• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii

Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah, umumnya di alam tumbuh melekat pada substrat tertentu seperti karang, lumpur, pasir, batu, benda keras lainnya ataupun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik. Tanaman ini tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Pada kegiatan budidaya secara massal, petani pada umumnya melakukan perbanyakan secara vegetatif dengan cara stek yaitu potongan thallus yang memiliki ci-ciri : percabangan rimbun, warna cerah dan tidak terdapat cacat atau luka, kemudian ditumbuhkan menjadi tanaman baru. Secara alamiah di perairan, selain berkembang biak dengan vegetatif dan konjugatif juga dengan perkawinan antara gamet jantan dan gamet betina (generatif) melalui thallus yang diploid yang menghasilkan spora, pertemuan dua gamet membentuk zigot yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit, individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit (Anggadiredja 2006). Lebih lanjut Othmer (1968) menyebutkan secara taksonomi rumput laut dikelompokkan ke dalam divisio Thallophyta/Rhodophyta. Berdasarkan kandungan pigmennya, K. alvarezii dikelompokkan dalam kelas Rhodophyceae (ganggang merah), bangsa Gigartinales, suku Solierisceae, marga Eucheuma.

Eucheuma sp menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut karaginan (carrageenan) sehingga disebut pula rumput laut carrageenophyte (karaginofit). Didasarkan pada stereotipe struktur molekul dan posisi ion sulfatnya, karaginan dibedakan menjadi tiga macam yaitu : iota-karaginan, kappa-karaginan dan lamda-iota-karaginan, ketiganya berbeda dalam sifat gel dan reaksinya terhadap protein. Dari dasar ini sehingga para ahli taksonomi dan klassifikasi menggolongkan Eucheuma cottonii ke dalam kappa-karaginan karena sifatnya menghasilkan gel yang kuat (rigid) dan sepakat merubah nama spesies menjadi K. alvarezii.

(2)

Ciri-ciri K. alvarezii yaitu thallus silindris, permukaan licin, cartilageneus menyerupai tulang rawan muda, serta berwarna hijau terang, hijau olive dan coklat kemerahan, tetapi warna thallus tidak menjadi pedoman utama dalam klasifikasi dan pengenalan jenis karena tidak stabil dan sangat dipengaruhi oleh substrat dan lingkungan perairan dimana rumput laut tumbuh dan dibudidayakan. Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan), dan duri lunak atau tumpul untuk melindungi gametangia. Percabangan bersifat alternatus (berseling), tidak teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga).

2. 2 Induksi Kalus dan Embrio Somatik

Kalus adalah sekumpulan sel aktif membelah dan tidak terorganisir sebagai akibat pelukaan tanaman di alam ataupun setelah diinduksi dengan auksin dan sitokinin dalam kultur in vitro (Wattimena et al. 1992). Ciri-ciri kalus dapat dilihat dengan adanya massa sel yang tumbuh dan tidak terorganisir dari hasil proses dediferensiasi eksplan, berupa dinding sel tipis dan saling terpisah, sel tumbuh keluar dari eksplan. Terdapat beberapa jenis kalus, misalnya kompak (keras) atau friable (remah), hal ini sangat dipengaruhi perimbangan zat pengatur tumbuh seperti auksin dan sitokinin (Supena 2008).

Inisiasi kultur embrio somatik dengan mengkulturkan eksplan pada media yang kaya zat pengatur tumbuh (ZPT) dan proliferasi kultur embriogenik dapat dilakukan baik pada medium padat ataupun cair dengan penambahan ZPT. Kemudian untuk perkembangan embrio somatik lebih lanjut pada medium tanpa ZPT dimaksudkan agar terjadi proses penghambatan proliferasi tetapi tetap menstimulasi pembentukan embrio somatik, dan salah satu hal yang harus diperhatikan pada tahap pendewasaan embrio somatik adalah mengatur potensial osmotik medium dengan penambahan sukrosa atau polyethylene glycol (Arnold et al. 2003 dalam Supena 2008).

