• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa selfefficacy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa selfefficacy"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SELF-EFFICACY 1. Pengertian Self-efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya

dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa

self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan

memperoleh hasil yang positif. Myers (1996) juga mengatakan bahwa self-efficacy adalah bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal.

Selain itu Schunk (dalam Komandyahrini & Hawadi, 2008) juga mengatakan bahwa self-efficacy sangat penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Woolfolk (1993) bahwa self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.

Baron dan Byne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Menurut Feist & Feist (2002) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap perisitiwa

(2)

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan maupun menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi, sehingga mereka mampu mengatasi suatu rintangan dan menghasilkan suatu tujuan yang diharapkannya.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

self-efficacy pada diri individu antara lain :

a. Budaya

Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy.

b. Gender

Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya.

c. Sifat dari tugas yang dihadapi

Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya,

(3)

jika individu diharapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.

d. Insentif eksternal

Faktor lain yang mempengaruhi self-efficacy individu adalah insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.

e. Status atau peran individu dalam lingkungan

Individu yang memilki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah. f. Informasi tentang kemampuan diri

Individu akan memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self-efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang dihadapi, insentif eksternal, status dan peran individu dalam lingkungan, serta informasi tentang kemampuan dirinya.

(4)

3. Aspek-aspek Self-efficacy

Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self-efficacy pada diri manusia, yaitu :

a. Tingkatan (Level)

Dimensi ini mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan mampu mengatasinya. Tingkat self-efficacy seseorang berbeda satu sama lain. Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan menentukan self-efficacy. Pada suatu tugas atau aktifitas, jika tidak terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan sangat mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai self-efficacy yang tinggi pada permasalahan ini. Seseorang dapat memperbaiki atau meningkatkan

self-efficacy dengan mencari kondisi yang mana dapat menambahkan tantang

dan kesulitan yang lebih tinggi levelnya. b. Keadaan Umum (Generality)

Dimensi ini mengacu pada variasi situasi dimana penilaian tentang

efficacy dapat diterapkan. Seseorang dapat menilai dirinya memiliki self-efficacy pada banyak aktifitas atau pada aktifitas tertentu saja. Dengan

semakin banyak self-efficacy yang dapat diterapkan pada berbagai kondisi, maka semakin tnggi self-efficacy seseorang.

c. Kekuatan (Strength)

Dimensi ini terkait dengan kekuatan dari self-efficacy seseorang ketika berhadapan dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahn. Self-efficacy yang lemah dapat dengan mudah ditiadakan dengan pengalaman yang

(5)

menggelisahkan ketika menghadapi suatu tugas. Sebaliknya orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan tekun pada usahanya meskipun pada tantangan dan rintangan yang tak terhingga. Dia tidak mudah dilanda kemalangan. Dimensi ini mencakup pada derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan.

Berdasarkan hal-hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tiga aspek

self-efficacy yaitu level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum suatu tugas),

dan strength (kekuatan atau keyakinan seseorang dalam menyelesaikan tugas).

4. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-Efficacy Tinggi dan Self-Efficacy Rendah.

Secara garis besar, self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu tinggi dan rendah. Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung, sementara individu yang memiliki self-efficacy rendah cenderung menghindari tugas tersebut.

Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat intrinsik dan ketertarikan yang mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan berkomitmen dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Mereka

(6)

yang gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali

self-efficacy mereka setelah mengalami kegagalan tersebut (Bandura, 1997).

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan. Individu yang ragu akan kemampuan mereka (self-efficacy yang rendah) akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memilik self-efficacy yang rendah tidak berpikir bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas yang sulit, mereka mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali self-efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).

