• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DI PROVINSI RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DI PROVINSI RIAU"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DI PROVINSI RIAU

4.1 Kondisi Geologi, Topografi, Hidrologi, dan Iklim

Wilayah Provinsi Riau merupakan hamparan yang relatif datar dan memiliki konfigurasi dataran rendah. Jenis tanah terbesar adalah podsolik merah kuning yang tersebar di daerah perbukitan sebelah timur dan latosol merah di sebelah barat. Tanah ini mempunyai tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini berhubungan dengan tingkat keasaman tanah, kandungan hara yang rendah, kandungan liat tinggi dan adanya unsur-unsur beracun dalam tanah. Kedalaman tanah bervariasi dari 40 cm sampai lebih dari 150 cm. Pada daerah-daerah sekitar puncak bukit dan lereng atas bukit, kedalaman solum tanahnya hanya 30-50 cm, sedangkan pada lereng bawah berkisar antara 50-100 cm. Topografi secara umum relatif datar dan sedikit bergelombang, sampai berbukit-bukit dengan kelerengan curam. Wilayah dengan topografi berbukit dengan kelerengan curam antara lain terdapat di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dengan ketinggian mencapai 843 m dpl.

Daerah Provinsi Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Daerah yang sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Rokan Hulu yaitu 210 hari, Kota Pekanbaru 209 hari, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kampar 178 hari, dan yang terakhir adalah Kabupaten Siak dengan jumlah hari hujan 52 hari. Jumlah curah hujan tertinggi pada tahun 2006 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3.507,0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3.046,1 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kabupaten Siak sebesar 991 mm.

Menurut klasifikasi curah hujan dari Schmidt dan Ferguson, kawasan berhutan di Provinsi Riau sebagian besar termasuk tipe iklim B. Curah hujan rata-rata tahunan antara 2000-3000 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober sekitar 347 mm dan terendah terjadi pada bulan Juli yaitu sekitar 83 mm. Temperatur udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,6-27,7 ºC. Temperatur maksimum terjadi pada bulan Agustus sebesar 33ºC, dan minimum terjadi pada bulan Januari sebesar 20,8 ºC. Kelembaban udara cukup tinggi, yaitu antara 81 persen sampai 90persen.Kelembaban udara maksimum hampir terjadi di sepanjang tahun kecuali bulan Juli. Kelembaban minimum terjadi pada bulan Agustus sebesar 46 persen.

(2)

Provinsi Riau sebelum dimekarkan menjadi dua provinsi baru mempunyai luas total 359.883.64 hektar dengan proporsi sebesar 71,33 persen (235.306.00 ha) berupa lautan dan 28,67 persen ( 94.577.64 hektar) berupa daratan.

Pada wilayah daratan terdapat 15 sungai dengan 4 sungai di antaranya memiliki fungsi sebagai sarana perhubungan yaitu: (1) Sungai Siak dengan panjang 300 km dan kedalaman sekitar 8-12 m; (2) Sungai Rokan dengan panjang 400 km dan kedalaman sekitar 6-8 meter; (3) Sungai Kampar dengan panjang 400 km dan kedalaman sekitar 6 m; (4) Sungai Indragiri dengan panjang 500 km dan kedalaman sekitar 6-8 m. Keempat sungai ini berhulu di pegunungan daratan tinggi Bukit Barisan dan bermuara di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Letak, luas, dan batas wilayah administratif Provinsi Riau adalah sebagai berikut: (1) luas wilayah sebesar 8.915.015,09 ha (luas sesudah pemekaran dengan Provinsi Kepulauan Riau); (2) keberadaan batas wilayahnya membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut Cina Selatan, terletak antara 1°15´ Lintang Selatan sampai 4°45´ Lintang Utara atau antara 100°03´-104°19´ Bujur Timur dan 6°50´-1°45´ Bujur Barat; dan (3) secara administratif pemerintahan wilayah Provinsi Riau terdiri atas 11 kabupaten dan kota, sembilan kabupaten dan dua kota.

Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau terbagi lagi menjadi 129 kecamatan, 190 kelurahan dan 1.236 desa. Luas wilayah masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Riau disajikan pada Tabel 4.1. Provinsi Riau berbatasan di sebelah utara dengan Selat Singapura dan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Provinsi Jambi dan Selat Berhala, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan (Provinsi Kepulauan Riau), dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara.

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau

Kabupaten&Kota Ibukota Luas (Ha) %

Kuantan Singingi Teluk Kuantan 520 216,13 5,84

Indragiri Hulu Rengat 767 626,66 8,61

Indragiri Hilir Tembilahan 379 837,12 15,48

Pelalawan Pangkalan Kerinci 1 240 413,95 13,9

(3)

Sumber: Riau dalam Angka (2007)

4.2 Tata Ruang Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Provinsi Riau secara umum didominasi oleh penggunaan lahan hutan dan pertanian. Hutan di Provinsi Riau menempati luas sekitar 51,25 persen dari total area daratan dan terbagi dalam beberapa kategori: hutan lindung (2.66 persen),hutan suaka alam (6,19 persen), hutan produksi (39,79 persen) dan hutan mangrove (1,61 persen). Tabel 4.2 menyajikan jenis hutan serta luasan di Provinsi Riau.

Tabel 4.2 Luas hutan di Provinsi Riau tahun 2006

Sumber: Pemda Provinsi Riau (2006)

Di Provinsi Riau juga terdapat penggunaan lahan hutan bakau yang bertujuan untuk melestarikan mangrove sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembang biaknya berbagai biota laut, disamping sebagai pelindung pantai dari pengikisan air laut (abrasi) dan bagi perlindungan usaha budidaya di belakangnya. Kabupaten Indragiri Hilir memiliki areal hutan bakau yang paling luas, yaitu seluas 63.534,01 ha atau 45.89persen dari luas total keseluruhan, diikuti Kabupaten Bengkalis seluas 47.600,02 ha atau 34,38persen dan Kota Dumai seluas 11.582,79 ha atau 8,36persen.

