• Tidak ada hasil yang ditemukan

EF-ART ENTERPRISE MENJAWAB TANTANGAN INDUSTRI SENI RUPA INDONESIA MENJADI SALAH SATU INSTRUMEN ALTERNATIF DALAM INVESTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EF-ART ENTERPRISE MENJAWAB TANTANGAN INDUSTRI SENI RUPA INDONESIA MENJADI SALAH SATU INSTRUMEN ALTERNATIF DALAM INVESTASI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EF-ART ENTERPRISE MENJAWAB

TANTANGAN INDUSTRI SENI RUPA

INDONESIA MENJADI SALAH SATU

INSTRUMEN ALTERNATIF DALAM

INVESTASI

Faris Ash Shiddieqy, Karyana Hutomo

Universitas Bina Nusantara

farisash234@gmail.com

ABSTRAK

Ef-Art Enterprise merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan karya seni rupa dan jasa Event Organizer. Jenis usaha dan produk perusahaan ini meliputi produksi lukisan, penjualan lukisan, jasa penyewaan lukisan, jasa event organizer pameran lukisan, serta konsultan lukisan. Melalui usaha ini penulis mengambil latar belakang memajukan karya seni rupa Indonesia agar menjadi salah satu instrumen dalam investasi, serta memberikan solusi atas keaslian karya yang dipasarkan, memberikan pelayanan event organizer yang profesional dan berpengalaman serta semangat konservasi pada lukisan dan regenerasi para pelukis yang muda dan berbakat.

Keyword : Investasi lukisan, Aspek internal-eksternal, Kinerja keuangan, Penjualan lukisan, Jasa Event Organizer, Jasa Konservasi Lukisan.

(2)

ii Abstract

Ef-Art Enterprise is a company engaged in the trading of art works and Event Organizer services. Type of business and products of the company include the production of paintings, sale of paintings, paintings rental services, event organizer painting exhibition services, as well as consultants painting. Through these efforts the authors take the background of advancing the work of Indonesian art to become one of the instruments in the investment, as well as provide solutions to the authenticity of the works are marketed, providing services professional event organizer and experienced as well as the spirit of the painting conservation and regeneration of the young and talented painter.

Keyword: Painting Investment, Internal-external aspects, Financial performance, Sales of paintings, Event Organizer services, Painting Conservation Services .

(3)

iii

PENDAHULUAN

Indonesia, seperti negara berkembang pada umumnya, sering kali tertinggal dalam hal kebijakan ekonomi masyarakat nya, khususnya investasi. Masyarakat cenderung memiliki kebijakan investasi tradisional, seperti menabung di bank / deposito, Investasi emas, juga investasi pada mata uang asing, reksadana maupun di bursa saham dan yang akhir-akhir ini booming adalah investasi pada bidang properti. Sedangkan negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika telah mengembangkan investasi alternatif lainnya, yaitu barang-barang koleksi seperti lukisan sejak beberapa abad yang lalu.

China, Jepang dan Singapura merupakan negara maju lainnya yang terletak di benua Asia, yang telah sangat serius mengembangkan lukisan sebagai investasi pada masyarakatnya. Bahkan Singapura, negara tetangga Indonesia yang luas wilayah negaranya tidaklah besar, telah mengedepankan investasi dalam bidang keuangan dan bidang seni rupa / lukisan dibandingkan investasi di bidang properti, mengingat lahan di negara tersebut sudah hampir habis bahkan langka dikarenakan pembangunan yang masif. Melihat fenomena di negara-negara maju tersebut, maka sebenarnya investasi dalam seni rupa / lukisan sangat layak untuk diterapkan di masyarakat Indonesia ini, asalkan unsur-unsur yang berkepentingan dalam dunia seni rupa, yakni Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia, asosiasi-asosiasi seni rupa, para pelukis, balai lelang, awak media dan para kolektor maupun pecinta seni mau untuk bekerja sama. Merupakan suatu kehormatan bagi kami, Ef-Art Enterprise untuk dapat berpartisipasi membantu memperjuangkan karya seni rupa / lukisan untuk dapat lebih dikenal, dicintai bahkan dapat menjadi ladang keuntungan dalam hal investasi bagi masyarakat.

Seiring bertumbuhnya ekonomi di negara Indonesia, maka secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan kemampuan daya beli masyarakatnya, khususnya masyarakat kelas menengah keatas. Menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I-2013 dibandingkan dengan semester I-2012 tumbuh sebesar 6,3 persen.

Dalam studinya, Bank Dunia mengklasifikasikan kelas menengah berdasarkan pengeluaran perkapita yang direkam dari survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik. Cara membedakan kelompok miskin dan kelas menengah dengan memilah jumlah pengeluaran individu perhari. Yang dimaksud kelompok miskin bila pengeluaran individu perhari kurang dari US$2. Sedangkan kelas menengah terbagi atas empat kelas, yaitu kelas pengeluaran Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta perbulan (kelas menengah bawah). Kedua, kelas pengeluaran Rp 1,5 sampai 2,6 juta perbulan.Ketiga, kelas pengeluaran Rp 2,6 juta sampai 5,2 juta perbulan (menengah tengah). Dan kelas keempat yaitu pengeluaran Rp 5,2 juta hingga Rp 6 juta.

Berdasarkan Agnessia Puteri Santoso dalam jurnal PERKEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA (2013), pertumbuhan industri ekonomi kreatif Indonesia, yang dalam hal ini termasuk kerajinan, film, senirupa dan lukisan dinilai mampu mendorong untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen dalam RAPBN 2013, produk yang ada bukan hanya sekedar produk pabrikan tetapi produk kreatif yang memiliki nilai lebih dan daya beli masyarakat dipercaya sudah semakin baik. Produk yang dihasilkan industri kecil dan menengah Indonesia memiliki nilai kreatifitas dan inovasi yang tinggi, itu semua bagian dari industri ekonomi kreatif. Diharapkan prospek industri ini kedepannya akan semakin baik, terlebih dengan meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia.

(4)

iv

Berdasarkan pengamatan dan informasi yang didapat, beberapa indikasi semakin bertumbuhnya masyarakat menengah keatas dapat dilihat dari jumlah pertumbuhan penjualan & kepemilikan kendaraan pribadi, khususnya kendaraan mobil, kepemilikan rumah berbagai tipe, dan juga pengeluaran-pengeluaran tambahan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersier mereka, dalam hal ini lukisan termasuk salah satunya. Masyarakat dari kelas menengah kebawah hingga kelas atas rata-rata memiliki paling tidak satu lukisan di setiap rumah mereka.

Seiring dengan perkembangan jaman, maka seni rupa, khususnya lukisan sudah menjadi kebutuhan yang penting, dikarenakan mempunyai peranan yang sangat luas, antara lain sebagai penunjang interior, koleksi pribadi, alat investasi dan lebih dari itu merupakan simbol pencitraan, prestise sekaligus aktualisasi diri pemiliknya. Bahkan berdasarkan Ms.Dunlap dalam jurnal ART THERAPY IN THE CLASSROOM (2013: 2) menyebutkan bahwa seni, khususnya seni lukis bisa menjadi alat terapi untuk membantu meredakan bahkan menyembuhkan gangguan psikologis dan mental pada seseorang.

Lukisan telah dianggap sebagai benda bernilai seni tinggi yang secara tidak langsung dapat mengangkat harkat & martabat orang yang memilikinya. Dalam budaya cina, lukisan yang dinilai mempunyai konsep positif apabila dilakukan perhitungan menggunakan metode feng shui, maka diyakini dapat mendatangkan keberuntungan serta kebaikan-kebaikan bagi pemilik lukisan dan keluarganya. Lukisan yang bernafaskan agama, seperti kaligrafi juga dianggap dapat meningkatkan rasa spiritualitas dan ketenangan batin.

Dilihat dalam segi bisnis, lukisan-lukisan belakangan ini juga dijadikan sebagai alat investasi jangka menengah dan panjang oleh para pemiliknya. Pada jaman sekarang, orang-orang yang mengoleksi lukisan-lukisan atau yang disebut juga kolektor biasanya tidak segan untuk membeli lukisan yang mereka inginkan, dengan berbagai tujuan antara lain sebagai pajangan, alat investasi, niatan untuk konservasi dan pelestarian budaya serta sebagai alat untuk aktualisasi diri yang secara tidak langsung dapat memberikan rasa bangga apabila dapat memiliki lukisan-lukisan tertentu yang tentunya berharga tinggi.

1.1.1 Lukisan Sebagai Representasi Dalam Dunia Investasi

Menurut Sunariyah (2004:4): “Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang.”

Menurut Senduk (2004:24) bahwa produk-produk investasi yang tersedia di pasaran antara lain:

a. Tabungan di bank

Dengan menyimpan uang di tabungan, maka akan mendapatkan suku bunga tertentu yang besarnya mengikuti kebijakan bank bersangkutan. Produk tabungan biasanya memperbolehkan kita mengambil uang kapanpun yang kita inginkan.

b. Deposito di bank

Produk deposito hampir sama dengan produk tabungan. Bedanya, dalam deposito tidak dapat mengambil uang kapanpun yang diinginkan, kecuali apabila uang tersebut sudah menginap di bank selama jangka waktu tertentu (tersedia pilihan antara satu, tiga, enam, dua belas, sampai dua puluh empat bulan, tetapi ada juga yang harian). Suku bunga deposito biasanya lebih tinggi daripada suku bunga tabungan.

(5)

v c. Saham

Saham adalah kepemilikan atas sebuah perusahaan tersebut. Dengan membeli saham, berarti membeli sebagian perusahaan tersebut. Apabila perusahaan tersebut mengalami keuntungan, maka pemegang saham biasanya akan mendapatkan sebagian keuntungan yang disebut deviden. Saham juga bisa dijual kepada pihak lain, baik dengan harga yang lebih tinggi yang selisih harganya disebut capital gain maupun lebih rendah daripada kita membelinya yang selisih harganya disebut capital loss. Jadi, keuntungan yang bisa didapat dari saham ada dua yaitu deviden dan capital gain. d. Properti

Investasi dalam properti berarti investasi dalam bentuk tanah atau rumah. Keuntungan yang bisa didapat dari properti ada dua yaitu :

(1) Menyewakan properti tersebut ke pihak lain sehingga mendapatkan uang sewa. (2) Menjual properti tersebut dengan harga yang lebih tinggi.

e. Barang-barang koleksi

Contoh barang-barang koleksi adalah perangko, karya seni rupa yakni lukisan, barang antik, dan lain-lain. Keuntungan yang didapat dari berinvestasi pada barang-barang koleksi adalah dengan menjual koleksi tersebut kepada pihak lain, dan harganya dapat jauh melambung dibandingkan harga pertama kali barang tersebut dibuat, dikarenakan barang-barang koleksi memiliki nilai eksklusifitas dan seni yang tinggi sehingga memiliki nilai tambah yang bahkan bisa menjadi tak ternilai harganya. f. Emas

Emas adalah barang berharga yang paling diterima di seluruh dunia setelah mata uang asing dari negara-negara G-7 (sebutan bagi tujuh negara yang memiliki perekonomian yang kuat, yaitu Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Italia, Kanada, dan Perancis). Harga emas akan mengikuti kenaikan nilai mata uang dari negara-negara G-7. Semakin tinggi kenaikan nilai mata uang asing tersebut, semakin tinggi pula harga emas. Selain itu harga emas biasanya juga berbanding searah dengan inflasi. Semakin tinggi inflasi, biasanya akan semakin tinggi pula kenaikan harga emas. Seringkali kenaikan harga emas melampaui kenaikan inflasi itu sendiri.

g. Mata uang asing

Segala macam mata uang asing biasanya dapat dijadikan alat investasi. Investasi dalam mata uang asing lebih beresiko dibandingkan dengan investasi dalam saham, karena nilai mata uang asing di Indonesia menganut sistem mengambang bebas (free

float) yaitu benar-benar tergantung pada permintaan dan penawaran di pasaran. Di

Indonesia mengambang bebas membuat nilai mata uang rupiah sangat fluktuatif. h. Obligasi

Obligasi atau sertifikat obligasi adalah surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan, baik untuk menambah modal perusahaan atau membiayai suatu proyek pemerintah. Karena sifatnya yang hampir sama dengan

deposito, maka agar lebih menarik investor suku bunga obligasi biasanya sedikit lebih

tinggi dibanding suku bunga deposito. Selain itu seperti saham kepemilikan obligasi dapat juga dijual kepada pihak lain baik dengan harga yang lebih tinggi maupun lebih rendah daripada ketika membelinya.

(6)

vi

Dalam paparan diatas disebutkan bahwa karya seni rupa yaitu lukisan dikategorikan sebagai barang koleksi yang memiliki nilai investasi tinggi, dikarenakan barang-barang koleksi tersebut memiliki nilai eksklusivitas dan seni yang tinggi sehingga memiliki nilai tambah yang bahkan bisa menjadi tak ternilai harganya.

Berdasarkan Daiva Jurevičienė-Jekaterina Savičenko dalam jurnal ART AS VIABLE INVESTMENT TOOL (2012:508), investasi dalam seni khususnya lukisan telah menjadi investasi yang bersifat alternatif. Pertama kalinya booming tren seni lukis menjadi investasi adalah pada awal abad 17 di Eropa. Pada jaman itu keluarga-keluarga di Eropa menginvestasikan 1/3 dari hartanya untuk saham perusahaan, 1/3 lagi untuk investasi di sektor perumahan, dan 1/3 sisanya untuk investasi pada karya-karya seni, seperti lukisan, patung, dan batu mulia.

Berdasarkan Djuli Djatiprambudi dalam jurnal REPRESENTASI IDENTITAS DI MEDAN PASAR SENI LUKIS INDONESIA (2007:33), disebutkan Munculnya persepsi tentang seni lukis dalam konteks komoditas dan investasi secara sosial historis dapat ditelusuri pada gejala global yang terjadi pada pertengahan dekade 80-an, di mana sejumlah konglomerat Jepang memborong karya-karya master seni lukis dunia, antara lain karya Monet, van Gogh, Cezanne, Degas dari rumah lelang Christie’s dan Sotheby’s. Konglomerat ini berani memborong karya master dunia, tidak lain akibat booming ekonomi Jepang dan juga ada semacam “desain besar” agar terjadi pergeseran pusat seni rupa kontemporer dunia berada di Jepang.

Gejala ini bagai ‘efek domino’, secara cepat berdampak pada dinamika seni rupa terutama di kawasan Asia Pasifik. Gejala ini meluas sampai ke Indonesia bertepatan dengan sejumlah elit ekonomi yang berasal dari etnik Tionghoa kebingungan menginvestasikan uangnya ketika terjadi puncak pertumbuhan ekonomi Indonesia, pertengahan 1980an, hingga munculnya krisis ekonomi, akhir 1990an. Para elit ekonomi tersebut tiba-tiba beralih sebagai pemburu lukisan yang dianggap kelas master, dan menjualnya kembali di arena pasar yang saat itu tumbuh luar biasa. Pertumbuhan ini juga dipicu dibukanya dua rumah lelang karya seni di Singapura dan Hongkong. Gejala ini memperlihatkan bahwa kawasan Asia Pasifik telah menjadi medan pasar seni seiring dengan tumbuhnya kelas menengah dan elit serta konglomerat yang sedang mengalami status ‘perang simbol’. Kelas-kelas sosial ini muncul melalui keinginan mengoleksi yang kemudian berubah menjadi keinginan berinvestasi.

1.1.2 Investasi Dalam Lukisan Sebagai Alternatif Yang Baik Bahkan Dalam Tren Inflasi Ekonomi Yang Tinggi.

Berdasarkan Seçkin, Aylin and Erdal Atukeren, dalam jurnal "Art and the Economy: A First Look at the Market for Paintings in Turkey." (2006:1-13), disebutkan bahwa mereka telah meneliti hubungan antara pengembalian investasi melalui lukisan dan investasi keuangan lainnya di Eropa pada umumnya dan di negara Turki khususnya. Para peneliti tersebut menemukan bahwa berinvestasi dalam seni rupa merupakan satu alternatif yang sangat baik bahkan dalam lingkungan inflasi ekonomi yang tinggi dan ketidakpastian dalam bidang makro ekonomi.

Segala instrumen investasi tentu memerlukan jangka waktu yang menjadi faktor kunci untuk investasi tersebut berkembang, hal ini termasuk juga dalam objek lukisan. Investasi jangka panjang dalam lukisan (±10 tahun keatas) akan lebih terasa pengembaliannya dibandingkan berinvestasi tradisional dalam konteks negara berkembang, seperti berinvestasi mata uang asing (forex), Emas dan Deposito pada Bank.

(7)

vii

Yang dapat mengalahkan pertumbuhan hasil investasi dalam lukisan hanyalah investasi saham di bursa saham. Namun walaupun bursa saham cenderung memiliki kelebihan pengembalian yang tinggi, tetapi juga memiliki kelemahan yaitu resiko yang tinggi (High Risk, High Income). Hal ini berbeda dengan investasi di dalam lukisan yang bisa disebut sangat langka dalam mengalami loss maupun depresiasi apabila dilihat dari sejarah perkembangan pasar seni rupa.

1.1.3 Tren Booming Penjualan Karya Seni Rupa Tanah Air

Variasi harga lukisan yang beragam, dimulai jutaan hingga milyaran rupiah dan juga dengan adanya kecenderungan kenaikan harga-harga lukisan setiap tahunnya secara tidak langsung telah menghidupkan pasar tersendiri yang memiliki prospek baik kedepannya. Tren kepemilikan lukisan untuk menghiasi rumah-rumah, perkantoran dan sebagai instrumen investasi dinilai akan terus meningkat setiap tahunnya dilihat dari faktor pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Banyak faktor yang menyebabkan pasar seni rupa mengalami booming dan karya-karya lukisan dari pelukis di tanah air semakin diapresiasi.

Adanya tren Booming penjualan dalam bisnis seni rupa bukan merupakan suatu hal yang baru, melainkan muncul berulang kali dan sejak puluhan tahun yang lalu. Booming pertama terjadi pada jaman Bung Karno yang menyukai lukisan dan serius mengoleksinya. Booming kala itu tidak dicatat karena orang belum memiliki perhatian. Booming yang dicatat pertama kali itu sekitar tahun 1975, karya Affandi dan Basuki Abdullah menjadi mahal. Banyak ahli senirupa menganalisa penyebab booming yang pertama waktu itu, yakni banyak seniman berkualitas asal tanah air yang sedang berada pada peak period (periode puncaknya) dalam berkarya seni.

Seperti contohnya saat pelukis Basuki Abdullah memenangi sayembara melukis Ratu Belanda, Juliana yang saat itu diikuti oleh 87 pelukis dari seluruh penjuru dunia, kebanyakan pelukis asal benua Eropa dan sayembara tersebut diselenggarakan di Amsterdam, Belanda. Sejak saat itu pun lukisan-lukisan hasil karya Basuki Abdullah menjadi booming di seluruh dunia, khususnya di Eropa dan Indonesia. Begitu pula dengan Affandi yang sukses menyelenggarakan pameran keliling Eropa dan diterima baik oleh para pencinta seni dan kolektor dari negara-negara yang disinggahinya untuk berpameran. Negara di Eropa yang sangat berkesan bagi Affandi adalah Perancis, dikarenakan Affandi menganggap negara Perancis adalah negara yang sangat kaya akan budayanya, pemerintah dan rakyatnya juga sangat menghargai hasil-hasil karya seni.

Penyebab booming lainnya pada kala itu yakni dengan banyaknya eksperimen dari para seniman untuk mengembangkan karya-karya yang akan dihasilkannya. Juga di tahun-tahun itu impor kanvas dan cat yang bagus makin banyak. Tahun itu juga sedang terjadi booming minyak. Pertamina mengalami surplus, situasi ini melahirkan banyak orang kaya baru (OKB). Selanjutnya para OKB ingin membuat rumahnya nampak bercitra estetik. Lukisan adalah artefak seni yang bisa menjadikan interior rumah bercitra estetik, sehingga berbondong-bondong orang membelinya

Booming selanjutnya terjadi sekitar tahun 1986-1987. Pada saat itu Indonesia seharusnya mengalami krisis moneter. Karena tahun 1985 dunia mengalami resesi ekonomi dunia. Presiden Suharto mengambil langkah antisipasi agar resesi tidak terjadi. Ia mengeluarkan kebijakan Pakto (Paket Oktober). Pakto membuka pintu yang lebih lebar agar orang bisa memperluas usaha. Memberikan kesempatan kepada para pengusaha kalau mau mendirikan bank misalnya, dimungkinkan dengan cukup memiliki modal kerja sebesar Rp 1 Milyar. Selanjutnya ijin import dipermudah, kebijakan pajak diperingan, dan kebijakan-kebijakan positif lainnya yang berpengaruh baik terhadap pengusaha. Kebijakan itu membuat ekonomi bergairah, panas, dan kemudian over heating.

(8)

viii

Lalu keluar kebijakan Paknov (Paket November) dan Pakdes (Paket Desember) untuk mengurangi over heating tersebut. Sekumpulan kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan saat itu membuat ekonomi menjadi booming dan pembangunan terjadi di mana-mana. Itulah tahun kejayaan Orde Baru dalam bidang ekonomi. Dari situasi itu lahirlah para kalangan orang kaya baru berikutnya, yang mulai mengumpulkan lukisan. Lukisan jadi booming. Tahun itu seniman Dede Eri Supria yang melukis hiper-realis mulai muncul. Di tahun itu juga apresiator dan kolektor-kolektor makin menghargai lukisan abstrak, dan karya Ahmad Sadali makin disukai, disusul para pengikutnya.

Setelah itu booming terjadi lagi pada tahun 1998-1999. Pada jaman itu secara sosial-ekonomi, di Indonesia sedang terjadi perubahan yang cukup bermakna. Memasuki dekade 1990-an, pemerintah Orde Baru yang mulai melemah, yang akhirnya secara simbolik Soeharto sebagai ‘ikon’ Orde Baru mengundurkan diri sebagai presiden pada Mei 1998. Mundurnya Soeharto sebenarnya sebagai akumulasi krisis multidimensional yang sudah lama terjadi. Praktik pemerintahan yang sentralistik-otoriter pada akhirnya hanya melegitimasi kekuatan-kekuatan tertentu yang menguasai pranata sosial-ekonomi masyarakat. Maka, akibatnya pada saat krisis ekonomi dunia berlangsung, Indonesia menjadi korban dan mendapat kesulitan untuk bangkit lagi. Era reformasi yang diharapkan mampu menata kembali kekacauan di berbagai sektor, kenyataannya belum ada tanda-tanda ke arah perbaikan, secara praktis Indonesia saat ini sebenarnya dalam kondisi tidak menentu, termasuk dalam dunia seni rupanya.

Namun, justru dalam kondisi tidak menentu itulah para elit ekonomi yang masih gamang atau ketakutan menginvestasikan modalnya dalam dunia perdagangan, properti, jasa dan industri, memanfaatkannya itu dalam dunia seni lukis yang dianggap sebagai salah satu solusi investasi aman dan diproyeksikan memiliki keuntungan yang berlipat ganda. Pada saat itulah lukisan diformat menjadi barang dagangan (komoditas yang diperjual-belikan secara bebas). Akhirnya, era 1990an dunia seni rupa diwarnai secara dominan oleh perilaku komodifikasi lukisan secara besar-besaran. Kondisi demikian terus berlangsung sampai hari ini.

Pada era ini puluhan galeri tumbuh menjamur di berbagai kota, khususnya Jakarta dan Bali. Belakangan menyusul di Yogyakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Galeri-galeri ini didirikan sebagian besar didorong oleh motif-motif komodifikasi lukisan. Galeri tidak ubahnya semacam pusat-pusat mode atau pusat-pusat selera. Tidak hanya hanya geleri, tiba-tiba secara akumulatif muncul lembaga lelang, art dealer, broker, kolektor, yang kehadirannya mampu meningkatkan dinamika pasar lukisan.

Lalu booming lagi di tahun 2007. Pada waktu itu, dipengaruhi oleh guncangan ekonomi di Amerika. Para investor khawatir, mereka menarik investasinya dari Amerika dan memindahkannya ke Asia. Di antara portfolio bisnis kala itu, ternyata investasi yang relatif aman salah satunya adalah lari ke karya seni terutama lukisan. Tahun 2007 juga merupakan puncak penciptaan karya senirupa kontemporer Indonesia, hasil eksperimentasi dan eksplorasi tahun-tahun sebelumnya. Semua seniman kontemporer berkarya dengan maksimal. Karena di masa tidak booming, seniman bisa melahirkan karya yang kuat.

Berdasarkan Djuli Djatiprambudi dalam jurnal REPRESENTASI IDENTITAS DI MEDAN PASAR SENI LUKIS INDONESIA (2007:34), Booming karya lukisan terakhir yang dapat kita rasakan adalah pada tahun 2014 kemarin dan masih terus berlanjut pada tahun ini, yakni tahun 2015.

Oleh karena itu, mempertimbangkan dari ketiga latar belakang tersebut, maka bisnis lukisan pada saat ini merupakan hal yang sangat menjanjikan, baik dalam segi finansial maupun peluang usahanya, ditilik dari sejarah perkembangan dunia seni lukis sejak

(9)

ix

jaman beberapa abad lalu. Pada jaman sekarang hal ini ditandai dengan banyak bermunculnya galeri-galeri yang sering juga mengadakan pameran lukisan dan balai lelang yang tersebar di berbagai tempat dan mempunyai pangsa pasar yang spesifik dan bersifat eksklusif.

Namun menurut hemat kami, kehadiran kedua institusi tersebut belum dapat memenuhi permintaan dan kebutuhan pasar lukisan secara menyeluruh. Dikarenakan tata cara pemasarannya yang masih bersifat konvensional, pilihan lukisan yang kurang beragam dikarenakan lambatnya regenerasi para pelukis dan harga yang ditawarkan cenderung untuk segmentasi menengah keatas. Harga lukisan yang cukup tinggi menjadi sangat kontras jika menilik keadaan sebagian para pelukis maupun keluarga pelukis di dalam negeri yang masih belum sejahtera secara ekonomi.

Hal ini menjadi pemicu bagi penulis, Faris Ash Shiddieqy, mahasiswa Universitas Bina Nusantara untuk menciptakan suatu usaha yang bergerak di bidang produksi, penjualan, jasa event organizer pameran, konsultan barang seni khususnya lukisan dan distribusi dalam hal lukisan beserta kelengkapannya dengan tujuan menyediakan produk lukisan yang berkualitas baik namun dengan harga yang kompetitif sehingga semua segmen masyarakat dapat berkesempatan untuk turut memiliki sekaligus berinvestasi pada karya seni rupa anak bangsa, serta turut membantu regenerasi para pelukis, melakukan optimalisasi karya mereka sehingga karya mereka dapat diapresiasi secara maksimal dan turut serta membantu dalam memperbaiki kehidupan ekonomi para pelukis maupun keluarga pelukis secara kebih baik lagi, sekaligus dengan semangat membantu konservasi dan pelestarian budaya Indonesia. Bisnis ini juga dimaksudkan sebagai tugas akhir dalam kegiatan perkuliahannya. Usaha tersebut dinamakan Ef-Art Enterprise.

1.1.4 Faktor Yang Menentukan Tingginya Harga Lukisan

Menurut Amir Sidharta (2013), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingginya nilai / harga dari suatu karya lukisan, yakni sebagai berikut:

Tabel 1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Harga Lukisan

No Faktor yang mempengaruhi

1 Semakin populernya nama seorang pelukis, disebabkan kegiatan pameran yang diselenggarakan, pengakuan brand name yang diberikan oleh komunitas para pecinta seni rupa, pakar, pengamat serta kolektor lukisan

2 Prestasi dari seorang pelukis, seperti pernah memenangkan penghargaan dalam kompetisi seni rupa

3 Pada masa kapan lukisan tersebut dibuat. Pada umumnya, perjalanan karir seorang pelukis dapat dibagi dalam beberapa periode yang dapat menentukan puncak karir dari seorang pelukis dalam berkarya

4 Media lukisan yang digunakan, apakah menggunakan kanvas atau kertas / papan 5 Ukuran. Pada umumnya pelukis menetapkan suatu nilai dari karya lukisannya

(10)

x

6 Sudah wafatnya pelukis tersebut, sehingga menyebabkan kelangkaan pada karya lukisannya

7 Permintaan pasar yang tinggi terhadap suatu karya dari pelukis sehingga menyebabkan naiknya harga dari karya pelukis tersebut

Investasi Ef-Art Enterprise Pada Lukisan

TABEL 1.22 Investasi Lukisan Ef-Art Enterprise

No. Waktu

Pembelian

Nama Pelukis Ukuran Harga

1 2 3 Maret 2014 Cheng Shui Hasan Djaafar Iswanto (75 x 110) cm (75 x 60) cm (80 x 120) cm Rp.20.000.000,- Rp. 5.000.000,- Rp. 5.000.000,- Total Investasi Rp.30.000.000,- 1 2 3 4 Mei 2014 Cheng Shui Mahjuddin Koempoel Bunga Jeruk (50 x 90) cm (80 x 110) cm (60 x 80) cm (70 x 90) cm Rp. 15.000.000,- Rp. 8.500.000,- Rp. 3.500.000,- Rp. 3.000.000,- Total Investasi Rp.30.000.000,- 1 2 3 4 Oktober 2014 Irsam Hasim Edi Sunaryo Zaini (50 x 50) cm (60 x 45) cm (50 x 50) cm (30 x 50) cm Rp. 25.000.000,- Rp. 5.000.000,- Rp. 7.000.000,- Rp. 3.000.000,- Total Investasi Rp.40.000.000,- 1 2 November 2014 Nyoman Gunarsa Hanafi (75 x 75) cm (60 x 140) cm Rp. 25.000.000,- Rp. 5.000.000,- Total Investasi Rp.30.000.000,- 1 2 Desember 2014 S. Abdullah Otto Djaya (65 x 100) cm (50 x 100) cm Rp. 25.000.000,- Rp. 5.000.000,-

(11)

xi Total Investasi Rp.30.000.000,- 1 2 3 4 April 2015 I Made Wianta Erica AD Pirous Sudarso (100 x 125) cm (100 x 120) cm (110 x 125) cm (90 x 70) cm Rp. 8.000.000,- Rp.12.000.000,- Rp.20.000.000,- Rp.10.000.000,- Total Investasi Rp.50.000.000,- 1 2 3 Juni 2015 S. Abdullah Cheng Shui Koempoel Frederik Kasenda (60 x 100) cm (50 x 90) cm (60 x 80) cm (100 x 67) cm Rp. 30.000.000,- Rp. 20.000.000,- Rp. 5.000.000,- Rp. 5.000.000,- Total Investasi Rp.60.000.000,-

(12)

xii

DAFTAR PUSTAKA

Agus Harjito, D (2014). Manajemen Keuangan :Edisi Ke 2. Ekonisia.

Ariwibowo, (2003). Analisis Strategi Segmentation dan Positioning Jasa Penjaminan Kredit Pada

Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha, Tesis Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang.

Badan Pusat Statistik, (2011). Geliat Ekonomi Kelas Menengah - BPS Provinsi KalimantanSelatan.http://kalsel.bps.go.id/?set=viewArtikel&flag_template2=1&page=1&id=7

1. Diakses tanggal 5 Januari 2015.

Badan Pusat Statistik, (2013).Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2013.

BPS, (2013). Pendapatan Kelas Menengah di Negara Indonesia.

http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_06agu12.pdf. Diakses tanggal 5 Januari 2015.

Campbell R. A. J. (2008) Art as a Financial Investment, Journal of Alternative Investments, 10(4), 64-81.

Daiva Jurevičienė-Jekaterina Savičenko. (2012). Art As Viable Investment Tools :The 6th International Days of Statistics and Economics, Prague, September 13-15, 2012 (508): 507-518.

David, F.R. 2009. Strategic Management, Manajemen Strategis Konsep. Penertbit Salemba, Jakarta. Djuli Djatiprambudi. (2007:34), Representasi Identitas Di Medan Pasar Seni Lukis Indonesia. Dunlap, Ms. (2013). Art Therapy in The Classroom. (2): 1-15.

Eksekutif, (2011). Praktik Curang Sindikat Bisnis Lukisan Palsu.

(http://www.eksekutif.co.id/gaya-hidup/entertaiment/688-praktik-curang-sindikat-bisnis-lukisan-palsu.html) Diakses tanggal 1

Januari 2015.

Glenn Wharton, (2005:164-178), “The Challanges of Conserving Contemporary Art “.

Investor, (2014) Investasi Emas atau Saham Atau Reksadana Atau Properti .

http://mengelolakeuangan.com/investasi-emas-atau-saham-atau-reksadana-atau-properti/.

Diakses tanggal 16 Juni 2015

Jana Zujovic, (2009). “Classifying Paintings by Artistic Genre : An Analysis of Feautres & Classifiers.

Kotler et al, (2003) ,Rethinking Marketing: Sustainable Marketing Enterprise di Asia, Pearson

Gambar

Tabel 1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Harga Lukisan
TABEL 1.22 Investasi Lukisan Ef-Art Enterprise

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi gula pereduksi (fruktosa dan glukosa) merupakan produk dari keseluruhan hasil reaksi antara sukrosa dengan enzim invertase dengan atau tanpa

Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak

Pada sisi lain dari Terusan Inggris (the English Channel) ini, pantai Inggris secara geografi lebih merata karena tidak terdapat teluk ataupun semenanjung yang besar seperti

Hasil penelitian mengindikasikan terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar kelarutan ion  uor pada GIC setelah perendaman dalam air sungai Desa Anjir Pasar Kabupaten

Sistem pendukung keputusan kelayakan pemberian pinjaman kredit dengan metode Topsis ini dapat mempermudah dan sangat membantu dalam menyelesaikan persoalan yang

Keuangan dan Laporan Tugas Pengawasan Dewan Komisaris untuk tahun buku 2016.. 

Penerapan variabel fisik pada objek studi yang dilakukan adalah (1) dengan memanfaatkan koridor sebagai variabel volume menggunakan partisi lipat dengan material