viii
NILAI-NILAI DAKWAH DALAM BUDAYA SIRI’ DI DESA LENTU KECAMATAN BONTORAMBA KABUPATEN JENEPONTO
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Pada Program Studi Komunikasi Dan Penyiaran Islam
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh:
NURUL HIDAYAT
NIM: 105270000315
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufiq dan Inayah-Nya, sehingga penulis telah menyelesaikan karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “NILAI – NILAI DAKWAH DALAM BUDAYA SIRI’ DI DESA LENTU’ KECAMATAN BONTORAMBA KABUPATEN
JENEPONTO ”.
Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag selaku rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Serta Segenap Pembantu Rektor I, II, III, IV Universitas Muhammadiyah Makassar
2. Drs H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Dr. (HC) M.M Thayyib Khoory selaku Founder dan Donatur Asia Muslim Charity Foundation (AMCF)
4. Dr. H. Abbas Baco Miro, Lc. MA. selaku Ketua Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.
5. Dr. M. Ilham Muchtar, MA dan Dr. Meisil B. Wulur S. Kom., M.Sos. I selaku Pembimbing satu dan pembimbing dua yang telah banyak meluangkan waktu serta pikirannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar khususnya dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam(KPI) dan dosen Mahad Al-birr.
7. Seluruh Staf Universitas Muhammadiyah Makassar atas didikan ilmu yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan program perkuliahan Strata Satu (S1).
8. Kepada Bapak, Ibu dan saudaraku tercinta yang langsung maupun tidak langsung membantu dan memberikan dukungan dalam proses penyusunan skripsi ini
9. Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa(i) angkatan 2015 jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam Unismuh Makassar atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini, baik suka maupun duka selama menjalani perkuliahan hingga selesai. 10. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu yang
telah membantu proses penyusunan skripsi ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya dan masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan baik isi dan tata bahasanya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya.
Makassar,06 Rabiul Awal 1442 H 20 Oktober 2020 M
Penulis
Nurul Hidayat
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL ... i
PENGESAHAN SKRIPSI ... ii
BERITA ACARA MUNAQASYAH ... iii
PERNYATAAN SKRIPSI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-Nilai Dakwah ... 6
B. Siri’ Na Pacce ... 9
1. Sejarah Awal Siri’ Na Pacce Bugis Makassar ... 9
2. Nilai Siri’ Na Pacce dalam Praktek Budaya Interaksi Sosial bagi Masyarakat Bugis ... 20
3. Siri’ Butuh Revitalisasi ... 21
4. Kearifan Lokal dalam Makna Siri’ Na Pacce sebagai Karakter Bangsa ... 22
C. Persfektif Islam tentang Komposisi Siri’ Na Pacce ... 23
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 32
B. Lokasi Penelitian ... 32
C. Pendekatan Penelitian ... 33
D. Sumber Data ... 33
E. Teknik Pengumpulan Data ... 34
G. Teknik Analisis Data ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum lokasi Penelitian ... 39 B. Bentuk Nilai – Nilai Siri’ Masyarakat di Desa Lentu
Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto ... 44 C. Upaya masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai siri’
di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten
Jeneponto ... 53 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57 B. Saran ... 57 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Siri’ na pacce merupakan suatu prinsip hidup yang dimiliki oleh
orang bugis makassar. Siri’ berarti malu dan pacce berarti solidaritas persaudaraan. Siri’ na pace telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur orang bugis makassar. Siri’ na pacce secara maknawi berarti harga diri. Ketika harga diri orang bugis makassar dilecehkan, maka pantang bagi dirinya untuk diam.dengan kata lain mereka akan melakukan perlawanan demi mempertahankan harga dirinya daripada harus menanggung malu.
Hal ini dikarenakan, nilai siri’ na pacce yang telah di lecehkan akan berakibat pada hilangnya harga diri yang sangat dijunjung tinggi nilainya dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Selain itu juga dapat menimbulkan kesan yakni perasaan malu kepada lingkungan sosial jika
siri’ na pacce tidak di pertahankan.1
Siri’ secara harfiah mempunyai makna yang berdimensi ganda, di
satu sisi artinya malu, di sisi lain berarti harga diri. Makna siri’ adalah sesuatu yang universal dan fitrah, artinya semua manusia memilikinya. Namun yang membedakannya dengan bagi orang bugis atau makassar terletak pada perlembagaan siri’ kedalam sistem kultural dan sistem
1
Nasruddin Anshoriy (Anre Gurutta Ambo Dalle, Maha Guru Dari Bumi Bugis), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009. h, xi-xii
pranata sosial mereka. Sehingga penghayatan dan pengalamannya sangat intens.
Siri’ adalah salah satu nilai penting dalam sistem budaya
masyarakat sulawesi selatan yang secara fenomenal nilai ini telah mewarnai kebudayaan negeri-negeri etnik di sulawesi selatan, sebab nilai ini tidak hanya bisa ditemukan pada masyarakat bugis dan makassar tetapi juga pada masyarakat mandar dan toraja. Siri’ sebagai sistem nilai telah menjiwai seluruh kebudayaan suku bangsa di sulawesi selatan..
kosep siri’ telah sejak dahulu menjadi sistem nilai kebudayaan sulawesi selatan jauh sebelum kerajaan menerima agama sebagai pemegang otorita nilai resmi dalam prosesi pemerintahan para raja. Konsepsi siri’ bisa ditemukan pada berbagai lontara dalam sejarah kebudayaan sulawasi selatan dari mitos tentang tumanurung, yang merupakan cikal bakal nilai-nilai luhur kebudayaan mereka.2
Apabila siri’ dilihat dari pranata sosial, ia merupakan slah satu unsur kebudayaan lama dan asli sebagai puncak kebudayaan di daerah sulawesi selatan.kenyataan empiris sekarang, tampak adanya pergeseran makna siri’ yang sesungguhnya adalah penyimpangan tingkah laku, namun demikian nilai belum hilang dan masih tersimpan dalam tradisi budaya (logika dan etika).
Pewarisan nilai-nilai sejak kemerdekaan tidak memadai, maka terjadilah kesimpangsiuran nilai dan pergeseran makna terutama dalam
2
Nasruddin Anshoriy (Anre Gurutta Ambo Dalle, Maha Guru Dari Bumi Bugis), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009. h, xi-xii
interaksi simbolik. Sama halnya dengan makna siri’ mengalami perkembangan verbalisasinya sering di gunakan hanya untuk menampilkan keakuan dan harga dirinya secara emosional.3
Makna kultural dari siri’ lebih bersentuhan dengan kehidupan budaya. Suku bugis-makassar misalnya lebih menghayati makna kultural konsep siri’ pada esensinya sebagai dirinya sendiri. Dalam kamus besar bahasa indonesia, memberi makna kultural kata siri’sebagai sistem nilai kultural kepribadian yang merupakan pranata pada tataran harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat bugis.
meskipun arti ini mengensankan konsep siri’ hanya ada dalam suku bugis, tetapi tidaklah demikian halnya. Konsep siri’ ditemukan pada semua suku bangsa yang saling kait mengait sehingga menjadikan siri’ sebagai sistem budaya yang utuh sera mandiri. Kandungannya yang dominan adalah nilai malu dan nilai harga diri (martabat).4
Nilai malu sebagai bagian dari sistem budaya siri’, mengandung ungkapan psikis untuk tidak berbuat hal yang tercela dan dilarang oleh kaidah adat. Perasaan malu ini dimaksudkan juga berfungsi sebagai upaya pengekangan diri terhadap perbuatan yang dianggap bertentangan dengan wujud totalitas dalam sistem budaya. Dari sudut psikoanalisa
freud, nilai malu termasuk perangkat superego dalam sistem kepribadian
manusia. Nilai malu berfungsi sebagai sensor terhadap
3
Abu Hamid,(Siri’ Na Pesse), Jl. Abdullah Dg. Sirua: Pustaka Refleksi, 2005, h. ix
4
dorongan primitif yang berasal dari id. Harga diri berarti kehormatan, disebut pula martabat. Nilai harga diri merupakan pranata pertahanan psikis terhadap perbuatan tercela seta yang dilarang oleh kaidah adat.5
Harga diri ini hendaknya sesuai dengan pengertian yang dikemukakan dalam lontarak. Yaitu siri’ adalah sistem nilai sosiocultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri. Siri’ adalah nilai yang perlu dipelihara dan dipertahankan karena hanya dengan demikian seorang atau sekelompok masyarakat akan memelihara martabat dan harga dirinya. Orang yang tercemar harga dirinya dianggap tidak mempunyai martabat lagi.6
pengamatan peneliti, terkait pemaknaan siri’ na pacce cenderung, hanya di maknai sebagai nilai maskulinitas saja oleh generasi muda bugis makassar, oleh sebab itu karakter maskulin perlu bagi mereka untuk memahami secara lebih kontekstual lagi, di karenakan hal tersebut akan menjadi identitas tersendiri bagi mereka.
Dengan demikian, masalah yang terjadi pada para pemuda bugis makassar dewasa ini dan merupakan pewaris nilai-nilai budaya mereka, adalah kurang memahami secara utuh, mendalam, dan benar mengenai makna prinsip hidupnya sendiri yakni siri’ na pacce7
5
Shaff Muhtamar( Masa Depan Warisan Luhur Dan Kebudayaan Sulawesi Selatan), Jl. Abdullah Dg Sirua No.3: CV Adi Perkasa, 2004. h, 57-59
6
Nonci,(Konsep-Konsep Budaya), Jl. Perintis Kemerdekaan VII/ 52 B: CV Aksara, 2005. h, 28
7
Nonci,(Konsep-Konsep Budaya), Jl. Perintis Kemerdekaan VII/ 52 B: CV Aksara, 2005. h, 28
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti dapat menarik rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk nilai-nilai dakwah dalam budaya Siri’ di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto?
2. Bagaimana upaya masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai siri’ di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto?
C. Tujuan Penelitian
Penilitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bentuk nilai-nilai dakwah dalam budaya Siri’ di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto
2. Mengetahui upaya masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai siri’ di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai bentuk nilai-nilai dakwah dalam budaya siri’ di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto
2. Memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai upaya masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai siri’ di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Nilai – Nilai Dakwah
Kamus bahasa Indonesia, nilai dapat diartikan sebagai harga atau jika dikaitkan dengan budaya berarti konsep abstrak yang mendasar, sangat penting dan bernilai bagi kehidupan manusia.8 Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan konkrit. Nilai hanya bisa difikirkan, difahami, dihayati, dan hal-hal yang bersifat batiniyah terhadap perilaku manusia dan mempunyai dampak luas terhadap hampir semua aspek perilaku manusia dalam konteks sosialnya.
Dakwah, secara bahasa berasal dari kata ةوعد وعد ي اعد yang berarti memanggil, mengundang, minta tolong kepada, berdoa memohon, mengajak kepada sesuatu, merubah dengan perkataan, perbuatan amal. 9
secara umum tujuan dakwah adalah mengajak umat manusia kepada jalan yang benar dan diridhai Allah agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. 10
Ada beberapa nilai-nilai dakwah yang universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat, diantaranya:
8Hizair M A, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, h. 421
9A.W. Munawwir, “ Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia Terlengkap”, h. 407 10
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabya: Al-Iklhas, 1983, h. 51
1. Nilai Kedisiplinan
Disiplin bukan hanya milik tentara atau polisi saja, tetapi menjadi milik semua orang yang ingin sukses. Kedisiplinan tidak diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah tersenyum. Kedisiplinan terkait erat dengan manajemen waktu. Bagaimana waktu yang diberikan oleh tuhan selam 24 jam dalam sehari dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.
2. Nilai Kejujuran
Ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk memberantas ketidakjujuran dan kejahatan lainnya yaitu: pertama, penelusuran akidah dengan meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Kedua, berperilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain. Ketiga, jangan merusak bumi. Maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti yang sebenarnya, tetapi bisa dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari perilaku individu yang tidak jujur.11
3. Nilai Kerja Keras
Siapa yang sungguh-sungguh dialah yang pasti dapat. (man jadda wajada). hadist tersebut merupakan hukum sosial yang berlaku universal bagi masyarakat, tidak mengenal etnis, agama maupun bahasa. Orang cina yang rajin dan bekerja keras, pasti akan mendapatkan hasil dari kerja
11
kerasnya. Sebaliknya, umat Islam yang malas, pasti akan menerima hasil yang sedikit karena kemalasannya.
4. Nilai Kebersihan
Umat Islam seringkali di perkenalkan dan dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqh islam diawali dengan pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadast besar dan kecil, menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu, dan lain sebagainya. Menjaga kebersihan merupakan nilai dakwah universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat islam yang jela-jelas memiliki dasar yang kuat untuk menjaga kebersihan.12
5. Nilai Kompetisi
Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi,karena kompetisi merupakan salah satu motivasi psikologis sangat umum dimiliki oleh setiap manusia. Setiap mahasiswa akan memiliki motivasi untuk berkompetisi di antara teman-temannya.13
Masih banyak nilai-nilai dakwah yang bisa di kembangkan atau diturunkan dari sumber ajaran islam, yakni al Quran dan al hadist. Nilai-nilai dakwah yang berlaku universal tersebut senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut menjadi kebiasaan, tradisi, atau norma yang berlaku di masyarakat.14
B. Siri’ Na Pacce
12
Abdul Basit, “Filsafat Dakwah”, h. 257-277
13
Abdul Basit, “Filsafat Dakwah”, h. 257-277
14
1. Sejarah Awal Siri’ Na Pacce Bugis Makassar
Siri na pacce merupakan budaya yang telah melembaga secara
sosial, karena itu, perlu di lakukan pengkajian mendalam, terutama mengenai nilai filsafat yang ada dalam konsepsi siri’ na pacce. Suku makassar sejak zaman dahulu mendiami sebagian wilayah se sulawesi selatan merupakan penduduk asli yang sudah memiliki pranata budaya tersendiri.
Menggali sejarah-sejarah siri’ na pacce, maka tulisan-tulisan tentang falsafah atau petuah-petuah tersebut dapat kita lihat pada tulisan lontarak. Adapun sejarah lahirnya huruf lontarak ialah dibuat oleg daeng pamatte ketika ia diperintahkan oleh karaeng tumakpakrisik kallonna didasari oleh kebutuhan kerajaan untuk dapat berkomunikasi secara tulis menulis dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat dalam tulisan.15
Untuk menggali sejarah tentang siri’ na pacce, maka tulisan-tulisan tentang falsafah atau petuah-petuah tersebut dapat kita lihat pada tulisan lontarak. Adapun sejarah lahirnya huruf lontarak ialah dibuat oleh daeng pamatte. Ketika ia diperintahkan oleh karaeng tumapakrisik kallonna didasari oleh kebutuhan kerajaan untuk dapat berkomunikasi secara tulis menulis dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat dalam tulisan. Walaupun sejarah suku makassar mulai tercatat pada masa karaeng tumapakrisik kallonna, namun budaya siri’ sudah menjadi adat
15
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
istiadat dan falsafah hidup mereka sejak dahulu. Adapun pandangan suku makassar tentang siri’ dapat kita lihat dari beberapa istilah yang berkaitan dengan siri’.16
Sejarah suku makassar mulai tercatat pada masa karaeng tumak
pakrisik kallonna, untuk memperkuat arugument tersebut dapat dilihat
kebesaran siri’. Berikut ini beberapa istilah tentang siri’ dan maknanya, antara lain: sirik (siri’) sebagai harga diri atau kehormatan; mappakasiri’ artinya dinodai kehormatannya; ritarowang sirik( siri’), artinya di tegakkan kehotmatannya; passampo sirik (siri’), artinya penutup malu; tomasirikna, artinya keluarga pihak yang di nodai kehormatannya; sirik (siri’) sebagai perwujudan sikap tegas dami kehormatan tersebut: sirik(siri’) sebagai pernyataan sikap tidak serakah (mangoa); sirik(siri’) naranreng, artinya dipertaruhkan demi kehormatan; siriksirik(siri’-siri’), artinya malu-malu;
palaloi siriknu ( siri’nu) artinya tantang yang melawan; passirikia, artinya
bela kehormatan saya: napakasirikka( napakasiri’ka) artinya saya dipermalukan; tahu tena sirikna(siri’nu) artinya orang yang tidak punya malu tak ada harga diri( moein,1990:10)
a. Siri’ Ripakasiri’
Menurut Idris Mannahao apabila seseorang menghina atau mempermalukan sesamanya manusia diluar batas kemanusiaan yang adil dan beradab didepan umum. Seperti menempeleng orang lain, meludahinya didepan umum, melarikan anggota keluarga perempuan
16
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
orang lain. Reaksi orang yang dihinaakan mengambil tindakan yang setimpal dengan perbuatan orang yang menghina.17
Berdasarkan uraian diatas Siri’ yang beerbuhungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat martabat keluarga Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa. Sebagai contoh dalam hal ini membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
Keyakinan orang makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai yang artinya kematiannya adalah ibarat kematian yang berbalut santan gula. Dan itu sejatinya kesatria.
Falsafah Bugis tentang penting menjaga siri’ untuk kategori Siri’
Ripakasiri’. Yakni Sirikaji namimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angg’na olo-oloka. Artinya hanya
karena siri’ masih tetap hidup (eksis) kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina dari pada binatang.18
b. Sirik Masiri’
17
Mustari Idris Mannahao, The Secret Of Siri’ na Pacce, h.5
18
Yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi siri’ orang itu sendiri, demi siri’ keluarga dan kelompok. Dalam hal demikian orang yang bersangkutan tidak dihinaoleh orang lain tetap dalam keadaan dirinya sendiri.
Siri’ jenis ini melahirkan tekad yang kuat dan motivasi yang hebat untuk maju. Kalau di sulawesi selatan dan sulawesi barat, mereka terkenal sebagai masyarakat yang memiliki kopetisi yang kuat. Jika ia tidak berhasil, maka ia akan merantau ke negeri lain. Disanalah ia akan berjuang dan bekerja dengan dimotori oleh semangat siri’ untuk berprestasi. 19
c. Siri’ Tappela siri’ (Makassar) atau Siri Teddeng Siri (Bugis)
Artinya rasa malu seseorang itu hilang karena sesuatu hal. Misalnya ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayar maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan, jika siberutang ternyata tidak menepati janjinya artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
d. Siri’ Mate Siri’
Siri’ yang satu ini berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/makassar, orang yang Mate Siri’- nya adalah orang yang di
19
dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup. Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat.
Aroma busuk akan tercium dimana-mana. Tidak hanya di lingkungan istan, di senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya.20
e. Siri’ Mappakasiri’ Siri’
Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah bugis di sebutkan:
“Narekko degaga siri’mu inrengko siri (kalau Anda punya malu
maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu) begitu pula sebaliknya “Narekko engka siri’mu mumapaksiri’-siri.”21 (Kalau anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin))”
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi
20User, Makna Siri’ na Pacce, Alamat Websizex. Di akses pada tanggal 16 september
2018
21
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
malu atau malu hati. Hal yang terkait dengan Siri’ mappakasiri’ serta hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah
Cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Selain itu, Siri’ mappakasiri’ siri’ juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.22
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali siparampe, malilu sipakainga”, dan “ pada elo’ sipatuo sipatokkang” atau “pada idi pada elo sipatuo sipatottong”. Artinya ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan kalau, seseorang cenderung terjerumus nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk mengingatkan dan meluruskannya.
Siri’ na pacce merupakan suatu falsafah yang tidak yang tidak
dapat dipisahkan, karena antara satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan makna dan hubungan, sehingga dalam hal pembagian siri’ dan
pacce, keduanya saling berkaitan erat.23 Pembagian siri’ dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu siri’ berdasarkan penyebab timbulnya
22User, Makna Siri’ na Pacce, alamat websitezex. Diakses pada tanggal 16 september
2018
23
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
perasaan (dorongan), dan berdasarkan jenis atau bentuknya. Siri’ dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan tersebut, yaitu:
f. Sirik (siri’) yang berasal dari pribadi manusia yang merasakannya/bukan kehendaknya (penyebab dari luar). Jadi, siri’ ri
pakasirik, maksudnya dipermalukan orang lain.
g. Sirik (siri’) yang berasal dari pribadi orang itu sendiri (penyebab didalam) disebut sirik (siri’ ma siri’), maksudnya malu yang berasal dari dirinya/keluarganya.
h. Siri’ dapat dikategorikan dalam empat (jenis) golongan yaitu siri’ yang ada dalam hal pelanggaran kesusilaan; siri’ yang berakibat kriminal, siri’ yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja, dan siri’ yang berarti malu-malu.24
Jenis siri’ yang kedua adalah siri’ yang dapat berakibat kriminal.
Siri’ seperti ini, misalnya menempeleng seseorang di depan banyak orang,
menghina dengan kata-kata yang tidak enak didengar dan sebagainya. Tamparan itu di balas dengan tamparan pula, sehingga dapat terjadi perkelahian bahkan pembunuhan.
Pada tatanan masyarakat suku Makassar masih menganggap bahwa falsafah siri’ na pacce masih harus dipercaya dan dipertahankan oleh masyarakat sesuai dengan pemahaman dan kondisi masyarakat yan ada di daerah tersebut serta hukum negara dan agama. Namun perlu diperhatikan pula falsafah siri’ na pacce yang diyakini dan dilaksanakan
24
Bugismakassartrip.Com > Http://Onlinejelajah.Blogspot.Co.Id/2015/06//Siri’-Na-Pacce (16 September 2018)
oleh masyarakat pada saat berangsur-angsur mulai berbeda dengan konsep siri’ na pacce yang ada.
Sedangkan masyarakat yang menganggap falsafah siri’ na pacce sudah bergeser akibat budaya dari luar, sebab mereka melihat perkembangan generasi muda yang terpengaruh oleh budaya barat dan sikap serta perilaku masyarakat yang kurang mencerminkan adat suku Makassar. Hal ini nampak pada generasi muda sekarang.
Sebagian besar dari mereka sudah tidak mengetahui makna yang terkandung dari falsafah tersebut. Selain itu faktor ekonomi juga sangat mempengaruhi pergeseran budaya, sebab saat ini sebagian dari masyarakat memandang status sosial dipandang dari tingkat ekonominya.25
Falsafah pacce pada suku Makassar merupakan tradisi untuk saling membantu kepada keluarga, kerabat, teman, dan siapa saja yang membutuhkan bantuan kita. Kesadaran masyarakat untuk saling membantu, menolong, dan menghibur kerabat yang sedang mengalami musibah dapat terlihat pada kasus kematian, bencana alam, kebakaran dan beberapa musibah lainnya.
Bentuk lain dari pengaruh falsafah pacce yaitu, mereka saling membantu membangun rumah, bekerja sama secara bergotong royong masih sering dilakukan untuk kepentingan bersama, masyarakat beramai-ramai membuat saluran air untuk mengairi persawahan mereka. Pengaruh
25
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
falsafah pacce tersebut dalam kehidupan masyarakat masih dijumpai,26 walaupun sebenarnya sudah ada sebagian kecil masyarakat yang menganggap segala sesuatu harus di hitung dengan materi, artinya saya siap bekerja bila saya diberi upah yang memadai.
Selain pengertian dan makna pacce yang di contohkan tersebut, terdapat pula makna dan sikap pacce yang lebih luas, bahkan lebih mendalam maknanya dibandingkan dengan pengertian siri’. pacce lebih mendalam sifatnya dibandingkan dengan siri’. misalnya bila ada kerabat terkena musibah atau kesusahan sedangakan saya tidak mampu membantunya, bila siri’ yang dikedepankan, maka saya terpaksa meninggalkannya. Sedangkan bila pacce yang saya kedepankan maka saya akan tetap tinggal dan hidup bersama-sama dalam penderitaan.27
Oleh karena itu falsafah siri’ na pacce masing-masing memiliki sisi positif dan negatif. Pada sebagian besar masyarakat yang menganggap dampak positif yang ditimbulkan oleh falsafah siri’ dan pacce lebih besar dari dampak negatifnya. Hal ini karena mereka menilai bahwa siri’ dapat memelihara dan mengontrol mereka dari perbuatan tercela dan dilarang, baik dipandang dari segi agama, adat maupun hukum negara. Sedangkan
26
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
Masyarakat Suku Makassar , h. 191
27
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
pacce dapat memberikan motivasi kepada kita untuk menolong antar
sesama anggota masyarakat.28
Sedangkan sebagian besar masyarakat menganggap bahwa dampak positif yang ditimbulkan oleh falsafah siri na pacce kadang-kadang lebih besar dari dampak negatifnya karena mereka menganggap bahwa kasus-kasus siri’ sering menimbulkan persoalan kriminal tergantung bagaimana seseorang menanggapi persoalan tersebut.
sehingga apabila seseorang mampu menahan dan diri dan melihat tujuan siri’ yang sebenarnya, maka dampak positif dari falsafah tersebut akan dapat terwujud. Sedangkan pacce apabila didasari atas keterdesakan tanpa memperhitungkan kerugian yang akan diderita, maka hal tersebut malah dapat merugikan diri kita sendiri. 29
Sementara masyarakat yang menganggap bahwa dampak positif yang ditimbulkan oleh falsafah siri’ dan pacce tidak lebih besar dari dampak negatifnya, karena mereka menganggap bahwa siri’ hanya membawa kita kepersoalan kriminal akibat kekerasan yang dilakukan. Sedangkan dampak negatif pacce, yaitu bila di depan kita kerebat atau teman dekat teraniaya, maka timbul perasaan sakit yang diderita oleh kerabat kita sehingga bila hal ini sangat menonjol, maka pembahasan akan langsung dilakukan tanpa perlu mengetahui penyebab terjadinya persoalan tersebut.
28
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
Masyarakat Suku Makassar (Gorontalo:2011), h. 198
29
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
Selain pembagian siri’ di atas, maka pacce dapat dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan (dorongan) dan berdasarkan jenis atau bentuknya. Pacce dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan atau dorongan tersebut, yaitu:
a. Perasaan pacce karena melihat keluarga atau orang lain terkena musibah. Perasaan pacce seperti terkadang mendorong kita untuk memberikan bantuan kepada orang tersebut.
b. Perasaan pacce karena melihat keluarga atau teman teraniaya,. Perasaan pacce ini mendorong kita untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap orang yang penganiayaan tersebut, langsung dilaksanakan tanpa berpikir atau mengetahui penyebab terjadinya pemukulan/penganiayaan tersebut.30
pacce berdasarkan jenis atau bentuknya, antara lain:
1) Pacce berakibat kriminal. Pacce semacam ini misalnya ketika melihat keluarga atau temannya dipukul, maka timbul perasaan pedih dan keinginan untuk membalas perlakuan tersebut., sehingga terjadi perkelahian (kriminal).
2) Pacce yang memberikan dorongan untuk menolong. Pacce semacam ini misalnya ketika melihat keluarga, tetangga mengalami musibah, maka timbul perasaan atau keinginan membantu.
30
Bugismakassartrip.com>http://onlinejelajah.blogspot.co.id/2015/06//siri’-na-pacce(16 September 2018)
3) Pacce yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja. Pacce semacam ini misalnya ketika keluarga dalam keadaan susah, maka timbul perasaan ingin bekerja untuk menghidupi keluarga tersebut.31
2. Nilai siri’ Na pacce dalam praktek budaya di interaksi sosial bagi Masyarakat Bugis-Makassar
Budaya siri’ na pacce merupakan salah satu falsafah budaya
Masyarakat Bugis-Makassar yang harus di junjung tinggi. Apabila siri’ na
pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi
tingkah laku binatang. Sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya.
