• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PASOKAN HIJAUAN PAKAN YANG BERKELANJUTAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNOLOGI PASOKAN HIJAUAN PAKAN YANG BERKELANJUTAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH DI INDONESIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PASOKAN HIJAUAN PAKAN YANG

BERKELANJUTAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN

USAHA SAPI PERAH DI INDONESIA

(Technology of Forage Feed Supply Sustainability to Support Dairy Farms in

Indonesia)

BAMBANG R. PRAWIRADIPUTRA1 dan ATIEN PRIYANTI2 1

Balai Penelitian Ternak, Bogor 2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor

ABSTRACT

One of the major problems faced by dairy farmers in Indonesia is the low quality and of continuity of the forage supply. However the dairy farming is need to have serious attention because the milk produced by Indonesian dairy farm is only about 30% of its demand while the rest of 70% are imported. The aspect that should be put more attention is technology of forage supply so that the fluctuation of the milk production as well as the quality between rainy and dry seasons could be minimized. Some of the technology introduction is already well known, such as three strata system, alley cropping, hedgerow cropping and multiple cropping. The preservation of forages such as silage and hay is also need to be disseminated. Unfortunately, some of the technologies are not implemented yet due to constraints faced by the farmers such as accessibility of capital, land ownership, labor availability, technology adoption, soil fertility and type of the forages itself.

Keywords: Supply, forage, feed, technology

ABSTRAK

Salah satu masalah yang biasa dihadapi peternak sapi perah di Indonesia adalah rendahnya kualitas dan kontinuitas pasokan hijauan pakan. Walaupun demikian pembangunan di subsektor ini masih perlu perhatian yang serius dari pemerintah karena produksi susu segar yang dihasilkan para peternak sapi perah Indonesia saat ini baru sekitar 30 persen dari kebutuhan, sedangkan 70 persen lainnya masih impor. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah teknologi pasokan hijauan pakan yang berkelanjutan sehingga fluktuasi produksi dan mutu susu yang dihasilkan antara musim hujan dan musim kemarau bisa dikurangi. Beberapa teknologi yang bisa diterapkan pada peternakan sapi perah sebenarnya sudah dimiliki, seperti sistem tiga strata, pertanaman lorong (alley cropping), pertanaman pagar (hedgerow cropping), tumpang sari dan tanaman penguat teras. Selain itu pengawetan hijauan pakan berupa silase dan hay juga perlu lebih disosialisasikan kepada peternak. Semua teknologi tersebut banyak yang belum bisa diterapkan di tingkat peternak karena adanya berbagai kendala seperti kendala akses permodalan, penguasaan lahan, ketersediaan tenaga kerja, musim, teknologi, kesuburan tanah dan jenis hijauan itu sendiri.

Kata kunci: Pasokan, hijauan, pakan, teknologi

PENDAHULUAN

Usaha sapi perah didominasi oleh usaha peternakan rakyat dengan rata-rata pemilikan sapi yang relatif masih rendah. Secara nasional lebih dari 90 persen populasi sapi perah berada di Pulau Jawa dan meningkat sebesar 6,7 persen selama periode 2002 sampai 2006 (DITJEN PETERNAKAN, 2006). Berdasarkan sensus pertanian pada tahun 2003, jumlah rumahtangga peternak sapi perah di Pulau Jawa

juga menunjukkan peningkatan seiring dengan pertambahan populasi, kecuali untuk Jawa Barat (BPS, 2007). Dibandingkan dengan sensus penduduk pada tahun 1993, jumlah rumahtangga peternak sapi perah di Jawa Barat menurun sebesar 4,8 persen, sedangkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah meningkat masing-masing sebesar 33 persen dan 18 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di Jawa Barat per rumahtangga peternak relatif meningkat. Pada

(2)

