• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menggerakkan makhluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menggerakkan makhluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan makhluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar (alasan) berusaha.1 Pada dasarnya, manusia bekerja mempunyai tujuan tertentu, yaitu memenuhi kebutuhan. Kebutuhan tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Selama hidup manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan. Berbagai macam kebutuhan setiap manusia dapat dilihat menurut tingkatan atau intensitasnya. Menurut tingkatan atau intensitasnya, salah satu contohnya adalah kebutuhan primer. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang harus dipenuhi agar manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, contohnya berupa sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal).

Menyadari bahwa sangatlah penting kebutuhan primer bagi setiap manusia untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan primer tidaklah terlepas dari perkembangan hidup manusia

1

Widjajanta B. dan Aristanti Widyaningsih, Mengasah Kemampuan Ekonomi 1:

Untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial, Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2009, hlm. 170.

(2)

yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kebutuhan primer manusia adalah pertumbuhan jumlah penduduk.

Pertumbuhan jumlah penduduk di dunia ini dari waktu ke waktu semakin bertambah. Berdasarkan data dari CIA World Factbook 2013, Indonesia merupakan suatu negara yang menempati urutan ke-4 sebagai negara yang jumlah penduduknya paling padat di dunia.2 Jumlah penduduk yang tinggi terutama terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Pertumbuhan penduduk yang tinggi sangatlah mempengaruhi adanya peningkatan pada kebutuhan-kebutuhan primer pada setiap penduduk. Seperti halnya saat ini di Indonesia akibat dari adanya pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dari tahun ke tahun secara otomatis menyebabkan peningkatan kebutuhan-kebutuhan primer pada setiap penduduk terutama dalam hal meningkatnya kebutuhan perumahan sebagai kebutuhan primer setiap manusia, baik itu sebagai tempat tinggal (papan).

Menyikapi perkembangan yang terjadi di negara Indonesia khususnya di kota-kota besar dalam hal peningkatan kebutuhan perumahan dan pemukiman yang disebabkan oleh jumlah penduduk yang semakin tinggi dari tahun ke tahun pada satu sisi dan pada sisi lain keterbatasan lahan yang digunakan untuk membangun suatu

2

Andi Hamzah, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 27.

(3)

perumahan dan pemukiman sehingga masyarakat tidak memiliki lahan yang memadai untuk membangun suatu perumahan dan pemukiman. Di samping itu, konsentrasi penduduk yang setiap hari bertambah ke kota. Pemerintah menganggap perlu untuk mengembangkan konsep pembangunan perumahan yang dapat dihuni bersama di dalam suatu gedung bertingkat, dimana satuan-satuannya dapat dimiliki secara terpisah yang dibangun baik secara horizontal maupun vertical.3

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang diartikan dengan rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat

3

Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 184

(4)

digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh.

Konsep usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan primer akan perumahan dengan peningkatan usaha-usaha penyediaan perumahan yang layak, dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah menjadi bergeser karena ternyata pembangunan rumah susun yang kemudian berkembang adalah bukan untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah akan tetapi lebih banyak dibangun adalah rumah susun komersil untuk golongan masyarakat berpenghasilan ekonomi menengah ke atas. Hal ini disebabkan karena semakin padatnya penduduk dan pesatnya perdagangan dimana tanah-tanah di pusat-pusat kota sudah semakin terbatas, bagi golongan ekonomi menengah ke atas yang memerlukan fasilitas yang lebih baik serta komunikasi yang cepat dan lancar.

Pembangunan rumah susun untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah berbeda dengan golongan masyarakat ekonomi berpenghasilan menengah ke atas yang disebut apartemen dengan sifat mewah dan mempunyai fasilitas-fasilitas yang lengkap dan sifat-sifat khusus.4

4

Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-hak Atas

(5)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia5, apartemen merupakan tempat tinggal yang terdiri atas kamar duduk, kamar tidur, kamar mandi, dapur yang berada pada suatu lantai bangunan bertingkat yang besar dan mewah, dilengkapi dengan fasilitas seperti kolam renang, pusat kebugaran, toko, dan sebagainya. Bentuk bangunan apartemen tidak berbeda dengan rumah susun, keduanya memiliki kesamaan yaitu dimiliki secara terpisah sebab dibangun secara horizontal dan vertikal. Perbedaannya terlihat pada desain interiornya, dimana rumah susun hanya seperti rumah seadanya, sedangkan apartemen didesain mengikuti perkembangan yang ada dengan desain yang lebih mewah.6 Meskipun apartemen merupakan bangunan mewah, tetapi kehadirannya cukup banyak diminati oleh berbagai kalangan.

Saat ini, semakin maraknya pembangunan apartemen, berarti semakin banyak unit hunian yang harus ditawarkan oleh para pengembang kepada konsumen, mau tidak mau ini “memaksa” bagian divisi pemasaran suatu pengembang (developer) menawarkan unit-unit hunian tersebut yang akan dan telah dibangunnya. Sebagai konsekuensi pasar bebas yang semakin kompetitif, berbagai strategi pemasaran telah dikembangkan oleh para pengembang, semua itu dilakukan agar semua unit dari apartemen yang telah dibangun cepat

5

Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2008, hlm.87.

6

(6)

laku terjual. Dengan harapan tentu saja nilai investasi yang ditanamkan segera kembali dan diharapkan bisa segera meraup profit.

Bahkan akhir-akhir ini, banyak penawaran yang telah dilakukan oleh bagian divisi pemasaran dari para pengembang hunian apartemen yang menawarkan penjualan unit hunian dengan pola atau strategi penjualan pre project selling, yaitu penjualan yang dilakukan sebelum proyek pembangunan properti dimulai. Mereka biasanya menawarkan unit-unit hunian apartemen lewat berbagai ajang pameran properti, baik secara sendiri maupun bersama kepada konsumen, sementara bangunan fisik yang ditawarkan oleh pengembang biasanya masih dalam bentuk gambaran maket gedung maupun brosur.7 Hal ini dilakukan berdasarkan atas pertimbangan ekonomi bagi pengembang untuk memperlancar perolehan dana murah dan kepastian pasar sedangkan bagi konsumen atau pembeli agar harga jual suatu unit apartemen lebih rendah karena pembeli membayar sebagian di muka.

Pada saat calon pembeli tertarik dengan penawaran pre project

selling dan menyetujui penawaran yang diberikan oleh pengembang,

biasanya calon pembeli bersepakat untuk melakukan proses transaksi awal dalam bentuk pembayaran berupa booking fee atau uang tanda jadi. Pembayaran ini mengindikasi niat pada pembeli untuk

7

Erwin Kallo, Panduan Hukum untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun

(Kondominium, Apartemen, dan Rusunami), Minerva Athene Pressindo, Jakarta, 2009,

(7)

mendapatkan unit apartemen yang telah ditawarkan oleh pihak pengembang, meskipun benda yang ditawarkan secara fisik masih dalam bentuk lahan tanah dan belum berwujud menjadi bangunan suatu unit apartemen sebagaimana yang telah ditawarkan dalam bentuk gambaran maket gedung maupun brosur. Hal ini ditempuh oleh pihak pengembang dan konsumen yang menimbulkan adanya jual beli secara pemesanan terlebih dahulu melalui perikatan jual beli satuan rumah susun.

Dalam melakukan transaksi jual beli setelah indent atau pemesanan (pengikatan pendahuluan) dilakukan, biasanya kedua belah pihak akan membuat suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang berisi hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Setelah dibuatnya PPJB dan bangunan apartemen telah mendapatkan izin laik fungsi dari pemerintah daerah yang bersangkutan serta telah memenuhi persyaratan yaitu dengan diterbitkannya Serifikat Hak Milik (SHM) atas satuan rumah susun/apartemen oleh kantor pertanahan kabupaten/kota, maka pengembang harus menyiapkan Akta Jual Beli (AJB) kemudian bersama-sama dengan pihak pembeli menandatanganinya di hadapan notaris.

Hubungan jual beli antara pengembang dan konsumen adalah merupakan hubungan hukum, yaitu terjadi kesepakatan antara pengembang sebagai penjual dengan konsumen sebagai pembeli apartemen berlandaskan hukum. Hubungan hukum antara

(8)

pengembang dan konsumen disebut dengan perjanjian jual beli adalah merupakan suatu perjanjian yang telah disetujui oleh para pihak.

Dalam hubungan hukum yang dituangkan dalam perjanjian itu adakalanya timbul masalah yang dilakukan pengembang terhadap konsumen, misalnya pengembang tidak dapat menyelesaikan pembangunan apartemen tersebut sesuai dengan yang telah diperjanjikan.

Pihak pengembang berjanji akan menyelesaikan dan menyerahkan unit apartemen tersebut dalam waktu 12 bulan terhitung sejak penandatanganan perjanjian jual beli tersebut, namun pada waktu yang telah ditentukan pengembang tidak dapat menyerahkan unit apartemen tersebut oleh karena bangunan apartemen tersebut tidak mempunyai izin ketinggian dari Menteri Perhubungan untuk sampai dengan 30 lantai, hanya 24 lantai sesuai dengan izin mendirikan bangunan, padahal apartemen yang dijual oleh pihak pengembang kepada konsumen berdasarkan rencana pembangunan berada di lantai 28.

Suatu produk untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung tetapi melalui jalur pemasaran yaitu Produsen dan atau Media Perantara, maka akibat dari proses industriliasasi dalam membangun apartemen timbul permasalahan hukum sehubungan dengan adanya spesifikasi bangunan yang tidak sesuai dengan apa

(9)

yang diperjanjikan yang merugikan pihak konsumen, baik dalam arti finansial, maupun non finansial, ataupun terdapat adanya wanprestasi dari pihak pengembang yang merugikan pihak konsumen.

Di dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi atau cidera janji.8 Oleh karena itu apabila atas perjanjian yang telah disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian.9

Mengenai hal tersebut harus diambil suatu kejelasan siapa yang bertanggung jawab untuk perlindungan para konsumen yang telah terikat suatu perjanjian dalam transaksi jual beli. Tidak sedikit konsumen di Indonesia yang mengerti hukum, oleh karena itu apabila ada konsumen yang dirugikan belum ada keberanian dari para konsumen untuk mengambil langkah lebih lanjut. Hal inilah yang mengakibatkan para pengembang yang curang dan tidak bertanggung jawab merasa diuntungkan.

Adapun dasar hukum aktivitas perlindungan konsumen di Indonesia secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

8

Mariam Darus Badrulzaman (et.al.), Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 18.

9

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004, hlm. 15.

(10)

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan pengertian perlindungan konsumen secara umum yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Berbagai macam persoalan yang merugikan pihak konsumen diakibatkan oleh kondisi dan situasi yang dibuat oleh pihak pengembang yang membuat kedudukan konsumen sering kali berada dalam pihak yang tidak menguntungkan.

Sepanjang penelusuran peneliti di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, belum pernah ada yang menulis mengenai perjanjian pengikatan jual beli dalam aspek perlindungan hukum bagi konsumen seperti judul yang peneliti ajukan, Berikut ini judul yang menyerupai, antara lain:

1. “Aspek Hukum Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

(PPJB) Satuan Unit Apartemen Antara Pihak Pengembang (Developer) Dengan Calon Pembeli Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun”, yang dibuat oleh Putri

Permatahati pada tahun 2008 NPM AXO.040.552. Skripsi tersebut memaparkan mengenai analisis terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli ditinjau dari segi asas konsesualitas, termasuk ke dalam perjanjian standar atau

(11)

perjanjian baku, serta akibat hukum bagi pihak pengembang atas keterlambatan satuan unit apartemen yang dibuatnya. Sedangkan judul yang peneliti buat memiliki perbedaan yang lebih spesifik kepada perlindungan hukum bagi konsumen apartemen berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dihubungkan dengan UU Rumah Susun yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985.

2. “Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah Susun Akibat Pengembang Tidak Memenuhi Asas Itikad Baik Dikaitkan Dengan Pasal 1338 KUHPerdata”, yang dibuat oleh Agustina O

pada tahun 2012, NPM 110110080294. Skripsi tersebut membahas mengenai perlindungan hukum bagi pembeli dalam perjanjian jual-beli rumah susun non hunian akibat adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh pengembang, sedangkan peneliti meneliti secara lebih jauh mengenai perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah susun hunian akibat adanya wanprestasi yang dilakukan oleh pengembang.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul:

(12)

KOMERSIAL BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DALAM PENERAPAN ASAS KEPASTIAN HUKUM.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan perjanjian pengikatan jual beli antara pihak pengembang dengan konsumen rumah susun komersial ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen yang dirugikan akibat adanya wanprestasi yang dilakukan oleh pengembang rumah susun komersial berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan perjanjian pengikatan jual beli antara pihak pengembang dengan konsumen rumah susun komersial ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang dapat diperoleh konsumen akibat adanya wanprestasi yang dilakukan pengembang rumah susun komersial berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli.

(13)

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian yang diharapkan dapat diberikan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Kegunaan teoritis :

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan pengembangan ilmu hukum pada umumnya bagi masyarakat, khususnya hukum perumahan dan permukiman serta hukum perjanjian.

2. Kegunaan praktis :

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak yang terkait dalam melakukan suatu perjanjian jual beli properti dalam upaya memberikan perlindungan hukum yang tepat bagi para pihak yang terlibat serta memberikan jalan keluar bagi para pihak untuk dapat memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya dengan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

E. Kerangka Pemikiran

Sejalan dengan perkembangan zaman dan desakan kebutuhan akan pengaturan mengenai rumah susun serta tidak terakomodasinya

(14)

lagi masalah-masalah yang berkenaan dengan rumah susun, maka pemerintah membuat pengkhususan dalam bentuk pengaturan mengenai rumah susun sebagai bentuk dari lex specialis dari UUPA. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, pemerintah berusaha untuk memberikan batasan pengertian mengenai rumah susun serta pengaturan yang relevan mengenai faktor-faktor penunjang dalam pelaksanaan pembangunan rumah susun. Batasan-batasan pengertian yang ada dalam UU Rumah Susun antara lain:

1. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

2. Rumah Susun Umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

3. Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus.

(15)

4. Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.

5. Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan.

Saat ini Undang-Undang tentang Rumah Susun telah diubah dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (selanjutnya disingkat menjadi UU Rumah Susun)

Berdasarkan Pasal 118 UU Rumah Susun, dinyatakan bahwa: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

b. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.”

Berdasarkan Pasal 118 UU Rumah Susun tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti atau belum dicabut dengan peraturan pelaksanaan yang baru sesuai dengan UU Rumah Susun yang baru.

(16)

Dalam hal ini ketentuan yang terdapat dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KTPS/1994 tentang Pedoman Jual Beli Satuan Rumah Susun masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan juga karena belum ada pencabutan dan penggantian.

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang menyebutkan:

“(1) Pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan.

(2) Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus memiliki: a. kepastian peruntukan ruang;

b. kepastian hak atas tanah;

c. kepastian status penguasaan rumah susun; d. perizinan pembangunan rumah susun;

e. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.

(3) Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan dan/atau agen pemasaran mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bagi para pihak.”

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang menyebutkan:

“(1) Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.

(17)

(2) PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status kepemilikan tanah; b. kepemilikan IMB;

c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;

d. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan e. hal yang diperjanjikan.”

