• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Perlindungan Hukum

Dalam kehidupan bermasyarakat ini menghadirkan hukum di dalamnya yang berguna untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satu dengan yang lain. Maka dari itu, hukum harus dapat mengintegrasikan dan supaya menekan sekecil mungkin ketidakadilan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan hukum adalah tempat berlindung, perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi.

Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaaan tersebut memilki kemiripan unsur-unsur, yaitu unsur tindakan melindungi, unsur cara- cara melindungi. Dengan demikian, kata melindungi dari pihak-pihak tertentu dengan menggunakan cara tertentu.

1

Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, Pancasila berfungsi sebagai landasan ideologi dan falsafah negara. Bagi rakyat barat, konsepsi perlindungan hukum yang mereka gunakan berasal dari konsep-konsep rechtssaat dan rule of the law.

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kepentingannya tersebut.

Pemberian kekuasaan atau yang sering disebut dengan hak, dilakukan secara terukur, keluasan dan kedalamannya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan pengertian perlindungan hukum adalah suatu perbuatan hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya dapat

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, Cet. 1, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 595.

(2)

dipaksakan dengan suatu sanksi. Secara umum perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.

2

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.

3

Menurut C.S.T. Kansil, perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

4

Philipus M. Hadjon mengejawantahkan pemikiranya terkait dengan perlindungan hukum yang memandang sebagai bentuk dari aktivitas perlindungan atau secara nyata sebagai bentuk pertolongan pada seluruh subjek yang dinaungi oleh hukum sehingga perangkat hukum mampu untuk menjaminnya.

5

Frasa dari perlindungan hukum ialah bentuk konsepsi yang dipahami secara general pada seluruh negara penganut hukum. Hakikatnya, bentuk dari perlindungan hukum tersusun atas 2 (dua) jenis, diantaranya perlindungan melalui pendekatan preventif serta represif. Atau jika disederhanakan berarti pencegahan dan penindakan pelanggaran.

Bentuk perlindungan dengan konsep preventif memiliki bentuk peran yang strategis dikaranakan cukup strategis dalam wewenang pemerintah. Atas dasar dari makna preventif maka dilakukan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan penindakan. Segala bentuk keputusan yang tercantum dirumuskan melalui perundingan dan penyelidikan

2 Satjipto Raharjo, Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, Jurnal Masalah Hukum, 1993.

3 Setiono, Disertasi : “Rule of Law”, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004, hlm. 3.

4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1989, hlm. 102.

5 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1987, hlm. 10.

(3)

panjang. Adapun bentuk hukum secara preventif dituangkan melalui peraturan yang diterapkan secara legal dalam rangka mencegah munculnya tindak pelanggaran juga dalam rangka menetapkan batas (border) dari individu dalam memenuhi hal yang sifatnya wajib.

Adapun dari sisi represif, maka perlindungan atas hukum memiliki fungsi dalam suatu penyelesaian atas suatu sengketa yang menjadi pokok pelanggaran. Adanya pendekatan yang dimaksud ialah bentuk perlindungan paling akhir melalui tindak pemberian sanksi atas segala perlakuan yang melanggar batas.

6

Perlindungan hukum dapat memberikan pengertian bahwa bentuk sikap mengayomi segala jenis hak asasi manusia yang terancam kerugian oleh tindak pihak lain sehingga di lingkup masyarakat bisa memperoleh manfaat atas adanya hak yang dijamin melalui regulasi hukum. Dapat dijelaskan jika perlindungan hukum ialah upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat yang menegakkan hukum dalam rangka menawarkan jaminan atas rasa nyaman dan aman baik melalui psikis dan fisik untuk segala jenis ancaman yang diberikan para pihak eksternal.

7

Menurut Moch. Isnaeni perlindungan hukum dibedakan menjadi dua (2) macam yakni perlindungan hukum “internal” dan perlindungan hukum “eksternal.” Hakekat perlindungan hukum internal, pada dasarnya perlindungan hukum yang dimaksud dikemas sendiri oleh para pihak pada saat membuat perjanjian, di mana pada waktu mengemas klausula-klausula kontrak, kedua belah pihak menginginkan agar kepentingannya terakomodir atas dasar kata sepakat. Demikian juga segala jenis resiko diusahakan dapat ditangkal lewat pemberkasan lewat klausula-klausula yang dikemas atas dasar sepakat pula, sehingga dengan klausula itu para pihak akan memperoleh perlindungan hukum berimbang atas persetujuan mereka bersama. Perihal perlindungan hukum internal seperti itu baru dapat diwujudkan oleh para pihak, manakala kedudukan hukum mereka relatif sederajad dalam arti para

6 Philipus M. Hadjon, Op Cit., hlm. 12.

7 Philipus M. Hadjon, Op Cit., hlm. 13.

(4)

pihak mempunyai bargaining power yang relatif berimbang, sehingga atas dasar asas kebebasan berkontrak masing-masing rekan seperjanjian itu mempunyai keleluasaan untuk menyatakan kehendak sesuai kepentingannya. Pola ini dijadikan landasan pada waktu para pihak merakit klausula-klausula perjanjian yang sedang digarapnya, sehingga perlindungan hukum dari masing-masing pihak dapat terwujud secara lugas atas inisiatif mereka.

8

Hakekat dari perlindungan hukum yang bersifat eksternal ialah bentuk hukum yang disusun oleh pihak berkuasa dan dituangkan lewat aturan regulasi, dengan maksud perlindungan atas orang lemah.

Terdapat prinsip bahwa hukum tidak boleh berat sebelah, artinya keberpihakan tidak boleh ada sehingga perlu adanya keseimbangan diantara pihak berkepentingan secara proporsional. Dikarenakan mungkin saja terjadi peristiwa dimana waktu menyusun perjanjian, muncul pihak dengan kekuatan lebih sehingga membuat mitranya tertekan. Namun dalam implementasi perjanjian waktu ada pihak yang pada awalnya kuat itu, malah justru terjerumus ke keadaan tertekan.

Contoh saja ketika wanprestasi dialami debitur maka selayaknya kreditur memperoleh perlindungan dari sisi hukum.

9

2. Kewenangan

Kewenangan diterjemahkan oleh KBBI identik dengan kata wewenang, yang diterjemahkan dalam arti kekuasaan beserta hak dari pihak dalam menjalankan tindakan. Kemudian dalam arti kewenangan dari pemikiran A.A. Waskito (dalam kamus praktis) diartikan sebagai kekuasaan atas hak yang di punyai oleh orang ketika memutuskan suatu hal. Kalimat kewenangan tidak dapat dikorelasikan dengan urusan, hal ini mempunyai alasan bahwa kewenangan diartikan sebagai fungsi manajemen atas satu atau sejumlah hal yang dilakukan berkaitan dengan rencana, aturan, organisasi, pengurusan, beserta kontrol atas

8 Moch. Isnaeni, Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan, Yogyakarta:LaksBang PRESSindo, 2017, hlm. 102.

9 Moch. Isnaeni, Op Cit., hlm. 103.

(5)

sebuah objek khusus yang melekat sebagai kewenangan dari pemerintahan.

10

Terdapat sebuah asas yang dijalankan dalam hal pilar negara yakni asas legalitas, yang diterjemahkan bahwa pemerintah melakukan wewenang merujuk pada regulasi peraturan sah. Kekuasaan maupun wewenang yang legal dijalankan perlu mengacu pada Peraturan Perundang-Undangan. Pada tiap lini dari kehidupan, arti dari kewenangan selalu dibutuhkan, baik dari pihak yang telah maju atau masih sederhana.

11

Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan. Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenanangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang atau dari kekuasaan eksekutif administrasi. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang. Kekuasaan sering disanakan begitu saja dengan kewenangan dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Secara yuridis pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.

12

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.

Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian

10 Agussalim Andi Gadjong, Pemerintah Daerah Kajian Politik Hukum, Bogor:Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 95.

11Yuslim, Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten atau Kota Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ringkasan Disertasi:Universitas Andalas Padang, 2014, hlm. 8.

12 Indrohato, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 65.

(6)

pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah.

Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah.

13

Menurut Ateng Syafrudin ada perbedaan antara pengertian kewenangan dengan wewenang. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan.

14

Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut bahwa kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu hal tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang yang dimaksud adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.

15

Studi terkait dengan hukum administrasi negara, mengartikan jika bahan dari wewenang negara (dalam hal ini pemerintah) cukup vital dikarenakan prinsip tata kelolanya diasosiasikan dengan wewenang sebagai tindakan yang perlu untuk dipertanggungjawabkan melalui prinsip hukum yang sah. Sehingga prinsip tanggung jawab ini dilimpahkan kepada setiap pihak yang telah bersumpah menjadi bagian negara. Atribusi daripada penerima wewenang berimplikasi pada timbulnya wewenang yang baru atau perluasan yang ada terkait bentuk

13 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1998, hlm. 35.

14Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung:Unpar, 2000, hlm. 22.

15 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1981, hlm. 29.

(7)

tanggung jawab eksternal dan internal dimana pelaksanaanya dilimpahkan secara penuh dengan basis atributaris.

Merujuk pada keseluruhan pengertian yang telah dinarasikan, diambil suatu istilah yang menjadi simpulan atas arti kewenangan yang dianggap beda dengan wewenang, yakni terletak pada kedudukannya dimana kewenangan berarti sah dan berkuasa formal namun dari wewenang ialah cabang dari kewenangan. Sehingga dianggap jika subjek hukum yang diambil sebagai kewenangan peraturan, maka diperbolehkan dalam menjalankan segala hal yang tercantum dalam kewenangan yang dimaksudkan.

3. Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian berdasarkan teori lama dan teori baru. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut doktrin atau dapat dikatakan ini merupakan teori lama bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

16

Menurut Abdulkadir Muhammad dalam bukunya berjudul “Hukum Perdata Indonesia” berpendapat bahwa mengenai definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu

17

:

1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak;

16 Muhammad Rudiansyah, Analisis Yuridis Perjanjian Arbitrase Perihal Tidak Dapat Ditandatanganinya Perjanjian Tertulis Oleh Para Pihak Yang Bersengketa, Jurnal Penegakan Hukum Indonesia, Vol. 1, No. 2, 2020.

17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2014.

(8)

2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;

3) Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;

4) Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas.

Dalam rumusan Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas dipergunakan untuk apa.

Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian yang lebih lengkap yaitu:

18

1) Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

19

2) Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang

berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

20

3) Menurut Handri Raharjo, perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga

18 Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hlm. 222-223.

19 Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hlm. 224-225.

20 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985, hlm. 1.

(9)

subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”.

21

4) Menurut KRMT Tirtodiningrat, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.

22

5) Menurut Salim H.S, pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah memiliki kelemahan sebagai berikut :

a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;

b. Tidak tampak asas konsensualisme;

c. Bersifat dualisme.

23

Berdasarkan kelemahan tersebut, pengertian perjanjian menurut Salim H.S. adalah perjanjian atau kontrak adalah hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum lain dalam bidang harta kekayaan. Subjek hukum yang satu berhak atas sebuah prestasi dan begitu pula subjek hukum lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.

24

a. Syarat sahnya perjanjian.

Dalam melakukan sebuah perjanjian terdapat syarat-syarat yang mengharuskan si pembuat perjanjian memenuhi persyaratan agar perjanjian itu dapat dilaksnakan. Perjanjian memiliki syarat-syarat sah. Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain:

25

1) Adanya kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.

Perjanjian yang sah harus mengandung unsur kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan

21 Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian Indonesia, Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 42.

22 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsiobalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 43.

23 Salim H.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 15-17.

24 Salim H.S, Op Cit., hlm. 18-19.

25 Gamal Komandoko, Handri Rahardjo, Panduan & Contoh Menyusun Surat Perjanjian & Kontrak Terbaik, Jakarta:Buku Seru, 2013, hlm. 9-10.

(10)

perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak- pihak. Kesepakatan ini diatur di Pasal 1320 (1) KUH Perdata.

Maksud dari sepakat ialah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.

Menurut Salim H.S, kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

Sepakat mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.

Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam- diam. Unsur kesepakatan tersebut ialah offerte atau penawaran dan acceptasi atau penerimaan. Offerte adalah pernyataan pihak yang menawarkan. Sedangkan Acceptasi adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran.

Jadi kesepakatan merupakan hal penting karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUH Perdata, sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, kekhilafan dan penipuan yang selanjutnya disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan).

Berkaitan dengan syarat kesepakatan, terdapat beberapa hal

yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada

kehendak atau kesepakatan tersebut yang dicantumkan dalam

Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah

apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kekhilafan

terdapat dalam Pasal 1322 (1) dan (2) KUH Perdata yang

menyatakan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya

suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai

hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu

tidak menjadi sebab kebatalan. Jika kekhilafan itu hanya terjadi

(11)

mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

Paksaan dimuat dalam Pasal 1324 (1) KUH Perdata, bunyi pasal tersebut yaitu paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berfikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut pada dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Penipuan diatur di Pasal 1328 (1) KUH Perdata merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yanag dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-mushlihat tersebut.

2) Kecakapan dalam bertindak atau dalam melakukan perbuatan hukum.

Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Orang atau persoon dalam dunia hukum berarti pendukung hak dan kewajiban yang juga disebut subjek hukum.

Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus didukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum. Cakap yang dimaksud ialah cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata adalah: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

Menurut R. Soeroso kecakapan adalah adanya kecakapan

untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan

termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada

umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk

membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-

(12)

undang dinyatakan tidak cakap.

26

Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.

Pasal 1330 KUH Perdata mengatur mengenai subjek hukum yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu:

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dalam KUH Perdata telah disebutkan Pasal 330, 433, dan Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan tentang seseorang yang dinyatakan tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum.

Pasal 330 KUH Perdata menyebutkan tentang belum dewasanya seseorang yaitu bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.

Pasal 433 KUH Perdata memberi penjelasan mengenai setiap orang yang harus dibawah pengampuan, pasal tersebut berbunyi setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.

Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan menurut KUH Perdata tidak mengatur tentang kedewasaan, tetapi KUH Perdata mengatur tentang kebelumdewasaan seseorang. Belum dewasa yang dimaksud sesuai dengan Pasal

26 R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan, Jakarta:Sinar Grafika, 2010.

(13)

330 (1) dan (2) KUH Perdata adalah belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

3) Adanya obyek (prestasi) tertentu atau suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu yang dimaksud dalam syarat sahnya perjanjian yaitu terkait dengan obyek (prestasi) perjanjian.

Unsur obyek (prestasi) tertentu atau dapat ditentukan berupa memberikan suatu benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, melakukan suatu perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan tertentu, prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.

27

Obyek perjanjian yang dimaksud sesuai dengan Pasal 1332, Pasal 1333 dan Pasal 1334 (1) KUH Perdata. Hanya barang- barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka ataupun untuk meminta diperjanjikan suatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu dengan baik. Suatu hal atau obyek tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi.

27 Muhammad. A, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

(14)

Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.

Pasal 1234 KUH Perdata menjelaskan bahwa prestasi terdiri atas :

1. Memberikan sesuatu.

2. Berbuat sesuatu.

3. Tidak berbuat sesuatu.

Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara untuk menentukan nilai suatu jasa, harus ditentukan oleh apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak.

4) Suatu sebab yang halal

Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab.

Sebab adalah suatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata suatu sebab yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat

untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUH

Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau

yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang,

tidak mempunyai kekuatan, juncto Pasal 1337 KUH Perdata

menjelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila

dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum. Undang-Undang tidak

memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan

perjanjian, karena yang diperhatikan atau diawasi oleh Undang-

Undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan

tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak serta isinya tidak

(15)

dilarang oleh Undang-Undang, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

28

Keempat syarat di atas adalah syarat pokok untuk setiap perjanjian, artinya dalam setiap perjanjian harus memuat keempat syarat ini apabila ingin disebut sebagai perjanjian yang sah. Keempat syarat pokok ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok syarat subjektif dan kelompok syarat objektif.

29

Para ahli hukum di Indonesia, umumnya memberi pendapat bahwa syarat subyektif meliputi adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian, sedangkan syarat obyektif memiliki unsur mencakup keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa (sebab) dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum, tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat diatas mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif).

30

b. Asas-asas dalam perjanjian 1) Asas Kepribadian

Dasar yang utama dari hukum perjanjian, dalam ilmu hukum berdasarkan pada sifat perseorangan dari buku III KUHPerdata, juga dikenal asas personalia. Asas kepribadian ini dapat ditemui dalam rumusan Pasal 1315 KUH Perdata bahwa pada umumnya

28 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 2000.

29 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2001.

30 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1993.

(16)

tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.

Kemudian, dipertegas lagi oleh ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak- pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak- pihak ketiga mendapat manfaat karenanya.

31

Perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban di antara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya seseorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian bagi pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan. Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya.

2) Asas Konsensualisme

Asas ini mempunyai pengertian bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat pada saat tercapai kata sepakat para pihak, tentunya sepanjang kontrak tersebut memenuhi syarat sah yang ditetapkan dalam Pasal 1320 (1) KUH Perdata. Sepakat yang dimaksudkan adalah bertemunya kehendak para pihak yang membuat perjanjian untuk maksud tertentu, sepakat dapat terjadi karena:

1. Tertulis;

2. Tidak tertulis;

3. Diucapkan;

4. Tidak diucapkan;

5. Isyarat.

32

Perlu diingat bahwa asas konsensual tidak berlaku pada perjanjian formal. Perjanjian formal maksudnya adalah

31 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (ed). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Burgerlijk Wetboek. Cetakan ke 35, Jakarta:Pradnya Paramita, 2004.

32 Arief Suryono, Pengetahuan Dasar Hukum Asuransi, UNS Press, 2020.

(17)

perjanjian yang memerlukan tindakan-tindakan formal tertentu, misalnya perjanjian kredit, formalitas yang diperlukan adalah pembuatanya dalam Akta PPAT. Dalam perjanjian formal, suatu perjanjian akan mengikat setelah sudah terpenuhinya tindakan-tindakan formal dimaksud.

33

3) Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap warga negara bebas untuk membuat kontrak. Hal ini disebut asas kebebasan berkontrak atau sistem terbuka. Yang berarti ada kebebasan seluas-luasnya yang diberikan oleh undang-undang kepada masyarakat dan sebagai warga negara untuk mengadakan perjanjian mengenai hal apa saja. Hal yang perlu diperhatikan bahwa perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 (1) KUH Perdata, yang berbunyi bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian di Indonesia meliputi hal-hal berikut:

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

2. Kebebasan untuk memilih dengan siapa ingin membuat perjanjian.

3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa yang halal dari perjanjian yang akan dibuat.

4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan ketentuan yang bersifat optional.

34

33 Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di Asean, Pengaruh sistem hukum Common Law dan Civil Law, Jakarta:Sinar Grafika, 2013, hlm. 49.

34 Sutan Remy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang Seimbang dari Debitor dan Kreditor, makalah yang disampaikan paada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya pada tanggal 27 April, hlm. 2.

(18)

Hal-hal yang tidak diatur di dalam kontrak tersebut akan dirujuk pada KUH Perdata. Jadi, KUH Perdata hanya bersifat sebagai pelengkap saja.

4) Asas Pacta Sun Servanda

Asas ini dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian. Perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.

35

Asas pacta sun servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sacral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembanganya asas pacta sunt

servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu

dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainya.

adapun nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.

36

Menurut Herlien Budiono, adagium pacta sun servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataanya. Asas hukum ini juga menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual, dianggap sudah terberi dan tidak pernah dipertanyakan kembali.

37

35 Salim, Abdulah, Perancangan kontrak & Memorandum of Understanding, Jakarta:Sinar Grafika, 2007, hlm. 2-3.

36 Salim, H.S, Loc Cit, hlm. 32.

37 Herlien Budiono, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2012, hlm. 91.

(19)

5) Asas Itikad Baik

Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Terdapat 2 (dua) sifat dari itikad baik yaitu yang pertama bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Kedua bersifat subjektif artinya ditentukan oleh sifat batin seseorang. Asas itikad baik merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

Iktikad baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian tetapi juga ditentukan oleh iktikad baik dan bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. kepatutan, jadi iktikad baik dan kepatutan menentukan isi dari perjanjian itu.

Asas itikad baik dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik juncto Pasal 1965 KUH Perdata yang berbunyi itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya sebagaimana terdapat dalam Pasal 1865 KUH Perdata bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

38

6) Asas Proporsionalitas

Asas proporsionalitas bermakna sebagai ”asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses

38 Arief Suryono, Loc. Cit, hlm. 23.

(20)

kontraktual.” Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak (pre-contractual,

contractual, post contractual). Asas proporsional sangat

berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak (in casu (i.c.) menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair).

39

c. Unsur-unsur perjanjian

Perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu kontrak. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian. Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur, yaitu sebagai berikut:

40

1. Unsur Essensialia

Unsur essensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensial ini maka tidak ada perjanjian. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.

2. Unsur Naturalia

Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut, sehingga unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.

Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan

39 Agus Yudha Hernoko, Asas Proporsionalitas Sebagai Landasan Pertukaran Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Komersial, Jurnal Hukum Dan Peradilan, Vol. 5, No. 3, 2016.

40 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2014.

(21)

dalam KUH Perdata bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.

3. Unsur Aksidentalia

Unsur Aksidentalia merupakan unsur yang akan ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikanya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur essensial dalam kontrak tersebut.

4. Perjanjian Kredit

Hukum perjanjian dalam Pasal 1338 KUH Perdata mengatur bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka yang artinya,

masyarakat diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk

mengadakan perjanjian yang berisi apa saja atau tentang apa saja,

asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan

kesusilaan, serta berlaku pula asas kebebasan berkontrak, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Hal ini berarti bahwa

setiap orang berhak membuat perjanjian sepanjang tidak dilarang oleh

undang-undang dan setiap perjanjian yang dibuat haruslah

dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana disebutkan dalam Pasal

1338 Ayat (3) KUH Perdata. Makna dari ketentuan tersebut adalah agar

setiap perjanjian yang dibuat hendaknya sama sekali tidak

(22)

dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun pihak ketiga lainnya diluar perjanjian.

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni:

41

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. Para pihak yang akan mengikatkan diri di dalam suatu perjanjian harus bersepakat atas kehendak masing- masing yang dilahirkan oleh para pihak secara sadar, dengan itikad baik dan tanpa adanya paksaan atau tekanan, kekeliruan atau penipuan; 2.

Cakap untuk membuat perikatan. Cakap (bekwaam) atau memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum secara sah serta mampu bertanggungjawab terhadap akibat perbuatan hukum yang dilakukannya. Dalam membuat suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat bahwa para pihak yang terlibat harus sudah dewasa, berakal sehat dan tidak dilarang oleh hukum positif; 3. Suatu hal tertentu. Arti “hal tertentu” adalah hal atau barang yang menjadi objek dalam suatu perjanjian. Objek perjanjian harus ditentukan dengan jelas mengenai jenis atau spesifikasinya, sedangkan jumlahnya tidak harus ditentukan asalkan dapat ditentukan atau diperhitungkan di hari kemudian; 4.

Sebab yang halal.

Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian harus didasarkan pada suatu sebab-sebab yang benar, objektif, tidak palsu, tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan. Menurut doktrin ilmu hukum, keempat unsur itu diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu unsur subjektif yang terdiri dari “kesepakatan” dan “kecakapan” dari para pihak yang membuat perjanjian dan unsur objektif yang terdiri dari “adanya hal atau persoalan sebagai objek yang diperjanjikan” dan “adanya sebab atau causa” yang menjadi dasar dibuatnya suatu perjanjian yang tidak dilarang oleh hukum serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan. Jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif

41 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 30.

(23)

maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan jika tidak terpenuhinya unsur objektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Perjanjian kredit merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Bab XIII Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dalam Pasal 1754-1769 KUH Perdata. Pasal 1754 KUH Perdata berbunyi: “Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Pada praktiknya, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lain tidaklah sama, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank. Perjanjian kredit merupakan ikatan atau alat bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.

Masyarakat pada umumnya mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas. Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang berarti kepercayaan akan kebenaran, dan apabila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak bank selaku kreditur memberikan kepercayaan untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.

Oleh karena itu perjanjian kredit dianggap seperti perjanjian pinjam- meminjam dalam ini adalah pinjam meminjam uang maka sifat hukum dari perjanjian kredit adalah bersifat riil artinya perjanjian yang baru tercipta dengan diserahkannya barang (uang) yang menjadi obyek perjanjian.

Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek penting dalam

kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitur

(24)

yang isinya menentukan dan mengatur hak serta kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit. Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan, maka perjanjian kredit adalah pokok atau prinsip, sedangkan jaminan adalah perjanjian ikutan atau accessoir. Dalam pengertian yang lebih luas, kredit dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada jangka waktu yang telah disepakati.

Mengenai istilah kredit ini terdapat beberapa pengertian antara lain:

a. Pasal 1 angka 11 UU Perbankan: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

b. R. Subekti “Kredit berarti kepercayaan. Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank memang adalah orang yang mendapatkan kepercayaan dari bank.”

42

c. Sutan Remy Sjahdeini memberikan pengertian secara khusus mengenai perjanjian kredit yaitu “Perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan debitur untuk melunasi hutangnya setalah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.”

43

Menurut H. Budi Untung secara yuridis formal ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit yang digunakan kreditur dalam memberikan kreditnya pada debitur, yaitu :

42 R. Subekti, Loc Cit., hlm. 14.

43 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cet-1, Jakarta:Institut Bankir Indonesia, 2009, hlm. 14.

(25)

1. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan akta di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh kreditur kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara bank dan debitur tanpa notaris. Lazimnya penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi tidak turut serta membubuhkan tanda tangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata di pengadilan.

2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris (akta notariil) atau akta otentik. Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit (akta notariil) atau akta otentik adalah perjanjian pemberian kredit oleh kreditur kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.

44

Selanjutnya mengenai fungsinya, perjanjian kredit ini mempunyai beberapa fungsi menurut H. Budi Untung bahwa perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. Maksud dari fungsi sebagai perjanjian pokok yakni perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atu tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban antara kreditur maupun debitur. Perjanjian kredit sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

45

5. Jaminan

Istilah jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung,

sehingga jaminan dapat diartikan tanggungan. Kemudian jaminan juga merupakan terjemahan dari kata zekerheid atau cautie yakni kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang

44 H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Edisi Kedua, Yogyakarta, 2012, hlm. 31.

45 H. Budi Untung, Op Cit., hlm. 33.

(26)

seperti yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata maupun tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang seperti diatur dalam Pasal 1139-1149 KUH Perdata (piutang yang diistimewakan), Pasal 1150-1160 KUH Perdata (tentang gadai), Pasal 1162 KUH Perdata (tentang hipotik) dan Pasal 1820-1850 KUH Perdata (penanggungan utang), Hak Tanggungan maupun Fidusia. Tanggungan atas perikatan seseorang disebut jaminan secara umum, sedangkan tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang disebut jaminan secara khusus.

46

Dalam Pasal 1131 KUH Perdata diletakkan asas umum hak seseorang kreditur terhadap debiturnya, dalam mana ditentukan bahwa, segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatan seseorang.

47

Menurut Munir Fuady yang dimaksud dengan jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor (pihak yang berpiutang) atas pembayaran utang-utang yang telah diberikannya kepada debitur (pihak yang berutang), yang terjadi baik karena hukum, maupun yang terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assessoir (perjanjian ikutan) terhadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian yang menerbitkan utang piutang, baik berupa jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan, di mana jika jaminan kebendaan, dilakukan dengan atau tanpa penyerahan kekuasaan dan menikmati hasil dari barang objek tersebut, yang umumnya memberikan hak untuk dibayarkan terlebih dahulu kepada kreditor, dengan beberapa pengecualian, di mana pembayaran utangnya diambil dari hasil penjualan barang-barang jaminan utang tersebut.

48

Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan istilah agunan. Istilah agunan ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 23 UU Perbankan yakni dengan penjelasan sebagai berikut: “Jaminan tambahan diserahkan nasabah

46 Mariam Darus Badrulzaman, Perkembangan Lembaga-lembaga Jaminan Dalam Teori dan Praktek, Bandung:Alumni, 1991, hlm. 71.

47 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta:Intermasa, 1992, hlm. 86.

48 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2014.

(27)

debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Sehingga jaminan artinya adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima oleh debitur dari kreditur.” Berbeda dengan pengertian jaminan menurut Hartono Hadisoeprapto, bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Dengan demikian, pengertian jaminan adalah sesuatu yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur berupa suatu obyek tertentu sehingga kreditur merasa yakin bila debitur dapat memenuhi semua kewajibannya.

Menurut H. Salim HS, terdapat 5 (lima) asas-asas hukum jaminan, yaitu :

a. Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan.

Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar.

b. Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu.

c. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.

d. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada pada

penerima gadai.

(28)

e. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.

Jaminan dalam hukum positif mempunyai kedudukan sebagai pemberi kepastian hukum kepada kreditur atas pengembalian modal atau pinjaman atau kredit yang ia berikan kepada debitur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutang debitur. Nilai benda jaminan harus lebih tinggi dari jumlah modal/pinjaman/kredit berikut bunga yang diberikan oleh kreditur dengan harapan ketika terjadi wanprestasi atau kredit macet maka jaminan itu dapat menutup pinjaman dan bunga yang diberikan. Djuhaendah Hasan berpendapat bahwa jaminan adalah sarana pelindung bagi keamanan kreditur, yakni kepastian akan pelunasan hutang debitur atau usaha pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.

49

Kemudian menurut Hasanudin Rahman jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada pihak kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.

50

Syarat-syarat benda jaminan yakni pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonbank, namun benda yang dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Rachmadi Usman, syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) debitur untuk melakukan atau

49 Djuhaenudin Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Pemisahan Horizontal, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1996, hlm.

233.

50 Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 162.

(29)

meneruskan usahanya. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) debitur untuk melakukan atau meneruskan usahanya.

51

Kegunaan benda jaminan yakni memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaanya dapat dicegah atau sekurang- kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.

Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar pihak debitur dan atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan.

6. Hak Tanggungan

Faktanya berkaitan dengan adanya jaminan pada harta kekayaan tidaklah satu-satunya faktor yang berperan sebagai penentu untuk dapat memberikan sejumlah kredit. Namun jika diartikan demikian dalam rangka pemberian proteksi secara lebih mantap untuk kreditur. Hukum memberikan tawaran atas lembaga khusus yang dilimpahi suatu posisi istimewa untuk kreditur, yang dengan tujuan sebagai pihak pengaman piutangnya nantinya ditunjuk sebuah bidang tanah maupun sejumlah bidang tanah khusus yang menjadi jaminannya. Lembaga yang sudah menawarkan kedudukan istimewa yang dimaksud ialah diwakili istilah hak jaminan atas tanah.

Tanggungan dikenal sebagai barang yang bisa diberikan sebuah jaminan dalam rangka melakukan pelunasan sebuah hutang atas pihak debitur.

52

Hak Tanggungan dalam hakikatnya ialah suatu hak yang menjadi tanggungan untuk dapat dibebankan kepada hak tanah. Tetapi dalam faktanya juga sering dimunculkan sejumlah benda serupa

51 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta:Sinar Grafika, 2008, hlm. 60.

52 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 114.

(30)

tanaman, bangunan, maupun hasil karya yang dengan ketetapannya menjadi satu bentuk terintegrasi pada tanah yang dialihkan menjadi jaminan. Selaras melalui munculnya sejumlah asas pemisahan pemilikan dari sisi horisontal merujuk pada hukum adat yang akan dianut dari sisi hukum tanah kita, maka sejumlah benda yang dijadikan sebagai integrasi dengan benda berupa tanah tidak menjadi bentuk komponen atas tanah bersangkutan. Sehingga pada tiap tindakan hukum berkaitan dengan hak atas tanah, tidak dengan mandiri termasuk pada benda yang disebutkan.

Namun di lain pihak implementasi dari adanya asas-asas hukum dari sisi adat tidaklah bersifat mutlak, namun akan senantiasa mengindahkan dan diselaraskan oleh dinamika kenyataan beserta kebutuhan di diri masyarakat yang tengah dihadapi. Dengan landasan berupa fakta dari sifat hukum adat, dengan tujuan untu pemisahan dari asas horisontal yang dimaksudkan di dalam undang-undang dijabarkan jika pembebanan atas hak tanggungan tanah memiliki probabilitas yang sama pula mencakup sejumlah benda sebagaimana disebutkan. Hal yang dimaksud sudah dilakukan dan dari praktik hukum, sejauh tiap benda tersebut menjadi integrasi dari tanah yang berkaitan, dan partisipasi menjadi bentuk dari jaminan yang secara tegas dinyatakan melalui aktor yang dituliskan pada APHT. Bangunan, lalu tanaman beserta hasil karya yang turut dijadikan sebagai bentuk jaminan tidak bisa dibebaskan dari hal yang menjadi kepemilikannya atas hak tanah yang berkaitan namun juga bisa mencakup yang dipunyai oleh pihak yang lain.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(selanjutnya disebut UU Pokok Agraria) bahwa telah disediakan

lembaga jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak-hak atas

tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti lembaga hypoteek dan

creditverband. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya UU

Pokok Agraria, lembaga hak tanggungan di atas belum dapat berfungsi

(31)

sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap sesuai yang dikehendaki Pasal 51 tersebut.

53

Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 UU Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan Hypoteek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUHPerdata Indonesia dan ketentuan creditverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum terdapat aturannya di dalam UU Pokok Agraria.

54

UU Hak Tanggungan ini pada intinya bertujuan menggantikan ketentuan produk hukum kolonial yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat Indonesia.

55

Hak Tanggungan merupakan barang yang dijadikan jaminan guna pelunasan hutang dari debitur. Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal angka 1 UU Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah adalah: “ Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain”. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah dan tidak termasuk gadai, kreditur hanya menguasai tanah dan rumah secara yuridis saja berdasarkan UU Hak Tanggungan. Debitur tetap merupakan pemegang hak tanah yang bersangkutan yang menguasai secara yuridis dan fisik

53 Purwahid Patrik, Hukum Jaminan, Semarang:Fakultas Hukum UNDIP, 2007, hlm. 84.

54 Pandu, Yudha, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2008, hlm. 65.

55 Juwana, Hikmahanto, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Jurnal Hukum.Vol. 01, No. 1, 2005, hlm. 28.

(32)

hak atas tanah tersebut. Pengertian yang pokok yakni hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan sebuah hutang. Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah seusai dengan UU Pokok Agraria.

Hak tanggungan bisa diberikan untuk tanahnya secara terpisah, namun bisa juga untuk dibebankan dengan menyertakan benda lain yang menjadikanya sebuah kesatuan khusus dari adanya tanah yang dimiliki. Dimana hutang yang akan dijamin ialah sebuah hutang tertentu. Juga memunculkan suatu kondisi dimana akan diprioritaskan untuk pihak kreditur khusus berkaitan dengan kreditur yang lainnya.

Hak tanggungan ialah bentuk perjanjian ikutan atau accessoir terkait dengan perjanjian secara pokok, yakni berupa perjanjian utang piutang.

Sehingga selanjutnya eksistensi, peralihan serta hilangnya hak atas tanggungan bergantung dengan adanya sejumlah hutang akan dijamin sisi pelunasannya. Hak tanggungan yang dibebaskan perlu untuk dapat dijalankan lewat pemenuhan dari dua macam mekanisme aktivtias yaitu tahap dalam pemberian atas hak tanggungan dari PPAT yang berisikan sejumlah substansi yang sifatnya adalah harus beserta janji yang memiliki sifat yang fakultatif dengan terlebih dulu didahului oleh adanya perjanjian pokok yang diartikan sebagai perjanjian pada utang piutang serta tahap pendaftaran atas hak tanggungan dari Kantor Pertanahan yang mengindikasikan momen lahirnya hak tanggungan.

56

a. Dasar Hukum Hak Tanggungan

Sebelum berlakunya UU Hak Tanggungan peraturan yang mengatur tentang pembebanan hak atas tanah adalah Bab XXI Buku II KUH Perdata, yang berkaitan dengan hyphoteek dan

creditverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah

dengan Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan kebutuhan perkreditan di Indonesia.

Hal-hal yang diatur dalam UU Hak Tanggungan adalah :

56 Samia Alwi Assery, Pelaksanaan Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Melebihi Batas Waktu Pendafatran, Artikel Ilmiah Universitas Brawijaya:Malang, 2015.

(33)

1) Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 UU Hak Tanggungan);

2) Objek Hak Tanggungan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UU Hak Tanggungan);

3) Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UU Hak Tanggungan);

4) Tata Cara Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 9 UU Hak Tanggungan);

5) Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 UU Hak Tanggungan);

6) Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 UU Hak Tanggungan);

7) Sanksi Administrasi (Pasal 23 UU Hak Tanggungan);

8) Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26 UU Hak Tanggungan)

9) Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31 UU Hak Tanggungan).

b. Subyek dan Obyek Hak Tanggungan 1) Subyek Hak Tanggungan

Subjek Hak Tanggungan di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UU Hak Tanggungan adalah :

a) Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan;

b) Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

2) Obyek Hak Tanggungan

Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat :

a) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa

uang;

(34)

b) Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;

c) Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila cidera janji, benda yang dijadikan jaminan hutang akan dijual di muka umum;

d) Memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang.

57

3) Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 UU Hak Tanggungan yaitu :

a) Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan;

b) Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah ditandatangani pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan.

Berkas yang diperlukan itu meliputi:

1) Surat Pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dibuat dalam rangka 2 (dua) dan membuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan;

2) Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan;

3) Fotocopy surat identitas pemberi dan pemegang hak tanggungan;

4) Sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek hak tanggungan;

5) Lembar kedua akta pemberian hak tanggungan;

6) Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan untuk disahkan Kepala Kantor Pertanahan;

57 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Gambar

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Berpikir Perjanjian Kredit

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan karunia dan rahmat-Nya maka Penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan judul

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Komponen waktu dalam strategi pembelajaran menunjukkan jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan oleh pengajar/dosen dan mahasiswa untuk menyelesaikan setiap langkah

Bukan hanya itu saja hal yang dapat diatasi dalam berwirausaha namun dengan dibekali dengan berbagai pengetahuan yang sudah dimiliki baik itu

Matematika dasar memerlukan penerapan metode pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat menumbuhkan minat belajar siswa dan mempermudah dalam memahami materi

Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk

Hasil penelitian tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arum(2012) yang menyatakan bahwa sikap wajib pajak terhadap kesadaran dalam membayar pajak

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengotimalkan peran aparatur pemerintah kecamatan Puding Besar antara lain adalah memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para