• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of INTERVENSI TEPID SPONGE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN HIPERTERMIA PADA PASIEN An. K BRONKOPNEUMONIA: Studi Kasus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of INTERVENSI TEPID SPONGE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN HIPERTERMIA PADA PASIEN An. K BRONKOPNEUMONIA: Studi Kasus"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

INTERVENSI TEPID SPONGE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN HIPERTERMIA PADA PASIEN An. K BRONKOPNEUMONIA: Studi Kasus

Oleh : Juwi Athia Rahmini

Sekolah Tinggi Kesehatan Binalita Sudama E-mail:

athia_r@yahoo.com

ABSTRACT

Bronchopneumonia is an inflammation of the lungs caused by specific bacterial and viral pathogenic organisms, with symptoms of hyperthermia, anxiety, dyspnoea, fast and shallow breathing, vomiting, diarrhea, and dry and productive cough. Hyperthermia occurs due to changes in thermoregulation in the hypothalamus, which is caused by disturbances in the body's systems. Hyperthermia if not treated immediately will cause complications in the form of dehydration and seizures and endanger the safety of the child and . Tepid water sponge (TWS) is a procedure that uses compresses using warm water all over the body and in the area of large blood vessels, thereby helping to reduce the body temperature of children who have Bronchopneumonia. The purpose of this study was to determine nursing care that focuses on the effectiveness of TWS as an intervention in providing nursing care to children with bronchopneumonia with hyperthermia problems. The design used is a case study on An.

K aged 2 years who was diagnosed with bronchopneumonia with hyperthermia nursing problems. The results of this study indicate that the action of TWS by administering antipyretics carried out for 6 days is able to overcome the problem of hyperthermia in children. TWS is expected to be developed into an intervention in carrying out independent nursing care accompanied by recommendations for antipyretic collaboration in children with hyperthermia and health education related to hyperthermia for families.

Keywords: Bronkopneumonia, Hyperthermia, Tepid Water Sponge

ABSTRAK

Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh organisme spesifik patogen bakteri,virus, dengan gejala hipertermia, gelisah, dispnoe, nafas cepat dan dangkal, muntah, diare, serta batuk kering dan produktif. Hipertermia terjadi karena perubahan termoregulasi di hipotalamus, yang disebabkan adanya gangguan pada sisitem tubuh. Hipertermia jika tidak diatasi segera akan menimbulkan komplikasi berupa dehidrasi dan kejang serta membahayakan keselamatan anak dan . Tepid water sponge (TWS) suatu prosedur yang dengan mengkompres menggunakan air hangat keseluruh tubuh dan di area pembuluh darah yang besar, sehingga membantu menurunkan suhu tubuh anak yang mengalami Bronkopneumonia. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui asuhan keperawatan yang berfokus kepada efektifitas TWS sebagai intervensi dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak Bronkopneumonia dengan masalah hipertermia. Desain yang dipakai adalah studi kasus pada kasus An. K usia 2 tahun yang diidagnosis bronkopneumonia dengan masalah keperawatan hipertermia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan TWS dengan pemberian antipiretik yang dilakukan selama 6 hari mampu mengatasi masalah hipertermia pada anak. TWS diharapkan dapat dikembangkan menjadi intervensi dalam melakukan asuhan keperawatan mandiri yang disertai dengan rekomendasi kolaborasi antipiretik pada anak dengan hipertermia serta penkes terkait hipertermia bagi keluarga.

Kata Kunci: Bronkopneumonia, Hipertermia, Tepid Water Sponge

(2)

1. PENDAHULUAN

Bronkopneumonia pada anak adalah peradangan paru yang disebabkan oleh organisme spesifik patogen bakteri,virus, seperti group B streptococci, Klebsiella, Escherichia coli, and Listeria monocytogenes. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada anak-anak di Cina (Lindström et al., 2018). Bronkopneumonia, juga disebut juga pneumonia lobular. Penyakit ini menjadi penyebab sebagian besar kematian pada anak-anak, sehingga beban biaya terkait perawatan penyakit ini cukup besar di negara berkembang (Rudan, 2013).

Prognosis pneumonia lebih baik di negara maju dikarenakan korban jiwa yang minimal, tetapi kasus penyakit ini meningkat berkisar 2,5 juta kasus per tahun. Sekitar sepertiga sampai dengan setengah dari kasus pneumonia menyebabkan rawat inap (Howie, 2019).

Angka kematian akibat anak usia 1-4 tahun sebesar 0,08% di Indonesia (Kemenkes RI, 2016).

Berdasarkan data Laporan Rutin Profil Kesehatan Indonesia didapatkan insiden Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), Bronkopneumonia (per 1000 balita) sebesar 20,54% di Indonesia pada tahun 2017 Sementara, jumlah temuan kasus pneumonia pada balita adalah

46,34% dengan total 447.431 kasus (Kemenkes RI, 2018). Sementara Data Rekam Medik RSUD Subulussalam tahun 2020 didapati data jumlah kejadian Bronkopneumonia sebanyak 138 orang.

Bronkopneumonia merupakan infeksi pada saluran pernapasan bagian bawah laring oleh patogen melalui inhalasi, aspirasi, penyebaran epitel pernapasan, atau secara hematogen (Bengoechea & Pessoa, 2019). Pada pasien pneumonia keluhan tidak spesifik seperti batuk, takipnea, kesulitan bernapas, dan demam. Deman atau suhu tubuh yang meningkat merupakan salah satu ukuran penting yang memberikan petunjuk terhadap suatu kondisi yang memburuk atau membaiknya keadaan penderita. Suhu tubuh yang meningkat pertanda adanya keluhan pada gangguan kesehatan tetapi bukan merupakan suatu diagnosis (Marcdante et al., 2014).

Sementara itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan jumlah kasus demam pada anak usia balita di seluruh dunia mencapai 18-34 juta, anak merupakan yang paling rentan terkena demam, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa (Aryanti &

Setawati., 2016).

Demam atau hipertermia menjadi tantangan yang sering dihadapi oleh perawat anak di tempat kerja mereka.

Hipertermia adalah suhu tubuh yang

(3)

tinggi karena kegagalan termoregulasi.

Hipertermia yang terjadi pada anak dengan Bronkopneumonia disebabkan oleh adanya inflamasi akut pada paru- paru terutama bronkiolus dan sekitar alveolus yang dapat mengaktifkan sistem termoregulasi di hipotalamus.

Hipertermia pada anak merupakan suatu kondisi darurat dan harus segera ditangani, agar suhu dapat segera turun serta komplikasi seperti dehidrasi, kejang demam, hipermetabolisme, hipoksia miokardial

dan serebral dari

demam tersebut bisa diatasi (Fuadi, Bahtera, & Wijayadi, 2010; Hockenberry

& Wilson, 2013; Potter, Perry, Stockert,

& Hall, 2013). Oleh karenanya diperlukan penatalaksanaan intervesi keperawaan yang tepat untuk mengatasi demam pada anak dengan penyakit Bronkopneumonia.

Intervensi hipertermia pada anak memerlukan penanganan lebih khusus dibandingkan dengan dewasa, Sehingga hipertermia menjadi fokus perhatian tersendiri bagi perawat. Perawat klinis harus memberikan manajemen pengaturan suhu yang tepat dengan intervensi segera dalam situasi kritis dengan pemantauan yang cermat.

Keterlambatan Intervensi dapat menimbulkan gejala yang serius.

Hipertermia dapat diatasi secara farmakologi dan non farmakologi. Obat- obat antipiretik dengan kolaborasi tim medis menjadi pilihan untuk meredakan demam. Indonesian Pediatric Society (2014) menyatakan pemberian antipiretik tepat diberikan saat suhu anak >38°C dengan tujuan menurunkan suhu dan membuat anak merasa nyaman.

Sedangkan beberapa Tindakan non farmakolgis yang dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat adalah mengatur asupan cairan adekuat memakai pakaian tipis, mengatur suhu ruangan normal antara (20-25°C) dan mengatur sirkluasi udara ruangan, serta melakukan kompres (Audrey et al,, 2016). Penerapan tehnik kompres bertujuan untuk membantu penurunan suhu tubuh anak terutama bagi anak yang tidak berespon terhadap antipiretik, dan tehnik kompres inipun memiliki banyak variasi seperti kompres hangat konvensional, kompres seka atau lebih dikenal dengan Tepid Water Sponge (TWS) (IDA,2014)

Tepid water sponge merupakan suatu metode membasuh tubuh yang dilakukan dengan cara mengelap sekujur tubuh dan melakukan kompres pada bagian tubuh tertentu terutama di area pembuluh darah besar seperti leher, ketiak dan lipatan paha dengan menggunakan air yang suhunya hangat untuk jangka waktu tertentu (Athirarani,

(4)

2013, Perry & Potter, 2012). TWS bertujuan mendoron aliran darah dar pembuluh darah besar ke permukaan tubuh sehingga darah dapat mengalir dengan lancer dengan menerapkan prinsip pengeluaran panas dengan cara konduksi (Hockenberry & Wilson, 2013;

Potter, Perry, Stockert,

& Hall, 2013)

Dalam melaksanakan TWS perawat juga harus mempersiapakn diri dengan persiapan alat, kontrak wakti, penjelasan perosedur dan tujuan dilakukannya TWS. Perawat harus memonitor secara ketat tanda-tanda vital anak dengan melakukan pengukuran suhu setiap 1 jam sekali agar suhu tetap terpantau (Lipppincott’s, 2013).

Berdasarkan penelitian Wardiyah &

Setiawati (2016) menyatakan TWS lebih efektivitas terhadap penurunan suhu tubuh anak yang mengalami demam dengan bronkopneumonia. Sejalan dengan penelitian Elvira (2019) yang menunjukkan intervensi Tepid Sponge secara statistik menunjukkan ada yang pengaruh perubahan suhu tubuh secara signifikan ( p = 0,000 ≤ α 0,05) (Elvira, 2019).

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain studi kasus yang dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD Subulussalam. Sampel studi

kasus ini adalah anak K yang didiagnosis Bronkopneumonia dengan hipertermi.

pada bulan Januari 2021. Data anak K didapatkan dengan pengkajian fisik, observasi, wawancara dan dokumentasi medis selama 6 hari dimulai dari tanggal 23-28 januari 2021. Asuhan Keperawatan pada anak K diberikan terfokus kepada intervesi TWS dilakukan sesuai dengan prosedur operasional di ruangan. Tahapan pelaksanaan TWS terdiri dari tahap persiapan dan pelaksanaan (Athirarani, 2013; Lipppincott’s, 2013; Rosdahl &

Kowalski, 2008). TWS dilakukan berkisar 20-30 menit saat anak hipertermia dan diberikan antipiretik sesuai intstruksi tim medis. Pada tahap pelaksaaan TWS didampingan oleh ibu dari anak K, tempat tidur diberi alas perlak kemudian waslap basah yang telah diberikab air hangat 37- 400 C. waslap di usapkan keseluruh tubuh.

Setelah itu segera dikeringkan dengan handuk kering, dan waslap basah diletakkan pada area pembuluh darah besar. Jika waslap kering diganti dengan waslap basah dan mengulangi prosedur TWS.

Peneliti melakukan analisis masalah keperawatan hipertermia dengan mengidentifikasi suhu sebelum dilakukan prosedur TWS dan setelah pemberian intervensi. Perawat yang melkaukan TWS mengobservasi anak k jika terjadi

(5)

perubahan kulit seperti kebiruan, menggigil atau gejala dehidrasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

An. K berusia 2 tahun 6 bulan, berjenis kelamin perempuan. Anak K dirawat di RS pada tanggal 23 Januari 2021 sekitar pukul 10.00 WIB. Kemudian anak K dipindahkan ke ruang rawat anak pada pukul 14.30 wib. Anak K didiagnosis Bronkopneumonia saat masuk RS.

Menurut informasi ibu dari anak K mengatakan anak demam, demam selama 6 hari sejak hari Minggu. Berdasarkan informasi dari Ibu Klien Anak K.

mengeluh kedinginan, terlihat mengigil, batuk berdahak, hanya tiduran dan tampak lemah. Sejak sakit, Anak K. Mengalami penurunan nafsu makan, hanya menghabiskan ½ porsi makan yang disediakan. Aktivitas makan, mandi, toileting, berpakaian dibantu oleh ibu klien. Ibu mengatakan anak K.bisa tidur, hanya sekali-kali terdengar batuk. Untuk tingkat perkembangan saat ini anak K.

Sudah sesuai perkembangan anak usia 2 tahun. Anak K.sudah mampu mencoret- coret dan bermain secara aktif sebelum sakit.

Pemeriksaan tanda vital saat pengkajian awal didapatkan tekanan darah 80/40mmHg, frekuensi nadi 110 x/ menit, suhu 39,5ºC, frekuensi nafas 28 x/menit,

BB 12 kg, TB 80 cm, tubuh teraba hangat, tidak ada kejang, lemas. Auskultasi dilapangan paru terdengar ronchi saat inspirasi dan ekspirasi, keinginan minum berkurang. Sebelum sakit anak K mengkonsumsi bubur yang ada dirumah, sementara saat di RS, anak K mendapatkan bubur saring, anak K hanya menghabiskan

½ porsi atau kurang lebih 4 sendok makan.

Untuk cairan, sebelum sakit anak minum susu 1 sekitar 2 botol kecil dan minum 3 gelas air putih dalam sehari. Selama sakit an. K. minum saat diberikan oleh ibunya.

Anak K lebih banyak tidur saat dirawat.

Anak K mendapatkan terapi medikasi dan cairan intravena, oral dan inhalasi. Terapi yang diberikan secara oral yaitu Paracetamol 4 x 120 mg yang akan diberhentikan jika suhu sudah stabil dan diberikan kembali jika anak demam.

Pada pemeriksaan fisik kulit teraba hangat, konjungtiva anak tidak anemis, kondisi anak lemas terbaring, anak tampak bernafas cepat, dan terkadang batuk.

Pemeriksaan laboraturium dilakukan dan milai trombosit dan leukosit menurun.

Pemeriksaan radiologi tidak dilakukan dengan alasan alat belum bisa digunakan.

Diagnosa Keperawatan utama anak K adalah Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan informasi dari ibu yang mengatakan klien demam

(6)

dan menggigil sudah 6 hari, TD = 80/40 mmHg, frekuensi nadi 110 x/ menit, frekuensi nafas 28 x/menit, suhu 39,5°C, kulit terasa hangat, leukosit 23,8 10³/ul.

Perawat melakukan intervensi fever treatment dengan mengobservasi tanda- tanda vital tiap 2 jam, mengobservasi perubahan warna kulit, mengobebservasi penurunan tingkat kesadaran, memantau pemasukan cairan yang adekuat dan memonitor output,. Antipiretik diberika sesuai advise disertai pemberian TWS.

Kolaborasi pemberian cairan intravena dilanjutkan atau diganti. Temperature regulation seperti mengobservasi suhu minimal tiap 2 jam, observasi suhu secara kontinyu mengunakan lembar observasi, Observasi adanya tanda-tanda hipertermia dan hipotermi, Atur intake cairan dan nutrisi. Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya pengaturan suhu tubuh anak dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan, Penkes penanganan demam tinggi secara mendadak, Ajarkan keluarga adanya tanda hipotermi dan penanganan yang diperlukan, Berikan antipiretik bila perlu.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan suhu tubuh Anak K sebelum dan setelah intervensi TWS

Tangg al

Jam Suhu sebelu

Suhu Sesuda

Hasil

m h

23-10- 2021

13.0 0

39,3 C 37,8 C Norm al 17.0

0

39,5C 37,9 Norm al 24-10-

2021

14.0 0

39,2 37,8 Norm al 20.0

0

39,5 37,7 Norm al 25-10-

2021

14.0 0

38,7 C 37,8 Norm al 16.0

0

38,6 37,7 Norm al 26-10-

2021

14.0 0

38,1 37,6 Norm al 27-10-

2021

14.0 0

37,6 37,5 Norm al 28-10-

2021

14.0 0

37,5 37,4 Norm al

Intervensi An K, pada hari pertama sampai ketiga tindakan TWS dilakukan sebanyak 2 kali. Intervensi yang kedua dilakukan setelah 4 jam TWs sebelumnya, suhu tubuh klien masih diatas 39,5 ºC Sehingga dilakukan kembali tindakan pemberian TWS. Pemberian antipiretik diberikan sesuai kolaborasi. Selama diberikan tindakan, rewel, lemas, kurang kooperatif, menangis dan gelisah. Keluarga mengatakan anak K sedikit minum, lebih banyak tertidur. Setelah dilakukan intervensi pemberian TWS sebanyak 2

(7)

kali, terjadi penurunan suhu tubuh antara 0,1- 2ºC. TWs dilakukan sesuai dengan SOP pada hari pertama sampai ketiga anak terlihat rewel, setelah hari keempat anak mulai beradaptasi dengan intervensi yang dilakukan dan sudah mulai kooperatif.

Pembahasan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengkajian bahwa hipertermia merupakan masalah yang menjadi prioritas utama.

Kasus an. K disebabkan oleh penyakit infeksi brokopneumonia. WHO (2019) menyatakan kasus pneumonia menyumbang 15% angka kematian anak usia di bawah 5 tahun secara global pada tahun 2017 tercatat bahwa terdapat 808.694 anak di seluruh dunia yang meninggal akibat pneumonia. Saat pengkajian lanjutan tedengar suara nafas bronkovesikuler dan rhonki basah basah halus dilapangan paru, hanya pemeriksaan rotgen tidak dilakukan.

Gejala khas dari bronkopneumonia adalah batuk, sesak nafas dan demam.

Pada an. K gejala yang perlusegera diatasi adalah demam (hipertermia), dimana penyakit ini didahului infeksi selama beberapa hari pada saluran nafas atas.

Suhu tubuh anak juga dapat naik secara mendadak. Pneumonia yang terjadi an. K masih tergolong ringan, karena belum dijumpai keluhan sesak nafas, sianosis, retraksi dinding dada dan masih mau

minum. Hasil pengkajian tersebut sesuai dengan teori, yaitu anak dengan Bronkopneumonia akan menunjukan manifestasi klinik seperti demam tinggi (>38℃), batuk, takipneu, adanya retraksi dada, pernafasan cuping hidung, dan ditemukan suara paru yang abnormal (McInerny et al., 2017). Keluhan hipertermia yang dirasakan selama 6 hari dimana suhu meningkatkan sudah diberikan obat warung tidak terjadi penurunan. Hasil pengkajian tersebut sesuai dengan teori, yaitu manifestasi klinik anak dengan bronkopneumonia adalah demam tinggi (>38℃), batuk produktif, takipneu, adanya retraksi dada, pernafasan cuping hidung, dan ditemukan suara paru yang abnormal (McInerny et al., 2017).

Pemeriksaan penujang laboraturium yang menunjukkan leukositosis.

Leukositosi menunjukkan adanya infeksi dengan nilai 23,8. 103/ul, dengan nilai Hemoglobin (Hb) 12,6 g/dl. Sumarno et al., (2010) menyatakan nilai Hemoglobin biasanya tetap normal atau sedikit menurun. Menurut Nelson et al (2000) Pda pemeriksaan leukosit terjadi peningkatan 15.000-40.000/mm, hal ini kemungkinan disebabkan oleh bakteri. Pada an. K tidak dilakukan pemeriksaan radiologi karena alasan tertentu seperti biaya, sehingga gambaran paru atau bercak tidak tergambar.

(8)

Menurut Hockenberry dan Wilson (2013), hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh tanpa disertai peningkatan set point di hipothalamus yang biasanya disebabkan oleh adanya gangguan hormon, gangguan metabolisme, penggunaan obat-

obatan atau akibat

dari peningkatan suhu lingkungan.

Sementara Menurut Pujiarto dalam Irawan (2016), demam dapat terjadi akibat

beberapa hal yaitu

ketika suhu set point meningkat misalnya saat terjadi infeksi di dalam tubuh. Hal ini terjadi karena beban yang berlebihan pada mekanisme pengaturan suhu tubuh (Widagdo, 2012) dan ketidakmampuan mekanisme tubuh yang memproduksi panas berlebihan. Jika hipertermia tidak segera diatasi akan mengakibatkan dehidrasi, kejang dan kehilangan kesadaran.

Intervensi keperawatan mandiri dilakukan oleh perawat terfokus pada TWS. TWs diberikan dengan memperhatikan beberapa hal seperti edukasi TWS kepada keluarga anak K.

Sehingga TWs dapat dilakuakn mandiri oleh keluarga anak K terutama ibu.edukasi dilakukan dengan memberikan brosur dan praktik langsung saat pemberian TWS kepada anak K yang di observasi oleh perawat ruangan. Tepid Sponge dengan durasi 20 hingga 30 menit tidak lebih dari 1 jam direkomendasikan. Efek puncak

dari tindakan ini yang terjadi antara 15 dan 30 menit setelah intervensi (Lim et al., 2018).

Tepid water sponge merupakan suatu cara membasuh tubuh dengan cara mengelap sekujur tubuh yang dilakukan dengan cara menyeka keseluruh tubuh dan meletakkkan waslap bsah yagn telah diremdam air hangat pada bagian area pembuluh darah besar untuk jangka waktu tertentu (Potter & Perry , 2012, Athirarani, 2013 ). Sejalan dengan penelitian Bettinelli (2012) rekomendasikan pemberian antipiretik secara oral untuk menurunkan demam pada anak dan menggunakan TWS untuk menunjang penurunan suhu tubuh anak. Penelitian lain terkait TWS menyatakan penurunan rata- rata suhu tubuh pada kelompok TWS lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang mendapat kompres hangat (Maharani, 2011).

Intervesi TWS dengan memberikan ransangan pendingin dari luar sehingga otak merespon dengan memproduksi dingin didalam tubuh. TWS yang diberikan di area tertentu dapat merangsang perluasan daerah yang mengalami vasodilatasi yang terbawa aliran darah keseluruh tubuh. Vasodilatasi yang maksimal akan mempercepat perpindahan panas dari tubuh keseluruh kulit. Pada intervensi TWS terjadi dua

(9)

proses yaitu konduksi dan evaporasi.

Konduksi terjadi pada saat di lakukannya mengkompresan diarea tertentu dengan waslap dan evaporasi terjadi pada saat air hangat di seka keseluruh tubuh sehingga terjadi proses penguapan panas menjadi keringat. Hal ini terjadi karena hipotalamus anterior memberi sinyal pada kelenjar keringat untuk melepaskan keringat (Sodikin, 2012).

Air yang dikompres ke tubuh membantu mengontrol tubuh suhu dengan pengeluaran keringat juga melepaskan racun dari tubuh yang dapat membantu mengurangi retensi cairan. Kondisi yang harus dihindari dalam melakukan kompres adalah gangguan otak yang parah, luka terbuka, perubahan sensasi, hidrofobia, intoleransi panas atau dingin & buruk keseimbangan (Chowdhury et al., 2021).

Peneliti lain menunjukkan pemberian asupan cairan yang adekuat, menggunakan pakaian tipis, mengatur suhu ruangan normal antara (20-25℃), mengatur sirkluasi udara ruangan dan melakukan kompres (Audrey et al., 2016).

Sejalan dengan penelitian yang menyatakan TWS menurunkan suhu sekitar 0,39 dan pemberian parasetamol 1,6 °C (Blaylock & Maroon, 2011). Pada an. K dilakukan intervensi tepid sponge dikombinasikan setelah 15 menit pemberian antipiretik. Selama 6 hari

perawatan suhu setelah pemberian intervensi tersebut mengalami penurunan.

Hal ini menunjukkan intervensi tersebut berdampak positif pada penurunan suhu an. K, hanya saja jika tanpa kombinasi antipiretik dampak penurunan suhu an. K tidak telalu jauh dari suhu sebelum tindakan tepid sponge.

Tindakan TWS merupakan intervesi keperawatan mandiri yang terkadang dianggap tidak perlu karena anak sudah mendapatkan antipiterik, bahkan intervensi ini didelegasikan kepada keluarga yang menjaga pasien. Padahal intervensi ini murah dan mudah dilakukan sehingga memungkinkan untuk dilakukan edukasi ke keluarga untuk dilakukan dirumah saat anak demam. Pemberian antipiretik disertai intervesi TWS kecenderungan mengalami penurunan suhu yang lebih besar dan peneingkatan rasa nyaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemebrian antipiretik saja. Saat pemberian TWs terjadi interaksi antara anak yang mengalami hipertermia dengan perawat, sehingga terjalin rasa percaya, caring dan kenyamanan.

4. SIMPULAN

An. K didiagnosis Bronkopneumonia dengan tanda dan gejala demam dan rochi, disertai leukositosi. Asuhan keperawatan yang telah dilakukan kepada

(10)

An. K adalah untuk mengatasi masalah hipertermiai. Pada hari terakhir perawatan, masalah keperawatan pada An. K yang bersifat aktual telah berhasil teratasi. Intervensi keperawatan mandiri dengan TWS menjadi salah satu alternatif disertai kolaboarasi pemberian antipiretik. Hal ini dibuktikan pada implementasi yang diberikan kepada An.

K, terjadi penurunan rata-rat suhu sekitar 1,5-0,1 ℃ dalam waktu 60 menit Evaluasi tindakan TWS sebagai keperawatan mandiri harus memperhatikan dampak tindakan tersebut secara berkala seperti mengigil atau penggunaan suhu air yang tepat.

5. DAFTAR PUSTAKA

Alves, J. G. B., Almeida, N. D. C. M. D.,

& Almeida, C. D. C. M. D. (2008).

Tepid sponging plus dipyrone versus dipyrone alone for reducing body temperature in febrile children. Sao Paulo Medical Journal, 126, 107-111.

Aryanti 2015. Perbandingan Efektifitas Pemberian Kompres Hangat Dan Tepid Sponge Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Anak Yang Mengalami Demam RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Jurnal Ilmu Keperawatan - Volume 4, No. 1 Mei 2016.

Athirarani, M. (2013). Warm sponging versus tepid sponging in febrile children: Double blind randomized controlled trial of efficacy. IJNC, 16-20. Retrieved

2022, from

http://www.i-

scholar.in/index.php/ijnc/article/vi ew/41872

Audrey, T., Snyder, S., Skiles, L., Spencer, H., & Torphy, M. D.

(2016). Student workbook and resource guide for Kozier & Erb's fundamentals of nursing. London:

Pearson.

Bengoechea, J. A., & Sa Pessoa, J. (2019).

Klebsiella pneumoniae infection biology: living to counteract host defences. FEMS microbiology reviews, 43(2), 123-144.