Apabila kita melihat Undang-Undang yang lama mengenai Rumah Susun yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang saat ini sudah tidak berlaku lagi karena sudah terdapat Undang yang baru, memang di dalam Undang-Undang lama tidak terdapat pengaturan secara spesifik mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Susun, akan tetapi terdapat beberapa Pasal yang dapat diperhatikan karena terkait dengan hal tersebut.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun menyatakan bahwa:

“Satuan Rumah Susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.”

Selain itu, semua Satuan Rumah Susun (SRS) tersebut juga harus memiliki sertifikat, baru kemudian dapat dijual untuk dihuni.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka untuk dapat menjual SRS maka pengembang harus terlebih dahulu mendapatkan izin layak huni dari pemerintahan daerah sedangkan untuk melaksanakan jual beli

(18)

dilakukan dihadapan PPAT, terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan adanya akta pemisahan atas SRS-SRS untuk pembuatan sertifikat SRS-SRS tersebut telah selesai oleh Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan. Meskipun telah disyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun bahwa SRS baru dapat diperjual belikan jika telah mendapat izin layak huni dari Pemerintah Daerah dan sertifikat atas SRS-SRS tersebut telah selesai. Namun dalam kenyataannya telah berkembang kebiasaan Penjualan dan Pemilikan atas SRS dalam suatu rumah susun secara Pre Project Selling dimana SRS-SRS tersebut dipasarkan terlebih dahulu sebelum rumah susun selesai dibangun.

Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut, maka Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun. Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tersebut, maka dimungkinkan adanya suatu pemasaran atau penjualan SRS-SRS sebelum rumah susun yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut dapat dilakukan pengikatan jual beli yang dilakukan antara pihak pengembang dengan pihak calon konsumen.

(19)

Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat menjadi KUHPerdata) pengertian perjanjian adalah:

“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal

Pada dasarnya perjanjian itu dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat obyektif).10

Berkaitan dengan berhak melakukan perjanjian sebagaimana disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak yang isinya sebagai berikut:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

10

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 53.

(20)

Pasal tersebut menerangkan bahwa segala perjanjian atau kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Makna yang terdapat dari pasal tersebut adalah bahwa setiap perjanjian atau kontrak mengikat bagi kedua belah pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian atau kontrak tersebut. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa orang dapat leluasa untuk membuat kontrak apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam Buku III KUHPerdata mengenai Perikatan. Selain itu, juga tidak bertentangan dengan kesusilaan.11

Hubungan hukum dalam perjanjian setidak-tidaknya melibatkan dua pihak yang terkait . Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum itu berupa prestasi yang dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Munculnya hak dan kewajiban dari para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sebagaiman diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang.”

Terhadap kelalaian yang dilakukan oleh pihak pengembang unit rumah susun komersial terhadap konsumen, yaitu pengembang tidak dapat menyelesaikan pembangunan apartemen tersebut sesuai dengan yang telah diperjanjikan dapat dikatakan telah melakukan

11

J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 36.

(21)

wanprestasi yaitu jika debitur tidak melakukan kewajibannya bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap melakukan ingkar janji sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Wanprestasi atau ingkar janji artinya debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Ada empat bentuk ingkar janji, yaitu:12

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2. Terlambat memenuhi prestasi;

3. Tidak memenuhi prestasi secara tuntas; dan 4. Keliru memenuhi prestasi

Sehubungan dengan dibedakannya ingkar janji seperti tersebut di atas, timbul persoalan apakah debitur yang tidak memenuhi prestasi tepat pada waktunya harus dianggap terlambat atau tidak memenuhi prestasi sama sekali, dalam hal debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali sedangkan jika prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya maka digolongkan dalam terlambat memenuhi prestasi.

Ingkar janji membawa akibat yang merugikan bagi debitur karena sejak saat tersebut debitur berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat daripada ingkar janji tersebut. Dalam hal

12

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, 1977, hlm. 17.

(22)

debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata, yaitu:

1. Pemenuhan perikatan;

2. Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian; 3. Ganti kerugian;

4. Pembatalan perjanjian timbal balik; dan 5. Pembatalan dengan ganti kerugian

Disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (selanjutnya disingkat menjadi UUPK), bahwa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Berdasarkan Pasal 2 UUPK menyatakan bahwa:

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.”

Wanprestasi atas penyerahan satuan rumah susun komersial (apartemen) oleh pihak pengembang, oleh karena itu penerapan asas kepastian hukum dalam perlindungan konsumen sangat diperlukan. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

(23)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam skripsi ini terdiri dari: 1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu dengan cara mengkaji dan menguji permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.

Selain itu dilakukan pula beberapa penafsiran hukum, antara lain penafsiran gramatikal dan sistematis serta terhadap bahan hukum non undang-undang. Penafsiran gramatikal yaitu ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa secara biasa (sehari-hari)13. Penafsiran sistematis yaitu berkaitan dengan ketentuan lain dalam teks Undang-undang yang sama atau Undang-undang lain yang bersangkutan atau ada kaitan dengan ketentuan yang sedang ditafsir.14

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analistis yang bertujuan untuk mentukan asas

13

Mochtar Kusumaatmadja & Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 100. 14

(24)

hukum dan implementasinya dalam kenyataan yang dalam hal ini pengaturan mengenai perjanjian atas satuan unit apartemen antara pihak pengembang dengan calon pembeli.

3. Tahapan Penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan dua tahap, yaitu: a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan untuk mencari data sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat pada masalah-masalah yang akan diteliti, terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk

Wetboek);

b) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;

c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;

d) Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Jual Beli Satuan Rumah Susun; dan

e) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(25)

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan dengan materi penelitian, hasil karya ilmiah dan lain sebagainya.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder seperti, ensiklopedi, kamus dan lainnya.

b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan, yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, yang dimaksudkan untuk memperoleh data primer sebagai penunjang data sekunder. Hasil dari penelitian lapangan digunakan untuk melengkapi penelitian kepustakaan, yakni dengan cara menghubungi pihak terkait.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip data dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, maupun literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan penulisan ini. Studi lapangan dilakukan melalui

(26)

wawancara dan penyalinan data-data dari pihak-pihak yang berkompeten.

5. Metode Analisis Data

Seluruh data yang telah terkumpul secara normatif kualitatif. Normatif berarti penelitian didasarkan pada asas-asas hukum serta norma-norma hukum. Kualitatif berarti penelitian yang telah dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur-literatur, dan tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan obyek penelitian, kemudian dianalisis.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Pusat Sumber Daya dan Informasi Ilmiah dan Perpustakaan Universitas Padjadjaran Bandung, PT. Sumber Daya Nushapala, dan Apartemen The Bellezza.

Referensi

Dokumen terkait

Kesadaran merek memiliki pengaruh yang positif terhadap kepuasan konsumen pengguna IM3 Pengaruh yang positif ini menunjukkan bahwa jika kesadaran merek pengguna IM3 semakin baik,

8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dimaksud dengan reksadana adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan

Penambahan asap cair 0,05 % dan arang hitam 0,02 % per berat lateks meningkatkan nilai rendemen karet dan tidak ada perbedaan pada penggunaan pada dosis yang lebih

TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyerang paru-paru sehingga pada bagian dalam alveolus terdapat

Pendidikan), (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), cet.. pengetahuan agama Islam, menanamkan keimanan kedalam jiwa anak, mendidik anak agar taat menjalankan agama,

Penyusunan hirarki yaitu dengan menentukan tujuan yang merupakan sasaran sistem secara keseluruhan pada level teratas. Level berikutnya terdiri dari kriteria-kriteria

Kaisar Romawi ketika itu, Diocletian mulai mengalami kesulitan-kesulitan yang serius dalam menjalankan pemerintahannya diatas daerah yang sangat luas, kesulitan ini di antaranya,

Dengan demikian, justru adanya konsep ketuhanan dalam Agama Buddha di masa sekarang ini akan memberikan pilihan bebas kepada orang yang masih menginginkannya maupun mereka yang