• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstract. Key Words : Agreement to do Marriage, Norms of Decency, Unlawful Act.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstract. Key Words : Agreement to do Marriage, Norms of Decency, Unlawful Act."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN ATAS TINDAKAN TIDAK TERPENUHINYA JANJI

UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEBAGAI PERBUATAN

MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO. 3277 K/PDT/2000 DAN PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO.1398 K/PDT/2005)

Afnaan Rosa Agustina

Program Studi Ilmu Hukum, Kekhususan Hukum tentang Hubungan Antara Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai penerapan dari janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia, akibat hukum dari janji untuk melangsungkan perkawinan, serta perlindungan hukum bagi pihak yang diingkari janjinya untuk dikawini berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara yang berkaitan. Selain itu, skripsi ini juga membahas mengenai perbandingan pengaturan mengenai penerapan janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia dan Belanda. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian adalah janji untuk melangsungkan perkawinan tidak menimbulkan akibat hukum apapun, sehingga tidak dapat dimintakan ganti kerugian, akan tetapi apabila akibat dari tidak dipenuhinya janji tersebut telah melanggar norma kesusilaan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.

Kata Kunci :

Janji Kawin, Norma Kesusilaan, Perbuatan Melawan Hukum.

Abstract

This thesis reveals any implementation of an agreement to do marriage in Indonesia, legal consequences of such agreement and legal protection for the aggrieved party based on the consideration of Indonesian Supreme Court’s judgments. Furthermore, this thesis also compares Indonesian and Dutch regulations regarding the implementation of agreement to do marriage. The research on such questions resulted to conclusion that any consent in such agreement to do marriage does not establish any legal obligation or other legal consequences, so that such conduct can not be sued or claimed for compensation. Otherwise, if then found that such consent had violated with the norms of decency,then such conduct can be qualified as an Unlawful Act.

Key Words :

(2)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan peranan manusia lain dalam menjalankan kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupan tersebut, timbulah hubungan-hubungan yang terjadi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan antar sesama anggota manusia yang terjadi menyebabkan timbulnya hubungan perdata, seperti terjadinya suatu perkawinan yang terjadi diantara dua belah pihak laki-laki dengan perempuan.

Sebelum terjadinya suatu perkawinan dilandasi dengan adanya kesepakatan antara masing-masing pihak agar perkawinan tidak didasari dengan keterpaksaan, selain itu sebelum berlangsungnya perkawinan juga didasari oleh pernyataan masing-masing pihak bahwa para pihak telah siap untuk melangsungkan perkawinan. Tidak sedikit pasangan yang melakukan pertunangan dan ataupun perjanjian untuk melangsungkan perkawinan sebelum terjadinya suatu perkawinan, pertunangan maupun perjanjian untuk melangsungkan perkawinan disini tidak menimbulkan akibat hukum apapun akan tetapi hanya sebagai pengikat bahwa pasangan tersebut akan memasuki ke jenjang yang lebih serius yaitu perkawinan.

Dikarenakan pertunangan atau perjanjian untuk melangsungkan perkawinan tidak memiliki akibat hukum apapun, maka sering terjadinya pembatalan secara sepihak mengenai hal tersebut di dalam masyarakat kota maupun masyarakat daerah. Tidak menepati janji kawin mungkin untuk sebagian orang merupakan hal yang biasa dan bukan masalah yang besar, akan tetapi tidak demikian untuk sebagian orang lainnya. Sering terjadi bahwa wanita atau pihak yang diingkari janjinya telah terbuai akan janji pihak lain sehingga wanita tersebut telah memberikan kehormatan atas harga dirinya, selain itu tidak sedikit juga telah terjadi bahwa wanita atau pihak yang diingkari janjinya telah menanggung beban hidup dari pihak yang ingkar janji tersebut, sehingga dapat kita ketahui bahwa kerugian yang diderita pihak yang diingkari janji kawin tidak terbatas hanya kerugian yang bersifat materiil saja, akan tetapi mencakup kerugian idiil.

Ironis nya, cukup jarang sekali terjadi bahwa wanita atau pihak yang merasa dirugikan menuntut untuk dinikahi atau menuntut dimuka pengadilan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, antara lain rasa malu yang dihadapi wanita atau pihak yang

(3)

diingkari tersebut, ketidak tahuannya akan hukum, dan hukum perkawinan yang sekarang berlaku di Indonesia tidak secara khusus mengatur mengenai ingkar janji untuk melangsungkan perkawinan.

Perkawinan itu sendiri di Indonesia telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. UU No.1 Tahun 1974 menggantikan peraturan-peraturan lama yang sebelumnya berlaku, antara lain : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers/HOCI Stb. 1933 No. 74).1

Selanjutnya, walaupun telah ada undang-undang perkawinan nasional yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun ternyata peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya masih diberlakukan, sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.2 Sebelum adanya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

keberlakuan KUH Perdata setelah Indonesia merdeka di dasarkan pada Peraturan Peralihan Pasal II,dan IV UUD 1945 (sebelum diamandemen). Terlepas dari adanya angapan bahwa KUH Pedata merupakan peninggalan Belanda dan sudah ketinggalan zaman, namun di bidang hukum keluarga dan perkawinan pengaturan dalam KUH Perdata masih lebih lengkap dan lebih rinci dibandingkan dengan pengaturan dalam UU No.1 Tahun 1974.3

Selain Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan lain mengenai perkawinan, yaitu ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991. Ketentuan ini berlaku khusus bagi Warga Negara Indonesia yang beragama islam.4

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan dan akibat dari janji tersebut, sedangkan Pasal 58

                                                                                                               

1 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No.1, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN No. 3400, Ps. 66.

2 Rosa Agustina(1), “Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia” dalam Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia,( Denpasar:Pustaka Larasan, cet.1, 2012) hlm. 129

3 Ibid.,

(4)

KUH Perdata menyatakan, bahwa5

Janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka Hakim akan berlangsung nya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.

Dari pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa janji kawin tidak memberlakukan asas pacta sunt servanda, sehingga janji kawin tersebut tidak menimbulkan akibat hukum apapun, dan tidak memberikan perlindungan apapun bagi setiap pihak yang mengadakan janji kawin tersebut. Akan tetapi selanjutnnya dinyatakan lagi di dalam Pasal 58 KUH Perdata apabila telah adanya pemberitahuan pengumuman kepada pihak catatan sipil untuk melangsungkan perkawinan, maka dapat diajukan tuntutan guna penggantian biaya dan kerugian bagi pihak yang diingkari dengan masa daluarsa 18 bulan. Kemudian timbulah pertanyaan-pertanyaan bagaimanakah janji kawin yang belum diikuti suatu pengumuman? Apakah pihak yang dirugikan tersebut tidak dapat menuntut ganti rugi?

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak dikenal nya istilah mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi dikenalnya istilah mengenai peminangan dan akibat hukum dari peminangan tersebut.

Kasus yang berkaitan dengan ingkar janji kawin antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 3277 K/Pdt/2000 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1398 K/Pdt/2005. Dari Putusan MA RI No. 3277 K/Pdt/2000 dan Putusan MA RI No. 1398 K/Pdt/2005 timbulah pertanyaan apa saja yang mendasari Mahkamah Agung dalam memberikan putusan mengenai sengketa ini sedangkan Pasal 58 KUH Perdata menyatakan janji kawin tidak menimbulkan akibat hukum, selain itu bagaimanakah persamaan dan perbedaan antara penerapan janji kawin di Indonesia dengan Belanda. Hal inilah yang menjadi fokus dari penelitian ini, untuk melihat perlindungan hukum bagi pihak yang diingkari janji kawin dan melakukan perbandingan antara Hukum Positif di Indonesia dengan Belanda terkait dengan masalah penerapan janji kawin.

B. Permasalahan

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah pengaturan janji kawin di Indonesia?

                                                                                                               

5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 2003). psl. 58

(5)

b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pihak yang di ingkari janji kawin dalam sengketa ini?

c. Bagaimanakah pengaturan konsep hidup bersama dikaitkan dengan janji kawin di Belanda?

C. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pengaturan janji kawin di Indonesia. b. Untuk mengetahui penerapan janji kawin di Indonesia.

c. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan bagi pihak yang diingkari janjinya dalam melangsungkan perkawinan.

d. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan dari Putusan Mahkamah Agung dalam memutus perkara yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dikarenakan ingkar janji untuk melangsungkan perkawinan.

e. Untuk mengetahui perbandingan antara penerapan janji kawin di Indonesia dengan di Belanda.

(6)

TINJAUAN TEORITIS

Perbuatan Melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang memberikan definisi bahwa perbuatan melawan hukum adalah :

Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.6

Dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan melawan hukum atau tidak ada unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain :

a. Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif/tidak berniat melakukannya).7

b. Perbuatan yang terdapat di dalam unsur pertama harus memenuhi unsur perbuatan tersebut melawan hukum, yang memiliki ketentuan berdasarkan Arrest tanggal 31 Januari tahun 1919, yaitu :

a) Melanggar hak subyektif orang lain;

b) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; c) Bertentangan dengan kaedah kesusilaan;

d) Bertentangan dengan kepatutan,ketelitian dan kehati-hatian. c. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara:

a) Kesalahan diartikan dalam arti subyektifnya maka mengenai seorang pelaku pada umumnya dapat diteliti apakah perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya, apakah keadaan jiwanya adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat menyadari maksud dan                                                                                                                

6 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan Tjitrosudibio, , (Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 2003 , Psl.1365.

7 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (2)(Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 9

(7)

arti perbuatannya dan apakah si pelaku pada umumnya dapat dipertanggung jawabkan.8

b) Kesalahan dalam arti obyektif, maka yang menjadi permasalahan apakah si pelaku pada umumnya dapat dipertanggung jawabkan, dapat dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu dalam arti bahwa ia seharusnya dapat mencegah terjadinya akibat-akibat dari perbuatan konkrit yang terjadi.

d. Harus adanya kerugian yang ditimbulkan. Kerugian dalam pasal 1365 KUH Perdata kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan melawan hukum. Kerugian materiil adalah kerugian nyata yang timbul dari perbuatan melawan hukum, hilangnya keuntungan yang seharusnya diharapkan atau berhubungan mengenai harta kekayaan dan dipersamakan dengan uang dan dapat pula bersifat materiil, yaitu kerugian berupa hilangnya kenikmatan atau kesenangan atau sebuah barang atau benda.

e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang menerangkan bahwa memang kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum tersebut

Teori Schtutznorm atau dikenal dengan ajaran relativitas berasal dari hukum Jerman yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein Vitringa. Kata “schutz” itu sendiri memiliki pengertian perlindungan, sedangkan “norm” memiliki arti norma, sehingga “schutznorm” dapat diartikan sebagai norma perlindungan.

Teori ini mengajarkan bahwa agar seseorang dimintakan pertanggung jawabannya atas suatu perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak cukup hanya dengan menunjukan adanya unsur hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, akan tetapi perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut memang untuk melindungi kepentingan korban.

Teori Schutznorm disebut juga dengan istilah “teori relativitas” karena penerapan dari teori ini akan membeda-bedakan perlakuan terhadap korban dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, jika seseorang melakukan suatu perbuatan, bisa merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban X, tetapi mungkin bukan merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban Y.9

Teori ini memiliki perdebatan yang sangat hebat, pro dan kontra terhadap teori ini.                                                                                                                

8 Vollmar, Verbintenissen en bewijsrecht, hlm. 327 dikutip oleh Moegni Djojodirdjo, , hlm. Perbuatan

Melawan Hukum (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982) 66.

9 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer (Bandung : Citra Aditya Bakti,2005), hlm. 15

(8)

Tidak semua para ahli hukum di negeri Belanda yang menyetuju teori ini, tidak sedikit pula yang menentang, walaupun putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung teori schutznorm ini. Namun demikian, penerapan teori schultznorm ini sebenarnya dalam kasus-kasus tertentu sangat bermanfaat karena alasan-alasan sebagai berikut:10

a. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tidak diperluas secara wajar. b. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus dimana hubungan antara

perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif dan kebetulan saja.

c. Untuk memperkuat berlakunya unsur dapat dibayangkan (forsee ability) terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira-kira (proximate causation).

Seperti yang telah di jelaskan oleh Penulis sebelumnya, terdapat 3 (tiga) peraturan perundang-undangan mengenai Hukum Perkawinan di Indonesia, yaitu KUH Perdata, UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga terdapatnya 3 (tiga) pengaturan mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia, yaitu :

a. Janji kawin di dalam KUH Perdata di Indonesia diatur do dalam Pasal 58 KUH Perdata, yang menyimpulkan :

a) Janji melangsungkan perkawinan tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal;

b) Namun jika pemberitahuan kawin telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian;

c) Masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.

b. Sedangkan di dalam UU No.1 Tahun 1974 tidak ada satu pun pasal yang mengatur mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan dan akibat hukum yang ditimbulkan dari janji tersebut.

c. KHI tidak mengenal istilah janji untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi dikenalnya istilah peminangan. Peminangan di dalam KHI dianggap sebagai wadah yang merupakan tata cara sebelum melangsungkan perkawinan dan dapat menimbulkan implikasi moral. Akan tetapi tidak timbulnya akibat hukum dari peminangan tersebut, hal tersebut dirasa karena peminangan berbeda dengan perkawinan.

                                                                                                               

(9)

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian ini, Peneliti menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif. Metode ini digunakan penulis untuk menjawab seluruh permasalahan yang terdapat dalam penelitian. Penulis meneliti, mendeskripsikan dan mencoba menerapkan kaidah dan/atau norma hukum yang berkaitan dengan hukum perikatan yang terdapat di Indonesia. Bentuk penelitian ini disebut dengan penelitian yuridis-normatif karena ”peneliti mengarahkan penelitian pada hukum positif dan norma tertulis.”11 dalam penelitian ini hukum positif dan norma tertulis yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan seluruh undang-undang yang terkait. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian evaluatif yaitu penelitian yang ”memberikan penilaian atas kegiatan program yang telah dijalankan”.12 Dalam hal ini, peneliti memberikan penilaian atas penerapan tindakan tidak terpenuhinya janji untuk melangsungkan perkawinan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum perikatan di Indonesia. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian problem finding yaitu penelitian yang ”bertujuan untuk menemukan masalah”.13 Dalam hal ini, peneliti akan mencari permasalahan dari penerapan

ingkar janji kawin sebagai perbuatan melawan hukum (bentuk-bentuk pelanggaran dan penerapan sanksi serta bentuk putusan Mahkamah Agung). Penelitian akan menggunakan data sekunder, yaitu, data yang didapatkan dari kepustakaan dengan cara membaca peraturan perundangan, putusan Mahkamah Agung, buku-buku, majalah, artikel dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang tentunya dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian.

                                                                                                               

11 Sri Madmuji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2007), hlm.10.

(10)

PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan MA No. 3277 K/PDT/2000 dan Putusan MA No. 1398 K/Pdt/2005

Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia adalah Putusan MA RI No. 3277 K/Pdt/2000 dan yang terakhir ialah Putusan MA RI No. 1398 K/Pdt/2005, keduanya merupakan putusan yang berkaitan dengan penerapan ingkar janji kawin sebagai perbuatan melawan hukum di Indonesia. Kedua putusan tersebut menimbulkan isu hukum dan analisisnya sebagai berikut :

a. Perbuatan Melawan Hukum

Para Tergugat dalam kedua perkara yang berbeda tersebut telah melakukan perbuatan melawan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan,

Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.14

Perbuatan Para Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dalam arti luas, hal tersebut dikarenakan Para Tergugat telah mencemarkan nama baik dan kehormatan Para Penggugat, dengan demikian Para Tergugat telah melanggar hak subyektif Para Penggugat. Selain itu, perbuatan Tergugat juga merupakan perbuatan yang sama sekali tidak patut untuk dilakukan karena bertentangan dengan kaidah kesusilaan dan norma-norma moral dalam masyarakat serta menyebabkan kerugian bagi Penggugat.

Dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan melawan hukum atau tidak ada unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain :

a. Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif/tidak berniat melakukannya);15

                                                                                                               

14 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan Tjitrosudibio, Op.Cit., ps.1365.

(11)

b. Perbuatan yang terdapat di dalam unsur pertama harus memenuhi unsur perbuatan tersebut melawan hukum;

c. Harus ada kesalahan;

d. Harus adanya kerugian yang ditimbulkan;

e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang menerangkan bahwa memang kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum tersebut.

Para Tergugat dalam kedua perkara yang berbeda tersebut dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan memenuhi unsur-unsur tersebut dengan melakukan ingkar janji untuk mengawini Para Penggugat dan hal tersebut dirasa telah bertentangan dengan norma kesusilaan sebagai norma moral yang diakui dalam kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan kepatutan yang ada di dalam masyarakat sehingga menimbulkan kerugiaan baik materiil maupun idiil kepada Para Penggugat.

Dalam kasus ini dapat juga diterapakan keberlakuan dari teori relativitas (schutznorm), Teori ini mengajarkan bahwa agar seseorang dimintakan pertanggung jawabannya atas suatu perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata, tidak cukup hanya dengan menunjukan adanya unsur hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, akan tetapi perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut memang untuk melindungi kepentingan korban. Dalam kasus ini, perbuatan Tergugat telah melanggar kesusilaan dan melanggar kepentingan Penggugat dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini Penggugat oleh Tergugat.

Adapun bentuk pertanggung jawaban yang dapat dimintakan pada Tergugat ialah pertanggung jawaban secara langsung, artinya Tergugat sendirilah yang harus bertanggung jawab terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, Tergugat harus memberikan ganti rugi baik itu ganti rugi aktual akibat kerugian finansial dan rasa malu yang dialami Penggugat, maupun ganti rugi nominal sebagai bentuk pertanggung jawaban dari perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi dalam Putusan MA RI No. 1398 K/Pdt/2005 Tergugat I merupakan anak dibawah umur dan belum berpenghasilan, maka berdasarkan pasal 1367 alinea kedua KUH Perdata maka yang berkewajiban untuk bertanggung jawab ialah orang tua atau wali Tergugat I, yang merupakan Tergugat II.

Isu hukum berupa Perbuatan Melawan Hukum yang menjadi dasar gugatan dari kedua perkara ini juga di dasari oleh Yurisprudensi MA RI No. 3191 K/Pdt/1984 yang berbunyi,                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

(12)

Bahwa dengan tidak terpenuhinya janji Tergugat asal untuk mengawini Penggugat asal, Tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, serta perbuatan Tergugat asal tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri Penggugat asal, maka Tergugat asal wajib membayar kerugian.

Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dan Yurisprudensi MA RI No. 3191 K/Pdt/1984 Mahkamah Agung di dalam setiap putusannya menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Para Tergugat terbukti merupakan Perbuatan Melawan Hukum dikarenakan telah bertentangan dengan norma kesusilaan dan karenanya diwajibkan untuk membayar ganti kerugian.

b. Janji Melangsungkan Perkawinan di Indonesia

Dikarenakan dalam perkara ingkar janji kawin ini gugatan diajukan secara perdata maka peraturan perundang-undangan yang digunakan ialah KUH Perdata dan atau UU No. 1 Tahun 1974. Akan tetapi, karena di dalam UU No.1 Tahun 1974 tidak adanya pengaturan mengenai janji kawin dan akibatnya, maka berdasarkan pasal 66 UU No.1 Tahun 1974, maka keberadaan buku 1 KUH Perdata tentang Perkawinan dapat diberlakukan.

Janji kawin seperti yang terdapat dalam pasal 58 KUH Perdata merupakan janji dari salah satu pihak untuk melangsungkan perkawinan dengan pihak lain yang didasari itikad baik demi mewujudkan perkawinan yang langgeng dan bahagia, dan juga sebagai bukti keseriusan akan hubungan mereka. Namun pasal 58 KUH Perdata ini terlalu kaku dan kurang fleksibel terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi, seperti apabila janji kawin tersebut digunakan dengan itikad buruk. Dari kedua Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dikatakan bahwa keberlakuan pasal 58 KUH Perdata ternyata tidak berlaku mutlak selama janji kawin digunakan sebagai tipu daya dari salah satu pihak untuk memperoleh keuntungan dari pihak lainnya yang melawan hukum.

Janji yang diungkapkan Tergugat kepada Penggugat untuk mengawini Penggugat berdasarkan Pasal 58 KUH Perdata tidak memiliki akibat hukum atau adanya keberlakuan dari asas pacta sunt servanda, sehingga tidak dapat diajukannya gugatan wanprestasi dimuka pengadilan.

Namun demikian, perbuatan ingkar janji kawin dapat dituntut ke pengadilan dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum, pengajuan gugatan di muka pengadilan bukan untuk menuntut pemenuhan janji kawin tersebut atau untuk melangsungkan perkawinan seperti yang telah

(13)

dijanjikan akam tetapi untuk pemenuhan ganti rugi atas kerugian yang diderita karena tidak terlaksananya janji kawin, baik materiil maupun idiil.

Ada pembaruan pemikiran dalam kedua perkara tersebut, yaitu bahwa apabila salah satu pihak beritikad buruk dalam penggunaan janji kawin hanya demi mendapatkan suatu keinginan ataupun keuntungan tertentu, maka penggunaan pasal 58 dapat diselewengkan dalam hal tidak perlu adanya pemberitahuan kawin kepada pegawai catatan sipil yang diikuti dengan pengumuman kawin terlebih dahulu untuk dapat menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga atas kerugian yang telah diderita oleh pihak lainnya.

Hakim dalam memutuskan kedua perkara tersebut, juga telah cukup peka dalam menganalisa apakah perbuatan Tergugat benar-benar telah bertentangan dengan kaidah kesusilaan sebagai kaidah tidak tertulis. Artinya Hakim tersebut tidak kaku atau hanya berpegangan pada kaidah normatif yang tertulis seperti undang-undang saja, namun juga memperhatikan kaidah tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Hakim disini telah melihat nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan berusaha menyelaraskan dengan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut.

Hal terpenting yang sekiranya menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara ini ialah Hakim disini berasumsi bahwa ada keadilan masyarakat yang terganggu yang ditimbulkan oleh perbuatan Tergugat. Tindakan Tergugat tidak hanya menimbulkan rasa malu dan kerugian bagi Penggugat,namun juga menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan budaya setempat dan tidak patut untuk dilakukan. Maka dalam hal ini, Hakim berusaha membenahi kegoncangan tersebut tidak hanya sesuai dengan undang-undang yang berlaku namun juga melihat hal lain yang tidak bisa dilihat oleh undang-undang.

Jika hanya berdasarkan Pasal 58 KUH Perdata maupun UU No.1 Tahun 1974, maka perbuatan ingkar janji kawin yang dilakukan Tergugat tidak dapat dikenai hukuman apapun karena hal tersebut tidak diatur dalam KUH Perdata maupun UU No.1 Tahun 1974. Namun dalam kasus ini, Hakim Mahkamah Agung tetap menganggap bahwa Para Tergugat bersalah dan oleh karena itu Para Tergugat dihukum membayar ganti rugi sejumlah uang tertentu kepada Para Penggugat.

Sehubungan dengan hal tersebut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat. Sedangkan yang bersifat

(14)

menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinan terjadi suatu peristiwa yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya.16

B. Konsep Hidup Bersama dan Janji Untuk Melangsungkan Perkawinan di Belanda

Belanda merupakan negara yang memperbolehkan bagi pasangan untuk melaksanakan hidup bersama. Tindakan seperti itu bukan merupakan tindakan yang dilarang. Bagi pasangan yang memilih untuk hidup atau tinggal bersama melakukan perjanjian kohabitasi. Di dalam BW Belanda perjanjian kohabitasi bukanlah perjanjian yang ditetapkan (seperti perjanjian diatur dalam buku 7 dan 7a dari BW Belanda) dan tidak ada ketentuan hukum khusus yang mengatur perjanjian seperti itu. Sebuah perjanjian hidup bersama tidak selalu harus dibuat oleh seorang Notaris Hukum Perdata, tetapi juga dapat dibuat sebagai perjanjian pribadi.17

Dengan adanya kebolehan untuk melakukan hidup bersama atau kohabitasi di belanda, maka terdapatnya pengaturan mengenai perjanjian hidup bersama yang terdaftar bagi pasangan yang melaksanakan hidup bersama di Belanda.

Akibat hukum dari pasangan hidup bersama yang terdaftar sebagian besar sama dalam perkawinan. Beberapa perbedaan penting antara pasangan hidup bersama yang terdaftar dan perkawinan adalah sebagai berikut ;18

a. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar tidak otomatis mengakibatkan hubungan keluarga dengan anak-anak yang lahir dalam pasangan hidup bersama tersebut..Namun pasangan hidup yang terdaftar benar-benar secara otomatis memiliki kewenangan hidup bersama sebagai orang tua atas anak yang lahir selama kehidupan bersama yang terdaftar tersebut, asalkan anak tersebut tidak juga memiliki hubungan warga yang sah secara hukum dengan orang tua lain (pasal 1:253aa dan 1:253sa BW).19

b. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar dapat dihentikan dengan persetujuan antara para pihak tanpa intervensi pengadilan (pasal 1:80c(c)BW). Namun, sejak 1 Maret 2009 intervensi pengadilan telah menjadi wajib, jika para pasangan memiliki kewenangan                                                                                                                

16 Sudikno Mertokusomo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,1993) hal. 32.

17 Hans H.M. ter Haar, et. al., “Hukum tentang orang, hukum keluarga dan hukum waris di Belanda dan Indonesia dalam Hukum tentang orang dan Hukum Keluarga,cet.1 (Denpasar : Pustaka Larasan,2012), hlm.32.

18 Ibid.,hlm. 38-39 19 Ibid.,

(15)

bersama atau tunggal sebagai orang tua atas satu atau lebih dari anak-anak bersama mereka atau jika mereka memiliki kewenangan bersama sebagai orang tua atas satu atau lebih anak berdasarkan pasal 1:253sa atau 1:253t BW

c. Selain perbedaan-perbedaan ini, ada juga perbedaan dari suatu hakikat prosedural (seperti isi yang berbeda dari pernyataan yang dibuat pada kantor pencatatan kelahiran, kematian, dan perkawinan). Selain itu, pemisahan secara hukum tidak mungkin dalam kasus pasangan hidup bersama yang terdaftar ; pemisahan secara hukum (pemisahan tempat tinggal dan pangan) masih diperuntukan bagi pasangan yang sudah menikah.20

Sedangkan pengaturan mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan di Belanda, diatur di dalam pasal 1:49 BW Belanda yang baru, yang berbunyi

1. Engagements to marry do not vest a right of action to enter into marriage nor a right to compensation on account of breach of the engagement. Any covenants which derogate thereform shall be null and void.

2. However, if an instrument of declaration of marriage has been drawn up. This may constitute of ground for damages claim for any actual financial lossess without account being taken of any future loss of profit. The right of action shall lapse upon the expiry of eighteen months from the date of the instrument of declaration of marriage. 21

Pengaturan janji kawin di dalam Pasal 58 KUH Perdata dan Pasal 1:49 BW Belanda yang baru memiliki kesamaan, bahwa dengan tidak terpenuhinya janji kawin tidak dapat dituntut ganti kerugian, terkecuali telah dilakukannya pemberitahuan kawin terlebih dahulu.

Yang menjadi perbedaan disini ialah dengan adanya konsep hidup bersama di Belanda baik yang terdaftar maupun tidak, maka bagi pasangan yang melakukan hidup bersama atau tinggal bersama hal tersebut tidak melanggar norma kesusilaan maupun kepatutan, hal tersebut dikarenakan hidup bersama di Belanda sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar bagi para pasangan yang memiliki hubungan asmara.

Sehingga apabila salah satu pihak merasa diingkari janjinya untuk dikawini dan mereka telah melakukan hidup bersama maka pihak tersebut tidak dapat digunakannya dalil atas perbuatan melawan hukum karena telah melanggar kesusilaan dan kepatutan sehingga menyebabkan kerugian baik materiil maupun imateriil, karena terdapatnya konsep hidup bersama di Belanda baik yang terdaftar maupun tidak. Sehingga bagi pihak yang diingkari janji untuk dikawini akan sulit sekali mendapat perlindungan hukum.

                                                                                                               

20 Ibid.

21 The Civil Code of The Netherlands [Nieuw Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh Hans Warendrof,

(16)

KESIMPULAN

Dari penjabaran yang telah dijelaskan di dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan, bahwa :

a. Janji untuk melangsungkan perkawinan yang diatur di dalam Pasal 58 KUH Perdata tidak menimbulkan akibat hukum ataupun keberlakuan dari asas pacta sunt servanda seperti yang diatur di dalam Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata, maka tidak dapat dilakukan gugatan atas dasar wanprestasi terhadap janji ini. Ketentuan Pasal 58 KUH Perdata ini dianggap terlalu kaku dan kurang fleksibel terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi, seperti apabila janji kawin tersebut digunakan dengan itikad buruk. Oleh sebab itu ketentuan dari Pasal 58 KUH Perdata sering dirasa tidak memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang diingkari janji untuk dikawini.

b. Dalam memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang telah di ingkari janji kawin, Mahkamah Agung telah memutus dua kasus yang berkaitan dengan hal tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut, yaitu :

a) Putusan Mahkamah Agung No. 3277 K/Pdt/2000 memutus kasus yang terjadi di Surabaya antara Penggugat (Wetty Trisnawati) yang telah di ingkari janji nya untuk dikawini oleh Tergugat (Hari Wisnu). Dalam putusan Mahkamah Agung ini, pihak Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian kepada Penggugat baik secara materiil maupun idiil. Dengan dinyatakannya bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan berkewajiban untuk membayar ganti rugi kerugian, hal tersebut telah memberikan rasa adil bagi Penggugat. Dalam memutus kasus ini, putusan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, Yurisprudensi MA RI No. 3191 K/Pdt/1984 tentang ingkar janji kawin sebagai perbuatan melawan hukum dan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis, maka dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung dalam memutus perkara ini telah menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum. Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung ini dirasa telah memberikan rasa

(17)

adil bagi Penggugat karena telah mengalami kerugian baik secara materiil maupun idiil.

b) Putusan Mahkamah Agung No. 1398 K/Pdt/2005 memutus kasus yang terjadi di Semarang antara Penggugat (wali dari Iva Fictorianingsih) dengan Tergugat I (Bagus Adijatmiko). Dalam kasus ini, Iva Fictorianingsih telah diingkari janji nya yang tertuang di dalam Surat Perjanjian yang telah dibuat oleh Tergugat I untuk mengawini Iva Fictorianingsih yang diakibatkan hamilnya Iva Fictorianingsih karena telah berhubungan badan dengan Tergugat I. Tidak terpenuhinya janji tersebut menyebabkan Iva Fictorianingsih dan keluarganya mengalami kerugian baik secara materiil maupun idiil. Dalam putusan ini, Tergugat I dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan berkewajiban untuk mengganti kerugian kepada Penggugat dan bertanggung jawab atas nafkah terhadap anak yang dikandung oleh Iva Fictorianingsih, akan tetapi dikarenakan Tergugat I belum memiliki penghasilan yang tetap maka tanggung jawab untuk mengganti kerugian dilaksanakan secara tanggung renteng bersama Tergugat II (ayah dari Tergugat I). Dalam memutus kasus ini, putusan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, Yurisprudensi MA RI No. 3191 K/Pdt/1984 tentang ingkar janji sebagai perbuatan melawan hukum dan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis. Selain memberikan rasa adil bagi Iva Fictorianingsih dan Penggugat, putusan ini juga telah memberikan rasa adil bagi anak yang dikandung oleh Iva Fictorianingsih karena Tergugat I memiliki kewajiban untuk menanggung nafkah dari anak yang dikandung oleh Iva Fictorianingsih.