Kampar Bangkinang 1 092 819,71 12,26

Rokan Hulu Pasir Pengarayan 722 977,68 8,11

Bengkalis Bengkalis 1 204423,05 13,51

Rokan Hilir Bagan Siapi-api 896 142,93 10,05

Pekanbaru Pekanbaru 300,86 630,71

Dumai Dumai 203 900,00 2,29

Provinsi Riau Pekanbaru 8 915 015,09 100,00

No Fungsi Hutan Luas Hutan %

1 Hutan Lindung 228.793,82 2,66

2 Hutan Suaka Alam 831.852,65 6,19

3 Hutan Produksi Tetap 1.605.762,78 18,67

4 Hutan Produksi Terbatas 1.815.949,74 21,12

5 Non-Kawasan Hutan 4.277.964,39 49,75

(4)

Tabel 4.3 Luas Areal Hutan Bakau Provinsi Riau

No Kabupaten Luas (ha) %

1 Indragiri Hilir 63.534,01 45.89

2 Bengkalis 47.600,02 34.38

3 Dumai 11.582,79 8.36

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2008

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau, luas lahan pertanian pada tahun 2006 adalah 43.290,63 ha yang terdiri dari luas lahan kering sebesar 2.965.251 ha, dan sisanya adalah lahan pertanian sawah. Penggunaan lahan untuk pertanian yang dominan adalah untuk perkebunan dan tanaman pangan. Tanaman perkebunan yang relatifpotensial di daerah ini ialah kelapa sawit, karet, kelapa, kopi dan cengkeh. Luas lahan yang digunakan untuk kelapa sawit 1.530.153,39 ha, kelapa 551.612,78 ha, karet 514.469,72 ha, cengkeh 24,30 ha dan kopi 10.816,43 ha. Sub-sektor tanaman pangan terdiri atas tanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Data tanaman pangan meliputi luas panen dan produksi tanaman bahan makanan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Selama periode 2006 luas panen tanaman padi mengalami peningkatan sebesar 1,26 persen yaitu dari 134.418 ha menjadi 136.117 ha.

4.2.1 Lahan Kritis

Luas lahan kritis di Provinsi Riau pada tahun 2006 mencapai 7.116.530,88 ha atau 82 persen dari luas provinsi dan terdapat dihampir semua kawasan hutan baik hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi konversi, dan areal penggunaan lain. Meluasnya lahan kritis di Provinsi Riau (Gambar 4.1.) tahun 2006 menunjukkan bahwa bencana ekologis yang kerap terjadi belakangan ini di wilayah Provinsi Riau terkait nyata dengan perubahan tutupan hutan tropis Indonesia di wilayah tersebut yang mengakibatkan lahan menjadi kritis dan memicu kebakaran hutan, longsor, banjir bandang, dan lain sebagainya.

(5)

57595.81 1480611.8 4701516.41 2306658.7 108355.77 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 3500000 4000000 4500000 5000000

TIDAK KRITIS POTENSIAL KRITIS

AGAK KRITIS KRITIS SANGAT KRITIS

Tingkat Kekritisan Lahan

L u a s ( H a )

Gambar 4. 1 Luas lahan kritis di Provinsi Riau pada tahun 2006 Sumber : Ditjen RLPS, 2006

Luas lahan kritis dalam kawasan hutan berdasarkan tata guna hutan di Provinsi Riau pada tahun 2006 tercatat seluas 1,50 juta ha dengan lokasi terluas terdapat di Kabupaten Bengkalis diikuti Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hilir (Tabel 4.4). Perubahan yang terjadi mengakibatkan biodiversity lost dan mempengaruhi aspek komunitas kehidupan biologis dan hidroorologis secara holistik dan harmonis. Infrastruktur jalan raya beraspal yang dibangun dalam hutan alam juga memberikan sumbangan besar terhadap hilangnya tajuk saat penebangan.

Tabel 4.4. Lahan kritis di Provinsi Riau

No Kabupaten Luas ( ha) %

1 Bengkalis 285.936,70 19,09

2 Kampar 244.696,27 16,33

3 Rokan Hilir 208.073,59 13,89

(6)

Dalam sebuah penelitian diungkapkan bahwa 40-50 persen kematian dan kerusakan pohon setelah penebangan terkait dengan jalur pengangkutan (Jhons et al. 1996, Webb 1997, White 1994).

Di petak yang ditebang secara konvensional dalam penelitian CIFOR di Malinau, perbandingan pohon yang mati akibat penyaradan berjumlah dua kali lipat daripada pohon mati akibat penumbangan (Sist et al. 2003). Menurut Meijaard (2006) selain berdampak terhadap habitat, satwa liar juga dipengaruhi oleh jalan, jalur tebang, dan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain. Berkurangnya konektivitas hutan, penurunan luas habitat, dan peningkatan aksesbilitas yang lebih jauh meningkatkan tekanan perburuan, serta menghambat regenerasi hutan (Pinard et al. 2000).

Lahan kritis yang makin meluas di Provinsi Riau menunjukkan bahwa wilayah tersebut juga rentan terhadap terjadinya bencana ekologis yang diakibatkan oleh degradasi ekosistem hutan. Dampak degradasi hutan terhadap meluasnya lahan kritis di provinsi tersebut menjadi signifikan karena tidak terdapat lagi vegetasi pohon yang sebenarnya mempunyai fungsi sebagai penyeimbang tata air kawasan Hal tersebut menyebabkan pada saat musim hujan tidak terjadi banjir bandang dan di saat musim kemarau tidak terjadi kekeringan yang kemudian menimbulkan kebakaran hutan luas dengan asap dan debu yang mencapai wilayah yang dekat dengan provinsi Riau bahkan sampai ke negara tetangga Malaysisa dan SingapuraHal tersebut tentunya menyebabkan ketidaknyamanan dan bahkan dapat mengganggu hubungan bilateral dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura.

4.2.2 Pembalakan Liar atau Illegal Logging

Peningkatan laju aktifitas pembalakan liaratau illegal logging dan ekspansi usaha perkebunan sawit di Provinsi Riau menyebabkan meluasnya lahan kritis di provinsi tersebut, dan termasuk salah satunya menyebabkan kebakaran hutan yang menimbulkan asap/kabut yang meluas hingga negeri tetangga. Pembalakan liaratau illegal logging dan deforestasi tersebut berdampak negatif terhadap kondisi ekologis seperti (1) punahnya keanekaragaman hayati atau biodiversity lost; (2) banjir; (3) erosi tanah; (4) tanah longsor; (5) kekeringan; (6) dan kerusakan DAS (daerah aliran sungai).

Dampak pembalakan liar atau illegal logging terhadap kondisi ekologi secara garis besar dapat dikelompokkan atas rusaknya fungsi ekosistem dan hilangnya keanekaragaman

(7)

hayati plasma nutfah baik flora maupun fauna. Rusaknya fungsi ekosistem tersebut menyebabkan terganggunya habitat flora fauna, perubahan iklim, terganggunya sistem hidrologis, dan tidak berfungsinya jasa lingkungan lainnya. Habitat flora dan fauna akan rusak sebagai akibat dari berkurangnya kawasan hutan secara keseluruhan, hilangnya kawasan hutan atau terfragmentasinya hutan akibat pembalakan liar atau illegal logging yang dilakukan secara sporadis.

Dalam jangka pendek pembalakan liar atau illegal logging dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat lokal, membantu kehidupan sehari-hari dan mengurangi kemiskinan, namun dalam jangka panjang mereka sebenarnya lebih tepat dikatakan telah menjadi korban dari aktivitas pembalakan liar atau illegal logging tersebut. Bagi masyarakat awam yang tidak terbiasa memegang uang cash dalam jumlah banyak, memang secara psikologi mampu mengubah perilakunya tanpa terkendali kedalam gaya hidup hedonis.

Pembalakan liar atau illegal logging adalah sumber uang tunai yang relatif besar dan mudah didapat bagi para pelakunya. Beberapa studi terkait masalah ini menunjukkan bahwa dampak dari pembalakan liar atau illegal logging juga menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup di masyarakat sekitarnya. Sistem kerja pembalakan liar atau illegal logging memungkinkan masyarakat lokal meninggalkan nilai-nilai religius yaitu Islam yang selama ini mereka anut, mengubah kehidupan rumah tangga dalam konteks hubungan emosional suami-istri dan anak-anaknya, kecenderungan meningkatnya praktek prostitusi, judi, serta konsumsi minuman keras dari budaya masyarakat pekerja pembalakan liar atau illegal

logging yang berasal dari luar wilayah Provinsi Riau. Walau beresiko tinggi mengalami

kecelakaan kerja, buruh pembalakan liar atau illegal logging tidak dilindungi oleh asuransi tenaga kerja. Resiko kematian mereka sangat tinggi, karena faktor gangguan hewan buas di dalam hutan sampai dengan berbagai ancaman kecelakaan kerja lainnya. Pembalakan liar atau illegal logging juga menjadi pencetus kecemburuan sosial/sumber konflik diantara pembalak pendatang dengan masyarakat lokal di Propinsi Riau (Hiller et al. 2002).

Sebenarnya, apabila pembukaan hutan dilakukan secara terencana dan terkendali, akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan debit aliran air, misalnya dalam hasil riset Rahim 1990 dalam Ramdan 2006 menunjukkan bahwa penebangan hutan di Malaysia sekitar 33 persen yang dilakukan secara selektif dari luas tegakan hutan telah meningkatkan 40 persen debit aliran air.

(8)

Tingginya curah hujan dan faktor hidroorologis dimana tanah hutan yang telah terbuka tidak sanggup lagi menampung debit air yang terlalu tinggi menyebabkan sering terjadinya banjir bandang secara merata hampir diseluruh wilayah Provinsi Riau belakangan ini. Hal ini mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat setempat termasuk juga seluruh proses pembangunan yang berjalan. Asdak (2003) dalam Ramdan (2006) menyebutkan bahwa areal hutan yang ditebang juga akan menurunkan evapotranspirasi dan meningkatkan limpasan air berupa stream flow dan mengakibat perubahan 10 persen vegetasi dari daerah tangkapan air yang menyebabkan perubahan debit aliran air antara 25-60 mm/tahun.

Pembalakan liar atau illegal logging juga berdampak buruk pada kaum perempuan di daerah tersebut. Bagi para perempuan yang bekerja sebagai pengumpul makanan dari hutan, pengambil air bersih, dan penggarap kebun, aktivitas pembalakan liar atau illegal logging akan berakibat negatif bagi mereka karena hilangnya pohon-pohonan penghasil buah serta bahan makanan lainnya. Karenanya, para ibu atau perempuan harus berjalan lebih jauh lagi untuk mendapatkan kebutuhan bahan makanan sehari-hari bagi keluarga mereka. Demikian juga dalam hal persediaan air bersih, para ibu/perempuan tersebut harus menempuh jarak yang lebih jauh lagi untuk mendapatkannya.

Di sisi lain dari morfologi tanah, erosi dari perubahan hidroorologi tanah hutan yang terbuka akibat dari pembalakan liar atau illegal logging. Kerusakan fungsi alami hutan akan menghilangkan jasa lingkungan hutan dalam bentuk pemelihara kesuburan tanah, pencegahan erosi dan tanah longsor, penyerap karbon, dan penyedia oksigen bagi kehidupan makhluk hidup.

Pembalakan liar atau illegal logging juga menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati flora dan fauna, yang dapat dikelompokkan menurut level spesies atau populasi dan level komunitas serta memperluas lahan kritis di Provinsi Riau. Perubahan hidroorologi tanah hutan yang terbuka akibat dari pembalakan liar atau illegal logging merupakan dampak yang termasuk sulit untuk direhabilitasi.

