• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Ssi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Ssi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

A. Surgical Site Infection (Luka Bekas Operasi) 1. Definisi

Surgical site infection (SSI) atau infeksi pada tempat operasi merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit. Surgical site infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi (ILO) atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim, lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi. 2. Epidemiologi

Angka kejadian SSI pada suatu institusi penyedia pelayanan kesehatan mencerminkan kualitas pelayanan pada institusi tersebut. Di Amerika Serikat, 38% dari seluruh infeksi nosokomial adalah SSI. Survei WHO menunjukkan bahwa angka kejadian SSI di dunia berkisar antara 5% sampai 34%. SSI di United Kingdom sekitar 10% dengan biaya untuk menanganinya mencapai 1 juta pound per tahun dan lama rawat inap meningkat 7–10 hari. Sekitar 77% dari kematian pasien pascaoperasi di rumah sakit di seluruh dunia diperkirakan berhubungan dengan SSI. 1, 2

Survei oleh WHO menunjukkan bahwa kejadian SSI di dunia berkisar 5 sampai 34%. SSI di United Kingdom sekitar 10%.1,2 Kartadinata (2007) melaporkan bahwa angka kejadian infeksi luka operasi pada kasus bedah digestif selama bulan januari dan Februari 2007 adalah sebesar 15% (125 pasien).3 Simanjuntak (2007) melaporkan bahwa angka SSI pada operasi herniorafi elektif dengan pemasangan mass sekitar 4,2%.4 Pusponegoro-Mozart (1996) melaporkan angka kejadian infeksi luka operasi sebesar 12% untuk operasi akut abdomen bersih dan bersih tercemar.5 Thene (2008) menemukan SSI pada kasus bedah laparotomi di Instalasi Gawat Darurat RSCM 48,5%.17

(2)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi (faktor resiko) terjadinya SSI antara lain sifat operasi (derajat kontaminasi operasi), nilai ASA (American Society of Anesthesiologists), komorbiditas DM (diabetes melitus), suhu praoperasi, jumlah lekosit dan lama operasi. Tahun 1964 National Research Council memperkenalkan empat kategori derajat kontaminasi tempat operasi yang kemudian dipopulerkan oleh American College of Surgeon, salah satunya menyebutkan bahwa makin tinggi derajat kontaminasi maka angka kejadian Surgical site infection makin tinggi.8

4. Patomekanisme

Mekanisme utama yang mendasari terjadinya SSI adalah kandungan oksigen yang rendah pada jaringan yang mati pada luka pascabedah.9 Pada suatu studi kohort terhadap 149 pasien dengan gula darah yang tidak terkontrol yang menjalani reseksi kolorektal ditemukan SSI lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pasien dengan gula darah yang terkontrol (29,7% vs 14,3%, OR 25, p 0,03).10 Penelitian lain memperlihatkan bahwa diabetes melitus merupakan faktor resiko yang kuat terhadap terjadinya SSI pada operasi spinal orthopedi.11

Suhu sangat berpengaruh terhadap terjadinya SSI. Hipotermia dapat merusak fungsi immun (oxidative killing by neutrophils) dan terjadi vasokonstriksi kulit dan mengurangi aliran darah ke tempat operasi, dan selanjutnya akan meningkatkan resiko SSI. Lama operasi berbanding lurus dengan resiko infeksi luka dan memperberat resiko akibat jenis kontaminasi. Culver dkk menyatakan bahwa operasi yang berlangsung lebih dari persentil ke-75 dari suatu prosedur, dianggap sebagai operasi lama.12

5. Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya surgical site infection Penelitian Yuwono et al., 2013 mengenai faktor resiko terjadinya SSI pada pasien laparatomi emergency menyebutkan bakteri yang paling sering ditemukan adalah Escherichia coli yaitu pada 5 pasien (31,25%), diikuti oleh staphylococcus aureus 18,75%, Pseudomonas aeruginosa 12,5%, Streptococcus faecalis 12,5% dan Citrobacter freundii, Klebsiella

(3)

pneumoniae, Streptococcus bovis dan Candida nonalbicans masing-masing 1%. Sebelum operasi semua pasien diberikan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu cefotaxim. Akan tetapi pada hasil uji kepekaan terhadap antimikroba didapatkan 84,6% bakteri tersebut masuk kategori resisten, 7,7% masuk kategori intermediate dan 7,7% masuk kategori sensitif terhadap cefotaxim.

