• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae)

Super famili Coccoidea memiliki beberapa famili seperti Margarodidae, Ortheziidae, Pseudococcidae, Eriococcidae, dan Dactylopiidae (Achterberg et al.

1996). Famili Pseudococcidae dikenal dengan kelompok kutu putih. Di beberapa daerah tropis dan subtropis, serangga kutu putih merupakan salah satu jenis hama penting. Berbagai spesies hama ini menyerang banyak komoditas penting seperti ubi kayu, kentang, tomat, lada, jeruk, kedelai, kopi, coklat, tebu dan beberapa tanaman hias (Williams & Granara de Willink 1992). Gejala kerusakan pada tanaman yang disebabkan oleh hama ini berupa daun menguning, gugur, tanaman tumbuh kerdil, dan kematian tanaman. Secara tidak langsung, hama-hama ini dapat merusak tanaman karena mampu menjadi vektor beberapa penyakit tanaman (Culik & Gullan 2005).

Umumnya kutu putih famili Pseudococcidae memiliki pola reproduksi seksual seperti pada Planococcus citri, Pseudococcus maritimus (Ehrhorn), P. gahani Green, P. longispinus, P. gahani, Phenacoccus gossypii Townsend &

Cockerell. Namun, beberapa spesies juga ditemukan bersifat partenogenetik telitoki seperti Phenacoccus solani Ferris (Williams 1985), P. manihoti

Matile-Ferrero dan P. solenopsis Tinsley (Williams 1985; Calatayud & Le Ru 2006,

Vennila et al. 2010). Sebagian besar famili Pseudococcidae menghasilkan telur

dari reproduksinya. Namun, beberapa spesies kutu putih di Australia memiliki reproduksi vivipar dan ovovivipar seperti Pseudococcus longispinus dan Ferrisia virgata (Williams 1985). Berbagai spesies kutu putih yang dijumpai di Indonesia

(2)

Tabel 1 Spesies kutu putih yang ditemukan di Indonesia sebelum tahun 2008 (Kalshoven 1981; Sartiami et al. 1999)

Spesies Tumbuhan inang

Dactylopius opuntiae (Ckll.) Kaktus

Dactylopius coccus Costa Kaktus

Dysmicoccus brevipes Nenas, pisang, nangka

Cataenococcus hispidus Belimbing, duku, durian, jambu biji, jeruk,

mangga, manggis, nangka, nenas, pisang, rambutan, sirsak

Maconellicoccus hirsutus

(Green)

Tanaman buah-buahan

Maconellicoccus multipori Sirsak Planococcus citri (Risso) Jeruk

Planococcus lilacinus Jambu biji, sirsak, rambutan, jeruk Planococcus minor Jambu biji, pisang, rambutan Planococcus cryptus Jambu air, jeruk, manggis, pisang Pseudococcus pseudocitriculus (Betrem) Jeruk Pseudococcus pseudofilamentosus (Betrem) Jeruk Nipaecoccus filamentosus (Cockerell) Jeruk

Nipaecoccus nipae Jambu biji, pisang, salak

Nipaecoccus viridis Nangka

Rastrococcus spinosus

(Robinson)

Mangga, jeruk, jambu bol, manggis, nangka

Rastrococcus chinensis Jambu air, jambu bol Rastrococcus invadens Jeruk, mangga

Rastrococcus jabadiu Lengkeng, pisang, rambutan

(3)

Kutu Putih Paracoccus marginatus

Biologi

Kutu putih Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink

(Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan serangga yang mengalami metamorfosis yang berbeda antara jantan dengan betina. Betina mengalamai metamorfosis paurometabola (metamorfosis bertahap), yaitu terdiri dari stadium telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 dan imago. Perpindahan antar stadia nimfa dan imago tidak mengalami perubahan bentuk, hanya terjadi pertambahan ukuran tubuh dan fungsi organ. Imago betina tidak memiliki sayap sedangkan imago jantan bersayap. Serangga jantan mengalami metamorfosis holometabola, yaitu metamorfosis sempurna yang terdiri dari fase telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 (pra pupa), pupa, dan imago (Gill & Dutky 2006; Walker et al.

2009).

