• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Gelombang Seismik Refraksi (Analisis Longsor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Gelombang Seismik Refraksi (Analisis Longsor)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

ANALISA LONGSOR MENGGUNAKAN SEISMIK REFRAKSI

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Gelombang yang diampu

oleh Dr. Imran Hilman

Disusun oleh:

Fatah Ramdhan (140710130002) Yudistira Adi Nugraha (140710130043) Ibrahim Paranggupito (140710130031) Timothy Antonio (140710130017) Alim Tri Septiyo (140710130022) Achmad Wahyu Pratama (140710130042)

(2)

PROGRAM STUDI GEOFISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan tentang kebumian salah satunnya merupakan aspek kebencanaan, kebencanaan didalamnya ditinjau dari beberapa aspek yang salah satunnya merupakan longsor. Longsor merupakan bencana dimana posisi tanah turun dan tidak adannya pondasi yang kuat dari segi sedimentasi batuan dasar serta batuan penyusun lapisan bawah permukaan tanahnya, salah satu masalah ini merupakan tinjauan studi untuk geofisikawan yang dimana studi ini merupakan tinjauan untuk geofisikawan menggunakan metode. Metode geofisika yang di pergunakan seismic,georadar,dan gelombang EM. Melalui 3 metode yang dimiliki geofisika,longsor tanah dapat ditinjau dan diidentifikasi permasalahan tersebut. Perlunnya pengalisisan ini untuk menguraikan masalah kebencanaan,terutama longsor itu sendiri karena permasalahan ini sering terjadi dan tidak adannya antisipasi terhadap daerah yang mempunyai potensial longsor sangat besar maupun yang tidak, akan tetapi ini sangat penting. Oleh karena itu, metode geofisika georadar,seismic,dan gelombang EM untuk meninjau dan meminimalisir permasalahan bencana tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini yaitu menganalisa longsor menggunakan seismik refraksi.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis longsor dengan menggunkaan metode seismik refraksi.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka

 Gerakan Tanah

Gerakan tanah merupakan perpindahan massa tanah atau batuan pada arah tegak, mendatar ataupun miring dari kedudukan semula. Salah satu gerakan tanah berupa longsoran. Secara umum, gerakan tanah terdiri atas rayapan (creep) dan longsoran (landslide) yang kemudia terbagi lagi atas sub-kelompok gelinciran (slide), aliran (flow) jatuhan (fall) dan luncuran (slip) (Hutchinsons 1968).

Menurut Sharpe (1938) longsoran (landslide) adalah luncuran atau gelinciran (sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau campuran keduanya. Klasifikasi tersebut pada umumnya berdasarkan kepada jenis gerakan dan materialnya. Longsoran dapat diklasifikasikan berdasarkan material yang tampak, kecepatan perpindahan material yang bergerak, susunan massa yang berpindah serta jenis material dan gerakannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gerakan tanah (mass movement) adalah gerakan perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas atau perpindahan massa tanah maupun batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula, dimana salah satu bentuk dari pergerakan tanah berupa longsoran (landslide).

 Jenis Longsoran

1. Jatuhan (fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara, termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain. Yang termasuk ke dalam jenis gerakan ini adalah runtuhan batu, maupun tanah.

2. Longsor gelinciran (slides) merupakan gerakan tanah atau batuan yang disebabkan oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati ataupun

(5)

diduga. Slides terbagi dua jenis, yaitu luncuran (slide) dan nendatan (slump). Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan susunan materialnya yang banyak berubah. Pada nendatan (slump) susunan materialnya tidak banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional.

3. Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau kadar air tanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang bergerak umumnya tidak dapat dikenali.

4. Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal kecepatan gerakannya yang secara alami biasanya lambat (Zaruba & Mencl, 1969; Hansen, 1984). Untuk membedakan longsoran dan rayapan, maka kecepatan gerakan tanah perlu diketahui. Rayapan (creep) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: rayapan musiman yang dipengaruhi iklim, rayapan bersinambungan yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan rayapan melaju yang berhubungan dengan keruntuhan lereng atau perpindahan massa lainnya (Hansen, 1984).

 Prinsip-Prinsip (Hukum) Fisika Pada Gelombang Seismik 1. Hukum Snellius

Pada gelombang seismik, hukum snellius menyatakan bahwa bila suatu gelombang jatuh pada bidang batas dua medium yang mempunyai perbedaan densitas, maka gelombang tersebut akan dibiaskan, jika sudut datang gelombang lebih kecil atau sama dengan sudut kritisnya, namun jika sudut dating gelombangnya lebih besar dari sudut kritisnya, maka gelombang akan dipantulkan. Pada hukum Snellius, gelombang-gelombangnya, yakni gelombang dating, gelombang pantul, dan gelombang bias adalah terletak pada suatu bidang datar.

(6)

sinθ1 sinθ2 =v1 v2 =n1 n2

Dengan θ1 dan θ2 adalah sudut datang dan sudut bias, sedangkan v1 dan

v2 adalah sinar datang dan sinar bias. Lalu, n1 indeks bias medium yang dilalui

oleh sinar datang, dan n2 adalah indeks bias medium yang dilalui oleh sinar bias.

Keterangan diatas akan ditunjukkan pada gambar dibawah ini :

Gambar Hukum Snellius (Sumber Oktavintaa: 2008)

2. Prinsip Huygens

Prinsip Huygens pada gelombang seismik adalah setiap titik pada suatu muka gelombang dapat dipandang sebagai pusat gelombang sekunder yang memancarkan gelombang baru ke segala arah dengan kecepatan yang sama pada suatu rambat gelombang.

(7)

2.1. Hukum pemantulan menurut prinsip Huygens

Gambar diatas merupakan prinsip Huygens pada proses pemantulan cahaya, namun pada penerapan gelombang seismik prinsip tersebut juga dapat digunakan. Medium ke 2 merupakan reflektor gelombang datang, batas medium R1 dan R2 adalah sinar cahaya datang yang sejajar ketika R1 telah mencapai batas medium, yakni pada titik A, R2 baru sampai dititik B. Titik A adalah sumber cahaya sekunder yang diatas dari A sudah mencapai titik B , maka sumber cahaya sekunder yang diatas dari A sudah‟ ‟ mencapai titik A karena dicapai pada titik A pada waktu yang sama yakni waktu‟ ‟ yang di tempuh AA dan BB selama t detik. Dengan demikian dapat dirumuskan‟ ‟ bahwa hukum pemantulan pada prinsip Huygens adalah :

sin θ1 = BB' AA '= Vt AB' Sedaangkan, sin θr = AA ' AB '=V t AB '

Sehingga didapat dari persamaan keduanya adalah : sin θ1 = sin θr atau θ1 = θr

Dimana θ1 adalah sudut yang dibentuk antara sinar datang dengan garis normal,

dan θr adalah sudut yang dibentuk antara garis normal dengan garis-garis yang

(8)

2.1. Hukum pembiasan menurut prinsip Huygens

Gambar Prinsip Huygens (Sumber Oktavinta: 2008)

Selain untuk pemantulan, prinsip Huygens juga dapat digunakan untuk menjelaskan hukum pembiasan, jika gelombang datang dari suatu medium ke medium yang lainnya yang dapat meneruskan gelombang datang tersebut. Secara garis besar pembiasan adalah peristiwa sebuah gelombang yang datang dari suatu medium ke medium lain yang berbeda. Seperti dilihat pada gambar R1 dan R2 adalah, dua sinar sejajar ketika R1 mencapai batas medium dititik A sinar R2 mencapai titik B. Pada waktu I detik medium 1 gelombang mencapai jarak AA = V‟ 2t.

Dari gambar diatas dapat diperoleh dua persamaan, diantaranya: sin θ1 = BB' AA '= Vt AB' dan sin θ1 = AA ' AB '=V2 t AB '

(9)

Dari kedua persamaan diatas dapat diperoleh bahwa rumusan pembiasan menurut prinsip Huygens adalah:

sinθ1 sinθ1 =V1t AB' x AB ' V2t 3. Prinsip Fermat

Pada prinsip ini menjelaskan bahwa sebuah gelombang yang merambat dari satu titik ke titik yang lain, maka gelombang tersebut akan memilih lintasan yang tercepat. Maksudnya lintasan yang akan dilalui oleh gelombang tersebut adalah lintasan yang secara waktu tercepat bukan yang terpendek secara jarak, karena tidak selamanya yang terpendek adalah yang tercepat. Jika gelombang melewati sebuah medium yang memiliki variasi kecepatan pada gelombang seismic, dampaknya gelombang tersebut akan cenderung melewati zona yang berkecepatan tinggi dan menghindari zona yang mempunyai kecepatan rendah. Contoh prinsip Fermat ditunjukkan oleh gambar dibawah ini:

(10)
(11)

 Metoda GPR (Ground Penetrating Radar)

