KORUPSI YANG MEMBUDAYA
DAN KEARIFAN LOKAL UNTUK MEMBERANTASNYA
Oleh: GPB Suka Arjawa
(Staf Pengajar Prodi Sosiologi, FISIP, Universitas Udayana)
Pendahuluan
Pembicaraan mengenai korupsi sudah sering diutarakan, baik di media massa, media
sosial, individu maupun kelompok. Korupsi adalah tindakan yang tidak normatif. Ia dikatakan
melanggar norma-norma yang ada karena tindakan itu merugikan banyak pihak, bertentangan
dengan asas kejujuran dan tidak memberikan sumbangan pemikiran positif bari kemanusiaan.
Mendapatkan uang dengan cara-cara tidak lazim, seperti memperbanyak jumlah uang yang
diterima dengan menggelapkan uang institusi, adalah sebuah tindakan korupsi. Menggelapkan
uang gaji institusi dengan tujuana memperkaya diri sendiri, juga merupakan tindakan korupsi.
Membeli barang-barang keperluan kantor di bawah standar yang telah ditetapkan, juga
merupakan tindakan korupsi. Pendeka kata, semua tindakan yanag merugikan orang lain dengan
tujuan memperkaya diri sendiri, yang melanggar ketentuan yang ada, adalah tindakan korupsi.
Tindakan inipun bersesuaian dengan kolusi dan nepotisme. Kolusi adalah
persekongkolan antar individu atau antar kelompok untuk tindakan-tindakan tertentu, dengan
tujuanmemperkaya diri sendiri dan kelompoknya sendiri. Sedangkan sedangkan nepotisme
adalah tindakan yang hanya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berada di
sekitarnya. Kedekatan itu bisa dilakukan dengan cara-cara penyuapan, keluarga dekat, kerabat
maupun rekan kenalan. Seluruh tindakan ini merupakan tindakan yang tidak normatif, dan
karena itu pasti melanggar hukum.
Pembicaraan mengenai korupsi sesungguhnya bersifat universal, terjadi di berbagai
negara dengan kadar yang bermacam-macam juga. Di Cina misalnya, pemerintah negar aitu
sangat ketat dalam menerapkan aturan untuk mencegah korupsi. Pemerintah negara ini
menetapkan hukuman mati kepada siapapun yang telah terbuki melakukan tindakan korupsi.
Fenomena demikian berbeda dengan Indonesia. Pembicaraan mengenai korupsi sangat sering
mereka-mereka yang dekat dengan Presiden Soeharto. Pejabat yang dekat dan mendukung
anggota keluarga presiden, pasti mendapatkan posisi yang penting ddi pemerintahan. Termasuk
diantaranya adalah posisi menteri. Reformasi yang terjadi tahun 1998, boleh dikatakan
mempunyai tujuan tidak sekedar menjatuhkan rejim yang sudah lama berkuasa, tetapi juga
menghapuskan dana membersihkan tindakan-tindakan korupsi ini. Tetapi setelah reformasi pun
tindakan ini belum bisa diatasi secara penuh. Tahun 2006, ada dugaan bahwa angka korupsi di
Bali mencapai 338 milyar (Widminarko, 2012:157)
Dalam konteks demikian, untuk melakukan pencegahan terhadap praktik korupsi
tersebut, ada banayak langkah yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun negara. Seperti
yang telah diungkapkan tadi, yang dilakukan oleh pemrintahan Cina adalah tindakan tegas
dengan menghukum mati para koruptor itu. Negara Indonesia setelah reformasi juga melakukan
hal demikian. Tindakan ini tidak saja dengan cara menghukum koruptor yang telah terbukti
melakukan tindakana tersebut, tetapi juga membuat lembaga khusus untuk melakukan
pemberantasan korupsi. Pembentukan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan
sikap serius pemerintah Indonesia untuk melakukan pemberantsan tindakan jahat tersebut.
Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dan sampai sekarang
masih tetap ada. Berbagai langkah telah dilakukan lembaga ini untuk memberantas korupsi,
meski banyak pihak yang memandangnya kontroversial.
Disamping pemberantasan korupsi yang dilakukan dengan membentuk lembaga sebagai
basis legitimasi dan lembaga yang bertugas untuk melakukan pemberantasan, beberapa pihak
percaya dengan cara yang lain untuk melakukan pemberantasan. Salah satunya adalah melalui
kearifan lokal. Dalam konteks adat, masyarakat tradisionil lebih suka menyelesaikan perselisihan
dan kasus dengan cara dan berdasarkan adat mereka (Atmasasmita, 2012:34). Tetapi pencegahan
terhadapp kejahatan bisa dilakukan dengan konsep dan praktik kearifan lokal yang ada.
Budaya Korupsi dan Efek yang Ditimbulkannya
Kearifan lokal itu berguna untuk memberantas korupsi yang disebabkan oleh tindakan
yang telah dipandang membudaya. Korupsi itu mempunyai kecenderungan dicontoh oleg
lingkungan ada tokoh yang melakukan korupsi dan akibat dari tingkah laku tersebut, ia mampu
meningkatkan kepemilikan ekonominya, hal ini akan berpotensi dicontoh oleh anggota
lingkungan yang lain. Percontohan itu akan semakin banyak apabila kemudian tindakan yang
tidak normatif tersebut tidak mendapatkan tindakan apapaun secara hukum. Inilah yang
kemudian membuat korupsi itu menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi budaya sosial.
Banyak efek negatif yang terjadi apabila korupsi ini telah membudaya.
Yang pertama, kesulitan untuk melakukan pencegahan. Kebudayaan adalah sebuah
tindakan yang telah mempunyai nilai pembenarnya sendiri. Paling tidak nilai pembenar itu
terjadi karena banyak orang telah melakukan tindakan itu, dan tidak mendapatkan hukuman
apa-apa. Kebudayaan juga menyangkut kebiasaan, dalam arti kebiasaan itu terpelihara dan kemudian
dicontoh secara berkelanjutan. Disinilah kebudayan bisa dimengerti sebagai sebuah pedoman
bagi kehidupan masyarakat (Suparlan, 1995: 17). Kesalahannya disini adalah tidak adanya
perangkat atau orang atau kelompok yang mengingatkannya manakala pelanggaran itu terjadi.
Ketika kita membicarakan persoalan budaya, mau tidak mau harus mengaitkan patron. Dalam
budaya paternalistik, orang tua atau yang dituakan akan menjadi contoh bagi perbuatan mereka
yang lebih muda. Indonesia adalah negara yang sistem sosialnya menganut paham paternalistik.
Akan tetapi yang perlu kita perhatikan, konteks ”ketuaan” di Indonesia, juga di Bali, tidak hanya diartikan dalam batasan umur belaka. ”Ketuaan” itu juga diartikan sebagai sesesorang atau pihak yang mempunyai kelebihan dibanding dengan dirinya sendiri. Jadi, orang yang lebih kaya, lebih
pintar, lebih ganteng, lebih berpengalaman, pergaulan lebih luas, anaknya lebih banyak, fisiknya
lebih kuat dan sebagainya bisa dipakai sebagai patron. Dengan demikian anak yang usianya
muda pun akan bisa dipandang sebagai patron. Dalam praktik-praktik korupsi, tidak jarang
orang-orang seperti inilah yang menjadi pelopornya.
Pencegahan korupsi harus mempunyai cara untuk memberitahu orang-orang yang dipandang ”lebih” itu dibanding yang lainnya. Akan tetapi, cara seperti inilah yang masih belum dimiliki orang Indonesia sehingga pencegahan korupsi yang membudaya ini menjadi sulit.
Kedua, korupsi budaya itu amat berpotensi mempunyai jangka waktu yang panjang.
Akibatnya, selama kita mengukur dengan jangkauan budaya, maka korupsi itu telah pasti
berlangsung lama. Kerugian yang muncul tidak saja berupa telah tercemarnya anak-anak muda
atau menyimpang akibat korupsi ini telah banyak. Paling tidak setengah generasi telah menjadi
jangka waktu dari korupsi tersebut. Apabila jangka waktu tersebut telah berlangsung demikian
lama, sudah bisa dipastikan kerugian material dan non-material tersebut sudah terakumulasi.
Nilai kerugian ada pada akumulasi tersebut.
Ketiga, korupsi yang telah membudaya itu mempunyai efek yang mengejutkan di masa
mendatang. Mengejutkan dalam hal ini diartikan sebagai perubahan pikiran dari generasi baru
setelah menyadari bahwa praktik yang sebelumnya biasa mereka lihat, ternyata menyalahi
norma-norma hukum. Contoh yang paling sederhana mengambil kembalian uang sisa atau
mengubah nilai harga dari barang di sebuah nota, adalah tindakan korupsi yang menyalahi
aturan. Fenomena seperti ini akan memberikan dampak buruk terhadap cara pandang generasii
muda terhadap generasi terdahulunya. Bukan tidak mungkin akan muncul kecaman bahkan
kejengkelan kepada generasi terdahulu. Ini akan menimbulkan gap antara generasi baru dengan
terdahulu. Dalam dalam konteks kultur lokal, ini bisa menjadi kontroversial. Di Bali misalnya,
konsep leluhur adalah generasi terdahulu yang sangat dihormati. Manaka kemudian diketahui
leluhur yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma hukum, akan
ada cacian kepada mereka.
Peranan Kelokalan dalam Pemberantasan Korupsi
Kelokalan yang dimaksudkan disini tidak lain merupakan wilayah atau areal yang
maknanya bukan nasional dalam suatu negara. Dengan demikian, kelokalan dalam hal ini bisa
mengacu kepada provinsi, kabupaten, desa atau banjar (di Bali) dan bahkan keluarga. Upaya
menekan sifat-sifat yang berkaitan dengan pelanggaran norma secara metodologik bisa dilakukan
dari konteks ini.
Ada dua pendapat tentang pemberantasan korupsi di satu negara. Pendapat pertama,
adalah bahwa korupsi itu bisa dilakukan dari sisi atas, yang sering diistilahkan dengan top-
down. Ini misalnya dilakukan dengan menangkap, memproses peradilan sampai dengan
menghukum para koruptor yang merugikan negara, dalam kapasitas nasional. Barang-barang
yang diselundupkan atau dirugikan mempunyai kaitan dengan kepemilikan negara. Misalnya
untuk membuat efek jera kepada para koruptor kelas kakap tersebut, penghukuman kepada
koruptor seperti ini diharapkan mempunyai efek jera juga kepada masyarakat. Pusat perhatian
dan ruang lingkip yang menasional dari korupsi tersebut, akan diliput oleh media massa sehingga
menjadi perhatian dari masyarakat. Karena itu penghukumannya juga akan memberi efek jera
kepada masyarakat.
Disamping kelebihan-kelebihannya, cara memberantas korupsi seperti ini mempuntai
tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Dalam kasus Indonesia misalnya, pemberantasn korupsi
pada skala nasional ini sangat lambat prosesnya. Beberapa kasus pemberantasan korupsi pada
tingkat nasional tersebut mempunyai proses yang cukup panjang, sampai bertahun-tahun. Upaya
menuntaskan kasus korupsi Bank Century atau yang melibatkan Miranda Gultom, bekas deputi
Gubernur Bank Indonesia misalnya, sampai sekarang belum tuntas. Ini disebabakan karena
banyak pihak yang merupakan tokoh-tokoh nasional kemungkinan terlibat di dalamnya. Akibat
dari hal itu, selalu ada proses yang rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama. Secara
sosiologis, hal ini tidak memberikan efek positif kepada masyarakat. terlalu lamanya proses
yang berlangsung itu membuat masyarakat apatis dan curiga dengan berbagai permainan yang
ada di kalangan atas sehinga memunculkan rasa tidak puas. Diisinilah faktor yang sangat
membahayakan. Masyarakat kalangan lapis bawah akan semakin berani melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang (melanggar norma), sehingga merekapun tidak takut melakukan
krorupsi, meski kecil-kecilan. Pada akhirnya, korupsi akan tumbuh lagi pada saat pemberantasan
di kalangan atas berlum tuntas. Korupsi yang dimulai dari lapisan bawah justru amat berpotensi
membesar dalam skala perjalanan waktu. Artinya, ketika korupsii itu dikenal oleh masyarakat
golongan lapis bawah, dan kemudian mempraktikkannya tanpa ada pihak yang menyadarkan
dan memperingatkan, maka mereka akan sempat mempelajari, menikmati sampai kemudian
memahami bagaimana cara-cara menghindar terhadap jeratan hukum. Dari sini secara
perlahan-lahan dan sistematis akan mampu membuat tingkat intensitas tindakannya membesar. Mulai
dari korupsi buah kelapa, sampai minyak kelapa sampai kemudian bisa membesar mengkorpsi
industri kelapa sawit.
Karena itu, untuk menghindari perilaku demikian maka pemberantasan korupsi haruslah
serempak, tidak hanya dari golongan atas tetapijuga harus dilakukan dari pihak golongan bawah.
segala lapisan masyarakat, dari berbagai tingkat struktural yang ada. Semua korupsi pada
berbagai tingkat tersebut harus mendapatkan tindakan pada praktik hukum. Agar
pemberantasannya mempunyai efek jera yang meluas kepada masyarakat, maka penyebaran
pemberantasannya haruslaah meluas dan diketahui oleh masyarakat. Di tingkat atas, karena
aktornya merupakan tokoh-tokoh nasional dan terpandang, maka penyebaran penanganannya
kepada masyarakat sudah dilakukan oleh media massa. Hal seperti ini secara tidak langsung
telah memberikan pengetahuan dan efek jera kepada masyarakat. Kasus Angelina Sondakh
misalnya, mampu memberikan efek tersebut kepada masyarakat.
Bagaimana dengan pemberantasan korupsi yang ada pada tingkat di luar level nasional.
Untuk pemberantasan korupsi yang ada pada tingkat provinsi dan kabupaten, metode
penyebaran cara penanganannya agar diketahu masyarakat, masih bisa dipakai dengan
memanfaatkan media massa. Media massa, baik cetak maupun elektronik, telah menyebar
menuju wilayah-wilayah lokal, seperti provinsi dan kabupaten. Pada tingkat provinsi, kekuataan
media massa masih mampu diandalkan untuk menyebarkan pengaruh ini. Pada tingkat kabupaten
pun sesungguhnya masih mampu menggunakan media massa provinsi untuk menyebarkan cara
penangannya ini karena media massa, masih mempunyai kolom khusus tentang berbagai
peristiwa yang ada pada tingkat kabupaten. Di kabupaten, kini media massa sudah mulai berada
dan mampu menyebarkan berbagai berita menarik di wilayah kabupaten tersebut.
Yang cukup sulit dilakukan adalah menyebarkan cara penanganan dari korupsi yang
dilakukan di wilayah kecamatan atau desa. Penyebaran penanganan korupsi di tingkat pedesaan
sebenarnya mempunyai manfaat penting karena mempunyai efek jera secara langsung kepada
masyarakat. Pelaku korupsi yang bertempat tinggal di wilayah desa atau kecamatan tersebut,
relatif lebih dikenal oleh masyarakat. Akibatnya, pelaku korupsi akan mempunyai rasa malu
yang lebih tinggi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa para pelaku korupsi ini akan malu
berjalan di kampungnya sendiri karena telah di cap korupsi. Juga akan malu melakukan kegiatan
sosial karena telah mendapatkan cap sebagai koruptor.
Salah satu cara yang bisa dipakai untuk menyebarkan cara penanganan ini adalah dengan
menyebarkan brosur kepada pejabat yang ada di bawahnya, misalnya kepala desa. Dari kepala
desa kemudian memberikan kepada bawahannya yaitu kepala dinas. Sampai disini sudah cukup
pemerintahan di Indonesia. Adanya data penanganan korupsi sampai di tingkat paling bawah
dalam sistem keadministrasian di Indonesia, sudah cukup memenuhi kriteria sosialisasi itu.
Paling tidak, kepada dinas atau RT telah mengetahui oraang seperti itu sehingga akan mampu
menginformasikan kepada kepada masyarakat yang menjadi tanggungjawabnya. Ada satu hal
yang bisa dipakai untuk menjaga keseimbangan di Bali, yakni konsepsi Tri Hita Karana. Dalam
pandangan Widminarko, konsepsi tersebut mampu dipakai untuk berbagai bidang. Karena itu
pemba Bali harus mengembangkan dan merumuskan secara cerdas konsepsi Tri Hita Karana
(Widminarko, 2012: 108)
Mencegah Korupsi pada Lapisan Paling Bawah
Yang dimaksud dengan pencegahan korupsi, adalah upaya-upaya yang harus dipakai
untuk menghindarkan masyarakat melakukan tindakan tersebut. Berupaya menghilangkan
perilaku ini terjadi. Jadi, harus ada tindakan agar masyarakat tidak melakukan tindakan negatif
tersebut. Masyarakat lapisan paling bawah yang dimaksudkan adalah masyarakat pada
umumnya, masyarakat yang menempati perkampungan, perumahan atau berada di pegunungan.
Mungkin pada lingkungan seperti ini ada anggota masyarakat yang kaya raya, misalnya dengan
penghasilan 1 juta rupiah per hari. Juga ada anggota masyarakat yang berpenghasilan kurang dari
20.000 rupiah per hari. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah lokasi interaksi sosial yang paling
umum.
Pada tataran keluarga, pencegahan korupsi merupakan tahap paling awal, dan
sesungguhnya paling efektif. Di lapisan keluarga, interkasi sosial adalah tempat yang paling
intim, paling dekat dan paling akrab. Disini juga terjadi tingkat sosialisasi paling efektif. Baik
sosialisasi primer dan sekunder ada di lapisan ini. Karena mempunyai karakter-karakter
tersebut, maka cara mencegah korupsi bisa dilakukan melalui metode perilaku dan dengan cara
keterbukaan. Pihak yang menjadi figur di dalam keluarga ini, entah ayah, ibu, atau anak yang
paling berprestasi menonjol harus memberikancontoh perilaku yang patut kepada keluarganya.
Mereka juga harus terbuka, terutama dalam hal yang berhubungan dengan keuangan. Misalnya
dengan cara memberikan keterangan uang yang dibelanjakan, yang dipakai sebagai sangu dan
anggota keluarga. Para figur inilah yang menjadi patron, yang dalam tataran sistem sosial di
Indonesia disebut dengan model paternalistik. Mereka itu yang akan menjadi panutan. Sekaligus
juga pola-pola keterbukaan demikian akan menjadi ajang sosialisasi primer bagi generasi baru
yang ada di keluarga tersebut. Dengan demikian, pola perilaku dan keterbukaan menjadi satu
upaya untuk memberantas korupsi di tingkat keluarga. Cara seperti ini tentu saja memenuhi
kriteria kejujuran, penerimaan segala sesuatu sesuai dengan kemampuan yang ada, termasuk
juga misalnya dalam penerimaan jabatan.
Pada tingkat hubungan antar keluarga (masyarakat), pola-pola dalam keluarga itu juga
bisa dipraktikkan. Dalam lingkup masyarakat, seperti banjar di Bali, sering kali ada
pertemuan-pertemuan yang dilakukan untuk membahas berbagai hal. Misalnya rapat banjar atau rapat adat.
Ajang ini merupakan tempat untuk mempraktikkan keterus-terangan, keterbukaan, kejujuran dan
juga demokratis. Mengungkapkan hasil pungutan bulanan secara terbuka dii dalam rapat,
membeberkan alasan pengeluaran dan sejenisnya itu, akan sangat membantu untuk memupuk
jiwa kejujuran yang akahirnya berpengaruh pada upaya untuk memberantas korupsi. Di Bali,
telah menjadi umum bahwa berbagai pungutan dan sumbangan dalam pembangunan sarana
sosial, telah diumumkan secara tertulis dan ditempel berhari-hari di tempat strategis di banajar
tersebut. Cara seperti ini merupakan metode yang bagus untuk memupuk keterus-terangan,
keterbukaan dan kejujuran. Demokratisasi di banjar, seperti misalnya melakukan perdebatan dan
diskusi saat melakukan paruman desa pakraman, menjadi ajang yang bagus untuk memberikan
contoh bahwa perbedaan pendapat itu akan menghasilakan sintesa-sintesa yang berguna bagi
masyarakat. Mujani dan kawan-kawan menyebutkan bahwa demokrasi seperti ini muncul karena
adanya kontak dengan orang lain yang mampu menambah wawasan (Mujani, 2011: 388).
Sosialisasi secara tertulis, amat bermanfaat dalam pencegahan korupsi pada tingkat
masyarakat. Gedung-gedung pertemuan dan ruang publik yang ada di tingkat masyarakat harus
dimanfaatkan secara maksimal dalam upaya pencegahan ini. Pamflet-pamfet yang bersisi tentang
upaya pencegahan korupsi, ditempel pada gedung-gedung pertemuan dan tempat-tempat yang
ramai dikunjungi publik. Misalnya balai RT, RW, lapangan olahraga, terminal dan sejenisnya.
Pamflet itu berisi seruang dan pembelajaran tentang kejujuran dan upaya pemberantasan korupsi.
Tidak salah juga apabila di ruang umum seperi terminal itu dipasang baliho yang memuat
antar kemunitas wilayah menjadi sangat strategis karena tidak saja mampu sebagai tempat
pertemuan, tempat memasang berbagai pamflet, tetapi juga mampu dipakai sebagai tempat untuk
mementaskan huburaan yang bertajuk pada pemberantasan korupsi. Entahitu berupa sandiwara,
drama, tari-tarian atau bahkan standing komedi.
Perlu juga dicatat, meskipun tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan bertentangan
dengan berbagai konvensi internasional terutama yang menyangkut hak asasi manusia, cara
penghukuman masyarakat terhadap para pencuri di beberapa tempat di Indonesia (tidak hanya di
Bali) dengan cara mengarak keliling desa, merupakan cara yang memberi sumbangan signifikan
terhadap pemeliharaan norma yang positif, termasuk juga pemberantasan korupsi. Akan tetapi,
tulisan ini tidak memberikan rekomendasi terhadap cara seperti ini. Jauh lebih terhormat
menggunakan cara-cara pendekatan manusiawi karena akan lebih menyentuh masyarakat dan
cara demikian akan mampu bertahan lebih lama.
Kearifan Lokal untuk Menekan Korupsi
Kearifan lokal yang dimaksudkan disini adalah cara-cara, praktik sosial yang dilakukan
masyarakat dii daerah, atau suku yang merupakan bagian dari warisan tradisionalnya dan telah
diberlakukan secara turun-temurun. Karena dimaknai sebagai sebuah kearifan, yaitu sifat yang
mengandung hal-hal positif, maka perilaku-perilaku ini memberikan sumbangan yang berguna,
positif dan bermanfaat. Paling tidak manfaat itu bisa terasakan oleh penganut kearifan (daerah,
wilayah atau suku) tersebut. Indonesia yang terbagi menjadi 33 provinsi dan mempunyai ratusan
suku bangsa, sangat kaya dengan kearifan-kearifan lokal tersebut dan tentunya bisa diangkat
secara nasional dan dipakai sebagai persontohan dalam membentuk norma-norma yang positif
bagi seluruh masyatakat negara.
Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas tentang beberapa kearifan lokal yang
ada pada masyarakat Bali, yang berkaitan dengan upaya-upaya membentuk sikap taat hukum
dan berpengaruh pada pencegahan tindak korupsi.
Sebagai sebuah suku bangsa, masyarakat Bali mempunyai cara-cara dan perilaku
sebagai sebuah suku bangsa yang mencirikannya itu adalah agama Hindu, tulisan Bali,
kebudayaan, bahasa, termasuk pula ritual-ritual yang ada. Seluruh identitas ini memberikan
sumbangan yang penting dalam konsep kesukuan Bali.
Yang paling awal adalah konsep phalakarma. Konsep inii boleh dikatakan sebagai
sebuah konsep yang bersumber pada fenomana sosial, tetapi juga berkait dengan ajaran agama.
Phalakarma mempunyai arti hasil dari perbuatan dari manusia yang akan bernilai sama dengan
apa yang diperbuatnya. Jika mereka berbuat baik dan positif, maka hasilnya pasti akan positif.
Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku buruk, maka buruk pula yang akan didapatkannya.
Secara sosial, konsep ini telah sangat populer dan telah disosialisasikan baik secara primer
maupun sekender. Paling tidak sejak sekolah dasar, anak-anak telah disosialisasi dengan makna
dari konsepsi ini, melalui berbagai cerita atau ilustrasi yang cukup membuat penyadaran kepada
anak-anak. Penjelasan kepada phalakarma ini tidak saja menyangkut pada hasil perbuatan itu
pada kehidupan setelah reinkarnasi tetapi juga pada prinsip sorga dan neraka. Phalakarma atau
Karmaphala menjadi pengendali pikiran, perkataan dan perbuatan dalam menempuh kehidupan
yang mampu menciptakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat (Purwita, 1993: 35). Cerita
tentang anak yang suka menipu atau berbohong misalnya, akan ditaruh di sebuah tempat yang
mengerikan dii neraka. Atau jika lahir kembali, mereka-mereka seperti itu tidak akan mampu
mewujud sebagai manusia tetapi sebagai binatang. Cara-cara sosialisasi seperti ini cukup ampuh
untuk memberi pelajaran dan pemahaman kepada anak peserta didik yang terekam pada
memorinya, sehingga dalam perkembangan sosialnya berupaya menghindari perilaku-perilaku
tercela. Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan itu adalah untuk
membentuk manusia yang berbudi luhur dan berahlak mulia, disamping membentuk manusia
yang mandiri dan kreatif (Anom Kumbara, 2011: 13).
Seharusnya, kontek cerita seperti ini bisa dikembangkan menuju praksis yang ada pada
kenyataan hidup di dunia, dengan cara yang lebih nyata dan rasional. Cerita dan logika
perbuatan dan hasil itu bisa saja dikaitkan dengan praktik yang ada di dunia, dengan
menyertakan praktik-praktik hukum, peradilan dan hukuman yang ada. Misalnya, jika seseorang
ketahuan mencontek, pasti akan mendapat hukuman dari gurunya baik dalam bentuk tidak lulus
atau tidak boleh mengikuti pelajaran. Orang yang suka menggelapkan uang atau mencuri,
Contoh-contoh tentang hal itu tentu saja banyak di masyarakat. Dan sesuai dengan
perkembangan teknologi audio-visual yang ada, penghukuman seperti itu bisa ditayangkan
kepada peserta didik. Juga diilustrasikan tentang bagaimana keadaan penjara, makanan yang
didapatkan di penjara dan seterusnya.
Pemberian contoh seperti ini tentu juga akan menghadapi masalah manakala ada
seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat, ternyata tidak mendapatkan hukuman dan
tetap mampu hidup dengan baik sampai sekarang. Pada titik inilah diperlukan penggabungan
antara konsep-konsep filsafat keagamaan dengan mencoba memberikan perbandingan kepada
orang-orang yang ada dalam kehidupan ini. Dalam filsafat kehinduan, memang dikenal adanya
tiga model phalakarma, yaitu sancita, prarabda dan kriamana. Tiga prinsip ini sangat terkait
dengan keyakinan punarbawa, atau kelahiran kembali dalam ajaran agama Hindu. Sancita
memberikan pemahaman bahwa hasil perbuatan seseorang di masa lalu yang belum habis
terbayarkan, sehingga masih dinikmati oleh yang bersangkutan pada jaman sekarang. Prarabda
adalah hasil perbuatan yang telah habis diganjarkan pada saat berbuat, sehingga tidak ada lagi
sisa hutang yang dinikmati sekarang. Kriyamana adalah kepercayaan bahwa hasil perbuatan itu
belum habis dinikmati pada saat berbuat di jaman sekarang sehingga, akan menjadi buah
kehidupannya di masa mendatang. Dari sinilah akan bisa dilihat bagaimana sesorang yang
berbuat jahat tetap menikmati kehudupan yangnormal. Ini artinya, dalam konsepsi kriyamana,
bahwa mereka akan menerima ganjaran itu pada saat kehidupannya di masa mendatang. Atau
jika ada orang yang selalu berbuat baik, tetapi ternyata kehidupannya tidak terlalu baik. Ini
adalah kepercayaan terhadap konsepsi Sancita, yang artinya mungkin di masa lalu, perbuatan
mereka ketika hidup dii dunia, ternyata belum habis diganjarkan karma yang dibuatnya dii masa
lalu.
Untuk memperkuat keyakinan-keyakinan seperti ini, tetap juga harus diberikan
contoh-contoh kepada mereka tentang sesorang yang begitu sukses di masa lalu, ternyata mnjelang akhir
hidupnya sangat susah, dikarenakan mereka banyak berbuat tidak baik.
Yang kedua adalah Tat Twan Asi. Kata ini berasal dari bahasa sansekerta yang juga
merupakan bagian dari ajaran agama. Tat Twam Asi secara tersirat diartikan sebagai saya adalah
kamu. Maknanya adalah adanya kesejajaran antara kita dengan dia dan sebaliknya. Namun
adalah menghargai sesama mahluk hidup. Jadi tidak hanya manusia dengan manusia. Terhadap
manusia, ajaran itumemberikan petunjuk untuk tetap menjaga kejujuran dan tidak boleh
menimbulkan kesakitan kepada manusia yang lain. Sakit ini dalam berbagai bentuk, misalnya
sakit karena terluka fisik, sakithati karena ditipu maupun sakit hati karena dicurangi. Kepada
mahluk hidup yang lain di luar manusia, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan juga demikian.
Perlakukan terhadapp mereka harus terhormat agar mampu mendukung kehidupan manusia.
Hewan dipelihara dengan baik, makanan yang terjamin dan dimanfaatkan sesuai dengan
umurnya. Dalam arti binatang dan hewan boleh dipotong apabila sudah waktunya dan binatang
liar dibiarkan hidup di alamnya yang bebas. Tumbuh-tumbuhan dimanfaatkan sesuai dengan
kapasitasnya tanpa harus memotongnya sembarangan. Inti dari semua itu adalah memberikan
penghargaan agar bisa saling tolong-menolonga dan menghargai. Tat Twam Asi mengajarkan
agar manusia senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi mahluk lainnya (Bunga,
2011:24)
Kedua, dalam konteks struktur sosialpun sesungguhnya falsafah tat twan asi ini mampu
memberikan perimbangan. Penstrukturan dalam masyarakat dijumpai dalam berbagai bentuk.
Pada tingkat hubungan antara kepala dengan anak buah, konsepsi tat tawan asi tersebut
memberikan sumbangan besar bagi produktivitas dan hubungan antara atasan dengan bawahan.
Disini konsepnya saling menghargai sesuai dengan posisi yang ada. Perusahan-perusahan di
Jepang berhasil mempraktikkan falsafah ini meski mereka tidak tahu secara persis tentangapa itu
falasafah Tat Twan Asi. Dalam praktik kerjanya, perusahan di Jepang memberikan segala
keperluan yang seharusnya didapatkan oleh karyawan. Misalnya dengan memberikan tunjangan
kesehatan yang memadai, memperhatikan kehidupan keluarga karyawan, memperhatikan
tunjangan hari tua, memberikan kesempatan cuti bagi karyawati hamil, menyediakan tempat bagi
karyawati yang menyusui dan seterusnya. Dengan perhatian seperti itu, karyawan akan merasa
terlindungi dan dihargai. Pimpinan sangat bertanggung jawab atas keberlanjutan tunjangan ini.
Sebagai bentuk balasan dari kepuasan kerja tersebut, karyawan perusahan di Jepang akan
mendedikasikan kerja dan karyanya kepada perusahan. Wujudnya adalah bekerja sampai 10 jam.
Hasilnya adalah output perusahan yang tinggi dengan outcome yang berkualitas. Inilah yang
membuat perusahan-perusahan di Jepang sukses. Kalau dicermati, itu adalah bentuk dari saling
menghargai antara perusahan dengan karyawan di bawah pengendalian sang pemimpin. Ini tidak
Pada konteks seperti perusahan-perusahan di Jepang tersebut, korupsi, kolusi dan
nepotisme jelas merupakan tindakan gegabah yang tidak akan mendukung kinerja positif antara
perusahan dengan anak buah atau karyawan. Sebaliknya, itu justru akan membuat kedua belah
pihak mengalami kehancuran.
Filsafat Tat Twam Asi juga bisa dihubungkan dengan hubungan antara berbagai
hubungan kelompok di masyarakat. Kelompok sosial ini bisa saja dalam hubungan antara
struktur masyarakat kelas atas dengan bawah. Saling penghargaan diantara kelompok ini bisa
dalam bentuk saling memberikan pertolongan dengan bentuk kejujuran dan prestasi. Kelompok
golongan bawah mungkin bisa melakukan hubungan kerja dengan mereka yang diatas, tanpa
harus melakukan korupsi atau sogok menyogok sedangkan pada pihak lain, pihak atasan tidak
boleh melakukan eksploatasi kalau mempekerjakan masyarakat golongan lapis bawah. Dalam
hubungan kelompok misalnya, tidak dibolehkan adanya upaya-upaya pencurian atau kekerasan
dari masyarakat golongan bawah kepada masyarakat golongan atas. Hubungan tersebut harus
terbentuk karena perasaan saling menyadari keberadaan masing-masing. Dengan terpeliharanya
pola hubungan seperti ini, tidak akan mungkin muncul upaya-upaya untuk melakukan korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Ketiga adalah konsepsi hidup sagalak saguluk salunglung sebayantaka, merupakan
konsep hidup yang saling bekerja sama di dalam membentuk kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan (Purwita, 1993: 37). Filsafat ini didasari oleh kesadaran akan keberadaan sebagai
manusia yang lemah. Dengan kesadaran tersebut, segala kegiatan haruslah dilakukan secara
bersama-sama. Segala pekerjaan itu harus dikerjakan secara bersama-sama dalam keadaan
bagaimanapun. Dengan demikian, baik dalam konsep Tat Twam Asi maupun dalam konsepsi
kerja segalak seguluk salunglung sebayantaka ini terkadung filsafat inti, yaitu mengerjakan
sesuatu dengan rasa persaudaraan yang sama derajat dan kesamaan penghargaan.
Keempat adalah semangat puputan. Ini sesungguhnya merupakan nilai yang lebih
banyak dipakai pada jaman peperangan. Namun demikian, kalau berhasil diterapkan pada jaman
non-perang, nilai ini akan mampu mendorong kesuksesan dan sudah tentu tekad untuk melawan
korupsi dengan segala bentuknya. Puputan adalah bahasa daerah Bali yang artinya sampai
tuntas. Bisa diterjemahkan habis-habisan. Perang habis-habisan adalah perjuangan dan
tekad dari pasukan Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai dalam perang kemerdekaan di
Margarana, Tabanan tahun 1946.
Namun demikian, apabila nilai ini diperluas maknanya, maka itu tidak saja bisa dipakai
saat bertempur menghadapi tentara oleh tentara, tetapi juga bisa dilakukan oleh orang sipil untuk
meraih cita-citanya secara jujur. Maka nilai puputan bisa dipakai untuk perjuangan mandiri
untuk mencapai tujuan, pemberantasan korupsi maupun tujuan lainnya. Yang harus juga
dipertimbangkan dalam mempraktikkan nilai ini adalah kemampuan menggunakan sumber daya
yang ada guna menopang keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Orang akan mampu
mencapai tujuannya dengan menggunakan kerjakerasnya sebagai modal dasar, dipadu dengan
keberaniannya melakukan eksperimen, didukung oleh hubungan pertemanan yang bagus serta
dengan memanfaatkan lingkungan dan dilandasi dengan kejujuran. Orang seperti ini pasti akan
mampu mewujudkan cita-citanya tanpa harus melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Puputan juga merupakan sebuah tekad. Dalam praktik ini akan membuat munculnya keinginan
yang keras membaja untuk berjuang mencapai tujuan tanpa harus menggunakan cara-cara yang
negatif.
Kelima adalah sikap malu dan jengah. Malu dalam bahasa Bali disebut dengan lek. Sedangkan ”jengah” merupakan konsepsi kata dalam bahasa Bali yang mengandung campuran antara malu dan keinginan yang keras untuk mencapai cita-cita atau ingin mengembalikan
kehormatan. Disini ada unsur kompetisi, akan tetapi dimaknai secara positif dan dengan
cara-cara positif. Sikap jengah biasanya dilakukan karena seseorang yang tidak bersalah tiba-tiba
dinyatakan bersalah, misalnya. Atau secara prinsip orang itu terlalu yakin dengan kejujuran.
Maka, untuk mencapai cita-cita itu mereka berjuang dengan kejujuran, memotivasi diri untuk
mencapai tujuan (Purwita, 1993: 37). Cara seperti ini akan mampu membimbing orang untuk
bekerja keras, memakai sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan. Karena malu dan
karena berkeingian keras menempuh nilainilai idealis tersebut, orang yang menganut prinsip ini
tidak akan menggunakan cara-cara negatif untuk mencapai tujuan. Sebab, apabila menggunakan
nilaii tersebut, sangat mungkin akan mendapatkan rasa malu dari masyarakat. Karena itulah,
perjuangan akan dilakukan dengan cara yang jujur yang sekaligus mau membuktikan bahwa cara
demikian mampu dicapainya. Dengan cara seperti ini, praktik-praktik kulusi, korupsi dan
Keenam adalah kepercayaan akan yadnya. Yadnya sesungguhnya merupakan konsep
yang berkaitan dengan agama yang mempunyai arti bekerja tulus dengan pengabdian tanpa
memikirkan upah yang didapatkan. Disini, yang menjadi dorongan utama adalah persembahan
dengan tulus dan bakti kepada Tuhan. Konsepsi ini menjadi dasar dalam mengerjakan sesuatu
sehingga hasil yang didapatkan bisa positif. Landasan lain yang berkaitan dengan hal ini adalah
palakarma. Jika melakukan pekerjaan dengan jujur dan bersungguh-sungguh maka hasilnya akan
sangat positif. Inilah nilai-nilai yang bisa dipakai untuk mendapatkan hasil positif dari
pekerjaan. Korupsi, kolusi dan nepotisme akan mampu dikalahkan apabila konsep idelais ini
bisa diterapkan. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, nilai yadnya ini bisa ditranformasikan
menuju apa yang disebut ngayah. Konsep ini mengacu kepada pekerjaan, tindakan yang
dilakukan baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok yang dilandasi dengan ketulusann
dan keikhlasan tanpa mengharapkan imbalan. Solidaritas, tanggung jawab sosial, kesadaran akan
diri sebagai manusia dan persahabatan membantu memperlancar konsep ngayah ini
dipraktikkan. Dengan cara mempraktikkan kepercayaan demikian, tindakan korupsi dengan
berbagai bentuknya bisa ditekan sampai batas yang paling minimal.
Secara umum, nilai-nilai dan kearifan lokal ini masih tetap mendapat kepercayaan di
masyarakat Bali. Nilai-nilai itu mendapatkan legitimasi budaya dan sangat dekat dengan
praktik-praktik kepercayaan agama, dimana sebagian besar masyarakat Bali menganut agama
Hindu. Nilai ini tersosialisasikan kepada generasi baru secara menurun melalui praktik-praktik
sosial, gestur tubuh yang sangat terkait dengan budaya-agama yang ada di Bali. Anak-anak
misalnya secara langsung mengetahui bagaimana praktik ngayah yang dilangsungkan di pura,
mendengarkan cerita-cerita tentang palakarma atau belajar sejarah perang di Bali yang
memperkenalkan cara puputan. Kata-kata jengah itu sering kali muncul dalam pergaulan sosial,
melalui berbagai macam permainan, dimana dengan kata ini orang akan dapat membalikkan
keadaan dari pihak yang kalah menjadi pemenang. Praktik sosial ini secara tidak langsung ikut
memberikan sumbangan terhadap kemampuan untuk menekan praktik koruspi di Bali.
Meski ada nilai-nilai positif yang mampu menekan praktik korupsi dengan berbagai
bentuk itu, ada juga sikap-sikap yang sudah terpraktikkan di masyarakat dengan nilai-nilai
negatif. Praktik sosialini harus diperhatikan agar masyarakat tidak terjerumus dengan praktik
penyimpangan dalam bentuk apapun.
Pongah Juari adalah sikap yang tidak mau tahu dengan lingkungan dan sangat menguntungkan
diri sendiri. Orang seperti ini menjadi tebal muka dan melakukan tindakan apapun yang
mengutungkan dirinya tanpa tahu malu. Praktik korupsi sebenarnya merupakan sikap yang
berlatar pongah juari tersebut, yang dengan sikap demikian orang berani melakukan tindakan
penyelewengan.
Nyapa Kadi Aku adalah sikap congkak, sombong dan tidak mengakui kekuatan orang lain
(Purwita, 1993: 43). Sikap seperti inii memperlihatkan kerakusan seseorang dalam bertindak
sehingga dengan sikap tersebut yang bersangkutan mau menang sendiri, berupaya mendapatkan
bagian yang paling banyak tanpa melihat dirinya sendiri. Praktik korupsi akan bisa terjadi
manakala sesorang mengingikan kehendaknya sendiri tanpa memperhatikan kondisi
norma-norma yang ada di lingkungannya.
Disamping itu, pola sikap kelompok juga akan mempengaruhi keberhasilan menekan
korupsi di Bali. Dalam masyarakat ada di Bali (Desa Pakraman) ada yang disebut dengan
ungkapan suryak siu. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, suryak siu ini berarti sorak
seribu, yang maknanya bersorak ramai-ramai atau menyetujui secara beramai-ramai (Purwita,
1993: 42). Nilai negatifnya sangat besar di sini karena masing-masing anggota kelompok itu
begitu saja mengungkapkan persetujuannya tanpa memperhatikan substansi persoalan yang
dihadapai. Jika anggota lain mengatakan persetujuannya, ia dengan secara langsung
mengutarakan persetujuannya. Termasuk diantaranya adalah adanya ketidakmasukakalan yang
disetujui beramai-ramai. Latar lain yang juga menjadi munculnya suryak siu ini adalah
ketakutan akan ancaman. Artinya apabila salah satu pihak tidak menyetuji apa yang telah
disetujui secara bersama-sama, maka orang yangh bersangkutan akan bisa mendapatkan sangsi
sosial. Hal inilah yang banyak ditakuti sehingga orang cepat-cepat mengatakan persetujuannya.
Korupsi dalam konteks demikian, bisa mendapatkan legitimasi sosial apabila kemudian
Kesimpulan
Praktik korupsi sudah menjadi budaya di masyarakat Indonesia. Praktik yang seperti ini
seolah tidak dirasakan karena telah menjadi kebiasaan sejak lama. Priode waktu yang lama ini
pada akhirnya menjadi contoh bagi lingkungan, meluas menuju lingkungan yang lain dan
akhirnya dicontoh oleh generasi baru atau generasi yang lebih muda.
Untuk mencegah budaya korupsi seperti ini, harus dilakukan langkah-langkah yang
memang tidak mudah. Pencegahan korupsi harus dilakukan serentak dalam berbagai struktur
masyarakat. Pada level atas, pemerintah harus melakukan tindakan tegas kepada elit-elit yang
melakukan korupsi. Di dalam negara yang bangsanya masih menganut paham paternalistik,
hukuman terhadap para elit ini akan memberikan efek jera kepada masyarakat kecil. Panutan
mereka telah ditangkap dan dihukum. Pada tingkat struktur masyarakat bawah, pencegahan
korupsi bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi pada tingakt keluarga, percontihan pada
tingkat keluarga tentang atika yang positif serta akibat-akibat dari korupsi.
Kearifan lokal sangat memberikan manfaat untuk pencegahan korupsi karena kearifan ini
telah berlangsung lama, dipercaya masyarakat dan mendapatkan legitimasi sosial dan budaya.
Masyarakat Bali sebagaisalah satu contoh mempunyai kearifan-kearifan seperti itu yang
mempunyai tali temali antara praktik budaya, sosial dan keagamaan. Cara-cara seperti ini mampu
menekan perilaku korupsi sampai batas yang minimal. Kearifan pada masyarakat Bali misalnya,
phalakarma, dimana keyakinan ini menyangkut pada buah perbuatan kita sesuai dengan apa yang
diperbuat. Jika perbuatannya baik, akan mendapatkan buah yang baik. Tindakan ngayah dan
meyadnya juga mempunyai hubungan antara agama dengan sosial yang menekankan pada hasil
maksimal tanpa mementingkan upah. Nilai Puputan, yaitu perjuangan habis-habisan juga akan
mempengaruhi keberhasilan penekanan korupsi.
Disamping sikap dan nilai positif, nilai-nilai lokal juga mempunyai makna dan akibat
negatif yang bisa menumbuhkan perilaku koruptif. Sikap ini harus dieleminir agar tidak sampai
Saran-Saran
Kearifan lokal harus ditampilkan dalam upaya memberantas korupsi karena akan menjadi
perbandingan bagi daerah-daerah lain. Jika kearifan lokal tersebut ternyata mempunyai
keterkaitan dengan daerah yang lain, ini akan memberikan kesempatan besar untuk
memadukannya dalam upaya memberantas korupsi.
Pemerintah tidak boleh menunda-nunda pemberantasan korupsi. Di tingkat atas
menetapkan kepastian hukumnya. Dan pada tingkat bawah mendorong dan membantu
pemerintah daerah pada tingkat akar rumput untuk melakukan sosialisasi. Pendanaan sangat
diperlukan oleh masyarakat akar rumput ini.
******
Daftar Pustaka
Anom Kumbara, A.A. Ngr, 2011, ”Pembangunan pendidikan Nasional Berkharakter: Mewujudkan Manausia Indonesia Bermartabat”, dalam Wahana, No. 74, Th XXVII, Agustus 2011
Atmasasmita, Romli, 2012, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta, Genta Publishing.
Bunga, Dewi, 2011, ”Internalisasi Filosofi Tat Twan Asi dalam Menanggulangi Terorisme Melalui Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi”, dalam Wahana, No. 74, Th XXVII, Agustus 2011
Mujani, Saiful, Liddle William, 2011, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih
dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta:
Mizan
Purwita, Ida Bagus Putu, 1993, Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Denpasar, Upada Sastra.