• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Karya yang Dipamerkan di Perpustakaan) KORUPSI YANG MEMBUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL UNTUK MEMBERANTASNYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "(Karya yang Dipamerkan di Perpustakaan) KORUPSI YANG MEMBUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL UNTUK MEMBERANTASNYA."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

KORUPSI YANG MEMBUDAYA

DAN KEARIFAN LOKAL UNTUK MEMBERANTASNYA

Oleh: GPB Suka Arjawa

(Staf Pengajar Prodi Sosiologi, FISIP, Universitas Udayana)

Pendahuluan

Pembicaraan mengenai korupsi sudah sering diutarakan, baik di media massa, media

sosial, individu maupun kelompok. Korupsi adalah tindakan yang tidak normatif. Ia dikatakan

melanggar norma-norma yang ada karena tindakan itu merugikan banyak pihak, bertentangan

dengan asas kejujuran dan tidak memberikan sumbangan pemikiran positif bari kemanusiaan.

Mendapatkan uang dengan cara-cara tidak lazim, seperti memperbanyak jumlah uang yang

diterima dengan menggelapkan uang institusi, adalah sebuah tindakan korupsi. Menggelapkan

uang gaji institusi dengan tujuana memperkaya diri sendiri, juga merupakan tindakan korupsi.

Membeli barang-barang keperluan kantor di bawah standar yang telah ditetapkan, juga

merupakan tindakan korupsi. Pendeka kata, semua tindakan yanag merugikan orang lain dengan

tujuan memperkaya diri sendiri, yang melanggar ketentuan yang ada, adalah tindakan korupsi.

Tindakan inipun bersesuaian dengan kolusi dan nepotisme. Kolusi adalah

persekongkolan antar individu atau antar kelompok untuk tindakan-tindakan tertentu, dengan

tujuanmemperkaya diri sendiri dan kelompoknya sendiri. Sedangkan sedangkan nepotisme

adalah tindakan yang hanya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berada di

sekitarnya. Kedekatan itu bisa dilakukan dengan cara-cara penyuapan, keluarga dekat, kerabat

maupun rekan kenalan. Seluruh tindakan ini merupakan tindakan yang tidak normatif, dan

karena itu pasti melanggar hukum.

Pembicaraan mengenai korupsi sesungguhnya bersifat universal, terjadi di berbagai

negara dengan kadar yang bermacam-macam juga. Di Cina misalnya, pemerintah negar aitu

sangat ketat dalam menerapkan aturan untuk mencegah korupsi. Pemerintah negara ini

menetapkan hukuman mati kepada siapapun yang telah terbuki melakukan tindakan korupsi.

Fenomena demikian berbeda dengan Indonesia. Pembicaraan mengenai korupsi sangat sering

(7)

mereka-mereka yang dekat dengan Presiden Soeharto. Pejabat yang dekat dan mendukung

anggota keluarga presiden, pasti mendapatkan posisi yang penting ddi pemerintahan. Termasuk

diantaranya adalah posisi menteri. Reformasi yang terjadi tahun 1998, boleh dikatakan

mempunyai tujuan tidak sekedar menjatuhkan rejim yang sudah lama berkuasa, tetapi juga

menghapuskan dana membersihkan tindakan-tindakan korupsi ini. Tetapi setelah reformasi pun

tindakan ini belum bisa diatasi secara penuh. Tahun 2006, ada dugaan bahwa angka korupsi di

Bali mencapai 338 milyar (Widminarko, 2012:157)

Dalam konteks demikian, untuk melakukan pencegahan terhadap praktik korupsi

tersebut, ada banayak langkah yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun negara. Seperti

yang telah diungkapkan tadi, yang dilakukan oleh pemrintahan Cina adalah tindakan tegas

dengan menghukum mati para koruptor itu. Negara Indonesia setelah reformasi juga melakukan

hal demikian. Tindakan ini tidak saja dengan cara menghukum koruptor yang telah terbukti

melakukan tindakana tersebut, tetapi juga membuat lembaga khusus untuk melakukan

pemberantasan korupsi. Pembentukan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan

sikap serius pemerintah Indonesia untuk melakukan pemberantsan tindakan jahat tersebut.

Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dan sampai sekarang

masih tetap ada. Berbagai langkah telah dilakukan lembaga ini untuk memberantas korupsi,

meski banyak pihak yang memandangnya kontroversial.

Disamping pemberantasan korupsi yang dilakukan dengan membentuk lembaga sebagai

basis legitimasi dan lembaga yang bertugas untuk melakukan pemberantasan, beberapa pihak

percaya dengan cara yang lain untuk melakukan pemberantasan. Salah satunya adalah melalui

kearifan lokal. Dalam konteks adat, masyarakat tradisionil lebih suka menyelesaikan perselisihan

dan kasus dengan cara dan berdasarkan adat mereka (Atmasasmita, 2012:34). Tetapi pencegahan

terhadapp kejahatan bisa dilakukan dengan konsep dan praktik kearifan lokal yang ada.

Budaya Korupsi dan Efek yang Ditimbulkannya

Kearifan lokal itu berguna untuk memberantas korupsi yang disebabkan oleh tindakan

yang telah dipandang membudaya. Korupsi itu mempunyai kecenderungan dicontoh oleg

(8)

lingkungan ada tokoh yang melakukan korupsi dan akibat dari tingkah laku tersebut, ia mampu

meningkatkan kepemilikan ekonominya, hal ini akan berpotensi dicontoh oleh anggota

lingkungan yang lain. Percontohan itu akan semakin banyak apabila kemudian tindakan yang

tidak normatif tersebut tidak mendapatkan tindakan apapaun secara hukum. Inilah yang

kemudian membuat korupsi itu menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi budaya sosial.

Banyak efek negatif yang terjadi apabila korupsi ini telah membudaya.

Yang pertama, kesulitan untuk melakukan pencegahan. Kebudayaan adalah sebuah

tindakan yang telah mempunyai nilai pembenarnya sendiri. Paling tidak nilai pembenar itu

terjadi karena banyak orang telah melakukan tindakan itu, dan tidak mendapatkan hukuman

apa-apa. Kebudayaan juga menyangkut kebiasaan, dalam arti kebiasaan itu terpelihara dan kemudian

dicontoh secara berkelanjutan. Disinilah kebudayan bisa dimengerti sebagai sebuah pedoman

bagi kehidupan masyarakat (Suparlan, 1995: 17). Kesalahannya disini adalah tidak adanya

perangkat atau orang atau kelompok yang mengingatkannya manakala pelanggaran itu terjadi.

Ketika kita membicarakan persoalan budaya, mau tidak mau harus mengaitkan patron. Dalam

budaya paternalistik, orang tua atau yang dituakan akan menjadi contoh bagi perbuatan mereka

yang lebih muda. Indonesia adalah negara yang sistem sosialnya menganut paham paternalistik.

Akan tetapi yang perlu kita perhatikan, konteks ”ketuaan” di Indonesia, juga di Bali, tidak hanya diartikan dalam batasan umur belaka. ”Ketuaan” itu juga diartikan sebagai sesesorang atau pihak yang mempunyai kelebihan dibanding dengan dirinya sendiri. Jadi, orang yang lebih kaya, lebih

pintar, lebih ganteng, lebih berpengalaman, pergaulan lebih luas, anaknya lebih banyak, fisiknya

lebih kuat dan sebagainya bisa dipakai sebagai patron. Dengan demikian anak yang usianya

muda pun akan bisa dipandang sebagai patron. Dalam praktik-praktik korupsi, tidak jarang

orang-orang seperti inilah yang menjadi pelopornya.

Pencegahan korupsi harus mempunyai cara untuk memberitahu orang-orang yang dipandang ”lebih” itu dibanding yang lainnya. Akan tetapi, cara seperti inilah yang masih belum dimiliki orang Indonesia sehingga pencegahan korupsi yang membudaya ini menjadi sulit.

Kedua, korupsi budaya itu amat berpotensi mempunyai jangka waktu yang panjang.

Akibatnya, selama kita mengukur dengan jangkauan budaya, maka korupsi itu telah pasti

berlangsung lama. Kerugian yang muncul tidak saja berupa telah tercemarnya anak-anak muda

(9)

atau menyimpang akibat korupsi ini telah banyak. Paling tidak setengah generasi telah menjadi

jangka waktu dari korupsi tersebut. Apabila jangka waktu tersebut telah berlangsung demikian

lama, sudah bisa dipastikan kerugian material dan non-material tersebut sudah terakumulasi.

Nilai kerugian ada pada akumulasi tersebut.

Ketiga, korupsi yang telah membudaya itu mempunyai efek yang mengejutkan di masa

mendatang. Mengejutkan dalam hal ini diartikan sebagai perubahan pikiran dari generasi baru

setelah menyadari bahwa praktik yang sebelumnya biasa mereka lihat, ternyata menyalahi

norma-norma hukum. Contoh yang paling sederhana mengambil kembalian uang sisa atau

mengubah nilai harga dari barang di sebuah nota, adalah tindakan korupsi yang menyalahi

aturan. Fenomena seperti ini akan memberikan dampak buruk terhadap cara pandang generasii

muda terhadap generasi terdahulunya. Bukan tidak mungkin akan muncul kecaman bahkan

kejengkelan kepada generasi terdahulu. Ini akan menimbulkan gap antara generasi baru dengan

terdahulu. Dalam dalam konteks kultur lokal, ini bisa menjadi kontroversial. Di Bali misalnya,

konsep leluhur adalah generasi terdahulu yang sangat dihormati. Manaka kemudian diketahui

leluhur yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma hukum, akan

ada cacian kepada mereka.

Peranan Kelokalan dalam Pemberantasan Korupsi

Kelokalan yang dimaksudkan disini tidak lain merupakan wilayah atau areal yang

maknanya bukan nasional dalam suatu negara. Dengan demikian, kelokalan dalam hal ini bisa

mengacu kepada provinsi, kabupaten, desa atau banjar (di Bali) dan bahkan keluarga. Upaya

menekan sifat-sifat yang berkaitan dengan pelanggaran norma secara metodologik bisa dilakukan

dari konteks ini.

Ada dua pendapat tentang pemberantasan korupsi di satu negara. Pendapat pertama,

adalah bahwa korupsi itu bisa dilakukan dari sisi atas, yang sering diistilahkan dengan top-

down. Ini misalnya dilakukan dengan menangkap, memproses peradilan sampai dengan

menghukum para koruptor yang merugikan negara, dalam kapasitas nasional. Barang-barang

yang diselundupkan atau dirugikan mempunyai kaitan dengan kepemilikan negara. Misalnya

(10)

untuk membuat efek jera kepada para koruptor kelas kakap tersebut, penghukuman kepada

koruptor seperti ini diharapkan mempunyai efek jera juga kepada masyarakat. Pusat perhatian

dan ruang lingkip yang menasional dari korupsi tersebut, akan diliput oleh media massa sehingga

menjadi perhatian dari masyarakat. Karena itu penghukumannya juga akan memberi efek jera

kepada masyarakat.

Disamping kelebihan-kelebihannya, cara memberantas korupsi seperti ini mempuntai

tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Dalam kasus Indonesia misalnya, pemberantasn korupsi

pada skala nasional ini sangat lambat prosesnya. Beberapa kasus pemberantasan korupsi pada

tingkat nasional tersebut mempunyai proses yang cukup panjang, sampai bertahun-tahun. Upaya

menuntaskan kasus korupsi Bank Century atau yang melibatkan Miranda Gultom, bekas deputi

Gubernur Bank Indonesia misalnya, sampai sekarang belum tuntas. Ini disebabakan karena

banyak pihak yang merupakan tokoh-tokoh nasional kemungkinan terlibat di dalamnya. Akibat

dari hal itu, selalu ada proses yang rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama. Secara

sosiologis, hal ini tidak memberikan efek positif kepada masyarakat. terlalu lamanya proses

yang berlangsung itu membuat masyarakat apatis dan curiga dengan berbagai permainan yang

ada di kalangan atas sehinga memunculkan rasa tidak puas. Diisinilah faktor yang sangat

membahayakan. Masyarakat kalangan lapis bawah akan semakin berani melakukan

tindakan-tindakan yang menyimpang (melanggar norma), sehingga merekapun tidak takut melakukan

krorupsi, meski kecil-kecilan. Pada akhirnya, korupsi akan tumbuh lagi pada saat pemberantasan

di kalangan atas berlum tuntas. Korupsi yang dimulai dari lapisan bawah justru amat berpotensi

membesar dalam skala perjalanan waktu. Artinya, ketika korupsii itu dikenal oleh masyarakat

golongan lapis bawah, dan kemudian mempraktikkannya tanpa ada pihak yang menyadarkan

dan memperingatkan, maka mereka akan sempat mempelajari, menikmati sampai kemudian

memahami bagaimana cara-cara menghindar terhadap jeratan hukum. Dari sini secara

perlahan-lahan dan sistematis akan mampu membuat tingkat intensitas tindakannya membesar. Mulai

dari korupsi buah kelapa, sampai minyak kelapa sampai kemudian bisa membesar mengkorpsi

industri kelapa sawit.

Karena itu, untuk menghindari perilaku demikian maka pemberantasan korupsi haruslah

serempak, tidak hanya dari golongan atas tetapijuga harus dilakukan dari pihak golongan bawah.

(11)

segala lapisan masyarakat, dari berbagai tingkat struktural yang ada. Semua korupsi pada

berbagai tingkat tersebut harus mendapatkan tindakan pada praktik hukum. Agar

pemberantasannya mempunyai efek jera yang meluas kepada masyarakat, maka penyebaran

pemberantasannya haruslaah meluas dan diketahui oleh masyarakat. Di tingkat atas, karena

aktornya merupakan tokoh-tokoh nasional dan terpandang, maka penyebaran penanganannya

kepada masyarakat sudah dilakukan oleh media massa. Hal seperti ini secara tidak langsung

telah memberikan pengetahuan dan efek jera kepada masyarakat. Kasus Angelina Sondakh

misalnya, mampu memberikan efek tersebut kepada masyarakat.

Bagaimana dengan pemberantasan korupsi yang ada pada tingkat di luar level nasional.

Untuk pemberantasan korupsi yang ada pada tingkat provinsi dan kabupaten, metode

penyebaran cara penanganannya agar diketahu masyarakat, masih bisa dipakai dengan

memanfaatkan media massa. Media massa, baik cetak maupun elektronik, telah menyebar

menuju wilayah-wilayah lokal, seperti provinsi dan kabupaten. Pada tingkat provinsi, kekuataan

media massa masih mampu diandalkan untuk menyebarkan pengaruh ini. Pada tingkat kabupaten

pun sesungguhnya masih mampu menggunakan media massa provinsi untuk menyebarkan cara

penangannya ini karena media massa, masih mempunyai kolom khusus tentang berbagai

peristiwa yang ada pada tingkat kabupaten. Di kabupaten, kini media massa sudah mulai berada

dan mampu menyebarkan berbagai berita menarik di wilayah kabupaten tersebut.

Yang cukup sulit dilakukan adalah menyebarkan cara penanganan dari korupsi yang

dilakukan di wilayah kecamatan atau desa. Penyebaran penanganan korupsi di tingkat pedesaan

sebenarnya mempunyai manfaat penting karena mempunyai efek jera secara langsung kepada

masyarakat. Pelaku korupsi yang bertempat tinggal di wilayah desa atau kecamatan tersebut,

relatif lebih dikenal oleh masyarakat. Akibatnya, pelaku korupsi akan mempunyai rasa malu

yang lebih tinggi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa para pelaku korupsi ini akan malu

berjalan di kampungnya sendiri karena telah di cap korupsi. Juga akan malu melakukan kegiatan

sosial karena telah mendapatkan cap sebagai koruptor.

Salah satu cara yang bisa dipakai untuk menyebarkan cara penanganan ini adalah dengan

menyebarkan brosur kepada pejabat yang ada di bawahnya, misalnya kepala desa. Dari kepala

desa kemudian memberikan kepada bawahannya yaitu kepala dinas. Sampai disini sudah cukup

(12)

pemerintahan di Indonesia. Adanya data penanganan korupsi sampai di tingkat paling bawah

dalam sistem keadministrasian di Indonesia, sudah cukup memenuhi kriteria sosialisasi itu.

Paling tidak, kepada dinas atau RT telah mengetahui oraang seperti itu sehingga akan mampu

menginformasikan kepada kepada masyarakat yang menjadi tanggungjawabnya. Ada satu hal

yang bisa dipakai untuk menjaga keseimbangan di Bali, yakni konsepsi Tri Hita Karana. Dalam

pandangan Widminarko, konsepsi tersebut mampu dipakai untuk berbagai bidang. Karena itu

pemba Bali harus mengembangkan dan merumuskan secara cerdas konsepsi Tri Hita Karana

(Widminarko, 2012: 108)

Mencegah Korupsi pada Lapisan Paling Bawah

Yang dimaksud dengan pencegahan korupsi, adalah upaya-upaya yang harus dipakai

untuk menghindarkan masyarakat melakukan tindakan tersebut. Berupaya menghilangkan

perilaku ini terjadi. Jadi, harus ada tindakan agar masyarakat tidak melakukan tindakan negatif

tersebut. Masyarakat lapisan paling bawah yang dimaksudkan adalah masyarakat pada

umumnya, masyarakat yang menempati perkampungan, perumahan atau berada di pegunungan.

Mungkin pada lingkungan seperti ini ada anggota masyarakat yang kaya raya, misalnya dengan

penghasilan 1 juta rupiah per hari. Juga ada anggota masyarakat yang berpenghasilan kurang dari

20.000 rupiah per hari. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah lokasi interaksi sosial yang paling

umum.

Pada tataran keluarga, pencegahan korupsi merupakan tahap paling awal, dan

sesungguhnya paling efektif. Di lapisan keluarga, interkasi sosial adalah tempat yang paling

intim, paling dekat dan paling akrab. Disini juga terjadi tingkat sosialisasi paling efektif. Baik

sosialisasi primer dan sekunder ada di lapisan ini. Karena mempunyai karakter-karakter

tersebut, maka cara mencegah korupsi bisa dilakukan melalui metode perilaku dan dengan cara

keterbukaan. Pihak yang menjadi figur di dalam keluarga ini, entah ayah, ibu, atau anak yang

paling berprestasi menonjol harus memberikancontoh perilaku yang patut kepada keluarganya.

Mereka juga harus terbuka, terutama dalam hal yang berhubungan dengan keuangan. Misalnya

dengan cara memberikan keterangan uang yang dibelanjakan, yang dipakai sebagai sangu dan

(13)

anggota keluarga. Para figur inilah yang menjadi patron, yang dalam tataran sistem sosial di

Indonesia disebut dengan model paternalistik. Mereka itu yang akan menjadi panutan. Sekaligus

juga pola-pola keterbukaan demikian akan menjadi ajang sosialisasi primer bagi generasi baru

yang ada di keluarga tersebut. Dengan demikian, pola perilaku dan keterbukaan menjadi satu

upaya untuk memberantas korupsi di tingkat keluarga. Cara seperti ini tentu saja memenuhi

kriteria kejujuran, penerimaan segala sesuatu sesuai dengan kemampuan yang ada, termasuk

juga misalnya dalam penerimaan jabatan.

Pada tingkat hubungan antar keluarga (masyarakat), pola-pola dalam keluarga itu juga

bisa dipraktikkan. Dalam lingkup masyarakat, seperti banjar di Bali, sering kali ada

pertemuan-pertemuan yang dilakukan untuk membahas berbagai hal. Misalnya rapat banjar atau rapat adat.

Ajang ini merupakan tempat untuk mempraktikkan keterus-terangan, keterbukaan, kejujuran dan

juga demokratis. Mengungkapkan hasil pungutan bulanan secara terbuka dii dalam rapat,

membeberkan alasan pengeluaran dan sejenisnya itu, akan sangat membantu untuk memupuk

jiwa kejujuran yang akahirnya berpengaruh pada upaya untuk memberantas korupsi. Di Bali,

telah menjadi umum bahwa berbagai pungutan dan sumbangan dalam pembangunan sarana

sosial, telah diumumkan secara tertulis dan ditempel berhari-hari di tempat strategis di banajar

tersebut. Cara seperti ini merupakan metode yang bagus untuk memupuk keterus-terangan,

keterbukaan dan kejujuran. Demokratisasi di banjar, seperti misalnya melakukan perdebatan dan

diskusi saat melakukan paruman desa pakraman, menjadi ajang yang bagus untuk memberikan

contoh bahwa perbedaan pendapat itu akan menghasilakan sintesa-sintesa yang berguna bagi

masyarakat. Mujani dan kawan-kawan menyebutkan bahwa demokrasi seperti ini muncul karena

adanya kontak dengan orang lain yang mampu menambah wawasan (Mujani, 2011: 388).

Sosialisasi secara tertulis, amat bermanfaat dalam pencegahan korupsi pada tingkat

masyarakat. Gedung-gedung pertemuan dan ruang publik yang ada di tingkat masyarakat harus

dimanfaatkan secara maksimal dalam upaya pencegahan ini. Pamflet-pamfet yang bersisi tentang

upaya pencegahan korupsi, ditempel pada gedung-gedung pertemuan dan tempat-tempat yang

ramai dikunjungi publik. Misalnya balai RT, RW, lapangan olahraga, terminal dan sejenisnya.

Pamflet itu berisi seruang dan pembelajaran tentang kejujuran dan upaya pemberantasan korupsi.

Tidak salah juga apabila di ruang umum seperi terminal itu dipasang baliho yang memuat

(14)

antar kemunitas wilayah menjadi sangat strategis karena tidak saja mampu sebagai tempat

pertemuan, tempat memasang berbagai pamflet, tetapi juga mampu dipakai sebagai tempat untuk

mementaskan huburaan yang bertajuk pada pemberantasan korupsi. Entahitu berupa sandiwara,

drama, tari-tarian atau bahkan standing komedi.

Perlu juga dicatat, meskipun tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan bertentangan

dengan berbagai konvensi internasional terutama yang menyangkut hak asasi manusia, cara

penghukuman masyarakat terhadap para pencuri di beberapa tempat di Indonesia (tidak hanya di

Bali) dengan cara mengarak keliling desa, merupakan cara yang memberi sumbangan signifikan

terhadap pemeliharaan norma yang positif, termasuk juga pemberantasan korupsi. Akan tetapi,

tulisan ini tidak memberikan rekomendasi terhadap cara seperti ini. Jauh lebih terhormat

menggunakan cara-cara pendekatan manusiawi karena akan lebih menyentuh masyarakat dan

cara demikian akan mampu bertahan lebih lama.

Kearifan Lokal untuk Menekan Korupsi

Kearifan lokal yang dimaksudkan disini adalah cara-cara, praktik sosial yang dilakukan

masyarakat dii daerah, atau suku yang merupakan bagian dari warisan tradisionalnya dan telah

diberlakukan secara turun-temurun. Karena dimaknai sebagai sebuah kearifan, yaitu sifat yang

mengandung hal-hal positif, maka perilaku-perilaku ini memberikan sumbangan yang berguna,

positif dan bermanfaat. Paling tidak manfaat itu bisa terasakan oleh penganut kearifan (daerah,

wilayah atau suku) tersebut. Indonesia yang terbagi menjadi 33 provinsi dan mempunyai ratusan

suku bangsa, sangat kaya dengan kearifan-kearifan lokal tersebut dan tentunya bisa diangkat

secara nasional dan dipakai sebagai persontohan dalam membentuk norma-norma yang positif

bagi seluruh masyatakat negara.

Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas tentang beberapa kearifan lokal yang

ada pada masyarakat Bali, yang berkaitan dengan upaya-upaya membentuk sikap taat hukum

dan berpengaruh pada pencegahan tindak korupsi.

Sebagai sebuah suku bangsa, masyarakat Bali mempunyai cara-cara dan perilaku

(15)

sebagai sebuah suku bangsa yang mencirikannya itu adalah agama Hindu, tulisan Bali,

kebudayaan, bahasa, termasuk pula ritual-ritual yang ada. Seluruh identitas ini memberikan

sumbangan yang penting dalam konsep kesukuan Bali.

Yang paling awal adalah konsep phalakarma. Konsep inii boleh dikatakan sebagai

sebuah konsep yang bersumber pada fenomana sosial, tetapi juga berkait dengan ajaran agama.

Phalakarma mempunyai arti hasil dari perbuatan dari manusia yang akan bernilai sama dengan

apa yang diperbuatnya. Jika mereka berbuat baik dan positif, maka hasilnya pasti akan positif.

Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku buruk, maka buruk pula yang akan didapatkannya.

Secara sosial, konsep ini telah sangat populer dan telah disosialisasikan baik secara primer

maupun sekender. Paling tidak sejak sekolah dasar, anak-anak telah disosialisasi dengan makna

dari konsepsi ini, melalui berbagai cerita atau ilustrasi yang cukup membuat penyadaran kepada

anak-anak. Penjelasan kepada phalakarma ini tidak saja menyangkut pada hasil perbuatan itu

pada kehidupan setelah reinkarnasi tetapi juga pada prinsip sorga dan neraka. Phalakarma atau

Karmaphala menjadi pengendali pikiran, perkataan dan perbuatan dalam menempuh kehidupan

yang mampu menciptakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat (Purwita, 1993: 35). Cerita

tentang anak yang suka menipu atau berbohong misalnya, akan ditaruh di sebuah tempat yang

mengerikan dii neraka. Atau jika lahir kembali, mereka-mereka seperti itu tidak akan mampu

mewujud sebagai manusia tetapi sebagai binatang. Cara-cara sosialisasi seperti ini cukup ampuh

untuk memberi pelajaran dan pemahaman kepada anak peserta didik yang terekam pada

memorinya, sehingga dalam perkembangan sosialnya berupaya menghindari perilaku-perilaku

tercela. Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan itu adalah untuk

membentuk manusia yang berbudi luhur dan berahlak mulia, disamping membentuk manusia

yang mandiri dan kreatif (Anom Kumbara, 2011: 13).

Seharusnya, kontek cerita seperti ini bisa dikembangkan menuju praksis yang ada pada

kenyataan hidup di dunia, dengan cara yang lebih nyata dan rasional. Cerita dan logika

perbuatan dan hasil itu bisa saja dikaitkan dengan praktik yang ada di dunia, dengan

menyertakan praktik-praktik hukum, peradilan dan hukuman yang ada. Misalnya, jika seseorang

ketahuan mencontek, pasti akan mendapat hukuman dari gurunya baik dalam bentuk tidak lulus

atau tidak boleh mengikuti pelajaran. Orang yang suka menggelapkan uang atau mencuri,

(16)

Contoh-contoh tentang hal itu tentu saja banyak di masyarakat. Dan sesuai dengan

perkembangan teknologi audio-visual yang ada, penghukuman seperti itu bisa ditayangkan

kepada peserta didik. Juga diilustrasikan tentang bagaimana keadaan penjara, makanan yang

didapatkan di penjara dan seterusnya.

Pemberian contoh seperti ini tentu juga akan menghadapi masalah manakala ada

seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat, ternyata tidak mendapatkan hukuman dan

tetap mampu hidup dengan baik sampai sekarang. Pada titik inilah diperlukan penggabungan

antara konsep-konsep filsafat keagamaan dengan mencoba memberikan perbandingan kepada

orang-orang yang ada dalam kehidupan ini. Dalam filsafat kehinduan, memang dikenal adanya

tiga model phalakarma, yaitu sancita, prarabda dan kriamana. Tiga prinsip ini sangat terkait

dengan keyakinan punarbawa, atau kelahiran kembali dalam ajaran agama Hindu. Sancita

memberikan pemahaman bahwa hasil perbuatan seseorang di masa lalu yang belum habis

terbayarkan, sehingga masih dinikmati oleh yang bersangkutan pada jaman sekarang. Prarabda

adalah hasil perbuatan yang telah habis diganjarkan pada saat berbuat, sehingga tidak ada lagi

sisa hutang yang dinikmati sekarang. Kriyamana adalah kepercayaan bahwa hasil perbuatan itu

belum habis dinikmati pada saat berbuat di jaman sekarang sehingga, akan menjadi buah

kehidupannya di masa mendatang. Dari sinilah akan bisa dilihat bagaimana sesorang yang

berbuat jahat tetap menikmati kehudupan yangnormal. Ini artinya, dalam konsepsi kriyamana,

bahwa mereka akan menerima ganjaran itu pada saat kehidupannya di masa mendatang. Atau

jika ada orang yang selalu berbuat baik, tetapi ternyata kehidupannya tidak terlalu baik. Ini

adalah kepercayaan terhadap konsepsi Sancita, yang artinya mungkin di masa lalu, perbuatan

mereka ketika hidup dii dunia, ternyata belum habis diganjarkan karma yang dibuatnya dii masa

lalu.

Untuk memperkuat keyakinan-keyakinan seperti ini, tetap juga harus diberikan

contoh-contoh kepada mereka tentang sesorang yang begitu sukses di masa lalu, ternyata mnjelang akhir

hidupnya sangat susah, dikarenakan mereka banyak berbuat tidak baik.

Yang kedua adalah Tat Twan Asi. Kata ini berasal dari bahasa sansekerta yang juga

merupakan bagian dari ajaran agama. Tat Twam Asi secara tersirat diartikan sebagai saya adalah

kamu. Maknanya adalah adanya kesejajaran antara kita dengan dia dan sebaliknya. Namun

(17)

adalah menghargai sesama mahluk hidup. Jadi tidak hanya manusia dengan manusia. Terhadap

manusia, ajaran itumemberikan petunjuk untuk tetap menjaga kejujuran dan tidak boleh

menimbulkan kesakitan kepada manusia yang lain. Sakit ini dalam berbagai bentuk, misalnya

sakit karena terluka fisik, sakithati karena ditipu maupun sakit hati karena dicurangi. Kepada

mahluk hidup yang lain di luar manusia, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan juga demikian.

Perlakukan terhadapp mereka harus terhormat agar mampu mendukung kehidupan manusia.

Hewan dipelihara dengan baik, makanan yang terjamin dan dimanfaatkan sesuai dengan

umurnya. Dalam arti binatang dan hewan boleh dipotong apabila sudah waktunya dan binatang

liar dibiarkan hidup di alamnya yang bebas. Tumbuh-tumbuhan dimanfaatkan sesuai dengan

kapasitasnya tanpa harus memotongnya sembarangan. Inti dari semua itu adalah memberikan

penghargaan agar bisa saling tolong-menolonga dan menghargai. Tat Twam Asi mengajarkan

agar manusia senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi mahluk lainnya (Bunga,

2011:24)

Kedua, dalam konteks struktur sosialpun sesungguhnya falsafah tat twan asi ini mampu

memberikan perimbangan. Penstrukturan dalam masyarakat dijumpai dalam berbagai bentuk.

Pada tingkat hubungan antara kepala dengan anak buah, konsepsi tat tawan asi tersebut

memberikan sumbangan besar bagi produktivitas dan hubungan antara atasan dengan bawahan.

Disini konsepnya saling menghargai sesuai dengan posisi yang ada. Perusahan-perusahan di

Jepang berhasil mempraktikkan falsafah ini meski mereka tidak tahu secara persis tentangapa itu

falasafah Tat Twan Asi. Dalam praktik kerjanya, perusahan di Jepang memberikan segala

keperluan yang seharusnya didapatkan oleh karyawan. Misalnya dengan memberikan tunjangan

kesehatan yang memadai, memperhatikan kehidupan keluarga karyawan, memperhatikan

tunjangan hari tua, memberikan kesempatan cuti bagi karyawati hamil, menyediakan tempat bagi

karyawati yang menyusui dan seterusnya. Dengan perhatian seperti itu, karyawan akan merasa

terlindungi dan dihargai. Pimpinan sangat bertanggung jawab atas keberlanjutan tunjangan ini.

Sebagai bentuk balasan dari kepuasan kerja tersebut, karyawan perusahan di Jepang akan

mendedikasikan kerja dan karyanya kepada perusahan. Wujudnya adalah bekerja sampai 10 jam.

Hasilnya adalah output perusahan yang tinggi dengan outcome yang berkualitas. Inilah yang

membuat perusahan-perusahan di Jepang sukses. Kalau dicermati, itu adalah bentuk dari saling

menghargai antara perusahan dengan karyawan di bawah pengendalian sang pemimpin. Ini tidak

(18)

Pada konteks seperti perusahan-perusahan di Jepang tersebut, korupsi, kolusi dan

nepotisme jelas merupakan tindakan gegabah yang tidak akan mendukung kinerja positif antara

perusahan dengan anak buah atau karyawan. Sebaliknya, itu justru akan membuat kedua belah

pihak mengalami kehancuran.

Filsafat Tat Twam Asi juga bisa dihubungkan dengan hubungan antara berbagai

hubungan kelompok di masyarakat. Kelompok sosial ini bisa saja dalam hubungan antara

struktur masyarakat kelas atas dengan bawah. Saling penghargaan diantara kelompok ini bisa

dalam bentuk saling memberikan pertolongan dengan bentuk kejujuran dan prestasi. Kelompok

golongan bawah mungkin bisa melakukan hubungan kerja dengan mereka yang diatas, tanpa

harus melakukan korupsi atau sogok menyogok sedangkan pada pihak lain, pihak atasan tidak

boleh melakukan eksploatasi kalau mempekerjakan masyarakat golongan lapis bawah. Dalam

hubungan kelompok misalnya, tidak dibolehkan adanya upaya-upaya pencurian atau kekerasan

dari masyarakat golongan bawah kepada masyarakat golongan atas. Hubungan tersebut harus

terbentuk karena perasaan saling menyadari keberadaan masing-masing. Dengan terpeliharanya

pola hubungan seperti ini, tidak akan mungkin muncul upaya-upaya untuk melakukan korupsi,

kolusi dan nepotisme.

Ketiga adalah konsepsi hidup sagalak saguluk salunglung sebayantaka, merupakan

konsep hidup yang saling bekerja sama di dalam membentuk kesejahteraan masyarakat secara

keseluruhan (Purwita, 1993: 37). Filsafat ini didasari oleh kesadaran akan keberadaan sebagai

manusia yang lemah. Dengan kesadaran tersebut, segala kegiatan haruslah dilakukan secara

bersama-sama. Segala pekerjaan itu harus dikerjakan secara bersama-sama dalam keadaan

bagaimanapun. Dengan demikian, baik dalam konsep Tat Twam Asi maupun dalam konsepsi

kerja segalak seguluk salunglung sebayantaka ini terkadung filsafat inti, yaitu mengerjakan

sesuatu dengan rasa persaudaraan yang sama derajat dan kesamaan penghargaan.

Keempat adalah semangat puputan. Ini sesungguhnya merupakan nilai yang lebih

banyak dipakai pada jaman peperangan. Namun demikian, kalau berhasil diterapkan pada jaman

non-perang, nilai ini akan mampu mendorong kesuksesan dan sudah tentu tekad untuk melawan

korupsi dengan segala bentuknya. Puputan adalah bahasa daerah Bali yang artinya sampai

tuntas. Bisa diterjemahkan habis-habisan. Perang habis-habisan adalah perjuangan dan

(19)

tekad dari pasukan Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai dalam perang kemerdekaan di

Margarana, Tabanan tahun 1946.

Namun demikian, apabila nilai ini diperluas maknanya, maka itu tidak saja bisa dipakai

saat bertempur menghadapi tentara oleh tentara, tetapi juga bisa dilakukan oleh orang sipil untuk

meraih cita-citanya secara jujur. Maka nilai puputan bisa dipakai untuk perjuangan mandiri

untuk mencapai tujuan, pemberantasan korupsi maupun tujuan lainnya. Yang harus juga

dipertimbangkan dalam mempraktikkan nilai ini adalah kemampuan menggunakan sumber daya

yang ada guna menopang keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Orang akan mampu

mencapai tujuannya dengan menggunakan kerjakerasnya sebagai modal dasar, dipadu dengan

keberaniannya melakukan eksperimen, didukung oleh hubungan pertemanan yang bagus serta

dengan memanfaatkan lingkungan dan dilandasi dengan kejujuran. Orang seperti ini pasti akan

mampu mewujudkan cita-citanya tanpa harus melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Puputan juga merupakan sebuah tekad. Dalam praktik ini akan membuat munculnya keinginan

yang keras membaja untuk berjuang mencapai tujuan tanpa harus menggunakan cara-cara yang

negatif.

Kelima adalah sikap malu dan jengah. Malu dalam bahasa Bali disebut dengan lek. Sedangkan ”jengah” merupakan konsepsi kata dalam bahasa Bali yang mengandung campuran antara malu dan keinginan yang keras untuk mencapai cita-cita atau ingin mengembalikan

kehormatan. Disini ada unsur kompetisi, akan tetapi dimaknai secara positif dan dengan

cara-cara positif. Sikap jengah biasanya dilakukan karena seseorang yang tidak bersalah tiba-tiba

dinyatakan bersalah, misalnya. Atau secara prinsip orang itu terlalu yakin dengan kejujuran.

Maka, untuk mencapai cita-cita itu mereka berjuang dengan kejujuran, memotivasi diri untuk

mencapai tujuan (Purwita, 1993: 37). Cara seperti ini akan mampu membimbing orang untuk

bekerja keras, memakai sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan. Karena malu dan

karena berkeingian keras menempuh nilainilai idealis tersebut, orang yang menganut prinsip ini

tidak akan menggunakan cara-cara negatif untuk mencapai tujuan. Sebab, apabila menggunakan

nilaii tersebut, sangat mungkin akan mendapatkan rasa malu dari masyarakat. Karena itulah,

perjuangan akan dilakukan dengan cara yang jujur yang sekaligus mau membuktikan bahwa cara

demikian mampu dicapainya. Dengan cara seperti ini, praktik-praktik kulusi, korupsi dan

(20)

Keenam adalah kepercayaan akan yadnya. Yadnya sesungguhnya merupakan konsep

yang berkaitan dengan agama yang mempunyai arti bekerja tulus dengan pengabdian tanpa

memikirkan upah yang didapatkan. Disini, yang menjadi dorongan utama adalah persembahan

dengan tulus dan bakti kepada Tuhan. Konsepsi ini menjadi dasar dalam mengerjakan sesuatu

sehingga hasil yang didapatkan bisa positif. Landasan lain yang berkaitan dengan hal ini adalah

palakarma. Jika melakukan pekerjaan dengan jujur dan bersungguh-sungguh maka hasilnya akan

sangat positif. Inilah nilai-nilai yang bisa dipakai untuk mendapatkan hasil positif dari

pekerjaan. Korupsi, kolusi dan nepotisme akan mampu dikalahkan apabila konsep idelais ini

bisa diterapkan. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, nilai yadnya ini bisa ditranformasikan

menuju apa yang disebut ngayah. Konsep ini mengacu kepada pekerjaan, tindakan yang

dilakukan baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok yang dilandasi dengan ketulusann

dan keikhlasan tanpa mengharapkan imbalan. Solidaritas, tanggung jawab sosial, kesadaran akan

diri sebagai manusia dan persahabatan membantu memperlancar konsep ngayah ini

dipraktikkan. Dengan cara mempraktikkan kepercayaan demikian, tindakan korupsi dengan

berbagai bentuknya bisa ditekan sampai batas yang paling minimal.

Secara umum, nilai-nilai dan kearifan lokal ini masih tetap mendapat kepercayaan di

masyarakat Bali. Nilai-nilai itu mendapatkan legitimasi budaya dan sangat dekat dengan

praktik-praktik kepercayaan agama, dimana sebagian besar masyarakat Bali menganut agama

Hindu. Nilai ini tersosialisasikan kepada generasi baru secara menurun melalui praktik-praktik

sosial, gestur tubuh yang sangat terkait dengan budaya-agama yang ada di Bali. Anak-anak

misalnya secara langsung mengetahui bagaimana praktik ngayah yang dilangsungkan di pura,

mendengarkan cerita-cerita tentang palakarma atau belajar sejarah perang di Bali yang

memperkenalkan cara puputan. Kata-kata jengah itu sering kali muncul dalam pergaulan sosial,

melalui berbagai macam permainan, dimana dengan kata ini orang akan dapat membalikkan

keadaan dari pihak yang kalah menjadi pemenang. Praktik sosial ini secara tidak langsung ikut

memberikan sumbangan terhadap kemampuan untuk menekan praktik koruspi di Bali.

(21)

Meski ada nilai-nilai positif yang mampu menekan praktik korupsi dengan berbagai

bentuk itu, ada juga sikap-sikap yang sudah terpraktikkan di masyarakat dengan nilai-nilai

negatif. Praktik sosialini harus diperhatikan agar masyarakat tidak terjerumus dengan praktik

penyimpangan dalam bentuk apapun.

Pongah Juari adalah sikap yang tidak mau tahu dengan lingkungan dan sangat menguntungkan

diri sendiri. Orang seperti ini menjadi tebal muka dan melakukan tindakan apapun yang

mengutungkan dirinya tanpa tahu malu. Praktik korupsi sebenarnya merupakan sikap yang

berlatar pongah juari tersebut, yang dengan sikap demikian orang berani melakukan tindakan

penyelewengan.

Nyapa Kadi Aku adalah sikap congkak, sombong dan tidak mengakui kekuatan orang lain

(Purwita, 1993: 43). Sikap seperti inii memperlihatkan kerakusan seseorang dalam bertindak

sehingga dengan sikap tersebut yang bersangkutan mau menang sendiri, berupaya mendapatkan

bagian yang paling banyak tanpa melihat dirinya sendiri. Praktik korupsi akan bisa terjadi

manakala sesorang mengingikan kehendaknya sendiri tanpa memperhatikan kondisi

norma-norma yang ada di lingkungannya.

Disamping itu, pola sikap kelompok juga akan mempengaruhi keberhasilan menekan

korupsi di Bali. Dalam masyarakat ada di Bali (Desa Pakraman) ada yang disebut dengan

ungkapan suryak siu. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, suryak siu ini berarti sorak

seribu, yang maknanya bersorak ramai-ramai atau menyetujui secara beramai-ramai (Purwita,

1993: 42). Nilai negatifnya sangat besar di sini karena masing-masing anggota kelompok itu

begitu saja mengungkapkan persetujuannya tanpa memperhatikan substansi persoalan yang

dihadapai. Jika anggota lain mengatakan persetujuannya, ia dengan secara langsung

mengutarakan persetujuannya. Termasuk diantaranya adalah adanya ketidakmasukakalan yang

disetujui beramai-ramai. Latar lain yang juga menjadi munculnya suryak siu ini adalah

ketakutan akan ancaman. Artinya apabila salah satu pihak tidak menyetuji apa yang telah

disetujui secara bersama-sama, maka orang yangh bersangkutan akan bisa mendapatkan sangsi

sosial. Hal inilah yang banyak ditakuti sehingga orang cepat-cepat mengatakan persetujuannya.

Korupsi dalam konteks demikian, bisa mendapatkan legitimasi sosial apabila kemudian

(22)

Kesimpulan

Praktik korupsi sudah menjadi budaya di masyarakat Indonesia. Praktik yang seperti ini

seolah tidak dirasakan karena telah menjadi kebiasaan sejak lama. Priode waktu yang lama ini

pada akhirnya menjadi contoh bagi lingkungan, meluas menuju lingkungan yang lain dan

akhirnya dicontoh oleh generasi baru atau generasi yang lebih muda.

Untuk mencegah budaya korupsi seperti ini, harus dilakukan langkah-langkah yang

memang tidak mudah. Pencegahan korupsi harus dilakukan serentak dalam berbagai struktur

masyarakat. Pada level atas, pemerintah harus melakukan tindakan tegas kepada elit-elit yang

melakukan korupsi. Di dalam negara yang bangsanya masih menganut paham paternalistik,

hukuman terhadap para elit ini akan memberikan efek jera kepada masyarakat kecil. Panutan

mereka telah ditangkap dan dihukum. Pada tingkat struktur masyarakat bawah, pencegahan

korupsi bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi pada tingakt keluarga, percontihan pada

tingkat keluarga tentang atika yang positif serta akibat-akibat dari korupsi.

Kearifan lokal sangat memberikan manfaat untuk pencegahan korupsi karena kearifan ini

telah berlangsung lama, dipercaya masyarakat dan mendapatkan legitimasi sosial dan budaya.

Masyarakat Bali sebagaisalah satu contoh mempunyai kearifan-kearifan seperti itu yang

mempunyai tali temali antara praktik budaya, sosial dan keagamaan. Cara-cara seperti ini mampu

menekan perilaku korupsi sampai batas yang minimal. Kearifan pada masyarakat Bali misalnya,

phalakarma, dimana keyakinan ini menyangkut pada buah perbuatan kita sesuai dengan apa yang

diperbuat. Jika perbuatannya baik, akan mendapatkan buah yang baik. Tindakan ngayah dan

meyadnya juga mempunyai hubungan antara agama dengan sosial yang menekankan pada hasil

maksimal tanpa mementingkan upah. Nilai Puputan, yaitu perjuangan habis-habisan juga akan

mempengaruhi keberhasilan penekanan korupsi.

Disamping sikap dan nilai positif, nilai-nilai lokal juga mempunyai makna dan akibat

negatif yang bisa menumbuhkan perilaku koruptif. Sikap ini harus dieleminir agar tidak sampai

(23)

Saran-Saran

Kearifan lokal harus ditampilkan dalam upaya memberantas korupsi karena akan menjadi

perbandingan bagi daerah-daerah lain. Jika kearifan lokal tersebut ternyata mempunyai

keterkaitan dengan daerah yang lain, ini akan memberikan kesempatan besar untuk

memadukannya dalam upaya memberantas korupsi.

Pemerintah tidak boleh menunda-nunda pemberantasan korupsi. Di tingkat atas

menetapkan kepastian hukumnya. Dan pada tingkat bawah mendorong dan membantu

pemerintah daerah pada tingkat akar rumput untuk melakukan sosialisasi. Pendanaan sangat

diperlukan oleh masyarakat akar rumput ini.

******

Daftar Pustaka

Anom Kumbara, A.A. Ngr, 2011, ”Pembangunan pendidikan Nasional Berkharakter: Mewujudkan Manausia Indonesia Bermartabat”, dalam Wahana, No. 74, Th XXVII, Agustus 2011

Atmasasmita, Romli, 2012, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta, Genta Publishing.

Bunga, Dewi, 2011, ”Internalisasi Filosofi Tat Twan Asi dalam Menanggulangi Terorisme Melalui Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi”, dalam Wahana, No. 74, Th XXVII, Agustus 2011

Mujani, Saiful, Liddle William, 2011, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih

dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta:

Mizan

Purwita, Ida Bagus Putu, 1993, Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Denpasar, Upada Sastra.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Tempat bongkar muat barang di DAOP III Cirebon, DAOP IV Semarang, DAOP V Purwokerto, DAOP VI Yogyakarta, DAOP VIII Surabaya dan DIVRE I Medan sebagai lahan

Dari perangkat lunak Crestron RoomView pada halaman Edit Room (Edit Ruang), masukkan IP Address (Alamat IP) (atau nama host) seperti yang ditampilkan dalam menu OSD (tampilan

Hameltonian graph adalah graph yang semua titik-titiknya dapat dilalui masing-masing sekali dan mempunyai lintasan tertutup, artinya titik awal sama dengan titik akhir..

Biasanya usia 7 – 11 tahun, anak mulai dapat mengembangkan imajinasinya ke masa lalu dan masa depan; adanya perkembangan dari pola berpikir yang egosentris menjadi lebih mudah

Nilai difusivitas panas bahan merupa- kan salah satu sifat panas yang dibutuhkan untuk menduga laju perubahan suhu bahan sehingga dapat ditentukan waktu optimum yang

Nomborkan 1-5 pada gambar kitar hidup seekor katak dibawah mengikut urutan yang

Infeksi yang terjadi pada penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan ini disebut infeksi nosokomial, yang artinya infeksi yang terjadi di rumah sakit atau

Dengan demikian, yang dimaksud alat peraga pada penelitian ini adalah media pengajaran yang diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara terjadinya proses belajar