• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Response.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Response."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

halaman 1 - I

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Zoonosis adalah jenis penyakit yang penularannya berasal dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Contoh zoonosis yang penularannya berasal dari hewan ke manusia adalah Ebola, Marburg, Mers-Cov, dan Avian Influenza (AI) atau yang biasa dikenal dengan nama flu burung. Ancaman zoonosis dari luar yang patut diantisipasi dan diwaspadai antara lain Ebola, MERSCoV dan Emerging Infectious Diseases (EID) lainnya. Ancaman zoonosis dari dalam seperti Rabies, Flu Burung, Antraks, Leptospirosis, Pes dan sebagainya bersifat sporadis sehingga diperlukan respon cepat agar setiap kejadian tidak meluas. Melihat kepada penyakit-penyakit tersebut, di mana seluruhnya menjadi wabah dan tantangan kesehatan dunia, Amerika Serikat menyikapinya secara tanggap. Global Health Security Agenda (GHSA) dan One Health Strategy adalah komitmen yang dibuat untuk menangani masalah kesehatan yang

terjadi. GHSA dibuat Amerika Serikat untuk memperepat implementasi International Health Regulation (IHR) 2005 melalui 11 paket aksi yang perlu dilakukan negara-negara di dunia selama 5 tahun kedepan. Dalam salah satu paket aksi Indonesia menjadi lead country yaitu zoonotic diseases dan sebagai contributing country yaitu : antimicrobial resistance, real-time surveilance dan Linking Public Health with Law and Multisectoral Rapid Response.

Kunci utama dalam pengendalian zoonosis adalah adanya otoritas kesehatan hewan yang memadai secara struktur dan fungsi. Selain itu otoritas ini juga menerapkan strategi One Health. Sebagai perbandingan pengendalian zoonosis di negara maju (Amerika Serikat) Otoritas kesehatan hewan tersebut berada dalam naungan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan dikenal dengan nama National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Disease (NCEZID).

Di Indonesia sendiri, koordinasi pengendalian zoonosis dilakukan

(2)

halaman 2 - I oleh Komisi Nasional Pengendalian

Zoonosis yang diketuai oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Namun sejak pembentukan 2012 sampai dengan saat ini belum terjadi sinergisitas antar institusi belum optimal hal ini dikarenakan lemahnya sistem kesehatan hewan nasional dan koordinasi pengendalian zoonosis di daerah.

Selain masalah penyakit zoonosis yang membuat status kesehatan hewan dan manusia semakin mengkhawatirkan, kedaulatan pangan juga merupakan isu baru yang berkaitan erat dengan bidang kesehatan hewan. Target pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang pertanian adalah mencapai

kedaulatan pangan atau

swasembada pangan. Akan tetapi, saat ini Indonesia mengalami kesulitan melakukan kegiatan ekspor khususnya ekspor produk sapi dan unggas berkaitan dengan zoonosis brucellosis dan avian influenza. Jika masalah kesehatan hewan tidak diselesaikan sampai tuntas, maka visi Presiden Joko Widodo untuk

menjadikan negara ini sebagai negara swasembada pangan akan sulit tercapai.

Melihat kepada kondisi lemahnya kesehatan hewan, maka salah satu solusi nyata pencegahan masuknya penyakit zoonosis secara intensif yang dapat ditempuh adalah melalui penguatan koordinasi dan komando pengendalian zoonosis. Pengkajian mengenai efektifitas kerja pengendalian zoonosis yang selama ini dilakukan dalam bentuk lembaga Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis merupakan langkah awal yang konkrit untuk mengendalikan zoonosis agar tidak menjadi

permasalahan kesehatan

masyarakat yang mempengaruhi

berbagai aspek bidang

pembangunan.

Maksud

 Meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan para pemangku kepentingan

 Memberikan informasi secara komprehensif tentang kegiatan multi sektor yang tergabung dalam Komisi

(3)

halaman 3 - I Nasional Pengendalian

Zoonosis

 Menjadikan sebagai acuan

dalam pengembangan

kebijakan dan program

Tujuan

 Mendokumentasikan kegiatan koordinasi pengendalian zoonosis

(4)

halaman 1 - II

BAB II PERKEMBANGAN ZOONOSIS

Rabies

Pada 2015 terjadi Kejadian Luar Biasa akibat rabies di Kalimantan Barat sedangkan KLB Rabies di Bali belum juga tertangani secara tuntas sehingga terjadi peningkatan korban jiwa lebih dari lima kali lipat dibandingkan tahun 2014. Jumlah korban jiwa akibat rabies tahun 2015 dilaporkan oleh enam belas (16) provinsi per Oktober 2015, yaitu:

Provinsi Kejadian Lyssa Rabies Pada Hewan Sumatera Utara 14 1-23 Sumatera Barat 7 24-113 Sumatera Selatan 2 1-23 Bengkulu 6 1-23 Jawa Barat 3 0 Bali 15 114-238 NTT 2 1-23 Sulawesi Utara 23 239-492 Gorontalo 2 24-113 Sulawesi Tengah 2 24-113 Sulawesi Tenggara 2 1-23 Sulawesi Selatan 2 24-113 Kalimantan Tengah 8 24-113 Maluku Utara 5 1-23 Maluku 4 114-238 Kalimantan Barat 5 1-23

Kasus kematian karena rabies (Lyssa) di tahun 2014 sebanyak 98 kasus secara signifikan mengalami penurunan sebesar 52,42 %

dibandingkan pada tahun 2010 dengan 206 kasus kematian, namun laporan kematian sampai November 2015 ini meningkat menjadi 102 kematian dimana terjadi kematian akibat rabies di Provinsi Sulawesi Utara, Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat. Peningkatan signifikan terjadi di Bali yang mencapai 7,5 kali lipat tahun sebelumnya (2 lyssa pada tahun 2014 menjadi 15 lyssa pada 2015).

Tabel Capaian Program Pembebasan Rabies 2015 No Keputusan Mentan Jenis Penyakit 1 239/Kpts/PD.6 50/4 /2015 Tanggal 7 April 2015 Pernyataan Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau bebas dari penyakit anjing gila (Rabies). 2 241/Kpts/PD.6 50/4 /2015 Tanggal 7 April 2015 Pernyataan Puluau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu bebas dari penyakit anjing gila (Rabies). 3 240/Kpts/PD.6 50/4 /2015 Tanggal 7 April 2015 Pernyataan Provinsi Kepulauan Riau bebas dari penyakit anjing gila (Rabies). 4 238/Kpts/PD.6 50/4 /2015 Tanggal 7 April 2015 Pernyataan Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat bebas dari penyakit anjing gila (Rabies).

Flu Burung

Sejak tahun 2005 sampai tahun 2015 penyebaran kasus FB (H5N1) pada manusia dilaporkan telah terjadi di 15 provinsi di Indonesia (44% dari 34 provinsi), yaitu Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Lampung,

(5)

halaman 2 - II Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat,

Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, DIY, Bengkulu dan NTB.

Total jumlah kumulatif Flu Burung di Indonesia adalah sebanyak 199 kasus dengan 167 kematian, CFR 83,92%. Jumlah kasus tertinggi terjadi di tiga provinsi dengan urutan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Pada tahun ini sampai bulan November 2015 dilaporkan 2 kasus konfirmasi FB, jika dibandingkan dengan jumlah kasus konfirmasi FB terbanyak pada tahun 2006 sebanyak 55 kasus, terjadi penurunan jumlah kasus yang cukup besar yaitu 96,3%.

Jumlah Kasus, Kematian dan Case Fatality

Rate (CFR) Flu Burung di Indonesia Tahun

2005 s/d November 2015 (Sumber : Kemenkes).

(Kementan, November 2015) Sejak terjadinya wabah AI pada unggas di Indonesia yang dideklarasi pada bulan Januari 2004, kejadian secara bertahap menurun cukup signifikan setiap tahun yakni th. 2007 = 2.751

kejadian, th. 2008 = 1.413 kejadian, th 2009 = 2293 kejadian, th.2010 = 1502 kejadian, th. 2011 = 1.411 kejadian, th. 2012 = 546 kejadian th. 2013 = 470 kejadian, th. 2014 = 346 kejadian dan tahun 2015 = 111 kejadian.

