• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN SOLO HILIR DI DESA KANOR, BOJONEGORO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN SOLO HILIR DI DESA KANOR, BOJONEGORO"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR – RC 09 1380

PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN

SOLO HILIR DI DESA KANOR, BOJONEGORO

Dyah Riza Suryani

NRP 3107 100 701

Dosen Pembimbing

Ir. Fifi Sofia

Mahendra Andiek Maulana, ST.,MT.

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

(2)

PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN SOLO HILIR DI DESA KANOR, BOJONEGORO

Nama/NRP : Dyah Riza Suryani / 3107 100 701

Jurusasan/Fakultas : Teknik Sipil / FTSP - ITS Dosen Pembimbing :

1. Ir. Fifi Sofia

2. Mahendra Andiek Maulana, ST.,MT.

ABSTRAK

Perencanaan perbaikan tebing Bengawan Solo Hilir di desa Kanor, Bojonegoro dan di desa Kanorejo, Tuban ini dilakukan untuk menanggulangi masalah kelongsoran atau gerusan tebing yang sering dijumpai pada sungai. Seperti diketahui sebelumnya, Bengawan Solo Hilir merupakan sungai yang memiliki pola meandering yang sangat rawan terhadap gerusan di sisi luar tikungan dan sedimentasi di sisi dalam tikungan. Untuk menanggulangi kelongsoran tersebut, diperlukan suatu bangunan pengendali gerusan pada tebing Bengawan Solo.

Metodologi perencanaan perbaikan tebing Bengawan Solo Hilir di desa Kanor, Bojonegoro dan di desa Kanorejo, Tuban ini, pertama kali dilakukan analisa hidrologi dan analisa hidrolika. Analisa hidrologi digunakan untuk menentukan debit andalan 80% dengan metode statistik duration curve dan debit rencana dengan metode Gumbel. Analisa hidrolika meliputi perhitungan debit fulbank dengan menggunakan Persamaan Manning, analisa kapasitas penampang saluran dan kecepatan aliran dengan HEC-RAS, perhitungan gaya seret, perhitungan angkutan sedimen dasar dengan metode Shield untuk keperluan analisa degradasi dan agradasi dasar saluran, dan analisa gerusan lokal pada kaki revetmen untuk mengetahui sisi mana saja yang terjadi gerusan dan seberapa dalam gerusan yang terjadi. Tanah tebing Bengawan Solo Hilir pada ruas yang ditinjau, berpotensi mengalami kelongsoran dan ditinjau garis kelongsorannya dengan metode irisan bidang luncur bundar untuk menentukan posisi penempatan struktur revetmen agar aman dari pengaruh longsoran.

Pemilihan alternatif metode penanggulangan, didasarkan pada kesesuaian, kemudahan pelaksanaan dan kemudahan memperoleh bahan dasar struktur yang tersedia di lapangan. Dalam Tugas Akhir ini digunakan konstruksi revetmen dari pasangan batu dengan kemiringan lebih besar dari 1:1. Pondasi yang digunakan dalam perencanaan ini adalah jenis pondasi tiang pancang beton dengan diameter 40 cm. Penggunaan pasangan batu dipertimbangkan karena kemudahan memperoleh material yang tersedia. Diharapkan dengan adanya penanggulangan tersebut kerusakan akibat gerusan tebing sungai dapat diminimalisir sehingga kerugian yang ditimbulkan baik saat ini dan masa yang akan datang tidak terjadi.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai adalah suatu saluran drainase yang terbentuk secara alamiah. Sungai Bengawan Solo merupakan sungai alluvial yang mempunyai suatu sistem yang dinamik. Sungai selalu memberikan respon terhadap aktivitas alami dan aktivitas yang disebabkan oleh manusia guna mencapai suatu kondisi keseimbangan yang baru. Perubahan tersebut dapat berupa agradasi dan degradasi dasar sungai, gerusan tebing, dan gerusan lokal. Selain itu, sesuai dengan sifat fisiknya, sungai alluvial merupakan sungai yang mengalir di atas tanah endapannya sendiri. Sungai alluvial membawa banyak angkutan sedimen yang selanjutnya diendapkan di sepanjang alurnya.

Di Bengawan Solo terjadi fluktuasi debit yang sangat besar antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada saat musim penghujan, debit banjir sering melewati sungai tersebut, sedangkan pada musim kemarau, debit yang terjadi sangat kecil. Kecepatan alirannya pun juga bervariatif tergantung debit yang melintas. Pada saat terjadi debit banjir, kecepatan alirannya sangat besar sehingga mampu menyebabkan penggerusan baik pada tebing sungai Bengawan Solo maupun pada dasar sungainya. Sungai Bengawan Solo membawa banyak angkutan sedimen yang selanjutnya diendapkan di sepanjang alurnya. Akibat dari kegiatan penggerusan dan pengendapan, maka akan terbentuk suatu pola sungai meandering (berbelok-belok). Kondisi ini, umum terjadi pada sungai alluvial seperti halnya dengan Sungai Bengawan Solo.

Di Sungai Bengawan Solo bagian hilir, banyak dijumpai kasus kelongsoran atau kerusakan tebing sungai. Baik itu akibat dari pengaruh kecepatan arusnya, rapid draw down

(penurunan muka air tanah secara tiba-tiba) pasca terjadinya debit banjir besar, maupun akibat fluktuasi debit yang selalu berubah-ubah. Dilihat dari kondisi tersebut, banyak kerugian dan masalah yang ditimbulkan akibat rusaknya tebing Sungai Bengawan Solo.

Perencanaan ini perlu mempelajari penyebab kerusakan tebing sungai di Desa Kanor, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro (BM 114 dari hilir) dan di Desa Kanorejo, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, total sepanjang ± 900 m. Pada lokasi

Sungai Bengawan Solo di Desa Kanor telah dibangun konstruksi tanggul penahan banjir. Gerusan tebing sungai yang terjadi, apabila terus dibiarkan akan dikhawatirkan berbahaya bagi tanggul tersebut. Ruas sungai di Desa Kanorejo, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, merupakan tikungan luar sungai sehingga sangat rawan terjadi gerusan dan kelongsoran tebing sungai.

Untuk menanggulangi masalah ini, terlebih dahulu perlu dipahami karakteristik ruas sungai yang ditinjau. Pemilihan alternatif penanggulangan sesuai dengan metode desain serta standar dan pedoman yang ada. Ketersediaan dan kemudahan memperoleh bahan dasar struktur yang tersedia di lapangan juga harus diperhatikan. Diharapkan dengan adanya penanggulangan tersebut, kerusakan akibat gerusan tebing sungai dapat diminimalisir sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat dihindari.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang diangkat Tugas Akhir ini adalah :

1. Apa penyebab gerusan tebing pada ruas Sungai Bengawan Solo hilir di Desa Kanor, Bojonegoro dan ruas sungai di Desa Kanorejo, Tuban? 2. Bagaimana struktur penahan

gerusan tebing (revetmen) yang sesuai dengan kondisi lapangan? 3. Bagaimana cara mengatasi peluapan

yang terjadi dan pengamanan lereng tanggul dan tebing sungai apabila penampang sungai tidak mampu menampung debit maksimum yang melintasi sungai tersebut?

1.3 Tujuan

1. Dengan melakukan analisa hidrolika pada ruas sungai yang bersangkutan dapat diketahui penyebab terjadinya gerusan tebing pada ruas Sungai Bengawan Solo hilir di Kanor, Bojonegoro dan di Desa Kanorejo, Tuban.

2. Mendapatkan desain struktur penahan gerusan tebing (revetment) yang sesuai dengan kondisi lapangan.

3. Meningkatkan kapasitas tanggul serta dan mengamankan lereng

(4)

tanggul dan tebing sungai agar aman terhadap debit maksimum rencana.

1.4 Batasan Masalah

Pada Laporan Tugas Akhir ini batasan masalah meliputi :

1. Analisa data geometri dan karakteristik fisik sungai dilakukan hanya di beberapa titik lokasi yang di tinjau (CP 114/2 s/d CP 113/2). 2. Analisa data debit berdasarkan hasil

pengukuran debit Sungai Bengawan Solo hilir di lokasi yang ditinjau. 3. Menganggap bahwa aliran sungai

pada ruas-ruas yang ditinjau dalam kondisi aliran tetap seragam (steady

uniform flow) karena data yang

diperoleh dari Dinas PU Pengairan Pengolaan Banjir dan Perbaikan Sungai Bengawan Solo I yang di Madiun kurang lengkap.