6. Klasifikasi

Klasifikasi SSI menurut The National Nosocomial Surveillence Infection (NNIS) terbagi menjadi dua jenis yaitu insisional dibagi menjadi superficial incision SSI yang melibatkan kulit dan subkutan dan yang melibatkan jaringan yang lebih dalam yaitu, deep incisional SSI.

a. Superficial Incision SSI ( ITP Superfisial)

Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari paska operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu tanda sebagai berikut :

1) Terdapat cairan purulen.

2) Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan superfisial.

3) Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi 4) Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang

merawat.

b. Deep Insicional SSI ( ITP Dalam )

Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan jaringan yang lebih dalam (contoh, jaringan otot atau fasia) pada tempat insisi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :

(4)

2) Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada tanda inflammasi.

3) Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.

4) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat

c. Organ/ Space SSI ( ITP organ dalam)

Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :

1) Keluar cairan purulen dari drain organ dalam 2) Didapat isolasi bakteri dari organ dalam 3) Ditemukan abses

4) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter. 7. Pencegahan

Untuk pencegahan ILO pada pasien dilakukan dengan perawatan praoperasi, pencukuran rambut bila mengganggu operasi, cuci dan bersihkan daerah sekitar tempatinsisi dengan antiseptik pada kulit secara sirkuler ke arah perifer yang harus cukup luas.

Antibiotik profilaksis terbukti mengurangi kejadian ILO dan dianjurkan untuk tindakan dengan resiko infeksi yang tinggi seperti pada infeksi kelas II dan III. Selain itu, antibiotik profilaksis juga diberikan jika diperkirakan akan terjadi infeksi dengan resiko yang serius seperti pada pemasangan implan, penggantian sendi, dan operasi yang lama. Pemberian antibiotik profilaksis harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya

(5)

alergi, resistensi bakteri, superinfeksi, interaksi obat, dan biaya. Pemberiannya dilakukan 30 menit sebelum insisi, atau pada seksio sesaria diberikan segera setelah tali pusat diklem, dengan jenis antibiotik disesuaikan dengan jenis kuman yang paling sering mengakibatkan infeksi pada daerah tersebut. Pada umumnya adalah sepalosporin generasi I atau II.

Pada tahap intra operatif, yang harus diperhatikan adalah bahwa semakin lama operasi, resiko infeksi semakin tinggi, tindakan yang mengakibatkan terbentuknya jaringan nekrotik harus dihindarkan, kurangi dead space, pencucian luka operasi harus dilakukan dengan baik, dan bahan yang digunakan untk jahitan harus sesuai kebutuhan seperti bahan yang mudah diserap atau monofilamen.

Pemasangan drain sebaiknya dilakukan secara tertutup. Dengan drain terbuka (bersifat lembut dan atraumatik) mengakibatkan open system bacteria, terjadi kontak pada kulit, sulit untuk dilakukan penilaian, menuntut perawatan luka yang sangat teliti, hanya untuk luka yang tidak terlalu besar, tidak bersifat menghisap (suction). Sedangkan pada drain tertutup, closed system-bacteria mengakibatkan adanya kuman yang dapat diminimalisasi, mudah untuk dilakukan penilaian, perawatan lebih mudah, bila dipasang untuk luka yang cukup besar, dapat menghisap cairan (suction) karena kaku, bersifat lebih traumatik.

Perawatan drain harus dilakukan dengan mencakup apakah ada penyumbatan, pastikan fungsi suction bekerja dengan baik dan jangan lupa untuk mengosongkan isi kontainer, pastikan drain disimpan di tempat yang aman, kulit yang berhubungan dengan drain harus dijaga tetap kering dan harus dilakukan penggantian balutan, jika terdapat tanda-tanda infeksi harus segera ditangani dan diberikan antiseptik pada kontainer drain.

(6)

1. Sistem pernapasan

Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas terjadi selama proses persalinan. Functional residual capacity menurun sampai 15-20 %, dan cadangan oksigen juga berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat sampai 100%. Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan napas pada 30% kasus, yang dapat menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi, meskupun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil (Afolabi, Lesi, & Merah, 2007).

2. Sistem kardiovaskular

Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai 40%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of pregnancy. Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan / kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin. Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban jantung meningkat, curah jantung meningkat,

(7)

sampai 80%. Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam hypercoagulable state (Afolabi, Lesi, & Merah, 2007).

3. Ginjal

Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150% pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas nonpregnant state pada saat kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron. Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun namun hal ini dianggap normal. Pasien dengan preeklampsia mungkin dapat mengalami kegagalan fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan nilai normal (Afolabi, Lesi, & Merah, 2007).

4. Sistem gastrointestinal

Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung. Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat. Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat hemodilusi dan penurunan sintesis.. Lambung harus selalu dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa memandang kapan waktu makan terakhir (Afolabi, Lesi, & Merah, 2007).

5. Sistem saraf pusat

Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan

(8)

menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced diffusion) (Afolabi, Lesi, & Merah, 2007).

8. Transfer Obat dari Ibu ke Janin melalui Sirkulasi Plasenta

Hal yang menjadi salah satu pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap bahwa semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin. Dalam kondisi ibu dan fetus normal, general anaesthesia (GA) dan regional anaesthesia (RA) yang dilakukan dengan terampil hampir sama pengaruhnya terhadap bayi baru lahir. Namun demikian, karena risiko untuk ibu dan kaitannya dengan Apgar skor yang lebih rendah daripada GA, maka RA untuk Sectio caesaria lebih disukai. Anestesi regional akan memberikan hasil neonatal terpapar lebih sedikit obat anestesi (terutama saat digunakan teknik spinal), memungkinkan ibu dan pasangannya mengikuti proses kelahiran bayi mereka, dan memberikan pengobatan rasa sakit pascaoperasi yang lebih baik (WHO, 2003).

9. Sectio Caesaria

1. Definisi sectio caesaria

Sectio caesaria merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen (Cunningham, 2010).

2. Indikasi sectio caesaria a. Indikasi absolut

Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut sectio caesaria dibagi menjadi 3, yakni :

1) Berasal dari ibu

a) Induksi persalinan yang gagal

(9)

c) Disproporsi sefalopelvik 2) Uteroplasenta

a) Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik) b) Riwayat ruptur uterus

c) Obstruksi jalan lahir (fibroid)

d) Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar 3) Janin

a) Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan b) Prolaps tali pusat

c) Malpresentasi janin b. Indikasi relatif

1) Berasal dari ibu

a) Bedah sesar elektif berulang b) Penyakit ibu

2) Uteroplasenta

a) Riwayat bedah uterus sebelumnya b) Presentasi funik pada saat persalinan 3) Janin

a) Malpresentasi janin b) Makrosomia c) Kelainan janin

3. Kontraindikasi sectio caesaria

Menurut Pernoll (2009), kontraindikasi tindakan SC meliputi infeksi piogenik dinding abdomen, janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau tenaga yang sesuai.

4. Anestesi Regional pada Sectio Cesaria 5. Anestesi General pada Sectio Cesaria

Teknik pelaksanaannya meliputi preoksigenasi, tiga kali nafas dalam dengan O2 100%, injeksi thiopental 4 mg/kg atau ketamin 1 mg/kg iv dan suksinilkolin 1,5 mg/kg iv disertai penekanan krikoid. Setelah 40-60 detik,

(10)

dilakukan intubasi trakea dengan cuff. Diberikan ventilasi dengan O2, N2O dan agen inhalasi 0,4-0,8% MAC. Pelumpuh otot dapat diberikan bila perlu. Setelah bayi lahir, anestesi dapat diperdalam dengan N2O atau narkotik. Agen inhalasi dapat dihentikan. Akhir operasi dilakukan ekstubasi sadar (Bengi et al., 2003).

Komplikasi anestesi general antara lain aspirasi isi lambung yang merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu, kegagalan intubasi/ ventilasi karena pasien obstetrik memiliki risiko kesulitan intubasi/ ventilasi 10x dibanding wanita tak hamil akibat perubahan anatomi (leher pendek, edema laring, obesitas morbid, operasi emergensi); Hipertensi berat akibat anestesi yang kurang dalam dan stimulasi trakea dapat menyebabkan penurunan aliran darah uterus, fetal distress, dan dapat memperberat hipertensi sebelumnya (preeklampsia).

1. Sedatif dan hipnotik

Barbiturat: digunakan untuk induksi pada GA karena onsetnya yang cepat. Semua barbiturat mendepresi ibu dan janin tergantung dosis yang diberikan. Barbiturate tidak digunakan untuk sedasi (Bengi et al., 2003).

Benzodiazepin: merupakan ansiolitik dan antikonvulsi (diberikan dalam dosis kecil 2-5 mg iv). Dalam dosis besar menyebabkan hipotonia dan hipotermia janin, kelambatan pemberian makanan bayi, meningkatkan kejadian ikterik dan kernikterus (Bengi et al., 2003).