Diagram jumlah kejadian kematian unggas akibat Avian Influenza H5N1 sejak 2007 s/d November 2015 (Sumber : Kementan)

Diagram jenis unggas mati akibat Avian Influenza H5N1 antara januari s/d november 2015 (Sumber : Kementan)

Untuk mengantisipasi kondisi cuaca ekstrim curah hujan tinggi dan kejadian banjir di beberapa daerah di Indonesia yang berpotensi risiko meningkatnya kejadian AI pada unggas, maka telah diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan No. 28111/PD.520/F/11/2014

(6)

halaman 3 - II tanggal 28 November 2014 tentang

Kesiapsiagaan Pengendalian Penyakit Unggas di Musim Hujan.

Antraks

Daerah endemik Anthraks selama 10 tahun terakhir terdapat di 11 provinsi : Jabar, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat (Kep Mentawai), Jambi.

Selain karena faktor daya tahan spora antraks yang mampu beradaptasi di lingkungan dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun, berulangnya kembali antraks karena :

1. Pola pemeliharaan yang belum tepat

2. Vaksinasi rutin tidak dilaksanakan

Peta kejadian antraks pada hewan penular (sumber : Kementan)

Wilayah tertular baru yang sebelumnya bebas adalah Kabupaten Blitar – Jawa Timur (pada peternakan sapi rakyat pada akhir 2014).

Leptospirosis

Hingga tahun 2015 ini , Leptospirosis masih merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Jika dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah kumulatif kasus Leptospirosis menunjukkan penurunan kasus, tetapi Angka Fatalitas Kasusnya mengalami kenaikan dari 11,27% menjadi 17,74%.

Kasus Leptospirosis di tahun 2015 tersebar di 6 provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Jawa Timur.

Dalam upaya pengendalian Leptospirosis Kementerian Kesehatan telah melaksanakan berbagai upaya seperti membuat Surat Edaran kewaspadaan Leptospirosis setiap tahunnya, pengadaan Rapid Test Diagnostic (RDT) sebagai buffer stock apabila terjadi KLB, mendistribusikan media KIE seperti buku pedoman, lefleat, poster, roll banner dll. Tetapi hingga saat ini Leptospirosis di Indonesia terus menyebar dan menyebabkan kematian.

Beberapa masalah yang ditemukan dalam pengendalian Leptospirosis di Indonesia diantaranya :

1. sebagian besar pasien Leptospirosis datang ke

(7)

halaman 4 - II rumah sakit dalam keadaan

terlambat/gejala yang sudah berat,

2. masih rendahnya sensitivitas

kemampuan petugas

kesehatan di pusat pelayanan dasar dalam mendiagnosa Leptospirosis,

3. terbatasnya ketersediaan RDT

4. manajemen dan pelaporan yang belum baik.

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini serta pengobatan segera penderita untuk mencegah kematian. Intervensi lingkungan untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat persembunyian tikus.

Diagram perkembangan leptospirosis 2010 – 2015 (Sumber : Kemenkes).

Pes

Zoonosis yang juga masih menjadi perhatian masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah Pes (Sampar). Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang terdapat

pada binatang pengerat/rodensia, salah satunya tikus. Penularan penyakit ini melalui gigitan pinjal ke binatang pengerat, bintang lain maupun ke manusia, yang dikenal sebagai vektor Pes.

Sampai dengan tahun 2015, di Indonesia khususnya di Pulau Jawa masih terdapat 4 daerah fokus Pes, yaitu:

1. Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Pasuruan ada dua kecamatan yaitu; Kecamatan Tosari dan Kecamatan Nongkojajar. 2. Jawa Tengah di Kabupaten

Boyolali; Kecamatan Selo dan Kecamatan Cepogo 3. DI Yogyakarta di Kabupaten Sleman, Kecamatan Cangkringan. 4. Jawa Barat di Kabupaten Bandung, Kecamatan Ciwidey

Meskipun sampai saat ini belum ditemukan lagi kasus Pes pada manusia, kegiatan pengendalian pes masih tetap dilakukan secara rutin dengan menitikberatkan kepada pengamatan secara aktif dan pasif pada penduduk setempat maupun hewan-hewan rodensia dan pinjalnya yang masih menjadi sumber penularan/vektornya. 2010 2011 2012 2013 2014 2015 CASE 409 857 239 640 550 265 DEATH 43 82 29 60 62 47 CFR 10,51 9,57 12,13 9,38 11,27 17,74 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

(8)

halaman 5 - II

Diagram hasil pengamatan pes (Sumber : Kementerian Kesehatan)

Sampai saat ini dari hasil pengamatan berupa pemeriksaan serologis terhadap spesimen-spesimen yang berasal dari suspek Pes, tidak ditemukan adanya kasus positif Pes pada manusia.

Peta prevalensi brusellosis pada ternak ruminansia (Sumber : Kementan)

Brusellosis

Pada 2015 Pulau Madura dan Pulau Sumba berhasil dibebaskan dari brusellosis. Sampai dengan saat ini belum ada laporan penularan brusellosis ke manusia. Namun tingginya prevalensi brusellosis pada ternak khususnya sapi akan mempengaruhi program swasembada pangan (daging sapi) akibat terjadinya abortus dan gangguan reproduksi lainnya.

(9)

halaman 6 - II

Evaluasi Perkembangan

Sesuai dengan sasaran pengendalian zoonosis terpadu yaitu :

1. Mempertahankan dan memperluas daerah bebas zoonosis;

2. Menurunkan kasus penularan dan kematian akibat zoonosis pada hewan dan manusia di masyarakat;

3. Mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat wabah zoonosis.

Maka pada tahun 2015, status capaian sasaran pengendalian zoonosis terpadu sebagai berikut :

Zoonosis Sasaran 2010 2014 2015

Baseline ya tidak ya tidak

Rabies 1h 311 1 4 2m 206 98 102 2h 1.823 1.074 607 3 Flu Burung 1h 252 0 1 2m 9 2h 1.502 3 Antraks 1h 93 10 10 2m 31 48 3 2h NA 3 Lepto spirosis 1h NA 2m 409 550 265 2h NA 3 Pes 1h 64 6 6 2m 0 0 0 2h 34 0 0 3 Brusellosis 1h 175 0 2 2m NA 2h 86 4 4 3 Keterangan :

Tidak ada KLB/Wabah Kejadian Luar Biasa Wabah

1

Target pembebasan 31 wilayah (provinsi/pulau) s/d 2020

4

Daerah fokus pes (kecamatan) 2

Target Pembebasan wilayah (provinsi/pulau) s/d 2025

5

Target pembebasan 31 wilayah (provinsi/pulau) s/d 2025 3

Provinsi endemik antraks 6 Provinsi dengan prevalensi >2% h Hewan m Manusia 2 102 3 47 0 0 50 100 150 200 250 positif Flu Burung Rabies (Lyssa) Anthraks fatal leptospirosis plaque / PES 2010 2011 2012 2013 2014 2015

(10)

halaman 1 - III

BAB III KOMANDO OPERASIONAL DAN DUKUNGAN KLB RABIES

Respon Cepat

Setelah selama 5 (lima) tahun tanpa kasus rabies dan telah memenuhi syarat, Kalbar ditetapkan daerah bebas rabies oleh Menteri Pertanian. Pada 2 Desember 2014, Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis (KNPZ)

menerima Laporan Komisi

Pengendalian Zoonosis Provinsi Kalimantan Barat tentang terjadinya peningkatan kejadian gigitan hewan penula rabies yang menyebabkan meninggalnya beberapa warga di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Melawi. Sebagai respon cepat Kementerian Kesehatan telah mengalokasikan Logistik cadangan KLB, sedangkan Kementerian Pertanian telah menerjunkan tim respon cepat yang bergabung dengan tim respon cepat provinsi Kalimantan Barat guna melakukan langkah-langkah teknis pengendalian rabies pada sumber penularan. Atas dasar laporan dan laporan cepat tim di lapangan maka Tim Pelaksana memutuskan untuk menindaklanjuti laporan melalui penerjunan tim pemantauan dan evaluasi KNPZ.

Tim pemantauan dan evaluasi multi sektor yang dipimpin oleh Asisten Deputi III Menko PMK Urusan

Penguatan Pencegahan dan

Penanggulangan Penyakit terdiri dari unsur Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian

Pertanian, Sekretariat Kabinet, TNI dan Polri dilaksanakan pada 21-24 Januari 2015. Setelah melakukan pemantauan baik dalam aspek teknis maupun pelaksanaan kebijakan terhadap meningkatnya kasus gigitan hewan penular rabies yang menyebabkan 16 (enam belas) korban jiwa di Kabupaten Melawi dan Ketapang disimpulkan beberapa hal yaitu :

1. Terjadi keterlambatan pernyataan KLB rabies;

2. Upaya pengendalian rabies harus dilaksanakan secara terpadu;

3. Pertukaran infomasi

perkembangan rabies di hewan dan manusia antar SKPD di tingkat Kabupaten masih perlu diintensifkan;

4. Peringatan dini KLB/Wabah rabies antar provinsi perlu dioptimalkan; 5. Kewaspadaan pemerintah daerah

terhadap ancaman virus rabies perlu ditingkatkan;

6. Sumberdaya Provinsi,

Kementerian, TNI dan Polri siap

dimobilisasi untuk

penanggulangan KLB Rabies di Kabupaten Melawi dan Ketapang; 7. Sosialisasi dan pemberdayaan

masyarakat dalam pengendalian rabies masih perlu ditingkatkan; 8. Mekanisme pelaporan GHPR oleh

masyarakat dan respon perlu dipercepat sehingga risiko timbulnya korban jiwa akibat keterlambatan tatalaksana GHPR dapat dikurangi.

(11)

halaman 2 - III Selain itu tim pemantauan dan evaluasi

KNPZ memberikan arahan untuk : 1. Kadinkes segera menetapkan

status KLB Rabies dalam waktu 3 x 24 jam, dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/ Menkes/ Per/ X/ 2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangannya; 2. Pelacakan dan pemberian

Vaksin Anti Rabies pada semua korban GHPR guna mengurangi dampak korban jiwa;

3. Mensinergikan sumberdaya yang ada di Kabupaten dengan

provinsi dan

Kementerian/Lembaga.

Koordinasi

Wadah Komisi Pengendalian Zoonosis di tingkat pusat dan provinsi menjadi forum pembahasan penyelesaian permasalahan dalam pengendalian KLB Rabies di Kalimantan Barat. Intensifikasi koordinasi Komisi Pengendalian Zoonosis dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali. Pelaksanaan koordinasi pertama difasilitasi komisi pengendalian zoonosis provinsi Kalimantan Barat dan Kedua serta ketiga difasilitasi KNPZ.

Rapat koordinasi pertama

dilaksanakan pada 10 Februari 2015 di kantor Gubernur Kalimantan Barat, agenda rapat kesepakatan penetapan kebijakan dan rencana kegiatan

pengendalian KLB rabies, sebagai berikut :

1. Gubernur Kalimantan Barat Menetapkan Kebijakan guna pelaksanaan respon darurat KLB Rabies;

2. Gubernur Kalimantan Barat Membentuk Komando Darurat KLB Rabies;

3. Gubernur menerbitkan edaran kepada Bupati dan Walikota

tentang rekomendasi

pengendalian KLB rabies;

4. Pemda Kabupaten Melawi dan Ketapang telah menindaklanjuti arahan tim pemantauan dan evaluasi KNPZ dengan :

a. menetapkan status KLB; b. menerbitkan instruksi

kepala daerah untuk pengendalian KLB Rabies;

c. mengalokasikan anggaran pengendalian KLB

(12)

halaman 3 - III 5. Melaksanakan kegiatan pengendalian KLB Rabies sebagai berikut :

No KEGIATAN STATUS KETERANGAN

Tertular Terancam Waspada

1. Pengendalian lalulintas HPR a. Penutupan wilayah b. Pengawasan c. Check Point √ √ √ - √ v - √ - Bupati dan Camat. Juklak/SOP 2. Sosialisasi √ √ √ 3. Vaksinasi 100% 70% 70% 4. Surveilans √ √ √

5. Eliminasi anjing liar √ √ √

6. Observasi pada HPR √ √ √

7. VAR (Petugas dan

penderita)

√ - -

8. SAR (Resiko tinggi) √ - -

9. Monitoring & Evaluasi √ √ √

10. Laporan (Gate Way / iSIKHNAS)

√ √ √

6. Khusus ditingkat kecamatan kegiatan difokuskan untuk : a. Sosialisasi;

b. Inisiasi pembentukan rabies center;

c. Inisiasi penerbitan keputusan desa.

7. Evaluasi pelaksanaan

pengendalian KLB Rabies dalam 6 (enam) bulan kedepan pasca ditetapkannya status KLB dan tanggap darurat.

Rapat koordinasi kedua dilaksanakan

pada 30 April 2015 di kantor Gubernur Kalimantan Barat, agenda rapat membahas evaluasi pelaksanaan kesepakatan rakor pertama, pembahasan masalah pelaksanaan dan upaya percepatan, sebagai berikut :

Evaluasi pelaksanaan rakor 10 Februari 2015

1. Gubernur Kalimantan Barat telah menetapkan kebijakan:

a. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat

No.428/BPBD/2015 Tgl. 18 Februari 2015 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Pengendalian dan Penanggulangan KLB Rabies di Provinsi Kalimantan Barat; b. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No.429/BPBD/2015 Tgl. 18 Februari 2015 tentang Pembentukan Komando Tanggap Darurat Pengen Dalian dan

(13)

halaman 4 - III Rabies di Provinsi

Kalimantan Barat;

c. Edaan Gubernur kepada Kepala Daerah Kabupaten / Kota tentang

2. Penyiapan personel Kodam

Tanjungpura dan Polda

Kalimantan Barat guna

diperbantukan dalam pengendalian KLB Rabies; 3. Permasalahan pelaksanaan kegiatan pengendalian KLB rabies: a. Infrastruktur jalan/transportasi;

b. SDM teknis sangat terbatas

(Dokter Hewan dan

Paramedis Keswan);

c. Anggaran (terbatas, aturan, waktu);

d. Sarana mobilitas petugas; e. Prasarana dan sarana

(rantai dingin);

f. Peran serta masyarakat (budaya);

g. Komitmen kepala daerah /bupati belum cukup kuat;

h. Koordinasi teknis lemah karena tidak ada dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan kabupaten dan antar provinsi.

4. Saran upaya percepatan : a. Pembebasan kembali

Rabies di Kalbar disarankan:  Tumbuhkan partisipasi

masyarakat;

 Perbaiki rantai dingin;  SDM Teknis (formasi

PNS /Kontrak);

 Vaksinasi rutin (target min 70%), observasi/ pemeriksaan lab sepesimen (otak);  Sarana mobilitas Petugas;  Optimalisasi Komda Zoonosis;

 Aktifkan Rabies Center;  Pelaporan (iSIKHNAS);  Anggaran.

b. Keterbatasan SDM didaerah disarankan mengoptimalkan PPL & Perawat / Mantri Kesehatan didukung unsur TNI & Kepolisian.

c. Pemkab perlu melakukan zoning (tertular, terancam, bebas / waspada) agar pengendalian efektif dan efisien

d. Perlu dibentuknya otoritas veteriner sampai di tingkat Kab / kota (UU 23/2014). e. Pemerintah Pusat

menfasilitas dan memonitor PENGARAH FORKORPIMDA DAN BPKP KOMANDAN WAKIL KOMANDAN SEKRETARIS

KEUANGAN ADMINISTRASI DAN PELAPORAN MEDIA CENTER SATGAS PENGENDALIAN PADA HEWAN SATGAS PENATALAKSANAAN KASUS GIGITAN SATGAS PENGAMATAN PENYAKIT (SURVEILANS) & PELAPORAN

SATGAS PENYULUHAN & PEMBERDAYAAN MASY. SATGAS MOBILISASI

SUMBER DAYA & KERJASAMA

Gambar Struktur Komando Tanggap Darurat Pengendalian dan Penanggulangan KLB Rabies di Provinsi Kalimantan Barat

(14)

halaman 5 - III pelaksanaan kesepakatan

Rakor Rabies (Reward and Punishment).

