• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMANASAN BERULANG ASPAL TERHADAP KARAKTERISTIK HRS-BASE DENGAN VARIASI TEMPERATUR PEMADATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENGARUH PEMANASAN BERULANG ASPAL TERHADAP KARAKTERISTIK HRS-BASE DENGAN VARIASI TEMPERATUR PEMADATAN"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMANASAN BERULANG ASPAL TERHADAP KARAKTERISTIK HRS-BASE DENGAN VARIASI

TEMPERATUR PEMADATAN

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-1

OLEH :

JULIUS SARUNGALLO 45 11 041 004

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2017

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya yang selalu tercurahkan kepada setiap Hamba-nya, dengan kasih dan sayang-Nya, telah memperkenankan kami untuk menyelesaikan tugas akhir ini walaupun dalam bentuk yang sederhana.

Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Sipil Fakultas Teknik Program Reguler Universitas Bosowa Makassar.

Dalam tulisan ini penulis menyajikan pokok bahasan menyangkut masalah dibidang transportasi, dengan judul :

“PENGARUH PEMANASAN BERULANG ASPAL TERHADAP

KARAKTERISTIK HRS-BASE DENGAN VARIASI TEMPERATUR PEMADATAN”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya tugas akhir ini adalah berkat bantuan dan sumbansi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Ibu Savitri Prasandi M, ST., MT selaku Ketua Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar.

2. Ibu Nurhadijah Yunianti, ST., MT selaku Sekretaris Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar sekaligus sebagai pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini..

(3)

3. Bapak Ir. H. Abd. Rahim Nurdin, MT selaku pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Ayahanda Ir. H. Syahrul Sariman, MT. yang selalu memberikan nasehat dan masukan selama proses penyelesaian tugas akhir ini.

5. Seluruh Staff Dosen Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar.

6. Bapak Eka yuniarto, ST, MT selaku Kepala Laboratorium Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar.

7. Bapak Muh. Hamdan, ST selaku Asisten Laboratorium Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan masukan sehubungan dengan penelitian ini.

8. Kepada kedua orang tua dan keluarga tercinta atas doa, dukungan dan bantuannya, berupa moril maupun materi selama penulis menuntut ilmu di Universitas Bosowa Makassar.

9. Kepada saudara seperjuangan angkatan 2011 Fakultas Teknik Jurusan Sipil yang telah memberikan banyak pelajaran dan bimbingan kepada saya.

10. Kepada rekan-rekan seperjuangan penelitian di Laboratorium Teknik Sipil Universitas Bosowa Makassar. Yang telah membantu dan memberikan semangat serta dukungan dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.

Dengan penuh kesadaran diri dan segala kerendahan hati penulis, menyadari bahwa hanya Tuhan yang memiliki segala kesempurnaaan, sehingga tentu masih banyak lagi rahasia-Nya yang belum tergali dan belum

(4)

kita ketahui. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran-saran dan kritik yang positif demi penyempurnaan tugas akhir ini. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Amin.

Makassar, JUNI 2017

PENULIS

(5)

PENGARUH PEMANASAN BERULANG ASPAL TERHADAP KARAKTERISTIK HRS-BASE DENGAN VARIASI

TEMPERATUR PEMADATAN

Oleh :

JULIUS SARUNGALLO Email : juliussarungallo94@gmail.com

DEPARTEMENT OF CIVIL FACULTY OF ENGINEERING UNIVERSITY OF BOSOWA MAKASSAR

Counsellor:

Ir. H. Abd. Rahim Nurdin,MT Email: rahimnurdiin@yahoo.co.id

Nur Hadijah Yunianti,ST.,MT Email: nurhadijahyunianti@gmail.com

ABSTRACT

This study was conducted to determine the effect of compaction temperature on Marshall parameters for HRS-Base asphalt mixture. The value of asphalt optimum in the study was searched using 15 samples and was done at Bosowa University Highway Laboratory. The compaction temperature under study is 85C-150C. From the research, it was found that the compaction temperature that fulfilled the requirements for asphalt concrete mixture of HRS-Base using asphalt oil asphalt was at 120C to 145C, while for temperature below 120C temperature did not meet the requirements.

Keyword :HRS-Base, Marshall Parameter, Compaction Temperature

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pengajuan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ... xv

Daftar Notasi ... xviii

Daftar Lampiran ... xxi BAB I PENDAHULUAN ... I-1

1.1. ... Latar Belakang ... I-1 1.2. ... Rumusan

Masalah ... I-3

1.3. ... Maksud Dan Tujuan Penelitian ... I-3

1.3.1. ... Maksud Penelitian……….. I-3

1.3.2. ... Tujuan Penelitian……… I-3

1.4. ... Batasan Masalah ... I-4

(7)

1.5. ... Sistematika Penulisan……… ... I-5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... II-1

2.1. Umum ... II-1 2.2. Pengertian Jalan ... II-1 2.3. Perkerasan Jalan ... II-2

2.3.1. Jenis Konstruksi Perkerasan Jalan ... II-3 2.3.2. Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan ... II-5 2.3.3. Sifat Perkerasan Lentur Jalan ... II-9 2.3.4. Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan ... II-10 2.4. Agregat ... II-11 2.4.1. Klasifikasi dan jenis agregat ... II-12 2.4.1.1. Klasifikasi Agregat……….. II-12 2.4.1.2 Jenis Agregat ……….. II-14

2.4.2. Sifat-Sifat Fisik Agregat dan Hubungannya

Dengan Kinerja Campuran Beraspal ... II-15 2.4.2.1. Ukuran Butir……….... II-16

2.4.2.2. Gradasi ……… II-18 2.4.2.3. Kebersihan Agregat……….…….. II-20 2.4.2.4. Kekerasan (toughness) ………... II-21

2.4.2.5. Bentuk butir agregat ………..……… II-22 2.4.2.6. Tekstur Permukaan Agregat ……….…….. II-24

(8)

2.4.2.7. Daya Serap Agregat ………...……….. II-24 2.4.2.8. Kelekatan Terhadap Aspal ..………...……. II-25

2.4.3. Pemeriksaan agregat………..…………. II-26 2.4.4. Filler………..……….…….………… II-29 2.5. ASPAL ……….. II-30

2.5.1. Sumber Aspal ……… II-31 2.5.1.1. Aspal hasil destilasi………..…..….. . II-31 2.5.1.2 Aspal Alam ……….………. II-35 2.5.1.3 Aspal Modifikasi ………..… II-36 2.5.2. Sifat-Sifat Aspal.……... II-37

2.5.3. Fungsi Aspal.….………... II-38 2.5.4. Pemeriksaan Aspal……..……….…….…... II-39

2.6. Beton Aspal………... II-41 2.6.1. Karakteristik Campuran Aspal Beton ……… II-42

2.6.2. Volumetrik Campuran Aspal Beton……..……..…. . II-45 2.6.3. Jenis-Jenis Beton Aspal Campuran Panas……….. II-52 2.6.4. Rancangan Campuran Beton Aspal ………. II-54

2.7. Kadar aspal rencana……….……… II-56 2.8. Pemanasan Berulang ……….………..……….. II-58

(9)

2.9. Prinsip pemadatan………..………. II-58 2.10. Metode Marshall………..……… II-59

BAB III METODE PENELITIAN……….……….…… III-1 3.1. Bagan Alir Penelitian . ………..…………... III-1 3.2. Lokasi Material ………..…………... .. III-3 3.3. Lokasi Penelitian……….………...……. III-3 3.4. Waktu Pelaksanaan ………... III-3 3.5. Persiapan Peralatan dan Pengambilan sampel ……..… . III-3 3.5.1. Pemeriksaan Analisa agregat……… III-3 3.5.2. Pemeriksaan Berat Jenis dan

Penyerapan Agregat Kasar……….…….. III-5 3.5.3. Pemeriksaan Abrasi Agregat ………..…… . III-7 3.5.4. Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan

Agregat Halus ………..………....…. . III-8 3.5.5. Pemeriksaan Kadar Lumpur Agregat Halus…….... III-11 3.6. Pemeriksaan Aspal ………..……….. III-12 3.6.1. Pemeriksaan Berat Jenis Aspal ... III-12 3.6.2. Pemeriksaan Titik Nyala dan Titik Bakar ... III-14 3.6.3. Pemeriksaan Titik Lembek Aspal……….. III-16 3.6.4. Pemeriksaan Daktilitas ……….…………. III-17 3.6.5. Pemeriksaan Penetrasi Aspal……… III-19 3.6.6. Pemeriksaan Viskositas……….. III-20 3.7. Penentuan Jumlah dan Persiapan Benda Uji……….. III-21 3.7.1. Penentuan Jumlah Benda Uji………...………. III-22

(10)

3.7.2. Rancangan Agregat Gabungan ... III-22 3.7.3 Pembuatan Benda Uji untuk penentuan

Kadar Aspal Optimum………. .. III-24 3.8. Pengujian Benda Uji untuk Penentuan KAO ... III-25 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... IV-1

4.1. Rekapitulasi Hasil Pengujian ... IV-1 4.1.1. Hasil Pemeriksaan Analisa Saringan ... IV-1 4.1.2. Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Dan

Penyerapan ... IV-3 4.2. Penentuan Proporsi Agregat Campuran ... IV-5 4.3. Pembuatan Benda Uji untuk Penentuan Kadar Aspal

Optimum ... IV-8 4.3.1. Perkiraan Kadar Aspal Rencana (Pb) ... IV-8 4.3.2. Penentuan Berat Agregat dan Berat Aspal Dalam

Campuran ... IV-8 4.3.3. Perhitungan Berat Jenis dan Penyerapan

Campuran ... IV-10 4.4. Data Uji Marshall Untuk Penetuan KAO ... lV-11 4.4.1. Perhitungan Berat Agregat Dan Berat Aspal…….. lV-16

4.4.2. Data Hasil Uji Dengan Alat Marshall Yang

Diperoleh Dengan Menggunakan KAO ... lV-16 4.4.3. Analisis Pembahasan Hasil Pengujian Variasi

Temperatur Pemadatan Dengan Menggunakan

(11)

Aspal Pen 60/70 ……… lV-18 4.4.4. Analisis Pembahasan Perubahan Sifat-Sifat

Aspal Akibat Proses Pemanasan Berulang Dengan Variasi Temperatur Pemadatan………IV-24 4.4.4. Hubungan KAO Dengan Persentase Nilai Iks …… IV-26 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... V-1

5.1. Kesimpulan ... V-1 5.2. Saran ... V-2 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Data Hasil Pengujian Laboratorium 2. Foto Dokumentasi Penelitian

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 perkerasan lentur dan perkerasan kaku ………. II-4 Tabel 2.2. Ketentuan Agregat Kasar ... II-17 Tabel 2.3. Ketentuan Agregat Halus ... II-18 Tabel 2.4. Gradasi Agregat Gabungan untuk Campuran Aspal ... . II-20 Tabel 2.5. Ketentuan Sifat-Sifat Campuran Lataston ... . II-56 Tabel 3.1. Perhitungan Benda Uji... III-22 Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Material Batu Pecah 1-2 ... IV-1 Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Material Batu Pecah 0,5-1 ... IV-2 Tabel 4.3. Hasil Pemeriksaan Material Pasir ... IV-2 Tabel 4.4. Hasil Pemeriksaan Analisa Saringan Semen ... IV-3 Tabel 4.5. Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Dan Penyerapan

Batu Pecah 1-2... lV-3 Tabel 4.6. Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Dan Penyerapan

Batu Pecah 0,5-1 ... IV-4 Tabel 4.7. Hasil Pemeriksaan berat jenis Dan penyerapan Material

Pasir ……… IV-4

Tabel 4.8. Hasil Pemeriksaan berat jenis Dan penyerapan Material Semen . ………. IV-5 Tabel 4.9. Tabel Penggabungan Agregat HRS-Base Standar ... lV-6 Tabel 4.10. Komposisi Untuk Campuran HRS-Base Standar……… IV-9 Tabel 4.11. Berat Aspal Dan Agregat Pada Campuran Aspal

Panas HRS- Base Standar……… ... IV-9 Tabel 4.12. Hasil Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan

(13)

Agregat untuk Campuran HRS-Base Standar…………. IV-10 Tabel 4.13. Komposisi campuran dengan menggunakan Aspal

Pen 60/70………. lV-16 Tabel 4.14. Hasil Uji Marshall KAO Dengan Variasi

Temperatur Pemadatan dan Perendaman Selama

30 Menit Pada Suhu 60°C.………. lV-17 Tabel 4.15. Hubungan KAO Dengan Persentase Nilai IKS Beton

Aspal HRS-Base………..……… IV-26

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagian-bagian jalan ... II-2 Gambar 2.2. Lapisan Konstruksi Perkerasan Kaku ... II-3 Gambar 2.3. Komponen Perkerasan Komposit ... II-5 Gambar 2.4. Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur ... II-9 Gambar 2.5. Macam Gradasi ... II-19 Gambar 2.6. Contoh tipikal macam-macam gradasi agregat……….. II-20 Gambar 2.7. Ilustrasi prosespenyulingan minyak ... II-32 Gambar 2.8. Komponen Campuran Beraspal Secara Volumetrik…. II-45 Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian ... III-2 Gambar 3.2. Satu Set Saringan ... III-4 Gambar 3.3.Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Agregat

Kasar ... III-6 Gambar 3.4. Pengujian Los Angeles ... III-8 Gambar 3.5. Pengujian Berat Jenis Agregat Halus ... III-11 Gambar 3.6. Pengujian Berat Jenis Aspal ... III-14 Gambar 3.7. Pengujian Daktilitas ... III-18 Gambar 3.8. Pengujian Penetrasi ... III-20 Gambar 4.1. Grafik Penggabungan Untuk Agregat HRS-Base ... IV-7 Gambar 4.2. Grafik Karakteristik Marshall Test ... IV-12 Gambar 4.3. Diagram Penentuan Kadar Aspal Optimum ... IV-14 Gambar 4.4. Diagram Perbandingan Kepadatan ... lV-18 Gambar 4.5. Diagram Perbandingan Stabilitas ... lV-19

(15)

Gambar 4.6. Diagram Perbandingan Flow ... lV-20 Gambar 4.7. Perbandingan VIM ... lV-21 Gambar 4.8. Diagram Perbandingan MQ ... lV-22 Gambar 4.9. Diagram Perbandingan VFB ... lV-23 Gambar 4.10. Diagram Perbandingan VMA ... lV-24

(16)

DAFTAR NOTASI

AASTHO = American Association Of State Highway and Transportation Officials AC = Asphalt Concrete

AC - BC = Asphalt Concrete Binder Course AC - Base = Asphalt Concrete Base

AC - WC = Asphalt Concrete Wearing Course ASBUTON = Aspal Batu Buton

ASTM = American Society For Testing and Materials

Ba = Berat Benda UjiKering Permukaan Jenuh di dalamAir BFT = Bitumen Film Thickness

