• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Emotional Expression of Families who have Schizophrenic Clients

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The Emotional Expression of Families who have Schizophrenic Clients"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPRESI EMOSI KELUARGA PADA KLIEN SKIZOFRENIA

Efri Widianti*, Annisa Susanti Karmansyah, dan Desy Indra Yani

Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung-Sumedang KM. 21, Hegarmanah, Jatinangor, Hegarmanah, Kec. Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Indonesia 45363

*efri358@gmail.com ABSTRAK

Kekambuhan pada klien skizofrenia masih banyak terjadi pada setiap tahunnya terutama pada pasien yang melakukan perawatan di rumah Dalam merawat pasien dengan skizofrenia, tidak sedikit keluarga merasakan adanya beban perawatan yang berujung pada ekspresi emosi yang tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi ekspresi emosi keluarga pada klien skizofrenia di Desa Kersamanah Kabupaten Garut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Responden penelitian ini adalah keluarga dengan pasien skizofrenia. Jumlah pasien skizofrenia 33 orang dan jumlah keluarga klien skizofrenia 140 orang. Sampel pada penelitian didapatkan dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu 69 orang. Penelitian ini menggunakan kuesioner Family Questionnaire (FQ) dengan nilai reliabilitas 0,897. Analisa data dengan menggunakan statistik deskriptif dalam bentuk persentase.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 65 (94,2%) responden memiliki ekspresi emosi yang rendah, dan sebanyak 4 (5,8%) responden memiliki ekspresi emosi yang tinggi. Aspek yang dominan dimiliki oleh responden dengan ekspresi emosi yang tinggi pada penelitian ini adalah emotional over involvement. Simpulan dari penelitian ini menunjukkan hampir seluruh dari keluarga klien skizofrenia di Desa Kersamanah memiliki ekspresi emosi yang rendah. Hal ini terjadi karena ekspresi emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama dipengaruhi oleh budaya setempat. Hasil penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan mengkaji kembali faktor-faktor yang lebih dominan terhadap ekspresi emosi keluarga skizofrenia.

Kata kunci : ekspresi emosi; keluarga; skizofrenia

THE EMOTIONAL EXPRESSION OF FAMILIES WHO HAVE SCHIZOPHRENIC CLIENTS

ABSTRACT

Recurrence in schizophrenic clients is still prevalent in every year, especially in the patients who perform home care. When treating patients with schizophrenia, some families feel the burden of treatment that led to high emotional expression. This study purpose to identify the emotional expression of families who have schizophrenic clients in Kersamanah, Garut. The design of study is quantitative descriptive with the number of respondents 69 family members who live with pastients with schizophrenia, using purposive sampling. This study used Family Questionnaire (FQ) with a reliability value of 0.897. Data analysis using descriptive statistics in percentage form. The results showed that 65 (94.2%) respondents had low emotional expression, and 4 (5.8%) respondents had high emotional expression. The dominant aspect possessed by the respondent with high emotional expression in this research is emotional over involvement. The findings of this study depicted that expression of emotions is influenced by several factors, especially by local cultures.

Keywords: emotional expression, familly, schizophrenia PENDAHULUAN

Data World Health Organizition (WHO) tahun 2016, prevalensi skizofrenia di dunia menempati posisi ketiga tertinggi dengan

jumlah 21 juta orang. Begitu juga di Indonesia penderita skizofrenia masih tinggi dengan jumlah seluruh penderita adalah 1.728 orang, dengan jumlah terbanyak

(2)

peringkat ketiga berada di Provinsi Jawa Barat yang mencapai 1,6 dari 1000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Ho, Black dan Andreasen (2003, dalam Townsend & Morgan, 2009) mengemukakan bahwa skizofrenia merupakan penyakit yang paling membingungkan, dan paling mengancam jiwa, serta penyakit yang paling merusak. Selain itu, klien skizofrenia akan terhambat dalam menjalani kehidupan normal, seperti sekolah, berteman, menikah, dan memiliki keturunan (Townsend & Morgan, 2009). Klien skizofrenia tidak jarang melakukan usaha bunuh diri (Pompili, et.al, 2009).). Hal ini dapat terjadi pada klien skizofrenia saat sedang mengalami kekambuhan.

Kekambuhan skizofrenia ditandai dengan munculnya kembali tanda dan gejala yang sebelumnya telah mengalami kemajuan (Stuart, 2013). Faktor yang dapat menimbulkan kekambuhan dapat berasal dari pasien sendiri yaitu penyalahgunaan zat dan ketidakpatuhan klien dalam pengobatan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan dukungan keluarga (Kazadi, Moosa, & Jeenah, 2008). Adapun faktor keluarga yang berhubungan dengan kekambuhan adalah kualitas hidup keluarga atau caregiver, pengetahuan yang kurang mengenai skizofrenia, kurangnya dukungan dari keluarga atau caregiver, faktor finansial, dan ekspresi emosi keluarga(Fervaha, Foussias, Agid & Remington, 2014; Kelly, Lamont & Brunero, 2010; Ripke, et. al, 2013) ). Menurut penelitian lain, kekambuhan pada klien skizofrenia dapat berkurang dari 65% menjadi 25% dengan adanya perawatan maksimal dari keluarga selama berada di rumah (Buckley, 2006). Keluarga merupakan orang terdekat yang sangat bertanggung jawab atas keberlangsungan perawatan klien skizofenia di rumah atau dikenal sebagai

family caregiver.

