• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH DAN SANKSI PERZINAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH DAN SANKSI PERZINAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

19 2.1. Implementasi Kebijakan

2.1.1. Pengertian implementasi kebijakan

Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik. Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan (Gaffar, 2009: 295). Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut. Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan implementasi termasuk di dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan kebijakan secara konkrit ke masyarakat.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk programprogram atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden,

(2)

Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll (Nugroho, 2003: 158).

Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab, menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa: memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian- kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara, yang mencakup baik usaha- usaha untuk mengadministrasi kannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampaknyata pada masyarakat atau kejadian kejadian (Wahab, 1997: 64-65).

Pengertian implementasi dapat dikatakan bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana atau proses untuk melaksanakan ide dan dilakukan secara sungguh- sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. demi terciptanya suatu tujuan yang bisa tercapai dengan jaringan pelaksana yang bisa dipercaya.Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang- undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Secara sederhana implementasi dapat diartikan dengan pelaksanaan atau penerapan. Menurut Nurdin dan Usman mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaannya sebagai berikut: “Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem.

Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan” (Nurdin dan Usman, 2003:70).

(3)

Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang- undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Sunggono 1994:137).

2.1.2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2002:102). Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna menurut Teori Implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis A.Gun yang dikutip Solichin Abdul Wahab , yaitu :

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius.

Hambatanhambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya

b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu

hubungan kausalitas yang handal

e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnnya

f. Hubungan saling ketergantungan kecil

(4)

g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. (Solichin Abdul Wahab,1997:71-78).

Menurut Teori Implementasi Kebijakan George Edward yang dikutip oleh Budi winarno, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :

1) Komunikasi.

Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan (clarity).

Faktor pertama yang mendukung implementasi kebijakan adalah transmisi. Seorang pejabat yang mengimlementasikan keputusan harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaanya telah dikeluarkan. Faktor kedua yang mendukung implementasi kebijakan adalah kejelasan, yaitu bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi tersebut harus jelas. Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah konsistensi, yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

2) Sumber-sumber.

Sumber-sumber penting yang mendukung implementasi kebijakan meliputi : staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang pelaksanaan pelayanan publik.

(5)

3) Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku.

Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekuensikonsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.

4) Struktur birokrasi.

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur pemerintah dan juga organisasi-organisasi swasta (Winarno,2002 : 126-151).

Menurut Teori Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Horn yang dikutip oleh Budi Winarno, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan yaitu:

(a) Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan.

Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan.

(b) Sumber-sumber Kebijakan.

Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

(c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan komunikasi antar para pelaksana.

(6)

(d) Karakteristik badan-badan pelaksana.

Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur birokrasi. Struktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

(e) Kondisi ekonomi, sosial dan politik.

Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badanbadan pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.

(f) Kecenderungan para pelaksana

Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan (Budi Winarno, 2002:110).

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya. Menurut James Anderson yang dikutip oleh Bambang Sunggono, masyarakat mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan public dikarenakan :

(1) Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan- keputusan badan-badan pemerintah;

(2) Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;

(3) Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;

(4) Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi;

(5) Adanya sanksi-sanksi tertentu yaang akan dikenakan apabila tidak melaksanakan suatu kebijakan (Bambang Sunggono,1994 : 144).

(7)

2.1.3. Kebijakan Pemerintah Daerah

Pemerintahan daerah yang kita kenal sekarang berasal dari perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke 11 dan 12.

Pada saat itu muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah membentuk suatu tuan lembaga pemerintahan. Pada awalnya satuan-satuan wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota), county (kabupaten), commune/ gementee (desa).

Mungkin fenomena tersebut mirip dengan satuan komunitas asli penduduk Indonesia yang disebut dengan desa (jawa), nagari (Sumatera Barat), huta (Sumatera Utara), marga (Sumatera Selatan), gampong (Aceh), kampung (Kalimantan Timur), dan lain-lain. Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan genealogis maupun territorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal. (Hanif Nurcholis, 2007:01 )

2.1.3.1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah terjemahan dari kata wisdom yaitu suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang di kenakan pada seeorang atau kelompok orang tersebut tidak dapat dan tidak mungkin memenuhi aturan yang umum tadi, dengan kata lain ia dapat perkecualian. (Nurcolis, 2005: 12) Kamus Besar Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa kebijakan adalah kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dasar dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak oleh pemerintah, organisasi dan sebagainya sebagai pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam mencapai sasaran.

(Sagala,2009: 96)

(8)

Adapun pengertian kebijakan menurut Budi Winarno memberikan batasan Policy (kebijakan) itu pada tindakan atau ide yang dimunculkan untuk dilaksanakan baik oleh kelompok maupun individu dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh pelaksanaan tindakan tersebut.

(Winarno, 2007: 23)

Adapun menurut William N.Dunn menyatakan policy (Kebijakan) sebagai ilmu yaitu, Suatu istilah dan orientasi terhadap ilmu sosial yang dikembangkan oleh Harold D. Laswell dan kawan- kawan sebelum dan segera setelah PD II, adalah ilmu yang berorientasi pada masalah kontekstual, multi disiplin, dan secara eksplisit bersifat normatif. Ilmu- ilmu kebijakan dirancang untuk menyoroti masalah fundamental dan yang sering kali diabaikan yang muncul ketika warga negara dan pengambil kebijakan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik dan kebijakan yang terus menerus untuk melayani tujuan-tujuan demokrasi. (William N.Dunn, 2000:89)

Jadi kesimpulannya, kebijakan adalah suatu program kegiatan ataupun tindakan yang dipilih oleh kelompok atau seseorang yang dapat dilaksanakan setelah sebelumnya dipertimbangkan dampak dari diberlakukannya program tersebut sehingga hal tesebut memiliki pengaruh besar terhadap sejumlah besar orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

2.1.3.2. Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak

(9)

atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.

(Winarno,2007:23)

Thomas R. Dye memberi pengertian kebijakan publik, yaitu, is what government choose to do or not to do. Maksudnya adalah, apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan publik itu harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata- mata merupakan pernyataan keinginan atau pejabat pemerintah saja. (Irfan M, Islamy,2003:18)

Definisi lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Jenkins yang merumuskan bahwa definisi kebijakan publik sebagai, A set of interrelated decision taken by political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specifird situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve, artinya adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam situasi dimana keputusan-keputusan itu pada

(10)

prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut. (Wahab,2002:14)

Dari berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian keputusan pemerintah yang diambil untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan atau berupa program dan tindakan- tindakan pemerintah. Selain itu kebijakan juga pada dasarnya akan diimplementasikan untuk menguji tindakan sebuah kebijakan di lapangan, di samping itu untuk terhindarnya sebuah kebijakan yang akan menjadi sia-sia bila tidak dilaksanakan.

2.1.3.3. Pengertian Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Sarman dan Makarao, 2011:10) Pemerintah Daerah Kabupaten adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

Kebijakan pemerintah daerah adalah setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Contoh kebijakan pemerintah daerah seperti Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan lain-lain. Sedangkan kebijakan pemerintahan daerah adalah seperti Peraturan Daerah.

Peraturan Bupati atau Keputusan Bupati dan peraturan lainnya yang

(11)

dibuat oleh Pemerintah Daerah tidaklah perlu meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijakan Pemerintahan Daerah maka harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 bab VI)

2.1.3.4. Tujuan Pembentukan Peraturan Daerah

Tujuan pembentukan Peraturan daerah menurut (Ika Muliawati, 2013: 12) merupakan amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea ke IV yang berbunyi :

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/

perwakilan, serta dengan mewujutkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.Dan Pasal 18B ayat 2 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang”.

Sesuai dengan cita-cita bangsa ini, peraturan daerah adalah salah satu bentuk pemerintah untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan tumpah darah indonesia agar rakyat Indonesia bisa mencapai kesejahtraan dalam berkehidupan. Untuk sebuah keadilan maka peraturan daerah perlu dibuat. Peraturan daerah dibuat juga untuk menjaga adat istiadat setempat agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri. Untuk melestarikan bagaimana budaya setempat agar tetap hidup, hak hak tradisionalnya bisa dilindungi.

(12)

Prof. H. Rozali abdullah, SH dalam bukunya Pelaksanaan Otonomi Luas menyimpulkan bahwa peraturan daerah yang baik adalah memuat ketentuan antara lain :

1. Memihak kepada kepentingan rakyat banyak 2. Menjunjung tinggi hak asasi manusia

3. Berwawasan lingkungan dan budaya

Sementara itu, tujuan utama dari suatu peraturan daerah adalah untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat. (Rozali Abdullah,2011:133)

2.1.3.5. Pemberlakuan Peraturan Daerah

Salah satu kewenangan yang sangat penting dari suatu daerah yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah. Peraturan Daerah adalah peraturan yang di tetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD dan yang harus memenuhi syarat-syarat formil tertentu dapat memmpunyai kekuatan hukum dan mengikat.

(Irawan Soejito, 1989:1)

Disamping dikenal adanya istilah peraturan, dikenal juga istilah perundang-undangan, untuk itu M. Solly Lubis memberikan pengertian perundang-undangan. Pengertian perundang-undangan ialah proses pembuatan peraturan Negara. Dengan dengan kata lain tata cara mulai perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau penetapan ahirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan. (Djoko Prakoso, 2007:43)

Peraturan daerah adalah peraturan yang dibuat di suatu daerah Provinsi atau Kabupaten/ Kota untuk mengatur Provinsi atau Kabupaten/ Kota tersebut. Peraturan daerah Provinsi atau Kabupaten/ Kota di suatu tempat tidak berlaku di tempat lainnya.

Contoh, peraturan daerah Propinsi Sumatera Barat tidak berlaku di Propinsi Sumatera Utara atau Propinsi lainnya. Peraturan Daerah

(13)

Propinsi Sumatera Barat Nomor 11 Tahun 2001 tentang pencegahan dan pemberantasan maksiat. Peraturan daerah ini akan tetap berlaku sampai belum adanya pembatalan atau perubahan yang disepakati Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Untuk memberantas penyakit masyarakat yang berbau zina adalah sebuah tantangan dan tugas besar bagi pemerintah daerah terutama kepala daerah. Karena kepala daerah sangat memiliki kedudukan strategis dalam tata pemerintahan dalam upaya pembinaan ketertiban daerah, seperti yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab IV Pasal 27(1) huruf c yang berbunyi bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat dan juga untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan peraturan daerah dibentuk organisasi Satuan Polisi Pamong Praja.

Maka dari keterangan pasal-pasal yang terkandung didalam peraturan daerah tentang pelarangan dan penertiban hiburan orgen tunggal ini tidak ada lagi alasan untuk melakukan melaksanakan hiburan orgen tunggal yang melebihi waktu yang telah ditetapkan.

Aturan telah ditetapkan, maka sudah pasti mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Karena sesuai dengan asas res judicata pro veritate habetur yaitu, asas yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap tahu akan undang-undang. (Marwan, 2009:67)

2.2. Pengertian Zina dan Dasar Hukum

Secara harfiyah, zina berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat hubungan perkawinan (Ali, 2007: 37). Oleh karenanya penyaluran nafsu syahwat (tindakan zina) diluar perkawinan tidak sesuai dengan cara yang

(14)

ditentukan Islam dan oleh karena itu, perzinaan dilarang secara tegas dan keras oleh Islam (Syarifuddin, 2010: 274).

Persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina adalah persetubuhan di dalam farji, di mana zakar di dalam farji seperti batang celak di dalam botol celak atau seperti timba di dalam sumur.

Persetubuhan dianggap zina, minimal dengan terbenamnya hasyafah(pucuk zakar) pada farji, atau yang sejenis hasyafah jika zakar tidak mempunyai hasyafah, dan menurut pendapat yang kuat, zakar tidak disyaratkan ereksi (Audah, 2007: 531).

Menurut Abdul Halim Hasan, zina artinya seorang laki-laki memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan perempuan, dengan tidak ada nikah dan terjadinya tidak pula dengan subhat (Hasan, 2006:

531).Pengertian ini hampir serupa dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Djamali, yakni zina adalah perbuatan memasukkan kemaluan laki-laki sampai katuknya ke dalam kemaluan perempuan yang diinginkan (Djamili, 2002: 198).

Adapun menurut ulama fiqih pengertian zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang haram dengan tidak subhat.Dan menurut Ibnu Rusyd pengertian zina adalah persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah yang sah/semu nikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya.

Sedangkan menurut Hamka, berzina adalah segala persetubuhan di luar nikah, dan di juzu’ yang lain beliau mendefinisikan zina sebagai segala persetubuhan yang tidak disyahkan dengan nikah, atau yang tidak syah nikahnya (Hamka, 1983: 4).

Sedangkan pengertian zina dalam KUHP terdapat dalam pasal 284 KUHP tidak dengan jelas mendefinisikan tentang pengertian zina, tetapi cenderung memaparkan tentang kriteria pelaku yang dapat dijerat oleh pasal perzinaan.Penjelasan pasal 284 KUZHP zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isterinya atau

(15)

suaminya (soesilo, 1996: 209). Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. Pengertian ini relatif sama dengan istilah adultery dalam bahasa Inggeris yang diartikan sebagai“Voluntary sexual intercourse by a married person with one who is not his or her spouse”. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “Hubungan seksual sukarela oleh seseorang yang terikat perkawinan dengan orang yang bukan suami atau isterinya” (Marpaung, 2004: 42).

Dasar hukum larangan ini terlihat dalam firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 32(Depertemen Agama RI, 2008: 285):



















Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Dalam ayat lain firman Allah dalam surat Al-Mukminuun ayat 5- 7(Depertemen Agama RI, 2008: 342):

















































Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki,Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa, Barangsiapa

(16)

mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

Terdapat beberapa hadist nabi mengenai zina yaitu:

ضْ َا َ ضر ضَ َ ِا َ ض ْ َ صضِاللهض ُلْو ُسَ ضَل َ ض:

ضٍ ِلِ ْسُمض ٍئِرْماضُمَدضُّلَِيَضَلا ض:

ضٍ َ َ ض َ ْ ِ ِ ضلاَّلاِاضِاللهضُلْو ُسَ ضادً لاَّ َ ُمضلاَّنَاض َ ضُاللهضلاَّلاِاضَ ِاضَلاض ْنَاض ُ َ ْ َ ض:

ضِ ِ ْو ُسَ ض َ ضِللهِض دً ِ َحُمض َجَرَخضٌلُجَ ضَ ض،ُمَجْرُيضُهلاَّنِ َفض ٍن َصْحِاضَ ْعَبض َنَ َزضٌلُجَ

َ ِبِضُلَتْقُيَفض دًسْفَنضُلُتْقَيض ْ َاض، ِرْ َلاْاض َ ِمضىَفْنُيض ْ َاض ُبَل ْصُيض ْ َاضُلَتْقُيضُهلاَّنِ َف ض.

ضوبا

ضد اد ٤ ض:

١٢٤ قم ض،

: ض ٤٣٥٣

Artinya: Dari Aisyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal darah orang Islam yang bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, kecuali salah satu dari tiga sebab : 1. Orang yang berzina padahal ia sudah menikah, maka ia harus dirajam, 2. Orang yang murtad keluar dari agamanya dan memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka orang itu dibunuh, atau disalib, atau dibuang dari negerinya, dan 3. Atau karena dia membunuh seseorang, maka dia dibalas bunuh”. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 126, no.

4353]

ضَل َ ض ٍا لاَّ َ ض ِ ْااض ِ َ ضَمَع ْطُتض لاَّتىَحضُةَرْ لاَّثااض َ َتَ ْ ُتض ْنَاضصضِاللهضُلْو ُسَ ضىىَ َنَ ض:

ضَل َ ض ضِاللهض َااَ َ ضْمِ ِسُفْنَ ِ ضاْوُّلَ َاض ْ َقَفضٍ َيْرَ ض ِ ض َ ّرااضَ ض َ ّلااض َرَ َ ضاَ ِا ض:

ض.

ضد ن سالاضحيصحضل ضك ت سلماض ضكم لحا ٢

ض:

٤٣ قم ض،

ض:

٢٢٦١

Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW melarang menjual buah sehingga bisa dimakan, dan beliau bersabda, “Apabila zina dan riba sudah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menghalalkan jatuhnya siksa Allah pada diri mereka sendiri”.

[HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak, ia berkata shahih sanadnya juz 2, hal. 43, no 2261].

(17)

Berdasarkan larangan yang bersifat tegas di atas maka tindakan zina (penyaluran syahwat di luar ikatan pernikahan) hukumnya adalah haram.Alasan Allah melarang perbuatan zina adalah karena perbuatan tersebut yang keji, maka untuk menyikapi hal tersebut, Allah telah menyiapkan carayang jauh lebih baik yaitu perkawinan/pernikahan.

2.3. Pembuktian dan Unsur-Unsur Zina 2.3.1. Pembuktian Tindak Pidana Zina

Ancaman hukuman/sanksi terhadap perbuatan zina baru dapat dilakukan apabila memang perzinaan tersebut telah terjadi dengan adanya bukti-bukti yang meyakinkan dan diyakini pula bahwa dalam hubungan kelamin tidak terdapat unsru-unsur kesamaran yang disebut dengan syubhat(syarifuddin, 2010: 276).Maksudnya adalah, ketika hubungan kelamin terjadi secara tidak sengaja, seperti perkosaan.Dalam hal ini terdapat unsure paksaan dalam terjadinya hubungan kemalin tersebut, sehingga perbuatan ini tidak disebut dengan perzinaan.

Adapun pembuktian telah terjadinya perbuatan zina itu berlaku dengan cara-cara sebagai berikut (syarifuddin, 2010: 278) :

a. Kesaksian empat orang saksi laki-laki muslim yang adil dan dapat dipercaya, keempatnya secara meyakinkan melihat langsung hubungan kelamin itu secara bersamaan. Bila tidak terpenuhi criteria tersebut maka tidak sah kesaksian tersebut. Hal ini termaktub dalam firman Allah surah An-Nur ayat 4:









































(18)

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik- baik(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita- wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.Ketentuan hukum ini disyari’atkan Allah dengan tujuan untuk membersihkan masyarakat dari kerusakan dan kekacauan, campur baurnya nasab, dekadensi moral, serta menjaga umat dari unsure-unsur yang membawa kepada hidup serba boleh dan kerusakan yang menyebabkan hilangnya keturunan dan lenyapnya harta benda dan kehormatan (Ja’far, 2007: 19-20).

b. Pengakuan yang dilakukan oleh pasangan yang melakuan perzinaan, secara jelas dan bersungguh-sungguh dari orang-orang yang pengakuannya dapat dipercaya, seperti telah dewasa dan berakal sehat.

c. Qarinah atau tanda dan isyarat yang meyakinkan seperti kehamilan janin seseorang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan.

d. Li’an; yaitu sumpah suami yang menuduh istrinya berzina dan tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, sebanyak empat kali dan kelima ucapannya bahwa laknat Allah akan menimpanya bila ia tidak benar dalam tuduhannya; kemudian sumpah li’an si suami itu tidak ditolak oleh istri dengan li’an dalik. Hal ini menjadi bukti bahwa perzinaan itu emang telah terjadi.

Pembuktian terjadinya zina dilakukan di depan hakim yang diajukan oleh penuntut umumyang mewakili masyarakat yang tercemar.

(19)

2.3.2. Unsur-unsur zina

Sebelum pengkajian lebih mendalam mengenai beberapa ihwal perbuatan zina terlebih dahulu perlu diketahui mengenai unsur-unsur delik (jarimah) secara umum.Jika unsur-unsur tersebut ada pada suatu perbuatan, maka dapat diklasifikasikan sebagai delik (jarimah) dengan akibat hukum berupa ancaman sanksi yang telah dilegitimasi oleh syara’

(Hukum Islam).Dan sebelum mengkaji unsur-unsur jarimah, ada baiknya diketahui tentang pengertian dari jarimahitu sendiri.Jarimah yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut ada kalanya berupa perbuatan yang dicegah atau meninggalkan yang disuruh.Penyebutan kata-kata syara`

dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan- ketentuan (nash-nash) syara’ dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagaijarimah apabila diancam hukuman terhadapnya(Hanafi, 1993: 5). Dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi yaitu:

a. Nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya. Unsur ini biasa disebut unsur formil (rukun syar’i).

b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatanperbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur ini biasa disebut unsur materiil (rukun maddi).

c. Pelaku adalah orang mukallaf yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuat. Unsur ini disebut unsur moril (rukun adabi) (hanafi, 1993: 6).

Di samping unsur-unsur umum, ada unsur-unsur yang bersifat khusus.Misalnya dalam peristiwa pencurian, selain telah memenuhi unsur-unsur umum, juga harus memenuhi unsur secara khusus yaitu barang yang dicuri bernilai seperempat dinar ke atas, dilakukan dengan

(20)

diam-diam dan benda yang dicuri tersebut disimpan ditempat yang pantas.

Demikian juga dengan perbuatan zina, bahwa suatu perbuatan baru bisa dianggap zina apabila telah memenuhi kedua unsur tersebut, yakni:

a. Unsur-unsur yang bersifat umum 1) Adanya nash yang melarang

2) Adanya perbuatan zina atau persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita diluar ikatan perkawinan.Maka ketika ada dua orang berlainan jenis sedang bermesraan seperti berciuman atau bercumbu belum bisa dikatakan zina dan tidak dihukum dengan hukuman had,karena perbuatan tersebut belum bisa didefinisikan sebagai perzinaan.

3) Pelaku zina adalah mukallaf. Dalam arti pelaku adalah orang yang telah cakap bertindak hukum, yang ditandai dengan telah baliq dan berakal.

b. Unsur-unsur yang bersifat khusus

1) Perbuatan zina dilakukan secara sadar dan sengaja. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dikenai hukuman perzinaan. Menurut ulama madzhab Hanbali, apabila yang dipaksa itu laki-laki, maka ia dikenai hukuman perzinaan, tetapi apabila yang dipaksa itu wanita, maka ia tidak dikenai hukuman perzinaan.

2) Yang dizinai adalah manusia, menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki serta pendapat terkuat di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, seseorang tidak dikenai hukuman perrzinaan apabila yang dizinainya itu adalah hewan.

3) Perbuatan itu terhindar dari segala bentuk keraguan syubhat.

Ulama fiqh membagi hubungan seksual yang berbentuk syubhat itu menjadi tiga bentuk;

(21)

a) Syubhat fi al-fi’l (keraguan dalam perbuatan), sepertiseorang laki-laki menyenggamai istrinya yang diceraikan melalui khuluk.

b) Syubhat fi al-mahal (keraguan pada tempat) yang disebut juga dengan syubhat al-milk, seperti menyenggamai istri yang telah ditalak tiga kali dengan lafal kinayah (katakiasantalak).

c) Syubhatfial-fa’il (keraguan pada pihak pelaku), seperti laki- laki yang menyenggamai seorang wanita yang bukan istrinya dan berada di kamar tidurnya. Pada saat itu tidak ada alat penerang, sehingga lakilaki itu tidak mengetahui bahwa wanita tersebut bukan istrinya. Dalam ketiga bentuk syubhat ini, hubungan seksual tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan zina yang dikenai hukuman perzinaan.

4) Pelaku mengetahui bahwa perbuatan zina itu diharamkan.

5) Ulama madzhab Hanafi dan az-Zahiri mensyaratkan bahwa wanita yang dizinai itu masih hidup. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, apabila mayat wanita itu bukan mayat istrinya, maka perbuatan itu termasuk zina.9 Oleh karena itu apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi maka perbuatan tersebut bisa dikategorikan sebagai perbuatan zina dengan implementasi sanksi berupa had dapat diterapkan (Dahlan, 1996: 27-28).

Dalam produk hukum nasional, konsep perzinahan diatur dalam Pasal 284 KHUP, yang dengan jelas merumuskan bahwa hubungan seksual di luar pernikahan hanya merupakan suatu kejahatan apabila pelaku atau salah satu pelakunya adalah orang yang telah terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Hubungan seksual di luar perkawinan, antara 2 orang yang sama-sama lajang, sama sekali bukan merupakan tindak pidana perzinaan (Suma Dkk,2001: 183).Hal ini tentu cukup bertentang dengan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah.

(22)

Kriteria zina menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah: pertama, persetubuhan yang dilakukan dengan perempuan bukan isteri atau laki-laki bukan suami. Zina dilakukan secara bersama- sama, tidak dapat dilakukan oleh satu orang atau dua orang yang sejenis artinya tidak dapat dilakukan antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita (Marpaung, 2004: 45).

Dengan demikian, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawinan yang sah dengan seorang perempun atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.Sehingga hanya pelaku yang sedang terikat perkawinan yang sah saja yang dapat dijerat pasal 284 KUHP. Jika salah satu dari pelaku zina tidak sedang terikat perkawinan yang sah maka dia tidak bisa divonis melakukan perbuatan zina, tetapi divonis telah turut serta melakukan zina dan dibebani tanggung jawab yang sama dengan pembuat zina itu sendiri. jika salah satu dari pelaku perzinaan tersebut sedang terikat perkawinan, maka meskipun kawan berzinanya tidak sedang terikat perkawinan maka dia juga dapat dijerat pasal perzinaan, meskipun bukan sebagai pelaku tindak pidana zina, tetapi sebagai pelaku turut serta melakukan zina, namun dibebani hukuman yang seperti pelaku tindak pidana zina (Chazawi, 2005: 57).

Apabila kedua pelaku zina tidak sedang terikat perkawinan yang sah, maka KUHP tidak dapat menjeratnya karena dalam pasal 284 ayat (1) disebutkan bahwa yang dapat dijerat pasal perzinaan adalah yang dilakukan oleh laki-laki yang beristri atau perempun yang bersuami.

Dalam konteks ini yang berlaku adalah pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.Dalam hal ini tampak jelas bahwa KUHP sangat dipengaruhi oleh tradisi Eropa, khususnya Belanda. Di sana baik seorang laki-laki maupun perempuan yang sudah

(23)

kawin, melakukan tindak pidana berzina apabila bersetubuh dengan orang ketiga (Bassar, 1986: 166).

2.4. sanksi zina

Islam menetapkan bentuk-bentuk hukuman untuk suatu tindak kejahatan atau jinayah beradasarkan apa yang ditetapkan sendiri oleh Allah dalam wahyu-Nya dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam haditsnya. Allah mengetahui dan Maha adil.Oleh karena itu, apapun bentuk sanksi hukuman yang ditetapkan Allah atas suatu kejahatan berdasarkan keadilan illahi yang bersifat universal.Adalah kewajiban umat Islam untuk memahami, mematuhi dan menjalankannya (Syarifuddin, 2010: 256).

Hukuman/sanksi bagi pelaku zina dapat diuraikan sebagai berikut (Ali, 2007: 50) :

a. Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus pemudi dan/atau pemuda adalah hukuman cambuk 100 kali. Sebagaimana yang termaktub dalam surah An-Nur ayat 2 (Depertemen Agmaa RI, 2008: 350):























































Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

(24)

b. Dalam pelaksanaa cambuk tidak ada belas kasihan kepada pelaku zina serta eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.

c. Pelaksanaan hukuman cambuk bagi pezina pada poin 1 di atas, tidak boleh ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk menjalankan hukum Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.

d. Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus janda dan/atau duda adalah hukuman rajam (ditanam sampai leher kemudian dilempari batu sampai meninggal). Dalam pelaksanaan hukuman rajam tidak ada belaskasihan kepada pelaku zina serta eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.

Berdasarkan sanksi hukum di atas dapat disimpukan bahwa syari’at Islam tidak membedakan setiap orang, apakah ia seorang raja atau putra raja dan/atau hamba sahaya, kaya atau miskin, hitam atau putih (Ali, 2007: 50). Oleh karena itu, apabila seseorang telah terbukti melakukan perbuatan zina, maka akan dijatuhkan hukuman/sanksi seperti yang telah disebutkan di atas.

Mengeni sanksi tindak pidana zina yang terdapat dalam KUHP hanya mengancam hukuman maksimal sembilan bulan pidana penjara.Dalam rancangan undang-undang (RUU) KUHP telah dirumuskan sanksi tindak pidana zina yang baru. Yaitu pada pasal 484 disebutkan tentang ancaman hukuman untuk perbuatan zina adalah lima tahun penjaradan diancam pidana maksimal dua tahun penjara bagi pelaku kumpul kebo, yaitu perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan. Meskipun belum sah diundangkan, tapi setidaknya ada perencanaan perubahan sanksi zina.Dan sepertinya terjadi perluasan kriteria zina.Buktinya dalam RUU KUHP tersebut telah

(25)

disebutkan definisi kumpul kebo, yaitu perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan.Namun demikian, yang terjerat hukuman hanya yang melakukan perbuatan tinggal serumah, sedangkan persetubuhan yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah dan tidak tinggal serumah tetap tidak bisa dijerat hukum.

Dalam KUHP lama, perzinaan diatur dalam Pasal 284 KUHP, yang diancam dengan pidana adalah hanya pelaku yang sudah kawin, sedangkan untuk pelaku yang belum kawin tidak diancam pidana. Pasal 284

Pasal 284

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak;

c. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

d. Seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena

(26)

perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Akan tetapi dalam konsep KUHP Tahun 2012, laki-laki dan perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan, dan yang tidak dalam ikatan perkawinan dapat diancam pidana.Hanya saja sifat deliknya masih delik aduan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 483 KUHP (Rancangan konsep KUHP Tahun 2012)

Larangan melakukan perzinaan terdapat pada KUHP pasal 483 (Djubaedah, 2010: 85).

Pasal 483

(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

a. Laki laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;

b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki laki yang bukan suaminya;

c. Laki laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki laki, padahal diketahui bahwa laki laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau

e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28.

(27)

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Referensi

Dokumen terkait

dimaksud pada butir 4.2.4. kepada Pengirim setelah menerima.. dokumen Asli Surat Pernyataan Penerimaan Barang beserta. lampirannya seperti dimaksud pada

Luas tanah 10.441 M2 dan luas bangunan 4075 M2 yang terdiri ruang pameran tetap, ruang pameran temporer, ruang perpustakaan ruang laboratorium, ruang

Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan kepada beberapa pihak untuk menindaklanjuti sebagai berikut: 1) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model layanan

Penelitian ini mengulas mengenai fenomena korban perilaku bullying yang terjadi di dalam dunia pendidikan sekarang ini. Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah

Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti bermaksud mengkaji penerapan nilai-nilai kearifan lokal pengolahan bahan pangan dari singkong yang dilakukan masyarakat Desa

Sangatlah penting untuk menghargai sifat alamiah dari ‘latihan’ saat diterapkan pada meditasi karena bisa disalahartikan hanya sebagai gagasan pengendalian. Hal ini tidaklah

Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja daerah yang dilakukan secara empiris Pemerintah Kota Semarang, serta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penerapan pembelajaran metode bermain peran dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran; (2)