Dari hal-hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang memiliki

self-efficacy tinggi memiliki ciri-ciri, antara lain : dapat menangani secara efektif situasi

yang mereka hadapi, yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan, ancaman dipandang sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari, gigih dalam berusaha, percaya pada kemampuan diri yang dimiliki, hanya sedikit menampakkan keragu-raguan. Sedangkan individu yang memiliki self-efficacy rendah memiliki ciri-ciri antara lain: lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self-efficacy ketika menghadapi kegagalan, tidak yakin dapat menghadapi rintangan, ancaman dipandang

(7)

sebagai sesuatu yang harus dihindari, mengurangi usaha dan cepat menyerah, ragu pada kemampuan diri yang dimiliki, aspirasi dan komitmen pada tugas lemah.

B. KONSEP MAYORITAS DAN MINORITAS

1. Pengertian Mayoritas

Mayoritas menunjukkan jumlah yang paling banyak sedangkan minoritas menunjukkan jumlah yang paling sedikit. Mayoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. Konsep tentang mayoritas juga sering kali dihubungkan dengan dominant culture. Dengan menggunakan analisis Gollnick dan Chinn (dalam Liliweri, 2005), konsep ini dipahami sebagai sebuah aspek yang berhubungan dengan interaksi antar manusia. Setiap suku bangsa mempunyai seperangkat nilai dan standar kehidupan yang mempengaruhi semua unsur kehidupan kita. Nilai-nilai seperti persaingan, individualisme, dan kebebasan, mungkin bagi kelompok dominan tidak berarti apa-apa. Kelompok dengan budaya dominan lebih mengutamakan etika kerja sebagai kunci sebuah peran untuk mengartikan norma dari kelompok dominan. Liliweri (2005) mengatakan bahwa kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol.

Jadi mayoritas merupakan jumlah terbanyak atau dominan yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak

(8)

memperlihatkan ciri tersebut dimana patokan jumlah lebih dari 50% dibanding kelompok lain.

2. Pengertian Minoritas

Minoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. Menurut Mendatu (2010) suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas.

Dalam analisis klasik, kelompok minoritas menurut Louis Wirth (dalam Liliweri, 2005), diartikan sebagai kelompok yang memiliki karakteristik fisik dan budaya yang sama, kemudian ditunjukkan kepada orang lain dimana mereka hidup dan berada. Akibatnya, kelompok itu diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka merasa bahwa kelompoknya dijadikan objek sasaran diskriminasi. Keberadaan minoritas dalam suatu komunitas menunjukkan hubungan mereka dengan eksistensi kelompok mayoritas yang lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan. Perilaku dan karakteristik dari kelompok minoritas selalu distigmatisasi oleh kelompok dominan atau kelompok mayoritas.

Jadi minoritas adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibawah 50% dimana jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas.

(9)

C. ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS NON TIONGHOA 1. Pengertian Etnis

Pengertian etnis adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul.

Wilbinson (Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa pengertian etnis mungkin mencakup dari warna kulit sampai asal usul acuan kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar. Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan berdasarkan persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan suatu ikatan.

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa etnis merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat membedakan kesatuan berdasarkan persamaan asal-usul seseorang sehingga dapat dikategorikan dalam status kelompok mana ia dimasukkan. Istilah etnis ini digunakan untuk mengacu pada satu kelompok, atau ketegori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan.

(10)

2. Etnis Tionghoa

2.1 Definisi Etnis Tionghoa

Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1950-an (Liem, 2000). Etnis Tionghoa menurut Purcell (dalam Liem, 2000) adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok.

Menurut Pan & Lynn (dalam Karsono, 2011) pencampuran budaya Tionghoa dengan budaya masyarakat setempat menghasilkan dua kelompok etnis Tionghoa, yaitu: etnis Tionghoa Totok dan etnis Tionghoa Peranakan. Anggota dari kelompok tersebut biasanya digolongkan melalui penggunaan bahasa dan adaptasi dengan budaya setempat. Tionghoa Totok adalah mereka yang berdarah etnis Tionghoa murni dan etnis Tionghoa yang lahir di Tiongkok (China-born Chinese). Sementara itu Tionghoa Peranakan adalah orang Tionghoa yang kedua orang tuanya berasal dari Tiongkok yang lahir di Indonesia; atau salah satu orang tuanya yaitu ayah dari Tiongkok dan ibu orang Indonesia (seemed not very Chinese or even not Chinese at all).

Dalam perkembangan selanjutnya etnis Tionghoa diartikan sebagai bangsa Indonesia yang orang tuanya berasal dari keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia

(11)

dan sudah memiliki kewarganegaraan Indonesia. Mereka dapat kedua orang tuanya berasal dari Tiongkok atau salah satu dari orang tuanya berasal dari Tiongkok (Karsono, 2011)

2.2 Stereotip Etnis Tionghoa

Stereotip etnis Tionghoa biasanya disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, superior dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap ramah, murah hati, rajin, ulet, memiliki spekulasi tinggi, namun dengan mudah menghambur-hamburkan materi, suka berpesta pora. Sifatnya muncul secara bergantian, tidak menentu, seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, sehingga orang yang belum mengenalnya akan sulit menangkap sifat manusia Tionghoa dan akan dengan mudah dilihat sisi negatifnya. Bahkan sementara orang menganggapnya sebagai suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial) disekitarnya. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara kultural berasal dari akar budayanya yang tunggal yang memiliki makna tertentu yang akan dapat dipahami. Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan ciri khas manusia Tionghoa dengan yang lain (Vasanty dalam Hariyono, 2006).

2.3 Sosial Etnis Tionghoa di Kota Medan

Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data dari penelitian Lubis (1995), Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku,

(12)

namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa (Lubis, 1999).

Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi (Lubis, 1999).

Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya kurang mampu berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga (Manurung dan Lina, 2005). Hal ini juga diperkuat dengan data yang diperoleh dalam penelitian Lubis (1995) yang menyebutkan bahwa Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa.

Hasil penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995) menyebutkan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Tionghoa sendiri. Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian (Lubis, 1995).

3. Etnis Non Tionghoa

Etnis non Tionghoa adalah kelompok etnis yang mempunyai daerah mereka sendiri (Suryadinata, 2003). Menurut Sanjatmiko (1999) membagi masyarakat

(13)

Indonesia dalam dua golongan besar yaitu golongan etnis Pribumi dan etnis pendatang (Eropa, India, Cina).

Menurut Arief (1997) golongan Pribumi adalah golongan mayarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Hal senada diberikan oleh Issamudin (2002), yang menyatakan etnis Pribumi adalah warga negara Indonesia yang tidak berkulit putih, dan bukan merupakan golongan Timur asing atau golongan Eropa.

Dari pengertian etnis non Tionghoa di atas dapat disimpulkan bahwa etnis non Tionghoa di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Propinsi Sumatera Utara tahun 2006, penduduk kota Medan terdiri dari :

Tabel 1.

Persentase Penduduk Kota Medan Tahun 2006

Suku Persentase Melayu 6,59 Karo 4,10 Simalungun 0,69 Tapanuli/Toba 19,21 Mandailing 9,36 Pak-pak 0,34 Nias 0,69 Jawa 33,03 Minang 8,60 Cina 10,65 Aceh 2,78 Lainnya 3,95

Catatan : - Melayu mencakup semua suku Melayu di pulau Sumatera (Melayu Deli, Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Riau dll)

(14)

- Termasuk dalam suku Jawa adalah suku lain yang ada di pulau Jawa (Betawi, Banten, Sunda, Jawa dan Madura)

- Warga negara asing tercakup dalam lainnya

Berdasarkan tabel 1 (BPS, 2006), dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud etnis

Non Tionghoa di kota Medan adalah suku Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli, Mandailing, Jawa, Minang, Aceh, dan Warga Negara asing.

D. SISWA SMA (Sekolah Menengah Atas)

Sardiman (2003) menyebutkan bahwa dalam kegiatan belajar – mengajar di sekolah, siswa menempati posisi sentral karena siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita - cita, memiliki tujuan dan ingin mencapainya secara optimal sehingga siswa diharapkan lebih aktif dalam melakukan kegiatan belajar.

Pada umumnya di Indonesia, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki usia berkisar 15/16- 18/19. Pada usia tersebut, individu berada pada tahapan masa remaja. Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada masa remaja ini, individu berada pada tahap operasional formal yang ditandai dengan berkembangnya kemampuan untuk berpikir abstrak dan menggunakan cara berpikir ilmiah dalam mengatasi suatu masalah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa siswa Sekolah Menengah Atas termasuk temaja pertengahan yang berada antara usia 15-18 tahun. Pada usia ini remaja sudah mampu untuk berpikir abstrak dalam mengatasi suatu masalah.

(15)

E. PROFIL SMA SUTOMO 1 MEDAN 1. Deskripsi Perguruan Sutomo

Perguruan Sutomo adalah nama sekolah swasta di Medan yang dikelola Yayasan Perguruan Sutomo. Kelompok ini mencakup Sutomo 1 yang terdiri dari play group, TK, SD, SMP, dan SMA, dan Sutomo 2 yang terdiri dari TK, SD, SMP, dan SMA. Di antara keduanya, Sutomo 1 merupakan sekolah yang lebih dominan dan luas dikenal. Play

group, TK, dan SD Sutomo 1 terletak di Jalan Jambi, Medan Perjuangan sementara

SMP dan SMA Sutomo 1 terletak di Jalan Letkol Martinus Lubis, Medan Kota. Sutomo 2 terletak seluruhnya di Pulo Brayan, Medan Timur.

Lebih dari 15 ribu siswa bersekolah di Perguruan Sutomo. Mayoritas siswanya adalah warga keturunan Tionghoa (sekitar 80%), sedangkan etnis Tionghoa mewakili 40% komposisi guru. Kebanyakan guru di SD Sutomo 1 adalah masyarakat etnis Tionghoa, sedangkan kebanyakan guru di SMP / SMA Sutomo 1 adalah masyarakat etnis Batak.

2. Visi

Menjadikan Perguruan Sutomo sebagai Lembaga Pendidikan yang Cerdas dan Unggul dalam mentransformasikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kepada seluruh masyarakat dan membangun karakter bangsa.

3. Misi

Membentuk siswa yang unggul, kreatif, cerdas, terampil, bertanggung jawab, dinamis dan berbudi pekerti luhur, serta bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

(16)

4. Kurikulum dan Sistem Pendidikan

Pendidikan di sekolah ini berbasis kurikulum Nasional KTSP yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Siswa juga dibekali dengan kemampuan berbahasa asing yakni bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Fasilitas laboratorium bahasa sebagai media pembelajaran bahasa Inggris. Selain itu siswa dibekali kemampuan teknologi informatika yang bekerja sama dengan BINUS Center dengan adanya laboratorium komputer. Dalam praktikum pelajaran IPA (Biologi, Fisika, Kimia) dan Elektronik dilakukan secara berkala sesuai dengan materi pelajaran melalui fasilitas Laboratorium IPA dan elektronik.

Sejak tahun pelajaran 1995/96, dibuka "kelas plus" (kelas unggulan) yang bertujuan menampung siswa-siswi paling berprestasi, dimana penyajian materi pelajaran lebih cepat dibandingkan dengan kelas umum. Pada tahun 2001 SMA Sutomo 1 diberikan izin oleh Dirjen Pendidikan Pusat untuk membuka Kelas Akselerasi di mana pendidikan SMA dapat diselesaikan dalam jangka waktu 2 tahun. Pada tahun 2005 dibuka Kelas Internasional yang masih dalam tahap "rintisan" sebelum dioperasikan sepenuhnya pada tahun 2007/2008. Kelas Internasional menggunakan materi pelajaran yang disajikan dalam bahasa inggris.

F. PERBEDAAN SELF-EFFICACY PADA SISWA TIONGHOA DAN NON TIONGHOA DI SMA MAYORITAS ETNIS TIONGHOA

Sekolah pembauran atau pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya (Akhmad, 2008).