Propofol: merupakan obat untuk induksi anestesi dalam dosis 2-2,5 mg/kg. Status kardiovaskuler ibu tidak berubah, akan tetapi terjadi iritabilitas janin (Bengi et al., 2003).

Ketamin: 1 mg/kg memberikan analgesia disosiatif, amnesia, dan sedasi dengan mempertahankan tekanan darah ibu dan tidak mendepresi janin. Dikontraindikasikan pada pasien dengan preeklampsia atau hipertensi dan dapat menyebabkan krisis hipertensi bila dikombinasi dengan ergonovin atau vasopresor (Bengi et al., 2003).

Opioid; morfin, meperidin, fentanyl dan sufentanyl merupakan analgesik sistemik yang sangat poten. Tidak satupun narkotik yang dapat memberikan analgesia yang efektif selama persalinan tanpa menyebabkan depresi nafas pada ibu dan bayi bila diberikan secara intravena atau intramuskuler. Efek samping lain: mual muntah, hipotensi ortostatik,

(11)

penurunan motilitas gaster, somnolen. Kini sering digunakan sebagai tambahan pada anestesi regional (Bengi et al., 2003).

2. Anestesi inhalasi

Nitrous oksida: Pada kelarutan yang rendah, dapat menyebabkan ambilan dan pemulihan yang cepat. Meski efek analgesiknya cukup baik, namun potensinya yang rendah tidak memberikan analgesi yang cukup untuk persalinan. N2O yang diberikan dalam konsentrasi analgesia (50-70%) tidak menyebabkan depresi kardiovaskuler atau respirasi dan tidak mempengaruhi kontraksi uterus. Efek terhadap janin adalah pada pemberian jangka lama, terjadi depresi respirasi dan asidosis janin, khususnya bila analgesia ibu tidak sempurna dan kadar katekolamin ibu meningkat (Afolabi, Lesi, & Merah, 2007).

Agen halogenated: halotan, enfluran,isofluran, sevofluran. Efek terhadap ibu, dalam konsentrasi anestesi, semua agen halogenated menyebabkan depresi kardiovaskuler dan respirasi. Kontraksi uterus menurun tergantung dosis yang diberikan. Efek terhadap janin adalah konsentrasi rendah yang diberikan dalam waktu singkat menyebabkan sedasi janin. Konsentrasi tinggi dan waktu pemberian yang lama menyebabkan apnoe dan hipotensi janin (Afolabi, Lesi, & Merah, 2007).

(12)

1. Kehamilan mempengaruhi berbagai perubahan fisiologis sistem organ yang merupakan mekanisme adaptasi dan berguna bagi ibu untuk mentoleransi stres selama kehamilan dan persalinan.

2. Perubahan fisiologis selama kehamilan meliputi sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hematologi dan koagulasi, gastrointestinal, dan sistem saraf pusat.

3. Sectio caesaria membutuhkan anestesi yang efektif yang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan outcome dari sectio caesaria. 4. Jenis anestesi yang sering digunakan pada saat sectio caesaria

diantaranya adalah anestesi regional dan anestesi umum, keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Referensi

Dokumen terkait

Apa Antibiotik Buat Sipilis ~ Bagi anda para penderita sipilis yang malu untuk memeriksakan penyakit anda ke dokter,kini anda dimudahkan untuk menjalani pengonatan

Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`) dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah

Dari hasil wawancara dengan guru mata pelajaran Bahasa Jawa, calon guru bahasa Jawa yaitu mahasiswa Program Studi Pendidikan dan Sastra Daerah, dan calon guru

Hubungan mayoritas-minoritas agama pastilah sangat kompleks, apalagi di Indonesia yang memang secara historis dan sosial sangat majemuk dari sudut

Interaksi manusia dan komputer (Human Computer Interaction – HCI) adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji komunikasi atau interaksi diantara pengguna dengan sistem

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan konstruksi SDA, haruslah dinilai dari beberapa aspek, yaitu penyelesaian pekerjaan tepat waktunya sesuai kontrak, ukuran-ukuran

Permasalahan yang menyangkut penjadwalan terdiri dari Economic Dispatch yaitu pembagian pembebanan pada setiap unit pembangkit sehingga diperoleh kombinasi unit

tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik konflik. Berdasarkan perspektif kurikuler ini, pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah