• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL KECERDASAN BUDAYA MAHASISWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL KECERDASAN BUDAYA MAHASISWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI PERGURUAN TINGGI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

273

PROFIL KECERDASAN BUDAYA MAHASISWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

DI PERGURUAN TINGGI

PROFILE OF STUDENT CULTURAL INTELLIGENCE AND ITS IMPLICATIONS ON SERVICE GUIDANCE AND COUNSELING AT UNIVERSITY

1)Agung Nugraha, 2) Dewang Sulistiana, 3)Ajid Muslim

1,2,3)Program Studi Bimbingan dan Konseling , Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya

Jl. Tamansari Km 2,5 Kota Tasikmalaya, Jawa Barat 46196, Indonesia *Email:agung.nugraha@umtas.ac.id

ABSTRAK

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran nyata mengenai perkembangan kecerdasan budaya mahasiswa serta merumuskan program layanan bimbingan dan konseling untuk mengembangkan kecerdasan budaya mahasiswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif serta menggunakan metode deskriptif. Pengumpulan data menggunakan angket pengungkap perkembangan kecerdasasn budaya mahasiswa yang dianalisis dengan teknik analisis statistika deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan katercapaian kecerdasan budaya mahasiswa berada diatas rata-rata. Kondisi tersebut dapat dimaknai bahwa daya upaya psikofisk yang utuh di dalam diri mahasiswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang beragam budaya di perguruan tinggi secara normatif, efektif dan efisien mendekati optimal

Kata Kunci : Kecerdasan Budaya, Mahasiswa, Penyesuain Diri

ABSTRACT

The specific purpose of this study is to obtain a real picture of the development of student cultural intelligence and to formulate guidance and counseling service programs to develop student cultural intelligence. This research uses a quantitative approach and uses descriptive methods. Collecting data using a scale disclosing the development of student cultural intelligence which was analyzed by using descriptive statistical analysis techniques. The results showed that the students' cultural intelligence achievement was above average. This condition can be interpreted as the intact psychophysical effort within students to be able to adapt to the culturally diverse environment in higher education normatively, effectively and efficiently near optimal.

Keywords : Cultural Intelligence, Students, Self-Adjustment

PENDAHULUAN

Era teknologi dan aksesibilitas individu yang tinggi berdampak pula pada dinamika kehidupan akademik di perguruan tinggi yakni semakin beragamnya karakater dan latar belakang kehidupan mahasiswa (Freeman, et al., dalam Hei, et al., 2019). Selain itu koneksivitas antara mahasiswa atau mahasiswa dengan masyarakat dunia melalui teknologi semakin tinggi pula tanpa terbatas ruang, ras, suku bangsa dan waktu. Selama proses koneksi tersebut mahasiswa dan masyarakat dunia secara tidak langsung menampilkan bingkai diri masing-masing yang termanifestasikan dalam bentuk cara berpikir, sikap dan perilaku. Kompetensi budaya pada mahasiswa dalam kondisi seperti ini diperlukan, yang berfungsi untuk meredam benturan-benturan psikofisik sebagai konsekuensi dari masifnya interkasi manusia (Tharp, 2017, & Hei, et al., 2019 ). Hal tersebut sejalan dengan hasil kajian Villares & Brigman (2019) terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan dan keberlangsungan karir seorang mahasiswa di perguruan tinggi menunjukkan bahwa faktor keterikatan dan kesesuaian dengan lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kehidupan mahasiswa di perguruan tinggi. Berdasarkan hasil kajian tersebut kompetensi budaya mahasiswa dalam melangsungkan kehidupan perlu tebangun dan dimiliki secara optimal, sehingga dapat membantu mahasiswa meraih kesuksesan sebagai seorang mahasiswa.

Berawal dari pemahaman tersebut dan beragamnya karakter serta dinamisnya kehidupan mahasiswa perlu dipetakan dengan baik dari aspek manfaat serta faktor determinan dinamika perkembangan kecerdasan budaya mahasiswa, sehingga hasil pemetaan tersebut dapat dijadikan dasar dan membantu untuk menyusun ragam layanan atau program untuk mengembangkan kecerdasaan budaya mahasiswa, dengan demikian secara

(2)

274

tidak langsung akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan, terutama dalam proses kehidupan mahasiswa di perguruan tinggi.

METODE

Tujuan akhir penelitian ini adalah diperolehnya gambaran utuh mengenai kecerdasan budaya mahasiswa. Merujuk pada tujuan penelitian yang ditetapkan maka pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendeakatan penelitian kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan dan analisis data hasil penelitian secara eksak dengan menggunakan perhitungan-perhitungan numerikal, mulai dari pengumpulan data, penafsiran sampai penyajian hasilnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran keadaan pada saat penelitian dilakukan. Selain itu, alasan peneliti menggunakan metode deskriptif karena peneliti bermaksud mendeskripsikan, menganalisis dan mengambil suatu generalisasi dari pengamatan mengenai kecerdasan budaya mahasiswa.

Partisipan yang digunakan ialah mahasiswa baru angkatan 2020 Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS) Jawa Barat. Lokasi daerah penelitian meupakan kota besar diwilayah priangan timur yang dihuni oleh beragam budaya di Indonesia, sehingga dampak aksesibilitas yang tinggi saat ini berdampak pada tatananan kehidupan yang lebih dinamis. Kota Tasikmalaya memiliki kecocokan untuk mewakili keberagaman budaya Indonesia. Selanjutnya penelitian ini menggunakan instrumen skala kecerdasan budaya yang dikembangkan oleh Dyne, Ang, dan Koh dalam Ang, S and Dyne, L. V. (2008) yakni © Cultural Intelligence Center, 2018. Used by permission of the Cultural Intelligence Center. Skala kecerdasan budaya dibangun atas dasar empat dimensi, yaitu metakognitif, kognitif, motivasional, dan perilaku. Skala kecerdasan budaya terdiri dari 20 butir pernyataan yang harus direspon dengan pilihan respon; 1) sangat tidak sesuai; 2) tidak sesuai; 3) agak tidak sesuai; 4) netral; 5) agak sesuai; 6) sesuai; 7) sangat sesuai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data ketercapaian kecerdasan budaya pada 126 orang mahasiswa laki-laki menunjukkan sebesar 70,40 % . Sedangkan rata-rata ketercapaian kecerdasan budaya pada 291 orang mahasiswa perempuan sebesar 70,00 %. Sedangkan untuk ketercapaian kecerdasan budaya secara keseluruhan sebesar 70,20 %. Jika melihat rata-rata ketercapaian kecerdasan budaya pada mahasiswa laki-laki dan perempuan tampak skor rata-rata ketercapaian kecerdasan budaya mahasiswa laki-laki sedikit lebih unggul dibandingkan skor rata-rata mahasiswa perempuan. Secara visual sebaran data tersebut disajikan dalam tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Rekapitulasi Ketercapaian Kecerdasan Budaya Mahasiswa

No. Jenis Kelamin Jumlah

Responden Skor Aktual Skor Ideal Rata-Rata Ketercapaian Kecerdasan Budaya 1. Laki-laki 126 12418 17640 70,40 % 2. Perempuan 291 28519 40740 70,00 % Total 417 40937 58380 70,20 %

Berdasarkan data pada tabel 1.1 dapat dimaknai bahwa daya upaya psikofisk yang utuh di dalam diri mahasiswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang beragam budaya di perguruan tinggi secara normatif, efektif dan efisien mendekati optimal. Kondisi tersebut dapat terwujud dikarenakan adaya keselarasan faktor internal dan eksternal diri mahasiswa saat merespon keberagaman lingkungan budaya disekitarnya, sehingga daya penyesuaian diri yang dimiliki oleh mahasiswa lebih optimal. Hal tersebut senada dengan pemikiran Early & Ang (2003), Ang & Dyne (2008) dan Livermore (2010) mememaparkan kecerdasan budaya merupakan kapabilitas individu untuk berfungsi dan mengatur diri secara efektif dan efisien menghadapi kondisi lingkungan yang beragam budaya baik secara negara, etnis, lembaga dan organisasi. Barnes, et al., (2017) pun memaparkan bahwa kecerdasan budaya merupakan kapasitas seorang individu untuk melangsungkan interaksi dengan individu lain dan bekerjasama secara efektif. Selain itu kecerdasan budaya dipandang sebagai kemampuan alamiah seorang individu untuk memahami perbedaan perilaku sebagai bentuk manifestasi dari budaya yang dimiliki oleh individu. Sepaham dengan pemahaman Stallter (2009) yang menyatakan bahwa kecerdasan budaya merupakan kemampuan natural dari seorang individu untuk memahami perilaku budaya yang berbeda. Stallter mengartikan bahwa kecerdasan budaya

(3)

275

dapat dilihat sebagai potensi bawaan lahir atau sebuah bakat untuk memaknai dan mengakomodasi keragaman budaya.

Kecerdasan budaya mahasiswa yang dipaparkan pun merujuk pada formula keunikan individu saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar (Makmun, 2003: 62) yakni P = f (H.E.T) dimana P= perilaku atau pribadi; f= fungsi; H= heredity (pembawaan/genetik); E= environment (lingkungan perkembangan); dan T =

time (waktu, tingkat perkembangan kematangan). Formula tersebut memandang bahwa individu berpikir, bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan kondisi lingkugan sekitar berangkat dari kualitas formula tersebut. Semakin selaras dan berkualitasnya antara faktor internal dan eksternal pada diri mahasiswa maka semakin berkualitas pula daya upaya psikofisk yang utuh di dalam diri mahasiswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang beragam budaya di perguruan tinggi secara normatif, efektif dan efisien

Mahasiswa pada hakikatnya yakni individu manusia yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal dengan salah satu tugas perkembangannya yakni menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan sosial serta memenuhi tuntutan sosial yang baru (Hurlock, 1994). Selain itu Aristoteles (Howard, 2005) memaparkan bahwa manusia pada hakikatnya makhluk sosial, oleh karena itu manusia belajar melalui dan dalam hubungan dengan manusia lain daipada melalui introspeksi dan isolasi. Hakikat manusia dari pandangan psikologis dan filsafat yang telah dipaparkan menggiring pemahaman bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan interaksi dengan manusia lain guna pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hanya saja yang menjadi perhatian adalah cara terbaik manusia saat berinteraksi dengan manusia lain, sehingga pengembangan cara terbaik manusia berinteraksi masih perlu dikaji lebih dalam. Pemaparan tersebut sejalan dengan pemikiran Kartadinata (2014) bahwa apabila manusia mampu berintearksi dengan baik dan saling mengetahui mengenai yang dipikirkan manusia lain, pakai, makan, doakan, rayakan dan bersenang-senang akan menjauhkan manusia tersebut dari konflik.

Selanjutnya pandangan lain tentang hakikat manusia yakni pandangan religi dimana M. Quraish Shihab (Sutoyo, 2007) memaparkan terdapat tiga kata yang digunakan Al-Qur’an dalam menyebut “manusia”, yaitu (1) basyar, (2) insan , ins, nas atau unas, dan (3) bani Adam dan Zuriyah Adam. Ketiga kata yang menggambarkan manusia tersebut dapat dimaknai bahwa manusia merupakan makhluk yang psikofisik (basyar) yang memiliki keunikan tersendiri dalam segi jasmaniah dan rohaniah. Selanjutnya manusia yakni makhluk yang terambil dari kata “uns” yang berarti beragam, jinak, dan harmonis dengan segala potensi yang dimilikinya. Selain itu manusia merupakan makhluk yang turun temurun (dzuriyyah) dengan membawa kemuliaannya masing-masing. Pemaparan tersebut dapat dimaknai bahwa manusia merupakan makhluk yang paling mulia diantara makhluk lainnya dimuka bumi ini, sehingga dengan berbekal potensi jasmaniah dan rohaniahnya manusia diharapkan mampu untuk melangsungkan kehidupan yang harmonis dengan manusia lainnya.

Hakikat dasar mahasiswa sebagai manusia yang telah dipaparkan dapat dimaknai bahwasanya sebagai manusia, mahasiswa diharapkan mampu hidup harmonis dengan keberagaman lingkungan hidupnya merupakan dan hal tersebut merupakan suatu keniscayaan. Berdasarkani data hasil penelitian dan pemahaman beragamnya karakter serta dinamisnya kehidupan mahasiswa berdampak terhadap layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi. Konsekuensi dari beragamnya karakteristik mahasiswa tersebut yakni konselor serta program layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi dituntut untuk lebih memahami, peduli dan menyesuaikan diri dengan isu keragaman atribut budaya diantara konseli dan konselor (Tovar, 2015). Bertolak dari temuan tersebut mengarahkan agar program layanan bimbingan dan konseling untuk lebih efektif dan holistik dalam membantu mahasiswa dengan perspektif dinamika perkembangan dan pedagogik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartadinata (2009) yang mengemukakan peran dan fungsi konselor sebagai

psychoeducator, sehingga harus kompeten dalam hal memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam konteks sosial budaya dan menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun intrapribadi dan lintas budaya.

Pemikiran tersebut sejalan dengan temuan Bolton-Brownlee (Supriadi, 2001: 23) yakni proses konseling yang dilakukan oleh konselor dan konseli sejauh ini hanya menitikberatkan pada aspek-aspek psikologis (kecerdasan, minat, bakat, kepribadian, dll) dan masih kurang memperhatikan terhadap latar belakang budaya konselor maupun konseli yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling. Temuan Bolton-Brownlee tersebut dapat dimaknai bahwa dalam layanan konseling saat ini dan bahkan sampai di waktu yang akan datang, isu ragam budaya merupakan isu yang harus disikapi secara tepat, sehingga program layanan bimbingan dan konseling untuk menyelaraskan keberagaman budaya konseli dalam hal atribut-atribut budayanya dengan lingkungan hidupnya masih perlu dikaji.

(4)

276

Layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi dengan isu keberagaman budaya sampai saat ini terus berkembang. Kecenderungan pengembangan kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan atmosfer kehidupan di kampus berserta atribut keberagaman mahasiswa masih menggunakan sudut pandang mahasiswa sebagai individu secara umum (Arteaga, 2014, Tovar 2015, dan Turner, et al., 2019). Sudut pandang tersebut memotret individu secara ideal untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan hidupnya. Selanjutnya pemikiran lain untuk merespon kondisi tersebut agar layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi dengan wacana ragam budaya dapat terlaksana dengan optimal, yakni perlu dilakukan melalui pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal sebagai dasar pengembangan layanan bimbingan dan konseling International Association of Counseling Services (2011) & Brunner , et al., (2014). Hal tersebut didasari bahwa nilai-nilai kearifan lokal lebih otentik dan selaras dengan karakter kehidupan suatu perguruan tinggi berada.

Respon rasional terhadap wacana keberagaman budaya di perguruan tinggi yakni dengan merumuskan layanan bimbingan dan konseling untuk mengembangkan daya penyesuaian diri (adaptabilitas) mahasiswa yakni kecerdasan budaya. Daya penyesuaian diri mahasiswa dapat terwakilkan melalui variabel kecerdasan budaya. Kecerdasan budaya yang dimiliki oleh mahasiswa akan membantu dirinya untuk mampu menempatkan diri secara tepat dan efisien dalam lingkungan hidup yang beragam (Triman, et al., 2017 dan Ghanniy & Akmal, 2018). Kecerdasan budaya merupakan perwujudan daya upaya.

Kondisi tersebut menghantarkan pada pemahaman perlunya pengembangan kecerdasan budaya mahasiwa sedini mungkin. Hal tersebut dikarenakan keberfungsian kecerdasan budaya sebagai salah satu variabel yang membantu dalam proses penempatan diri mahasiswa secara efektif dan efisien di lingkungan yang beragam latar belakang budayanya. Konsekuensi logisnya yakni layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi harus mampu mengakomodir, mengembangkan, mengevaluasi, merumuskan kurikulum dan menyelenggarakan layanan yang mampu untuk mengembangkan kecerdasan budaya mahasiswa. Hasil identifikasi dan analisis terhadap dinamika pengembangan kecerdasan budaya, menunjukkan bahwa selama satu dekade terakhir kecerdasan budaya efektif dikembangkan melalui pemaknaan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang beragam.

Merujuk pada kontruk kecerdasan budaya dan dinamika kebutuhan kecerdasan budaya maka rumpun variabel psikofisik yang dapat dikembangkan dalam layanan bimbingan dan konseling di perguran tinggi untuk mengembangkan kecerdasan budaya mahasiswa yakni a) mengkritisi pengetahuan budaya yang diperoleh, b) menimbang bentuk respon yang tepat, c) mengarahkan perhatian, harapan dan tenaga yang dimiliki, dan d) memutuskan bentuk respon yang sesuai dengan tuntutan lingkungan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ketercapaian kecerdasan budaya mahasiswa diatas rata-rata, sehingga dapat dimaknai bahwa daya upaya psikofisk yang utuh di dalam diri mahasiswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang beragam budaya di perguruan tinggi secara normatif, efektif dan efisien mendekati optimal. Kondisi tersebut dapat terjadi karena kualitas keselarasan faktor internal dan eksternal pada diri mahasiswa seperti gen dan ekologi perkembangan yang membentuk diri mahasiswa saat merespon keberagaman lingkungan budaya disekitarnya.

Rekomendasi upaya untuk mefasilitasi kecerdasan budaya mahasiswa tersebut yakni dengan mengembangkan layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi melalui pengembangan rumpun variabel psikofisik seperti a) mengkritisi pengetahuan budaya yang diperoleh, b) menimbang bentuk respon yang tepat, c) mengarahkan perhatian, harapan dan tenaga yang dimiliki, dan d) memutuskan bentuk respon yang sesuai dengan tuntutan lingkungan yang dikemas melalui pemaknaan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Ang, S and Dyne, L. V. (2008). Handbook of Cultural Intelligence; Theory, Measurement, and Applications.

USA: M.E. Sharpe, Inc.

Arteaga, Blanca E. (2015). Applying Cultura in the Community College Counseling Practice. Community

College Journal of Research and Practice, 39: 708-726.

Barnes, Kathleen J., et al., (2017). What”s Your CQ? A Framework to Assess and Develop Individual Student

(5)

277

Brunner, Jon L., et al. (2014). College Counseling Today: Contemporary Students and How Counseling Centers Meet Their Needs. Journal of College Student Psychotherapy, 28:257-324.

Early, P. C. & Ang, S. (2003). Cultural Intelligence Individual interactions Across Cultures. USA: Stanford University Press.

Ghaniyy, Anshari Al., & Akmal, Sari Zakiah. (2018). Kecerdasan Budaya dan Penyesuaian Diri Dalam Konteks Sosial-Budaya Pada Mahasiswa Indonesia yang Kuliah di Luara Negeri. Jurnal Psikologi

Ulayat, Vol.5, No. 2, pp, 123-137.

Hei, Miranda de. (2019). Developing Intercultural Competence Through Collaborative Learning in International Higher Education. Journal of Studies In International Education, pp, 1-22, DOI: 10.1177/1028315319826226.

Howard, Alex. (2005). Konseling & Psikoterapi. Jakarta:Teraju.

Hurlock, Elizabeth, (1994), Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

International Association of Counseling Services. (2011). Standards for University and College Counseling Services. Journal of College Student Psychotherapy, 25:2, 163-183.

Karatadinata, Sunaryo. (2014). Pendidikan Untuk Kedamaian dan Pendidikan Kedamaian. Bandung:UPI. Kartadinata, Sunaryo. (2009). Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi

Historik-Futuristik. Bandung: UPI.

Livermore, David. (2010). Leading with Cultural Intelligence The New Secret to Succes. New York: Amacom. Makmun, Abin Syamsudin. (2003). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengerjaan Modul. Bandung:

Rosda.

Stallter, Tom. (2009). Cultural Intelligence: A Model for Cross-Cultural Problem Solving. Missiology: An

International Review, Vol. 37, No. 4, pp. 543-544.

Supriadi, D. (2001). “Konseling Lintas-Budaya : Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling FIP UPI Bandung, 18 Oktober 2001.

Sutoyo, Anwar. (2007). Bimbingan & Konseling Islami; Teori & Praktik. Semarang: Cipta Prima Nusantara. Tharp, D. Scott. (2017). Exploring First-Year College Students’ Cultural Competence. Journal of

Transformative Education, Vol. 15, No. 3, pp 241-263.

Tovar, Esau. (2015). The Role of Faculty, Counselors, and Support Programs on Latino/a Community College Students’ Success and Intent to Persist. Community College Review, Vol. 43, No. 1, pp, 46-71.

Triman, Arif., dan Abdilah. (2017). Kecerdasan Budaya dan Gaya Belajar Mahasiswa yang Merantau di DKI Jakarta. Majalah Saintekes, Vol. 4, No. 2, pp, 001-006.

Turner, Sherri L., et al. (2018). College Readiness Counseling to Promote Native American Adolescents College Aspirations: The Integrated Conceptual Model of Student Success. Professional School

Counseling, Vol. 2, No. 1, pp 1-10.

Villares, elizabeth., and Brigman, Greg. (2019). College/Career Success Skills: Helping Students Exeperience Postsecondary Success. Professional School Counseling, Vol. 22, No.1b, pp, 1-8.

Gambar

Tabel 1.1 Rekapitulasi Ketercapaian Kecerdasan Budaya Mahasiswa  No.  Jenis Kelamin  Jumlah

Referensi

Dokumen terkait

Secara empirik, peran pendamping PKH dalam pelaksanaan perbaikan rumah tidak layak huni di Kabupaten Magetan adalah mengajukan usulan calon penerima manfaat bantuan sosial

mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2012 seperti tersebut dibawah ini:.. TELEKOMUNIKASI KHUSUS, PENYIARAN PUBLIK DAN

Sebelumnya Saya ingin mengatakan kepada Anda semua bahwa ini adalah kali pertama Saya “pecah telor” alias baru kali ini dapat dollar langsung dari AssociatedContent (AC) yang

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa aplikasi herbisida ametrin tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap luas daun pada umur pengamatan 4 mst, sedangkan

Penelitian yang dilakukan untuk menganalisa sistem gaji karyawan yang saat ini masih manual, belum terkomputerisasi dengan baik, karena terbatasnya pengetahuan tentang

The number of supports used for different locomotor modes differs when moving above or below 20 m (height * no. of supports * locomotion, Table 8) shows that the number of supports

Kemampuan guru-guru SMA Negeri 1 Waingapu menyusun silabus dan RPP masih dalam predikat kurang. Penilaian terhadap silabus dan RPP yang telah diimplementasikan masih banyak

Maka pencegahan penularan secara vertikal merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam memutus rantai penularan Hepatitis B (Konsensus PPHI, 2006). Oleh karena