4. Analisa data angkutan sedimen bed-load didasarkan pada pengukuran di daerah Sungai Bengawan Solo di Desa Kedung Arum, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro dan di Desa Kedung Harjo, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban karena tidak ada pengukuran sedimen di lokasi studi Tugas Akhir.

5. Hanya memilih satu macam konstruksi revetmen.

6. Tidak menganalisa anggaran biaya pembangunan dan metode pelaksanaan konstruksi revetmen yang direncanakan.

1.5 Manfaat

1. Struktur pengamanan tebing yang di desain mampu mengatasi gerusan tebing pada ruas Sungai Bengawan Solo hilir di Desa Kanor, Bojonegoro dan ruas sungai di Desa Kanorejo, Tuban.

2. Tanggul yang ditingkatkan kapasitasnya mampu dilalui debit maksimum rencana sehingga peluapan dapat dihindarkan.

3. Lereng tanggul dan tebing sungai aman terhadap arus sungai.

BAB IV METODOLOGI

Metodologi perncanaan ini meliputi survey pendahuluan dan studi literatur,

pengumpulan data, serta perhitungan dan analisa data.

4.1 Survey Pendahuluan Dan Studi

Literatur

Berdasarkan survey lapangan, kondisi daerah yang akan distudi adalah daerah yang memiliki permasalahan kerusakan tebing sungai akibat gerusan air yang jika dibiarkan akan berbahaya pada tanggul penahan banjir di sepanjang lokasi yang ditinjau. Hal ini sudah dibahas pada Bab II Gambaran Umum Wilayah dan Lokasi Perencanaan Tugas Akhir.

Sebagai penunjang proses pengolahan dan perhitungan data, perlu dilakukan tinjauan terhadap teori-teori yang ada dengan menggunakan buku pustaka atau sumber-sumber lainnya. Dasar-dasar teori yang digunakan tersebut merujuk pada Bab III Tinjauan Pustaka.

4.2 Pengumpulan Data

Mengumpukan data-data yang

dibutuhkan untuk melakukan analisa dan

perencanaan kriteria disain yang sesuai, antara lain :

1. Peta hasil pengukuran

Diperlukan untuk mengetahui profil memanjang dan melintang sungai yang akan digunakan untuk menentukan kemiringan tebing dan kemiringan dasar Bengawan Solo hilir di ruas sungai yang ditinjau, yaitu CP 114/2, CP 114/1, BM 114, CP 113/4, CP 113/3 dan CP 113/2. Data yang diperoleh adalah hasil pengukuran yang dilakukan oleh pihak Dinas Pengairan PBPS Madiun.

2. Data hidrologi

Mencakup data debit hasil pengukuran yang dilakukan oleh pihak Dinas Pengairan PBPS Madiun, elevasi muka air. Data ini diperlukan untuk menganalisa besarnya kecepatan, kapasitas tampungan penampang sungai, dan gaya yang bisa menyebabkan terangkutnya butiran-butiran tanah tebing (tractive force) sehingga terjadi gerusan.

3. Data sedimen

Diperlukan untuk mengetahui besarnya angkutan sedimen di dalam aliran untuk mengetahui besarnya angkutan sedimen akibat gerusan yang nantinya digunakan untuk menentukan apakah dasar saluran di

(5)

lokasi yang ditinjau mengalami degradasi atau agradasi.

4. Data tanah

Diperlukan untuk mengetahui jenis tanah di sekitaran tebing sungai dan dipergunakan untuk analisa kestabilan tebing.

4.3 Perhitungan dan Analisa Data

4.3.1 Analisa Hidrologi

1. Menghitung Debit Andalan 80%

Menentukan debit andalan 80% dimaksudkan untuk menentukan besarnya debit yang lewat pada ruas sungai yang ditinjau yang kejadiannya diperkirakan ada 80% di setiap tahunnya. Perhitungan ini dilakukan dengan metode statistik duration curve. Perhitungan ini nantinya akan digunakan untuk merencanakan tinggi minimum konstruksi revetmen yang sesuai.

2. Menghitung Debit Periode Ulang

Bangunan pengendalian gerusan tebing sungai ini direncanakan berdasarkan debit tertentu yang disebut debit rencana. Dalam kasus ini, akan ditinjau Q10, Q50, Q100, Q150, dan Q200. Dalam

Tugas Akhir ini, perhitungan debit periode ulang digunakan Rumus Gumbel (lihat Bab III, Persamaan 3.4). perhitungan ini digunakan untuk menentukan besarnya debit banjir rencana.

4.3.2 Analisa Hidrolika

1. Menghitung Debit Tampungan Penuh

(fullbank discharge)

Menghitung debit tampungan penuh untuk menentukan besarnya kapasitas sungai pada ruas sungai yang ditinjau hingga mencapai kondisi penuh. Digunakan untuk menentukan tinggi revetmen dan menganalisa kapasitas tampungan tanggul sungai. Untuk menghitung debit tampungan penuh digunakan Persamaan Manning (Persamaan 3.6 - lihat Bab III Tinjauan Pustaka).

2. Menganalisa Kapasitas Ruas Sungai

dan Kecepatan Aliran dengan HEC-RAS

Untuk memperoleh debit dominan, analisa kapasitas tampungan, dan kecepatan aliran digunakan dengan analisa steady flow dalam perhitungan

dengan menggunakan program HEC-RAS.

3. Menghitung Tractive Force

Menghitung gaya tarik (tractive force) untuk menentukan kestabilan pada dasar sungai dan tebing sungai akibat adanya gaya yang bekerja pada suatu saluran. Lihat Persamaan 3.9 dan 3.10 pada Bab III.

4. Menganalisa Angkutan Sedimen

Dasar Saluran (Bed Load Transport)

Menghitung besarnya angkutan sediment dan menganalisanya di potongan sebelum dan sesudah lokasi yang ditinjau, apakah terjadi degradasi atau agradasi di dasar salurannya dengan menggunakan Metode Shield Persamaan 3.11 pada Bab III Tinjauan Pustaka untuk menghitung besarnya bed load.

5. Menganalisa Local Scour pada

Konstruksi Revetmen

Menganalisa kemungkinan terjadinya local scour akibat adanya konstruksi revetmen dengan cara membandingkan besarnya U yang terjadi dengan U competen yang diperoleh dari Gambar 3.4 pada Bab III Tinjauan Pustaka. Sehingga bisa diperkirakan letak dan konstruksi pondasi revetmen yang aman.

4.3.3 Menghitung Potensi Longsoran

Tanah Tebing Sungai

Menghitung bidang longsor tanah tebing sungai tersebut dengan menggunakan metode Fellinius yang rumusnya dapat dilihat pada Bab III Persamaan (3.12).

4.3.4 Memilih Konstruksi Revetmen yang

Stabil, Kuat, dan Sesuai

Memilih konstruksi bangunan pengendali gerusan (revetmen) yang sesuai dengan tujuan pengendalian dan perencanaan hidrolik dan stabilitas bangunan/saluran.

4.3.5 Mengontrol Stabilitas Konstruksi Revetmen

Setelah dipilih konstruksi revetmen yang akan digunakan, maka perlu dilakukan kontrol stabilitas pada konstruksi yang dipilih. Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan ataukah masih belum memenuhi kriteria kebutuhan.

4.3.6 Memberikan Kesimpulan

Memberikan kesimpulan dari pemilihan dan perencanaan konstruksi revetmen

(6)

yang sesuai dengan kondisi tebing Bengawan Solo Hilir yang ditinjau.

4.4 Diagram Alir

Berikut ini adalah diagram alir proses pengerjaan perhitungan dan analisa untuk Tugas Akhir :

BAB V

PERHITUNGAN DAN ANALISA DATA

5.1 Analisa Hidrologi

Analisa hidrologi meliputi perhitungan debit andalan 80% yang akan digunakan untuk merencanakan konstruksi revetmen, serta perhitungan debit pada beberapa periode ulang untuk menentukan debit banjir yang melintasi ruas sungai yang ditinjau.

5.1.1 Analisa Debit Andalan 80%

Menentukan debit andalan 80% dimaksudkan untuk menentukan besarnya debit yang lewat pada ruas sungai yang ditinjau yang kedatangannya diperkirakan ada 80% di setiap tahunnya.

Debit maksimum hasil pengukuran di atas adalah sebesar 1379 m3/dt. Untuk debit minimum di atas terdapat nilai 0. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ujung AWLR tidak menyentuh air (menggantung) dikarenakan elevasi muka airnya yang sangat rendah, sehingga yang tercatat adalah angka 0.

Cara menentukannya adalah dengan menggunakan metode statistik duration curve.

R = 1379 m3/dt

Jumlah data (n) adalah jumlah data yang diolah, yakni sebanyak 40 tahun data pengukuran debit bulanan. n = 480.

faktor K = 1 + 3,3322 log n = 1 + 3,3322 log 480 = 9,934

Perhitungan interval debit metode statistik :

Tabel 5.3 Perhitungan Duration Curve

Interval Titik Tengah Frekuensi Frek. Kum. % 0 139 69,5 193 480 100 140 279 209,5 64 287 59,79 280 419 349,5 58 223 46,46 420 559 489,5 51 165 34,38 560 699 629,5 40 114 23,75 700 839 769,5 36 74 15,42 840 979 909,5 17 38 7,92 980 1119 1049,5 13 21 4,38 1120 1259 1189,5 3 8 1,67 1260 1399 1329,5 5 5 1,04 Jumlah 480

(7)

Gambar 5.1 Grafik Duration Curve Untuk menentukan besarnya debit dominan 80% dari duration curve tersebut, bisa diperoleh dari rumus trendline:

y = 0,153x2 – 26,49x +1208

dimana y adalah debit (m3/dt) dan x adalah prosentase, maka:

y = Q80% = 0,153 (802) – (26,49 x 80) + 1208

= 979,2 – 2119 + 1208 = 68 m3/dt

Jadi, debit andalan 80% yang terjadi di sepanjang tahun adalah 68 m3/dt.

5.1.2 Menghitung Debit Periode Ulang

Debit periode ulang adalah debit banjir rencana terbesar yang akan melewati saluran tersebut dalam suatu periode ulang tertentu, yang digunakan untuk menentukan desain spenampang saluran yang direncanakan. Dalam Tugas Akhir ini digunakan debit periode ulang 10 tahun, 50 tahun, 100 tahun, 150 tahun, 200 tahun. Untuk menghitung debit periode ulang ini digunakan metode Gumbel. Data debit yang digunakan dalam perhitungan metode Gumbel adalah data debit bulanan.

Berikut ini adalah langkah perhitungan debit periode ulang dengan menggunakan metode Gumbel.

Perhitungan debit banjir rencana 10 tahunan (X10)

Rata-rata debit selama 480 bulan : Xrata2

= 328 m3/dt

Jumlah data yang digunakan adalah sebesar N = 480 bulan

Diperoleh dari perhitungan ∑ (X-Xrata2)2 =

47426607 (m3/dt)2

Standar deviasi =

Perhitungan debit periode ulang :

T = 10 tahun yT =

Karena harga N untuk metode gumbel terbatas untuk 100, maka untuk menghitung N > 100 digunakan Persamaan 3.5 (Bab III Tinjauan Pustaka)

Debit periode ulang 10 tahunan (X10)

diperoleh dengan Persamaan 3.4 (Bab III Tinjauan Pustaka)

Untuk perhitungan debit periode ulang 50 tahunan, 100 tahunan, 150 tahunan, dan 200 tahunan diperoleh dengan langkah pengerjaan sama dengan contoh perhitungan debit periode ulang 10 tahunan. Berikut ini adalah hasil perhitungan debit periode ulang 50 tahun, 100 tahun, 150 tahun, dan 200 tahun :

Tabel 5.4 Hasil perhitungan debit

periode ulang Periode Ulang (tahun) yT KT XT (m3/dt) 50 3,902 2,593 1144,07 100 4,600 3,137 1315,37 150 5,007 3,454 1415,27 200 5,296 3,679 1486,05 Setelah diperoleh debit periode ulang tahun-tahun tersebut di atas, selanjutnya akan dimasukkan ke dalam analisa HEC-RAS Steady Flow untuk mengetahui kapasitas tampungan penampang sungai.

5.2 Analisa Hidrolika

5.2.1 Perhitungan Debit Tampungan Penuh (fullbank discharge)

Morfologi sungai terbentuk oleh perubahan debit dan angkutan sedimen. Ada sebagian ahli yang berpendapat, bahwa debit tampungan penuh berperan pada pembentukan geometri sungai, dengan alasan bahwa debit kecil hanya sedikit membawa sedimen, sehingga tidak banyak atau kecil pengaruhnya pada penampang sungai.

Kemiringan dasar saluran (S) diperoleh dari perhitungan antara selisih

(8)

elevasi antar titik yang ditinjau dengan jarak antar titik yang ditinjau. Untuk lebih jelasnya bisa di lihat dari gambar potongan memanjang sungai (long section) pada Lampiran 1. Dalam kasus ini, diambil elevasi bagian terdalam dari sungai (talwegh).

Berikut adalah hasil perhitungan kemiringan dasar saluran (S) untuk tiap-tiap titik yang ditinjau :

Tabel 5.5 Perhitungan kemiringan dasar

saluran Ruas panjang ruas (m) elevasi titik awal elevasi titik akhir selisih elevasi (m) kemiringan dasar (S) = (5)/(2) tipe kemiringan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) CP 114/2 117 1.23 1.30 0.07 0.0006 negatif CP 114/1 132 1.30 -1.05 0.25 0.0019 positif BM 114 122 -1.05 -2.11 1.06 0.0087 positif CP 113/4 145 -2.11 -1.11 1.00 0.0069 negatif CP 113/3 152 -1.11 -2.04 0.93 0.0061 positif CP 113/2 172 -2.04 -0.58 1.46 0.0085 negatif

Luasan masing-masing penampang melintang sungai dihitung dengan menggunakan AutoCAD karena keterbatasan dalam ketelitian untuk menghitung bentuk penampang yang tidak beraturan.

Untuk menghitung kecepatan aliran yang melintas pada penampang tersebut, ditentukan angka kekasaran Manning (n) yang sesuai dengan kondisi sungainya. Dalam kasus ini, diambil angka kekasaran Manning sebesar 0,08 angka maksimum untuk jenis saluran aliran lambat, banyak terdapat tanaman, dan dalam (lihat Lampiran 2).

Contoh perhitungan untuk penampang CP 114/2 :

Diketahui : n = 0,08 (angka kekasaran Manning)

h = 8,72 m (ketinggian air fullbank) A = 1276,31 m2

P = 177,75 m

Jari-jari hidrolis R = A/P = 1276,31 / 177,75 = 7,18 m

Kecepatan aliran V untuk masing-masing bagian penampang dengan kedalaman tertentu adalah :

Debit Q tertentu yang melewati penampang dengan ketinggian air tertentu tersebut adalah :

Setelah diperoleh debit hasil perhitungan bankful discharge, maka hasil perhitungan tersebuk dijadikan input dalam analisa HEC-RAS untuk diketahui kecepatan aliran yang melintas, rating curve, dan kapasitas tampungannya dari hasil analisa HEC-RAS.

Debit yang digunakan untuk analisa HEC-RAS selanjutnya adalah debit yang melintasi penampang CP 114/2, karena penampang tersebut merupakan bagian hulu dari potongan Sungai Bengawan Solo yang ditinjau. Untuk penampang-penampang berikutnya akan dimasukkan debit yang sama dengan penampang CP 114/2.

Berikut ini adalah pentabelan hasil perhitungan Persamaan Manning untuk masing-masing ruas.

Tabel 5.6 Perhitungan Kapasitas Tampungan Penuh h A P R2/3 V Q m m2 m (A/P)2/3 1/nR2/3S1/2 m3/dt 1 CP 114/2 8.72 1276.31 177.75 3.72 0.024 0.10 0.9 1161.9 2 CP 114/1 8.39 1291.95 218.21 3.27 0.044 0.10 1.4 1840.1 3 BM 114 11.74 1359.86 205.84 3.52 0.093 0.10 3.3 4462.8 4 CP 113/4 11.95 1248.46 203.66 3.35 0.083 0.10 2.8 3472.7 5 CP 113/3 11.40 1415.02 227.22 3.38 0.078 0.10 2.6 3740.9 6 CP 113/2 13.05 1450.20 207.73 3.65 0.092 0.10 3.4 4883.7 No. Ruas S1/2 n

Dari Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa debit pada masing-masing ruas berbeda-beda karena luasan salurannya juga berberbeda-beda. Selain itu, ada pengaruh kemiringan dan kedalaman salurannya.

5.2.2 Analisa Kapasitas Penampang Sungai dan Menghitung Kecepatan Aliran dengan Menggunakan HEC-RAS

Langkah-langkah awal pengerjaan HEC-RAS sama seperti yang dijelaskan dalam Bab III Tinjauan Pustaka, yakni dengan memasukkan data geometri sungai terlebih dahulu. Masing-masing penampang sungai diberi nama stasiun dari hulu ke hilir. Stasiun 6 untuk penampang CP 114/2 adalah bagian hulu, sedangkan stasiun 1 untuk penampang CP 113/2 adalah bagian hilir.

(9)

Gambar 5.2 River Reach sungai yang ditinjau

Data koordinat geometri penampang melintang sungai yang diinput bisa dilihat pada Lampiran 3, dimana terdiri dari station sebagai sumbu x, dan elevation sebagai sumbu y.

Analisa HEC-RAS diasumsikan dalam kondisi aliran Steady Flow. Data debit yang dimasukkan adalah data hasil pengukuran, data hasil perhitungan debit kapasitas penuh, debit andalan 80%, dan hasil dari perhitungan debit periode ulang Q10, Q50, Q 100, Q150, Q200, debit rata-rata

bulan basah, dan debit rata-rata bulan kering.

Steady Flow Boundary Condition (Normal Depth) dengan mengisikan kemiringan dasar saluran. Kemiringan dasar saluran diperoleh dari perhitungan seperti pada Sub-Bab 5.2.1.

Jika data yang diisikan sudah lengkap, maka program sudah siap untuk dijalankan. Untuk menjalankan program tersebut, dilakukan dengan menggunakan

steady flow analysis pada tab menu Run. Selanjutnya hasil perhitungan program HEC-RAS Steady Flow Analisys

akan ditabelkan sebagai berikut. Sehingga bisa dilihat perbandingannya.

1. Hasil analisa HEC-RAS debit pengukuran

Tabel 5.7 Hasil analisa HEC-RAS debit pengukuran Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 1379 8.79 1.46 0.20 5 CP 114/1 1379 8.57 1.31 0.19 4 BM 114 1379 8.33 1.52 0.22 3 CP 113/4 1379 7.79 1.6 0.24 2 CP 113/3 1379 7.41 1.68 0.27 1 CP 113/2 1379 6.53 2.47 0.44

2. Hasil analisa HEC-RAS debit perhitungan bankful discharge

Tabel 5.8 Hasil analisa HEC-RAS debit kapasitas penuh Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 1452.4 8.94 1.5 0.20 5 CP 114/1 1452.4 8.71 1.34 0.19 4 BM 114 1452.4 8.47 1.56 0.22 3 CP 113/4 1452.4 7.92 1.64 0.24 2 CP 113/3 1452.4 7.53 1.72 0.27 1 CP 113/2 1452.4 6.64 2.51 0.44

3. Hasil analisa HEC-RAS debit andalan 80%

Tabel 5.9 Hasil analisa HEC-RAS debit andalan 80% Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air(m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 68 3.84 0.37 0.10 5 CP 114/1 68 3.65 0.56 0.18 4 BM 114 68 3.48 0.50 0.13 3 CP 113/4 68 3.43 0.27 0.05 2 CP 113/3 68 3.37 0.66 0.21 1 CP 113/2 68 2.65 1.14 0.36

4. Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 10 tahun

Tabel 5.10 Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 10 tahun

Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 738.86 7.28 1.06 0.16 5 CP 114/1 738.86 7.09 0.99 0.16 4 BM 114 738.86 6.90 1.15 0.19 3 CP 113/4 738.86 6.51 1.16 0.19 2 CP 113/3 738.86 6.22 1.28 0.24 1 CP 113/2 738.86 5.45 1.96 0.41

5. Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 50 tahun

Tabel 5.11 Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 50 tahun

Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 1144.07 8.30 1.33 0.19 5 CP 114/1 1144.07 8.09 1.20 0.18 4 BM 114 1144.07 7.97 1.40 0.21 3 CP 113/4 1144.07 7.47 1.46 0.22 2 CP 113/3 1144.07 7.13 1.55 0.26 1 CP 113/2 1144.07 6.43 2.30 0.43

6. Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 100 tahun

Tabel 5.12 Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 100 tahun

(10)

Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 1315.37 8.66 1.43 0.19 5 CP 114/1 1315.37 8.44 1.28 0.18 4 BM 114 1315.37 8.21 1.49 0.22 3 CP 113/4 1315.37 7.68 1.57 0.23 2 CP 113/3 1315.37 7.31 1.65 0.27 1 CP 113/2 1315.37 6.43 2.43 0.44

7. Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 150 tahun

Tabel 5.13 Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 150 tahun

Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 1415.27 8.86 1.48 0.20 5 CP 114/1 1415.27 8.64 1.32 0.19 4 BM 114 1415.27 8.40 1.54 0.22 3 CP 113/4 1415.27 7.85 1.62 0.24 2 CP 113/3 1415.27 7.47 1.70 0.27 1 CP 113/2 1415.27 6.58 2.49 0.44

8. Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 200 tahun

Tabel 5.14 Hasil analisa HEC-RAS debit periode ulang 200 tahun

Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 1486.05 9.00 1.52 0.20 5 CP 114/1 1486.05 8.78 1.35 0.19 4 BM 114 1486.05 8.54 1.57 0.22 3 CP 113/4 1486.05 7.97 1.66 0.24 2 CP 113/3 1486.05 7.59 1.73 0.27 1 CP 113/2 1486.05 6.69 2.53 0.44

9. Hasil analisa HEC-RAS debit rata-rata bulan basah

Tabel 5.15 Hasil analisa HEC-RAS debit rata-rata bulan basah

Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 754 7.80 0.97 0.14 5 CP 114/1 754 7.6 0.88 0.14 4 BM 114 754 7.40 1.03 0.16 3 CP 113/4 754 6.93 1.07 0.17 2 CP 113/3 754 6.6 1.15 0.20 1 CP 113/2 754 5.83 1.72 0.34

10. Hasil analisa HEC-RAS debit rata-rata bulan kering

Tabel 5.16 Hasil analisa HEC-RAS debit rata-rata bulan kering

Stasiun Cross Section Q total (m3/dt) Elevasi muka air (m) Kecepatan aliran (m/dt) Angka Froude 6 CP 114/2 84 4.26 0.35 0.09 5 CP 114/1 84 4.09 0.46 0.13 4 BM 114 84 3.91 0.48 0.12 3 CP 113/4 84 3.82 0.29 0.05 2 CP 113/3 84 3.74 0.58 0.17 1 CP 113/2 84 2.99 1.04 0.30

Berikut ini adalah kondisi air hasil analisa HEC-RAS dengan menggunakan debit tampungan penuh.

Gambar 5.3 Gambar kondisi kapasitas penampang hasil analisa HEC-RAS untuk debit

perhitungan kapasitas tampungan penuh Elevasi muka air maksimum dari analisa HEC-RAS mulai dari analisa debit hasil pengukuran, debit tampungan penuh, debit andalan 80%, debit rencana Q10, Q50,

Q100, Q150, Q200, debit rata-rata bulan basah,

dan debit rata-rata bulan kering diperkirakan sebesar 9,00 m dari elevasi terdalam sungai sampai elevasi muka air tertinggi. Kedalaman tersebut berdasarkan analisa HEC-RAS debit kapasitas tampungan penuh. Hal ini bisa dijadikan acuan untuk tinggi revetmen yang akan digunakan sebagai pelindung gerusan tebing sungai tersebut.

Angka Froude yang terjadi dari dari analisa HEC-RAS mulai dari analisa debit hasil pengukuran, debit tampungan penuh, debit andalan 80%, debit rencana Q10, Q50,

Q100, Q150, Q200, debit rata-rata bulan basah,

dan debit rata-rata bulan kering adalah bernilai lebih kecil 1, yakni aliran berada pada kondisi subkritis.

5.2.3 Analisa Tractive Force

Analisa traktive force dilakukan pada bagian tengah saluran, tepi saluran sisi Tuban, dan tepi saluran sisi Bojonegoro. Berikut ini adalah contoh perhitungan dari analisa tractive force untuk ruas penampang CP 114/2.