tahun 2006, rata-rata kepemilikan sapi perah per rumahtangga peternak adalah 2,6 ekor, 3,2 ekor dan 3 ekor berturut-turut untuk Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Manajemen pemberian pakan pada umumnya dilakukan dengan sistem cut and carry untuk pakan basal, sedangkan pakan tambahan diberikan berupa konsentrat, ampas tahu dan lain sebagainya sesuai dengan ketersediaan di wilayah tersebut. Pemberian pakan basal berupa rumput introduksi seperti rumput gajah, rumput raja, setaria dan lainnya, dimana kemampuan suatu wilayah untuk menyediakan lahan guna menanam rumput introduksi ini semakin berkurang. Hilangnya areal padang penggembalaan umum serta pengurangan lahan sebagai akibat semakin diintensifkannya usaha tanaman pangan dan peningkatan kawasan industri maupun pemukiman mengakibatkan luas areal sumber tanaman pakan ternak semakin berkurang. Pada saat musim kemarau panjang (yang bisa berlangsung selama 6 bulan) dan berdampak pada kurang tersedianya pakan, hanya usaha peternakan yang efisien dan produktif, dengan program manajemen pakan yang baik, yang masih dapat bertahan. Dengan demikian, ketersediaan pakan hijauan khususnya pada akhir musim kemarau sampai dengan awal musim penghujan menjadi permasalahan yang selalu terjadi pada peternak.

Hampir di seluruh wilayah produksi sapi perah tidak ada sistem yang menjamin pengadaan sumber hijauan pakan yang efektif dan tersedia sepanjang tahun. Peternak di daerah yang lebih kering harus mengorbankan waktunya untuk berjalan cukup jauh untuk mengumpulkan hijauan tersebut. Di beberapa tempat, tidak ada sumber hijauan pakan lokal dan sistem yang memungkinkan pengiriman pakan tersebut dari daerah lain. Hal ini mengakibatkan peternak harus membeli hijauan pakan dengan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan musim penghujan. Kekurangan pakan secara umum dapat meningkatkan harga pakan akibat naiknya permintaan pasar dan hal ini dapat mengurangi keuntungan peternak. YUSDJA (2005) menyatakan bahwa pada usaha sapi perah, biaya pakan dapat mencapai 62,5 persen dari total biaya produksi, sehingga keuntungan yang diterima oleh peternak juga sangat

tergantung dari besaran biaya pakan yang dikeluarkan.

Di samping masalah ketersediaan hijauan, kualitas hijauan yang tersedia juga merupakan masalah yang mengganggu usaha peternakan sapi perah. Masalah rendahnya kualitas pakan sapi perah di Indonesia ini sudah dikemukakan sejak tahun 70-an (REKSOHADIPRODJO et al., 1979). Masalah ini terus berlangsung dari tahun ke tahun. Salah satu penyebabnya adalah pendapatan peternak sapi perah yang relatif masih rendah sehingga tidak mampu membeli pakan bermutu tinggi (KUSNADI dan JUARINI, 2007).

Keterbatasan sumber pakan hijauan untuk sapi perah juga dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan peternak untuk berusaha dalam skala ekonomi yang lebih efisien. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem manajemen peternakan yang dapat menjamin pasokan pakan hijauan sepanjang tahun berdasarkan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh peternak (lahan, modal dan tenaga kerja). Makalah ini bertujuan untuk memberikan suatu konsepsi tentang teknologi pasokan hijauan pakan ternak yang berkelanjutan sehingga fluktuasi produksi susu yang dihasilkan oleh peternak tidak terlalu tinggi antara musim penghujan dan musim kemarau. Beberapa inovasi teknologi ini sebenarnya sudah lama diintroduksikan, namun masih banyak kendala yang dihadapi baik secara internal rumahtangga peternak maupun faktor eksternal.

KONDISI PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA

Menurut COWAN dan LOWE (1998) wilayah tropis apabila dikelola dengan tepat sebenarnya dapat menjadi penghasil susu yang potensial. Hal ini dilihat dari peningkatan produksi susu di wilayah tropis yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah temperate. Sebagain besar peningkatan produksi susu di daerah tropis seperti Indonesia dihasilkan di peternakan-peternakan kecil yang mengandal-kan rumput potong dan sisa hasil tanaman pangan sebagai pakannya.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa populasi sapi perah pada tahun 2007 adalah 380 ribu ekor dengan target tahun 2008

(3)

menjadi 390 ribu ekor (BPS, 2008) dengan demikian menurut LUTHAN (2007), usaha peternakan sapi perah selama ini telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi peningkatan peternakan dan masyarakat di sekitarnya. Dengan melaksanakan usaha budidaya sapi perah, peternak bukan hanya memperoleh hasil penjual dari susu segar yang dihasilkan setiap harinya tetapi juga mendapat hasil samping berupa ternak hidup (pedet dan induk afkir) dan pupuk kandang.

Namun Dewan Persusuan Nasional (ERNANTO, 2003) mengemukakan bahwa pembangunan di subsektor ini masih perlu perhatian yang serius dari pemerintah karena produksi susu segar yang dihasilkan para peternak sapi perah Indonesia saat ini baru sekitar 30 persen dari kebutuhan, sedangkan 70 persen lainnya masih impor. Dikemukakan juga bahwa peternak sapi perah di Indonesia saat ini baru bisa menghasilkan susu segar sekitar 1.250 ton sehari, sedangkan kebutuhannya mencapai tiga kali lipat dari produksi tersebut.. Data ini sedikit lebih rendah daripada penelitian Direktorat Jenderal Peternakan (SWASTIKA, 2001) yang menyatakan bahwa pada tahun 1995 sampai 1998 kemampuan produksi susu dalam negeri dalam memenuhi permintaan sekitar 32% dan jauh lebih rendah daripada periode 1990-1994 yang sekitar 42%.

Rendahnya hasil susu sapi per ekor di Indonesia disebabkan oleh faktor genetis dan faktor lingkungan disamping manajemen pemeliharaan. Dilihat dari sisi pakan, sapi FH yang di tempat asalnya bisa menghasilkan susu > 30 kg/hari, setelah dipelihara di Indonesia hasilnya hanya 10-12 kg/hari disebabkan karena pemberian pakan yang tidak optimal. Hasil penelitian SIREGAR (2001) di Jawa Barat menunjukkan bahwa pemberian pakan pada sapi perah selama ini belum sesuai dengan potensi genetik sapi yang dipelihara. Dengan demikian peternak harus menyesuaikan diri dengan sifat genetis sapi yaitu dengan tidak mengurangi kuantitas dan kualitas pakannya.

Demikian juga halnya dengan faktor lingkungan dan manajemen pemeliharaan yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi. Menurut MULYADI et al. (1995), sebagian besar usaha sapi perah rakyat belum merupakan speialisasi usaha dan masih bersifat usaha sambilan. Kondisi ini menurut

RACHMAN (1998) tidak kondusif terutama apabila dihadapkan pada persaingan dengan produk impor. Sifat usaha sambilan ini tidak hanya di dalam pemeliharaan ternaknya saja tetapi juga dalam hal penyediaan pakan, termasuk hijauan, padahal di lain pihak kecukupan kuantitas dan kualitas hijauan sangat penting di dalam usaha sapi perah (MAHYUDDIN et al., 1997).

POTENSI DAN KENDALA PENYEDIAAN HIJAUAN PAKAN

Potensi

Di Indonesia hijauan pakan dapat diperoleh hampir di setiap tempat, mulai dari padang rumput sampai di pasar-pasar kumuh di tengah kota besar. Untuk wilayah lahan kering sumber hijauan pakan yang utama adalah: (a) padang rumput, (b) lahan pertanian pangan, (c) lahan perkebunan dan (d) lahan kehutanan. Di samping itu hijauan pakan dapat juga diperoleh di pinggir-pinggir jalan dan di halaman rumah. Namun untuk sapi perah potensi hijauan pakan dibatasi oleh agroekosistem dimana sapi perah dipelihara.

Pada umumnya sapi perah dipelihara di dataran tinggi, walaupun ada juga yang dikembangkan di dataran rendah seperti di sekitar Bogor (Jawa Barat) dan di sekitar Nongkojajar (Jawa Timur).

Pengamatan PRAWIRADIPUTRA (1986) juga memperlihatkan bahwa halaman rumah merupakan sumber hijauan pakan yang penting. Hal ini disebabkan karena letaknya yang paling dekat ke kandang. Jenis-jenis hijauan pakan yang ada di halaman rumah juga sangat beragam, baik tanaman pangan maupun pakan, seperti rumput, ubi kayu, pisang, lamtoro, nangka, petai, randu, sengon, glirisidia, kelor dan sebagainya.

Kendala

Kendala di dalam penyediaan hijauan pakan sepanjang tahun yang dihadapi peternak sapi perah sangat beragam, mulai dari kurangnya modal, sempitnya lahan, kurangnya tenaga kerja, musim yang tidak mendukung sampai ke rendahnya penguasaan teknologi.

(4)

Kualitas hijauan pakan juga sering menjadi faktor yang menurunkan kualitas susu.

Modal

Pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal. Bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi juga untuk pengadaan hijauan pakan.