Rapat koordinasi ketiga dilaksanakan

pada 24 Agustus 2015 di kantor Gubernur Kalimantan Barat, agenda rapat evaluasi 6 (enam) bulan, yang menyimpulkan :

1. Perkembangan KLB Rabies : a. Kejadian Gigitan Hewan

Penular Rabies (GHPR) terjadi di 27 kecamatan pada 4 (empat) kabupaten

(Melawi, Ketapang, Kapuas Hulu dan Sintang);

b. Peningkatan GHPR selama masa KLB sebesar 70%; c. Bupati / Komisi Pengendalian Zoonosis Kabupaten belum sepenuhnya melaksanakan rekomendasi Gubernur; d. Rantai dingin vaksin tidak

diterapkan karena minimnya ketersedian alat

penyimpanan berpendingin dan pasokan listrik di kecamatan;

e. Anggaran bencana non alam tidak dapat digunakan

sesuai kebutuhan karena terbentur dengan aturan penggunaan;

f. SDM yang berkompeten (dokter hewan) sangat kurang;

g. Check point lalu lintas hewan tidak efektif;

h. Kurangnya komunikasi antar instansi pada Komisi

Pengendalian Zoonosis Kabupaten;

2. Rekomendasi kepada Gubernur Kalimantan Barat :

a. Memperpanjang status KLB Provinsi Kalimantan Barat; b. Memperpanjang masa kerja

satgas pengendalian rabies provinsi Kalbar

c. Rekomendasi Gubernur diubah menjadi instruksi Gubernur;

d. Menegaskan kepada Bupati untuk mengalokasikan anggaran operasional pengendalian rabies.

3. Permintaan fasilitasi dari Komisi Pengendalian Zoonosis Provinsi Kalimantan Barat kepada KNPZ : a. Memperbantukan

mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan ke Kabupaten/Kota tertular sesuai permintaan pemda Kabupaten dengan catatan Pemda sanggup

menyediakan transportasi dan akomodasi bagi mahasiswa;

b. Perubahan yang

menyangkut penggunaan dana bencana non alam sesuai situasi dan kondisi di Kabupaten tertular;

c. Meningkatkan kerjasama antar provinsi (Kalbar dan Kalteng) dalam upaya

(15)

halaman 6 - III pemberantasan dan

pertukaran informasi; d. Memperkuat laboratorium

kesehatan hewan di daerah guna identifikasi rabies.

Sinergi Sumber Daya Multi Sektor

Berdasarkan hasil laporan tim pemantauan dan evaluasi KNPZ, yang disampaikan oleh Deputi III Menko PMK / Sekretaris Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis kepada Ibu Menko PMK melalui nota dinas no. 12 /ND/DEP.III/ I/2015 di respon dengan menerbitkan surat B.15 /MENKO /PMK/II/2015 tanggal 4 Februari 2015 perihal penguatan pencegahan dan pengendalian rabies kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian, untuk melakukan langkah-langkah yang secara garis besar sebagai berikut :

1. Intensifikasi koordinasi melalui forum koordinasi Komisi Pengendalian Zoonosis;

2. Meningkatkan kewaspadaan pemerintah daerah dan masyarakat;

3. Memperkuat kapasitas

sumberdaya manusia

(kesehatan dan kesehatan hewan) dalam pengendalian zoonosis khususnya rabies; 4. Laporan dan respon cepat

kejadian zoonosis khususnya rabies agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat;

5. Memperkuat logistik dan pengalokasian VAR bagi kelompok risiko tinggi (dokter hewan / vaksinator hewan penular rabies);

6. Menyelesaikan pengaturan tentang sistem kesehatan hewan nasional sesuai amanat undang-undang;

7. Membuat kebijakan dalam pengalokasian anggaran operasional pengendalian KLB. Arahan Ibu Menko PMK telah di tindaklanjuti oleh mendagri melalui

penerbitan edaran nomor

443.34/818/SJ tanggal 16 Februari

2015 tentang Peningkatan

Kewaspadaan terhadap Wabah Zoonosis khususnya Rabies di Seluruh Wilayah Indonesia.

Deputi III Menko PMK / Sekretaris Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis pada tanggal 6 Mei menyampaikan menyampaikan hasil rapat koordinasi kepada para pemangku kepentingan agar bersinergi menyelesaikan permasalahan dan hambatan dalam pengendalian KLB Rabies di Kalimantan Barat, sebagai berikut :

Permasalahan

1. HPR yang menggigit berasal dari anjing liar atau anjing berpemilik yang diliarkan sehingga sulit mendapatkan data populasi HPR; 2. Wilayah yang harus dijangkau

satgas pengendalian KLB terlampau luas sedangkan SDM teknis dan fasilitas serta anggaran

(16)

halaman 7 - III operasional pengendalian HPR di

Kabupaten sangat terbatas;

3. Terjadi kesimpangsiuran informasi dalam penyampaian hasil penelusuran kasus gigitan sehingga berpotensi terjadi konflik horizontal di masyarakat;

4. Rantai dingin vaksin hewan penular rabies tidak memadai sehingga menyebabkan kerusakan vaksin yang berakibat pada kegagalan vaksinasi pada HPR sebagai sumber penularan;

5. Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu belum dilakukan survey keberadaan virus rabies pada hewan penular sehingga Kementan perlu segera menurunkan tim BBVet Banjarbaru untuk melakukan surveilans;

6. Penutupan lalu lintas HPR guna mencegah penyebaran KLB rabies belum dipahami aparatur pemerintah di tingkat kecamatan dan desa karena belum adanya pedoman pelaksanaan;

7. Kesulitan penganggaran melalui dana tanggap darurat untuk operasional pengendalian KLB rabies sebagai bencana non alam yang hanya mengakomodir untuk pembelian obat dan vaksin (logistik) sedangkan logistik sudah di dukung penuh oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian, sedangkan dukungan dana yang diperlukan adalah:

7.1 Melatih sumber daya manusia yang tersedia agar mampu melakukan pengendalian KLB rabies;

7.2 Distribusi logistik;

7.3 Penggerakan personil TNI dan Polri;

7.4 Penggerakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif

dalam pengendalian KLB dan menyepakati peraturan desa

atau adat melalui

musyawarah desa;

8. Terjadi ketakutan masyarakat terhadap setiap anjing yang berkeliaran;

9. Komitmen Pemerintah Kabupaten dalam penganggaran pengendalian KLB rabies masih lemah.

Hambatan

1. Sebagian besar pemilik anjing yang digunakan untuk berburu satwa trenggiling menolak dilakukan vaksinasi;

2. Beberapa orang tergigit hewan penular rabies menolak untuk di suntik vaksin anti rabies;

3. Eliminasi anjing sebagai penular rabies bagi sebagian masyarakat adat bertentangan sehingga petugas dapat dituntut hukum adat berupa denda sebesar Rp 30 Juta; 4. Identifikasi virus rabies pada hewan

sulit dilakukan karena HPR yang menggigit langsung dibunuh dan dibuang oleh masyarakat.

Respon Panglima TNI melalui Asisten Territorial menginstruksikan Pangdam XII Tanjungpura melalui ST/658/2015 tanggal 26 Mei 2015 untuk membantu dalam melindungi warga masyarakat Kalimantan Barat dari penularan penyakit rabies. Jajaran Polda Kalimantan Barat juga telah disiagakan untuk membantu pelaksanaan pengendalian KLB Rabies.

(17)

halaman 8 - III

Kegiatan Multi Sektor

Pasca rapat koordinasi evaluasi 6 (enam) bulan Tanggap Darurat Pengendalian dan Penanggulangan KLB Rabies yang merekomendasikan beberapa hal terutama fasilitasi penguatan SDM dan sarana rantai dingin vaksin serta alat penunjang lainnya yang menjadi permasalahan utama dalam efektifitas pengendalian pada sumber penularan, Sekretariat KNPZ secara intensif memfasilitasi koordinasi tindak lanjut antara Kementerian pertanian selaku Anggota KNPZ dengan Komisi Pengendalian Zoonosis Kalimantan Barat untuk merumuskan kegiatan multisektor.