Kutu putih aktif meningkat populasinya pada musim kemarau atau musim panas. Telur kutu putih berwarna hijau kekuning-kuningan yang diletakkan di dalam kantung telur yang panjangnya 3-4 kali panjang tubuhnya dan ditutupi oleh zat lilin berwarna putih. Telur menetas menjadi nimfa setelah 10 hari (Walker et al. 2003). Pada suhu 20-30ºC telur mampu bertahan sampai 80-90%, suhu

optimum untuk perkembangan telur yaitu 25ºC (Amarasekare et al. 2007).

Imago betina umumnya meletakkan telur sebanyak 100-600 butir di dalam kantung telur. Kantung telur diletakkan dalam waktu 1-2 minggu. Kantung terbuat dari benang-benang seperti lilin yang sangat lengket, sehingga mudah melekat pada permukaan tanaman. Serangga nimfa instar-1 yang baru menetas disebut crawler (Walker et al. 2009).

Nimfa instar-1 sangat aktif bergerak mencari tempat makan di sekitar pertulangan daun. Kutu putih memiliki bentuk mulut menusuk mengisap dan memakan jaringan tanaman untuk mengisap cairan tanaman. Kutu putih pepaya memakan cairan tanaman dengan cara menusukkan stiletnya pada epidermis daun, buah dan batang tanaman (Walker et al. 2003).

Pada stadium nimfa instar-1 jenis kelamin antara jantan dan betina belum dapat dibedakan. Perbedaan antara jantan dan betina dapat dilihat ketika serangga memasuki nimfa instar-2 (Amarasekare et al. 2008). Panjang tubuh nimfa

(4)

instar-1 ra mm denga panjang tu rata-rata 0 instar-3 be rata 0,7 m ata-rata 0,4 an kisaran 0 ubuh rata-r 0,4 mm de etina rata-ra mm dengan k mm dengan 0,2-0,3 mm rata 0,7 mm engan kisar ata 1,1 mm kisaran 0,3-n kisara0,3-n 0, m. Nimfa in m dengan ran 0,3-0,5 dengan kis 1,1 mm (M 3-0,5 mm d nstar-2 betin kisaran 0,5 mm. Pan saran 0,7-1, iller & Mill

dan lebar tu na berwarna 5-0,8 mm d njang tubuh 8 mm dan l ler 2002). ubuh rata-rat a kuning de dan lebar t h stadium n lebar tubuh ta 0,2 engan tubuh nimfa h rata-Bent betina ber berwarna p 2,7 mm d imago bet tepi tubuh telur (ovis & Miller 2 bulan sehi Imago bet sehingga t Gambar 1 tuk umum rwarna kun putih. Panj dan lebar tu tina memili h dan bagian sac). Imago 2002; Walk ingga kutu tina mengh terjadi kopu imago P. m ning dan b jang tubuh i ubuh rata-ra iki rangkaia n ventral po o betina tida ker et al. 200 putih dapat hasilkan fer ulasi (Walke marginatus agian tubuh imago betin ata 1,4 mm an filamen l sterior tubu ak memiliki 09). Satu si t berkemba romon seks er et al. 200 dapat dilih hnya ditutu na rata-rata 2 m dengan ki lilin yang p uh berfungsi i sayap dan iklus hidup angbiak yang dapa 08). hat pada Ga upi oleh la 2,2 mm den isaran 0,9-1 pendek di s i untuk mem tidak aktif lengkap di 12 generasi at menarik ambar 1. Im apisan lilin ngan kisaran 1,7 mm. T sepanjang b mbentuk kan bergerak (M lalui selama i dalam set serangga j mago yang n 1,5-Tubuh bagian ntung Miller a satu ahun. antan Imago Par (b) (Foto: S a 1 mm racoccus ma Sartiami) m

arginatus. Betina (a) (

1 mm

b m

(5)

Tubuh serangga nimfa instar-2 jantan berwarna merah muda namun beberapa berwarna kuning. Panjang tubuh rata-rata 0,6 mm dengan kisaran 0,5-1,0 mm dan lebar tubuh 0,3 mm dengan kisaran 0,2-0,6 mm. Bentuk tubuhnya lebih lonjong dibandingkan yang betina. Nimfa instar-3 jantan disebut pra pupa, panjang tubuh rata 0,9 mm dengan kisaran 0,8-1,1 mm dan lebar tubuh rata-rata 0,4 mm dengan kisaran 0,3-0,4 mm. Stadium nimfa instar-4 jantan disebut pupa. Panjang pupa rata-rata 1,0 mm dengan kisaran 0,9-1,0 mm dan lebar pupa rata-rata 0,3 mm dengan kisaran 0,3-0,4 mm. Imago jantan memiliki sepasang sayap dan bentuk tubuh oval memanjang. Panjang tubuh rata-rata 1,0 mm dengan kisaran 0,9-1,1 mm dan lebar toraks rata-rata 0,3 mm dengan kisaran 0,2-0,3 mm (Miller & Miller 2002; Walker et al. 2009).