Individu yang menjadi seorang family caregiver bukanlah hal yang mudah dan ringan, sangat diperlukan pengetahuan, kemauan, pengabdian dan kesabaran. Penambahan peran sebagai pengasuh penderita penyakit kronis seperti skizofrenia dapat menyebabkan timbulnya beban pada keluarga yang dapat memengaruhi kondisi fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi (Srivastava, 2005). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Malaysia tahun 2010, menyatakan bahwa 80% dari caregiver

yang menyediakan perawatan rutin merasa terbebani, 71% melaporkan sering terjadi ketegangan komunikasi di antara anggota keluarga (Shah, Wadoo, O, & Latoo, 2010). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi beban kronis dalam perawatan penderita skizofrenia menunjukkan hasil yang cenderung dapat menimbulkan ekspresi emosi tinggi (Darwin, 2013; Srivastava, 2005, Yusuf, Nuhu, & Akinbiyi, 2009). Emosi yang diungkapkan oleh keluarga dapat menimbulkan dampak buruk bagi klien skizofrenia.

Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa eskpresi emosi keluarga meningkatkan resiko kekambuhan pada klien skizofrenia (Lefley, 2009; Marchira, Sumarni, & Lusia, 2008; Perdede, Sirait, Riandi, Emanual & Laia, 2016; Prihandini, 2012). Begitu juga dengan hasil penelitian mengenai hubungan pola asuh dan ekspresi emosi keluarga dengan kekambuhan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, ekspresi emosi berpeluang 16,9 kali lebih besar memunculkan kekambuhan dengan persentasi sebesar 75,1% daripada variabel lainnya (Handayani & Nurwidawati, 2013). Selain dapat menimbulkan kekambuhan, ekspresi emosi juga dapat menyebabkan episode pertama psikosis( Álvarez-Jiménez, et. Al, 2010).

(3)

Ekspresi emosi (EE) merupakan persepsi dalam bentuk verbal dan non verbal. Menurut Vaughn (1989, dalam Álvarez-Jiménez et al., 2010), EE dapat dijadikan aspek untuk menentukan efektivitas dalam komunikasi interpersonal. Ekspresi emosi dalam keluarga skizofrenia diklasifikasikan berdasarkan dua domain utama yaitu critical comments (CC) yaitu memberikan pendapat dengan nada suara yang ketus, atau berupa komentar yang menyalahkan pasien; dan

emotional over involvement (EOI) yaitu emosional yang diungkapkan keluarga berlebihan dan mendalam seperti perilaku overperotektif dan menunjukkan ekspresi kesedihan sehingga membuat anggota keluarga merasa sangat bersalah pada kejadian yang menimpa pasien (Wiedemann, Rayki, Feinstein, & Hahlweg, 2002). Kedua domain ini cukup dapat menggambarkan ekspresi emosi pada keluarga skizofrenia. Keluarga yang merawat klien skizofrenia banyak ditemui pada salah satu desa yang bertempat di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Peneliti melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Sukamerang angka gangguan jiwa termasuk angka penderita skizofrenia tidak mengalami penurunan pada setiap tahunnya, dikarenakan terjadinya kekambuhan dan adanya pasien baru. Wilayah kerja Puskemas Sukamerang mencakup enam desa yaitu Desa Kersamanah, Nanjungjaya, Sukamerang, Girijaya, Sukamaju, dan Mekarjaya. Dari data sekunder puskesmas, pada saat ini bulan September tahun 2017 mencapai 143 klien mengalami gangguan jiwa yang didominasi dengan penyakit skizofrenia sebanyak 90 klien. Hasil dari wawancara pada kader-kader di wilayah kerja Puskesmas Sukamerang tanggal 20 Desember 2017, didapatkan data kekambuhan terbanyak pada 3 bulan terakhir ditempati oleh Desa

Kersamanah yaitu 8 pasien skizofrenia dan 1 orang pasien baru.

