tiga indikator yang digunakan untuk menilai hal ini adalah pemahaman masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, dan Pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkeadilan

Hasil analisis memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di seluruh lokasi penelitian masih berkisar antara partisipasi pasif sampai partisipasi konsultatif. Tingkat partisipasi masyarakat di Teluk Popoh masih termasuk katagori partisipasi pasif, sementara untuk Teluk Sendang Biru dan Teluk Prigi termasuk katagori partisipasi konsultatif. Hasil uji beda rata-rata dengan ANOVA, menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan antar lokasi penelitian.

Demikian pula hasil analisis mengenai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan untuk seluruh komponen dan seluruh lokasi penelitian sudah termasuk katagori cukup paham, dengan tingkat pengelolaan tertinggi terdapat di Teluk Prigi (3,480), diikuti Teluk Sendang Biru (3,404) dan Teluk Popoh ( 3,379). Namun hasil uji beda rata-rata menunjukkan perbedaan yang signifikan mengenai tingkat pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan antar lokasi penelitian.

Selanjutnya hasil analisis mengenai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkeadilan. Indikator yang digunakan sesuai dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Harris (2000) yang menyatakan bahwa prinsip dasar dari pemanfaatan sumberdaya yang berkeadilan dan bertahan secara efektif (berkelanjutan) mencakup aspek akuntabilitas, dan transparansi.

(19)

226 Hasil analisis memperlihatkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkeadilan (EQUI) secara umum sudah termasuk katagori paham. Jika dilihat tiap lokasi penelitian maka tingkat pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkeadilan terbaik terjadi di Popoh (4,2156) selanjutnya Prigi (3,984) dan terakhir Sendang Biru (3,8110). Hasil uji beda rata-rata dengan ANOVA untuk seluruh item diperoleh nilai F stat sebesar 26,838 dengan probabilitas sebesar 0,000. yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (EQUI) di tiga lokasi penelitian.

Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

Diskusi pada sub bab sebelumnya meyimpulkan bahwa konflik perikanan tangkap sebagian besar dapat diselesaikan dengan menggunakan ADR yang melibatkan lembaga non-formal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kehadiran tokoh masyarakat (LEAD) yang merupakan panutan dan sikap budaya masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip keharmonisan mampu meminimalkan eskalasi konflik. Hasil wawancara mendalam dengan responden diketahui bahwa konflik yang mencuat (manifest) jarang terjadi. Sebagian besar konflik yang terjadi merupakan konflik latent. Ramirez (2002) menggolongkannya sebagai konflik pada tahapan formation. Konflik pada tahap formation, jika dikelola dengan baik tidak akan tereskalasi.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa resolusi konflik berpengaruh positif terhadap partisipasi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, dalam artian semakin tepat teknik resolusi yang digunakan maka semakin baik partisipasi masyarakat dan semakin baik pula persepsinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Teknik resolusi konflik yang tepat dan efektif untuk digunakan adalah teknik negosiasi dan mediasi.

Merujuk pada pengalaman Jepang, Thailand, Philipina dan beberapa negara lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi masyarakat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan (Hanna 1980). Pada umumnya negara tersebut

(20)

227 menggunakan model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dan menghormati nilai budaya masyarakat lokal.

Nielsen dan Sen (1996) mengemukakan empat isu yang melekat pada pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas, yaitu :

1) skala

Isu skala terkait dengan masalah perikanan bisa bersifat multi tataran, mulai dari isu lokal, antar kabupaten atau propinsi hingga ke nasional. Oleh karena itu, resolusi konflik perikanan tangkap harus memperhatikan skala masalahnya yang berimplikasi diperlukannya kelembagaan yang multi tataran.

2) lokal dan global

Isu lokal dan global terkait dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang diterapkan. Dalam hal ini pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di suatu negara harus sejalan dengan prakter-praktek pengelolaan perikanan internasional.

3) pemahaman terhadap kemampuan stakeholder

Isu pengetahuan terkait dengan sampai sejauh mana stakeholder

memahami pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Hal ini berimplikasi juga bahwa introduksi suatu model pengelolaan juga harus memperhatikan tingkat pengetahuan stakeholder lokal.

4) resolusi konflik

Sementara isu resolusi konflik terkait dengan masalah apakah masyarakat sudah memiliki suatu mekanisme untuk pengelolaan konflik.

Dalam pengelolaan konflik, sebenarnya terdapat beragam model, diantaranya adalah: model client-centered theraphy, expression theraphy approach, video play back, cross confrontation, family theraphy, task–oriented model, third-party consultation model, dan behavior-modification principles

(Roark dan Wilkinson 1979). Dari semua model pengelolaan konflik

interpersonal, maka model Gordon (1970) merupakan model yang paling dikenal. Secara umum model tersebut menyatakan bahwa ke dua belah pihak yang berkonflik memperoleh kemenangan (win-win solution) sebab resolusi konflik harus dapat diterima oleh kedua belah pihak, konflik dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan dan setiap orang berpartisipasi dalam menemukan solusi

(21)

228 yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setiap pihak yang berkonflik saling menghormati satu sama lain dan power tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Berdasarkan uraian di atas, maka model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dirancang dengan menggunakan empat komponen dasar, yaitu: 1) perundangan dan regulasi, 2) peran serta organisasi masyarakat pantai, 3) infrastruktur dasar dan 4) kondisi sosial-ekonomi.

1) Perundangan dan Regulasi

Agar pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan perangkat hukum yang mampu memayungi pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kesuksesan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang di sebabkan adanya perangkat hukum. Kerangka hukum yang memadai merupakan payung bagi pengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan serta sekaligus mampu memberdayakan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan begitu masyarakat diberikan jaminan atas hak pengelolaannya (Uchida et al.

2004).

Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia juga sudah dipayungi oleh perangkat hukum yang memadai yaitu Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004. Sesuai dengan pasal 6 undang-undang tersebut pengelolaan sumberdaya perikanan ditujukan untuk: 1) Tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan dan 2) Pengelolaan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus memperhatikan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat

Selain itu undang-undang tersebut juga sudah mewadahi kepentingan nelayan kecil dan pembudidaya ikan-kecil yang sebelumnya kurang terfasilitasi dalam Undang-undang Perikanan Nomor 9 tahun 1985. Kepentingan nelayan kecil dan pembudidaya ikan-kecil tersebut dimuat pada pasal 60, Undang-undang Perikanan Nomor 3 Tahun 2004 yang berbunyi:

1) Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya ikan-kecil melalui:

(22)

229 a. Penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan-kecil

baik modal usaha maupun biaya operasional dengan cara mudah, bunga pinjaman yang rendah dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudidaya ikan-kecil

b. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan-kecil untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam bidang penangkapan ikan, pembudiyaan, pengolahan dan pemasaran ikan; dan

2) Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan-kecil sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga dilaksanakan oleh masyarakat

Sesuai dengan pasal 6 dan 60 tersebut, partisipasi masyarakat, hukum adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sangat didorong. Indonesia sebenarnya sudah mengakui hak penangkapan ikan tradisional sejak zaman Belanda, sebagaimana tertuang dalam Staatblad 1916 Nomor 157 tentang siput mutiara, teripang, dan terumbu karang pada Pasal 2 diakui eksistensi hak penangkapan ikan tradisional nelayan lokal. Begitu pula pada Staatblad 1927 Nomor 145 yang didalamnya dimuat larangan menangkap ikan paus dalam perairan tiga mil dari garis pantai, kecuali bagi nelayan yang telah melakukannya secara turun-temurun.

Dalam rangka pemberdayaan, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan rancangan kelembagaan pengelolaan sumber daya secara komprehensif. Untuk itu pemberdayaan nelayan harus ditegaskan kembali dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang mengakui hak penangkapan ikan tradisional dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan pemerintah daerah dalam menerjemahkannya ke dalam peraturan daerah. Pemberian hak penangkapan ini bisa mencontoh model Jepang melalui Fishery Cooperative Association (FCA) (Uchida dan Willen 2004), atau hak menggunakan kawasan dalam penangkapan ikan. Hak ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turun-temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal. Pengakuan Hak Menggunakan Kawasan dalam Penangkapan Ikan yang sebenarnya saat ini secara de facto sudah ada,

(23)

230 seperti halnya sasi laut di Maluku, namun belum diakui secara de jure

sebagaimana di Jepang (Satria 2004).

Pengakuan eksistensi hak penangkapan ikan tradisional juga mesti diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas sehingga tidak saja hak akses dan hak pengguna sumberdaya yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan dan hak eksklusif. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi kuat.

Selanjutnya devolusi kewenangan ke nelayan lokal mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh, termasuk didalamnya dalam membangun kesepakatan antar komunitas atau antar organisasi nelayan dalam rangka pengelolaan sumber daya bersama. Oleh karena itu maka diperlukan penguatan kelembagaan organisasi masyarakat pantai.

2) Organisasi Masyarakat Pantai

Organisasi masyarakat pantai yang kuat merupakan pendorong bagi keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis komunitas. Pengalaman Thailand menunjukan bahwa pada kelompok masyarakat yang memiliki mata pencaharian beragam, maka conflict of interest terhadap sumberdaya perikanan lebih mudah terjadi (Tokrisna et al. 2002). Masalah kepemimpinan dalam masyarakat juga merupakan kendala dalam pengembangan

Community Based Fisheries Management/ Community Management (CBFM/CM).

Oleh karena itu, dukungan organisasi non-pemerintah (NGO) atau pemerintah daerah khususnya dalam pengembangan kepemimpinan dan organisasi masyarakat dapat membantu memperkuat kelembagaan yang telah ada di masyarakat. NGO dapat berperan dalam memperluas (baik secara finansial maupun teknis) serta sekaligus memperkuat dalam program pemberdayaan kapabilitas`masyarakat dalam rehabilitasi dan konservasi sumberdaya perikanan. Pemerintah dapat berperan dalam penyuluhan mengenai teknik penangkapan ikan yang tepat serta meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik.

Dalam kaitannya dengan kelembagaan pengelola konflik, maka perlu disusun suatu kelembagaan yang bersifat multi tataran. Hal ini disebabkan karena skala konflik dapat bersifat lokal, antar daerah/Kabupaten/Kota dan bahkan antar

(24)

231 provinsi. Oleh karena itu diperlukan suatu kelembagaan yang mampu berperan dalam proses resolusi konflik pada setiap tataran. Karena model pengelolaan konflik yang dirancang adalah model pengelolaan konflik berbasis komunitas, maka kelembagaan yang terlibat hendaknya merupakan representasi dari komunitas`pada tataran tertentu. Secara umum kelembagaan tersebut merupakan representasi dari: masyarakat nelayan, pemerintah dan pihak lain yang terkait yang terikat dalam suatu forum rembug. Secara umum, model kelembagaan multi

tataran tersebut dapat dilihat pada Gambar 38.

Gambar 38. Kelembagaan pengelolaan konflik

3) Infrastruktur Dasar

Dalam rangka mewujudkan model pengelolaan konflik perikanan tangkap berbasis komunitas yang mampu mengelola konflik masyarakat nelayan, pemerintah juga seharusnya menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan. Infrastrukur tersebut meliputi tempat pendaratan ikan (TPI), bengkel perbaikan alat tangkap dan rehabilitasi wilayah pantai termasuk pembuatan karang buatan. Aktifitas lainnya dapat meliputi penyuluhan teknik penangkapan ikan yang tepat untuk nelayan skala kecil, penyediaan sarana penangkapan dan pengembangan kerjasama dalam distribusi dan pemasarana hasil tangkapan. Pemerintah FORUM PROPINSI Pihak Terkait Masyarakat Pemerintah FORUM DESA/KECA MATAN Pihak Terkait Masyarakat Pemerintah FORUM KABUPATEN Pihak Terkait Masyarakat

Konflik Perikanan Antar Daerah Kabupaten Skala Konflik:

Konflik Perikanan Di Tingkat Desa Atau

Kecamatan

Konflik Perikanan Antar Provinsi

(25)

232 Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur dasar maka dibutuhkan pula penguatan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, serta penguatan organisasi masyarakat desa. Masyarakat dan kolaborasinya adalah faktor kunci kearah suksesnya implementasi CBFM/CM. Tokrisna et al. 2002 menyebutkan bahwa kolaborasi dapat ditingkatkan jika masyarakat merasakan adanya manfaat (benefit) dari partisipasi mereka dalam CBFM/CM. Manfaat tersebut seyogyanya harus dapat dilihat (visible), cepat dan proporsional sehingga masyarakat tertarik untuk berkolaborasi.

4) Kondisi Sosial Ekonomi

Community Based Fisheries Management/ Community Management (CBFM/CM) cenderung dapat berhasil di kalangan masyarakat nelayan kecil

(artisanal fisheries) dari pada di daerah yang sumberdaya perikanannya dikelola dengan skala komersial. Nelayan kecil adalah nelayan yang sumber pendapatannya sebagian besar dari perikanan. Jika ketersediaan sumberdaya perikanan semakin terbatas maka pendapatan mereka juga akan terganggu. Pengalaman di Thailand, konflik terjadi antara nelayan kecil dengan nelayan besar (Tokrisna et al. 2002).

Nelayan kecil lebih mudah untuk berpartisipasi dalam rehabilitasi dan konservasi sumberdaya karena sumberdaya tersebut merupakan sumber mata pencaharianya. Pengetahuan lokal serta kearifan teknologi yang dikuasai oleh masyarakat merupakan sumber yang bermanfaat dalam rencana pengelolaan sumberdaya perikanan.

Dengan ke empat komponen dasar tersebut maka diharapkan sumberdaya perikanan dapat dilestarikan, partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan serta konflik yang terjadi dapat dikelola dengan baik. Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilihat pada Gambar 39. Model tersebut mensyaratkan pengelolaan konflik dilakukan oleh stakeholder (yang dalam hal ini adalah kelompok masyarakat, perwakilan pemerintah, dan pihak lain yang terkait).

Stakeholder harus mampu mendefinisikan konflik dengan jelas, menganalisis faktor penyebab konflik, dampak konflik serta pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Hasil dari proses pendefinisian ini dituangkan dalam bentuk

(26)

233 deskripsi tipologi konflik. Proses penyusunan tipologi konflik dapat mengacu Bennett (2000) menggunakan bantuan alat PISCES (Participatory Institutional Survey and Conflict Evaluation Exercise).

Gambar 39. Model proses resolusi konflik perikanan tangkap

Setelah tipologinya tergambarkan maka dapat disusun suatu daftar prioritas konflik yang harus segera ditangani. Penetapan indikator prioritas dapat dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait dengan pengelolaan konflik. Tahapan selanjutnya adalah pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk menentukan teknik resolusi konflik yang akan digunakan. Hal ini penting karena setiap teknik membutuhkan kondisi dan prasyarat yang

(27)

234 berbeda-beda. Sebagai alat bantu untuk memahami teknik rasolusi yang tepat dapat digunakan daftar pertanyaan yang diadopsi dari Priscoli (2003). Output

dari kegiatan ini adalah peta yang menggambarkan kecocokan teknik resolusi konflik dengan konfliknya itu sendiri serta daftar prioritasnya.

Resolusi konflik diharapkan memberikan solusi yang paling baik (efektif) untuk semua pihak yang terlibat sehingga dapat dihasilkan kesepakatan-kesepakatan yang disetujui oleh semua pihak. Jika ternyata dalam proses resolusi tersebut tidak terjadi kesepakatan maka ada dua kemungkinan yang dapat menjadi penyebabnya, yaitu: apakah pemahaman stakeholder terhadap konfliknya sudah memadai? Serta apakah teknik resolusi yang digunakan sudah tepat?. Jika ketidakefektifan resolusi tersebut disebabkan karena kurangnya pemahaman

stakeholder terhadap konflik, maka diperlukan penelusuran kembali secara lebih mendalam terhadap penyebab konflik, pihak yang terlibat, jenis konflik dan prakiraan dampaknya. Sementara jika ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh teknik resolusi yang tidak tepat, maka diperlukan penilaian kembali terhadap teknik resolusi yang akan digunakan.

Kesimpulan

Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dirancang menggunakan community based fisheries management/ community management, dengan menggunakan empat komponen dasar, yaitu: 1) perundangan dan regulasi, 2) peran serta organisasi masyarakat pantai, 3) infrastruktur dasar dan 4) kondisi sosial-ekonomi. Pengalaman dari lokasi/negara lain membuktikan cenderung dapat berhasil di kalangan masyarakat nelayan kecil (artisanal fisheries), yang berarti sesuai dengan karakteristik nelayan yang ada di lokasi penelitian.

Dengan model ini konflik perikanan tangkap yang terjadi dapat dilakukan menggunakan teknik resolusi yang tepat, sehingga proses resolusi konflik dapat dilakukan secara efektif. Model diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap yang didukung dengan partisipasi penuh segenap pemangku kepentingan baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam proses resolusi konflik.

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengorganisiran yang dilakukan peneliti bersama mayarakat diharakan sebagai langkah awal komunitas didalam membentuk sebuah kemandirian dalam

1. Tempat pengikatan RNA polimerase pada gen yang akan ditranskripsi disebut.... Pada tahapan ekspresi gen di bawah ini terjadi pembuangan intron. Segmen DNA pada gen eukariotik

Penjilidan terbitan ialah suatu penjilidan yang menyelesaikan pekerjaan untuk diterbitkan, sedangkan dalam penjilidan khusus (partikelir) dikhususkan untuk kertas yang

Penurunan yang signifikan atau penurunan jangka panjang di dalam nilai wajar lebih rendah dari biaya perolehan, kesulitan keuangan signifikan entitas penerbit atau

-kukatakan bukan kepada anak-anakmu, yang tidak mengenal dan tidak melihat hajaran TUHAN, Allahmu--kebesaran-Nya, tangan- Nya yang kuat dan lengan-Nya yang teracung,

Karena data diatas dalam bentuk variabel maka digunakan peta kendali rata-rata dan peta kendali range untuk mengendalikan hasil produksi diatas dan untuk

Menurut Rivai (2007:148) “peran diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseoarng sesuai dengan posisi social yang diberikan baik secara formal

*$lusi dari permasalahan yang terakhir yaitu dengan )ara mengadakan kegiatan umat bersih. "al ini bertujuan agar mush$la disini kembali terawat dan dapat dimanfaatkan