Istilah siri’ na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena siri’ na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Hakikat prinsip tersebut tersumber pada leluhur masyarakat Bugis-Makassar yang tersimpul dengan “duai temmalaiseng,
tellui temmasarang” (dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian
yang tak terceraikan). Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural yang memberikan implikasi terhadap segenap tingkah laku yang nyata.32 31 Bugismakassartrip.Com>Http://Onlinejelajah.Blogspot.Co.Id/2015/06//Siri’-Na-Pacce(16 September 2018) 32 BugisMakassarTrip\Http://Onlinejelajah.Blogspot.Co.Id/2015/06//Siri’-Na-Pacce-Dalam-Nilai-Dan-Falsafah.Html (16 September 2018)
3. Siri’ butuh Revitalisasi
Kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi viral. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali ( untuk kehidupan dan sebagainya).
Makna siri’ untuk revitalisasi adalah berguna bagi pengembangan peradaban dalam pergaulan global, oleh karena berfungsi pendorong motivator, sosial kontrol, rasa tanggung jawab dan dinamisator sosial. Kalau siri’ merupakan taruhan harga diri, maka harga diri tersebut harus diangkat melaui kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor, dan senantiasa berorientasi keberhasilan.
Harga diri terangkat atas dukungan ras pesse’ (Bugis) atau pacce (Makassar), yaitu solidaritas terhadap orang lain sebagai partisipasi sosial, oleh karena penilaian harga diri itu datang dari lingkungan sosial. Pesse’ adalah iba hati melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atau tekanan batin atas perbuatan orang lain dan sejenisnya. Siri’ na pacce adalah harmonisasi, agar tatanan sosial atau pengaderan (adat intiadat) berjalan secara dinamis.33
33
4. Kearifan Lokal Dalam Makna Siri’ Na Pacce Sebagai Karakter Bangsa
Kearifan budaya lokal merupakan energi potensial dari sistim
pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan peradaban, sebagai warisan dalam sejarah budaya masyarakat.
Peradaban lampau bugis makassar, dengan segala kearifannya, selain tumbuh secara alami dan menjadi titah yang dititipkan oleh leluhur mereka, amanat kearifan terangkat dari teks-teks seperti pappaseng,
lontara attoriolong, massure’, pa’ dissengeng, ati macinnong dll,
terangkum sebagai gambaran dalam membaca siklus perkembangan awal: masa kerajaan perkembangan spiritual, adat istiadat, maupun silsilah keluarga bangsawan.
Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “locak genious”, spesifikasi ini merupakan pandangan hidup, sekaligus strategi kehidupan yang berwujud sikap aktivitas yang dapat dilakukan masyarakat pendukungnya dalam menjawab berbagai masalah kehidupan, ke nilai kearifan kerefleksi siri’ na pacce dalam bermasyarakat dan berbudaya.34
Kearifan lokal dalam sastra bugis klasik.sastra bugis klasik meliputi
sure galigo, Lontarak, Paseng/ Pappaseng, Toriolota/ ungkapan, dan
34
elong syair. Sastra bugis klasik, seperti Galigo ( yang dikenal sebagai epik
terpanjang di dunia), lontarak, paseng (pesan-pesan), dan syair mengandung kearifan yang sangat relevan dengan perkembangan zaman. yang menjadi fokus utama meliputi bawaan hati yang baik, konsep pemerintahan yang baik (good governance), demokrasi, motivasi berprestasi, kesetiakawanan sosial, kepatutan,dan penegakan hukum. Kearifan itu memiliki kedudukan yang kuat dalam kepustakaan bugis dan masih sesuai dengan perkembangan zaman.
Bawaan hati yang baik ( Ati Mapaccing). Dalam bahasa Bugis ati
mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa macedeng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari
kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berhati ikhlas, baik hati, bersih hati, atau angan-angan dan pikiran yang baik.35
C. Perspektif Islam tentang Komposisi Siri’ Na pacce
Siri’ dalam pengertian orang Bugis-Makassar adalah menyangkut
segala sesuatu yang paling peka dalam diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Siri’ bukan hanya berarti rasa malu seperti pada umumnya terdapat dalam hal kehidupan sosial masyarakat etnis lain.
35
Konsep nilai siri’ na pacce dalam budaya Bugis-Makassar memiliki hubungan dengan islam sebagai agama yang mengajarkan tauhid dan kebenaran akan adanya Allah. Nilai siri’ na pacce memiliki pola hubungan timbal balik antara islam, adat, dan manusia baik sebagai individu, maupun sebagai anggota kelompok sosial pada masyarakat Bugis-Makassar.36
Ahlak atau perilaku dalam islam adalah yang terwujud melalui proses aplikasi sistem nilai norma yang bersumber dari Quran dan al-Hadist. Seperti firman Allah swt. dalam (Q.S. Ali Imran: 159-160).
) ١٥٩ ( ) ١٦٠ ( Terjemahannya:
“maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadapa mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaknya kepada Allah saja orang-orang mukmin”.37
Menurut Ibnu Qutaibah yang dikutip Ibnu Hajar Al Asqalani, bahwa sifat malu dapat menghalangi dan menghindarkan seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagai iman, seperti sesuatu dapat diberi nama
36
Nasruddin Anshory(Anre’ gurutta Ambo Dalle, Maha Guru Dari Bumi Bugis) Yogyakarta: Tiara Wacana,2009, h. xxiv-xx
37
dengan nama lainnya yang dapat menggantikan posisinya, Rasulullah saw Bersabda: ه ق : ق ،ه أ . ئ ع ، : ة س أ . Terjemahannya:
“sesungguhnya diantara kata-kata kenabian terdahulu yang masih diingat oleh masyarakat adalah: “jika kamu sudah tidak punya rasa malu lagi, maka berbuatlah sekehendakmu” (HR. Al-Bukhari)Sifat malu merupakan ahlak terpuji yang menjadi keistimewaan ajaran islam”.38
Mendalami makna siri’ dengan segenap permasalahannya. Antara lain dapat di ketahui dari lontara La Toa. Kata La Toa sendiri sejati memiliki arti petuah-petuah, dimana juga memiliki hubungan yang erat dengan peranan siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat masyarakat Bugis-Makassar.39
Nilai Siri’ yaitu nilai yaitu nilai yang paling utama yang terkandung dalam Falsafah Siri’ sebagai uraian yang pertama adalah rasa malu dan harga diri.40 Begitu sakralnya kaya siri’ itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya ia menempuh kehidupan manusia. Siri’ dapat d maknai sebagai harga diri atau kehormatan, juga dapat diartikan sebagai pernyataan sikap tidak serakah terhadap kehidupan duniawi. Nilai tersebut dibangun dari
38
Http://Belajarislam.Com/Hadits/Hadist-Jika-Engkau-Tak-Malu-Perbuatlah-Sesukamu
39
Bugis Makassar Trip http://onlinejelajah.blogspot.co.id/2015/06//siri’-na-pacce-dalam-nilai-dan-falsafah.html (16 September 2018)
40
beberapa unsur-unsur nilai yang ada dalam masyarakat Bugis-Makassar, yakni: 41
a. Alempureng (kejujuran)
Alempuareng berasal dari kata lempu’ yang berarti jujur. Menurut makna etimologinya, lempu’ artinya lurus- antonim dari bengkok. Dalam berbagai konteks, kata ini juga berarti ikhlas, benar, baik, dan adil. Antonimnya adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya dan semacamnya. Sejumlah pengertian ini didasarkan pada kata
lempu’ sebagai dalam ungkapan Bugis atau lontara’.Lontara mengisahkan
bahwa Tociung, cendekiawan luwu, diminta nasehatnya oleh calon Raja (datu) Soppeng , La Manussa’ Toakkarangeng, menyatakan bahwa ada empat perbuatan jujur, yaitu:42
1. Memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya
2. Dipercaya lalu tak curang, artinya disadari lalu tak berdusta 3. Serakah terhadap hal yang bukan haknya
4. Tidak memandang kebaikan kalau hanya untuk dirinya, baginya
kebaikan mesti dinikmati bersama. b. Amaccang (kearifan)
Kearifan dan kejujuran dalam Lontara’ diletakkan secara berbarengan, oleh karena kedua istilah ini saling melengkapi. Sebagai
41
A. Rahman Rahim, Menggali Nilai-Nilai, h. 145
42
contoh berikut ini: “jangan sampai engkau ketiadaan kearifan dan kejujuran.”43
Adapun yang dimaksud arif adalah tidak ada yang sulit dilaksanakan. Tidak ada pembicaraan yang sulit disambut dengan kata-kata yang lemah lembut lagi mempercayai orang lain. Yang dinamakan jujur ialah perbuatan baik, pikiran benar, tingkah laku sopan lagi takut kepada tuhan.44
c. Asitinajang (kepatutan)
Asitinajang kepatutan, kepantasan, kelayakan, adalah terjemahan
dari kata asitinajang. Kata asitinajang ini secara leksikal berasal dari kata
tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Perbuatan mappasitinaja mengambil sesuatu dan menempatkannya pada tempatnya.
Nilai Asitinajang ini erat hubungannya nilai kemampuan jasmaniah dan rohaniah.45
Ada empat hal yang merusak tatanan nilai asitinajang, yakni : 1. Tamak atau keserakahan akan menghilangkan rasa malu 2. Kekerasan akan melenyapkan kasih sayang didalam negeri 3. Kecurangan, akan memutuskan hubungan kekeluargaan 4. Ketegaan akan menjauhkan kebenaran di dalam kampung.46 d. Agettengeng ( keteguhan)
43
A. Rahman Rahim,Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujungpandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 1985), h. 152
44
A. Rahman Rahim,Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 152
45
A. Rahman Rahim,Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 157
46
Agettengeng berasal dari getteng yang berarti teguh. Selain
bermakna teguh, kata ini pun berarti tetap azas atau setia pada keyakinan atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Seperti halnya dengan nilai alempureng, amaccang, dan asitinajang, agettengeng ini terkait pada makna positif. Hal ini tergambar dalam empat perbuatan
agettengeng , yaitu: a) tidak mengingkar janji, b) tidak mengkhianati
kesepakatan, c) tidak membatalkan keputusan, d) jika berbicara dan berbuat, tidak berhenti sebelum rampung.47
Pandangan syariat islam tentang falsafah siri’ : a. Siri’ yang berarti malu
Siri’ bila diterjemahkan sebagai perasaan malu apabila melakukan
perbuatan yang tercela dan upaya untuk tetap menjaga sikap agar tidak menyebabkan rendahnya harga diri seseorang., maka hal tersebut sesuai dengan ajaran islam.
Maksud dari hadist tersebut, yaitu perasaan malu yang dimiliki oleh seseorang harus dipertaruhkan karena akan membuahkan kebaikan, baik pada dirinya maupun pada orang disekitarnya, dan apabila seseorang memiliki perasaan tersebut, maka dia akan berhati-hati dalam berbicara dan bertingkah laku.48
Perasaan malu (siri’) bila di pandang dari segi syariat islam, maka perasaan malu tersebut termasuk sebagian dari iman. Hadist tersebut
47
A. Rahman Rahim, Menggali Nilai-Nilai, h. 39
48
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
dapat terlihat apabila pengertian siri’ diarahkan ke hal-hal yang positif, maka orang yang berpegang pada falsafah tersebut termasuk orang yang memperkokoh agama Allah SWT.
Perasaan malu atau sifat kemalu-maluan adalah salah satu unsur pendorong yang kuat bagi seseorang untuk berkelakuan baik dan menjauhi yang buruk dan jahat. Maksudnya apabila seseorang sudah tidak memiliki rasa mali lagi, maka dia tidak akan segan-segan melakukan segala pelanggaran moral dan perbuatan dosa.
Pemahaman tentang falsafah siri’ ini pada masyarakat suku Makassar pada dasarnya pemaknaannya sama dengan konsep yang ada dalam syariat islam. Hal ini tergambar dari ketika di masyarakat tersebut ada yang kawin lari, perzinahan, perkosaan, perbuatan salimarak yaitu perbuatan hubungan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya, maka dianggap perbuatan siri’.49
b. Siri’ yang berarti dorongan untuk berusaha dan bekerja
Selain itu, bila siri’ diterjemahkan sebagai dorongan untuk berusaha dan bekerja demi memperoleh kehidupan yang lebih baik, maka hal tersebut, sesuai dengan firman Allah SWT:” sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada dalam diri mereka”.
49
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa apabila seseorang ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik, maka dia harus berusaha dengan kemampuannya sendiri. Kaitannya dengan Budaya siri’ yaitu apabila seseorang menganggap siri’ bila tidak mampu memperoleh kehidupan yang layak dan hal ini menjadi faktor pendorong untuk berusaha memperbaiki hidupnya maka Budaya siri’ tersebut sesuai dengan ajaran syariat islam.50
c. Siri’ diartikan sebagai dorongan untuk membinasakan orang lain
Apabila siri’ diterjemahkan sebagai dorongan untuk membinasakan orang lain, maka untuk menanggapi persoalan ini, maka harus diketahui terlebih dahulu penyebab lahirnya dorongan siri’ tersebut. Adapun penyebab lahirnya dorongan siri’ ini antara lain:
1. Karena dipermalukan atau direndahkan harga diri, keluarga atau kerabatnya. Dalam islam dianjurkan untuk saling memaafkan, sehingga apabila ada seseorang yang melakukan penghinaan terhadap orang lain maka sebaiknya digunakan jalan damai atau saling memaafkan.
2. Karena dipermalukan atau direndahkan agamanya. Dalam islam apabila seseorang telah menghina dan menginjak injak kehormatan Agam ]a Islam, maka orang tersebut halal diperangi. Seseorang yang melaksanakan siri’ tersebut semakin memperkokoh
50
Risal Darwis dan Asna Usman Dilo, Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada
keimanannya kepada Allah SWT, siri’ mempunyai perangai saja’ah yaitu berani karena yakin berada dipihak yang benar.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah studi fenomenologi yang melibatkan penguji yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Makna yang diperoleh dari manusia dan diinterpresasikan berdasar pengalamannya sendiri di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Oleh karena itu jenis penelitian ini digunakan untuk memahami Nilai-nilai dakwah dalam budaya siri’ na pacce di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto.
B. Lokasi penelitian
Kabupaten jeneponto adalah salah satu daerah tingkat II di provinsi sulawesi selatan, indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di bontosunggu. Kabupaten ini berpenduduk sebanyak 342,222 jiwa yang memiliki luas wilayah 749,79 km2 memanjang dari timur ke barat dengan panjang garis pantai 114 km, terletak antara 5 23’12- 5 42’1,2’LS dan192 29’12’’-119 56’44,9” BT, dan jarak tempuh dan ibukota propinsi (makassar) sepanjang 90 km.
Pada awalnya kabupaten jeneponto hanya terdiri atas kecamatan hingga kemudian dimekarkan menjadi 11 kecamatan hingga saat ini yaitu: kecamatan binamu, turatea, batang, taroang, kelara, arungkeke, rumbia,bontoramba, tamalatea, bangkala, dan kecamatan bangkala barat. Kabupaten jeneponto berbatasan langsung dengan kabupaten bantaeng
di sebelah timur, kabupaten gowa dan takalar di sebelah utara, dan kabupaten takalar di sebelah barat dan laut flores di sebelah selatan. C. Pendekatan penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar di bentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah.
Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, manusia serta alat penelitian yang memanfaatkan metode kualitatif, mengendalikan analisis dan induktif. Selain itu, penelitian jenis ini juga mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan dasar teori, bersifat deskriptif dengan mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data.51
Pendekatan kualitatif maka peneliti dapat mendeskripsikan mengenai Nilai-nilai dakwah dalam budaya siri’ na pacce di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto.
D. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data yakni sebagai berikut Sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah semua data yang diperoleh langsung di lokasi penelitianberupa hasil observasi, wawancara
51
Lexi j. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet. 25; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya:, 2008), h.8
dan dokumentasi. Dengan demikian, data dan informasi yang diperoleh adalah data yang validitasinya dapat dipertanggungjawabkan.
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif yakni suatu metode penelitan yang yang ditujukan untuk menggambarkan suatu fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau masa lampau. Dan menggambar suatu kondisi dengan apa adanya. Data primer dalam penelitian ini yaitu berita berita langsung tentang siri’ na pacce tersebut.52
Sumber data sekunder merupakan data pelengkap atau data tambahan yang melengkapi data yang sudah ada sebelumnya agar dapat membuat pembaca semakin paham akan maksud peneliti, seperti sumber referensi dari buku-buku dan situs internet yang terkait dengan makna siri’
na pacce.53
E. Teknik Pengumpulan Data
observasi adalah pengumpulan data dengan melaukan pengamatan langsung di kabupaten jeneponto sebagai lokasi peelitian. Adapaun yang diamati adalah tindakan masyarakat terhadap suatu permasalahan yang ada di kabupaten jeneponto tersebut, kemudian peneliti mengaitkannya dengan nilai-nilai dakwah dalam budaya siri’ na
pacce Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto.
52
Lexi j. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Cet. 25; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya:, 2008), h.8
53
Wawancara atau interview mendalam adalah metode pengumpulan data dengan memberikan beberapa pertanyaan langsung kepada beberapa masyarakat di jeneponto mengenai aktualisasi siri’ na pacce dalam menanamkan ajaran islam, maka terlebih dahulu peneliti menyiapkan draft wawancara yang berisi pertanyaan mengenai hla tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara yang tidak terstruktur.54
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitan dalam penelitian kualitatif yang dimkasud adalah alat yang dipakai oleh peneliti dalam mengumpulkan data termasuk meneliti. Dalam hal ini alat yang dipakai anatara perekam (tape
recorder) untuk wawancara langsung dan kamera untuk mengabdikan
moment pada saat melakukan penelitian di Kabupaten Jeneponto.
Penelitian merupakan pusat dan kunci data yang paling menentukan dalam penelitian kualitatif.55Peneliti kualitatif sebagai “human
instrumen” yang berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan
sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.56 Selanjutnya Nasution (1998) menyatakan dalam
54
Afifuddin, Dan Beni Ahmad Saebani, M.Si, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Pustaka Setia, 2012), H. 125
55
Afifuddin, Dan Beni Ahmad Saebani, M.Si, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Pustaka Setia, 2012), h. 125
56
Kamaluddin Tajibu, Metode Penelitian Komunikasi, (Makassar; Alauddin University Press, 2013), h. 152
penelitian kualitatif , tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya.
Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebgaai alat satu-satunya yang dapat mencapainya’.57
Dalam metode penelitian kualitatif, peneliti bahkan sebagai instrumen sementara instrumen lainnya, yaitu buku catatan yang berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan informan/narasumber,
taperecorder (vidio /audio) recorder yang berfungsi untuk merekam semua
percakapan atau pembicaraan, kamera yang berfungsi untuk memotret apabila peneliti sedang melakukan pembicaraan dengan informan/narasumber, dan sebagainya.58
Menurut Nasution peneliti adalah key instrumen atau alat penelitian utama. Dialah yang mengadakan sendiri pengamatan atau wawancara tak berstruktur, sering hanya menggunakan buku catatan. Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat memahami makna interaksi antar-manusia,
57
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h.306
58
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian, H. 43
membaca gerak muka, serta menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam dan kamera, peneliti tetap memegang peranan utama sebagai alat penelitian.59
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara induktif (dari data ke teori).60Dalam analisis data ini bukan hanya merupakan kelanjutan dari usaha pengumpulan data menjadi objek penelitian, namun juga merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pengumpulan data berawal dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu informasi dari hasil teknik pengumpulan data baik observasi, wawancara dan dokumentasi.
Analisis data mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan di pelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah di pahami oleh diri sendiri maupun orang
59
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian, H. 43
60
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik Dan
lain. Tujuan analisis data adalah untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diimplementasikan.61
61
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 249.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Profil Singkat Desa Lentu
Aspek geografis dalam ilmu sejarah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Bahkan menjadi salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi pola hidup suatu masyarakat seperti mata pencaharian, keadaan penduduk, dan watak kepribadian ,masyarakat. Oleh karena itu perlu dibahas secara umum mengenai kondisi Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. 62
Kecamatan Bontoramba merupakan salah satu dari 11 Kecamatan Di Kabupaten Jeneponto yang berbatasan dengan kabupaten Gowa. Desa Lentu berada di Kecamatan Bontoramba Kabupaten jeneponto yang mempunyai lias wilayah 610 ha dan terletak dibagian selatan Kecamatan Bontoramba. Adapun batas-batas Desa lentu yaitu:
a. Sebelah Selatan : Kecamatan Tamalatea b. Sebelah Utara : Kelurahan Bontormba c. Sebelah Barat : kelurahan Tonrokassi Timur d. Sebelah Timur :Desa Karelayu 63
62
Kepala Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto Tanggal 24 Februari 2019
63
Kepala Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto Tanggal 24 Februari 2019
Penduduk merupakan salah satu faktor pendukung yang mempunyai peran besar dalam proses pelaksanaan pembangunan disuatu wilayah atau daerah. Termasuk di Desa Lentu. Bahkan dalam pembangunan nasional manusia atau masyarakat merupakan objek pembangunan yang berarti, karena manusialah yang melakukan pembangunan dan ditujukan untuk kepentingan manusia itu sendiri yang selanjutnya akan menikmati hasil-hasil dari pembangunan tersebut.64
Desa Lentu merupakan Desa yang berpenduduk kurang padat dibandingkan dengan desa lain yang ada di Kecamatan Bontoramba. Hasil sensus penduduk tahun 2007 tercatat 2.540 jiwa. Laki-laki sebanyak 1.205 jiwa dan perempuan sebanyak 1.335 jiwa. Jumlah penduduk yang sebesar itu merupakan aset desa yang perlu dikembangkan agar menjadi angkatan kerja yang berkualitas dan membawa perubahan positif yang signifikan untuk kedepannya.
Desa Lentu terdiri dari 5 (lima) dusun yaitu: 1) Dusun Alluka 2) Dusun Campagayya 3) Dusun Parangnga 4) Dusun Sapaya 5) Dusun Ta’binjai 64
Kepala Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto Tanggal 24 Februari 2019
2. Perkembangan Penduduk
Perkembangan jumlah penduduk sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia dalam berinteraksi dengan alam dan sekitarnya.
Berdasarkan kriteria tersebut perkembangan peradaban untuk daerah ini termasukpada tahap yang kedua yakni mengembangkan pertanian secara menetap. Dalam tahun 1999 jumlah penduduk Desa Lentu sebesar 2.045 jiwa sampai pada tahun 2015 jumlah penduduk Desa Lentu mengalami peningkatan sebesar 2.223 jiwa.65
Berdasarkan data yang diperoleh pada kantor BPS Kecamatan Bontoramba jumlah penduduk Desa Lentu berdasarkan dari tahun ke tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
Tabel. 1
Jumlah penduduk desa lentu berdasarkan jenis kelamin dari
tahun 1999-2017 No Tahun Jumlah Penduduk Jumlah Laki-Laki Perempuan 1 1999 1022 1023 2045 65
Kepala Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto Tanggal 24 Februari 2019
2 2000 1010 1046 2056 3 2001 1032 1030 2062 4 2002 1002 1087 2089 5 2003 960 1023 1983 6 2004 961 1019 1980 7 2005 1048 1104 2152 8 2006 1032 1100 2132 9 2007 1031 1113 2144 10 2008 1035 1117 2152 11 2009 1042 1122 2164 12 2010 1041 1123 2164 13 2011 1045 1133 2178 14 2012 1049 1141 2190 15 2013 1054 1148 2202 16 2014 1057 1155 2212 17 2015 1061 1162 2223 3. Infrastruktur Sosial
Pendidikan adalah salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Disamping itu dengan pendidikan dapat mengembangkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik dengan demikian pendidikan merupakan keharusan bagi manusia apakah itu ditempuh dengan pendidikan formal atau nonformal. Kaitan dari suatu pengembangan daerahmaka pendidikan mempunyai peran yang sangat besar dalam menciptakan tenaga-tenaga terdidik, terampil dan bertanggung jawab. Dalam proses pengembangan bangsa secara keseluruhan akan mengalami ketimpangan bila tidak didukung dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai seperti gedung, tenaga pengajar dan perlengkapan pendidikan lainnya.
Pendidikan merupakan faktor penentuan bagi perkembangan suatu bangsa atau negara. Oleh sebab itu, pendidikan sangat menjadi perhatian utama bagi pemerintah di Negara baik pengadaan sarana dan prasarananya mulai dari tingkat desa maupun daerah terpencil. Hal ini dapat dilihatdari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Jeneponto terkhususnya di Desa Lentu telah berdiri 4 buah TK, SD, MI, dan SMU. 66
Adapun keadaan pendidikan yang ada di Desa Lentu dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
66
Kepala Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto Tanggal 24 Februari 2019
Tabel. 2
Sarana pendidikan Desa Lentu
Jenis pendidika n Nama Dusun alluk a Campagayy aa Parangng a Sapayy a Ta’binj ai Total Belum sekolah 30 73 55 46 67 271 Putus sekolah 46 78 89 28 74 315 SR 7 - - 1 5 13 TK 2 6 - 11 26 45 SD 54 235 106 127 207 729 SMP 38 81 20 68 132 357 SMA 24 53 12 105 148 342 D2 - - - 7 3 10 D3 1 - - 2 3 6 S1 1 6 1 5 15 28 S2 - - 1 1 - 2
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan masihlah rendah ini dikarenakan masih kurangnya kesadaran bagi warga khususnya para orang tua disamping itu faktor lain disebabkan oleh karena faktor ekonomi yang masih relatif rendah.
B. Bentuk Nilai-Nilai Dakwah Dalam Budaya Siri’ Di Desa Lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto
1. Bentuk Nilai Siri’ Berkaitan dengan Aqidah a. Nilai Kejujuran
Ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk memberantas ketidakjujuran dan kejahatan lainnya yaitu: pertama, penelusuran akidah dengan meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Kedua, berperilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain. Ketiga, jangan merusak bumi. Maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti yang sebenarnya, tetapi bisa dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari perilaku individu yang tidak jujur.
Aqidah dalam agama adalah hal yang berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan . yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tentram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampur oleh keraguan dan kebimbangan.
Keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang meyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya, yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak
sampai pada keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikut hatinya diatas hal tersebut. Kemudian aqidah jika dikaitkan dengan nilai-nilai Siri’ maka hal tersebut juga akan berhubungan dengan keimanan seseorang.
Nilai Siri’ yaitu nilai yang paling utama yang terkandung dalam falsafah Siri’ sebagai uraian yang pertama adalah rasa malu dan harga diri. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan
Siri’nya atau de’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh
kehidupan sebagai manusia. Selain itu juga nilai Siri’ ini juga sudah sejak zaman dahulu dan sangat di hormati oleh para leluhur dan harus tetap diterapkan dalam kehidupan. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah seorang informan.
Dalam kehidupan masyarakat penerapan nilai Siri’ harus tetap diterapkan secara terus menerus agar tercipta masyarakat yang damai, karena Siri’ artinya malu dan malu itu sebagian dari iman, hal ini berhubungan nilai-nilai keislaman yang berkaitan dengan aqidah seseorang dan penilaian bagaimana ketakwaannya kepada Allah Swt. Di desa lentu, masyarakat yang menerapkan budaya Siri’ dari segi aqidah hanya beberapa persen saja. Mereka lebih memilih menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Melakukan hal-hal yang merusak aqidah atau kepercayaan kepada Allah swt. Maka banyak yang memiliki akhlak yang buruk, sebab keimanannya saja hanya seperti itu. Mereka sama sekali tidak takut akan laknat Allah swt.67
Berbicara mengenai keimanan masyarakat. Saat ini memang sudah sangat mengkhawatirkan hal tersebut terjadi akibat budaya yang datang dari luar dan perkembangan teknologi yang sudah sangat canggih sehingga membuat masyarakat lebih memilih menghabiskan waktunya
67
Hartati, Guru Honorer TK di Desa lentu Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto, Wawancara tanggal 26 Februari 2019