Desa Kersamanah masih menempati urutan pertama dalam data yang dimiliki Puskesmas Sukamerang untuk prevalensi skizofrenia, yaitu 33 klien. Peneliti melakukan studi pendahuluan kembali dengan mewawancarai salah satu keluarga pasien skizofrenia di Desa Kersamanah. Hasil wawancara tersebut didapatkan bahwa keluarga pasien sering merasa lelah, kesal dan malu saat pasien mengalami kekambuhan. Namun keluarga juga merasa terbebani dalam merawat pasien ketika mengalami kekambuhan, karena mengganggu aktivitas keluarga ataupun lingkungan masyarakat. Sikap keluarga ketika pasien mengalami kekambuhan yaitu menghindari pasien dan berusaha tidak berkomunikasi dengan pasien untuk meredakan emosinya. Sikap keluarga yang menghindari pasien saat sedang mengalami kekambuhan menggambarkan adanya salah satu domain ekspresi emosi yaitu critical comment.

Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa keluarga klien skizofrenia rentan memiliki ekspresi emosi yang tinggi pada penderita skizofrenia di Desa Kersamanah. Penelitian mengenai ekspresi emosi keluarga pada klien skizofrenia belum pernah diteliti di Desa Kersamanah, maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti ekspresi emosi keluarga pada klien skizofrenia di Desa Kersamanah. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi ekspresi emosi keluarga pada klien skizofrenia di Desa Kersamanah, Kabupaten Garut.

METODE

Penelitian ini disetujui oleh komisi etik penelitian Universitas Padjadjaran (258/UN6.KEP/EC/2018). Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif.

(4)

Sampel diambil menurut beberapa kriteria inklusi yaitu; tinggal satu rumah bersama dengan klien skizofrenia; anggota keluarga sudah memasuki usia minimal dewasa muda (18 tahun); mempunyai ikatan perkawinan, ikatan darah, maupun ikatan adopsi; dan mampu berkomunikasi dengan baik. 69 anggota keluarga dari 140 anggota keluarga dalam 33 keluarga dengan klien skizofrenia secara sukarela berpartisipasi dalam penelitian ini.

Data dikumpulkan menggunakan self report scale pada instrumen Family Questionnaire

(FQ) yang terdiri dari 20 item pernyataan dengan dua domain didalamnya yaitu critical comment (CC) dan emotional over involvement (EOI). Dalam setiap kuesioner yang diberikan pada responden terdiri dari tiga bagian pengisian. Bagian pertama merupakan data demografi, kriteria, dan aktivitas klien skizofrenia yang diberikan pada salah satu reponden yang satu rumah dengan klien skizofrenia tersebut. Bagian kedua fokus pada sosio-demografi setiap reponden penelitian seperti usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status pernikahan, lama interaksi dengan klien skizofrenia, dan hubungan dengan klien. Bagian ketiga mengidentifikasi mengenai ekspresi emosi yang dirasakan oleh keluarga pada klien skizofrenia. Bagian ini dinilai dengan menggunakan empat poin skala likert dengan kategori penilaian yiatu, (0) tidak pernah/sangat jarang; (1) jarang; (2) sering; dan (3) sangat sering. Uji validitas telah dilakukan oleh Nurtantri (2005) dengan menggunakan validitas diskriminan yang menghasilkan sensitivitas 95,5%, spesifisitas 93,8%, dan akurasi 94,3% serta dilakukan secara judgemental oleh expert dan melalui analisis faktor sebagai valisditas konstruksi. Uji reliabilitas dilakukan di Desa Nanjungjaya pada 20 orang yang memiliki

karakteritik sama dengan reponden pada penelitian ini dengan menggunakan rumus

Alpha Croncbach. Hasil uji reliabilitas keseluruhan sangat baik yaitu 0,897. Uji distribusi frekuensi digunakan untuk menggambarkan karakteristik klien dan keluarga, serta ekspresi emosi keluarga pada klien skizofrenia di Desa Kersamanah. Ekspresi emosi dinilai tinggi dari satu atau kedua domain menunjukkan skor diatas titik

cut-off atau ekspresi emosi keluarga dikatakan rendah ketika kedua total skor pada domain CC dan EOI ≤ 23, dan ekspresi emosi keluarga dikatakan tinggi ketika satu atau kedua domain memiliki total skor > 23. Hasil ekspresi emosi ditabulasikan dengan menggunakan analisis persentase frekuaensi yang disajikan dengan frekuensi dan persentase (%).

HASIL

Karakteristik Klien Skizofrenia

Terdapat 33 keluarga dengan klien skizofrenia di Desa Kersamanah. Semua klien skizofrenia tersebut terlibat dalam penelitian ini. Didapatkan 21 klien (63,3%) adalah laki-laki dengan rata-rata lama sakit 11,8 tahun, dan memiliki riwayat rawat inap 1,03 kali dengan frekuensi kekambuhan rata-rata 3,24 kali dalam satu tahun. Hampir setengahnya dari klien (42,4%) tidak melakukan aktivitas apapun di rumah. Begitu juga dengan gejala yang timbul masih banyak terlihat pada klien skizofrenia pada penelitian ini seperti berbicara sendiri (45,5%), menyakiti diri sendiri/orang lain (3%), menyendiri (51,5%), mudah marah (45,5%), mudah tersinggung (36,4%), keluyuran (27,3%), dan tidak menjaga kebersihan diri (27,3%).

Karakteritik Keluarga Klien Skizofrenia

Dari 140 anggota keluarga pada 33 klien skizofrenia di Desa Kersamanah, didapatkan 69 orang yang memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini dan bersedia

(5)

menyelesaikan kuesioner dengan tingkat tanggapan 100%. Hampir setengah dari responden (63,8%) berjenis kelamin perempuan. Rata-rata usia responden pada penelitian ini adalah 49,65 tahun (SD ± 16,773) dengan usia minimum 18 tahun, dan maksimum 87 tahun. Sebanyak 82,6% responden memiliki pasangan Riwayat pendidikan 76,8% responden hanya sampai pada pendidikan wajib (SD dan SMP).

Sebanyak 33,3% responden bekerja dengan 78,3% memiliki pendapatan dibawah UMR Kabupaten Garut. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama dengan klien skizofrenia ada 4 sampai dengan 5 orang dengan 85,5% responden memiliki hubungan darah dengan klien skizofrenia. Lama interaksi responden dengan klien skizofrenia rata-rata 6,81 hari/minggu dan 13,9 jam/hari.

Tabel 1.

Karakteritik keluarga klien skizofrenia (n=69)

Karakteristik f % Jenis Kelamin Laki-laki 25 36,2 Perempuan 44 63,8 Usia (tahun) (M = 49,65) (SD ± 16,773) Dewasa (18-45) 29 42 Lansia (> 45) 40 58 Suku Jawa 2 2,9 Sunda 67 97,1 Pendidikan Pendidikan Wajib 53 76,8 Pendidikan Lanjutan 16 23,2 Pekerjaan Bekerja 23 33,3 Tidak Bekerja 46 66,7 Pendapatan Tidak Berpendapatan 11 15,9 Dibawah UMR 54 78,3 UMR 4 5,8 Status Pernikahan Berpasangan 57 82,6 Tidak Berpasangan 12 17,4

Jumlah orang di rumah (M = 4,86) (SD ± 1,817)

Lama Interaksi

≤ 5 jam 22 31,9

> 5 jam 47 68,1

Hubungan dengan Klien

Ikatan Darah 59 85,5

(6)

Tabel 2.

Crostabs karakteristik dengan ekspresi emosia keluarga (n=69) Variabel Ekspresi Emosi Tinggi Rendah f % f % Jenis Kelamin Laki-laki 1 4 24 96 Perempuan 3 6,8 41 93,2 Usia Dewasa (18-45 tahun) 1 3,4 28 96,6 Lansia (> 45 tahun) 3 7,5 37 92,5 Suku Jawa 1 50 1 50 Sunda 3 4,5 64 95,5 Pendidikan Wajib 4 7,5 49 92,5 Tambahan 0 0 16 100 Pekerjaan Bekerja 1 4,3 22 31,9 Tidak Bekerja 3 6,5 43 93,5 Pendapatan Tidak berpendapatan 3 27,3 8 72,7 Dibawah UMR 1 1,9 53 98,1 pUMR 0 0 4 100 Status Pernikahan Berpasangan 3 5,3 54 94,7

Tidak mempunyai pasangan 1 8,3 11 91,7

Hubungan Kekerabatan

Ikatan Darah 3 5,1 56 94,9

Bukan Ikatan Darah 1 10 9 90

Lama Interaksi (jam/hari)

≤ 5 jam 0 0 22 100

> 5 jam 4 8,5 43 91,5

Lama Pasien Sakit

< 1 tahun 0 0 2 100 1 – 5 tahun 0 0 20 100 6 – 10 tahun 3 13,6 19 86,4 > 10 tahun 1 4 24 96 Rawat inap Tidak pernah 1 3,2 30 96,8 Pernah 3 7,9 35 92,1 Frekuensi Kekambuhan ≤ 2 kali 2 4 48 96 > 2 kali 2 10,5 17 89,5

(7)

Tabel 3.

Ekspresi emosi keluarga klien skizofrenia (n=69)

Ekspresi Emosi Tinggi Rendah

f % f %

Critical Comment (CC) 1 1,4 68 98,6

Emotional Over Involvement (EOI) 4 5,8 65 94,2

Total EE 4 5,8 65 94,2

Ekspresi Emosi Keluarga

Hasil penelitian ini ditemukan 64 (94,2%) responden memiliki ekspresi emosi yang rendah pada klien skizofrenia. Hasil penelitian ini juga menunjukkan dari 4 responden yang memiliki ekspresi emosi tinggi dari total 69 responden. Semua responden yang memiliki ekspresi emosi yang tinggi (100%) mimiliki nilai yang tinggi pula pada dimensi emotional over involvement. Namun 1 responden (25%) dari yang memiliki ekspresi emosi tinggi memiliki nilai yang tinggi juga pada aspek

emotional over involvemen dan critical comment (tabel 3).

PEMBAHASAN

Penelitian ini mengungkapkan bahwa mayoritas keluarga di Desa Kersamanah memiliki ekspresi emosi yang rendah pada klien skizofrenia. Hasil yang hampir sama dengan penelitian di Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat, didapatkan hasil bahwa ekspresi emosi keluarga penderita skizofrenia cenderung rendah dengan persentasi 60,4% yaitu sebanyak 55 orang dari 91 responden (Ginting, 2014). Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di RSJ. Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan sebanyak 64 dari 88 responden (72,7%) memiliki ekspresi emosi yang rendah (Perdede, Sirait, Riandi, Emanual, & Laia, 2016). Namun berbeda dengan hasil penelitian di Pakistan menunjukkan 75% anggota keluarga mempunyai EE tinggi (Ikram, Suhail, Jafery, & Singh, 2011). Perbedaan hasil ini menandakan bahwa ekspresi emosi

dipengaruhi oleh budaya setempat (Kurniawan & Hasanat, 2007).

Budaya yang dapat memengaruhi ekspresi emosi salah satunya adalah budaya negara atau tempat seseorang tinggal. Penelitian mengenai ekspresi emosi antar lintas budaya dengan membandingkan ekspresi emosi antara orang Amerika (United State) dan Kanada yang memiliki budaya individualis dengan orang Jepang yang memiliki budaya kolektivistik. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa budaya individualis lebih terbuka dalam mengekspresikan emosi dibandingkan dengan orang Jepang yang menganut budaya kolektivistik (Safdar, Friedlmeier, Matsumoto, & Kwantes, 2009). Masyarakat Indonesia juga cenderung memiliki budaya kolektivistik yang lebih banyak berkomunikasi secara implisit (Hartanto, 2009).

Pada penelitian ini mayoritas reponden berasal dari suku sunda (97,1%) dan sisanya berasal dari suku jawa. Di Indonesia, Orang Jawa dan Sunda dianggap memiliki karakter halus dan sopan (Kurniawan & Hasanat, 2007). Penelitian lain menyatakan bahwa orang yang berasal dari Suku Sunda cenderung tidak mengekspresikan suatu emosi negatif seperti marah atau mencela,

namun lebih memilih untuk

menyembunyikan dengan senyum atau mengekspresikannya dengan intensitas yang lebih rendah (Rembani, 2009). Selain budaya, pada penelitian ini juga dapat melihat gambaran beban perawatan keluarga skizofrenia melalui karakteristik yang

(8)

dimiliki oleh responden (tabel 1) yaitu pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Mayoritas responden (76,8%) pada penelitian memiliki riwayat pendidikan hanya sampai pendidikan wajib. Salah satu penelitian mengatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki korelasi negatif dengan beban perawatan, sehingga pada responden dengan tingkat pendidikan yang rendah memiliki beban perawatan yang tinggi (Juvang, Lambert, & Lambert, 2007).

Pendapatan rendah juga merupakan sebuah masalah finansial yang dapat meningkatkan beban perawatan, karena disamping memberikan perawatan, responden juga perlu memecahkan masalah biaya pengobatan. Pada penelitian ini 66,7% responden tidak memiliki pekerjaan dengan 15,9% tidak memiliki pendapatan dan 78,3% berpendapatan dibawah UMR kota Garut. Sedangkan rata-rata jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah adalah 4,86 orang (SD ± 1,817). Dari data yang telah didapatkan terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki beban perawatan yang besar, hal tersebut berdampak pada adanya ekspresi emosi yang tinggi pada responden dalam penelitian ini.

Anggota keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (5,8%) ditemukan bahwa aspek

emotional over involvement (EOI) merupakan aspek yang ditemukan pada semua responden yang memiliki ekspresi emosi yang tinggi (tabel 2). EOI merupakan respon emosi yang berlebihan terhadap penyakit klien, yang terdiri dari unsur

overprotection, pengorbanan diri yang berlebih dan sikap peduli yang tinggi (Hooley, Gruber, Parker, Guillaumot & Rogowska, 2010).

Responden pada penelitian ini 40% sering mengalami ketegangan, suatu hal yang dapat dikatakan sebuah stressor. Namun 67,7%

pengekspresiannya jarang dengan menunjukkan kemarahan pada klien. Peneliti berasumsi hal ini dapat disebabkan oleh strategi koping yang digunakan responden. Didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut yang mengatakan bahwa sebagian anggota keluarga dari klien gangguan jiwa berat lebih cenderung menggunakan emotional focused coping,

artinya keluarga melakukan usaha untuk menghadapi stress dengan cara mengatur respon emosionalnya untuk menyesuaikan diri dari dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh pasien (Wanti, Widianti, & Fitria, 2016).

Ada penelitian lainnya yang mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan ekspresi emosi antar generasi usia (Kurniawan & Hasanat, 2007). Hal tersebut bertentangan dengan hasil crosstab ekspresi emosi dan usia (tabel 3) yang dikategorikan menjadi dewasa (18-45 tahun) dan lansia (>45 tahun) menunjukkan lansia yang memiliki ekspresi emosi tinggi lebih banyak dibandingkan dengan usia dewasa. Peneliti berasumsi bahwa hasil ini disebabkan tugas perkembangan pada lansia yang diungkapkan Hurlock (1980) bahwa lansia mengalami penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis yang berdampak pada lebih sensitif, dan mood-nya yang mudah berubah-ubah.

Responden yang memiliki interaksi lebih dari 5 jam/hari atau 35 jam/minggu pada penelitian ini 8,5% memiliki ekspresi emosi tinggi, sedangkan pada responden dengan interaksi kurang dari 5 jam/hari tidak ada yang memiliki ekspresi emosi tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian lain bahwa waktu yang dihabiskan bersama dengan klien merupakan faktor yang dapat meningkatan beban perawatan, sehingga dapat menimbulkan ekspresi emosi yang tinggi

(9)

(Rafiyah, 2011). Namun menurut penelitian lainnya menyatakan bahwa jam kontak tidak menjadi sebuah penentu yang kuat pada ekspresi emosi yang tinggi, karena pada dasarnya kontak tatap muka dapat dipengaruhi oleh kualitas hubungan (Ogbolu, 2015).

Ekspresi emosi yang rendah banyak dialami oleh responden dengan klien skizofrenia yang mengalami sakit lebih dari 10 tahun, yaitu sebanyak 96%. Hal tersebut bisa terjadi karena dipengaruhi oleh pengalaman keluarga dalam melakukan perawatan bertahun-tahun yang akan membentuk persepsi dalam penerimaan terhadap anggota keluarga yang mengalami penyakit jiwa (Sulistiowati, & Dian 2015). Pasien skizofrenia dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi tinggi cenderung beresiko dua kali lebih besar mengalami kekambuhan atau rawat inap yang berulang dibandingkan dengan keluarga yang memiliki eksprsesi emosi rendah (Sadock, Kaplan & Sadock, 2007). Sejalan dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan ekspresi emosi keluarga yang tinggi sebanyak 3 responden (75%) ada pada keluarga denga klien yang pernah menjalani rawat inap. Pada penelitian ini juga klien skizofrenia dengan frekuensi kekambuhan kurang dari 2x dalam satu tahun hampir seluruh respondennya memiliki ekspresi emosi yang rendah yaitu 48 orang (96%).

Penelitian ini gejala klinis klien skizofrenia masih banyak terlihat dan hampir setengah dari klien tidak dapat melakukan aktivitas apapun atau adanya disfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi beban yang dirasakan oleh anggota keluarga sehingga menimbulkan peningkatan pada ekspresi emosi (Rafiyah, 2011). Namun dalam penelitian ini keluarga dengan karakteristik klien seperti diatas

mayoritas memiliki ekspresi emosi yang rendah. Hal ini terjadi bisa karena disebabkan oleh keluarga mampu mengenali aspek perilaku klien yang merupakan menifestasi dari penyakit yang dialaminya (Amaresha & Venkatasubramanian, 2012). Ditemukan adanya keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dengan 3 anaknya yang mengalami skizofrenia. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kedua orang tuanya memiliki ekspresi emosi yang rendah dengan jawaban yang sama pada semua anaknya walaupun karakteristik dari setiap klien skizofrenia tersebut berebeda-beda. Ekspresi emosi rendah pada penelitian ini dapat berhubungan dengan hasil penelitian di Bali yang menunjukkan bahwa ikatan kekeluargaan yang kuat dapat mengurangi beban perawatan sehingga berdampak pada EE keluarga, dan kepercayaan akan gangguan jiwa yang diderita merupakan sebuah penyakit turunan yang perlu diterima dan tidak dapat dikendalikan (Kurihara, Kato, Tsukahara, Takano & Reverger, 2000).

Pelayanan kesehatan mental dan dukungan masyarakat pada klien skizofrenia dalam penelitian ini mayoritas menunjukkan ke arah karakteristik lingkungan yang baik. Sebanyak 97% respoden menyatakan bahwa pelayanan kesehatan mental di Desa Kersamanah mudah untuk diakses dan 93,9% masyarakat di lingkungannya memberikan dukungan pada klien skizofrenia. Hal tersebut dapat membantu keluarga dalam melakukan perawatan pasien skizofrenia sehingga mengurangi beban perawatan yang berujung pada ekspresi emosi yang rendah. Sejalan dengan penelitian Roick (2007) yang melaporkan bahwa perbedaan beban perawatan disebabkan karena adanya perbedaan pelayanan kesehatan, fungsi pelayanan kesehatan meningkat akan meningkatkan kemampuan dalam perawatan.

(10)

SIMPULAN

Ekspresi emosi keluarga pada klien skizofrenia di Desa Kersamanah Kabupaten Garut menunjukkan bahwa hampir seluruh dari responden yaitu sebanyak 65 (94,2%) anggota keluarga memiliki ekspresi emosi yang rendah dan sebanyak 4 (5,8%) anggota keluarga memiliki ekspresi emosi yang tinggi. Pada semua keluarga yang memiliki ekspresi emosi tinggi dalam penelitian ini digambarkan dengan nilai emotional over involvement yang tinggi juga, namun hanya 1,4% anggota keluarga yang memiliki nilai

critical comment yang tinggi. Dalam penelitian ini ditemukan ekspresi emosi dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama dipengaruhi oleh budaya setempat sehingga ekspresi emosi keluarga pada klien skizofrenia di Desa Kersamanah Kabupaten Garut mayoritas memiliki ekspresi emosi yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Álvarez-Jiménez, M., Gleeson, J. F., Cotton, S. M., Wade, D., Crisp, K., Yap, M. B. H., & McGorry, P. D. (2010). Differential predictors of critical comments and emotional over-involvement in first-episode psychosis.

Psychological Medicine, 40(01), 63. Amaresha, A. C., & Venkatasubramanian, G.

(2012). Expressed Emotion in Schizophrenia: An Overview. Indian Journal of Psychological Medicine,

34(1), 12.

Badriyah, S. (2011). Keefektifan Konseling Keluarga dalam Memperbaiki Skor Ekspresi Emosi pada Caregiver Pasien Skizofrenia, 2(1).

Buckley, P. F. (2006). Schizophrenia. Philadelphia: Elsevier.

Sulistiowati, N. N. M. D., Kep, S., & Kep, M. (2015). Hubungan Persepsi

Keluarga Tentang Skizofrenia dan Ekspresi Emosi Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia di IRD RSJ Provinsi Bali. Konas Jiwa XII Kalimandatan Barat, 132–139.

Fervaha, G., Foussias, G., Agid, O., & Remington, G. (2014). Motivational and neurocognitive deficits are central to the prediction of longitudinal functional outcome in schizophrenia.

Acta Psychiatrica Scandinavica,

130(4), 290–299.

Ginting, M. P. (2014). Hubungan ekspresi emosi keluarga dengan kekambuhan pasien skizofrenia di instralasi rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat. Universitas Padjadjaran.

Handayani, L., & Nurwidawati, D. (2013). Hubungan Pola Asuh dan Ekspresi Emosi Keluarga dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, 02(01), 1–6. Hartanto, F. M. (2009). Paradigma Baru

Manajemen Indonesia. (A. Balquni, Ed.) (1st ed.). Bandung: PT Mizan Pustaka.

Hooley, J. M., Gruber, S. A., Parker, H. A., Guillaumot, J., & Rogowska, J. (2010). Neural processing of emotional overinvolvement in borderline personality disorder. Journal of Clinical Psychiatry, 71(8), 1017–1024. Ikram, A., Suhail, K., Jafery, S. Z., & Singh, S. (2011). Ethnographic Analysis of Expressed Emotions in Pakistani Families of Patients with Schizophrenia. International Journal of Mental Health, 40(4), 86–103. Juvang, L, Lambert C.E., & Lambert, V. A.

(11)

burden and quality of life when providing care for a family member with schizophrenia in the peoples republic of China. Journal of Nursing and Health Sciences. 7(8), 180-188. Kazadi, N. J. B., Moosa, M. Y. H., & Jeenah,

F. Y. (2008). Factors associated with relapse in schizophrenia. South African Journal of Psychiatry, 14(2), 52–62. Kelly, M., Lamont, S., & Brunero, S. (2010).

An occupational perspective of the recovery journey in mental health.

British Journal of Occupational Therapy, 73(3), 129–135.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013.

Riset Kesahatan Dasar.

King, S., Ricard, N., Rochon, V., Steiger, H., & Nelis, S. (2003). Determinants of expressed emotion in mothers of schizophrenia patients. Psychiatry Research, 117(3), 211–222.

Kurihara, T., Kato, M., Tsukahara, T., Takano, Y., & Reverger, R. (2000). The low prevalence of high levels of expressed emotion in Bali. Psychiatry Research, 94(3), 229–238.

Kurniawan, A. P., & Hasanat, N. U. (2007). Perbedaan Ekspresi Emosi Pada Beberapa Tingkat Generasi Suku Jawa di Yogyakarta. Jurnal Psikologi, 34(1), 1–17.

Lefley, H. P. . (2009). Family Psychoeducation for Serious Mental Illnes. USA: Oxford University Press, Inc.

Marchira, C. R., Sumarni, P., & Lusia. (2008). Hubungan Antara Ekspresi Emosi Keluarga Pasien dengan Kekambuhan Penderita Skizofrenia di

RS. Dr. Sardjito Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat, 24(4), 172– 175.

Nurtantri, I. S. (2005). Penentuan Validitas dan Reabilitas FAMILY QUESTIONNAIRE (FQ) dalam meniai ekspresi emosi pada keluarga yang merawat penderita skizofrenia di RSCM. Universitas Indonesia.

Ogbolu, R. (2015). Expressed Emotion and the Significant Contacts among Schizophrenic Out-patients DonnishJournals. Donnish Journal of Medicine and Medical Sciences,

2(2)(August).

Perdede, J.A., Sirait, D., Riandi, R,.Emanual, P., & Laia, R. (2016). Ekspresi Emosi Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia,

VII(3), 53–61.

Pompili, M., Lester, D., Grispini, A., Innamorati, M., Calandro, F., Iliceto, P., Girardi, P. (2009). Completed suicide in schizophrenia : Evidence from a case-control study. Psychiatry Research, 167(3), 251–257.

Prihandini, I. Y. (2012). Pengaruh Ekspresi Emosi Keluarga terhadap Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

Digilib.Uns.Ac.Id, 7–30.

Rafiyah, I. (2011). Review: Burden on Family Caregivers Caring for Patients with Schizophrenia and Its Related Factors. Nurse Media Journal of Nursing, 1(1), 29–41. Retrieved from http://ejournal.undip.ac.id/index.php/m edianers/article/view/745

Rembani, I. cahya. (2009). Studi Deskripsi Mengenai Gambaran Ekspresi Emosi

(12)

terhadap Dosen Pada Mahasiswa Suku Sunda. Universitas Padjadjaran.

Ripke, S., O’Dushlaine, C., Chambert, K., Moran, J. L., Kähler, A. K., Akterin, S. Sullivan, P. F. (2013). Genome-wide association analysis identifies 13 new risk loci for schizophrenia. Nature Genetics, 45(10), 1150–1159.

Sadock, B. J., Kaplan, H. I., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry (10th ed.). Lippincott Williams & Wilkins.

Safdar, S., Friedlmeier, W., Matsumoto, D., & Kwantes, C. T. (2009). Variations of Emotional Display Rules Within and Across Cultures : A Comparison Between Canada , USA , and Japan,

41(1), 1–10.

Shah, A. J., Wadoo, O., & Latoo, J. (2010). Psychological Distress in Carers of People with Mental Disorders. British Journal of Medical Practitioners, 3(3), a327.

Srivastava, S. (2005). Perception of Burden by Caregivers of Patients with Schizophrenia. Indian J Psychiatry,

47(3), 148–152.

Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (10th ed.).

Missouri: Elsevier Health Sciences. Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2009).

Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care in Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis, 20017.

Wanti, Y., Widianti, E., & Fitria, N. (2016). Gambaran Strategi Koping Keluarga dalam Merawat Anggota Keluarga yang Menderita Gangguan Jiwa Berat.

Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(1).

doi:https://doi.org/10.24198/jkp.v4i1.1 40.

Wiedemann, G., Rayki, O., Feinstein, E., & Hahlweg, K. (2002). The Family Questionnaire: Development and validation of a new self-report scale for assessing expressed emotion.

Psychiatry Research, 109(3), 265–279. Yusuf, A. J., Nuhu, F. T., & Akinbiyi, A. (2009). Caregiver burden among relatives of patients with schizophrenia in Katsina, Nigeria. South African Journal of Psychiatry, 15(2), 43–47. Retrieved from http://www.sajp.org.za/index.php/sajp/ article/viewFile/187/176%5Cnhttp://ov idsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PA GE=reference&D=emed9&NEWS=N &AN=2009472977

Referensi

Dokumen terkait

The research reported here aims at introducing the design of such a web-based visualization framework that uses the shifting routes of gravity centers and standard deviational

Nilai kapasitansi suatu kondensator dapat ditentukan dengan membaca kode warna atau kode angka yang tertera pada badan kondensator 5. Fungsi induktor ialah sebagai

Peluang pengembangan kacang tanah, dan aneka kacang masih terbuka luas diantaranya potensi lahan yang cukup besar, kesenjangan hasil per hektar antara

Pada proyek akhir ini akan dibuat sistem yang mengimplementasikan metode Neuro- Fuzzy untuk menentukan jurusan SMK yang sesuai dengan kemampuan siswa.. Hal ini

10 1.03.05 DCKTR Belanja Modal Pembangunan ruang kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa/Keluarahan di Kec.

Tokoh tambahan dalam novel Bulan Terbelah di Langit Amerika karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ialah Julia Collins atau Azima Hussein. Julia adalah

Kemudian dari hasil studi penggunaan kit IPA di kota Mataram ditemukan fakta bahwa jarangnya pemakaian kit IPA SD dalam pembelajaran di kelas (Syahrial,

Untuk hipotesis pertama dan kedua menguji pemahaman konsep peserta didik sebelum dan sesudah menggunakan pembelajaran dengan metode Project Based Leraning maka