Miller dan Miller (2002) mengemukakan dua karakteristik penting untuk membedakan imago P. marginatus betina dari spesies-spesies Paracoccus

lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada saluran oral-rim yang terletak

dibagian pinggir tubuh, dan ketiadaan pori-pori pada tibia belakang. Pada imago jantan dapat dibedakan dari bentuk dan karakter seta yang kuat serta antena dan tungkai yang tidak memiliki seta.

Tumbuhan Inang

Kutu putih pepaya bersifat polifag, diketahui hama ini memiliki tumbuhan inang lebih dari 55 spesies dari 25 genus (Gibbs & Taylor 2003). Tumbuhan inang hama ini diantaranya adalah pepaya, bunga kembang sepatu, singkong, melon, jarak pagar, alpukat, jeruk nipis, tomat, lada, ubi jalar, mangga dan tanaman hias (Walker et al. 2003; Meyerdirk et al. 2004; Pena et al. 2005).

Menurut Sartiami et al. (2009) di Indonesia serangga ini menyerang 21 spesies

tanaman inang yang terdiri dari famili Caricaceae, Fabaceae (polong-polongan), Solanaceae (terung-terungan), Euphorbiaceae, Araceae (talas-talasan), Cucurbitaceae (labu-labuan), Malvaceae (kapas-kapasan), Convolvulaceae (kangkung-kangkungan), Myrtaceae (jambu-jambuan), Moraceae, Rubiaceae dan Apocynaceae.

Pepaya merupakan inang utama dari kutu putih (Walker et al. 2003).

Pepaya mengandung protein sebanyak 8,0 g/100g pada daun, 2,1 g/100g pada buah muda dan 0,5 g/100g pada buah tua (Depkes RI 2002 dalam Astawan 2010).

(6)

Daun ubi kayu juga mengandung protein yang dibutuhkan kutu putih sebagai nutrisi, namun kandungan protein di ubi kayu lebih rendah dibandingkan pepaya yaitu 6,8 g/100g (Widianta & Deva 2008).

Persebaran

Serangga ini pertama kali ditemukan di Meksiko pada tahun 1955. Pada waktu itu belum banyak informasi yang tersedia mengenai kutu putih ini. Kutu putih pepaya kemudian diketahui menyebar keluar dari Meksiko pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 1994 hama ini dilaporkan dijumpai di Kepulauan Virgin, Republik Dominika, dan Greanada. Selanjutnya pada tahun 1996 kutu putih pepaya ditemukan di daerah Antigua, Saint Martin. Pada tahun 1998 hama ini dilaporkan menyerang berbagai tanaman di daerah Florida Amerika Serikat, Haiti, St. Kitts dan Nevis, St. Barthelemy dan Guadalupe dan pada tahun 1999 di Guyana Prancis, Kuba, dan Puerto Rico. Pada tahun 2000, hama ini dijumpai di daerah Barbados, Cayman, Montserrat. Tahun 2002 hama ini ditemukan di daerah Kepulauan Bahama dan Guam, Palau pada tahun 2003. Tahun 2004 dan 2006, hama ini diketahui telah menyebar di daerah Hawaii, dan tahun 2005 di Tinian (Williams & Granara de Willink 1992; Pena et al. 2005; Heu 2007;

Muniappan 2010).

Hama ini mulai diketahui masuk ke Indonesia pada bulan Mei 2008 di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil survei tim USAID, di Indonesia hama ini telah menyebar ke daerah Bali dan Sulawesi. Pada bulan Juli 2008 diketahui bahwa hama ini telah menyebar di India. Pada bulan September hama ini dilaporkan telah menyebar di daerah Sri Lanka dan bulan November 2008 di Thailand. Pada bulan Mei 2009 hama ini telah menyebar di Bangladesh dan bulan Agustus 2009 dilaporkan bahwa penyebaran hama ini telah mencapai daerah Maldives (Muniappan 2010).