(17)

Pemerintah memunculkan satu kebijakan asimilasi yang merupakan cara agar minoritas dapat melebur ke dalam kelompok mayoritas (Mendatu, 2010). Pada tahun 1967 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran (berdasarkan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967). Sekolah dilihat sebagai salah satu wadah pembauran (melting pot) antara kelompok pribumi dengan kelompok non pribumi, agar generasi muda non pribumi dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan. Pada tahun 1975, SNPK dirubah menjadi Sekolah Nasional Swasta yang kemudian menjadi basis sekolah asimilasi (pembauran).

Sekolah pembauran mewajibkan komposisi siswa-siswa 50% non pribumi dan 50% siswa pribumi (Pelly, 2003). Salah satu sekolah pembauran di Sumatera Utara yang ikut serta melaksanakan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967 adalah Yayasan Perguruan SMA Sutomo 1 Medan. Di sekolah ini terdapat siswa pribumi (non pribumi) yaitu sekitar 80 % dan sisanya sekitar 20 % etnis non Tionghoa yang terdiri dari Batak, Karo, Jawa, dll, dengan komposisi tidak mencapai 50%.

Dengan adanya suatu budaya yang mayoritas tentu akan berefek terhadap kelompok minoritas yakni siswa etnis non Tionghoa salah satunya terjadinya culture

shock. Fenomena ini akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke

budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang memiliki perbedaan baik secara pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009).

(18)

Culture shock ini bisa dilihat dari kelompok siswa sebagai minoritas di sekolah

ini harus hidup dengan nilai-nilai dan budaya yang berbeda dengan mereka. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan dan kemungkinan mempengaruhi self-efficacy mereka. Hal ini sesuai dengan Bandura (1997) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

efficacy adalah budaya. Bandura (1997) mengatakan Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses pengaturan diri (regulatory process) yang berfungsi sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy. Bandura (1997) mengungkapkan bahwa budaya individu di suatu sekolah

memberi peran penting dalam self-efficacy individu tersebut. Di Sutomo sendiri, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyelesaikan suatu tugas baik dalam tugas sehari-sehari maupun saat ujian dan juga performa yang dihasilkan oleh setiap siswa berbeda-beda dimana fenomena yang terjadi di Sutomo setiap tahunnya banyak siswa yang berasal dari etnis mayoritas yakni etnis Tionghoa memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan siswa dari etnis non Tionghoa.

Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu. Aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu level, generality, dan strength.

Hal inilah yang menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan self-efficacy antara kelompok siswa etnis Tionghoa dan etnis non Tionghoa.

(19)

G. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan self-efficacy antara kelompok siswa etnis Tionghoa dengan kelompok siswa etnis non Tionghoa di SMA Sutomo 1 Medan”.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan labu alas bulat tujuannya adalah agar pemanasan yang kita lakukan hasilnya dapat merata, karena jika kita menggunakan labu yang lain selain labu alas bulat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat umum tentang kajian yang dibahas, yaitu mengenai Psychological Well- Being pada karyawan yang

daya antioksidannya sedang yang dipengaruhi oleh banyaknya senyawa antioksidan yang terdapat dalam ekstrak daun salam seperti flavonoid, saponin, steroid dan

Berdasarkan uraian di atas, maka akan dilakukan sebuah penelitian tentang analisis kadar emisi gas CO dari kendaraan bermotor melalui penyerap karbon Aktif dari kulit buah

Tujuan penelitian ini ialah untuk merancang Aplikasi Rental Mobil berbasis web yang memberikan saran transaksi penyewaan mobil pada PT NEFRAC INDONESIA, dimana pengelolaan data pada

Persentase dari tingkat kesulitan butir dari masing-masing kategori dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat kesulitan butir adalah berkategori sedang.. Daya

tetapi yang dibangun / dikerjakan terlebih dahulu. Tiap jenis aktiva tetap yang dibangun / dikerjakan sendiri oleh perusahaan dibuatkan komponen biayanya, terdiri dari

Media massa adalah suatu industri yang tumbuh dan berkembang, yang menciptakan lapangan kerja, memproduksi barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang