Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PENERBITAN ONLINE AWAL
Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada
Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan
program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah
diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan
penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi
Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat
diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin
dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon
diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan
kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan
versi publikasi akhir.
1
Distribusi Tipe Aerosol Di Indonesia Bagian Barat Menggunakan
Data Modis-Aqua Dan Omi-Aura
Noviana Dewani
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Keberadaan aerosol dapat mempengaruhi kesehatan manusia, kualitas udara, dan iklim. Sumber aerosol dapat berasal dari alam seperti kebakaran hutan, letusan gunung api, garam laut ataupun hasil kegiatan manusia seperti industri, pembakaran bahan bakar fosil. Setiap tahunnya, di Indonesia masih terjadi kebakaran hutan yang merupakan salah satu sumber aerosol. Secara umum aerosol dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe yakni, Sea Salt, Sulfat, Dust, Carbonaceous. Salah satu cara untuk mengetahui dan mengklasifikasi keberadaan aerosol yakni menggunakan satelit. Pengklasifikasian tipe aerosol ini dilakukan menggunakan data Aerosol Optical Depth (AOD) dan Fine Mode Fraction (FMF) dari data Modis-Aqua dan data indeks aerosol dari data OMI-Aura dengan menggunakan algoritma MODIS-OMI. Metode ini mengklasifikasikan aerosol berdasarkan daya serap radiasi matahari dan ukuran aerosol. Pada tahun 2011 di wilayah Indonesia bagian barat diketahui terdapat 2 jenis tipe aerosol utama dan 1 jenis tipe aerosol campuran, yakni tipe sea salt, sulfat, dan campuran antara sea salt dan sulfat. Aerosol sea salt pada umumnya terdapat di wilayah lautan dan persebarannya dipengaruhi oleh angin. Aerosol sulfat lebih dominan berada di wilayah Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Pada bulan-bulan basah, tipe sulfat ini lebih menyebar dan lebih sedikit dibanding pada bulan-bulan kering. Pada bulan-bulan kering, tipe sulfat ini terkonsentrasi pada wilayah Sumatera dan Kalimantan. Untuk tipe campuran sea salt dan sulfat terdapat di wilayah antara tipe sea salt dan tipe sulfat. Tipe ini merupakan tipe untuk meminimalisasi eror dari pengklasifikasian.
Kata kunci : tipe aerosol, Indonesia, Modis, OMI, AOD, FMF, Indeks Aerosol
1. Pendahuluan
Aerosol secara umum dapat didefinisikan sebagai suspensi dari larutan atau partikel padat di udara dengan ukuran partikel antara 10 9 – 10 -4 m
(Poschl, 2005). Aerosol dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia, kualitas udara dan juga iklim. Setiap tipe aerosol memiliki efek yang berbeda terhadap iklim. Ada tipe aerosol yang dapat menyerap radiasi matahari dan ada pula yang dapat menghamburkan radiasi matahari. Secara umum, aerosol dapat dikategorikan kedalam beberapa tipe berdasarkan ukuran dan daya serap terhadap radiasi matahari. Tipe tersebut antara lain carbonaceous
(absorbing fine-mode), soil dust (absorbing coarse-mode), sulfat (non-absorbing fine-mode) dan sea salt (non absorbing coarse mode) (Hirugashi dan
Nakajima, 2002).
Aerosol dapat bersumber dari alam ataupun dari kegiatan manusia. Sumber-sumber aerosol yang berasal dari alam antara lain letusan gunung api, garam laut, ataupun debu. Sumber aerosol dari kegiatan manusia berasal dari industri, transportasi, pembakaran bahan bakar fosil dan kebakaran hutan. Masih dominannya kejadian kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang merupakan area lahan gambut terluas di dunia (Hasisson et al.,2009), menjadi salah satu sumber aerosol di Indonesia.
Pengukuran aerosol ini dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran insitu ataupun menggunakan satelit. Akan tetapi, pengukuran insitu ini tidaklah banyak. Penelitian ini akan membahas mengenai tipe aerosol dan distribusi setiap tipenya
pada wilayah kajian (Gambar 1) selama tahun 2011 dengan memanfaatkan data Modis satelit Aqua dan data OMI satelit Aura.
Gambar 1. Wilayah kajian
2. Data dan Metodologi
Dalam penelitian ini digunakan 3 buah data utama yakni data UV indeks aerosol yang didapatkan dari Ozone Measurement Instrument (OMI), data
aerosol optical depth (AOD) dan data fine mode fraction (FMF) yang didapatkan dari MODIS-Aqua.
Selain data tersebut, digunakan pula data reanalysis angin pada Ketinggian 850mb dan data curah hujan rata-rata bulanan dari GPCP (Global Precipitation
Climatology Project). Data aerosol optical depth
2 MODIS FMF OMI AI AI <= 0.7 FMF < 0.5 Sea Salt
Sea salt + sulfate (jika AOD > 0.2)
0.5 < FMF < 0.7
Sea salt + Sulfate
FMF > 0.7
Sulfate
AI > 0.7
FMF < 0.6
Dust
Sea salt + dust (jika AOD <= 0.2) 0.6< FMF < 0.8 Dust + Carbonaceous Sea salt + Carbonaceous ( Jika AOD <= 0.2) FMF > 0.8 Carbonaceous
terhamburkan atau terserap oleh partikel di udara. Selain itu pula, AOD menunjukkan banyaknya aerosol dalam satu kolom atmosfer.
Data indeks aerosol Ozone Measurement
Instrument (OMI) dapat membedakan dengan baik
antara aerosol yang menyerap radiasi dan tidak menyerap radiasi. Menurut Torres et al (1998), indeks aerosol bernilai positif, maka terdapat aerosol yang dapat menyerap panas, seperti mineral dust, smoke dan aerosol volcanic. Jika indeks aerosol bernilai negatif menunjukkan adanya aerosol yang tidak menyerap panas seperti sulfat dan sea salt.
Data fine mode fraction (FMF) memberikan informasi tentang representasi ukuran aerosol. Menurut Kim et al (2007) jika FMF bernilai mendekati 1, menunjukkan ukuran aerosol kasar. Selain itu pula menunjukkan adanya sumber antropogenik. Jika nilai FMF bernilai kecil, maka diindikasikan aerosol jenis nonantrophongenic
(natural).
Algoritma yang dipakai untuk mengetahui jenis tipe ini menggunakan algoritma dari penelitian Kim dkk pada tahun 2007 seperti pada Gambar 2. Sebelumnya akan dianalisis mengenai karakteristik aerosol yang berada di wilayah kajian dari parameter-parameter aerosol yang digunakan sebagai input data untuk mengklasifikasi tipe aerosol. Setelah didapatkan tipe aerosol yang berada pada wilayah kajian, akan dibahas mengenai distribusi tiap tipe aerosol dengan melihat parameter meteorologi seperti angin dan hujan. Sebagai analisis tambahan, digunakan data AERONET di wilayah Bandung.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Analisis Parameter Aerosol
Dari hasil pengolahan data, di dapatkan bahwa nilai indeks aerosol rata-rata wilayah kajian berkisar sekitar 0.25 - 0.38 (Gambar 3). Nilai indeks aerosol yang bernilai positif menunjukkan bahwa
aerosol yang berada pada wilayah kajian memiliki
sifat dapat menyerap radiasi matahari.
Dari nilai fine mode fraction, di wilayah Indonesia rata-rata memiliki ukuran aerosol yang tidak terlalu kasar namun juga tidak terlalu halus dengan nilai rata-rata FMF sebesar 0.532. Jika dilihat pada Gambar 4 terlihat pada bulan Januari nilai FMF lebih bervariasi dibanding pada bulan Juli. Pada bulan Juli, terlihat pada wilayah Sumatera, nilai FMF mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah Sumatera terdapat sumber aerosol antropogenik.
Gambar 3. Rata-rata wilayah indeks aerosol bulanan tahun 2011
Gambar 2. Algoritma pengklasifikasian aerosol MOA (Kim dkk, 2007)
Gambar 4. Fine mode fraction (a) Bulan Januari (b) Bulan Juli
(b) (a)
3 Nilai AOD pada wilayah kajian memiliki nilai berkisar antara 0.14 – 0.25 (Gambar 5). AOD pada bulan Januari lebih rendah dibanding AOD pada bulan Juli. Menurut Carmichael dkk, 2009, nilai AOD <2 merepresentasikan jumlah aerosol yang rendah dalam kolom atmosfer sehingga tingkat visibilitas untuk wilayah kajian tinggi.
3.2 Klasifikasi Tipe Aerosol
Dari hasil pengklasifikasi menggunakan algoritma MOA, didapatkan bahwa terdapat 2 tipe aerosol utama dan 1 tipe aerosol campuran untuk wilayah kajian, yakni tipe aerosol sea salt, sulfate, dan campuran antara sea salt dan sulfat (Gambar 6).
(a) (b) (c)
(d) (e) (g)
Keterangan:
Gambar 6. Tipe Aerosol bulanan di wilayah kajian (a) Januari (b) Februari (c) Maret (d) April (e) Mei (f) Juni (g) Juli (h) Agustus (i) September (j) Oktober (k) November (l) Desember
Aerosol sea salt pada umumnya terdapat di wilayah laut. Untuk aerosol sulfat terdapat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan untuk aerosol campuran sulfat dan sea salt pada umumnya terdapat di wilayah antara aerosol sulfat dan aerosol sea salt.
3.3 Analisis Distribusi Aerosol
Pada Gambar 7 terlihat bahwa tipe aerosol campuran antara sea salt dan sulfat merupakan tipe yang memiliki jumlah piksel terbanyak terutama pada bulan April, Mei, Juli, Agustus, September dan Oktober. Tipe aerosol sulfat merupakan tipe aerosol yang jumlah pikselnya sangat sedikit pada wilayah kajian.
Gambar 7. Jumlah piksel tipe aerosol di wilayah kajian Akan tetapi apabila dilihat pada Gambar 8 yang merupakan perbandingan nilai AOD untuk setiap tipenya, tipe sulfat memiliki nilai AOD yang besar dibanding tipe aerosl lainnya. Hal ini berarti jumlah aerosol sulfat di atmosfer lebih banyak dibanding tipe aerosol lainnya walaupun luas wilayahnya paling sedikit.
Gambar 8. Rata-rata AOD per tipe aerosol di wilayah kajian 0 50 100 Ja n F e b M a r A p r M e i J u n J u l A g t S e p O k t N o v D e s Ju m la h P ik se l (% )
Perbandingan Jumlah Piksel Per-Tipe Aerosol
Sea Salt Sea Salt + Sulfate Sulfate
0 0.2 0.4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
A
O
D
Grafik AOD per Tipe Aerosol
Sea Salt Sea Salt + Sulfate Sulfate
Gambar 5. Nilai rata-rata wilayah AOD bulanan tahun 2011
(h) (i) (j)
4 Untuk tipe sea salt terdapat pada wilayah laut. Persebaran tipe sea salt dipengaruhi oleh angin. Untuk tipe sulfat pada umumnya terletak pada wilayah daratan, yakni Sumatera dan Kalimantan serta di Selat Karimata. Adanya pengaruh hujan terhadap persebaran tipe aerosol. . Curah hujan pada bulan JJA lebih rendah dibandingkan bulan DJF. Pada bulan DJF, tipe sulfat yang terdapat pada wilayah kajian berjumlah sedikit. Berbeda halnya pada bulan JJA, tipe sulfat berjumlah lebih banyak dan terkonsentrasi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Apabila ditinjau dari jumlah curah hujan pada wilayah kajian, persebaran dan jumlah aerosol memiliki pola yang berkebalikan
Pada Gambar 9, grafik antara curah hujan dan nilai AOD, yang menunjukkan jumlah aerosol dalam kolom atmosfer, memiliki pola berkebalikan. Hal ini menunjukkan adanya proses washout yang menyebabkan adanya pembersihan aerosol dari atmosfer.
Gambar 9. (a) Pola rata-rata curah hujan bulanan di wilayah kajian . (b) Rata-rata bulanan AOD di wilayah kajian
Akan tetapi, jika dilihat dari hubungan antara aerosol dan titik panas (hotspot), terlihat adanya hubungan yang sebanding diantara keduanya. Keberadaan aerosol pada wilayah kajian juga dipengaruhi oleh jumlah titik panas selain adanya efek washout. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 10, pada Bulan Januari, aerosol sulfat jumlahnya sedikit. Hal tersebut sebanding dengan jumlah titik panas yang juga sedikit jumlahnya. Begitu pula pada bulan Juli, banyaknya aerosol sulfat sebanding dengan banyaknya titik hotspot yang terdapat di wilayah kajian.
Pada kasus kebakaran hutan, jumlah SO2
yang dihasilkan akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan karbon. Namun, tipe aerosol karbon tidak terklasifikasi dalam wilayah kajian. Hal ini dapat disebabkan threshold yang dipakai oleh Kim dkk tidak tepat untuk dipakai di Indonesia.
a. b. c. d. 0 200 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 C u ra h h u ja n ( m m ) Bulan Curah Hujan Rata-Rata 2011
Gambar 10. Tipe Aerosol di wilayah kajian, (a) Bulan Januari 2011 (c) Bulan Juli 2011. Jumlah titik hotspot (b) Bulan Januari 2011 (d) Bulan Juli 2011
Gambar 11. Tipe aerosol, Pola angin rata-rata level 1000 mb - 700 mb, pola curah hujan wilayah kajian (a) DJF (b) JJA (c) MAM (d) SON
(a)
(b)
(a) (b)
5 Pada Gambar 11 terlihat perbedaan persebaran aerosol baik pada musim kemarau (JJA), musim hujan (DJF) ataupun musim peralihan (MAM dan SON). Pada bulan DJF, aerosol sulfat berjumlah lebih sedikit dan menyebar. Berbeda halnya pada bulan JJA, aerosol sulfat lebih terkonsentrasi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pertemuan angin diwilayah Sumatera menyebabkan aerosol sulfat menyebar. Curah hujan yang tinggi pula menyebabkan aerosol sulfat lebih sedikit. Aeorosol
sea salt, menyebar pada lautan hindia sampai pada
lintang 3⁰ LS dan meluas hingga Lampung dan Jawa Barat. Hal tersebut dikarenakan adanya angin barat yang membawa aerosol sea salt di wilayah tersebut.
Lain halnya pada bulan JJA, aerosol sulfat terkonsentrasi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Selain dikarenakan curah hujan yang rendah pada bulan JJA, angin pada wilayah sumatera dan Kalimantan memiliki kecepatan yang lebih rendah. Sebelumnya telah disebutkan bahwa pada wilayah Sumatera dan Kalimantan terdapat sumber aerosol antropogenik yang ditandai dengan nilai FMF mendekati 1 dan pada peta titik panas, di wilayah Sumatera dan Kalimantan terdapat banyak sekali hotspot pada bulan JJA ini. Persebaran aerosol sea
salt dipengaruhi oleh angin. Angin dari arah tenggara
melemah disekitar 6⁰ LS, sehingga dapat dilihat persebaran aerosol sea salt hanya berada di sekitar sebelum ekuator.
Untuk MAM dan SON yang merupakan bulan-bulan peralihan, pola persebaran aerosol hampir mirip. Aerosol sea salt pada SON lebih luas wilayahnya dibanding pada bulan MAM. Hal ini dikarenakan pada bulan SON angin dari arah tenggara lebih kuat dibanding bulan MAM. Angin ini melemah disekitar 3⁰ LS. Berbeda halnya pada bulan MAM, angin dari arah tenggara melemah disekitar 9⁰ LS. Selain itu pula disekitar ekuator terdapat angin barat yang bergerak menuju timur.
Sebagai analisis tambahan dilakukan pengolahan data AERONET untuk mendapatkan tipe aerosol di wilayah Bandung. Dari hasil pengolahan, maka didapat bahwa untuk wilayah Bandung memiliki tipe aerosol moderately aerosol, slightly
aerosol dan mixture. Moderately aerosol dan slightly aerosol merupakan bagian dari black carbon yang
memiliki sifat menyerap radiasi matahari dan berukuran halus. Slightly aerosol memiliki daya serap radiasi matahari yang sangat rendah sedangkan
moderately aerosol memilki daya serap radiasi
matahari yang sedang.
Jika dibandingkan dengan pengklasifikasikan berdasarkan satelit, tidak ada kesesuaian antara klasifikasi aeronet dengan klasifikasi menggunakan data satelit. Hal ini karena perbedaan ukuran spasial. Data aeronet hanya mengukur pada satu titik sedangkan satelit sangat luas wilayah cakupannya. Selain itu pula perbedaan threshold yang dipakai dalam mengklasifikasikan aerosol.
Tabel 1 Tipe aerosol berdasarkan data AERONET dan data satelit Bulan Tipe Aerosol berdasarkan AERONET Tipe Aerosol berdasarkan MOA
Januari Mixture Sea salt
Februari Slighty Aerosol Sea Salt Maret Moderately Aerosol Sea salt
April Mixture Campuran Sea
Salt dan sulfat
Mei Slighty
Aerosol
Campuran Sea
salt dan sulfat
Juni Moderately Aerosol Sea salt Juli Slighty Aerosol Campuran Sea
salt dan sulfat
Agustus Slighty Aerosol Sea salt September Moderately Aerosol Campuran Sea
salt dan sulfat
Oktober - Campuran Sea
salt dan sulfat
November - Sea salt
Desember - Sea salt
Keterangan : (-) tidak ada data
4 Kesimpulan dan Saran
Pada wilayah kajian tidak terdapat aerosol tipe
Carbonaceous. Hal ini dikarenakan threshold yang
dipakai tidak terlalu tepat untuk wilayah Indonesia. Pada wilayah di tahun 2011 kajian teradapat 2 tipe aerosol utama dan 1 aerosol campuran, yakni sea
salt, sulfat, dan campuran dari sea salt dan sulfat.
Tipe campuran ini dibuat untuk meminimalisasi eror dalam pengklasifikasian.
Kajian ini merupakan kajian awal yang selanjutnya dapat digunakan untuk mengontrol dan memantau kualitas udara ataupun untuk mengkaji efek aerosol di wilayah Indonesia. Pengukuran-pengukuran mengenai kualitas udara sangat sedikit dilakukan, sehingga pemanfaatan data satelit menjadi suatu alternatif untuk mengetahui, mengontrol ataupun memantau kualitas udara.
Adapun saran dalam tugas akhir ini antara lain : a. Perlunya observasi insitu mengenai tipe aerosol di Indonesia untuk mengetahui jenis aerosol yang berada di wilayah Indonesia guna menentukan
threshold yang tepat untuk wilayah Indonesia.
b. Perlunya dikaji lebih lanjut mengenai efek
washout dan efek angin terhadap distribusi aerosol.
c. Perlunya mengetahui distribusi vertikal untuk setiap tipe aerosol agar dapat mengetahui ketinggian lapisan aerosol dan memudahkan untuk menganalisis distribusi baik secara horizontal maupun vertikal.
6 REFERENSI
(2009, Februari 20). Retrieved 02 11, 2013, from Greenpeace:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/amerika -serikat-dan-indonesia/
Harisson, M. E., Page, S. E., & Limin, S. H. (2009). The global impact of Indonesian forest fires.
Biologist , 156 -163.
Hirugashi, A., & Nakajima, T. (2002). Detection of aerosol type over the East China Sea near Japan from four-channel satellite data. Geophysical
Reasearch Letter , 12.
Ichoku, C., Kaufman, Y. J., Remer, L. A., & Levy, R. (2004). Global aerosol remote sensing from MODIS. Advance in Space Research , 820-827. Jin, M., & Shepherd, J. M. (2008). Aerosol
relationships to warm season clouds and rainfall at monthly scales over east China : Urban land versus ocean. Journal of Geophysical Research ,
113 (D24S90).
Kim, J., Lee, J., Lee, H. C., Hirugashi, A., & Takemura, T. (2007). Consistency of the aerosol type classfication from satellite remote sensing during the Atmospheric Brown Cloud-East Asia Regional Experiment campaign. Journal of
Geophysical Research , 122.
Kluser, L., & Holzer-Popp, T. Satellite observations
of aerosol-cloud interactions. German Aerospace
Center (DLR) - German Remote Sensing Datacenter (DFD).
Lee, J., Kim, J., Song, C., Kim, S. B., Chun, Y., & Sohn, B. J. (2010).Characteristics of aerosol types from AERONET sunphotometer measurements.
Atmospheric Environment , 3110-3117.
Poschl, U. (2005). Atmospheric Aerosol : Composition, Transformation, Climate and Health Effects. 7520-7540.
Rajab, J. M., MatJafri, M. Z., Lim, H. S., & Abdullah, K. (2009). Satellite Mapping of CO2 Emission from Forest Fires in Indonesia Using AIRS Measurements. Modern Applied Science , 3. Ramage. 1971. Role of A Tropical 'Maritime
Continent" In The Atmospheric Circulation.
Monthly Weather Review 96:6 , 365-370.
Saha, K. 2009. Tropical Circulation Systems and
Monsoons. University Park, Maryland: Springer
Heidenberg Dordrecht.
Santachiara, G., Prodi, F., & Belosi, F. (2012). A Review of Termo- and Diffusio-Phoresis ini the Atmospheric Aerosol Scavenging Process. Part 1 : Drop Scavenging. Atmospheric and Climate