4.3 Flora dan Fauna

Provinsi Riau kaya akan jenis-jenis flora dan fauna, yang sebagian besar terdapat dalam kawasan hutan, terutama kawasan konservasi dan pelestarian alam seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Kedua kawasan pelestarian alam ini

(9)

mewakili jenis flora dan fauna dataran rendah dan dataran tinggi. Ekosistem hutan di Provinsi Riau merupakan habitat bagi sejumlah satwa yang dilindungi. Neraca Sumberdaya Hutan Provinsi Riau tahun 2004 (Dishut Riau, 2004) menunjukkan bahwa terdapat 13 jenis satwa yang dilindungi di Provinsi Riau, yaitu: gajah (Elepan maximus) sebanyak 187 ekor, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis) sebanyak 800 ekor, harimau dahan (Neofelis

nebulosa) sebanyak 50-70 ekor, beruang madu (Helactor malayanus) sebanyak 110-120 ekor,

burung enggang (Burceros rhinoceros) sebanyak 50-60 ekor, kuntul putih (Egretta

intermedia) sebanyak 40-50 ekor, rusa (Cervus spp) sebanyak 120-120 ekor, lutung

(Presbytis cristata) sebanyak 90-110 ekor, raja udang (Halcyon capensis) sebanyak 150-180 ekor, siamang (Symphalangus syndactylus) sebanyak 60-70 ekor, elang Laut (leucogaster) sebanyak 30-50 ekor, buaya (Crocodylus porosus) sebanyak 9.855 ekor, dan ikan arwana (Scheleropages formusus) sebanyak 100.094 ekor.

Degradasi hutan berarti rusaknya ruang tinggal atau habitat bagi satwa tersebut. Dishut Riau (2004) juga menyebutkan bahwa penurunan jumlah populasi harimau sumatera yang mati akibat perubahan drastis ekosistem hutan dan kegiatan perburuan dalam tahun 2004 mencapai 600-700 ekor. Keterbatasan ruang gerak satwa menyebabkan satwa liar, seperti harimau dan gajah merusak wilayah permukiman dan kebun penduduk. Kerusakan akibat masuknya satwa liar tersebut ke pemukiman penduduk menimbulkan konflik antara masyarakat dengan kepentingan pelestarian satwa. Masyarakat tidak segan untuk memburu dan membunuh satwa liar tersebut. Dampak ekologi pembalakan liar atau illegal logging di Provinsi Riau semakin meluas karena juga termasuk terjadinya perambahan sampai di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh ( yang berbatasan dengan Provinsi Jambi secara administratif namun menjadi satu dengan Provinsi Riau secara kesatuan ekologis atau satu biosphere). Wilayah ini sesungguhnya merupakan benteng terakhir keanekaragaman hayati atau biodiversity di Provinsi Riau. Kedua taman nasional tersebut juga merupakan hulu dari DAS (daerah aliran sungai) terpenting bagi wilayah Provinsi Riau. Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh terdapat satwa terancam punah yang bernilai konservasi tinggi yaitu: gajah sumatera (Elephas maximus), harimau Sumatera

(Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus Indicus), macan dahan (Neofelis nebulosa), owa

(Hylobates agilis), beruang madu (Helarctos malayanus), buaya sinyulong (Tomistoma

schlegelii) dan sero ambrang (Aonyx cinerea). Taman Nasional Tesso Nilo merupakan

perwakilan ekosistem transisi dataran rendah dan tinggi dengan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, di antaranya terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan

(10)

57 suku dalam setiap hektarnya. Berbagai jenis flora yang dilindungi dan terancam punah terdapat juga di taman nasional ini, seperti kayu bata (Irvingia malayana), kempas (Koompasia malaccensis), jelutung (Dyera costulata), kayu kulim (Scorodocorpus

borneensis), tembesu (Fagraea fragrans), gaharu (Aquilaria malaccensis), ramin (Gonystylus bancanus), keranji (Dialium spp), meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), dan

beberapa jenis durian (Durio spp) (Departemen Kehutanan 2004). Di samping tumbuhan tersebut diatas, di taman nasional ini juga terdapat tidak kurang 82 jenis tumbuhan obat.

Patalo/pasak bumi (Eurycoma longifolia) salah satu tumbuhan obat yang populer sebagai

obat kuat. Tumbuhan pasak bumi ini juga biasa digunakan untuk obat malaria (Departemen Kehutanan 2004). Jenis tumbuhan obat lainnya diantanya, kunyik bolai (Zingiber

purpureum), jarangau (Acorus calamus), lengkuas putih (Alpina galanga), aka bulu (Argyreia capitata), sundik langit (Amorphopalus sp), dan akar kayu kuning (Lepionurus sylvestris)

yang merupakan obat penyakit kuning (Departemen Kehutanan 2004).

Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh mewakili tipe ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest) karena memiliki iklim yang sangat basah, tanah kering, dan ketinggian dibawah 1000 m dpl, menempati suatu perbukitan yang cukup curam ditengah-tengah dataran rendah di bagian timur Sumatera (Departemen Kehutanan 2004). Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki keanekaragam jenis yang tergolong tinggi. Hingga saat ini telah terindentifikasi 176 jenis tumbuhan dan 82 jenis dari tumbuhan tersebut sangat menarik secara taksonomi dan beberapa diantaranya tergolong endemik dan diduga langka. Beberapa diantaranya, yaitu cendawan muka rimau (Rafflesia hasseltii), salo (Johannestejsmania altifrons), mapau (Pinanga multiflorai), jernang (Daemonorops draco), rotan (Calamus ciliaris, C.exilis), pinang bancung (nenga gajah), akar mendera (Phanera

kochiana), meranti (Shorea peltata), keduduk rimba (Baccaurea racemosa), pasak bumi

(Eurycoma longifolia), dan kayu gaharu (Aquilaria malacensis). Cendawan muka rimau merupakan tumbuhan khas dan endemik Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Departemen Kehutanan, 2004).Jenis flora lainya antara lain jelutung (Dyera costulata), getah merah (Palaquium spp), pulai (Alstonia scolaris), kempas (Koompassia excelsa), rumbai (Shorea spp), medang (Litsea sp, Dehaasia sp), kulit sapat (Parashorea sp.), bayur (Pterospermum

javanicum), kayu kelat (Eugenia sp), dan kasai (Pometia pinnata) (Departemen Kehutanan,

2004). Jenis-jenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk obat-obatan masyarakat asli taman nasional, antara lain akar kunyit, akar kelobosan (Rourea sp), kayu manau (Canarium

(11)

(Eurycoma longifolia), kulim (Scorodocarpus borneensis), lumpang (Sterculia oblongata), dan palem batang isi (Arenga sp.) (Departemen Kehutanan, 2004).

Selain jenis-jenis flora seperti yang disebutkan diatas, Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh juga memiliki keanekaragaman jenis fauna yang terdiri dari berbagai jenis burung, mamalia, primata, ikan, reptilia dan amfibia serta serangga hidup dalam kawasan taman nasional tersebut. Taman Nasional Tesso Nilo memiliki kekayaan fauna yang terdiri dari 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia, 18 jenis amfibia dan berbagai jenis serangga. Dari bangsa mamalia antara lain terdapat harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarcos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus Javanicus), babi hutan (Sus spp.), tapir (Tapirus indicus), dan bajing (Callosciurus spp), Primata; antara lain owa (Hylobatesagilis), lutung simpai (Presbytis

femoralis), dan beruk (Macaca nemestrina), bangsa burung antara lain Beo Sumatera

(Gracula religiosa), burung kipas (Rhipidura albicollis), elang ular (Spilornischeela), alap-alap capung (Microchierax fringillarius), kuau (Argusianus argus), burung udang pungung merah (Ceyx rufidorsa), julang jambul hitam (Aceros corrugatus), kangkareng hitam (Anorrhinus malayanus), rangkok badak (Buceros rhinoceros), ayam hutan (Gallus gallus), dan betet ekor panjang (Psittacula longicauda), bangsa reptilia antara lain ular kawat atau ular hitam (Ramphotyphlops braminus), ular kopi (Elaphe flavolineata), ular picung air (Xenochrophis trianguligerus), ular cabe kecil (Maticora intestinalis), ular sendok, ular kobra (Ophiphagus hannah), sanca sawah (Python reticulatus), ular gendang/phyton darah Sumatera (Python curtus), dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegeleii), bangsa amphibia antara lain katak serasah berbintik (Leptobrachiumhendricksoni), kodok buduk sungai (Bufo

asper), kodok buduk (B. melanostictus), katak lekat (Kalophrynus pleurostigma), percil bintil

(Microhyla heymonsi), katak sawah (Fejervarya cancrivora), katak kangkung (Limnpnectes

malesianus), katak batu (L. macrodon), bancet rawa Sumatera (Occodozyga sumatrana),

kongkang kolam (Rana chalconota), kongkang gading (R. erythraea), kongkang kasar (R.

glandulosa), kongkan racun (R. hosii), kongkang jangkrik (R. nicobariensis), dan kongkang

sungai totol (R. signata) (Departemen Kehutanan, 2004).

Jenis ikan yang paling melimpah adalah ikan pantau (Rasbora bankanensis). Jenis ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan ikan konsumsi yang terkenal di daerah Riau. Ikan julung-julung (Hemirhampodon), dan ikan segitiga (Rabora heteromorpha) merupakan ikan hias (Departemen Kehutanan, 2004).

(12)

Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh tercatat 59 jenis mamalia, 198 jenis burung termasuk elang jawa, 18 jenis kelelawar dan berbagai jenis kupu-kupu. Mamalia; satwa primata antara lain ungko tangan putih (Hylobates lar), ungko tangan hitam (Hylobates

Agilis), siamang (Symphalangus syndactylus), beruk (Macaca nemestrina), monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristata), simpai (Presbytis malalophos), dan kukang (Nycticebus coucang) (Departemen Kehutanan, 2004).

Jenis lainnya antara lain harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), kucing congkok (Felis bengalensis), kucing batu (Felis marmorata), musang (Paradoxurus hermaphroditus), musang pandan (Viverra tangalunga), tuntung tobu (Hemigalus derbyanus), binturong (Artictis binturong), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), napu (Tragulus napu), kambing hutan (Carpricornis sumatrensis), dan kancil (Tragulus javanicus), dan kelelawar pemakan buah (Balionycteris maculata,

Megaerops wetmorei, dan Murina cyclotis) (Departemen Kehutanan, 2004).

Bangsa burung yang terdapat di daerah tersebut antara lain burung kuaw (Argusianus

argus), ayam hutan (Gallus gallus), elang bido (Spilornis cheela), punai kecil (Treron olax),

walik jambu (Ptilinopus jambu), julang (Rhyticeros corrogatus), murai batu (Copsychus

malabaricus), pelatuk api (Dryocopus javensis), dan beo (Gracula religiosa). Sedangkan

jenis burung yang tergolong langka, yaitu itik liar Sumatera (Cairina scutulata), bangau (Ciconia stormi), peniol (Lophura erythropthalma), cabak wono (Batrachostomus auritius), dan rangkong (Rhinoplax vigil) (Departemen Kehutanan, 2004).

Bangsa reptilia yang terdapat di daerah tersebut antara lain buaya muara (Crocodylus

porossus), senyulong (Tomistoma schlegelii), ular piton (Phyton reticulata), ular tedung

(Ophiophagus hannah), kura-kura (Notochelys platynota), bulus (Chitra indica), dan moru (Bungaurus candidus). Sementara untuk ikan, sedikitnya tercatat 97 jenis dan jenis-jenis yang dilindungi antara lain Notopterus notopterus, N. chiliata dan ikan arwana (Schlerophages formosus) (Departemen Kehutanan, 2004).

4.4 Rencana Tata Ruang Tata Wilayah Propinsi Riau

Propinsi Riau dan Propinsi Kalteng atau Kalimantan Tengah, merupakan 2 (dua) wilayah administratif dalam koridor NKRI yang hingga kini belum memiliki RTRWP atau Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Propinsinya. Beberapa dugaan yang dialamatkan

(13)

kepada kepemimpinan wilayah propinsi tersebut berdasarkan temuan serta catatan yang dilakukan oleh para peneliti serta beberapa LSM yang tergabung dalam konsorsium LSM bernama JIKALAHARI atau Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Propinsi Riau.

Gambar 4.2. menunjukkan perubahan kerusakan lahan tutupan hutan tropis di Propinsi Riau selama tahun 1990 – 2006.

Gambar 4.2. Perubahan signifikan Kerusakan Lahan Tutupan (Hutan Tropis di Propinsi Riau 1990 – 2006 (pada periode Kapolda Riau 2005-2007)

Sumber Departemen Kehutanan RI (2007)

Dampak positif diterbitkannya INPRES No. 4 Tahun 2005 dapat dirasakan masyarakat setempat secara langsung. Sedikitnya telah dinyatakan sejumlah 14 perusahaan yang terindikasi sebagai TSK (tersangka) dari operasi pemberantasan pembalakan liar atau illegal

logging di Propinsi Riau pada masa tugasnya. Namun harapan masyarakat di Propinsi Riau

dan Nasional tidak menjadi kenyataan karena 13 dari 14 perusahaan yang terindikasi sebagai TSK (tersangka) dari operasi pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging di Propinsi Riau dihentikan dan dinyatakan SP-3 (Surat Perintah Pemberhentian Perkara). Dengan adanya hal tersebut (SP-3) maka pembalakan liar atau illegal logging di Propinsi Riau kembali terjadi. Tindakan delik pidana pembalakan liar atau illegal logging yang dilakukan di Propinsi Riau, dianggap sebagai sebuah kewajaran.

(14)

Gambar 4.3. Catatan atas Hutan yang Tersisa di Propinsi Riau 2005 Sumber: JIKALAHARI atau Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (2005)

Hutan Riau yang tersisa pada tahun 2005 ke atas, masih diusahakan untuk diselamatkan. Upaya memberlakukan Aturan Tata Ruang dan Tata Wilayah terus didesak kepada Pemerintah Daerah Propinsi Riau. Dari 33 Propinsi di Indonesia, hanya Kalimantan Tengah dan Riau yang Kebijakan Tata ruang dan Tata Wilayahnya hingga tahun 2011 penelitian ini selesai dilaksanakan belum disahkan.

Pengaturan Mengenai Keruangan Wilayah Daratan Riau termuat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173 Tahun 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Daerah Tingkat I Riau 1994-2009 yang memuat tentang arahan pemanfaatan ruang sebagai Acuan dan Alat koordinasi antar sector dalam membuatan kebijakan Pembangunan Provinsi Riau hingga saat ini. Dalam TGHK dan RTRWP Riau tersebut luas daratan Riau adalah seluas 9.456.160 ha (saat dihitung masih termasuk Provinsi

(15)

Kepri atau Kepulauan Riau). TGHK memuat pembagian pemanfaatan Ruang berdasarkan Fungsi Hutan menjadi lima klasifikasi, yaitu: (1) Hutan Lindung; (2) Hutan Suaka Alam dan Wisata; (3)Hutan Produksi Terbatas; (4) Hutan Produksi Tetap; dan (5) Hutan Produksi Konversi. RTRWP membagi arahan pemanfaatan Ruang menjadi dua klasifikasi, yaitu: (1) Kawasan Lindung; dan (2) Kawasan Budidaya.

Gambar 4.4. Rencana Tata Ruang Tata Wilayah di Propinsi Riau 2005 Sumber: http://rencanatataruangriau.blogspot.com (diunduh pada 1 September 2011)

Kawasan Lindung meliputi Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Perlindungan Setempat, dan Kawasan yang memberikan Perlindungan Kawasan Bawahnya. Dan Kawasan Budidaya meliputi Kawasan Hutan Produksi, Perkebunan, Industri, Pariwisata, Pertanian, Pemukiman dan lain-lain, dan kawasan Prioritas.

Dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Penyusunan RTRWP dilakukan dengan mengacu pada RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional). RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Kota) juga harus mengacu pada

(16)

RTRWP. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi sinkronisasi pembangunan antara Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten atau Kota. RTRWN disusun untuk jangka 25 Tahun, RTRWP untuk Jangka 15 Tahun, dan RTRWK untuk jangka waktu 10 Tahun. Revisi atau Peninjauan Kembali dapat dilakukan setiap lima tahun.

Tata Ruang juga berfungsi untuk memberikan kepastian bagi perlindungan atau pelestrian terhadap kawasan, ekosistem, dan habitat yang memiliki nilai ekologis tinggi. Maknanyapun kemudian akan jadi lebih luas apabila dilihat dari Perspektif Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik. BAPPEDA Riau sejak tahun 2001 telah menghasilkan Draft Revisi RTRWP Propinsi Riau untuk tahun 2001–2015, sebagai penyempurnaan atas RTRWP Riau tahun 1994 (Perda No. 10 Tahun 1994). Hal ini berkorelasi dengan kebijakan pemerintah yang telah mengalokasikan arahan peruntukan Hutan Alam untuk Kawasan Budidaya. Degradasi Hutan Alam juga terjadi pada Kawasan Lindung, dan ini terjadi karena lemahnya fungsi Pengawasan dan penegakan hukum atau law enforcementdi bidang Kehutanan.

Substansi Arahan Pemanfaatan dalam RTRWP Hasil Revisi tersebut menurut analisis JIKALAHARI (2005) dikatakan akan berimplikasi terhadap keberadaan Tutupan Hutan Alam di Riau yang kondisinya saat ini kritis.Hutan Alam Riau sudah memasuki fase kritis dengan Laju degradasi Hutan Alam Riau saat ini mencapai 100.000 Ha per tahun. JIKALAHARI mencacat bahwa Hutan Alam tersisa maksimal seluas 3.210.563,139 Ha lagi. Dalam draft revisi RTRWP pada Tabel 4.5 di bawah ini disajikan arahan pemanfaatan ruang daratan Propinsi Riau untuk periode tahun 2001–2015.

(17)

Tabel 4.5 Draft Revisi RTRWP 2001–2015untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Daratan Propinsi Riau

No Arahan Pemanfaatan Kawasan Luas (Ha) %

1 Kawasan Hutan Pelestarian Alam 350,490.345 3.9

2 Kawasan Hutan Produksi Tetap 2,614,156.628 29.1

3 Kawasan Hutan Suaka Alam 511,792.781 5.7

4 Kawasan Perkebunan/Tanaman Tahunan 3,114,511.569 34.67

5 Kawasan Perlindungan Setempat 100,360.511 1.12

6 Kawasan Permukiman Dan Lain-lain 480,716.025 5.35

7 Kawasan Pertanian 1,141,915.645 12.71

8 Kawasan Peruntukan Industri 1,969.148 0.02

9 Kawasan yang Memberikan Perlindungan

Kawasan Bawahannya 667,200.169 7.43

Total 8,983,112.506 100

Sumber: Pemerintah Daerah Propinsi Riau (2005)

4.4 Ekonomi Wilayah

Berdasarkan nilai kekayaan alam Provinsi Riau ekspor Provinsi Riau pada tahun 2006 tercatat sebesar US$ 8.694,70 juta. Perkembangan ekspor Provinsi Riau dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1997 relatif baik yaitu tahun 1995 US$ 7.360,46 juta, naik menjadi US$ 8.661,64 juta pada tahun 1996, selanjutnya pada tahun 1997 menjadi sebesar US$ 9.236,5 juta. Pada tahun 1998 mengalami penurunan dibanding dengan tahun 1997, dan nilai ekspor tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 mengalami kenaikan masing-masing sebesar US$ 7.165,3 juta, US$ 8. 820,7 juta dan US$ 11.012,2 juta. Bila dilihat dari angka PDRB Provinsi Riau, maka telah terjadi peningkatan dari Rp79.055,37 miliar,- pada tahun 2005 menjadi Rp94.815,60 miliar,- pada tahun 2006.

(18)

Tabel 4.6 Volume Ekspor Propinsi Riau Tahun 1995-2000 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Volume (juta,US$) 7.360, 46 8.661, 64 9.236, 50 7.165, 30 8.820, 70 11.012, 20 Sumber: BPS, 2002

Salah satu sumber alam Riau yang berperan dalam menunjang ekspor negara kita adalah minyak bumi dan hasil tambang lainnya. Ekspor Provinsi Riau tahun 2006 tercatat sebesar US$ 8.694,70 juta. Perkembangan ekspor Provinsi Riau dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1997 relatif baik yaitu tahun 1995 US$ 7.360,46 juta, naik menjadi US$ 8.661,64 juta pada tahun 1996, selanjutnya pada tahun 1997 menjadi sebesar US$ 9.236,5 juta. Pada tahun 1998 ekspor mengalami penurunan dibanding dengan tahun 1997. Nilai ekspor tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 mengalami kenaikan masing-masing sebesar US$ 7.165,3 juta, US$ 8. 820,7 juta dan US$ 11.012,2 juta.Pada tahun 2006, ekspor minyak mengalami peningkatan nilai dibanding dengan tahun 2005 sebesar 19,21persen. Nilai ekspor tahun 2001 sebesar US$ 8.977 juta. Sementara itu nilai ekspor Provinsi Riau terbesar dimuat pada Pelabuhan Dumai yaitu sebesar US$ 6.582,19 juta atau 75,16 persen, Pelabuhan Buatan sebesar US$ 798,42 juta atau 9,18 persen dan Perawang sebesar US$ 702,47 juta atau 8,08 persen

4.5 Kependudukan dan Sosial

Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil sensus penduduk 2000 sebesar 4.755.176 jiwa. Kepadatan penduduk di Provinsi Riau tahun 2000 sebesar 50,29 jiwa per km2. Berdasarkan hasil Susenas 2006, jumlah penduduk Provinsi Riau sebesar 4.764.205 jiwa, terpadat keempat diseluruh Pulau Sumatra. Kabupaten. Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 754.448 jiwa, sedangkan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kota Dumai sebesar 230.191 jiwa.

Wilayah Provinsi Riau merupakan daerah dengan penduduk yang heterogenitasnya tinggi. Selain masyarakat asli Melayu Riau, juga terdapat berbagai suku bangsa lainnya semisal Minangkabau, Batak, Jawa, Cina, Arab dan India. Pada tahun 2003 tercatat migrasi penduduk ke wilayah ini sebanyak 240.729 orang (5,45 persen). Hal ini berakibat langsung pada laju pertumbuhan penduduk meningkat sebesar 3,65 persen pada tahun 2000-2004. Walaupun migrasi tinggi, namun karena budaya dasar masyarakat Melayu Riau yang hangat,

(19)

dan terbuka maka solidaritas diantara warga terjalin dengan baik melalui kesamaan agama (Islam) dan kekompakan para tokoh masyarakat lokal disana. Pernyataan Visi Riau sebagai “Pusat Kebudayaan Melayu” diterjemahkan oleh masyarakat di wilayah ini sebagai ‘Riau sebagai sebuah wilayah yang nyaris penduduknya semua beragama Islam.’ Faktor inilah menurut sosiolog Lawang (2005) merupakan faktor kunci pengikat utama social capital masyarakat Melayu Riau di Provinsi Riau. Kesamaan pandangan para tokoh masyarakat di Provinsi Riau merupakan kunci pemersatu berikutnya. Kesamaan pandang ini membentuk tiga pilar adat budaya Riau yaitu; (1) tokoh adat atau lembaga adat; (2) tokoh agama atau MUI; (3) tokoh cendekiawan.

Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2006 mencatat bahwa di Provinsi Riau komposisi antara angkatan kerja dan bukan angkatan kerja untuk penduduk berusia 10 tahun ke atas tidak jauh berbeda di semua kabupaten/kota. Persamaan ini terlihat pada nilai persentaese angkatan kerja yang tidak jauh berbeda dengan persentaese bukan angkatan kerja yang berkisar sekitar 50 persen. Kabupaten dengan persentase angkatan kerja terbesar adalah Kabupaten Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi, masing-masing sebesar 61,01 persen dan 58,97 persen. Nilai persentase angkatan kerja terkecil adalah Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai, masing-masing sebesar 51,02 persen dan 52,81 persen. Dari total angkatan kerja yang bekerja, sebagian besar terserap pada sektor pertanian 52,93 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 13,98 persen dan 10,40 persen.

Pembangunan bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara merata dan murah. Adanya tujuan tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang baik, yang pada gilirannya memperoleh kehidupan yang sehat dan produktif. Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat 2004 (BPS, 2005), angka harapan hidup penduduk Provinsi Riau rata-rata adalah 68,1 tahun. Angka ini di pulau Sumatra termasuk tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata nasional 66,2 tahun, bahkan jauh lebih baik daripada rata-rata masyarakat penduduk di Pulau Jawa seperti misalnya di Jawa Timur (66 tahun) , di Jawa Barat (64,5 tahun) dan Banten (62,4 tahun).

Sekitar tahun 1980-an dinyatakan bahwa Riau adalah provinsi terkaya karena sumberdaya alam dan lingkungannya, sehingga terjadi eksploitasi secara besar-besaran bagi pemasukan ekonomi pemerintah pusat dan pemenuhan biaya pembangunan di Indonesia.

(20)

Menurut Mubyarto (2002) dalam Jabbar (2008) mengatakan bahwa kekayaan alam Riau dibawa keluar Riau, sementara kondisi Riau dibandingkan provinsi lain tidak banyak berubah.

Lama usia sekolah rata-rata penduduk Riau adalah 8,2 tahun. Angka ini masih lebih baik dibandingkan angka rata-rata penduduk secara nasional di Indonesia yang hanya 7,2 tahun saja. Walau persentase penduduk miskin Provinsi Riau berada pada urutan ke empat di seluruh Sumatra, namun untuk angka lama sekolah masyarakat di Provinsi Riau menempati

ranking ke 3 setelah Provinsi Sumatra Utara dan Aceh. Secara umum, kesejahteraan

masyarakat Provinsi Riau termasuk baik. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2006 mencatat bahwa di Provinsi Riau komposisi antara angkatan kerja dan bukan angkatan kerja untuk penduduk berusia 10 tahun ke atas tidak jauh berbeda di semua kabupaten dan kota. Persamaan ini terlihat pada nilai persentase angkatan kerja yang tidak jauh berbeda dengan persentase bukan angkatan kerja yang berkisar sekitar 50 persen.

Kabupaten dengan persentase angkatan kerja terbesar adalah Kabupaten Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi, masing-masing sebesar 61,01 persendan 58,97 persen. Nilai persentase angkatan kerja terkecil adalah Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai, masing-masing sebesar 51,02 persen dan 52,81 persen. Dari total angkatan kerja yang bekerja, ternyata sebagian besarnya terserap di sektor pertanian 52,93 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 13,98 persen dan 10,40 persen.

Ketika terjadi kenaikan harga minyak ditahun 2006 ketika ekspor minyak mengalami peningkatan nilai dibanding dengan tahun 2005 sebesar 19,21 persen nilai ekspor tahun 2001 sebesar US$ 8.977 juta. Sementara itu nilai ekspor Provinsi Riau terbesar terdapat pada Pelabuhan Dumai yaitu sebesar US$ 6.582,19 juta atau 75,16 persen, Pelabuhan Buatan sebesar US$ 798,42 juta atau 9,18persen dan Perawang sebesar US$ 702,47 juta atau 8,08 persen.

Walaupun Provinsi Riau kaya akan sumberdaya alam, namun penduduk miskin di Provinsi Riau di setiap kabupaten dan kota jumlahnya cukup banyak, seperti yang tertera pada Tabel 4.7 sebagai berikut:

(21)

Tabel 4.7 Jumlah Penduduk dan Persentase Keluarga Miskin per Kabupaten dan Kota di Propinsi Riau

Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Penduduk Miskin (%)

Kuantan Singingi 249.606 27,45 Indragiri Hulu 295.291 31,44 Indragiri Hilir 647.512 31,95 Pelalawan 253.308 18,39 Siak 302.182 21,91 Kampar 555.146 23,01 Rokan Hulu 346.848 20,84 Bengkalis 708.363 22,02 Rokan Hilir 421.310 21,76 Pekanbaru 754.448 10,91 Dumai 230.191 17,95 Provinsi Riau 4.764.205 122,19

Gambar

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau
Tabel 4.4. Lahan kritis di Provinsi Riau
Gambar 4.2. menunjukkan perubahan kerusakan lahan tutupan hutan tropis di Propinsi  Riau selama tahun 1990 – 2006
Gambar 4.3. Catatan atas Hutan yang Tersisa di Propinsi Riau 2005   Sumber: JIKALAHARI atau Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (2005)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Visi yang dibuat oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Riau adalah “Terwujudnya Koperasi Dan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (KUMKM) Provinsi Riau Sehat dan

Perancangan software secara garis besar terdiri atas beberapa proses pengolahan citra digital, segmentasi nukleus, ekstraksi fitur bentuk dan statistik, serta

Melalui pengertian tersebut, dapat dikatakan intensitas membaca dalam penelitian ini merupakan suatu tingkat atau ukuran yang digunakan seseorang untuk membaca baik itu

Menurut pelanggan/pemohon izin faktor kecermatan sebagai salah satu faktor untuk menilai efektivitas pelayanan perizinan yang dilakukan oleh BPMPT Kota Surakarta sudah

Jamsostek (Studi pada PT.Jamsostek (persero) Kantor Cabang Malang) telah berjalan sesuai dengan petunjuk dari pusat. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti

Tidak didapatkan suatu perbedaan yang bermakna dari kadar natrium dan kalium serum antara kedua kelompok setelah 6-8 jam perlakuan; sedangkan kadar kalium di dalam urin tampak

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia ( Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang mewajibkan sertifikasi ISPO

1. Usia perkembangan anak. Bentuk konseling pada anak apakah dilakukan secara individu atau kelompok. Tujuan konseling saat itu untuk anak. Berdasarkan faktor-faktor tersebut