Bj = Berat Benda Uji Kering Permukaan Jenuh Bk = Berat Benda Uji Kering Oven

cP = Centipoise

DMF = Design Mix Formula EVA = Ethylene Vinyl Acetate

Filler = Berupa Abu batu Bahan Perkerasan Yang Lolos Saringan No. 200 Flow = Pelelehan

Ga = Berat Jenis Aspal Gsa = Berat Jenis Semu

Gsb = Berat Jenis curah dari total Agregat Gse = Berat Jenis Efektif

H = Hidrokarbon

HRS = Hot Rolled Sheet HRS - Base = Hot Rolled Sheet Base

HRS - WC = Hot Rolled Sheet Wearing Course

(17)

HRSS = Hot Roled sand Sheet

HSMA = High Stiffnes Modulus Asphalt JMF = Job Mix Formula

KAO = Kadar Aspal Optimum LATASTON = Lapisan Tipis AspalBeton LATASIR = Lapisan Tipis Aspal Pasir LASTON = Lapisan Aspal Beton LPA = Lapis Pondasi Atas LPB = Lapis Pondasi Bawah LTD = Lapis Tanah Dasar MC = Medium Curing Cut Back

MPBJ = Manual Pemeriksaan Bahan Jalan MQ = Marshall Quetiont ( kg / mm ) Pa.s = Pascal sekon

Pb = Perkiraan Bitumen Pba = Penyerapan Aspal Pen 60/70 = Penetrasi 60/70 RC = Rapid Curing

RCC = Residium Catalytic Cracking SBS = Styrene Butadine Styrene SBR = Styrene Butadine Rubber SC = Slow Curing Cut Back SI = Standar Internasional SIS = Styrene Isoprene Styrene SMA = Split Mastic Asphalt

SNI = Standar Nasional Indonesia

SS = Sand Sheet

(18)

SSD = Surface Saturated Dry VFB = Voids Filled With Bitumen VIM = Voids In Mixed (%)

VMA = Voids In Mineral Agregates (%)

‘’ = Ukuran Saringan Dalam Inchi

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Pemeriksaan Analisa Saringan Agregat Kasar dan Agregat Halus

Lampiran II : Gradasi Penggabungan Agregat (Combined Aggregate) Lampiran III : Pemeriksaan Berat Jenis Agregat Kasar dan Halus Lampiran IV : Pemeriksaan Keausan Agregat

Lampiran V : Pemeriksaan Kadar Lumpur

Lampiran VI : Perhitungan Komposisi Campuran HRS-Base Standar

Lampiran VII : Hasil Pengujian Marshall Test Campuran HRS-Base Standar Lampiran VIII : Hasil Grafik Karakteristik Marshall Test HRS-Base Standar Lampiran IX : Hasil Diagram Penentuan Kadar Aspal Optimum ( KAO ) Lampiran X : Komposisi Campuran HRS-Base ( Marshall Sisa )

Lampiran XI : Hasil Marshall Test Campuran HRS-Base ( Marshall Sisa) Lampiran XII : Komposisi Campuran HRS-Base Dengan Variasi Temperatur

Pemadatan

Lampiran XIII : Hasil Marshall Test Campuran HRS-Base Dengan Variasi Temperatur Pemadatan

Lampiran XIV : Grafik karakteristik Marshall Test Campuran HRS-Base Variasi Temperatur Pemadatan

Lampiran XV : Hasil Marshall Test Campuran HRS-Base ( marshall Sisa) Variasi Temperatur Pemadatan

(20)

Lampiran XVI : Grafik karakteristik Marshall Test Campuran HRS-Base ( Marshall Sisa ) Variasi Temperatur Pemadatan

Lampiran XVII : Angka korelasi Stabilitas Lampiran XVIII : Dokumentasi Penelitian

(21)

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pembangunan dewasa ini telah mencapai seluruh aspek bidang kehidupan, sesuai dengan makin berkembangnya berbagai kebutuhan secara terus menerus sehingga diperlukan kecermatan dan ketepatan dalam menganalisa segala tuntutan masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan yang semakin meningkat maka tidak bisa lepas dari pembangunan sarana dan prasarana yang seimbang dengan dinamika bangsa.

Secara umum fasilitas transportasi menduduki peringkat utama dalam pembangunan. Ini dapat kita ketahui apabila bidang transportasi tidak diperhatikan maka praktis segala kegiatan akan lumpuh total. Selain itu juga dengan adanya sarana transportasi yang baik, lancar, handal, berkemampuan tinggi akan sekaligus menggerakkan bangsa. Dari ketiga bidang transportasi di Indonesia, transportasi udara, transportasi darat dan transportasi air, transportasi daratlah yang paling banyak diminati karena transportasi darat yang paling banyak digunakan serta paling banyak melayani kebutuhan transportasi manusia. Tingginya kebutuhan akan pelayanan transportasi darat ini berarti bahwa tuntutan kebutuhan akan prasarana dari transportasi darat juga semakin tinggi pula. Baik kebutuhan dalam prasarana transportasi darat yang baru maupun pada peningkatan dan pemeliharaan dari prasarana transportasi darat yang sudah ada.

Pemanfaatan aspal di Indonesia dapat diterapkan secara meluas dalam program pembinaan jalan. Pada tahun 1980-an Bina Marga mengembangkan

(22)

campuran aspal yang dikenal dengan Lapis Tipis Aspal Beton (LATASTON) atau Hot Rolled Sheet (HRS) yang diyakini menghasilkan jalan dengan kelenturan dan keawetan yang cukup baik.

Suhu pemadatan campuran beraspal yang lebih tinggi dari persyaratan menyebabkan terjadinya bleeding pada saat pemadatan dan suhu pemadatan yang rendah menyebabkan campuran beton aspal sulit untuk dipadatkan karena viskositas tinggi sehingga tidak tercapai kepadatan yang diinginkan.

Persyaratan beton aspal tercapai bila pelaksanaan di lapangan, suhu pencampuran dan suhu pemadatan dikerjakan sesuai dengan persyaratan.

Biasanya kerusakan jalan terjadi akibat proses pemadatan campuran aspal yang dilakukan di lapangan tidak pada temperatur yang tepat, dalam proses pengangkutan campuran kemungkinan terjadi perubahan suhu pada suatu daerah yang relatif dingin sehingga campuran beraspal tersebut bisa mengalami penurunan suhu. Kondisi ini menyebabkan campuran beraspal tersebut tidak dapat dihamparkan pada lokasi pembangunan jalan karena suhu campuran berada dibawah suhu penghamparan dan pemadatan. Kondisi campuran beraspal yang telah mengalami penurunan suhu tidak boleh dilakukan pemadatan, namun kenyataanya itu tetap terjadi.

Berdasarkan hal diatas dilakukan penelitian mengenai “pengaruh pemanasan berulang aspal terhadap karakteristik HRS-Base dengan variasi temperatur pemadatan” dengan melakukan serangkaian pengujian di laboratorium.

1.2 Rumusan Masalah

(23)

Permasalahan yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini adalah:

mengetahui pengaruh perubahan sifat-sifat aspal akibat proses pemanasan berulang dengan variasi temperatur pemadatan .

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Dengan melihat latar belakang di atas maka penulis mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut :

1.3.1. Maksud

Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk meneliti pengaruh pemanasan berulang aspal terhadap karakteristik HRS-Base dengan variasi temperatur pemadatan .

1.3.2. Tujuan

Tujuan penelitian yang ingin di capai dinyatakan sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaruh aspal keras penetrasi 60/70 terhadap karakteristik HRS-Base dengan variasi temperatur pemadatan.

2. Menganalisis karakteristik campuran panas aspal dengan meneliti variasi suhu yang memungkinkan dan yang paling ideal untuk pemadatan lapangan

1.4 Batasan Masalah

Demi tercapainya maksud dan tujuan dari penulisan maka pembahasan di batasi pada:

(24)

1. Perencanaan campuran menggunakan perencanaan campuran untuk lapis permukaan HRS–Base senjang yang mengacu pada Spesifikasi Baru Beton Aspal Campuran Panas dari Bina Marga.

2. Sumber campuran beton aspal yang dipakai pada penelitian terdiri dari;

a. Aspal minyak Pen. 60/70 yang disiapkan di laboratorium transportasi dan jalan raya fakultas teknik universitas bosowa

b. Agregat (kasar, halus dan pasir) dari sungai Bili-bili, kab.

Moncongloe, propinsi Sulawesi Selatan.

3. Uji analisis Void dinyatakan dalam uji Void In the Mix (VIM), Void Filled with Asphalt (VFA),Void in Mineral Aggregate (VMA).

4. Penelitian yang dilakukan terbatas pada pengujian laboratorium dan tidak melakukan pengujian lapangan.

5. Tidak dilakukan penelitian tentang sifat-sifat aspal.

6. Metode yang dilakukan dalam penelitian untuk campuran HRS-Base adalah metode pengujian mashall test.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini diupayakan melakukan pembahasan secara detail dengan menyesuaikan kajian-kajian berdasarkan kegunaan dan kepentingannya dalam bentuk sistematika pembahasan yang dijabarkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Mengemukakan tentang informasi secara umum dari penelitian ini yang berkenaan dengan latar belakang masalah, maksud dan

(25)

tujuan penelitian, hipotesa, manfaat penelitian, batasan masalah dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi teori-teori yang berhubungan dengan topik penelitian yang digunakan sebagai referensi atau acuan penelitian, seperti sifat- sifat aspal, agregat, dan sifat beton aspal. Dalam bab ini, tinjauan pustaka diuraikan secara sistematis sampai dengan dasar-dasar perhitungan berdasarkan metode pengujian Marshall.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Menjelaskan tentang tahapan penelitian, metode penelitian dan uraian mengenai metode pengujian serta pengambilan sampel untuk memperoleh data penelitian. Disamping itu, bab ini berisi pula uraian tentang pengolahan data dan hipotesis yang diajukan.

BAB IV HASIL PEMBAHASAN

Berisi hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik atau gambar, berikut analisis dan pembahasan setiap hasil yang diperoleh.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan yang merupakan rangkuman dari hasil pembahasan secara rinci, dan saran yang didasarkan dari hasil penelitian serta adanya harapan penelitian lanjutan, mengingat batasan-batasan pada penelitian ini.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum

Perkembangan teknologi jalan raya dimulai dengan sejarah perkembangan manusia yang selalu mencari kebutuhan hidup dan berkomunikasi. Di Indonesia tercatat dalam sejarah jalan dari Anyer ke Panarukan yang dibuat oleh belanda namun belum direncanakan secara teknis baik geometriknya maupun lapis perkerasannya. Pada abad ke-18 baru ditemukan bentuk perkerasan oleh Thomas Telford yaitu struktur Telford dan oleh John Londer McAdam berupa struktur Makadam, sedangkan perencanaan geometrik jalan raya baru dikenal pada tahun 1960. Struktur perkerasan dengan menggunakan bahan campuran panas (hot mix) dikenal pada tauh 1975, dan perkerasan dengan aspal emulsi pada tahun 1980. (Rekayasa Lentur Jalan Raya : 1999)

2.2 Pengertian Jalan

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas, yang berada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api dan jalan kabel (UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan).

Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan,

(27)

atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri. Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan :

a. Ruang Manfaat Jalan (Rumaja)

Rumaja adalah suatu daerah sepanjang jalan yang dikiri-kanan jalan dibatasi oleh patok ambang pengaman jalan, terdiri dari badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.

b. Ruang Milik Jalan (Rumija)

Rumija adalah suatu ruang sepanjang jalan yang dikiri- kanan jalan dibatasi oleh patok batas pemilikan tanah (patok RMJ).

c. Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)

Ruwasja adalah suatu ruang tertentu diluar ruang milik jalan yang ada dibawah pengawasan penyelenggara jalan, dengan zona udara setinggi 5 m dari permukaan as jalan.

Gambar 2.1. Bagian-bagian jalan

2.3. Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja.

(28)

Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat.

2.3.1 Jenis Konstruksi Perkerasan Jalan

Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat

dibedakan atas :

1) Konstruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Perkerasan lentur yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

2) Konstruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Perkerasan kaku yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasat dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.

Gambar 2.2. Lapisan Konstruksi Perkerasan Kaku

Keuntungan menggunakan perkerasan kaku adalah :

 umur pelayanan panjang dengan pemeliharaan yang sederhana;

(29)

 durabilitas baik;

 mampu bertahan pada banjir yang berulang, atau genangan air tanpa terjadinya kerusakan yang berarti.

Kerugian menggunakan perkerasan kaku adalah:

 Kekesatan jalan kurang baik

 Memberikan kesan silau bagi pemakaialan;

 Membutuhkan lapisan tanah dasar yang memiliki penurunan (settlement) yang homogen agar pelat beton tidak retak.

Tabel 2.1. Perkerasan lentur dan perkerasan kaku

Sumber : Sukirman,S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung

3) Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement)

Perkerasan komposit yaitu perkerasan yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.

(30)

Gambar 2.3. komponen perkerasan komposit

2.3.2. Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan

Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu sendiri adalah material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu, aspal dapat menjadi lunak / cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis).Sifat aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh sehingga daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini dapat diatasi/dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan langkah-langkah yang baik dalam proses pelaksanaan.Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil

(31)

dari beban yang diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :

1) Lapisan Permukaan (Surface Course)

Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis pondasi.

Fungsi lapis permukaan antara lain :

 Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.

 Sebagai lapisan tidak tembus air, sehingga hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap kelapisan dibawahnya dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut.

 Sebagai lapisan aus (wearing course) 2) Lapisan Pondasi Atas (Base Course)

Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar.

Fungsi lapis pondasi atas antara lain :

 Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.

 Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

(32)

3) Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)

Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :

 Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda.

 Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.

 Penyebar beban roda.

 Lapis pertama pada pembuatan perkerasan.

4) Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR (Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.

MR (psi) = 1.500 x CBR

Fungsi dari lapis tanah dasar ini adalah :

(33)

a. Sebagai lantai kerja struktur perkerasan diatasnya.

b. Pondasi struktur perkerasan secara keseluruhan.

Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain :

 Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu sebagai akibat beban lalu-lintas.

 Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.

 Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan konstruksi.

 Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas untuk jenis tanah tertentu.

 Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.

Gambar 2.4. lapisan konstruksi perkerasan lentur

2.3.3. Sifat Perkerasan Lentur Jalan

(34)

a. Daya Tahan (Durability)

Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat, campuran dengan aspal, faktor pelaksanaan dan sebagainya.

b. Adhesi dan Kohesi

Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal.

Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadi pengikatan.

c. Kepekaan Terhadap Temperatur

Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil produksi aspal berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut mempunyai jenis yang sama.

d. Kekerasan Aspal

Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses peleburan. Pada waktu proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas (viskositas bertambah tinggi).

Peristiwa perapuhan terus berlangsung setelah masa selesai. Jadi

(35)

selama masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi polimerisasi yang besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.

2.3.4. Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan

Kerusakan pada konstruksi perkerasan lentur dapat disebabkan oleh:

a. Lalu lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.

b. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik dan naiknya air akibat kapilaritas. Material konstruksi perkerasan.

Dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat material itu sendiri.

c. Iklim, Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi, yang dapat merupakan salah satu penyebab kerusakan jalan.

d. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh sistem pelaksanaan yang kurang baik.Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.

Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja. Sebagai contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis dibawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dengan agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang-lubang disamping dan melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya.

2.4 Agregat

(36)

Agregat adalah segala bahan pengisi atau yang dicampurkan dalam proses pembuatan aspal yang berasal dari batu yang mempunyai peranan penting terhadap kualitas aspal maupun harganya. Kadar agregat dalam campuran bahan perkerasan konstruksi jalan pada umumnya berkisar 90 – 95% dari berat total (Silvia Sukirman, 2003).

2.4.1. Klasifikasi dan jenis agregat

Agregat atau batuan diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan proses pembentukannya, yaitu batuan sedimen (sedimentary rocks), batuan beku (Igneous rocks), dan batuan metamorpik (metamorphic rocks).

2.4.1.1. Klasifikasi Agregat

Berdasarkan proses terjadinya agregat dapat dibedakan atas agregat beku (igneous rock), agregat sedimen (sedimentary rock) dan agregat metamorfik (metamorfic rock).

a) Agregat beku (igneous rock)

Agregat beku berasal dari magma yang mendingin dan memadat. Dibedakan atas batuan beku dalam (intrusive igneous) dan batuan beku luar (extrusive igneous).Batuan beku dalam terbentuk dari magma yang terjebak dalam patahan kulit bumi dan kemudian mendingin dan membeku membentuk suatu struktur kristal. Oleh sebab itu batuan jenis ini banyak dijumpai dalam bentuk dan penampakan kristalin. Contoh dari batuan ini adalah granit, diorit

(37)

dan gabro. Proses pergeseran kulit bumi dan erosi menyebabkan terangkutnya atau keluarnya batuan beku dalam ini ke permukaan sehingga batuan ini bisa ditambang dan digunakan. Batuan beku luar terbentuk dari magma yang keluar ke permukaan bumi selama aktivitas erupsi vulkanis dan aktivitas geologi lainnya. Karena berada di daerah terbuka, maka magma ini cepat mendingin dan membentuk struktur penampakan batuan seperti kaca, contohnya kaolit, andesit, obsidian, batu apung dan basal.

b) Agregat sedimen (sedimentary rock)

Agregat ini terbentuk dari endapan sedimen (partikel halus) dalam air. Batuan sedimen ini dapat berupa butiran atau fragmen mineral (contohnya pasir ataupun pasir kelempungan), bekas jasad binatang (contohnya batuan kapur), bekas tanaman (contohnya batu bara).

c) Agregat Metamorfik (metamorfic rock)

Agregat metamorpik atau dikenal juga dengan nama batuan malihan berasal dari batuan sedimen atau batuan beku yang telah mengalami perubahan karena tekanan dan panas yang intensif di dalam bumi atau akibat reaksi kimia yang kuat. Karena kompleksnya proses pembentukan formasi batuan ini, maka agak sulit untuk menentukan bentuk asli dari batuannya. Beberapa jenis dari batuan metamorpik memiliki suatu sifat yang berbeda dengan susunan mineral yang berbentuk lapisan atau bidang. Membelah batuan jenis

(38)

ini sepanjang arah bidang belahnya adalah lebih mudah dari pada membelahnya dalam arah lainnya. Batuan metamorpik yang memiliki jenis struktur seperti ini disebut batuan berlapis (berfoliasi). Contoh dari batuan berfoliasi adalah skis dan flit (terbentuk dari material batuan beku) dan shale (terbentuk dari material batuan sedimentasi).

2.4.1.2 Jenis Agregat

Batuan atau agregat untuk campuran beraspal umumnya diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, seperti contohnya agregat alam (agregat siap pakai), agregat yang perlu diolah, dan agregat buatan.

a. Agregat Alam (natural aggregates)

adalah agregat yang dapat digunakan sebagai material perkerasan jalan dengan bentuk dan ukuran sebagaimana diperoleh di lokasi asalnya, atau dengan sedikit proses pengolahan. Agregat ini terbentuk melalui proses erosi atau degradasi. Dua bentuk dan ukuran agregat alam yang sering dipergunakan sebagai material perkerasan jalan, yaitu kerikil dan pasir.

b. Agregat Yang Perlu Diolah

Agregat yang perlu diolah terlebih dahulu sebelum dipakai adalah agregat yang diperoleh di bukit-bukit, di gunung-gunung ataupun di sungai-sungai. Agregat di gunung dan di bukit pada umumnya ditemui dalam bentuk masif, sehingga perlu dilakukan pemecahan dahulu supaya dapat diangkat ke mesin pemecah

(39)

batu (stone crusher). Guna dapat digunakan sebagai material perkerasan jalan, agregat ini harus dioalah dahulu secara manual, dengan mempergunakan tenaga manusia, atau melalui proses mekanis di mesin pemecah batu. (Silvia Sukirman,2003).

c. Agregat Buatan

Agregat ini didapatkan dari proses kimia atau fisika dari beberapa material sehingga menghasilkan suatu material baru yang sifatnya menyerupai agregat. Beberapa jenis dari agregat ini merupakan hasil sampingan dari proses industri dan dari proses material yang sengaja diproses agar dapat digunakan sebagai agregat atau sebagai mineral pengisi (filler).

Slag adalah contoh agregat yang didapat sebagai hasil

sampingan produksi. Batuan ini adalah substansi nonmetalik yang timbul ke permukaan dari pencairan / peleburan biji besi selama proses peleburan. Pada saat menarik besi dari cetakan, slag ini akan pecah menjadi partikel yang lebih kecil baik melalui perendaman ataupun memecahkanya setelah dingin.

2.4.2. Sifat-Sifat Fisik Agregat dan Hubungannya Dengan Kinerja Campuran Beraspal

Pada campuran beraspal, agregat memberikan kontribusi sampai 90-95%

terhadap berat campuran, sehingga sifat-sifat agregat merupakan salah satu faktor penentu dari kinerja campuran tersebut. Untuk tujuan ini, sifat agregat yang harus diperiksa antara lain :

(40)

1. Ukuran butir 2. Gradasi 3. Kebersihan 4. Kekerasan 5. Bentuk partikel 6. Tekstur permukaan 7. Penyerapan

8. Kelekatan terhadap aspal 2.4.2.1. Ukuran Butir

Pembagian agregat berdasarkan ukuran butiran yaitu : a. Agregat Kasar

Fraksi agregat kasar untuk agregat ini adalah agregat yang tertahan di atas saringan 2,36 mm (No.8) atau lebih besar dari saringan No. 4 (4,75 mm) yang dilakukan secara basah dan harus bersih, keras, awet dan bebas dari lempung atau bahan lainnya.

Agregat kasar harus mempunyai ketahanan terhadap abrasi bila digunakan sebagai campuran WC (wearing course), untuk itu nilai Los Angeles Abrasion Test harus dipenuhi.

Tabel 2.2. Ketentuan Agregat Kasar

Pengujian Standar Nilai

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan magnesium sulfat

SNI 3407:2008 Maks.12 %

(41)

Abrasi dengan mesin Los Angeles

Campuran AC

bergradasi kasar SNI 2417:2008 Maks. 30%

Semua jenis campuran

aspal bergradasi lainnya Maks. 40%

Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95 % Angularitas (kedalaman dari

permukaan <10 cm)

DoT’s Pennsylvania Test Method, PTM No.621

95/90 1 Angularitas (kedalaman dari

permukaan ≥ 10 cm) 80/75 1

Partikel Pipih dan Lonjong ASTM D4791

Perbandingan 1 :5 Maks. 10

% Material lolos Ayakan No.200 SNI 03-4142-1996 Maks. 1 % (Sumber: Spesifikasi Umum Divisi VI, Revisi III,Hal. 34,Bina Marga, 2010)

b. Agregat Halus

Menurut spesifikasi umum divisi 6, agregat halus adalah agregat hasil pemecah batu yang mempunyai sifat lolos saringan No. 8 (2,36 mm) atau agregat dengan ukuran butir lebih halus dari saringan No.

4 (4,75 mm). Agregat halus yang digunakan dalam campuran AC dapat menggunakan pasir alam yang tidak melampaui 15%

terhadap berat total campuran. Fungsi utama agregat halus adalah untuk menyediakan stabilitas dan mengurangi deformasi permanen dari perkerasan melalui keadaan saling mengunci (interlocking) dan gesekan antar butiran. Batu pecah halus harus diperoleh dari batu yang memenuhi ketentuan mutu dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3. Ketentuan Agregat Halus

Pengujian Standar Nilai

Nilai Setara Pasir SNI 03-4428- 1997

Min 50% untuk SS, HRS dan AC bergradasi

Halus Min 70% untuk AC

bergradasi kasar

(42)

Pengujian Standar Nilai

Material Lolos Ayakan No.

200

SNI 03-4428- 1997

Maks. 8%

Kadar Lempung SNI 3423 : 2008 Maks 1%

Angularitas (kedalaman dari

permukaan < 10 cm) AASHTO TP-33 atau ASTM C1252-93

Min. 45

Angularitas (kedalaman dari

permukaan  10 cm) Min. 40

(Sumber: Spesifikasi Umum Divisi VI, Revisi III,Hal. 34,Bina Marga, 2010)

2.4.2.2. Gradasi

Gradasi agregat dinyatakan dalam persentase berat masing-masing contoh yang lolos pada saringan tertentu. Persentase ini ditentukan dengan menimbang agregat yang lolos atau tertahan pada masing-masing saringan.

Gradasi agregat dapat dikelompokkan menjadi :

a). Gradasi Seragam (Uniform Graded) / gradasi terbuka (open graded)

Adalah gradasi agregat dengan ukuran yang hampir sama.

Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka (open graded) karena hanya mengandung sedikit agregat halus sehingga terdapat banyak rongga/ruang kosong antar agregat. Campuran beraspal yang dibuat dengan gradasi ini bersifat porus atau memiliki permeabilitas yang tinggi, stabilitas rendah dan memiliki berat isi yang kecil..

b). Gradasi Rapat (Dense Graded/ Well Graded)

(43)

Gradasi agregat yang ukuran butirnya dari kasar sampai dengan halus terdistribusi secara merata dalam satu rentang ukuran butir atau sering disebut dengan gradasi menerus. Campuran dengan gradasi ini akan memiliki stabilitas tinggi, sifat kedap air bertambah dan memiliki berat isi lebih besar.

c). Gradasi Senjang (Gap Graded/ Poorly Graded)

Adalah gradasi agregat dimana ukuran agregat yang ada tidak lengkap atau ada fraksi agregat yang tidak ada atau jumlahnya sedikit sekali, oleh sebab itu gradasi ini disebut juga gradasi senjang (gap graded). Campuran agregat dengan gradasi ini memiliki kualitas peralihan dari kedua gradasi yang disebutkan di atas.

a. gradasi seragam b. gradasi rapat c. gradasi senjang

Gambar 2.5. Macam gradasi

(44)

Gambar 2.6. Contoh tipikal macam-macam gradasi agregat Sumber : Buku Pedoman Umum Pekerjaan Campuran Beraspal Panas 2004. Hal 34

Tabel 2.4. Gradasi Agregat Gabungan untuk Campuran Aspal

(Sumber: Spesifikasi Umum Divisi VI, Revisi III,Hal. 36,Bina Marga, 2010)

2.4.2.3. Kebersihan Agregat

Dalam spesifikasi biasanya memasukan syarat kebersihan agregat, yaitu dengan memberikan suatu batasan jenis dan jumlah material yang tidak

(45)

diinginkan (seperti tanaman, partikel lunak, lumpur dan lain sebagainya) berada dalam atau melekat pada agregat. Agregat yang kotor akan memberikan pengaruh yang jelek pada kinerja perkerasan, seperti berkurangnya ikatan antara aspal dengan agregat yang disebabkan karena banyaknya kandungan lempung pada agregat tersebut.

Dilapangan, kebersihan agregat sering ditentukan secara visual.

Kebersihan agregat dapat diuji di laboratorium dengan analisa saringan basah, yaitu dengan menimbang agregat sebelum dan sesudah dicuci lalu membandingkannya. Sehingga akan memberikan persentase agregat yang lebih halus dari 0,075 mm (No. 200). Pengujian setara pasir (Sand Equivalent Test) adalah satu metoda lainnya yang biasanya digunakan untuk mengetahui

proporsi relatif dari material lempung yang terdapat dalam agregat yang lolos saringan No. 4,75 mm (No. 4).

2.4.2.4. Kekerasan (toughness)

Semua agregat yang digunakan harus kuat, mampu menahan abrasi dan degradasi selama proses produksi dan operasionalnya dilapangan. Agregat yang akan digunakan sebagai lapis permukaan perkerasan harus lebih keras (lebih tahan) dari pada agregat yang digunakan untuk lapis bawahnya. Hal ini disebabkan karena lapisan permukaan perkerasan akan menerima dan menahan tekanan dan benturan akibat beban lalu-lintas paling besar. Untuk itu, kekuatan agregat terhadap beban merupakan suatu persyaratan yang mutlak harus dipenuhi oleh agregat yang akan digunakan sebagai bahan jalan.

(46)

Uji kekuatan agregat di laboratorium biasanya dilakukan dengan uji abrasi dengen mesin Los Angeles (Los Angeles Abration Test), uji beban kejut (Impact Test) dan uji ketahanan terhadap pecah (Crushing Test) . Dengan pengujian-pengujian ini kekuatan relatif agregat dapat diketahui.

2.4.2.5. Bentuk butir agregat

Bentuk dan tekstur mempengaruhi stabilitas dari lapisan perkerasan yang dibentuk oleh agregat tersebut. Partikel agregat dapat berbentuk :

a. Bulat (Rounded)

Agregat yang ditemui di sungai umumnya telah mengalami pengikisan oleh air sehingga berbentuk bulat.Partikel agregat bulat saling bersentuhan dengan luas bidang kontak kecil sehingga menghasilkan daya interlocking yang lebih kecil dan lebih mudah tegelincir.

b. Lonjong (Elongated)

Partikel agregat berbentuk lonjong dapat ditemui di sungai-sungai atau bekas endapan sungai. Agregat dikatakan lonjong jika ukuran terpanjangnya > 1,8 kali diameter rata-rata. Indeks kelonjongan (elongated index) adalah perbandingan dalam persen dari berat agregat lonjong terhadap berat total. Sifat interlockingnya hampir sama dengan yang berbentuk bulat.

c. Kubus ( Cubical )

(47)

Agregat berbentuk kubus pada umumnya merupakan agregat hasil pemecahan batu masif, atau hasil pemecahan mesin pemecah batu (crusherstone) yang mempunyai bidang kontak yang luas, berbentuk bidang rata sehingga memberikan interlocking/saling mengunci yang lebih besar. Dengan demikian kestabilan yang diperoleh lebih besar dan lebih tahan tehadap deformasi yang timbul.