Pada 6-7 Oktober dirumuskan kegiatan pelatihan penguatan kapasitas pengendalian KLB Rabies menjadi solusi untuk penguatan kapasitas sumberdaya manusia sekaligus sarana dan alat penunjang, dengan skema sebagai berikut :

Gambar skema respon multi sektor dalam pengendalian KLB Rabies di Kalimantan Barat

PEMERINTAH PEMERINTAH DAERAH

K/L PROVINSI KETAPANG MELAWI KAPUAS HULU

1. Kemenko PMK 2. Kemenkes 3. Kementan 4. Mabes Polri 5. Mabes TNI 1. Kantor Gubernur Kalbar 2. Dinas PKH 3. Dinkes 4. Polda Kalbar 5. Kodam Tanjungpura 1. Kantor Bupati 2. DinTannak 3. Dinas Kesehatan 4. Polres Ketapang Kantor Bupati DinTankanak DinKes Polres Melawi Kodim Melawi • Kantor Bupati • Dintanak • Dinkes • Kodim Kapuas Hulu Aparatur kecamatan, desa dan masyarakat Tabel instansi terlibat dalam pelatihan penguatan kapasitas pengendalian KLB Rabies

Duk Instansi

1 Kemenkes, Dinkes Pov, Dinkes Kab 2 Kementan, Disnakeswan Prov, Polda 3 Disnak Kab

4 Polres / Kodim

5 Kementan, Disnak Prov, Disnak Kab

6 Kemenko PMK, Ditpol Satwa Baharkam, Gub, Bupati, Disnak

7 Polda, Dinas Prov &Kab 8 Kemenko PMK

9 Kemenko PMK, Disnakeswan Prov , Disnak Kab & PT. Gemini

Gambar skema dan tabel peran kolaborasi pelatihan

Pelati han 1. Duk. VAR Pre exposure 2. Duk. Pelatih 3. Duk. Mob Peserta 4. Duk. Pendampi ng & Was 5. Duk. Log Vaks Rab 6. Duk. Koord Lak 7. Duk. Kend OPS 8. Duk. Anggaran 9. Duk. Penyeleng gara Laporan peningkatan lyssa Monev linsek Penetapan status KLB Kabupaten Penetapan status KLB dan respon darurat Provinsi Respon Koordinasi KPZ Rakor evaluasi komisi provinsi Rakor percepatan pengendalian Sinergi SD lintas KL Rakor evaluasi 6 bulan pengendalian KLB Perencanaan keg linsek Penyusunan Format Kegiatan

Revisi DIPA Lelang

Pelatihan Penguatan Kapasitas Pengendalian KLB Rabies Pelatihan dalam ruangan (teori dan praktek) Praktek Lapangan Evaluasi Pelaksanaan

(18)

halaman 9 - III

@kecamatan memiliki tim terlatih

dengan alat dan sarana penunjang

memadai

Gambar skema komponen dalam pelatihan penguatan kapasitas pengendalian KLB Rabies

No Kabupaten Kecamatan Jumlah Peserta Pelatihan

PPL Peternakan Penduduk

Lokal

Babinsa / Polsek

1 Kapuas Hulu Bunut Hulu 2 3 1 (Babinsa)

2 3 1

2 Melawi Sokan 1 4 1 (Polisi)

Sayan 3 2 1 (Polisi)

Tanah Pinoh Barat 2 3 1 (Babinsa)

Ella Hilir 2 (1 Menukung) 3 1 (Polisi)

Menukung 3 2 1 (Polisi)

Belimbing 4 1 1 (Polisi)

Belimbing Hulu 2 3 1 (Polisi)

Nanga Pinoh 3 2 1 (Polisi)

Pinoh Selatan 3 2 1 (Babinsa Sayan

Pinoh Utara 1 (Nangapinoh) 4 1 (Babinsa)

Tanah Pinoh 2 3 1 (Polisi)

26 29 11

3 Ketapang Jelai Hulu 3 1 1 (Polisi)

Tumbang Titi 3 1 1 (Polisi)

Marau 2 2 1 (Polisi)

Manis Mata 2 2 1 (Polisi)

Sei Melayu 2 2 1 (Polisi)

Kendawangan 3 1 1 (Polisi)

Sandai 2 2 1 (Polisi)

17 11 7

TOTAL 107 orang terdiri 45 43 19

Tabel peserta pelatihan penguatan kapasitas pengendalian KLB Rabies di Ketapang dan Melawi

Gambar alur pelaksanaan pelatihan penguatan kapasitas pengendalian KLB Rabies

Pelatih Kementan Dinas PKH Kalbar Modul : Kementan Peserta Kepala Desa Petugas PPL Masyarakat Desa

Alat dan Logistik Poster Ice pack Ice gel Jaring penangkap Alat suntik Vaksin rabies sarung tangan karet

Pengawas Babinkamtibmas Babinsa 20-24 /11 25-26 /11 17-18 /11 16/11

(19)

halaman 10 - III

Kegiatan Ketapang (7 tim) Melawi (11 tim) Kapuas hulu (1 tim)

Ekor Desa Kegiatan Ekor Desa Kegiatan Ekor Desa Kegiatan

Wajib

Vaksinasi HPR 1547 27 tdk 1771 55 tdk 600 3 tdk

Promosi tdk 27 1129 tdk 55 824 tdk 3 182

Pilihan (permintaan masyarakat / kejadian GHPR)

Eliminasi - - - -

Laporan spesimen

- - - -

Tabel hasil pelaksanaan kegiatan praktek lapangan

Kesimpulan dan rekomendasi pertemuan evaluasi pelatihan penguatan kapasitas pengendalian KLB Rabies :

Kesimpulan

1. Perlu penambahan jumlah vaksin rabies untuk masing-masing Kabupaten;

2. Perlu dibentuk tim yang beranggotakan masing-masing Desa untuk vaksinasi rabies;

3. Petugas lapangan (vaksinator dan pengawas) perlu diberikan VAR karena berisiko tinggi;

4. Pelibatan tim pengawas dari babinkamtibmas dan babinsa sangat efektif;

5. Kendala jarak antar wilayah yang jauh dan kondisi jalan yang rusak merupakan tantangan yang cukup berat tetapi efektivitas vaksinasi sangat tinggi;

6. Sosialisasi dilakukan oleh Tim sangat efektif karena adanya pendampingan dari aparat;

7. Peluncuran dana dari APBN ke daerah dapat dilakukan dengan sayarat hal ini menjadi urusan wajib.

Rekomendasi

1. Perlu diberikan fasilitas penunjang untuk rantai dingin vaksin rabies; 2. Waktu pelaksanaan kegiatan yang

pendek sehingga tidak dapat mencakup seluruh wilayah;

3. Perlu surveilans untuk mengetahui hasil post vaksinasi;

4. Perlu dilakukan vaksinasi secara berulang untuk menurunkan kasus; 5. Model ini bisa diduplikasi di wilayah

(20)

halaman 1 - IV

BAB IV

GLOBAL HEALTH SECURITY AGENDA Tentang GHSA

GHSA muncul sebagai bentuk tanggapan atas meningkatnya kerentanan masyarakat global terhadap berbagai penyakit baru dan pandemi yang disebabkan oleh dampak negatif perubahan iklim, dan meningkatnya lalu lintas manusia dan hewan lintas negara. Global Health Security Agenda (GHSA) merupakan inisiatif global yang pada awalnya digagas oleh Amerika Serikat beserta negara-negara maju dan diluncurkan pada 13 Februari 2014. GHSA bertujuan memperkuat kapasitas untuk mendeteksi & merespon wabah penyakit menular, pandemi & bioterorisme, melalui implementasi International Health Regulations 2005 (IHR) yang lebih efektif. Isu GHSA bukan hanya kesehatan namun jg keamanan. Di negara AS dan Finlandia, Kementerian Pertahanan banyak berperan bersama kementerian lainnya. Lebih dari 40 Negara terlibat dalam GHSA.

Gambar skema GHSA

Pengorganisasian GHSA

Mekanisme koordinasi GHSA yang ada selama ini adalah terdiri dari Steering Group yang diketuai oleh Troika secara bergantian dalm 3 tahun pertama (AS tahun 2014,

Finlandia 2015 dan Indonesia 2016), kemudian ada Advisor yang terdiri dari organisasi-organisasi internasional, dan untuk menjalankan agenda maka dibuat paket-paket kegiatan (Action

(21)

halaman 2 - IV Package) yang terdiri dari 3

kelompok besar yaitu :

1. pencegahan outbreak/epidemi, 2. deteksi dini ancaman kesehatan

dan keamanan, dan

3. respon secara cepat dan efektif. Dan masing-masing kelompok mempunyai tujuan khusus.

3 (tiga) kelompok besar dibagi menjadi 11 Action Packages. Dalam mengkoordinasikan teknis kegiatan GHSA, maka ada Working Level Support Team yang merupakan tim multisektor termasuk focal points dari negara anggota Steering Group.

PERANGKAT ORGANISASI PERAN

TROICA

(Ketua sebelumnya, Ketua saat ini, Ketua yang akan datang)

STEERING GROUP (TROICA

+ 7 Negara lainnya)

1. Penjangkauan dengan negara mitra baru serta

penyandang dana

2. Sebagai penghubung dengan organisasi internasional seperti WHO, OIE dan FAO serta pemangku kepentingan internasional lainnya

3. Memfasilitasi komunikasi dengan negara-negara

pendukung GHSA

4. Membahas berbagai isu sebelum pertemuan tahunan tingkat menteri

ADVISOR (WHO, OIE, FAO,

Development Bank Fundation)

Memberi Nasehat

LEAD COUNTRIES Memimpin implementasi dan memantau pencapaian tujuan, replikasi model kerjasama dalam GHSA

WORKING LEVEL SUPPORT TEAM

1. Mengimplementasikan paket aksi

2. Membantu pemimpin paket aksi berhubungan dengan pemangku kepentingan non pemerintah, pendonor dan development bank

3. Pengukuran independen dan evaluasi

4. Menyiapkan laporan perkembangan untuk steering group 5. Menyiapkan dukungan rapat

Tabel peran perangkat organisasi GHSA

Posisi Indonesia

Pada 2016 Indonesia menjadi KETUA TROICA GHSA. Indonesia dipercaya menjadi lead country untuk Action Package Zoonotic Diseases dan contributing country untuk Linking Public Health with Law & Multisectoral Rapid Response. Hal ini karena Indonesia dianggap baik dalam pengendalian zoonosis secara multisektor. Indonesia juga menjadi contributing country untuk

Action Package AMR yang merupakan isu penting secara global dan nasional dan Action Package Real-Time Surveillace karena surveilans merupakan pintu masuk untuk pertukaran data yang sangat penting.

Kepentingan nasional dalam GHSA : 1. GHSA memiliki sumberdaya

(indikator, target, pendanaan pelaksanaan 11 action package) yg jelas sehingga bisa dijadikan peluang bagi Indonesia utk

(22)

halaman 3 - IV

memperkuat kapasitas

sumberdaya nasional.

2. Koordinasi pengendalian zoonosis di Indonesia telah menjadi contoh bagi negara lain

(pertemuan GHSA, September 2014 di shangri-laa).

3. Memperkuat posisi indonesia dalam diplomasi di bidang kesehatan.

PAKET AKSI POSISI INDONESIA

Prevent Antimicrobial Resistance Contributing Country

Zoonotic Disease Lead Country

Biosafety and Biosecurity Immunization

Detect National Laboratory System

Real-Time Surveillance Contributing Country

Reporting

Workforce Development Respond Emergency Operations Centers

Linking Public Health with Law and Multisectoral Rapid Response Contributing Country Medical Countermeasures and Personnel Deployment

Arahan Ibu Menko PMK dalam rakor tingkat menteri tentang GHSA :

1. Struktur SK Pokja Nasional yang sedang disusun adalah sebagai berikut : Menko Polhukam dan Menko PMK sebagai Pengarah; Penanggungjawab Menteri Kesehatan; Anggota 1 adalah Menteri Pertanian; Anggota 2 adalah Menteri Pertahanan; Anggota 3 adalah Menteri Luar Negeri;

2. Menkes hendaknya mengkaji kembali susunan pokja terkait tanggung jawab dan tugas dan perlu segera disosialisasikan; 3. Leading sector GHSA adalah

Menteri Kesehatan sebagai Ketua Troica;

4. Menyepakati bahwa posisi Indonesia adalah voluntary dan menekankan pada masalah kesehatan bukan masalah keamanan;

5. Setiap sektor hendaknya bekerjasama dan tidak mengambil kebijakan sendiri dalam implementasi GHSA sehingga pokja terkoordinir; 6. Struktur posisi pokja nasional

perlu disosialisasikan. Draf

Keppres hendaknya

(23)

halaman 1 - V

BAB V

SISTEM INFORMASI ZOONOSIS DAN EMERGING INFECTIOUS DISEASES (SIZE)

Dampak zoonosis dan emerging infectious diseases dapat dikurangi apabila dilakukan respon cepat sehingga penularan tidak meluas, untuk itu diperlukan sistem informasi terintegrasi yang dapat memberikan dukungan dalam proses pengambilan kebijakan secara cepat, tepat, dan akurat. Informasi perkembangan dari kegiatan pengamatan/surveilans zoonosis berada di Kementerian Kesehatan (data manusia) dan Kementerian Pertanian (data hewan), integrasi dari kedua sistem informasi ini diharapkan menjadi sinergi untuk mengurangi potensi terjadinya KLB atau wabah sehingga dampak zoonosis dapat dikurangi. Kemenko PMK sebagai koordinator dalam pengendalian zoonosis mengambil peranan lebih dengan menginisiasi integrasi SKDR (Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon) milik Kementerian Kesehatan dengan i-SIKHNAS (integrasi Sistem Kesehatan Hewan Nasional) sebagai pensuplai data utama dalam suatu sistem informasi yaitu Sistem Informasi Zoonosis dan Emerging Infectious Diseases (SIZE). SIZE juga untuk mewujudkan Nawacita khususnya ke 1 dan 2 yaitu :

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara

2. Membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola Pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya

Dalam pengembangan dan operasionalisasi SIZE diperlukan implementasi nilai-nilai revolusi mental yaitu : integritas, etos kerja dan gotong royong.

Gambar skema kepentingan integrasi data dan informasi dalam pengendalian zoonosis “semakin cepat data dan informasi diterima, maka respon multi sektor akan semakin baik sehingga dampak akan mengurangi dampak”

(24)

halaman 2 - V

Proses pengambilan keputusan

Integrasi sistem informasi telah dibahas sejak 15-17 Maret 2012 di Yogyakarta melalui rapat sistem data dan informasi zoonosis yang pada intinya rapat menyimpulkan perlunya integrasi sistem informasi yang sudah ada melalui pembentukan working group serta melakukan simulasi kesiapan sistem informasi dan data.

Rekomendasi Rakornas

Pengendalian Zoonosis 2014, 1 Oktober 2014 :

“Dibentuk sebuah sistem informasi peringatan dini potensi wabah zoonosis dan penyakit menular langsung lainnya yang terintegrasi (kesehatan, kesehatan hewan, karantina, keimigrasian dan

kepabeanan) dan mampu

menjangkau Perwakilan RI di Luar Negeri (KBRI, KJRI, Konsulat)” Rapat Koordinasi Tingkat Eselon I, 11 Desember 2014 :

1. Kemenkes dan Kementan sebagai pemilik sistem informasi teknis setuju agar diintegrasikan melalui SIZE;

2. Hal-hal teknis mengenai data, analisis dan alur informasi serta komunikasi dalam SIZE dibahas secara ilmiah melalui pusat studi zoonosis pada tahun 2015; 3. SIZE bagian dari sistem

informasi pemerintah dalam pengendalian zoonosis dengan akses terbatas.

Rapat Terbatas Eselon I, 4 September 2015 :

1. Seluruh K/L sepakat sebagai sistem strategis untuk segera selasai dibuat dalam 2,5 bulan kedepan;

2. Agar K/L menugaskan personel berkompeten untuk membahas secara teknis bersama tim pengembang SIZE;

3. Kemenko PMK akan bersurat agar K/L menugaskan pejabat yang secara teknis terlibat dalam pengembangan SIZE;

4. SIZE diperlukan untuk memperkuat kapasitas negara dalam pengendalian zoonosis dan pencegahan emerging infectious diseases.

Ibu Menko PMK mendukung pengembangan SIZE melalui penerbitan surat nomor B.89/ MENKO/ PMK/ IX/ 2015, tanggal 25 September 2015 perihal Sistem Informasi Zoonosis dan Emerging Infectious Diseases (SIZE) kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian. Yang secara garis besar menyampaikan :

1. Seluruh K/L sepakat SIZE sebagai sistem strategis untuk segera selesai dibuat dalam 2,5 bulan kedepan.

2. Masukan teknis dari K/L guna pengembangan SIZE dilakukan melalui forum pembahasan yang akan dilaksanakan oleh pengembang SIZE.

(25)

halaman 3 - V 3. SIZE diperlukan untuk

memperkuat kapasitas negara dalam pengendalian zoonosis dan pencegahan emerging infectious diseases.

Serta meminta Ibu Menteri Kesehatan dan Bapak Menteri Pertanian memfasilitasi tindak lanjut hasil koordinasi.