Metoda GPR (Ground Penetration Radar) atau sering juga dikenal sebagai metoda Georadar adalah suatu metoda dalam bidang ilmu geofisika, yang sering kali digunakan sebagai salah satu sarana pendukung dalam kegiatan eksplorasi geologi dalam menidentifikasi lapisan bawah permukaan (sub-surface) untuk kedalaman tertentu (dangkal). Metode GPR atau Georadar ini memanfaatkan gelombang elektromagnetik (EM) dengan nilai frekuensi yang tiinggi (105). Pada prinsipnya,

Georadar menggunakan 4 persamaan dasar Maxwell. Kareana metode georadar memanfaatkan nilai frekuensi tinggi, maka fungsi gelombang pada suku gelombang akan tak tampak namun pada suku difusi akan dominan. Berikut ilustrasi gambar penjalaran gelombang pada metode georadar:

Pada dasarnya GPR bekerja dengan memanfaatkan pemantulan sinyal. Semua sistem GPR pasti memiliki rangkaian pemancar (transmitter), yaitu sistem antena yang terhubung ke sumber pulsa, dan rangkaian penerima (receiver), yaitu sistem antena yang terhubung ke unit pengolahan sinyal. Rangkaian pemancar akan menghasilkan pulsa listrik dengan bentuk, prf (pulse repetition frequency), energi, dan durasi tertentu. Pulsa ini akan dipancarkan oleh antena ke dalam tanah. Pulsa ini akan mengalami atenuasi dan cacat sinyal lainnya selama perambatannya di tanah. Jika tanah bersifat homogen, maka sinyal yang dipantulkan akan sangat kecil. Jika pulsa menabrak suatu inhomogenitas di dalam tanah, maka akan ada sinyal yang dipantulkan ke antena penerima. Sinyal ini kemudian diproses oleh rangkaian

(12)

penerima. Kedalaman objek dapat diketahui dengan mengukur selang waktu antara pemancaran dan penerimaan pulsa. Dalam selang waktu ini, pulsa akan bolak balik dari antena ke objek dan kembali lagi ke antena. Jika selang waktu dinyatakan dalam t, dan kecepatan propagasi gelombang elektromagnetik dalam tanah v, maka kedalaman objek yang dinyatakan dalam h adalah untuk mengetahui kedalaman objek yang dideteksi, kecepatan perambatan dari gelombang elektromagnetik haruslah diketahui. Kecepatan perambatan tersebut tergantung kepada kecepatan cahaya di udara, konstanta dielektrik relative medium.

 Metode Hagiwara

Semua gambar dan penurunan rumus diperoleh dari : Jurnal Gradien, Edisi Khusus- Januari 2009 : 30-33

(13)

Visualisasi Struktur Bawah Permukaan Dengan Metode Hagiwara Refrizon, Suwarsono, Kristin Natalia

Titik A dan B adalah titik tembak/sumber sedang titik P adalah titik penerima. Lintasan gelombang refraksi dari A ke P adalah A-A”- P” – P dan lintasan dari B ke P adalah B – B” – P”’ – P . Dengan menggunakan garis tegak lurus P’R dari P”-P’- P”’ akan diperoleh persamaan :

PP ' v1 =

PR v1 +

RP} over {{v} rsub {1}} = {{h} rsub {p} {cos {i}} rsub <?>} over {{v} rsub {1}} + {P'P v2

Dengan cara yang sama juga didapatkan :

PP ' } over {{v} rsub {1}} = {{h} rsub {p} {cos {i}} rsub <?>} over {{v} rsub {1}} + {P'P ' v2

AA } over {{v} rsub {1}} = {{h} rsub {A} {cos {i}} rsub <?>} over {{v} rsub {1}} + {A'A v2

(14)

BB } over {{v} rsub {1}} = {{h} rsub {B} {cos {i}} rsub <?>} over {{v} rsub {1}} + {B'B ' v2

Bila travel time gelombang bias dari shot point A ke P dinotasikan dengan TAP dan

travel time dari shot point B ke P dinotasikan TBP serta travel time dari A ke B atau

sebaliknya dengan TAB=TBA maka diperoleh :

TAP=AA } over {{v} rsub {1}} + {A P} over {{v} rsub {2}} + {P P

v1 =hAcos i v1 +hPcos i v1 +A ' P' v2 TAP=hAcos i v1

+A ' A } over {{v} rsub {2}} + {{h} rsub {P} cos {i}} over {{v} rsub {1}} + {P'P

v2 +A P' v2 AP=¿hAcos i v1 +hPcos i v1 +A ' P ' v2 T¿

TBP=BB } over {{v} rsub {1}} + {B P '} over {{v} rsub {2}} + {P' P

v1 =hBcos i v1 +hPcos i v1 +B ' P' v2

TAP=AA } over {{v} rsub {1}} + {A B } over {{v} rsub {2}} + {B B

v1 =hAcos i v1 +hBcos i v1 + A ' B' v2 TAP+TBP=2 hPcos i v1 +TAB Akhirnya di peroleh : hp= v1 2 cos i

[

TAP+TBPTAB

]

(15)

v1 diproleh dari travel time gelombang langsung dekat titik tembak dan TAP,TBP

dan TAB diperoleh secara langsung dari pengamatan ,oleh karena itu kwalitas

pencuplikan data harus diperlukan.Namun cosines I belum bisa ditentukan karena v2 belum diketahui . Jika v2 dapat diketahui maka kedalaman hP dibawah

titik penerima P dapat dihitung . Untuk menghitung v2 tinjau T’AP yang

dinyatakan oleh persamaan :

T 'AP=TAP

(

TAP+TBPTAB

)

2

Selanjutnya akan diperoleh :

T 'AP=hAcos i

v1

+A ' P'

v2

Karena A’P’ vertical terhadap A dan P ,maka A’P’ = X ,maka

T 'AP=hAcos i

v1

+ x

v2

Pers(69 ) merupakan persamaan linier untuk x . Jika diambil X sebagai Absis dan T’AP sebagai ordinat maka :

d

dx

(

T 'AP

)

=

1

v2

Dengan cara yang sama akan diperoleh :

T 'BP=TBP

(

TAP+TBP+TAB

)

2

(16)

T 'BP=hBcos i v1 + x v2 Sehingga diperoleh d dx

(

T 'BP

)

= 1 v2

Nilai T’AP dan T’BP didefinisikan masing – masing sebagai ’A dan

’B ,sedemikan hingga dapat ditulis sebagai :

τ'A

=hAcos i

v1

τ'B=hBcos i

v1

Dimana hA dan hB menyatakan kedalaman pada shot point A dan B .Pada

gambar di bawah kurva T’AP yang memotong ordinat di titik A dinyatakan

dengan ’A dan kurva T’BP yang memotong ordinat B dinatakan dengan ’B.

selanjutnya akan diperoleh :

hA=v1τA '

cosi dan hB=

v1τB '

cos i

Cara tersebut diatas dapat digunakan untuk menghitung kedalaman disetiap titik amat (lokasi Geophone). Selanjutnya untuk titik shot B akan diperoleh :

T 'BP=TBP

(

TAP+TBPTAB

)

2

(17)

(

TAP+TBPTAB

)

2 =TAPT 'AP=TBPT 'BP

Sehingga kedalaman pada Geophone :

hp= v1

cos i

(

TAPT 'AP

)

atau hp=

v1

cos i

(

TBPT 'BP

)

2.2 Pembahasan

Pada kasus ini, kami mengambil jenis longsor dengan tipe gelncir (slide). Gerakan longsor diakibatkan karena beberapa hal, diantaranya adalah penambahan massa pada suatu lapisan (misalnya akibat hujan) dimana lapisan atas akan memberikan gaya yang lebih besar dibandingkan sebelumnya dan lapisan dibawahnya tidak mampu menahannya akibat penambahan massa tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya longsor. Selain faktor penambahan massa, kemiringan lereng juga mempengaruhinya, semakin besar sudut kemiringannya maka akan semakin rentan suatu lapisan mengalami longsor. Hal ini sebagaimana konsep bidang miring. Pada kasus kali ini, potensi longsor diidentifikasi dengan menggunakan metode seismik refraksi. Analisis seismik refraksi yang dicari adalah ketebalan lapisan, dari situ kita dapat memperkirakan lama perembesan air dan waktu terjadinya longsor. Seismik refraksi dapat digambarkan dalam skema berikut:

(18)

Dengan seismik refraksi kita, kita akan mendapatkan data berupa waktu yang ditempuh gelombang sampai ke receiver atau geophone. Kali ini kami mengasumsikan terdapat dua lapisan, hal ini dikarenakan seismic refraksi hanya mampu menjangkau lapisan dangkal. Kedalaman suatu lapisan dapat menggunakan persamaan berikut: Z1= T1V1V2 2

V22−V12 Z2=

(

T13

(

T12 cos

(

sin−1V2 V3

)

cos

(

sin−1V1 V2

)

)

2 cos

(

sin−1V2 V3

)

)

×V2+Z1

Nilai Z atau kedalaman akan didapat dalam rentang nilai tertentu, hal ini dikarenakan adanya undulasi pada tiap lapisannya dengan kata lain lapisan tidak berbentuk datar.