Agregat ini merupakan agregat yang terbaik untuk dipergunakan sebagai material perkerasan jalan.

d. Pipih (Flaky)

Partikel agregat berbentuk pipih dapat merupakan hasil dari produksi dari mesin pemecah batu ataupun memang merupakan sifat dari agregat tersebut jika dipecahkan cenderung berbentuk pipih. Agregat pipih yaitu agregat yang ketebalannya lebih tipis dari 0,6 kali diameter rata-rata.Indeks kepipihan (flakiness index) adalah berat total agregat yang lolos slot dibagi berat total agregat yang tertahan slot pada ukuran nominal tertentu. Agregat berbentuk pipih mudah pecah pada waktu pencampuran, pemadatan, atau pun akibat beban lalu lintas, oleh karena itu banyaknya agregat pipih dibatasi dengan menggunakan nilai indeks kepipihan yang disyaratkan.

2.4.2.6. Tekstur Permukaan Agregat

Selain memberikan sifat ketahanan terhadap gelincir (skid resistance) pada permukaan perkerasan, tekstur permukaan agregat (baik makro maupun mikro)

(48)

juga merupakan faktor lainnya yang menentukan kekuatan, workabilitas dan durabilitas campuran beraspal. Permukaan agregat yang kasar akan memberikan kekuatan pada campuran beraspal karena kekasaran permukaan agregat dapat menahan agregat tersebut dari pergeseran atau perpindahan.

Kekasaran permukaan agregat juga akan memberikan tahanan gesek yang kuat pada roda kendaraan sehingga akan meningkatkan keamanan kendaraan terhadap slip. Agregat dengan tekstur permukaan yang sangat kasar memiliki koefisien gesek yang tinggi yang membuat agregat tersebut sulit untuk berpindah tempat sehingga akan menurunkan workabilitasnya. Oleh sebab itu penggunaan agregat bertekstur halus dengan proporsi tertentu kadang-kadang dibutuhkan untuk membantu meningkatkan workabilitasnya.

2.4.2.7. Daya Serap Agregat

Keporusan agregat menentukan banyaknya zat cair yang dapat diserap agregat. Kemampuan agregat untuk menyerap air dan aspal adalah suatu informasi yang penting yang harus diketahui dalam pembuatan campuran beraspal. Jika daya serap agregat sangat tinggi, agregat ini akan terus menyerap aspal baik pada saat maupun setelah proses pencampuran agregat dengan aspal di unit pencampur aspal (AMP). Hal ini akan menyebabkan aspal yang berada pada permukaan agregat yang berguna untuk mengikat partikel agregat menjadi lebih sedikit sehingga akan menghasilkan film aspal yang tipis.

Oleh karena itu, agar campuran yang dihasilkan tetap baik agregat yang porus memerlukan aspal yang lebih banyak dibandingkan dengan yang kurang porus.

Agregat dengan keporusan atau daya serap yang tinggi biasanya tidak digunakan, tetapi untuk tujuan tertentu pemakaian agregat ini masih dapat

(49)

dibenarkan asalkan sifat lainnya dapat terpenuhi. Contoh-contoh material seperti batu apung yang memiliki keporusan tinggi digunakan karena ringan dan tahan terhadap abrasi. Meskipun demikian perbedaan berat jenis harus dikoreksi mengingat semua perhitungan didasarkan pada prosentase berat bukan volume.

2.4.2.8. Kelekatan Terhadap Aspal

Kelekatan agregat terhadap aspal adalah kecenderungan agregat untuk menerima, menyerap dan menahan film aspal. Agregat hidrophobik (tidak menyukai air) adalah agregat yang memiliki sifat kelekatan terhadap aspal yang tinggi, contoh dari agregat ini adalah batu gamping dan dolomit. Sebaliknya, agregat hidrophilik (suka air) adalah agregat yang memiliki kelekatan terhadap aspal yang rendah. Sehingga agregat jenis ini cenderung terpisah dari film aspal bila terkena air. Kuarsit dan beberapa jenis granit adalah contoh agregat hidrophilik.

2.4.3. Pemeriksaan agregat

Agregat merupakan hasil produksi dari bahan-bahan alam, sehingga sifat-sifat agregat harus selalu diperiksa di laboratorium dan agregat yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Pemeriksaan agregat ini terdiri dari analisa saringan, berat jenis, penyerapan air, abrasi los angeles.

1. Analisa saringan

Pemeriksaan atau pengujian ini bertujuan untuk membuat suatu distribusi ukuran agregat dalam bentuk grafik yang dapat

(50)

memperlihatkan pembagian butir (gradasi) suatu agregat dengan menggunakan saringan. Gradasi adalah susunan butir agregat sesuai ukurannya. Ukuran butir agregat dapat diperoleh melalui analisis saringan. Satu set saringan umumnya terdiri dari saringan berukuran 4 inci, 3½ inci, 3 inci, 2½ inci, 1½ inci, 1 inci, ¾ inci, ½ inci, ⅜ inci, No.4, No.8, No.16, No.30, No.50, No.100, dan No.200. Ukuran saringan dalam ukuran panjang menunjukkan ukuran bukaan, sedangkan nomor saringan menunjukkan banyaknya bukaan dalam 1 inci panjang.

2. Berat Jenis dan Penyerapan Agregat

Pengukuran berat jenis agregat diperlukan untuk perencanaan campuran agregat dengan aspal, campuran ini berdasarkan perbandingan berat karena lebih teliti dibanding dengan perbandingan volume dan juga untuk menentukan banyak pori agregat. Berat jenis yang kecil akan mempunyai volume yang besar sehingga dengan berat yang sama akan membutuhkan aspal yang banyak.

Berat jenis terdiri dari 4 macam yaitu : a. Berat Jenis Curah (Bulk Specific Gravity)

Adalah berat jenis yang diperhitungkan terhadap seluruh volume pori yang ada ( volume pori yang yang dapat diresapi oleh aspal, volume pori yang tidak dapat diresapi oleh aspal, atau dapat dikatakan seluruh volume pori yang dapat dilewati air dan volume partikel ).

b. Berat Jenis Permukaan Jenuh (SSD Specific Gravity)

(51)

Adalah berat jenis yang memperhitungkan volume pori yang hanya dapat diresapi oleh aspal ditambah dengan volume partikel.

c. Berat Jenis Semu (Apparent Specific Gravity)

Adalah berat jenis yang memperhitungkan volume partikel saja tanpa memperhitungkan volume pori yang dapat dilewati air.

d. Berat Jenis Efektif

Merupakan nilai tengah berat jenis curah dan semu, terbentuk dari campuran partikel kecuali pori -pori udara yang dapat menyerap aspal, yang selanjutnya akan terus diperhitungkan dalam perencanaan campuran agregat dengan aspal.

Nilai penyerapan adalah perbandingan perubahan berat agregat karena penyerapan air oleh pori-pori dengan berat agregat pada kondisi kering.Prosedur untuk pengujian berat jenis agregat kasar berdasarkan SK SNI M-098-1989-F atau ASTM C 127-84. Berikut metode perhitungan berat jenis dan nilai penyerapan agregat kasar:

berat jenis bulk = ...2.1

berat jenis SSD = ...2.2

berat jenis semu = ...2.3

penyerapan =

x 100 %

...2.4

(52)

Keterangan :

Bk = Berat sampel kering oven (gram) B = Berat piknometer berisi air (gram)

Bt = Berat piknometer berisi benda uji dan air (gram)

500 = Berat banda uji dalam keadaan SSD (gram)

3. Abrasi Los Angeles

Prinsip pengujian los angeles adalah pengukuran perontokan agregat dari gradasi standar akibat kombinasi abrasi, tekanan, dan penggilasan di dalam drum baja. Ketika drum berputar, bilah baja yang terdapat di dalamnya mengangkat sampel dan bola baja, membawanya berputar-putar sampai kembali jatuh, mengakibatkan efek tumbuk-tekan atau impact-crushing pada sampel. Sampel sendiri kemudian berguling dengan mengalami aksi abrasi dan penggilasan sampai bilah baja kembali menekan dan membawanya berputar. Demikianlah siklus yang terjadi di dalam mesin los angeles. Prosedur pengujian ini berdasarkan ASTM C 131 76 atau AASHTO T 96 - 87. Berikut perhitungan abrasi los angeles :

Nilai keausan los angeles =

x 100%

...2.5

Keterangan :

(53)

A = Berat sampel semula (gram)

B = Berat sampel yang tertahan / lebih besar dari 1,7 (gram) 2.4.4. Filler

Filler adalah material yang lolos saringan No.200 (0,075 mm). Filler dapat

terdiri dari debu batu kapur (limestone dust), sement portland, fly ash, abu batu atau bahan non plastis lainnya. Fungsi filler dalam campuran yaitu:

 mengisi ruang antar agregat halus dan kasar serta meningkatkan kepadatan dan kestabilan.