c. Berdasarkan BW Belanda yang baru (Nieuw Burgelijk Wetboek) janji kawin tidak menimbulkan akibat hukum ataupun keberlakuan dari asas pacta sunt servanda, sehingga janji kawin tidak dapat dilaksanakannya tuntutan di muka pengadilan karena tidak terpenuhinya janji kawin tersebut, terkecuali telah adanya pemberitahuan mengenai perkawinan kepada catatan sipil dan batas waktu untuk melakukan penuntutan maksimal 18 bulan setelah adanya pemberitahuan. Selain itu, dengan diakuinya konsep hidup bersama baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar hidup bersama dianggap tidak melanggar norma kesusilaan dan kepatutan di dalam masyarakat, oleh karena itu ingkar janji kawin di Belanda tidak dapat dituntut berdasarkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum.

(18)

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran yang ingin disampaikan oleh Penulis berkaitan dengan penerapan atas tidak terpenuhinya janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia, yaitu :

a. Sosialisasi Pemerintah kepada masyarakat agar tidak melakukan hubungan badan di luar perkawinan, hal tersebut dikarenakan Pasal 58 KUH Perdata tidak menimbulkan akibat hukum apapun.

b. Walaupun berdasarkan Yurisprudensi MA RI No. 3191 K/Pdt/1984, Putusan MA RI No. 3277 K/Pdt/ 2000, dan Putusan MA RI 1398 K/Pdt/2005 ingkar janji untuk melangsungkan perkawinan merupakan perbuatan melawan hukum, akan tetapi hakim dalam memutus perkara seperti ini harus melihat secara kasuistis bagaimana perbuatan ini bisa terjadi, sehingga tidak setiap laki-laki yang meninggalkan perempuan secara sepihak dapat dimintakan ganti rugi.

(19)

KEPUSTAKAAN Buku

Agustina,Rosa. Perbuatan melawan Hukum, cet.2. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

___________. “Perbuatan Melawan Hukum” Dalam Hukum Perikatan (Law of Obligations). Denpasar : Pustaka Larasan, 2012.

Djojodirdjo, M.A Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, 1982.

Fuady,Munir. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung : Citra Aditya Bakti,2005.

Haar, Hans H.M. ter. Et. al. “Hukum tentang orang, hukum keluarga dan hukum waris di Belanda dan Indonesia” Dalam Hukum tentang orang dan Hukum Keluarga,cet.1. Denpasar : Pustaka Larasan, 2012.

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Mertukusomo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,1993. de. Deel, Verbintenissenrecht. Universitaire Pers : Leiden, 1995.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta : Universitas Indonesia, 2007.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No.1, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN No. 3400.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan Tjitrosudibio. Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 2003.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno, cet.21. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2001.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Abdurrahman. Cet. 4. Jakarta : Akademika Pressindo, 2004

The Civil Code of The Netherlands [Nieuw Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Hans Warendrof, Hans Warendrof, et.al., The Netherlands : Kluwer Law International,2009.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana pengaruh Kualitas Produk, Harga, Promosi, dan Kualitas Pelayanan yang dapat mempengaruhi Kepuasan

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam melakukan uji kinerja peralatan pengukuran parameter

Hasil pengujian kuat tekan beton SN pada FAS 0,30, SG 1,6 dibandingkan terhadap beton dengan variasi pengganti semen menunjukkan bahwa beton SN mempunyai kuat tekan

Dan hasil belajar siswa ynng rnengikuti pernbelajaran dengan penerapan pendekatarl inkuiri melalui media audiovisual dan instrumen berbasis elektronika lebih tingb.i dari

Tesis Pengaruh Pengembangan Pegawai Dalam ..... ADLN - Perpustakaan

Bank Mandiri KCP Surabaya Gubeng, dengan hasil yang diperoleh sebagai berikut : Tingkat kepuasan nasabah dilihat dari dimensi servqual pada petugas security, customer service, teller

Saya adalah satu-satunya pengarang/penulis Hasil Kerja ini; Hasil Kerja ini adalah asli; Apa-apa penggunaan mana-mana hasil kerja yang mengandungi hakcipta telah dilakukan secara

Kontribusi utama pada penelitian ini antara lain: (i) melakukan pengamanan sinyal EKG yang dikirimkan secara daring melalui jaringan Internet untuk melindungi sinyal EKG