Berdasarkan perhitungan, kami mendapatkan data yaitu:

N o T V Z 1 2 3 1 2 3 1 2 1 0.0625 0.134 0.2571 150.98 504.35 2357.34 4.94489 30.19042 2 0.0645 0.1342 0.2637 162.82 511.62 2389.54 5.53892 32.0726 3 0.0675 0.1347 0.2642 178.89 519.82 2428.14 6.430307 32.22933 4 0.0695 0.1351 0.2651 184.61 528.32 2490.2 6.846799 32.79108 5 0.071 0.1357 0.2672 191.7 541.18 2521.2 7.277205 33.94146

(19)

6 0.0715 0.136 0.2681 199.8 562.7 2680.72 7.640733 35.40176 7 0.072 0.1379 0.2689 212.42 587.2 2723.81 8.202645 36.51117 8 0.0728 0.1384 0.2711 228.12 608.2 2810.23 8.957512 38.09212 9 0.0737 0.1394 0.275 299.82 660.31 2892.2 12.40036 40.48463 10 0.0743 0.14 0.3013 248.17 705.42 2972.29 9.849137 55.28362 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 50 100 150 200 250 300 350

V1-T1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 100 200 300 400 500 600 700 800

V2-T2

(20)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

T3-V3

(21)

Setelah kia dapatkan ketebalan dari masing-masingh lapisan maka kita coba prediksi kapan longsorn akan terjadi dengan cara mengidentifikasi volume pori-pori lapisan. Pertama kita tentukan dahulu curah hujan yang turun. Misalkan di suatu daerah X kita asumsikan curah hujan sebesar 500 mm perbulannya yang mana maksudnya itu adalah setiap m2 akan menerima volum air sebesar 500 l tiap bulannya.

Dengan mengasumsikan lebar lereng adalah 30 m dan tinggi lereng adalah 60 m maka didapatkan luas permukaan lereng sebesar 1800 m2 maka tiap bulannya akan

dijatuhi vair dengan

V= 1800 m2 x 0.5 m3 /m2 =900 m3

Maka dalam sebulan si lapisan akan menampung 900 m3 air tiap bulannya.

Selanjutnya kita tentukan volum pori-pori lapisan tanah dan lapisan lempung dengan menggunakan rumusan porositas dengan nilai porositas tanah 0,64 dal lapisan lempung 0,40 maka :

Vptanah = 0,64 x 30 x60 x 8 = 9216 m3

Vplempung = 0,40 x 30 x 60 x 30 = 21600 m3

Longsor akan terjadi jika volum pori-pori lapisan lempung semuanya akan terisi air maka total volum adalah 30816 m3 maka lapisan akan terisi air dalam jangka

waktu :

T = 30816 / 900 = 34 bulan 6 hari.

Ini dengan asumsi dalam 26 bulan tersebut merupakan musim hujan dan pada lapisan tidak terkandung air sama sekali. Pada kenyataannya di lapsian batuan pasti terkandung air sebagian besarnya. Jika kita misalkan pada pertama pengukuran di lapisan tanah awalnya terkandung air sebesar 7000 m3dan lempung 18000 m3

(22)

sama maka volum yang kosong adalah 5816 m3 sehingga dari waktu pertama

pengukuran akan terjadi longsor :

T = 5816 / 900 = 6 bulan 2 minggu

Berarti sekitar 6 bulan dari waktu pertama pengukuran kemungkinan aka terjadi longsor besar didaerah tersebut. Pada kenyataanya longsor memang terjadi dalam kisaran builanan bahkan tahunan. Gambaran diasumsikan tidak ada air yang mengalir dari lapisan lereng karena air terkepung.

(23)

BAB III PENUTUP

3.1 Analisa

Longsor disebabklan akibat adanya penambahan massa yang menagkibatkan munculnya gaya tekan searah gravitasi. Partikel-partikel pada suatu lapisan akan berkurang kohesinya akibat gaya tersebut. Penambahan massa tersebut dapat berasal dari hujan. Selain itu, faktor perbedaan sudut kemiringan dan ketinggian juga diantara faktor yang mempengaruhinya.

Dalam kasus ini, pertama kami merekonstruksi model dari data Seismik dan Perumusan Hagiwara.