 Untuk memodifikasi agregat halus sehingga berat jenis campuran meningkat dan jumlah aspal yang diperlukan untuk mengisi rongga akan berkurang.

Filler juga berpengaruh terhadap nilai kadar aspal optimum melalui luas

permukaan dari partikel mineralnya. Penggunaan jenis dan proporsi filler juga mempengaruhi kualitas dari campuran beraspal. Penggunaan filler yang terlalu banyak cenderung menghasilkan campuran yang getas dan mudah retak. Disisi lain, kandungan filler yang terlalu rendah juga akan menjadikan campuran lebih peka terhadap temperatur dimana campuran akan terlalu lunak pada cuaca panas.

2.5. ASPAL

Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat cukup pemanasan dan sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal

(54)

dapat menyelimuti dan menahan agregat tetap pada tempatnya selama proses produksi dan masa pelayanannya. Pada dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai hidrokarbon yang disebut bitumen, oleh sebab itu aspal sering disebut material berbituminous.

Umumnya aspal dihasilkan dari penyulingan minyak bumi, sehingga disebut aspal keras. Tingkat pengontrolan yang dilakukan pada tahapan proses penyulingan akan menghasilkan aspal dengan sifat-sifat yang khusus yang cocok untuk pemakaian yang khusus pula, seperti untuk pembuatan campuran beraspal, pelindung atap dan penggunaan khusus lainnya.

2.5.1. Sumber aspal

Aspal merupakan suatu produk berbasis minyak yang merupakan turunan dari proses penyulingan minyak bumi, dan dikenal dengan nama aspal keras. Selain itu, aspal juga terdapat di alam secara alamiah, aspal ini disebut aspal alam. Aspal modifikasi saat ini juga telah dikenal luas. Aspal ini dibuat dengan menambahkan bahan tambah ke dalam aspal yang bertujuan untuk memperbaiki atau memodifikasi sifat rheologinya sehingga menghasilkan jenis aspal baru yang disebut aspal modifikasi.

2.5.1.1. Aspal hasil destilasi

Minyak mentah disuling dengan cara destilasi, yaitu suatu proses dimana berbagai fraksi dipisahkan dari minyak mentah tersebut. Proses destilasi ini disertai oleh kenaikan temperatur pemanasan minyak mentah tersebut. Pada setiap temperatur tertentu dari proses destilasi akan dihasilkan produk-produk berbasis minyak seperti yang diilustrasikan pada Gambar berikut.

(55)

Gambar 2.7.: Ilustrasi proses penyulingan minyak (The Asphalt Institute, 1983)

a. Aspal keras

Aspal keras/panas (asphalt cement, AC),adalah aspal yang digunakan dalam keadaan cair da panas. Aspal ini berbentuk padat pada keadaan penyimpanan (temperatur ruang).

(56)

Di Indonesia, aspal keras/semen biasanya dibedakan berdasarkan nilai penetrasinya yaitu:

 AC pen 40/50 yaitu AC dengan penetrasi antara 40-50

 AC pen 60/70 yaitu AC dengan penetrasi antara 60-79

 AC pen 80/100 yaitu AC dengan penetrasi antara 80-100

 AC pen 120/150 yaitu AC dengan penetrasi antara 120-150

 AC pen 200/300 yaitu AC dengan penetrasi antara 200-300

Aspal semen dengan penetrasi rendah digunakan didaerah bercuaca panas atau lalulintas dengan volume tinggi, Aspal semen dengan penetrasi tinggi digunakan didaerah dingin atau lalulintas dengan volume rendah. Di Indonesia pada umumnya digunakan aspal semen dengan pen 60/70 dan 80/100

b. Aspal Cair (Cutback Asphalt)

Aspal cair dihasilkan dengan melarutkan aspal keras dengan bahan pelarut berbasis minyak. Aspal ini dapat juga dihasilkan secara langsung dari proses destilasi, dimana dalam proses ini fraksi minyak ringan yang terkandung dalam minyak mentah tidak seluruhnya dikeluarkan.

Kecepatan menguap dari minyak yang digunakan sebagai pelarut atau minyak yang sengaja ditinggalkan dalam residu pada proses destilasi akan menentukan jenis aspal cair yang dihasilkan. Berdasarkan hal ini, aspal cair dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu :

(57)

a. Aspal cair cepat mantap (RC = rapid curing), yaitu aspal cair yang bahan pelarutnya cepat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya bensin.

b. Aspal cair mantap sedang (MC = medium curing), yaitu aspal cair yang bahan pelarutnya tidak begitu cepat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya minyak tanah.

c. Aspal cair lambat mantap (SC = slow curing), yaitu aspal cair yang bahan pelarutnya lambat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya solar.

c. Aspal Emulsi

Aspal emulsi dihasilkan melalui proses pengemulsian aspal keras.

Berdasarkan muatan listrik zat pengemulsi yang digunakan, aspal emulsi yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi :

- Aspal emulsi anionik, yaitu aspal emulsi yang berion negatif.

- Aspal emulsi kationik, yaitu aspal emulsi yang berion positif.

- Aspal emulsi non-ionik, yaitu aspal emulsi yang tidak berion (netral).

2.5.1.2 Aspal Alam

Aspal alam adalah aspal yang secara alamiah terjadi di alam. Berdasarkan depositnya aspal alam ini dikelompokan ke dalam 2 kelompok, yaitu :

a. Aspal Danau (Lake Asphalt)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, riset ini bertujuan untuk mengetahui apakah terladi perubahan konsentrasi senyawa di dalam rumput laut selama proses pengeringan bahan baku menggunakan

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap persiapan, meliputi: (1) Melakukan pra-riset, yaitu melakukan wawancara dengan guru dan siswa serta

Berdasarkan hasil analisa selanjutnya menunjukan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan Handover pada proses tanggung jawab sebanyak 16 responden, responden

Minyak kepuh kemudian diuji kadar asam lemak bebas, minyak kepuh yang mengandung asam lemak bebas kurang dari 2% melalui proses transesterifikasi untuk mengkonversi minyak

Penyajian dokumen tender yang baik akan membantu dalam proses aanwijzing yang mana dalam sistem E-procurement pihak penyedia barang/jasa tidak melihat kondisi bangunan

1. Identifikasi kekuatan dalam pengembangan agribisnis padi di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, terdiri dari : sumber daya alam, sarana dan prasarana, kebijakan

Bank-bank global diperkirakan mengalami kerugian mencapai US$ 6 miliar atau setara Rp 86,9 triliun akibat jatuhnya Archegos Capital.. Kedua, fokus investor memantau kemajuan rencana