Konsep

SIZE adalah sebuah sistem informasi tertutup (pengguna terbatas) milik pemerintah guna memberikan peringatan dini

terhadap ancaman zoonosis dan emerging infectious diseases. SIZE akan menghimpun informasi secara otomatis dari sistem informasi yang

(26)

halaman 4 - V sudah ada di Kementerian

Kesehatan dan Kementerian Pertanian atau melalui input oleh pejabat berwenang di Kementerian lalu menganalisis dan memunculkan peringatan / alert. SIZE juga diharapkan mampu memfasilitasi koordinasi multi sektor guna melakukan antisipasi atau respon cepat suatu ancaman.

Tujuan Pengembangan SIZE untuk : • Memperluas akses informasi

perkembangan zoonosis

• Membantu percepatan respon lintas sektor KLB/ Wabah/ Pandemi zoonosis;

• Memperkuat sistim antisipasi emerging infectious diseases.

Concern utama dalam

pengembangan SIZE adalah :

1. Ketersediaan data yang meliputi: a. Kesinambungan suplai data; b. Data diperoleh secara

otomatis;

c. Kecepatan dan ketepatan analisis.

2. Ketersediaan, kesiapan dan

kemampuan SDM dalam

melakukan kuantifikasi berita deskriptif dan judgement dari rumor / partisipasi publik;

3. Kecepatan dan ketepatan dalam melakukan analisis dan judgement terhadap potensi kasus zoonosis dan emerging infectious diseases

a. Koordinasi suplai data untuk melakukan analisis;

b. Koordinasi antar panel ahli dan antar K/L.

Pelaksanaan pengembangan

Kemenko PMK bekerjasama dengan BPPT dan IPB guna pembangunan SIZE melalui mekanisme swakelola. Pembangunan SIZE dilaksanakan secara paralel antara IPB dengan BPPT. IPB melalui Pusat Kajian Pengendalian Zoonosis Nasional membuat proses bisnis SIZE sedangkan BPPT melalui BPPT Enjiniring c.q Neonet membangun sistem informasi.

Pengguna SIZE dikelompokkan menjadi 6 (enam) level, sedangkan alert dibagi menjadi 3 tingkatan, sebagai berikut :

1. Jenis penyakit: Rabies, anthraks, avian influenza, leptospirosis, brucellosis, dan emerging infectious diseases.

2. Tingkat peringatan (alert) dikategorikan menjadi 3 tingkat (siaga, waspada, dan bahaya) didasarkan pada status penyakit di wilayah, jumlah kasus, periode kasus, dan luas area kejadian penyakit

3. Tingkat pengguna: Ditentukan oleh status wilayah dan level alertnya.

(27)

halaman 5 - V

Gambar skema alur informasi SIZE

Tingkat Pengguna Akses Alert

Rabies pada wilayah tertular siaga waspada bahaya

1 Menteri / Ka. Lembaga Smartphone (android)

2 Eselon I Smartphone (android) 

3 Eselon II Smartphone (android)  

4 Eselon III Smartphone (android)   

5 Panel Ahli Desktop   

6 Sekretariat Desktop   

Rabies pada wilayah bebas

1 Menteri / Ka. Lembaga Smartphone (android) 

2 Eselon I Smartphone (android) 

3 Eselon II Smartphone (android)  

4 Eselon III Smartphone (android)  

5 Panel Ahli Desktop  

6 Sekretariat Desktop  

Emerging infectious diseases

1 Menteri / Ka. Lembaga Smartphone (android) 

2 Eselon I Smartphone (android)  

3 Eselon II Smartphone (android)  

4 Eselon III Smartphone (android)  

5 Panel Ahli Desktop  

6 Sekretariat Desktop  

Tabel contoh salah satu mekanisme munculnya alert / peringatan untuk rabies dan EID pada berbagai tingkat pengguna

(28)

halaman 6 - V

Gambar tampilan SIZE dengan akses desktop

(29)

halaman 1 - VI

BAB VI PETA RISIKO ZOONOSIS

Latar belakang

Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit (UU 24 tahun 2007). Indonesia secara garis besar memiliki 13 Ancaman Bencana. Ancaman tersebut adalah :

1. Gempabumi 2. Tsunami 3. Banjir

4. Tanah Longsor 5. Letusan Gunung Api

6. Gelombang Ekstrim dan Abrasi 7. Cuaca Ekstrim

8. Kekeringan

9. Kebakaran Hutan dan Lahan

10. Kebakaran Gedung dan Pemukiman

11. Epidemi dan Wabah Penyakit

12. Gagal Teknologi 13. Konflik Sosial

Zoonosis adalah penyakit menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya (UU 41 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan). Secara teknis jenis-jenis anaman penyakit yang bersifat zoonosis yang menjadi prioritas dan bernilai strategis serta dapat menimbulkan wabah telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan.

KEPMENTAN NO 4971/Kpts/OT.140/12/2013 Tentang Penetapan Zoonosis Prioritas KEPMENTAN No. 4026/Kpts/OT.140/04/2013

Tentang Penyakit Hewan Menular Strategis

PERMENKES No. 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu

Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan

1. Flu Burung/ Avian Influenza 2. Rabies 3. Antraks 4. Japanese Encephalitis 5. Salmonellosis 6. Leptospirosis 7. Bovine Tubercullosis 8. Pes 9. Toksoplasmosis 10. Brusellosis 11. Paratubercullosis 12. Echinococcosis 13. Taeniasis 14. Scabies 15. Trichinellosis 1. Avian Influenza 2. Rabies 3. Anthrax 4. Salmonellosis 5. Leptospirosis 6. Bovine TB 7. Toxoplasmosis 8. Brucellosis (B. abortus) 9. Para TB 10. Swine Influenza 11. Nipah 12. Brucellosis (B. suis) 13. Campylobacteriosis 14. Cysticercosis 15. Q Fever 16. Bovine Spongiform Encephalopaty* (ancaman dari luar/EID) 17. Rift Valley Fever*

(ancaman dari luar/EID)

1. Kolera

2. Pes

3. Demam Berdarah Dengue 4. Campak 5. Polio 6. Difteri 7. Pertusis 8. Rabies 9. Malaria 10. Avian Influenza H5N1 11. Antraks 12. Leptospirosis 13. Hepatitis

14. Influenza A baru (H1N1)/Pandemi 2009 15. Meningitis

16. Yellow Fever 17. Chikungunya

Rencana strategis Pengendalian Zoonosis Nasional Terpadu 2012-2017 mencantumkan 6 (enam) zoonosis yang perlu dikendalikan secara

terkoordinasi multi sektor berdasarkan dampak yang dapat ditimbulkan yaitu :

1. Flu Burung/ Avian Influenza 2. Rabies

(30)

halaman 2 - VI 3. Antraks

4. Leptospirosis 5. Pes

6. Brucellosis

7. Emerging infectious diseases (70% bersifat zoonosis

Gambar skema dampak zoonosis

Kepala BNPB telah mengatur melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, yang bertujuan untuk :

1. Memberikan panduan yang memadai bagi setiap daerah dalam mengkaji risiko setiap bencana yang ada di daerahnya;

2. Mengoptimalkan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu daerah dengan berfokus kepada perlakuan beberapa parameter risiko dengan dasar yang jelas dan terukur;

3. Menyelaraskan arah kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam kesatuan tujuan.

Fungsi Pengkajian Risiko Bencana :

1.

Pada tatanan pemerintah, hasil dari

pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk

menyusun kebijakan

penanggulangan bencana.

Kebijakan ini nantinya merupakan dasar bagi

penyusunan Rencana

Penanggulangan Bencana yang merupakan mekanisme untuk mengarusutama- kan penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan; 2. Pada tatanan mitra pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk melakukan aksi

pendampingan maupun

intervensi teknis langsung ke komunitas terpapar untuk mengurangi risiko bencana. Pendampingan dan intervensi para mitra harus dilaksanakan dengan berkoordinasi dan tersinkronasi terlebih dahulu dengan program

pemerintah dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana;

3. Pada tatanan masyarakat umum, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai salah satu dasar untuk menyusun aksi praktis dalam rangka kesiapsiagaan, seperti menyusun rencana dan jalur evakuasi, pengambilan keputusan daerah tempat tinggal dan sebagainya.

Meskipun jumlah kejadian zoonosis relatif sedikit namun kejadian berlangsung secara sporadis dan memiliki angka fatalitas yang tinggi (lebih dari 30-100%) serta dengan sifat menular maka suatu waktu dapat

(31)

halaman 3 - VI menjadi permasalahan kesehatan

masyarakat yaitu Kejadian Luar Biasa / epidemi atau bahkan Wabah yang berdampak luas. Untuk itulah diperlukan sebuah kajian/analisis risiko dengan menggunakan indikator yang

sudah ada pada aspek kesehatan dan

kesehatan hewan, untuk

mengoptimalkan pengendalian zoonosis dan menyelaraskan arah kebijakan.

