mumutaro
My Assistant Lady
MY ASSISTANT LADY Oleh: Mumutaro Copyright © 2014 by Mumutaro
Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dengan bentuk dan cara apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronik, termasuk fotokopi, rekaman, dan lain-lain tanpa izin tertulis dari penulis.
Semua karakter dalam buku ini adalah fiksi, tidak berkaitan dengan selebriti atau tokoh sebenarnya.
Penerbit M Books [email protected] Desain Sampul: Mumutaro Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Isi Buku
1. Prolog—7 2. Birthday Suprise—20 3. Am I Your...?—40 4. Worry—60 5. Weird Miracle—74 6. Sad Birthday—88 7. Who You?—103 8. Sorry—129 9. Morning Gift—148 10. New Life—165 11. Silent Memory—175 12. Party—18913. We Getting Back Together ?—211 14. Empty—225
15. Just One Day—249 16. Do You Love Me?—264
17. The Dark Room—282 18. Painful Memory—297 19. Truth—312
20. Airport—316
21. Somewhere Out There—335 22. The Unforgotten—355 23. White Snow—359 24. Dreams—381 25. Epilog—395 26. From Author—402 27. Contact Me—403
1
Prolog
Seoul, 25 Maret 2009
ilatan putih dari puluhan kamera tak henti-hentinya menyambar. Ruangan itu sedari tadi sudah riuh oleh para wartawan yang menunggu di sana sejak sejam lalu. Keriuhan yang terjadi itu terhenti sejenak saat pria berkacamata dihadapan mereka sudah memegang gagang microphone yang terpasang di meja. Ia itu tentu ingin mengatakan sesuatu yang sepertinya tidak mudah. Perlu beberapa saat baginya untuk sekedar menghela nafas lalu
K
“Siang ini, dengan berat hati, saya Kwon Ji Yong, akan menjelaskan semuanya,” pria itu melanjutkan, diikuti suara kecewa yang mendadak terdengar, seakan sudah tahu apa yang akan dibicarakan selanjutnya.
“Saya mewakili The Dragons, harus mengatakan bahwa..., perjalanan kami berakhir sampai di sini. Kami memutuskan memilih jalan kami sendiri-sendiri, dan saya rasa keputusan ini pasti akan mengecewakan kalian semua. Terima kasih atas dukungan kalian, kami tentu tidak akan melupakan kalian selama sepuluh tahun ini,”
Kilatan cahaya itu semakin menjadi-jadi, dan serasa sangat menyilaukan setelah pernyataan tadi. Para wartawan itu pun kembali riuh seperti lima menit lalu, berebut ingin memberikan pertanyaan.
“Waktu kami tidak banyak, kami hanya menjawab beberapa pertanyaan saja,” kata pria lain yang duduk di sebelah pria yang baru saja berbicara tadi. Kali ini pria itu yang mengambil alih microphone yang terpasang di meja, sepertinya ia adalah orang dari pihak label, semacam manajer atau produser, atau apa di sana. Sementara orang ketiga yang juga berada di antara mereka, hanya terdiam dan sesekali tersenyum ke arah kamera.
“Bisakah anda memberi alasan yang lebih
membubarkan The Dragons?” tanya salah seorang wartawan yang berdiri paling depan.
“Bukan aku yang membubarkan, ini keputusan kami,” jawab pria berkacamata.
“Apakah ini akibat konflik internal?” “Mengapa Jae Sang tidak hadir?”
“Apa ini terkait dengan skandal narkotika yang menimpa kalian?”
“Bagaimana kelanjutan album The Dragons yang...,”
“Aku tidak akan menjelaskan masalah ini dengan detil. Intinya kami sudah memilih untuk memulai jalan kami masing-masing, dan Jae Sang… dia lebih dulu menempuh jalannya sendiri sebelum kami berdua. Dan terakhir, aku tidak akan membicarakan skandal itu lagi,” lanjut pria itu.
“Thunder, apa tidak ada komentar darimu?” wartawan mulai bertanya pada pria yang sedari tadi
“Sudah cukup pertanyaannya,” pria diujung meja memotong wartawan yang sudah akan bertanya lagi, mereka kembali riuh untuk meminta waktu lebih.
“Tidak, tidak sudah cukup,” ia pun menutup perjumpaan siang itu.
Matahari sudah bersinar cerah, tanda pagi telah tiba. Pagi yang seharusnya indah, ceria, dan menyejukkan menurut orang-orang yang sedang sibuk di dapur sejak berjam-jam yang lalu. Mereka harus bangun pagi sekali sebelum matahari benar-benar muncul ke permukaan untuk menyiapkan segala makanan untuk sarapan pagi ini, sementara mereka belum makan sama sekali.
Makanan hasil kerja keras mereka itu kini telah terhampar di meja makan kayu yang besar. Mungkin orang lain akan berpikir kenapa harus masak sebanyak ini hanya untuk sarapan, padahal banyak orang di luar sana yang tidak suka aktivitas makan di pagi hari karena tidak lapar dan tidak ada waktu, tapi itulah yang mereka kerjakan setiap pagi di rumah keluarga Dong. Para juru masak di dapur mengerjakan tugas mereka dengan rajin seperti
seharusnya, sekalipun di rumah itu tidak ada yang berniat melakukan ritual sarapan pagi. Kalau memang benar tidak ada satupun anggota keluarga Dong yang ingin sarapan, para juru masak, pelayan, dan pekerja lainnya di rumah itu akan mengadakan pesta kecil di pagi hari.
Sayang memang. Pesta kecil di pagi hari yang sudah mereka jadwalkan rupanya tidak terlaksana. Yuri, putri bungsu di keluarga itu sudah siap di samping meja makannya. Ia juga sudah mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi.
Sedikit mengherankan bagi para pelayan keluarga Dong yang melihat Yuri yang kini terlihat seperti pelajar teladan yang rajin pergi ke sekolah. Biasanya salah satu pelayan harus berkorban karena perlu perjuangan keras memaksa Yuri untuk bangun pagi dan pergi ke sekolahnya. Kalau sudah terlalu siang untuk berangkat, akhirnya Yuri harus pergi ke sekolah tanpa menyantap makan pagi.
“Bisakah kau kecilkan suara TV-mu itu!” perintah gadis berambut cokelat ikal sebahu yang
sangat menyadari mendengarkan musik rock di pagi hari sepertinya sangatlah tidak bijaksana, terutama ketika sedang berada di ruang makan.
“Ada yang perlu saya bantu Nona?” pelayan itu buru-buru berdiri di samping meja makan.
“Kurasa telurnya kurang matang,” jawab Yuri tanpa menoleh. Ia sangat tidak suka makanan yang dimasak kurang matang, baginya itu sangat menjijikkan.
“Maaf Nona, akan saya ganti telurnya dengan yang baru,”
“Tidak perlu, aku tidak ingin makan itu lagi,” “Lalu ada yang lain?” pelayan bertanya lagi. “Untuk sementara tidak,” kata Yuri sambil menyantap sosis panggangnya. Untuk sekilas ia memandang ke arah kursi kosong di yang mengelilingi meja makan. Ada enam kursi di sana, dan hanya satu kursi yang terisi oleh dirinya sendiri.
“Tuan Dong masih berada di Osaka, beliau berpesan akan pulang dua atau tiga hari lagi,” jelas pelayan itu, sebelum Yuri bertanya lebih lanjut.
Yuri mendengus kesal mendengarnya. Tanpa perlu bertanya sebenarnya dia sudah tahu Ayahnya tidak mungkin ada di rumah karena terlalu sibuk
bekerja. Yuri selalu bertanya-tanya seperti apa kesibukan Ayahnya hingga ia harus bekerja keras dan tidak pernah menikmati keindahan rumahnya sendiri—yang dibangun dari uang hasil kerja kerasnya tentu saja.
Namun setelah berpikir lebih lanjut mengenai pekerjaan Ayahnya yang menguras waktu dan tenaga itu, Yuri berharap tidak pernah mengetahuinya, karena untuk sekedar membayangkannya saja ia merasa lelah. Ia pun memutuskan tidak pernah menanyakannya, dan mungkin itu lebih baik.
“Beliau berpesan agar Nona belajar dengan rajin karena sebentar lagi akan masuk universitas,” lanjut si pelayan.
“Hm,” Yuri menggumam pelan, entah mengiyakan pesan Ayahnya tentang belajar yang rajin, atau menikmati sosis panggang.
“Sosis ini terlalu gosong!” protes Yuri. Baiklah, ternyata dia tidak mau menanggapi tentang masalah belajar yang rajin untuk masuk universitas.
dipegangnya itu pada Yuri, namun tentu ia tidak bisa melakukan itu. Kalau memang bisa ia akan sangat senang sekali.
“Aku juga tidak suka makan sambil dilihat orang! Jangan berdiri di sebelahku saat aku sedang makan, mengerti?”
“Maaf, Nona.”
“Kalau sudah mengerti pergilah,” usir Yuri sembari meneguk segelas susu.
Tanpa berbicara lagi, pelayan itu segera mohon diri, meninggalkan Yuri yang masih setia di meja makannya.