Blaylock, R. L., & Maroon, J. (2011).

Immunoexcitotoxicity as a central mechanism in chronic traumatic encephalopathy—a unifying hypothesis. Surgical neurology international, 2.

Chowdhury, R. S., Islam, M. D., Akter, K., Sarkar, M. A. S., Roy, T., &

Rahman, S. T. (2021). Therapeutic aspects of hydrotherapy: a review.

Bangladesh Journal of Medicine, 32(2), 138-141.

Elvira, M. (2019). Effect of Tepid Sponge on changes in body temperature in

(11)

children under five who have fever in Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Hospital. Enfermeria clinica, 29, 91-93.

Lim, J., Kim, J., Moon, B., & Kim, G.

(2018). Tepid massage for febrile children: A systematic review and meta‐ analysis. International journal of nursing practice, 24(5), e12649.

Lindström, L., Tauni, F. A., & Vargmar, K. (2018). Bronchopneumonia in Swedish lambs: a study of pathological changes and bacteriological agents. Acta Veterinaria Scandinavica, 60(1), 1-8.

Lippincott’s. (2013). Nursing procedures (6th ed.). Wolter Klluwers:

Lippincot Wiliaw &

Wilkins.

Maharani, L. 2011. Efektifitas Pemberian Kompres Hangat dan Tepid Sponge Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Balita yang Mengalami Demam di Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Rumbai Pesisir Marcdante, K. J., Kliegman, R. M.,

Jenson, H. B., & Behrman, R. E.

(2014). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Essensial, Edisi Ke-6. Ikatan Dokter Anak Indonesia (Saunders

Elsevier). Jakarta.

Nelson, W. E., & Arvin, K. (2000). Ilmu kesehatan anak. Buku Kedokteran:

Jakarta.

Potter, P., Perry, A., Stockert, P., & Hall, A. (2013). Fundamentals of

nursing (8th ed.).

St.Louis: Elsevier Mosby

Potter, P.A & Perry A.G. (2012).

Fundamental of nursing:

Fundamental keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika.

Rudan, I., Nair, H., Marušić, A., &

Campbell, H. (2013). Reducing mortality from childhood pneumonia and diarrhoea: The leading priority is also the greatest opportunity. Journal of global health, 3(1).

Sodikin. 2012. Prinsip Perawatan Demam Pada Anak.Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sumarno, S., Soedarmo, P., &adinegoro, S.R. (2010). Buku Ajar Infeksi dan Pediatric Tropis, Jakarta; Ikatan Dokter Anak Indonesia.

WHO. (2019). Pneumonia in children, https://www.who.int/news-

room/fact-sheets/detail/pneumonia

Referensi

Dokumen terkait

Apabila peserta Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) yang memenuhi nilai ambang batas berdasarkan Perturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

Puji Tuhan penulis panjatkan atas kasih, anugerah, dan penyertaan Tuhan Yesus Kristus sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini yang berjudul “Proses

a) Untuk kelas eksperimen 1, proses KBM dilakukan di kelas dan penugasan mengunjungi blog. b) Guru memberikan arahan tata cara pembelajaran dengan blog dengan memberi

Dari penerapan dua metode GORE yang ada pada kasus pengembangan SIPMD pada KPM dapat disimpulkan beberapa hal yaitu menggunakan KAOS akan mendapatkan alasan dari goal yang

... Dari pengalaman dilapangan diperoleh data, bahwa dengan pengakayaan air berat sebesar 92 % untuk produksi 3 ton air berat pertahun diperlukan D = 10 Inch dan tinggi kolom 20

Dalam penelitian ini, ANOVA digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata pada tanggapan responden pada perlakuan gambar AH (kredibilitas tinggi,

Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah (scientific

Daha önce de ifade ettiğimiz gibi bilinçli bir kendi kendine telkin ile kendilerini iyileştiren insanların yanı sıra bu şekilde kendi kendini hasta eden insanlardan söz etmek