(11)

Untuk bagian tebing sisi Tuban d = diameter butiran = 0,0005 m ɑ = luas efektif butir = 7,85 . 10-7 m2 Ws = berat butir terendam = 1,04.10-6 kg ϕ = sudut kemiringan lereng = 18o θ = sudut lereng alamian = 28o (dari Gambar 3.5 Bab III)

Untuk bagian tengah saluran :

d = diameter butiran = 0,0005 m ɑ = luas efektif butir = 7,85 . 10-7 m2 Ws = berat butir terendam = 1,04 . 10-6 kg

ϕ = sudut kemiringan lereng = 0,034 (diperoleh dari tan-1 0,0006 kemiringan dasar saluran)

θ = sudut lereng alamian = 28o (dari Gambar 3.5 Bab III)

Untuk bagian tebing sisi Bojonegoro d = diameter butiran = 0,0005 m ɑ = luas efektif butir = 7,85 . 10-7 m2 Ws = berat butir terendam = 1,04 . 10-6 kg

ϕ = sudut kemiringan lereng = 18o θ = sudut lereng alamian = 28o (dari Gambar 3.5 Bab III)

Nilai τcr = 0,43 kg/m (diperoleh dari

grafik pada Gambar 3.6 Bab III) dengan memilih nilai yang disarankan untuk saluran yang mengandung banyak endapan halus dalam air, karena pada kondisi yang sebenarnya, Sungai Bengawan Solo memang banyak mengandung endapan halus dalam airnya. Jika gaya tarik hasil perhitungan untuk bagian tengah dan tebing saluran lebih kecil dari gaya tarik yang

diizinkan, maka saluran tersebut dikatakan stabil. Akan tetapi jika gaya tarik yang diizinkan lebih kecil dari pada gaya tarik hasil perhitungan, maka saluran tersebut dikatakan tidak stabil dan perlu dilakukan proteksi.

Berikut ini adalah hasil perhitungan

tractive force dari semua penampang yang ditinjau dan dengan variasi jenis debit air yang digunakan.

Tabel 5.17 Hasil perhitungan tractive force

No. τs (kg/m2) τcr (kg/m2) Keterangan 0.5 0.43 tidak stabil 0.70 0.43 tidak stabil 0.5 0.43 tidak stabil 0.3 0.43 stabil 0.70 0.43 tidak stabil 0.5 0.43 tidak stabil 0.4 0.43 stabil 0.70 0.43 tidak stabil 0.5 0.43 tidak stabil 0.4 0.43 stabil 0.70 0.43 tidak stabil 0.3 0.43 stabil 0.4 0.43 stabil 0.70 0.43 tidak stabil 0.6 0.43 tidak stabil 0.3 0.43 stabil 0.70 0.43 tidak stabil 0.5 0.43 tidak stabil CP 113/4 Bojonegoro 5 6 CP 113/3 Tuban CP 113/3 Tengah CP 113/3 Bojonegoro CP 113/2 Tuban CP 113/2 Tengah CP 113/2 Bojonegoro CP 114/1 Bojonegoro BM 114 Tuban BM 114 Tengah BM 114 Bojonegoro CP 113/4 Tuban CP 113/4 Tengah 2 3 4 CP 114/2 Bojonegoro CP 114/2 Tuban CP 114/2 Tengah CP 114/1 Tuban CP 114/1 Tengah 1 Ruas

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa ada bagian sisi tebing sungai tidak stabil. Hal ini menunjukkan bahwa sisi tersebut membutuhkan proteksi untuk melindungi terangkutnya butiran-butiran tanah tebing oleh arus sungai.

5.2.4 Analisa Angkutan Sedimen Dasar (Bed-Load Transport)

1. Jenis Sedimen Dasar (Bedload)

pada Ruas Sungai Bengawan Solo yang Ditinjau

Pengambilan sampel sedimen dilakukan di bagian upstream dan

downstream bagian Kedung Arum, Bojonegoro dan Kedung Harjo, Tuban. Masing-masing diambil sampel sedimen dasar di bagian tepi kiri, kanan, dan bagian tengah dasar Sungai Bengawan Solo. Berikut ini adalah grafik prosentase angkutan sedimen dasar pada masing-masing bagian saluran yang ditinjau.

(12)

Gambar 5.4 Grafik prosentase bedload pada downstream Kedung Arum (kiri)

Grafik di atas, tampak bahwa prosentase yang paling dominan adalah jenis sedimen pasir (sand), lihat garis warna merah muda dengan prosentase tertingginya 94% pada saat bulan basah. Sedangkan yang berwarna oranye adalah prosentase lanau (silt) dengan prosentase tertingginya 60% pada saat bulan kering. Hampir tidak terdapat lempung (clay) dan kerikil (gravel).

Gambar 5.5 Grafik prosentase bedload pada downstream Kedung Arum (tengah)

Gambar 5.6 Grafik prosentase bedload pada downstream Kedung Arum (kanan)

Gambar 5.5 menunjukkan bahwa prosentase yang paling dominan pada saat bulan-bulan basah adalah jenis sedimen pasir (sand), lihat garis warna merah muda dengan prosentase tertinggi 75%. Sedangkan yang pada saat bulan-bulan kering, sedimen yang prosentasenya lebih tinggi adalah lanau

(silt) yang garisnya berwarna oranye. Akan tetapi yang digunakan untuk perhitungan adalah sedimen pasir, karena lanau (silt) kurang berpengaruh terhadap pembentukan dasar sungai.

Gambar 5.6 menunjukkan bahwa prosentase yang paling dominan adalah jenis sedimen lanau (silt), lihat garis warna oranye dengan prosentase maksimum 78% pada saat bulan kering. Sedangkan yang berwarna merah muda adalah prosentase pasir (sand) dengan prosentase maksimum 45% pada saat bulan basah. Prosentase lempung (clay) sangat kecil sekali.

Gambar 5.7 Grafik prosentase bedload pada upstream Kedung Arum (kiri)

Gambar 5.7 menunjukkan bahwa prosentase paling dominan adalah angkutan sedimen dasar berupa pasir (sand) dengan prosentasi maksimum 95% pada saat bulan basah. Dibandingkan dengan lanau (silt) yang prosentasenya kecil sekali (garis berwarna oranye) sebesar 20% pada saat bulan kering.

Gambar 5.8 Grafik prosentase bedload pada upstream Kedung Arum (tengah)

(13)

Gambar 5.9 Grafik prosentase bedload pada upstream Kedung Arum (kanan)

Gambar 5.8 menunjukkan bahwa prosentase yang paling dominan pada saat bulan-bulan basah adalah jenis sedimen pasir (sand), lihat garis warna merah muda dengan prosentase tertinggi 102% pada saat bulan basah. Sedangkan yang pada saat bulan-bulan kering, sedimen yang prosentasenya lebih tinggi adalah lanau (silt) yang garisnya berwarna oranye dengan prosentase 40%. Akan tetapi yang digunakan untuk perhitungan adalah sedimen pasir, karena lanau (silt) kurang berpengaruh terhadap pembentukan dasar sungai.

Gambar 5.9 menunjukkan bahwa prosentase yang paling dominan pada saat bulan-bulan basah adalah jenis sedimen pasir (sand) dengan prosentase 70%, lihat garis warna merah muda. Sedangkan yang pada saat bulan-bulan kering, sedimen yang prosentasenya lebih tinggi adalah lanau (silt) dengan prosentase 60% yang garisnya berwarna oranye.

Gambar 5.10 Grafik prosentase bedload pada downstream Kedung Harjo (kiri)

Gambar 5.10 menunjukkan bahwa prosentase yang paling dominan pada saat bulan-bulan basah adalah jenis sedimen pasir (sand) dengan prosentase 83%, lihat garis warna merah muda. Sedangkan yang pada saat bulan-bulan kering, sedimen yang prosentasenya lebih tinggi adalah lanau (silt)

dengan prosentase 72% yang garisnya berwarna oranye.

Gambar 5.11 Grafik prosentase bedload pada downstream Kedung Harjo (tengah)

Gambar 5.12 Grafik prosentase bedload pada downstream Kedung Harjo (kanan)

Gambar 5.11 menunjukkan bahwa prosentase paling dominan adalah angkutan sedimen dasar berupa pasir (sand) dengan prosentasi maksimum 95% pada saat bulan basah. Dibandingkan dengan lanau (silt) yang prosentasenya kecil sekali (garis berwarna oranye) sebesar 10% pada saat bulan kering.

Gambar 5.12 menunjukkan bahwa prosentase yang paling dominan pada saat bulan-bulan basah adalah jenis sedimen pasir (sand), lihat garis warna merah muda dengan prosentase tertinggi 95% pada saat bulan basah. Sedangkan yang pada saat bulan-bulan kering, sedimen yang prosentasenya lebih tinggi adalah lanau (silt) yang garisnya berwarna oranye dengan prosentase 48%. Akan tetapi yang digunakan untuk perhitungan adalah sedimen pasir, karena lanau (silt) kurang berpengaruh terhadap pembentukan dasar sungai.

(14)

Gambar 5.13 Grafik prosentase bedload pada upstream Kedung Harjo (kiri)

Grafik di atas, tampak bahwa prosentase yang paling dominan pada saat bulan-bulan basah adalah jenis sedimen pasir (sand) dengan prosentase 90%, lihat garis warna merah muda. Sedangkan yang pada saat bulan-bulan kering, sedimen yang prosentasenya lebih tinggi adalah lanau (silt) dengan prosentase 65% yang garisnya berwarna oranye.

Gambar 5.14 Grafik prosentase bedload pada upstream Kedung Harjo (tengah)

Gambar 5.15 Grafik prosentase bedload pada upstream Kedung Harjo (kanan)

Gambar 5.14 menunjukkan bahwa prosentase paling dominan adalah angkutan sedimen dasar berupa pasir (sand) dengan prosentasi maksimum 100% pada saat bulan basah. Dibandingkan dengan lanau (silt) yang prosentasenya kecil sekali (garis berwarna oranye) sebesar 10% pada saat bulan kering.

Gambar 5.15 menunjukkan bahwa pada upstream Kedung Harjo, Tuban, di

bagian kiri, pada saat bulan-bulan basah angkutan sedimen dasar didominasi oleh pasir (sand) dengan prosentase 102%, sedangkan pada bulan-bulan kering didominasi oleh lanau (silt) dengan prosentase 14%. Di bagian tengah dan kanan angkutan sedimen dasar didominasi oleh pasir (sand).

2. Perhitungan Angkutan Sedimen

Dasar (Bedload Transport)

Perhitungan angkutan sedimen dasar (bedload) digunakan untuk menganalisa degradasi dan agradasi pada dasar saluran. Berdasarkan grafik prosentase bedload pada subbab sebelumnya, diambil jenis sedimen yang memiliki prosentase dominan, yakni pasir (sand). Lokasi pengambilan sampel diambil yang pada bagian pengukuran di upstream Kedung Harjo, Tuban, karena prosentasi bedload yang berupa pasir, paling banyak terdapat di lokasi tersebut. Diameter butiran pasir berkisar antara 0,075 – 1 mm (lihat Gambar 5.16), karena data yang diperoleh kurang lengkap mengenai diameter butiran pada sampel, maka diambil rata-rata diameter butiran 0,5 mm.

Gambar 5.16 Pengelompokan ukuran sedimen Berikut ini adalah perhitungan angkutan sedimen dasar (bedload transport) dengan menggunakan rumus Shield (Persamaan 3.11 Bab III). Debit air yang digunakan adalah debit air rata-rata bulan basah dan debit air rata-rata bulan kering (lihat Lampiran 4 dan Lampiran 5). Untuk kedalam air yang digunakan adalah berasal dari analisa HEC-RAS untuk debit rata-rata bulan basah dan debit rata-rata bulan kering. Diketahui :

(15)

q = debit air = rata-rata bulanan pada bulan-bulan basah = 754 m3/dt = rata-rata bulanan pada bulan-bulan kering = 62 m3/dt

γs = berat jenis sedimen = 2650 kg/m3

γ = berat jenis air = 1000 kg/m3

contoh perhitungan untuk penampang CP 114/2 :

untuk debit bulan basah D = 6,57 m S = 0,0006 W = 161,67 m q (unit discharge) = q/W = 754/161,67 = 4,67 m3/dt υ = 0,000001 m2/dt

Dari diagram Shield’s diperoleh shear stress dimensionless θc = 0,048

V = qb / γ / L = 0,05 / 2650 / 117 =

0,00000016 m3

Untuk debit bulan kering : D = 3,03 m

q (unit discharge) = q/W = 84/142,21 = 0,59 m3/dt

υ = 0,000001 m2/dt

Dari diagram Shield’s diperoleh shear stress dimensionless θc = 0,041

V = qb / γ / L = 0,003 / 2650/ 117 =

0,00000001 m3

Untuk analisa degradasi dan agradasi, besarnya qb pada ruas CP 114/2 dianggap

sebagai angkutan sedimen masuk qb,in,

sedangkan pada ruas CP 114/1 dianggap

sebagai angkutan sedimen keluar qb,out. Jika

qb,in > qb,out maka terjadi agradasi, sedangkan

jika qb,in < qb,out maka terjadi degradasi pada

dasar salurannya. Untuk bulan basah : qb,in = 0,05 kg/dt/m

qb,out = 0,38 kg/dt/m

untuk bulan kering : qb,in = 0,003 kg/dt/m

qb,out = 0,027 kg/dt/m

qb,in < qb,out , maka terjadi degradasi pada

dasar saluran antara ruas CP 114/2 dan CP 114/1.

Kedalaman degradasi pada ruas CP 114/2 dan CP 114/1 adalah :

Kedalaman = (v bulan basah + v bulan kering) x durasi = 0,09 m

Untuk hasil perhitungan pada ruas-ruas selanjutnya, akan ditabelkan sebagai berikut :

Tabel 5.18 Hasil perhitungan dan analisa degradasi dan agradasi

bulan basah bulan kering bulan basah bulan kering bulan basah bulan kering basah + kering 1 CP 114/2 0.050 0.003 0.00000016 0.00000001 0.00000017 2 CP 114/1 0.38 0.027 degradasi degradasi 0.000001 0.000000 0.0000012 0.09 3 BM 114 12.10 1.343 degradasi degradasi 0.000037 0.000004 0.0000418 3.51 4 CP 113/4 8.53 1.216 agradasi agradasi 0.000022 0.000004 0.0000261 1.35 5 CP 113/3 4.89 1.216 agradasi degradasi 0.000012 0.000004 0.0000161 0.87 6 CP 113/2 11.64 2.199 degradasi degradasi 0.000026 0.000007 0.0000326 1.43 volume kedalaman (m/th) No. Penampang bedload qb (kg/dt/m) kondisi dasar saluran

Titik jarak antar titik (m) elevasi titik awal (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) CP 114/2 117 1,23 1,30 0,07 0,0006 negatif CP 114/1 132 1,30 -1,05 0,25 0,0019 positif BM 114 122 -1,05 -2,11 1,06 0,0087 positif CP 113/4 145 -2,11 -1,11 1,00 0,0069 negatif CP 113/3 152 -1,11 -2,04 0,93 0,0061 positif CP 113/2 172 -2,04 -0,58 1,46 0,0085 negatif Dari Tabel 5.18 dapat dilihat bahwa

ada beberapa ruas yang mengalami degradasi pada dasar salurannya dan ada juga yang mengalami agradasi pada dasar salurannya.

5.2.5 Analisa Local Scour Antara Dua Penampang Sungai

Menentukan batas kecepatan non eroding velocity, yaitu kecepatan batas butiran sedimen tidak bergerak, dipakai untuk menghitung kedalaman scour. Untuk memulai perhitungan ini, digunakan kecepatan rata-rata U yang berkaitan dengan Qmax dan diasumsikan tidak ada scour.

Selanjutnya ditentukan U competent yang didapat dari grafik pada Gambar 3.4 Bab III. Grafik tersebut berhubungan dengan kedalaman aliran dan diameter butiran. Dalam analisa local scour ini, diambil Q

fullbank. Scouring terjadi jika U rata-rata > dari U competent.

(16)

Analisa local scour untuk debit tampungan penuh:

Diketahui diameter butiran bed load adalah 0.5 mm.

Tabel 5.19 Hasil analisa local scour

Stasiun Ruas Kedalaman Kecepatan

Aliran (U) Ucomp. Ket.

6 CP 114/2 7.71 1.5 1.66 no scouring 5 CP 114/1 7.41 1.34 1.5 no scouring 4 BM 114 9.52 1.56 1.8 no scouring 3 CP 113/4 10.03 1.64 1.9 no scouring 2 CP 113/3 8.64 1.72 1.75 no scouring 1 CP 113/2 8.68 2.51 1.77 scouring

Dari perhitungan local scour yang di tabelkan pada Tabel 5.19 di atas, dapat diketahui ruas sungai pada CP 113/2 terjadi

local scour akibat kecepatan arus yang melewati penampang tersebut. Kecepatan aliran yang terjadi memiliki nilai yang lebih besar dari kecepatan kompeten yang diperoleh dari grafik pada Gambar 3.4 Bab III Tinjauan Pustaka (dalam satuan m/dt).

Setelah diketahui terjadi scouring pada ruas CP 113/2, degradasi yang terjadi pada ruas tersebut (Subbab 5.2.4) juga harus diperhatikan untuk menentukan kedalaman tiang pancang yang digunakan agar konstruksi revetmen aman dari gerusan.

5.3 Analisa Kelongsoran Tanah Tebing Sungai

Perhitungan kelongsoran tanah tebing sungai digunakan metode Fellinius atau metode irisan bidang luncur bundar. Persamaan untuk mencari faktor keamanan sesuai dengan Persamaan 3.13 Bab II Tinjauan Pustaka.