Gp 1 Gp 2 Gp 3 Gp 4 Gp 5 Gp 6 Gp 7 Gp 8 Gp 9 Gp 10

Lapisan 1 Lapisan 2

Pada tipe longsor gelincir (slide), faktor yang paling berpengaruh adalah lapisan lempung yang menurun koefisien geseknya terhadap lapisan aluvial diatasnya saat

Aluvi

al

Basement

Lempun

g

(24)

hujan turun. Singkatnya, lapisan aluvial tergelincir dikarenakan lempung dibawahnya menjadi licin dan terjadilah longsor. Bila ditinjau kembali pada modelnya, nampak kedalaman pada geophone no 9 mengalami anomali di lapisan pertama. Secara geologis, tidak mungkin perlapisan sedimen mengalami lonjakan seperti penampang tersebut tanpa disertai gaya yang menyebabkannya naik. Gaya tersebut kami prediksikan terjadi karena tekanan lapisan diatasnya yang menekan batuan tersebut dari samping atas. Model tersebut juga menyebabkan lapisan diatasnya kemungkinan akan tertahan dan longsong dimulai dari no 8. Besarnya gaya yang menekan ke bawah dipengaruhi massa batu pasir yang porositasnya terisi oleh air. Sebagaimana perhitungan diatas, bahwa nilai porositas mempengaruhi penambahan massa yang mengisi pori dan mengakibatkan adanya gaya tekan. Dari hal tersebut mengakibatkan terjadinya longsor. Longsor dapat diprediksi dengan mengetahui curah hujan serta jenis lapisan pada suatu daerah tertentu, dengan mengetahui porositas suatu lapisan tersebut. Longsor terjadi jika porositas suatu lapisan memiliki nili diatas 30%.

(25)

3.2 Kesimpulan

Longsor terjadi jika suatub lapisan memiliki sudut kemiringan , ketinggian dan adanya tekamna akibat penambahan massa. Longsor dapat dianalisa dengan menggunakan metode seismic refraksi untuk mengetahui batas bidang suatu lapisan. Pada kasui inin diketahui bahwa pada geophoine kedelapan terdapat anomaly, bidang longsoran tampak terlihat dimulai dari geophone 1-7. Bagian longsor tersebuit merupakan lapisan alluvial yang berda diatas bidang lempung akibat .hujan yang terjadi terus menerus dan sehingga lapisan lempung menjadi semakin licin.

(26)

Daftar Pustaka

Musafril. n.d. Analisis Stabilitas Lereng untuk Konservasi Tanah dan Air di

Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut. Aceh. F.T. Pertanian Universitas

Syiah Kuala Banda Aceh

Telford. Applieed Geophysics, 2nd Edition. New York. Cambridge University Press

Gambar

Gambar Hukum Snellius (Sumber Oktavintaa: 2008)
Gambar diatas merupakan prinsip Huygens pada proses pemantulan cahaya, namun pada penerapan gelombang seismik prinsip tersebut juga dapat digunakan
Gambar Prinsip Huygens (Sumber Oktavinta: 2008)
Gambar Prinsip Fermat (Sumber Oktavinta: 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Tingkatan brand awareness yang paling rendah adalah brand unware (tidak menyadari merek), dimana konsumen tidak menyadari adanya merek, brand recognition

Dalam konteks pengembangan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pancasila, perlu diperhatikan perubahan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai dasar yang terkandung

Penelitian tentang konversi lahan pertanian produktif akibat pertumbuhan lahan terbangun di Kota Sumenep bertujuan untuk mengetahui karakteristik perubahan tutupan

Gonzales-Herrero &amp; Pratt seperti yang dikutip oleh Putra (2008:9.14) menjelaskan setelah tahapan-tahapan krisis tersebut terjadi, tidak kemudian krisis selesai dan

Hasil uji statistik bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi lingkungan fisik rumah yaitu luas ventilasi, kelembaban,

Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti apakah faktor lingkungan fisik rumah (luas ventilasi rumah, kepadatan hunian rumah, jenis lantai, jenis dinding, pencahayaan,

Pengikatan koordinat planimetris peta diukur dengan metode poligon, yaitu sebagai berikut. a) Jumlah titik ikat planimetris yang digunakan sebaiknya lebih dari satu buah. b)

Dalam penelitian ini, isolasi senyawa asetogenin dilakukan dengan menggunakan tiga-fase kromatografi kolom terbuka pada ekstrak daun sirsak, fraksi F005.. Melalui