Maksud dari pengembangan aplikasi peta risiko adalah

1. Mendapatkan informasi mengenai potensi KLB/Wabah Zoonosis di Indonesia; 2. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan nasional dalam pengendalian

zoonosis.

Tujuan dari pengembangan aplikasi peta risiko adalah

1. Memfasilitasi Pemerintah daerah dalam melakukan analisis risiko 2. Memetakan provinsi terhadap potensi KLB/Wabah zoonosis

3. Mendukung pengembangan program guna mitigasi risiko KLB/Wabah zoonosis 4. Memberi masukan / rekomendasi bagi pengambil kebijakan di daerah dalam

pengendalian zonosis

Gambar skema peta risiko dan jejaring koordinasi pengendalian zoonosis

Analisis Risiko

Kemenko PMK menginisiasi penyusunan sebuah peta risiko zoonosis dengan menggunakan konsep umum analisis risiko bencana, yaitu :

(32)

halaman 4 - VI Konsep umum tersebut diturunkan menjadi indikator-indikator, sebagai berikut :

ANCAMAN KERENTANAN KAPASITAS

Wabah penyakit / epidemi  zoonosis

Eksposure x Sensitivity SDM, Metode, pedoman,

prasarana, sarana, logistik • Hazard severity

• Insidensi • CFR (manusia)

• Kecepatan Penularan (Hewan ke Manusia / sebaliknya) • Daya tahan patogen

• Dampak (ekonomi, korban jiwa, lingkungan)

• Kepadatan populasi (hewan dan manusia) • Cakupan vaksinasi • Kelompok rentan • Rasio kemiskinan • Kelembagaan • Unit pelayanan

• Ketersediaan Obat dan Vaksin • Rantai dingin vaksin

• Sumber daya manusia • Kebijakan

• Program • Koordinasi • PDRB

Proses pengembangan peta risiko zoonosis dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :

Gambar skema peta risiko zoonosis

Indikator yang digunakan dipilih dari beberapa indikator pada aspek kesehatan dan kesehatan hewan. Sumber data yang digunakan dalam pengisian indikator berasal dari :

1. Data perkembangan Zoonosis (SKPD); 2. iSIKHNAS;

3. Profil Kesehatan;

4. Data BPS (Demografi, Pendapatan per kapita, Geografi); 5. Data BBVet. pemilihan Indikator Pembobotan (expert opinion) Penghitungan Sistem IT Workshop dan gap analysis

(33)

halaman 5 - VI Saat ini aplikasi peta risiko zoonosis

diperuntukan pada tingkat provinsi oleh karena sifat ancaman yang dinamis, namun dimungkinkan apabila dikembangkan pada tingkat Kabupaten dan Kota.

Pengembangan Teknologi Informasi

Teknologi informasi yang

dikembangkan berbasis web. Aplikasi dibangun dengan spesifikasi sebagai berikut :

1. Tingkatan pengguna (pusat dan daerah), pusat bertindak sebagai super admin, sedangkan daerah terdiri dari dua level yaitu super user dan user (maksimum 3 orang); 2. Super user dan user diharuskan

melakukan registrasi sebelum dapat mulai mengisi aplikasi, sedangkan super user dan super admin melakukan verifikasi

terhadap user yang melakukan regisitrasi;

3. Indikator ditentukan oleh stake holder di kementerian / lembaga dan panel ahli (pakar);

4. Aplikasi dirancang dapat memfasilitasi adanya perubahan indikator yang dilakukan oleh super admin (pusat);

5. Penggunaan aplikasi dapat secara online melalui internet explorer, google chrome, mozilla firefox atau opera;

6. Selain secara online user dapat melakukan pengisian aplikasi secara offline untuk kemudian mengirimkan data secara manual kemudian dilakukan impor data oleh super admin (pusat).

Gambar tampilan desktop aplikasi peta risiko

(34)

halaman 6 - VI

Gambar proses registrasi, verifikasi, input data dan keluaran aplikasi (peta dan hasil perhitungan masing-masing indeks risiko) Gambar skema pengorganisasian operasionalisasi aplikasi peta risiko

(35)

halaman 7 - VI

No PROVINSI HADIR TIDAK MASUKAN GAP

SISTEM INDIKATOR 1 Aceh √ • Pengembangan untuk diterapkan sampai dengan Kabupaten / Kota • Kesesuaian indikator yg ada di sistem

• Input dalam sistem

belum stabil

Ancaman

• Pemasukan hewan • Data input kasus AI

(SKPD+BBVet)

• Data input kasus rabies (GHPR/Lyssa) Kerentanan • Sosial budaya berpengaruh • Sinkronisasi bahasa (coverage / kekebalan) • Satus daerah tetangga

Kapasitas

• Kapasitas lab & sarana

2 Sumatera Utara √ 3 Sumatera Barat √ 4 Sumatera Selatan √ 5 Riau √ 6 Kepulauan Riau √ 7 Jambi √ 8 Bengkulu √ 9 Bangka Belitung √ 10 Lampung √

Tabel gap analysis hasil uji coba pengoperasian aplikasi peta risiko zoonosis se sumatera

PANEL AHLI KATEGORI MASUKAN

1. Dr. drh. Agus

Wiyono

2. Dr. drh. Heru

Setijanto

Ancaman • Menambahkan keterangan dalam indikator

ancaman AI (village based)

Kerentanan • Indikator lalu lintas hewan dan produk hewan

• Ada tidaknya faktor budaya yang mempengaruhi

Kapasitas • Memasukkan indikator kapasitas pemberdayaan

masyarakat

• Memasukkan indikator kemampuan identifikasi

laboratorium

• Program koordinasi zoonosis (komda)

Tabel masukan pembahas (Panel Ahli Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis) pada uji coba pengoperasian aplikasi peta risiko zoonosis se Sumatera

Gambar skema rencana tindak lanjut operasional-isasi aplikasi

Gambar

Tabel  Capaian  Program  Pembebasan  Rabies 2015  No  Keputusan  Mentan  Jenis Penyakit  1  239/Kpts/PD.6 50/4 /2015  Tanggal 7  April 2015  Pernyataan Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau  bebas  dari penyakit anjing gila  (Rabies)
Diagram  jumlah  kejadian  kematian  unggas  akibat Avian Influenza H5N1 sejak 2007 s/d  November 2015 (Sumber : Kementan)
Gambar Struktur Komando Tanggap Darurat Pengendalian  dan Penanggulangan KLB Rabies di Provinsi Kalimantan Barat
Gambar skema dan tabel peran kolaborasi pelatihan  Pelatihan 1. Duk. VAR Pre exposure 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk setiap kereta api , bobot penalti ke- terlambatan per menit untuk saat kedatangan yang baru terhadap saat kedatangan baku pada per- jalanan terakhir

Algoritma asimetris disebut juga dengan kriptografi kunci publik karena algortima ini memiliki kunci yang berbeda untuk enkripsi dan dekripsi, dimana enkripsi

Data Masukan Yang Diharapkan Pengamatan Kesimpulan Id Permintaan : (kosong) Id Barang : 100001 Jumlah : 100 Id Pengguna : 10004 Ketika menekan tombol Tambah maka

(1) Bidang Fasilitasi Pembiayaan mempunyai tugas merencanakan, melaksanakan pembinaan dan koordinasi serta pengawasan dan pengendalian, monitoring dan evaluasi

Ambilan oleh hepar paling besar pada liposom dengan muatan netral, sedangkan pada liposom dengan muatan positif dan negatif mempunyai laju yang sama akan tetapi tidak

Untuk sistem atau campuran yang sama, nilai koefisien difusi cairan merupakan fungsi konsentrasi.. BEBERAPA KEADAAN KHUSUS DIFUSI MOLEKULER ANTARA

Algoritma K-Means Clustering mampu mengelompokan data DAS menjadi beberapa kelompok sesuai kemiripan dan karekteristik masing-masing dengan Tingkat validasi data

Pelatihan jaringan saraf tiruan diawali dengan input foto daun yang diproses menggunakan metode pengolahan citra digital yang diterapkan Xiao-Feng Wang et al., kemudian