Berdasarkan pengukuran dan uji laboratorium yang dilakukan oleh pihak penyedia data, diperoleh parameter-parameter tanah sebagai berikut :

Angka kohesi tanah C = 2 t/m2 (lempung) Berat volume tanah γd = 1,4 t/m3

Sudut geser dalam φ = 44,5o

Tekanan air pori U = γ h = 1000 kg/m3 x 8,41 m = 8,41 t/m2

h diukur dari muka air pada saat debit dominan 80%, karena debit tersebut sudah mewakili 80% debit yang sering melintasi penampang sungai tersebut. h diperoleh dari mengurangi tinggi muka air tanah dengan muka air sungai. Karena keterbatasan data tinggi muka air tanah di lokasi studi, maka diambil kondisi paling buruk yaitu dengan

menganggap tinggi muka air tanah setinggi muka tanah asli.

Intensitas seismik horizontal e = 0,15  Untuk penampang CP 114/2 sisi Tuban Data kemiringan tebing sungai : n = 1 : 3

φ = 18o4’

R = jari-jari kelongsoran = 19.5 m L = panjang revetmen = 177 m

Gambar 5.17 Bidang longsor sisi CP 144/2 Tuban

Contoh perhitungan untuk pias 1 sisi CP 114/2 Tuban adalah sebagai berikut :

A = luas pias = 14,62 m2

b = lebar masing-masing pias = 4,1325 m

α = sudut kemiringan rata-rata tiap bidang luncur = 14o

ϕ = sudut geser dalam tanah = 44,5o N = A γ cosα = 14,62 . 1,4 . 0,97 = 19,9 t/m Ne = A γ sinα e = 14,62 . 1,4 . 0,242 . 0,15 = 0,7 t/m T = A γ sinα = 14,62 . 1,4 . 0,242 = 5 t/m Te = A γ cosα e = 14,62 . 1,4 . 0,97 . 0,15 = 3 t/m U = u cosα / b = (8,41 . 0,97)/4,1325 = 35,8 t/m

Untuk pias ke-2 hingga pias ke-8 digunakan perhitungan yang sama dengan perhitungan pias ke-1 dan hasilnya ditabelkan pada Lampiran 6, sehingga diperoleh : ∑N = 379,8 t/m ∑Ne = 13,8 t/m ∑T = 91,8 t/m ∑Te = 57 t/m ∑U = 286,4 t/m 1 2 3 4 5 6 7 8 b α

(17)

Kondisi lereng ini bisa dikatakan stabil karena persyaratan Fs adalah lebih besar dari 1,2.

Tabel 5.20 Hasil perhitungan stabilitas

tanah tebing sungai

No. Fs Ket. 1 2.9 OK 2 3.1 OK 3 3.6 OK 4 3.4 OK 5 3.9 OK 6 7.7 OK 7 3.5 OK 8 9.9 OK 9 3.1 OK 10 6.1 OK 11 4.9 OK 12 7.8 OK CP 113/3 Bojonegoro CP 113/2 Tuban CP 113/2 Bojonegoro BM 114 Tuban BM 114 Bojonegoro CP 113/4 Tuban CP 113/4 Bojonegoro CP 113/3 Tuban Ruas CP 114/2 Tuban CP 114/2 Bojonegoro CP 114/1 Tuban CP 114/1 Bojonegoro

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tanah tebing Sungai Bengawan Solo pada ruas yang ditinjau aman dari kelongsoran.

5.4 Perencanaan Desain Revetmen

Konstruksi revetmen digunakan pasangan batu dengan pondasi tiang pancang.berikut ini adalah perhitungan daya dukung tanah untuk mencari kedalaman tiang pancang yang digunakan.

5.4.1 Perhitungan Daya Dukung Tanah

Perhitungan daya dukung tanah hasil uji SPT dengan menggunakan metode Luciano Decourt. Perhitungan ini digunakan untuk menentukan kedalaman tiang pancang yang dibutuhkan agar mampu menopang struktur revetmen di atasnya.

Berikut ini adalah hasil perhitungan daya dukung tanah dengan metode Luciano Decourt dengan masing-masing tiang pancang diameter 40 cm, 50 cm, dan 60 cm. QL = Qp + Qs

Qp = qp x Ap = (Ňp x K) Ap Qs = qs x As = (Ňs x K) As

QL = daya dukung tanah maksimum pada pondasi

Qp = resistance ultimate di dasar pondasi

Qs = resistance ultimate akibat tekanan lateral

Gambar 5.29 Grafik QL dengan kedalaman (depth)

Gambar 5.29 digunakan untuk menentukan kedalaman tiang pancang yang digunakan. Untuk gaya yang bekerja pada masing-masing tiang pancang adalah dengan melakukan perhitungan sebagai berikut.

Contoh perhitungan dilakukan pada CP 114/2 sisi Tuban, untuk perhitungan profil lainnya akan ditabelkan.

Perhitungan Berat Struktur tiap 20 m sambungan: 1. Pasangan Batu γ batu = 2,6 t/m3 tebal = 0,45 m W = γ A L = 2,6 x 7,46 x 20 = 387,74 ton 2. Pasir Urug γ pasir = 1,4 t/m3 tebal = 0,3 m W = γ A L = 1,4 x 5,27 x 20 = 147,59 ton 3. Beton Bertulang γ beton = 2,4 t/m3 W = γ A L = 2,4 x 4,16=[ x 20 = 199,68 ton

(18)

Wtotal = W1 + W2 + W3

= 387,74 + 147,59 + 199,68 = 735,01 ton

Jika dalam 20 m segmen digunakan 10 buah tiang pancang dengan jarak antar tiang 2 m dan jarak tiang ke tepi 1 m, maka gaya yang bekerja untuk masing-masing tiang adalah 73,5 ton. Setelah diperoleh gaya yang bekerja untuk masing, masing tiang, selanjutnya gaya tersebut diplotkan pada Gambar 5.34 untuk memperoleh kedalaman tiang pancang yang dibutuhkan. Dari Gambar 5.34 diperoleh :

Kedalaman yang digunakan untuk diameter 60 cm = 5,8 m

Kedalaman yang digunakan untuk diameter 50 cm = 9 m

Kedalaman yang digunakan untuk diameter 40 cm = 12,5 m

Tabel 5.24 Tabel Kedalaman Tiang

Pancang 40 cm 50 cm 60 cm Tuban 735.01 12.5 9 5.8 Bojonegoro 735.01 12.5 9 5.8 Tuban 729.60 12.4 9.5 6.7 Bojonegoro 545.16 9 6.5 4.3 Tuban 620.21 10.6 7.6 5.2 Bojonegoro 547.39 9 5 4.3 Tuban 616.39 10.3 7.4 5 Bojonegoro 565.51 10.8 7 4.5 Tuban 737.23 12.4 9.4 7 Bojonegoro 494.98 8.2 5.4 4 Tuban 683.17 12 9 6.3 Bojonegoro 560.42 9.8 7 4.6 Kedalaman pancang (m)

Profil Lokasi Wt (ton)

CP 114/2 CP 114/1 BM 114 CP 113/4 CP 113/3 CP 113/2

Dari hasil perhitungan di atas, dipilih tiang pancang diameter 40 cm, karena untuk menyesuaikan panjang tiang pancang di pasaran dengan kedalaman yang dibutuhkan.

5.4.2 Desain Revetmen

Desain revetmen yang digunakan adalah pasangan batu dengan diameter batu 300 mm. kemiringan lereng revetmen digunakan lebih besar dari 1:1. Struktur revetmen dibagi tiap segmen sepanjang 20 meter. Gambar untuk masing-masing revetmen ada pada Lampiran.

5.4.3 Kontrol Kestabilan Konstruksi Revetmen

Kestabilan konstruksi revetmen dikontrol terhadap geser, tegangan tanah, dan kelongsoran akibat adanya beban revetmen. Berikut ini adalah perhitungan kontrol kestabilan pada CP 114/2 Tuban :

1. Kontrol Geser :

Beban air = ½ x γair x h x t = ½ x 1 x 3,68 x 3,68 = 6,77 t

∑H = Beban Tanah – Beban air = 27,02 t

2. Kontrol Tegangan Tanah

3. Kontrol kelongsoran akibat adanya

beban revetmen

Contoh perhitungan untuk sisi CP 114/2 Tuban adalah sebagai berikut :

Dari perhitungan pada sub bab 5.3 diperoleh : ∑N = 379,8 t/m ∑Ne = 13,8 t/m ∑T = 91,8 t/m ∑Te = 57 t/m ∑U = 286,4 t/m

WR = berat konstruksi revetmen = 735

ton

Kondisi lereng ini bisa dikatakan stabil karena persyaratan Fs adalah lebih besar dari 1,2. Untuk hasil perhitungan lebih lengkapnya bisa dilihat pada Lampiran.

Berikut ini adalah hasil perhitungan kontrol stabilitas untuk masing-masing penampang sungai :

(19)

Tabel 5.25 kontrol stabilitas tebing sungai terhadap geser dan tegangan tanah

Tuban 0.735 0.41 aman Bojonegoro 0.735 0.41 aman Tuban 0.756 0.81 aman Bojonegoro 0.304 0.90 aman Tuban 0.008 1.26 aman Bojonegoro 0.234 0.76 aman Tuban 0.336 1.28 aman Bojonegoro 0.534 0.97 aman Tuban 0.377 0.37 aman Bojonegoro 0.407 0.42 aman Tuban 0.161 0.71 aman Bojonegoro 0.247 0.88 aman CP 114/2 CP 114/1 BM 114 CP 113/4 CP 113/3 CP 113/2

Profil Lokasi Geser Teg. Tanah Ket.

Dari hasil perhitungan di atas, struktur revetmen stabil terhadap geser dan tegangan tanah.

4. Kontrol Terhadap Patah

K o n s t r u k s i r e v e t m e n h a r u s diperhitungkan kemungkinannya terhadap patah. Hal ini diperhitungkan dengan memperhatikan daerah kern (inti) dari kostruksi revetmen tersebut. jika garis tekanan tersebut berada di l uar ker n, maka akan t erj adi t ari k pada konstruksi sehingga bisa menyebabkan patah. Berikut ini adalah contoh perhitungan kern (inti) konstruksi revetmen :

Panjang revetmen (b) = 1 m

Posisi titik kern = 1/6 b = 1/6 . 1= 0,17 m dari garis tengah

Tebal revetmen (h) = 0,45 m

Posisi titik kern = 1/6 h = 1/6 . 0,45 = 0,075 m dari garis tengah

Gambar 5.30 Kern (inti) pada revetmen CP 114/2 Tuban

Untuk menghitung titik tangkap gaya pada revetmen, konstruksi revetmen dibagi menjadi beberapa pias dengan tinggi pias 1 meter. Revetmen dibagi menjadi 7 pias dengan masing-masing tinggi pias 1 meter.

Gambar 5.31 Pembagian pias revetmen Gaya yang bekerja pada pias 1:

1. Pasangan Batu γ batu = 2,6 t/m3 tebal = 0,45 m

Wrevetmen = γ A L = 2,6 x (1x0,45) x 1m =

1,17 ton

2. Tanah di belakang revetmen γ tanah = 2,6 t/m3

tebal = 1 m

Wtanah = γ A L = 2,6 x (0,5x1x1,1471)

x 1m = 0,803 ton

Jarak Wtanah horizontal = 0,165 m

Jarak Wrevetmen horizontal = 0,59 m

Jarak Wtanah vertikal = 0,34 m

Jarak Wrevetmen vertikal = 0,74 m

Wtotal = Wtanah + Wrevetmen = 1,17 + 0,803

= 1,97 ton

Jarak titik tangkap resultante gaya : Pada arah horizontal =

(20)

Tabel 5.26 Jarak titik tangkap gaya vertikal horizontal 1 0,413 0,740 2 0,431 1,869 3 0,459 2,766 4 0,471 3,748 5 0,478 4,757 6 0,482 5,779 7 0,257 10,102

jarak titik tangkap resultante gaya Pias

Setelah diperoleh titik tangkap gaya, selanjutnya diplotkan terhadap kern (inti) dari revetmen, sehingga diketahui revetmen tersebut berada dalam kern sehingga aman terhadap patah.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari perhitungan dan analisa, bisa ditarik kesimpulan :

1. Dari analisa hidrolika, kecepatan aliran yang diperoleh rata-rata lebih besar dari 1 m/dt. Hal ini bisa menyebabkan tergerusnya saluran. Sedangkan pada analisa tractive force, saluran tidak stabil, karena gaya seret yang bekerja lebih besar dari gaya seret kritis pada tebing dan dasar saluran. Oleh karena itu perlu diberi pengaman pada tebing sungainya.

2. Struktur bangunan penahan gerusan tebing dipilih pasangan batu dengan kemiringan lebih besar dari 1:1. Diameter dan kedalaman tiang pancang diperoleh dari perhitungan daya dukung tanah dan disesuaikan dengan ketersediaan ukurannya di lapangan. 3. Kapasitas tanggul eksisting di lapangan

sudah mampu menampung debit banjir rencana 200 tahun dan debit banjir maksimum, sehingga kapasitasnya tidak perlu ditingkatkan.

6.2 Saran

1. Dalam perencanaan struktur bangunan penahan gerusan tebing harus diperhatikan juga bidang longsorannya untuk menentukan kedalaman pondasi tiang pancang.

2. Untuk mencegah tersedotnya butiran tanah di bawah revetmen, sebaiknya diberi geotextile di bawah pasir pasang. 3. Untuk ruas yang local scour nya cukup

dalam, maka koperan revetmen perlu diperdalam melebihi kedalaman scouringnya, atau bisa juga dilakukan dengan merapatkan jarak tiang pancang agar tidak ada terangkutnya butir-butir tanah di bawah konstruksi revetmen.

DAFTAR PUSTAKA

Anggrahini. 2008. Modul Ajar Hidrolika.

Jurusan Teknik Sipil ITS: Surabaya Anonim a. 2010. Longsoran Tebing Bengawan

Solo Kian Parah.

http://www.antaranews.com/view/?i=11 48009494&c=WBM&s=:longsoran-tebing-bengawan-solo-kian-parah.html. Diakses pada tanggal 30 Nopember 2010

Anonim b. 2010. Puluhan Tebing Bengawan

Solo Rawan Longsor.

http://www.lintasberita.com/Nasional/B erita-Lokal/puluhan-tebing-bengawan-solo-rawan-longsor.html. Diakses pada tanggal 30 Nopember 2010

Chow, Ven Te. 1997. Hidrolika Saluran

Terbuka.Penerbit Erlangga : Jakarta

Raudkivi, A.J., H.N.C. Breusers. 1991.

Scouring. A.A. Balkema Publisher :

Netherland

Sofia, Fifi. 2010. Diktat Kuliah Teknik

Sungai. Jurusan Teknik Sipil ITS :

Surabaya

Sosrodarsono, S., Kensaku, T. 1994. Perbaikan

dan Pengaturan Sungai. PT.Pradnya

Paramita : Jakarta

Wahyudi, Herman. 1999. Daya Dukung

Pondasi Dalam. Jurusan Teknik Sipil

ITS : Surabaya

Yang, Chih Ted. 1996. Sediment Transport :

Theory and Practice. McGraw-Hill

series in water resources and enviromental engineering : Singapore

Referensi

Dokumen terkait

Dalam studi ini untuk pendimensian Bendung Gerak Bojonegoro digunakan debit banjir rencana dengan kala ulang 50 tahun, dengan menggunakan metode Log Pearson type III.. Bendung

Data yang digunakan dalam analisis adalah kecepatan aliran air (VAv), luas penampang saluran (A), debit aliran di saluran (Q), kebutuhan air untuk tanaman dan kebutuhan air tiap

Analisis hidrolika digunakan untuk menganalisis kapasitas saluran eksisting dan rencana menggunakan softwareHEC-RAS 4.1 dengan tipe aliran steady untuk debit banjir kala ulang

Berdasarkan hasil analisa hidrolika aliran pada ruas penampang Sungai Bolifar di Program HEC-RAS diperoleh suatu hasil bahwa ditemukan luapan banjir pada beberapa

Dari hasil perhitungan debit saluran , debit kapasitas aliran , perhitungan dan perhitungan debit hujan dapat dilakukan analisa untuk mengetahui apakah Sungai Badeng

1) Dengan analisa hidrolika bantuan software HEC-RAS pada kondisi geometrik eksisiting Sungai Larompong saat ini menggambar kapasitas penampang sungai yang tidak

Begitu juga dengan kecepatan aliran sungai yang begitu besar akibat curah hujan yang tinggi, penampang sungai tidak mampu menampung debit air yang mengalir di setiap

yaitu 0,45 m, maka terjadi aliran superkritis dan kapasitas debit saluran eksisting setelah dianalisis dengan program HEC-RAS hasilnya tidak terjadi banjir pada kala ulang 2 tahun,