Lahan

Dengan lahan yang sempit tidak cukup ruang bagi peternak untuk menanam hijauan pakan yang berkualitas. Hal ini terutama disebabkan karena terjadinya persaingan antara lahan untuk pakan dengan untuk pangan. Di daearah sapi perah yang pada umumnya terletak di dataran tinggi vulkanis, komoditas utama yang biasa diusahakan adalah sayuran dataran tinggi. Bagi petani-peternak yang lahan usahanya sempit persaingan penggunaan lahan antara untuk sayuran dan rumput pakan menjadi persoalan tersendiri. Kalaupun lahannya ditanami rumput pakan, tempatnya hanya di bibir dan tampingan teras (PRAWIRADIPUTRA dan HANAFIAH, 2001).

Tenaga kerja

Peternakan sapi perah adalah peternakan yang sangat intensif sehingga diperlukan banyak tenaga kerja, baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja upahan. Dengan adanya kendala tenaga kerja maka pengadaan hijauan pakan juga menjadi terbatas.

Musim

Musim (hujan dan kemarau) berpengaruh langsung terhadap kualitas dan kuantitas hijauan pakan. Pada musim hujan produksi hijauan sangat tinggi namun kualitasnya rendah, sedangkan pada musim kemarau produksi hijauan rendah. Faktor iklim seperti temperatur, kelembaban dan radiasi matahari juga berpengaruh terhadap kualitas hijauan. Dilihat dari sudut pandang klimatologi, Indonesia hanya mengenal dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tetapi dari segi pasokan hijauan harus dipertimbangkan juga musim tanam dan musim panen (PRAWIRADIPUTRA dan HANAFIAH, 2001)..

Musim hujan. Pada saat musim hujan biasanya hijauan pakan melimpah sehingga peternak tidak mengalami kesulitan dalam mencari hijauan. Yang menjadi masalah adalah kualitas hijauan, karena pada saat itu banyak hijauan yang tidak sempat dipotong sehingga terlalu tua untuk diberikan kepada ternak. Kandungan serat kasar pada hijauan yang terlalu tua biasanya tinggi, sebaliknya kandungan protein kasarnya rendah.

Musim kemarau. Pada saat musim kemarau produksi hijauan, baik rumput maupun leguminosa menurun. Semakin panjang musim kemarau semakin rendah produksi hijauan. Untuk menjaga kelangsungan pasokan hijauan, biasanya peternak menggunakan daun-daunan, baik leguminosa maupun non-leguminosa seperti lamtoro, glirisidia, daun nangka, daun pisang dsb. Apabila musim kemarau sangat panjang peternak bahkan memberikan batang semu dan bonggol pisang untuk ternaknya. Selain itu peternak juga memberikan jerami padi yang diperolehnya dari daerah persawahan. Masalahnya, bonggol dan batang semu pisang serta jerami padi biasanya bermutu rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan. Pada saat ini telah dikembangkan teknologi untuk meningkatkan kualitas jerami dengan menggunakan probiotik agar produktivitas ternak perah yang diperi pakan jerami tetap tinggi.

Musim tanam. Ketika berlangsung musim tanam biasanya peternak tidak mengalami kesulitan pasokan hijauan pakan karena musim tanam biasanya berimpit dengan musim hujan.

Musim panen. Musim panen di wilayah sapi perah yang pada umumnya terletak di wilayah beriklim basah dengan tanaman sayuran dataran tinggi sebagai komoditas dominan tidak selalu berimpit dengan musim kemarau atau musim hujan. Namun hal ini juga sangat tergantung pada pola tanam yang diterapkan petani. Apabila yang ditanam adalah palawija seperti jagung dan kacang-kacangan, maka pada musim panen peternak biasanya kelebihan pasokan hijauan yang berasal dari hasil ikutan jagung dan kacang, seperti batang dan daun jagung serta jerami dan daun kacang-kacangan. Apabila musim hujan tidak tegas batasnya, masa panen juga biasanya memanjang, bisa mencapai 2-3 bulan.

(5)

Agroekosistem

Di Indonesia sapi perah pada umumnya dipelihara di lahan kering dataran tinggi dan lahan kering dataran rendah walaupun jumlah peternak dan populasi sapi perah di dataran rendah ini sangat sedikit. Jenis hijauan dan sistem pasokan hijauan pakan di agroekosistem lahan kering dataran tinggi berbeda dengan di lahan kering dataran rendah tergantung pada pola tanam dan ketersediaan rumput dan leguminosa di masing-masing wilayah. Hal ini berpengaruh juga terhadap mutu hijauan. Pada jenis rumput yang sama, menurut LATHAN (1995) mutu hijauan di dataran tinggi lebih baik daripada di dataran rendah karena semakin tinggi suhu udara semakin tinggi rasio antara batang dengan daun. Sebagaimana diketahui komposisi nutrisi daun lebih baik daripada batang rumput.

Populasi ruminansia

Kepadatan populasi ternak ruminansia berpengaruh terhadap keberlanjutan pasokan hijauan pakan. Di suatu wilayah dengan populasi ternak ruminansia yang relatif jarang, masalah kekurangan hijuan tidak seberat di wilayah yang populasi ternak ruminansianya padat. Rasio antara kepadatan ternak ruminansia dengan luas lahan pertanian juga berpengaruh terhadap sistem produksi hijauan pakan. Dengan demikian berpengaruh juga terhadap keberlanjutan pasokan hijauan pakan.

Teknologi

Pada umumnya peternak sapi perah menggunakan teknologi tradisional yang turun temurun, baik dalam hal pemberian pakan maupun manajemen pemeliharaan secara keseluruhan. Salah satu teknologi di peternakan sapi perah yang sudah diperkenalkan adalah pengawetan hijauan dalam bentuk silase, namun tidak diadopsi oleh peternak karena berbagai kendala untuk menerapkannya. Tidak beralihnya ke teknologi yang lebih maju disebabkan antara lain karena teknologi itu kurang praktis, peternaknya sendiri kurang modal dan taraf pengetahuan peternak yang masih rendah.

Jenis hijauan

Jenis-jenis leguminosa yang diberikan juga perlu mendapat perhatian mengingat adanya berbagai kandungan nutrisi yang bisa mempengaruhi kualitas susu. Dalam hal ini dapat diberikan contoh mimosin dari daun lamtoro (Leucaena leucocephala) yang memberikan pengaruh kurang baik terhadap warna dan aroma susu (NAS, 1977). Daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) juga bisa berpengaruh negatif terhadap kualitas susu apabila diberikan dalam jumlah yang berlebihan.

Kesuburan tanah

Kesuburan tanah merupakan faktor yang sangat penting di dalam sistem produksi hijauan pakan. Walaupun sebagain besar wilayah sapi perah berada di daerah vulkanis, namun karena pola tanam (terutama sayuran dataran tinggi) yang diterapkan juga sangat intensif, maka kesuburan tanahnya sudah sangat rendah. Hal ini dicirikan dengan semakin tingginya pupuk buatan (khususnya urea) yang diperlukan di daerah sayuran tersebut.

TEKNOLOGI PASOKAN HIJAUAN PAKAN YANG BERKELANJUTAN

Dilihat dari jenisnya, DEVENDRA (1993) membagi hijauan pakan menjadi empat kategori, yaitu forages, crop residues, agro-industrial by-products dan non-conventional feeds. Di Indonesia penggolongan hijauan pakan yang lazim adalah rumput lokal, rumput introduksi, leguminosa pohon, leguminosa perdu, sisa hasil tanaman pangan dan hasil ikutan pertanian. Kebanyakan sisa hasil tanaman pangan mengandung serat kasar yang tinggi sedangkan kandungan protein kasarnya rendah. Namun untuk mengatasi kekurangan hijauan pakan pada musim kemarau sisa hasil dan hasil ikutan tanaman ini sangat penting untuk diperhatikan.

Keberlanjutan pasokan hijauan pakan sangat tergatung pada berbagai faktor, seperti musim, agroekosistem, populasi ternak ruminansia dan pengelolaannya. Dengan demikian bagi peternak yang menginginkan

(6)

terdapatnya persediaan pakan di dekat kandang ternaknya sepanjang tahun, faktor-faktor tersebut di atas harus menjadi perhatian.

Teknologi pengelolaan

Pengelolaan hijauan pakan ternak yang baik akan dapat menjamin pasokan hijauan pakan sepanjang tahun, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Beberapa metode yang dapat diterapkan pada peternakan sapi perah di Indonesia adalah: sistem tiga strata, pertanaman lorong (alley cropping), tanaman pagar (hedgerow cropping) dan tanaman penguat teras. Keempat cara ini memerlukan pengelolaan yang berbeda satu sama lain. Beberapa di antaranya tidak dikhususkan untuk produksi hijauan pakan tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk konservasi tanah.

Sistem tiga strata. Sistem ini dikembangkan di Bali sekitar tahun 1980-an. Konsep utamanya adalah menanam hijauan pakan : rumput/leguminosa menjalar (strata I), leguminosa perdu (strata II), dan leguminosa pohon (strata III) di satu bidang lahan bersama-sama dengan tanaman pangan sedemikian rupa sehingga sepanjang tahun terdapat hijauan yang dapat diberikan kepada ternak (NITIS et al., 1999).

Sistem pertanaman lorong (Alley

cropping). Sistem pertanaman lorong ini biasa diterapkan sebagai tanaman konservasi tanah di lahan-lahan miring yang tidak diteras. Selain mengendalikan erosi sistem pertanaman lorong dengan leguminosa juga dapat meningkatkan produktivitas lahan (HARYATI et al., 1991). Pohon leguminosa (lamtoro, glirisidia, turi dsb.) ditanam berbaris mengikuti kontur, membentuk pagar, jarak dari baris yang satu ke baris yang lain tergantung pada kemiringan lereng, tetapi biasanya harus dapat ditanami tanaman pangan (palawija). Untuk kondisi peternak sapi perah rakyat di Indonesia sistem ini sulit dilakukan karena kepemilikan lahan yang sempit. Namun untuk peternakan perusahaan sistem ini baik untuk diterapkan.

Tanaman pagar (Hedgerow cropping). Tanaman pagar biasanya ditanam sebagai pembatas satu bidang lahan dengan bidang lahan lainnya. Tanaman pagar ini ditanam membentuk pagar dengan tinggi tanaman

dipertahankan 1-1,5 m. Tujuan utamanya sebagai pembatas atau penghalang. Yang ditanam sebaiknya leguminosa pakan yang tahan pangkasan sehingga pemeliharaannya lebih mudah dan bermanfaat bagi ternak. Selain itu rumput yang pertumbuhannya tinggi (rumput gajah, rumput raja, rumput benggala) juga bisa digunakan. Penggunaan rumput gajah sebagai tanaman pagar sudah biasa diterapkan di peternak sapi perah baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur.

Tanaman penguat teras. Tujuan utama dari tanaman penguat teras adalah sebagai tanaman konservasi tanah. Dengan adanya tanaman penguat teras baik pada bibir maupun tampingan teras, selain mengendalikan erosi juga dapat menjaga stabilitas teras dan menambah pendapatan dari hasil rumput/leguminosa pakan (PRASETYO et al., 1991; HENDARTO et al., 1998). Berbeda dengan pertanaman lorong, tanaman penguat teras ditanam di lahan-lahan yang sudah diteras. Jenis tanamannya beragam tergantung pada di bagian mana tanaman tersebut ditanam. Apabila ditanam di bibir teras bisa digunakan rumput, bisa juga leguminosa. Untuk lahan yang curam atau sangat curam sebaiknya digunakan leguminosa pohon atau perdu seperti lamtoro, glirisidia atau stylosanthes. Sedangkan untuk lahan yang tidak begitu curam bisa digunakan rumput seperti setaria dan rumput gajah. Apabila ditanam di tampingan teras bisa digunakan rumput yang menjalar seperti rumput kawat, Paspalum notatum atau yang tidak menjalar seperti rumput pahit dan rumput karpet (PRAWIRADIPUTRA dan TALA'OHU, 1998). Rumput Brachiaria brizantha dan B. decumbens tidak dianjurkan karena terlalu agresif sehingga berubah menjadi gulma yang mengganggu tanaman pangan yang ditanam di bidang olah.

Pengawetan

Sistem pengawetan hijauan pakan pada dasarnya ada dua macam, yaitu pengawetan sebelum dipanen dan pengawetan setelah dipanen. Yang dimaksud dengan pengawetan sebelum dipanen adalah membiarkan sisa hasil tanaman pangan di lapangan, seperti pohon jagung yang tongkolnya sudah dipetik.

(7)

Sedangkan yang dimaksud dengan pengawetan setelah dipanen adalah menyimpan hijauan sedemikian rupa sehingga masih bisa diberikan kepada ternak setelah periode waktu tertentu. Pengawetan yang sudah dikenal adalah silase dan hay. Namun ternyata dalam penerapannya kurang populer di mata peternak akibat dari kendala sebagaimana yang sudah diuraikan.

KESIMPULAN

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia yang sedang berkembang menghadapi berbagai kendala termasuk kendala pasokan hijauan pakan. Untuk mengatasinya perlu diupayakan suatu sistem produksi hijauan pakan yang berkelanjutan. Beberapa teknologi sistem pasokan hijauan yang bisa dikembangkan di wilayah peternakan sapi perah di Indonesia adalah sistem tiga strata, pertanaman lorong, pertanaman pagar, tanaman penguat teras dan pengawetan. Namun penerapan teknologi itu menghadapi berbagai kendala seperti sempitnya lahan di peternakan sapi perah rakyat, kurangnya modal dan masih rendahnya taraf pengetahuan peternak.

Agar teknologi ini bisa diterapkan diperlukan upaya dalam bentuk percontohan yang terus menerus, tidak sekedar penyuluhan yang dilakukan secara konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

BADAN PUSAT STATISTIK. 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

BADAN PUSAT STATISTIK. 2008. Statistik Peternakan Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2008.

COWAN, R.T. and K.F. LOWE. 1998. Tropical and Subtropical grass management and quality. Dalam J.H. CHERNEY and D.J.R. CHERNEY (eds), 1998. Grass for dairy cattle, CABI Publishing. New York, USA.

DADANG,W. I., Y. SUHENDAR, T. M. SELAMET, S.P. PENI, dan P.T. ENNY, 2008. Membumikan Tiga Jurus Agrina, Tabloid Agribisnis dwimingguan, 7 January 2008.

DEVENDRA, C. 1993. Sustainable Animal Production from Small Farm Systems in South-east Asia. FAO Animal Production and Health Paper 106. FAO Rome.

DEVENDRA, C. 1999. Dairying in integrated farming systems. Dalam L. Falvey and C. Chantalakhana (eds). Smallholder dairying in the tropics. Institute of land and food resources the University of Melbourne, Thailand Research Fund and International Livestock Research Institute. Nairobi, Kenya. 462 pp.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta.

ERNANTO, D. 2003. Perlu Impor Bibit Sapi Perah. Sinar Harapan. Jakarta.

FALVEY, L. 1999. The future for smallholder dairying. Dalam L. FALVEY and C. CHANTALAKHANA (eds). Smallholder dairying in the tropics. Institute of land and food resources the University of Melbourne, Thailand Research Fund and International Livestock Research Institute. Nairobi, Kenya. 462 pp.

HARYATI, U., A. RACHMAN, A. ABDURACHMAN dan T. PRASETYO, 1991. Erosi, aliran permukaan, produksi tanaman pangan dan daya dukung ternak pada berbagai teknik konservasi pada tanah typic eutropept Ungaran. Dalam SOELAEMAN et al. (eds). Risalah Seminar Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Kabupaten Semarang dan Boyolali. P3HTA, Badan Litbang Pertanian.

HENDARTO, T., N.L. NURIDA, A. DARIAH dan M. SUBAGDJA, 1998. Peranan pola tanam dan tanaman penguat teras pada usahatani lahan kering di DAS Cimanuk Hulu. Dalam AGUS et al. (eds) Alternatif dan pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Puslitbangtanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

HUMPHREYS, L.R. 1999. Forage utilization. Dalam L. FALVEY and C. CHANTALAKHANA (eds). Smallholder dairying in the tropics. Institute of land and food resources the University of Melbourne, Thailand Research Fund and International Livestock Research Institute. Nairobi, Kenya. 462 pp.

KUSNADI, U. dan E. JUARINI, 2007. Optimalisasi pendapatan usaha pemeliharaan sapi perah dalam upaya peningkatan produksi susu nasional. Wartazoa. Vol. 17, No. 1 tahun 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

(8)

LATHAN, M. 2003. Crop residues as a strategic resources in mixed farming systems.

LUTHAN, F. (tanpa tahun). Bermunculan, Sentra Baru Budidaya Sapi Perah di Luar Jawa. News Letter Direktorat Jenderal Peternakan Edisi 2.

www.ditjennak.go.id. Posting 3 Oktober 2007. MAHYUDDIN, P., S.B. SIREGAR, N. HIDAYATI dan T. SUGIARTI. 1997. The production performance of Holstein-Friesian Dairy Cattle in West Java. JITV, vol. 2 no. 3, 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. MOORE, K.C. 1998. Economics of grass for dairy

cattle. Dalam J.H. CHERNEY and D.J.R. CHERNEY (eds), . Grass for dairy cattle, CABI Publishing. New York, USA.

MULYADI, A., T.D. SOEDJANA dan SUBANDRIYO. 1995. Sistem produksi dan efisiensi usaha sapi perah rakyat di Jawa, Jurnak Penelitian Peternakan Indonesia. No 2 Februari 1995. NAS. 1977. Leucaena : Promising Forage and Tree

Crop for the Tropics. National Academy of Sciences. Washington, D.C.

NITIS, I.M. 1999. Production of forage and fodder. Dalam L. FALVEY and C. CHANTALAKHANA (eds). Smallholder dairying in the tropics. Institute of land and food resources the University of Melbourne, Thailand Research Fund and International Livestock Research Institute. Nairobi, Kenya. 462 pp.

NITIS, I.M., K. LANA dan A.W. PUGER. 2004. Pengalaman Pengembangan Tanaman-Ternak Berwawasan Lingkungan di Bali. Dalam HARYANTO et al. (eds). Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar Nasional. Denpasar, Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN.

PRASETYO, T., J. TRIASTONO, D. LUBIS, B.R. PRAWIRADIPUTRA dan H.M. TOHA. 1991. Penataan rumput pada bibir teras dan dampaknya terhadap produksi tanaman pangan di Desa Sonokulon, Blora. Dalam LUBIS et al. (eds). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Lahan Sedimen dan Vulkanik DAS Bagian Hulu. P3HTA, Badan Litbang Pertanian.

PRAWIRADIPUTRA, B.R. 1986. Pola penggunaan hijauan makanan ternak di Daerah Aliran Sungai Jratunseluna dan Brantas. Seri makalah Penelitian no. 1. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

PRAWIRADIPUTRA, B. R. dan A. HANAFIAH. 2001. Penampilan peternakan sapi perah rakyat di Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang. 2. Komposisi hijauan pakan. Laporan Internal. Tidak diterbitkan.

PRAWIRADIPUTRA, B.R. dan S.H. TALA'OHU. 1998. Jenis-jenis Hijauan pakan ternak sebagai tanaman konservasi di DAS Cimanuk Hulu. Dalam AGUS et al. (eds) Alternatif dan pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Puslitbangtanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

PRAWIRADIPUTRA, B.R. 2004. Sistem usahtani Tanaman-Ternak di Lahan Kering DAS Jratunseluna. Disertasi. Universitas Gadjah Mada.

RACHMAN, B. 1998. Keunggulan Komparatif dan Analisis Sensitivitas Usaha Ternak Sapi Perah menurut Pola Pengusahaan di Jawa Barat. JITV, vol. 3 no. 1, 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

REKSOHADIPRODJO, S., S. LEBDOSUKOYO, S. PRIYONO dan R. UTOMO. 1979. Nilai makanan limbah pertanian untuk ruminansia. Dalam SITORUS et al. (eds) Prosiding Seminar Penelitian dan penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

SIREGAR, S.B. 2001. Peningkatan Kemampuan Berproduksi susu sapi perah laktasi melalui perbaikan pakan dan frekuansi pemberiannya. JITV, vol. 6 no. 2, 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

SWASTIKA, D.K.S. 2001. Krisis ekonomi dan peternakan sapi perah. Bulletin Agro Ekonomi I (4). Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

YUSDJA, YUSMICHAD. 2005. Kebijakan ekonomi industri agribisnis sapi perah di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol.3 No.3, September 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya

Dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh selebriti endorser (X 1 ) dan desain produk ( X 2 ) berpengaruh secara simultan dan secar parsial

1) Udjo melakukan persiapan dengan membekali dirinya dengan berbagai keahlian dan keilmuan yang menunjang pengembangan seni tradisi. Keahlian yang dimiliki berhasil

Jadi, level organisasi menunjukkan bahwa berita tentang kabut asap yang dikritik dalam Pojok Atan Sengat karena tujuan dari dibentuknya pojok tersebut adalah

Sistem ini dibangun dengan menerapkan metode Simple Additive Weighting (SAW) sebagai metode penjumlahan terbobot yang digunakan dalam memecahkan masalah multi

tebal pelat untuk menahan gaya geser pada sistem flat slab sebesar 50 cm sedangkan pada tipe two way slab with beam dibutuhkan tinggi balok 75 cm dengan tambahan

Hasil penelitian menunjukan hubungan yang positif antara kinerja divisi TI yang ditinjau dan kualitas produk dan layanan SI/TI terhadap persepsi peningkatan kinerja

sebagai berikut: (1)Pertunjukannya membosankan karena dalang menceritakan gambar dengan kata- kata yang monoton; (2) Kurangnya ragam lakon; (3) Cerita Panji merupakan cerita