Kalus yang terbentuk dari eksplan pada tahap inisiasi disebut kalus primer, dimana kalus umumnya mudah terbentuk pada media semi padat dengan tambahan auksin pada konsentrasi yang relatif tinggi, sedangkan untuk perkembangan kalus menjadi embriogenik, auksin tidak diperlukan dan bahkan

(3)

dapat menghambat terutama pada jaringan yang memiliki kemampuan embriogenik tinggi. Kalus yang dihasilkan ada yang memiliki kemampuan membentuk embrio somatik dan ada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan morfogenetik. Hal ini disebabkan karena eksplan yang dikulturkan mengandung sel atau jaringan dimana ada yang mampu mengadakan morfogenesis disebut sel yang kompoten dan ada yang tidak mampu disebut sel yang tidak kompoten. Ekspresi dari sel kompoten ini bergantung pada kesesuaian medium yang digunakan terutama jenis ZPT maupun konsentrasinya yang tepat (Wattimena et al. 1992).

Embriogenesis berdasarkan asalnya dikenal dua tipe : embriogenesis zigotik yaitu dimulai dari sel telur yang telah dibuahi atau zigot dengan kondisi in vivo ataupun in vitro, dan embriogenesis non zigotik diantaranya embriogenesis somatik yaitu embrio terbentuk dari sel-sel sporofitik atau somatik bukan zigot baik secara langsung maupun tidak langsung, in vitro ataupun in vivo (Supena 2008). Beberapa kelebihan embriogenesis somatik antara lain berasal dari individu sel sehingga penyeragaman dan pemurnian tanaman regeneran lebih mudah, suspensi sel embrio somatik dapat digunakan sebagai bahan untuk kultur protoplas, dapat digunakan sebagai material untuk transfer gen baik secara individu sel ataupun kluster sel embrio somatik (Supena 2008).

Embrio somatik yang terbentuk pada medium yang mengandung auksin tinggi, hanya akan berkembang lebih lanjut bila dipindahkan ke medium tanpa auksin atau dengan auksin konsentrasi rendah. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan skala besar dapat ditingkatkan melalui inisiasi embriogenik dengan kultur suspensi yang berasal dari kalus primer (Wattimena et al. 1992).

2. 3 Transgenesis

Teknologi transgenesis merupakan suatu proses mengintroduksi DNA asing ke organisme lain dengan maksud untuk memanipulasi struktur genetiknya (Glick & Pasternak 2003). Gen yang disisipkan ke dalam genom tanaman harus dapat diekspresikan sehingga menghasilkan protein yang diinginkan serta harus

(4)

stabil diwariskan ke generasi berikutnya. Gen-gen yang diekspresikan pada tanaman pada awalnya adalah gen-gen asli dari sumbernya : bakteri, jamur, hewan, namun kebanyakan ekspresi dari gen tersebut di dalam tanaman sangat rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh penggunaan promoter yang tidak sesuai. Oleh karena itu modifikasi penggunaan promoter yang sesuai dengan tanaman target telah umum dilakukan untuk meningkatkan ekspresi gen di dalam tanaman. Selain itu penambahan enhancer dikombinasikan dengan penggunaan promoter kuat atau promoter spesifik dapat meningkatkan ekspresi gen pada tanaman.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa apabila gen telah terintegrasi pada genom tanaman maka gen tersebut akan stabil diwariskan ke generasi berikutnya. Hiei et al. (1997) melaporkan bahwa transgen stabil diwariskan hingga generasi ke-4, hal yang sama juga dilaporkan oleh Wu et al. (2002) di mana transgen stabil diwariskan hingga generai ke-6, tetapi Rashid et al. (1996) melaporkan tentang adanya kemungkinan terjadinya pembungkaman gen yaitu salah satu fenomena yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengekspresikan gen.

2. 4 Promoter

Salah satu elemen penting yang harus diperhatikan pada transformasi gen adalah promoter. Glick dan Pasternak (2003) menyatakan promoter adalah bagian dari DNA dimana RNA polymerase menempel. Promoter merupakan salah satu penentu dan pengatur spatial-temporal ekspresi gen sehingga promoter bisa dianalogikan sebagai switch suatu gen.

Promoter merupakan sekuen DNA yang terletak upstream (terminal 5’) dari titik awal transkripsi suatu gen yang berperan dalam mengatur letak, waktu dan tingkat ekspresi gen yang akan muncul (Beaumont & Hoare 2003). Menurut Glick dan Pasternak (2003), suatu promoter yang kuat merupakan promoter yang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap RNA polymerase yang mengakibatkan daerah yang berbatasan downstream dicetak secara teratur. Promoter inilah yang menjadi kekuatan gen untuk mengekspresikan ciri-cirinya pada tingkat yang

(5)

sangat tinggi dan juga potensial dalam mempengaruhi gen yang lain dalam suatu organisme (Anderson 2004).

Fungsi promoter adalah untuk mengarahkan RNA polymerase sehingga transkripsi akan terjadi pada daerah yang spesifik. Promoter ada yang bekerja di semua jenis jaringan atau sel (ubiquitous) dan ada yang bekerja pada jaringan spesifik (Hackett 1993). Promoter dikatakan efektif apabila gen penanda yang disambungkan ke promoter yang dikendalikannya dapat terekspresi dengan level yang tinggi.

Promoter terletak di depan sebuah gen sebelum kodon (tiga pasang basa) pemula ATG yang mengkode asam amino metionin. Umumnya pada organsime eukaryotik seperti hewan dan tanaman, promoter memiliki bagian nukleotida TATAAA yang bisa menempel pada protein khusus dan membantu terbentuknya kompleks transkripsi RNA polymerase. Dari sinilah terjadi pengaturan oleh faktor transkripsi dimana suatu gen mengalami on atau off. Selain itu promoter merupakan bagian penting dari suatu gen yang kondisinya bisa diganggu oleh faktor-faktor lainnya seperti enhancer (perangsang transkripsi) atau silencer (penghambat transkripsi). Promoter ada yang terlihat efek penampakan pada suatu organ tertentu saja, artinya promoter yang spesifik hanya bekerja pada jaringan atau organ tertentu dan ada pula yang bekerja secara konstitutif dalam arti bisa terekspresi dimana saja dan efek penampakan pada seluruh bagian organ tanaman.

Beberapa promoter konstitutif yang sering dipakai untuk studi bioteknologi tanaman dan hewan adalah promoter CaMV 35S (cauliflowermozaicvirus) yang ditemukan oleh Chua pada tahun 1980-an yang merupakan promoter kuat untuk tanaman dikotil (Nagy 1985) dan promoter CMV (cytomegalovirus) dari virus manusia (Dunham 2004). Juga telah banyak promoter diisolasi dari dan dapat aktif pada berbagai spesies ikan seperti promoter β-aktin ikan medaka (Takagi et al. 1994) dan promoter keratin yang diisolasi dari ikan flounder Jepang (Hirono et al. 2003). Walaupun berdasarkan beberapa penelitian penggunaan promoter homolog menghasilkan ekspresi gen lebih baik dibandingkan dengan promoter heterolog. Menurut Palmiter et al. (1982) dalam Nam et al. (2008) bahwa suatu promoter yang berasal dari spesies yang berbeda (heterolog) kemungkinan tidak

(6)

mengenal RNA polimerase inang yang mengendalikan ekspresi gen. Namun, beberapa promoter β-aktin heterolog yang telah digunakan dalam penelitian transgenesis dapat menghasilkan ekspresi gen yang baik pada ikan uji seperti penelitian yang dilakukan oleh Yoshizaki (2001) dengan menggunakan β-aktin dari ikan medaka ternyata mampu mengekspresikan gen GFP yang kuat pada ikan rainbow trout.

2. 5 Gen Marker GFP (green fluorescent protein)

Penemuan GFP atau gen berpendar lainnya merupakan awal berkembangnya pengujian transfer gen ke inang target khususnya dalam analisis aktivitas sebuah promoter secara in vivo. Pengujian aktivitas promoter umumnya dilakukan dengan cara introduksi konstruksi gen promoter yang telah disambungkan dengan gen penanda misalnya GFP sehingga ekspresinya dapat diamati (Takagi et al. 1994, Alimuddin 2003). Untuk mengetahui aktif atau tidaknya promoter, uji aktivitas promoter ke inang dengan memanfaatkan gen berpendar GFP sebagai gen penanda (Chou et al. 2001). Gen GFP mempunyai keunggulan yaitu tidak memerlukan substrat tambahan untuk ekspresinya, memiliki kandungan protein yang berpendar dan dapat divisualisasikan ekspresinya pada sel dengan menggunakan sinar UV (Chalfie 1994 dalam Iyengar et al. 1996). Gen GFP dapat berfungsi sebagai penanda (marker) dalam pengujian efektivitas suatu promoter (Chalfie et al. 1994).

Gen GFP awalnya diisolasi dari ubur-ubur (Aequorea victoria) yang memancarkan cahaya hijau berpendar dengan kuat dan stabil. Perkembangan saat ini, banyak GFP yang mengalami mutasi dengan fluoresence lebih kuat yaitu fluorescence enhanced GFP (EGFP) (Arai et al. 2001). Namun, Felts et al. (2001) berhasil mengisolasi gen hrGFP (humanized Renilla reniformis Green Fluorescent Protein) yang berasal dari Anthozoa (soft coral). Kelebihan dari hrGFP dibandingkan dengan EGFP adalah memiliki intensitas fluoresen lebih tinggi, lebih konsisten, lebih rendah tingkat sitotoksitasnya, kisaran stabilitas pH yang lebih luas dan lebih resisten terhadap pelarut organik, detergen serta protease. Gen GFP ini dinamakan humanized hrGFP karena dalam gen ini terjadi

(7)

modifikasi satu atau lebih kodon yang tidak sesuai menjadi susunan kodon yang cocok untuk sel manusia.

2. 6 Teknik Transfer Gen dengan Elektroporator

Teknik dan metode transfer gen yang umum digunakan antara lain : alat penembak DNA (gen gun) atau ballistic bombardment (Gendreau et al. 1995), mikroinjeksi (Li & Tsai 2000), alat elektroporator (Arenal et al. 2000; Tseng et al. 2000), penggunaan Agrobacterium sebagai agen infeksi, dan metode transfeksi. Metode tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga pemilihan metode juga tergantung pada media atau agen introduksinya.

Pada hewan akuatik, mikroinjeksi merupakan metode yang umum digunakan (Chourrout et al. 1986). Dibandingkan dengan mikroinjeksi, elektroporasi merupakan teknik yang lebih mudah dalam pengerjaannya (Inoue et al. 1990). Beberapa keuntungan aplikasi elektroporasi antara lain : teknik ini merupakan teknik transfer gen secara masal. Aplikasi kejutan listrik pada suspensi sel menginduksi polarisasi komponen membran sel dan mengembangkan potensi tegangan di seluruh membran. Pada saat perbedaan potensial antara bagian dalam dan luar membran sel melewati titik kritis, komponen membran direorganisasi ke dalam pori dalam area terlokalisasi, dan kemudian sel menjadi permeabel terhadap masuknya makromolekul (Knight 1981; Knight & Scrutton 1986). Proses modifikasi permeabilitas membran sel melalui medan listrik disebut elektroporasi. Perubahan permeabilitas bersifat sementara, dengan syarat kejutan listrik tidak melebihi batas kritis bagi sel (Tsong 1983; Serpeusu et al. 1985). Ukuran pori dapat diubah melalui berbagai panjang kejutan (dalam milliseconds), medan listrik (dalam volts/sentimeter), dan kekuatan ionik media (Tsong, 1983).

Referensi

Dokumen terkait

; (2) Probabilitas pekerja sopir untuk berhenti kerja tidak berhubungan dengan jumlah pendapatan yang sudah di peroleh, sehingga NRH¿VLHQ SDUDPHWHU J juga diprediksikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh interval waktu pemberian air dan waktu tanam kacang hijau terhadap pertumbuhan, produksi dan efi siensi pemanfaatan lahan

[r]

Dalam situasi konflik atau potensi konflik horisontal di antara kelompok- kelompok masyarakat, para pemimpin ormas keagamaan tidak boleh ikut terkooptasi dan menjadi

2) Adanya kelancaran air bagi masyarakat yang ternaungi oleh POSDAYA untuk keperluan kegiatan masjid.. Volume 1, Number 1, Maret 2017 | 5 Pengolahan Sumber

Dengan memanfaatkan penyedot debu portebel sebagai mesin utama penghisapnya ditunjang dengan motor DC sebagai motor penggerak roda belakang alat ini, servo

yang diambil itu menyebar keseluruh wilayah cakupan penelitian yaitu daerah aliran Survei yang dilakukan dengan mencatat antara penggunaan lahan yang kondisi