Hasil survei Direktorat Jendral Hortikultura (2010) mendapatkan bahwa kutu putih pepaya telah menyebar di beberapa daerah di Pulau Jawa, seperti di Kabupaten Bogor (Kecamatan Gunung Putri, Sukaraja, Cigombong, Dramaga, Rancabungur, Cijeruk, Ciburui, Cibinong, dan Bojonggede), Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Cicurug dan Cidahu), dan Depok (Kecamatan Beji dan Pancoran Mas) Provinsi Jawa Barat. Selain di wilayah Jawa Barat, kutu putih

(7)

pepaya ini juga telah menyebar di wilayah DKI Jakarta yaitu Jakarta Selatan (Kecamatan Jagakarsa, Cilandak, Pasar Minggu dan Senayan) dan Provinsi Banten yaitu Kecamatan Ciputat. Hama ini dapat menyebar dengan cepat melalui bantuan angin, menempel pada bulu-bulu unggas seperti burung, terbawa oleh pakaian atau bahan tanaman yang diperdagangkan (Meyerdirk 1999; Rauf 2009).

Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi

P. marginatus memiliki alat mulut menusuk mengisap dan memakan

jaringan tanaman untuk mengisap cairan tanaman. Tusukan stilet pada jaringan epidermis tanaman menghasilkan racun sehingga mengganggu proses fisiologis tanaman. Tanaman yang terserang memperlihatkan gejala seperti klorosis, kerdil, kelainan bentuk pada daun (abnormal), daun dan buah mudah rontok, permukaan tanaman ditutupi oleh embun madu dan akhirnya tanaman dapat mengalami kematian (Walker et al. 2003; Meyerdirk et al. 2004; Pena et al. 2005). Tanaman

yang terserang hama ini juga menunjukan gejala seperti terbakar (Anonim 2003). Serangan pada pucuk tanaman pepaya menyebabkan daun menjadi kerdil dan keriput. Pada serangan berat, hama ini menutupi permukaan bawah daun pepaya sehingga menyebabkan daun mengering dan akhirnya tanaman mati (Gambar 2). Selain itu, hama ini juga menghasilkan embun madu yang dapat ditumbuhi cendawan jelaga sehingga permukaan tanaman yang diserang berwarna hitam (Heu 2007; Rauf 2008). Tertutupnya permukaan daun oleh cendawan jelaga mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis sehingga dapat mempengaruhi produktivitas tanaman. Serangan hama ini juga mengakibatkan bunga dan buah pepaya gugur sebelum waktunya (Anonim 2008; Walker et al.

2003). Survei pada petani pepaya di daerah Bogor yang dilakukan oleh Ivakdalam (2010) mendapatkan bahwa serangan hama ini menyebabkan penurunan produksi sebanyak 58%, dan kerugian ekonomi yang dialami petani mencapai 88% karena tanaman mati pada saat mulai berbuah.

(8)

Gambar 2 Serangan P. marginatus pada tanaman pepaya (Foto: Rauf)

Nutrisi Serangga

Serangga membutuhkan nutrisi lengkap untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Semua serangga membutuhkan nutrisi yang sama. Kebutuhan nutrisi tersebut diperoleh dari inang sebagai sumber makanannya, instar sebelumnya (imago yang tidak makan) dan mikroorganisme simbion. Bila serangga tidak mendapatkan nutrisi yang berimbang maka serangga tidak mampu berganti kulit dan tidak mampu meletakkan telur. Beberapa molekul makro yang sangat dibutuhkan oleh serangga di dalam nutrisinya antara lain karbohidrat, protein, lipid, sterol, vitamin, asam nukleat, air dan mineral (Awmack & Leather 2002).

Setiap tanaman umumnya mengandung nutrisi yang sama namun berbeda pada kandungan senyawa sekundernya (Fraenkel 1969). Menurut Kennedy (1965), metabolit primer atau senyawa esensial pada tanaman merupakan faktor penentu dalam seleksi tanaman inang oleh serangga. Selain nutrisi pada tanaman, bentuk permukaan, ukuran, dan warna dari tanaman menjadi faktor utama serangga dalam menerima tanaman inangnya. Senyawa kimia pada tanaman akan mempengaruhi perilaku makan serangga dan perilaku kawin serta reproduksi (Sutherland 1977). Kualitas tanaman memberikan pengaruh terhadap populasi,

(9)

strategi reproduksi seperti sumber untuk membentuk telur, ukuran dan kualitas telur, serta bentuk dan ukuran serangga jantan dan nisbah kelamin (Awmack & Leather 2002).

Senyawa-senyawa kimia pada tanaman disintesis melalui sistem metabolisme primer yang menghasilkan karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat yang merupakan nutrisi esensial bagi serangga. Variasi dalam susunan senyawa kimia primer dapat mempengaruhi preferensi dan performa serangga (Bartlet et al. 1990). Selain sebagai sumber nutrisi, karbohidrat juga menentukan

perilaku makan serangga. Karbohidrat dapat berfungsi sebagai antraktan, arestan, dan stimulan (Joern & Behmer 1998). Karbohidrat bagi imago dibutuhkan untuk pergerakan sayap ketika terbang dan reproduksi. Umumnya imago yang mengonsumsi karbohidrat berumur lebih panjang; karbohidrat ini juga berpengaruh terhadap keperidian dan kemampuan bertahan hidup serangga (Stockhoff 1993). Serangga membutuhkan zat gula untuk merangsang makan, khususnya yang berupa sukrosa, asam amino dan lemak (Sutherland 1977).

Perbedaan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan oleh setiap serangga herbivora dapat mempengaruhi perilaku serangga. Nitrogen, gula dan asam amino pada tanaman inang sangat menentukan keperidian bagi serangga tipe menusuk mengisap, terutama yang mengisap jaringan floem (Dixon 1970; Calatayud & Le Rü 2006).

Neraca Hayati

Neraca hayati merupakan studi yang berisikan data sintasan dan keperidian per individu dalam suatu populasi atau kelompok. Berdasarkan data yang dihasilkan dapat ditentukan peluang harapan hidup suatu individu (Oka 1995). Neraca tersebut digunakan karena adanya generasi tumpang tindih yang disebabkan karena terjadi kematian dan kelahiran pada waktu yang bersamaan (Price 1997).

Neraca hayati pada serangga sangat penting dikaji untuk mengetahui perkembangan, distribusi, dan kelimpahan serangga (Andrewartha & Birch 1954). Setiap serangga memiliki masa perkembangan yang berbeda-beda. Berdasarkan neraca hayati dapat ditentukan berbagai data statistik yang merupakan informasi populasi seperti kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas) dan peluang untuk

(10)

berkembangbiak (Tarumingkeng 1992; Price 1997; Begon et al. 2006). Individu

betina memiliki proporsi yang sangat penting dalam neraca hayati. Hal ini sangat berkaitan dengan jumlah individu yang dihasilkan terutama keturunan betinanya (Price 1997).

Ada dua jenis neraca hayati yang umum digunakan, yaitu neraca hayati horizontal (cohort life table) dan neraca hayati vertikal atau statis (current life table). Pemantauan pada neraca hayati horizontal dilakukan terhadap

keberlangsungan hidup dari individu-individu yang dilahirkan bersamaan pada periode pendek. Neraca ini sering digunakan untuk spesies yang berumur pendek seperti serangga, yang perkembangan hidupnya dapat diamati di laboratorium. Neraca hayati vertikal atau statis (current life table), digunakan untuk

memantauan keberlangsungan hidup dari individu-individu yang berbeda umur dalam populasi dan kurun waktu yang sama, sering digunakan untuk organisme yang rentang perkembangan hidupnya lama contohnya manusia (Tarumingkeng 1992; Carey 1993).

Menurut Carey (1993) neraca hayati cohort terdiri dari usia (x), kemampuan

bertahan hidup (lx), proporsi individu bertahan hidup pada usia x hingga x+1 (px),

proporsi individu yang mati pada umur x hingga x+1 (qx), laju kematian individu

pada umur x hingga x+1 (dx), panjang waktu hidup individu yang mencapai usia x

(Lx), jumlah individu hidup yang tersisa dari semua individu yang mencapai usia

x (Tx), harapan hidup dari individu yang mencapai umur x (ex). Dalam menyusun

neraca hayati terlebih dahulu harus ditentukan kisaran umur organisme tersebut (Oka 1995).

Menurut Begon et al. (2006) terdapat tiga peubah yang terkait terhadap

keperidian pada neraca hayati, yaitu Fx, mx, dan Lxmx. Peubah Fxdan mx dihitung

dari jumlah total keturunan yang dihasilkan dan rata-rata jumlah keturunan per individu pada setiap umur. Peubah Fx digunakan untuk menghitung laju

reproduksi bersih (Ro) atau nilai ini didapatkan dengan menjumlahkan nilai dari

jumlah keturunan yang dihasilkan per individu pada setiap umur (∑ Lxmx). Laju

pertambahan intrinsik (r) dihitung berdasarkan nilai (logaritma natural/ln) dari

(11)

(RV) dihitung berdasarkan nilai keperidian individu (mx), sintasan harian individu

(lx), dan laju reproduksi bersih (Ro).

Parameter populasi pada neraca hayati meliputi laju reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (Ro), lama generasi (T), laju pertumbuhan intrinsik

(rm), laju pertumbuhan terbatas (λ), serta nilai reproduktif (Vx/Vo) yang dihitung

berdasarkan data lx dan mx (Rauf & Hidayat 1987).

Menurut Carey (1993) dengan menggunakan data neraca hayati dapat dihitung berbagai parameter pertumbuhan populasi seperti laju reproduksi bersih (Ro), yang merupakan rata-rata jumlah keturunan betina yang dihasilkan oleh

imago betina per generasi. Nilai Ro dapat dihitung dengan menjumlahkan

rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur berikutnya x+1 dikali jumlah anak (betina) yang lahir pada kelas umur x (Ro = ∑ Lx mx). Laju pertambahan

intrinsik (rm), merupakan rata-rata banyaknya individu betina yang dihasilkan

seekor induk betina per hari. Nilai rm dapat dihitung dari data sintasan dan

reproduksi, rm = [(∑ e-rxLxmx)-1]. Rataan masa generasi (T) merupakan waktu

yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga imago betina yang terbentuk menghasilkan keturunan lagi (T = ln (Ro)/rm). Laju pertambahan terbatas (λ)

menunjukkan pertumbuhan terbatas pada populasi yang memiliki sebaran umur stabil. Populasi yang mencapai sebaran umur stabil memiliki nilai λ yang sama pada setiap umur. Nilai λ dapat dihitung dengan menggunakan persamaan λ = exp(rm). Masa ganda (DT), adalah waktu yang dibutuhkan untuk populasi

meningkat dua kali lipat. Untuk menghitung DT digunakan persamaan DT = ln

Gambar

Tabel 1 Spesies kutu putih yang ditemukan di Indonesia sebelum tahun 2008  (Kalshoven 1981; Sartiami et al
Gambar 2 Serangan P. marginatus pada tanaman pepaya (Foto: Rauf)

Referensi

Dokumen terkait

Nimfa kutu putih pepaya instar kedua dicirikan oleh warna tubuh nimfa kutu putih jantan yang berwarna merah muda atau nimfa telah berumur sekitar 5 hari setelah telur

Penelitian bertujuan mempelajari pengaruh varietas ubi kayu dengan kadar sianida berbeda terhadap masa perkembangan telur, nimfa, imago, dan keperidian, serta t erhadap

Aplikasi sereh wangi konsentrasi 2 mL/L dapat menyebabkan kematian 100% kutu putih nimfa instar 3 pada 4 jam setelah aplikasi dengan menggunakan metode semprot serangga pada

Segmentasi citra nimfa instar-3 dan imago betina dari keempat spesies kutu putih dengan latar kulit buah merah menghasilkan nilai akurasi yang sangat baik hingga cukup baik pada

Daur hidup hewan metamorfosis sempurna adalah, suatu bentuk proses metamorfosis yang hanya mengalami serta melewati tiga tahapan saja, yaitu dari telur menjadi nimfa/larva

Pada KAS betina perkembangan yang diamati adalah fase nimfa instar satu dengan rataan lama hidup 8.58 hari, fase nimfa instar dua dengan rataan lama 10.08 hari, lama fase nimfa

Pada fase nimfa instar III, ukuran tubuh betina lebih besar dibandingkan dengan jantan, tubuh nimfa betina masih berwarna kuning.. Fase ini merupakan stadium nimfa paling

Serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna, bentuk serangga yang baru menetas (nimfa) tidak jauh berbeda dengan bentuk serangga dewasa (imago). Perbedaan