FABEL DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL
Learning of Retelling Fable Text with Visual Audio Media
Sakila
SMP Negeri 2 Singkawang
Jalan Pahlawan, Roban, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia Pos-el: [email protected]
Naskah masuk: 23 Juli 2020, revisi akhir: 17 Mei 2021, disetujui: 25 Mei 2021
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan hasil belajar berupa nilai siswa dalam pembelajaran teks fabel dengan media audiovisual pada siswa SMP kelas VII B, mata pelajaran bahasa Indonesia pada semester genap tahun pelajaran 2019/2020.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran teks fabel dengan media audiovisual. Untuk memecahkan masalah dan tujuan penelitian, maka dipergunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan jenis penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian membuktikan bahwa hasil belajar siswa yaitu berupa nilai pada pembelajaran teks fabel dengan menggunakan media audiovisual mengalami peningkatan dibandingkan ketika guru tanpa alat peraga. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media audiovisual dapat meningkatkan hasil belajar berupa nilai siswa pada pembelajaran menceritakan kembali teks fabel.
Kata Kunci: pembelajaran, fabel, media, audiovisual.
Abstract
This study aims to describe the increase in learning outcomes in the form of students’
scores in learning fable text with audio-visual media. This study was carried out to the students of class VII B junior high school on Indonesian language subject in the even semester of the 2019/2020 academic year. The problem in this study is how to improve student learning outcomes in learning fable text with audio-visual media. To solve the problem and research objectives, descriptive qualitative method with classroom action research was used. The result of the study proved that the students’ scores as learning outcome in learning fable text using audio-visual media have increased compared to the learning without teaching media. From the result of the study, it can be concluded that the use of audio-visual media can improve learning outcomes in the form of student scores in retelling fable text learning.
Keywords: learning, fable, media, audio, visual.
I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan dan proses pembelajaran di satuan pendidikan pada semua jenjang menuntut profesional, efektif dan efisien dilakukan oleh guru. Suatu proses belajar- mengajar dikatakan baik, bila proses tersebut dapat membangkitkan kegiatan belajar yang efektif (Sudirman, 2011, hlm. 49). Pelaksanaan pembelajaran mencakup tujuh komponen yaitu guru, siswa, media, tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Dari tujuh komponen tersebut, guru dianggap sebagai ujung tombak dalam terlaksananya proses kegiatan belajar- mengajar.
Salah satu jenis teks yang diajarkan kepada siswa pada kurikulum 2013 adalah teks fabel, dengan kompetensi dasar 4.15.
menceritakan kembali isi cerita fabel/legenda daerah setempat yang dibaca/didengar.
Teks fabel/cerita binatang adalah salah satu bentuk cerita (tradisional) yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita.
Binatang-binatang tersebut dapat berpikir dan berinteraksi layaknya komunitas manusia, juga dengan permasalahan hidup layaknya manusia.
Mereka dapat berpikir, berlogika, berperasaan, berbicara, bersikap, bertingkah laku, dan lain- lain sebagaimana halnya manusia dengan bahasa manusia. Cerita binatang seolah-olah tidak berbeda halnya dengan cerita yang lain, dalam arti cerita dengan tokoh manusia, selain bahwa cerita itu menampilkan tokoh binatang (Nurgiyantoro, 2005, hlm. 190).
Selain itu, cerita fabel merupakan cerita fiksi berupa dongeng yang menggambarkan budi pekerti manusia yang diibaratkan pada binatang (Kemdikbud, 2016, hlm. 201). Cerita fabel disebut juga dengan cerita moral, hal tersebut dikarenakan pesan yang terdapat
di dalam cerita fabel sangat erat kaitannya dengan moral kehidupan manusia, sehingga cerita fabel tidak kalah penting dari materi- materi yang lainnya.
Untuk menunjang terlaksananya kegiatan pembelajaran dengan baik, peran guru sangatlah penting (Sutikno, 2013, hlm. 50).
Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Dengan kata lain, tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya dapat berkembang dengan maksimal. Agar hal tersebut dapat terwujud, guru seharusnya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Selain peran guru, dalam kegiatan pembelajaran terhadap pula aktivitas siswa.
Ada beberapa aktivitas utama yang harus dilakukan siswa dalam pembelajaran, yaitu aktivitas mengamati, menanya, mengumpulkan data, menalar, dan mengomunikasikan. Pada pembelajaran menulis teks fabel siswa kelas VII, aktivitas-aktivitas tersebut diintegrasikan menjadi satu dan saling berkaitan. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan meliputi tiga tahap, yaitu perencanaan pembelajaran yang memuat rangkaian kegiatan pembelajaran (RPP), pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup, serta penilaian pembelajaran meliputi penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, masih ditemukan kesulitan siswa dalam mengikuti pembelajaran menceritakan kembali cerita fabel, banyak siswa tidak
memperhatikan penjelasan guru dan kurang aktif dalam pembelajaran sehingga berdampak pada hasil belajar siswa yang kurang maksimal.
Untuk itu diperlukan suatu strategi mengatasi permasalahan dimaksud.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian ini adalah bagaimanakah pembelajaran menceritakan kembali teks fabel dengan menggunakan media audiovisual ?
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pembelajaran menceritakan kembali teks fabel dengan menggunakan media audiovisual.
Manfaat penelitian ini, bagi guru, diharapkan dapat mengetahui penggunaan media audiovisual pada pelaksanaan pembelajaran teks fabel dan langkah-langkah pembelajaran. Bagi siswa, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa pada proses pembelajaran dengan materi teks fabel dengan media audiovisual. Serta bagi sekolah, akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran.
Kerangka Teori
Mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat membangun nilai karakter pada peserta didik. Teks-teks bermuatan karakter/moral menjadi bagian penting dalam pendidikan karakter, apalagi teks-teks sastra yang banyak mengandung unsur karakter/moral. Dari beberapa jenis teks yang diajarkan di kelas VII, teks yang menjadi primadona untuk pembelajaran karakter/moral pada anak adalah teks fabel. Jika dibandingkan dengan karya sastra lain, novel, cerpen, atau puisi,
fabel lebih dipilih untuk digunakan dalam pembelajaran bahasa yang disisipi pengajaran nilai-nilai karakter. Hal ini dikarenakan cerita fabel lebih mudah dipahami dan lebih menarik perhatian siswa karena tokoh utama dalam cerita fabel adalah binatang (Harsiati et al., 2017, hlm. 194)
Cerita merupakan jenis teks narasi.Teks narasi mencakup semua jenis tulisan atau lisan yang mengandung unsur cerita. Hampir setiap hari kita terlibat dengan cerita. Berbincang dengan teman sambil menceritakan sesuatu adalah kegiatan bercerita. Membaca atau menonton cerita tentang jagoan superhero adalah kegiatan menikmati cerita. Menghayal menjadi jagoan pembasmi kejahatan yang memiliki kehebatan luar biasa merupakan kegiatan merancang cerita (Harsiati et al., 2017, hlm. 194).
Saat kita menceritakan suatu cerita berdasarkan pengalaman sendiri atau yang kita dengar dan lihat dari televisi, kita sering kali menceritakan dengan gaya yang berbeda dengan aslinya. Kita berupaya menceritakan dengan cara sebaik mungkin. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan mengubah urutan cerita, memilih bahasa yang lebih menarik, dan menambahkan rincian agar cerita makin menarik (Harsiati et al., 2017, hal. 194).
Secara etimologis fabel berasal dari bahasa latin fabulat. Fabel merupakan cerita tentang kehidupan binatang yang berperilaku menyerupai manusia. Fabel termasuk jenis cerita fiksi, bukan kisah tentang kehidupan nyata. Fabel sering juga disebut cerita moral karena pesan yang ada di dalam cerita fabel berkaitan erat dengan moral. Teks cerita fabel tidak hanya mengisahkan kehidupan binatang, tetapi juga mengisahkan kehidupan manusia
dengan segala karakternya (Harsiati et al., 2017, hlm. 194).
Fabel adalah salah satu jenis dongeng.
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Fabel atau dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatang. Binatang dalam cerita fabel dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia (Setiyaningsih dan Santhi, 2019, hlm. 121).
Teks fabel termasuk jenis sastra pengisahan, sastra naratif (menceritakan kejadian) (Mahsun, 2014, hlm. 19). Fabel adalah cerita tentang kehidupan binatang yang berperilaku layaknya manusia. Fabel termasuk jenis cerita fiksi, bukan kisah tentang kehidupan nyata. Fabel sering disebut juga cerita moral karena pesan yang ada di dalam cerita fabel berkaitan erat dengan moral. Masyarakat Indonesia telah lama mengenal fabel sebagai media pengajaran bagi anak-anak.
Pesan moral atau nilai dalam fabel yang dapat mengarahkan sikap anak sebagai pembentuk karakter positif antara lain; (1) nilai tentang persahabatan; (2) pesan jangan berbuat jahat; (3) nilai akibat durhaka kepada orang tua; (4) nilai kepahlawanan dan perjuangan.
Melalui fabel, anak dapat mengetahui mana yang baik dan buruk seperti yang diceritakan di dalam cerita. Selain itu, anak akan dapat menanamkan rasa empati terhadap keadaan yang dialami oleh tokoh.
Fabel adalah cerita fiksi berupa dongeng yang menggambarkan budi pekerti manusia yang diibaratkan pada binatang (Kemdikbud, 2016, hlm. 201). Karakter binatang dalam cerita fabel dianggap mewakili karakter manusia dan diceritakan mampu bertindak seperti manusia tetapi tidak menghilangkan karakter binatangnya.
Perencanaan pembelajaran sebagai alat pandu perencanaan pembelajaran hendaknya disusun guru sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan (Abidin, 2014, hlm. 287).
Penyusunan perencanan pembelajaran merupakan bagian tugas administrasi guru yang berdampak langsung bagi kepentingan pembelajaran.
Menurut Sudjana dalam (Martono, 2016, hlm. 35) mengatakan bahwa perencanaan adalah proses sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang.
Menurut PP Nomor 19 Tahun 2005 pasal 20 rencana pelaksanaan pembelajaran memuat sekurang-kurangnya berisi tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Martono, 2016, hlm. 35).
Fungsi perencanaan pembelajaran adalah sebagai berikut: a) Perencanaan pembelajaran merupakan dokumen administrasi yang berfungsi sebagai pedoman bagi pelaksanaan pembelajaran. b) Perencanaan pembelajaran merupakan wahana bagi guru untuk merancang pembelajaran secara sistematis, prosedural, dan apik. c) Perencanaan pembelajaran merupakan alat awal yang digunakan untuk mengembangkan pembelajaran yang harmonis, bermutu dan bermartabat. d) Perencanaan pembelajaran memberikan peluang bagi guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran dengan karakteristik siswa secara cepat.
e) Perencanaan pembelajaran mendorong guru untuk terus belajar dan memperdalam konsep dan implementasi penilaian dan proses pembelajaran. f) Perencanaan pembelajaran menjembatani guru untuk senantiasa belajar berbagai pengetahuan baru yang belum
dipelajari. g) Perencanaan pembelajaran menjadi sarana guru dalam menguasai materi pembelajaran (Abidin, 2014, hlm. 288–289).
Menurut Nurgiyantoro (2001, hlm. 289), bercerita merupakan salah satu bentuk tugas kemampuan berbicara yang bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan berbicara yang bersifat pragmatis. Ada dua unsur penting yang harus dikuasai siswa dalam bercerita yaitu linguistik dan unsur apa yang diceritakan.
Ketepatan ucapan, tata bahasa, kosakata, kefasihan dan kelancaran, menggambarkan bahwa siswa memiliki kemampuan berbicara yang baik.
Media pembelajaran adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang sebagai penyebar ide/gagasan, sehingga ide/
gagasan itu sampai pada penerima. Media yang dimaksudkan adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran dan dimaksudkan untuk mempertinggi mutu mengajar dan belajar (Trianto, 2009, hlm. 28). Dalam proses belajar mengajar, pesan yang disalurkan oleh media ialah isi pelajaran. Dengan perkataan lain, pesan ini dapat bersifat rumit dan mungkin juga harus dirangsang dengan cermat untuk dikomunikasikan dengan baik kepada siswa.
Leshin, Pollock dan Reigeuth dalam (Trianto, 2009, hlm. 28) mengklasifikasikan media ke dalam lima kelas, yaitu (1) media berbasis manusia (pengajar, instruktur, tutor, bermain peran, kegiatan kelas field trip); (2) media berbasis cetak (buku, buku latihan (workbook), dan modul); (3) media berbasis visual (buku, bagan, grafik, peta, gambar, transparansi, slide); (4) media berbasis audiovisual (video, film, program, slide tape, dan televisi); (5) media berbasis komputer
(pengajaran dengan bantuan komputer, video interaktif, dan hypertext).
Ada beberapa alasan dibutuhkannya media pembelajaran diantaranya sebagai berikut: (1) guru harus berusaha menyediakan materi yang mudah diserap siswa, (2) materi menjadi lebih mudah dimengerti apabila menggunakan alat bantu, dan (3) proses belajar mengajar memerlukan media dalam hal ini disebut media pembelajaran.
Manfaat media pembelajaran yaitu menarik perhatian siswa terhadap materi yang disajikan, mengurangi bahkan menghilangkan verbalisme, membantu siswa untuk memperoleh pengalaman belajar, membatasi keterbatasan ruang, waktu, dan lingkungan, terjadi kontak langsung antara siswa-guru, dan membantu mengatasi perbedaan pengalaman belajar berdasarkan latar belakang ekonomi siswa.
Dalam memilih media pembelajaran, (Iskandar, 2011, hlm. 45) menyebutkan bahwa tidak asal asalan, tetapi harus dapat menentukan pilihannya sesuai dengan kebutuhan suatu kali pertemuan. Dalam proses pembelajaran, media yang digunakan guru harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sehingga merangsang dan menumbuhkan minat siswa dalam belajar.
Dengan demikian akan tumbuh interaksi antara media pembelajaran dan siswa dalam belajar. Adanya interaksi positif antara media pembelajaran dan siswa pada akhirnya akan mampu mempercepat proses pemahaman siswa terhadap isi pembelajaran.
Seorang guru dalam menggunakan media pembelajaran sebaiknya memperhatikan prinsip-prinsip tertentu agar penggunaan media dapat mencapai hasil sesuai tujuan
proses belajar mengajar (Iskandar, 2011, hlm.
45). Selanjutnya menurut (Sudjana, 2008, hlm.
104) ada beberapa prinsip penggunaan media dalam rangka peningkatan efektivitas proses belajar mengajar (1) sebaiknya guru memilih terlebih dahulu media manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan, (2) Penggunaan media harus sesuai dengan tingkat kematangan/kemampuan anak didik, (3) penggunaan media dalam pengajaran harus disesuaikan dengan tujuan, bahan, metode, waktu dan sarana yang ada, (4) menggunakan media harus sesuai dengan waktu dan situasi yang tepat.
Pembelajaran dapat dilakukan dalam berbagai bentuk maupun cara. Seperti diungkapkan Gagne (Trianto, 2009, hlm.
10) bahwa pembelajaran yang efektif harus dilakukan dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai macam media pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus memiliki kiat maupun seni untuk memadukan antara bentuk pembelajaran dan media yang digunakan sehingga mampu menciptakan proses pembelajaran yang harmonis.
Jenis media pembelajaran terdiri dari (Iskandar, 2011, hlm. 44–45): (a) media hasil teknologi cetak. Media sebagai perantara dalam rangka menyampaikan materi pelajaran melalui hasil teknologi cetak, seperti buku dan materi visual statis yang dihasilkan melalui proses pencetakan mekanis atau fotografis seperti teks, grafik, foto dan lain-lain. (b) Media auditif. Media sebagai perantara dalam rangka menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan kemampuan suara saja seperti radio, tape recorder, dan piringan hitam. (c) Media visual. Media sebagai
perantara dalam rangka menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan kemampuan indera penglihatan. Contohnya menampilkan gambar diam (film strips, salindia, gambar atau lukisan, gambar (film bisu atau film kartun) proyektor transparansi. (d) Media audiovisual. Media sebagai perantara dalam rangka menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dengan menggunakan kemampuan unsur suara dan unsur gambar. (e) Media berbasis komputer. Media sebagai perantara dalam rangka menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dengan menggunakan sumber- sumber yang berbasis mikroprosesor.
Media audiovisual dapat digolongkan ke dalam jenis media audio-motion-visual, yakni media yang mempunyai suara, ada gerakan, dan bentuk objek yang dapat dilihat (Hadi, 2007). Media jenis ini dapat menyajikan informasi secara utuh sehingga dapat memudahkan siswa dalam mengamati dan menirukan langkah-langkah suatu prosedur yang harus dipelajari.
Khususnya untuk pengajaran bahasa, (Subyakto, 1993, hlm. 206) mengatakan bahwa ”Media dalam pengajaran bahasa ialah segala alat yang dapat digunakan oleh guru dan pelajar untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan.” Alat atau media ini dapat terdiri dari yang komersial (diperjualbelikan) atau yang dapat dibuat sendiri.Media juga dapat dibagi menjadi media yang didengar atau audio (auditory), media yang dilihat (visual), dan media yang didengarkan dan dilihat (audiovisual).
Lebih lanjut (Sudirman, 1992, hlm. 206–
207) menguraikan lebih jelas media auditif, media visual, dan media audiovisual sebagai berikut.
1. Media auditif/audio, yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, tape-recorder/casette recorder, piringan audio.
2. Media visual, yaitu media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip (film rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan, cetakan.
3. Media audiovisual, yaitu media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar.
Jenis media ini seperti film bingkai suara (sound slide) film rangkai suara, cetak suara, film suara dan video cassette.
Selanjutnya, Erdmenger dalam (Subyakto, 1993, hlm. 206) memberikan beberapa sudut pandang untuk memeriksa atau menggambarkan alat/media pengajaran bahasa, yakni :
1. Ciri informasi yang disampaikan melalui alat (yakni informasi linguistik dan non- linguistik);
2. Jalur informasi (auditorym, visual, audio- visual);
3. Fase-fase dalam proses pembelajaran dan testing (apakah fase-fase digunakan untuk penyajian, pengulangan, pemanfaatan materi, atau testing)
4. Fungsi didaktis (pendidikan), yakni apakah alat itu dipakai untuk memberi motivasi kepada pelajar, menyampaikan pesan, atau mendorong penggunaan bahasa dengan bebas.
5. Kemungkinan-kemungkinan untuk m e m b a n t u , m e l e n g k a p i , a t a u menggantikan guru;
6. Penggunaan alat oleh individu-individu atau lebih orang kelompok-kelompok.
Penelitian ini bukanlah penelitian baru.
Sebelumnya, penelitian sejenis ini sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain (Arsyad, 2017) melakukan penelitian dengan judul
“Pembelajaran Menulis Teks Cerita Fabel pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kabila Tahun Pelajaran 2016/2017” menyimpulkan bahwa pembelajaran menulis teks cerita fabel pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kabila tahun pelajaran 2016/2017 dilihat dari RPP yang dibuat oleh guru, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran belum maksimal.
Hal tersebut dapat dibuktikan pada rencana pelaksanaan (RPP) pembelajaran menulis teks fabel identitas RPP tidak terdapat materi pokok dan pada alat dan bahan materi yang digunakan hanya teks “kuda berkulit harimau”, sedangkan pada RPP yang dibuat oleh guru terdapat banyak teks. Pada penyampaian materi, guru selalu mengaitkan materi dengan fenomena/kejadian yang ada. Dalam proses penilaian pembelajaran menulis teks cerita fabel pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kabila, ada terdapat tiga jenis penilaian yang ada lama RPP, yaitu penilaian sikap (sikap spiritual dan sikap sosial), penilaian pengetahuan dan penilaian keterampilan.
Namun guru tidak menggunakan penilaian tersebut. Guru hanya mengunakan penilaian penskoran pada hasil kerja siswa dan tidak melakukan penilaian seperti yang ada dalam RPP. Instrumen penilaian pengetahuan yang terdapat dalam RPP yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis teks fabel tidak sesuai dengan KD dan indikator pencapaian.
Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pramiari dkk. (2017) dengan judul Penggunaan Media Tayangan Televisi
“Pada Zaman Dahulu” untuk Meningkatkan
Kemampuan Menceritakan Kembali Isi Cerita Fabel pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Mengwi, yang menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam menceritakan kembali isi cerita fabel meningkat dengan perolehan skor rata-rata refleksi awal yaitu 59,35 (kurang), menjadi 70,11 (cukup) pada siklus I dan menjadi 81,41 (baik) pada siklus II (Pramiari et al., 2017).
Penelitian tersebut, memiliki persamaan dalam pemerolehan hasil, yakni adanya peningkatan rata-rata nilai pembelajaran.
Hal tersebut juga terjadi pada penelitian ini, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mengalami peningkatan. Selain itu, penelitian ini sama-sama meningkatkan aspek bercerita dengan sebuah media, namun penelitian tersebut memiliki nuansa berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini, terutama dari subjek dan objek penelitian.
Penelitian ini juga menjadi salah satu wadah mengetahui pembelajaran yang dilakukan guru di kelas. Kemudian, penelitian ini juga dapat memperbanyak khazanah tentang pembelajaran menceritakan kembali isi cerita fabel. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini penting dilakukan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang mengumpulkan data berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka- angka (Moleong, 2011, hlm. 11).
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan bentuk penelitian yang menggambarkan hasil dari sebuah penelitian dengan bentuk uraian. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (Sugiyono, 2016, hlm. 7).
Menurut sifat permasalahannya penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang menitikberatkan pada informasi data kualitatif kinerja siswa. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pendidikan terutama proses dan hasil belajar siswa pada level kelas (Hanifah, 2014, hlm.
1). Penelitian formal yang selama ini banyak dilakukan, pada umumnya belum menyentuh langsung persoalan nyata yang dihadapi guru di kelas sehingga belum mampu meningkatkan efisiensi dan kualitas pembelajaran. Selanjutnya melalui penelitian tindakan kelas, permasalahan yang terjadi dalam suatu pembelajaran di kelas dapat teridentifikasi dan dipecahkan melalui suatu tindakan yang sudah diperhitungkan kemudian dilakukan perbaikan yang mana pelaksanaan dari perbaikan dilakukan dengan cermat untuk diukur tingkat keberhasilannya (Hanifah, 2014, hlm. 1). Apabila dicermati, model yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart pada hakikatnya berupa perangkat- perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen, yaitu;
perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Keempat komponen yang berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Oleh karena itu, pengertian siklus pada kesempatan ini adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Untuk pelaksanaan sesungguhnya, jumlah siklus sangat bergantung kepada permasalahan terkait dengan mata pelajaran tidak hanya terdiri dari dua siklus,
untuk pelaksanaan sesungguhnya, jumlah siklus sangat tergantung pada masalah yang perlu diselesaikan (Hanifah, 2014, hlm. 53)
Adapun penerapan dalam penelitian yang penulis lakukan, dapat dijelaskan bahwa penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Singkawang pada kelas VII B. Sumber data dalam penelitian ini adalah guru bidang studi bahasa Indonesia dan siswa kelas VII B yang berjumlah 31 orang. Data dalam penelitian ini adalah pembelajaran cerita fabel berdasarkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Adapun perencanaan pembelajaran adalah RPP, pelaksanaannya berdasarkan RPP yang telah dirancang oleh guru, dan evaluasi yang digunakan guru saat pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas yaitu hasil tugas siswa dalam pembelajaran cerita fabel berdasarkan kurikulum 2013.
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2016, hlm.
224). Teknik pengumpul data dalam penelitian ini yaitu teknik langsung. Adapun teknik langsung yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, alat pengumpul data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti. Peneliti dalam penelitian ini yaitu sebagai instrumen kunci. Adapun alat pengumpul data pembantu yang peneliti gunakan adalah pedoman observasi serta alat dokumentasi yaitu berupa handphone yang digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan.
Selanjutnya penentuan patokan dengan perhitungan persentase mengikuti Nurgiyantoro dalam (Syaidah, 2018, hlm. 339).
Tabel 1. Penentuan Patokan dengan Perhitungan Persentase
No.
Interval Persentase
tingkat Penguasaan
Nilai ubah
skala lima Ket 0-4 E-A
1. 85-100 4 A Baik Sekali
2. 75-84 3 B Baik
3. 60-74 2 C Cukup
4. 40-59 1 D Kurang
5. 0-39 0 E Gagal
II. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Prasiklus
Kegiatan prasiklus dilakukan untuk mengetahui keadaan awal objek penelitian sebelum diadakan tindakan. Dalam prasiklus guru membacakan di depan kelas, guru bercerita secara lisan, siswa diminta membaca, lalu durasi waktu bercerita tentang fabel itu selama 30 menit, serta diikuti 2 orang siswa. Kemudian untuk mengetahui kemampuan siswa alat evaluasi atau alat ujinya berupa hasil pengamatan.
Berdasarkan pengamatan, sebagian besar siswa masih bingung tentang teks cerita fabel.
Pada saat pembelajaran berlangsung, banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru, ada yang melamun dan berbicara dengan temannya. Di samping itu juga siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran, sehingga tidak ada interaksi antara guru dan siswa. Hal ini berakibat pembelajaran bersifat menoton dan tidak membangkitkan kreativitas siswa. Guru harus memotivasi dan menginspirasi siswa, meskipun hanya dengan sarana dan prasarana sekadarnya.
Hasil Siklus I
Siklus I dilaksanakan berdasarkan rencana pelaksanaan yang telah dibuat.
Perencanaan.
Pada Siklus I, persiapan yang dilakukan dalam bentuk RPP dan rencana kegiatan yang akan dilakukan.
Pelaksanaan Tindakan dan Pengamatan Pembelajaran.
Pada tahap ini guru melaksanakan pembelajaran berdasarkan RPP yang telah disusun. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh gambaran bahwa kegiatan pelaksanaan belum terlaksana dengan baik atau belum maksimal.
Belum maksimalnya kegiatan dimaksud akan berpengaruh pada hasil belajar siswa. Secara keseluruhan indikator aspek keterampilan yang meliputi volume suara, kelancaran bercerita, ketepatan intonasi, kejelasan lafal, kepercayaan diri pada siklus I sangat kurang.
Sesuai dengan perolehan nilai siswa pada data kelas, yang diperoleh melalui hasil pengamatan guru, maka dapat dinyatakan bahwa frekuensi dan persentase nilai tingkat kemampuan siswa pada pembelajaran dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Kategori, Frekuensi dan Persentase Nilai Siswa
Interval Kategori Frekuensi Persentase 85-100 Baik
Sekali 4 12,90
75-84 Baik 2 6,45
60-74 Cukup 11 35,48
40-59 Kurang 12 38,70
0-39 Gagal 2 6,45
Jumlah 31 100
Berdasarkan karakteristik nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa klasifikasi kemampuan siswa dalam pembelajaran teks fabel menunjukkan,
yaitu siswa yang memperoleh nilai dengan kategori baik (75--84) sebanyak 2 Orang (6,45%) dari siswa sejumlah 31 orang. Selanjutnya yang memperoleh nilai dengan kategori baik sekali (85--100) sebanyak 4 orang (12,90%), cukup 11 orang (35,48) dan kurang 12 orang (38,70%) dan gagal sebanyak 2 orang (6,45).
Dari hasil belajar siswa tersebut di atas, hanya 6 dari 31 orang yang berhasil meraih nilai dengan kategori baik dan baik sekali.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa belum mencapai target penilaian yang ditetapkan. Target penilaian yang belum tercapai berdampak pula pada hasil pembelajaran siswa sehingga perlu dilanjutkan di siklus berikutnya yaitu siklus II.
Refleksi Hasil Pembelajaran
Kegiatan ini dilakukan secara kolaboratif untuk membahas dan menyimpulkan tentang temuan dan hasil penelitian pada siklus I.
Hasil Siklus II
Pembelajaran siklus II dilaksanakan b e r d a s a r k a n r e n c a n a p e l a k s a n a a n pembelajaran yang telah dibuat setelah merefleksi pembelajaran pada siklus I. Pada Siklus II dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kendala yang dihadapi pada siklus I dan mempertahankan pencapaian pada siklus I sebagai upaya untuk meningkatkan hasil pada proses pembelajaran selanjutnya.
Perencanaan
Berdasarkan hasil refleksi siklus I, peneliti merumuskan perencanaan tetap sama dengan pada siklus I, hanya pelaksanaannya akan lebih maksimal pada kekurangan-kekurangan pada siklus I.
Pelaksanaan Tindakan dan Pengamatan.
Pada tahap ini, guru melaksanakan pembelajaran yang telah dibuat pada tahap perencanaan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa kegiatan pembelajaran sudah terlaksana dengan baik. Hal ini merupakan suatu peningkatan dari segi proses dan berdampak positif bagi siswa.
Dari evaluasi perolehan hasil mulai dari siklus I sampai ke siklus II semua terjadi peningkatan. Peningkatan yang ditandai dengan bertambahnya respon, kerja sama, tukar pendapat, dan keaktifan peserta didik pada saat berdiskusi. Peningkatan aspek pengetahuan dengan indikator membuat skenario, berlatih, memerankan tokoh sesuai karakter, dan berbicara dengan baik. Semua peningkatan ini terjadi karena peserta didik mulai memahami dan mengerti apa yang harus mereka lakukan setelah diberikan penjelasan lebih detail lagi tentang menceritakan kembali fabel yang dibaca dengan menggunakan media audio visual sebagai sarana untuk membantu peserta didik bercerita di depan kelas.
Sesuai dengan perolehan nilai siswa pada data kelas, maka dapat dinyatakan bahwa frekuensi dan persentase nilai tingkat kemampuan siswa pada pembelajaran sebagaimana tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3. Kategori, Frekuensi dan Persentase Nilai Siswa
Interval Kategori Frekuensi Persentase 85-100 Baik Sekali 15 48,39
75-84 Baik 16 51,61
60-74 Cukup 40-59 Kurang 0-39 Gagal
Jumlah 31 100
Berdasarkan karakteristik nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa klasifikasi kemampuan siswa dalam pembelajaran teks fabel menunjukkan, yaitu siswa yang memperoleh nilai dengan kategori baik sekali (85--100) sebanyak 15 Orang (48,39%) dan kategori baik (75--84) sebanyak 16 orang (51,61%). Pada siklus II ini tidak ada siswa yang memperoleh nilai cukup, kurang, dan gagal.
Hasil penilaian berdasarkan interval nilai yang ditetapkan menunjukkan bahwa pada siklus II terjadi peningkatan hasil belajar siswa sebagai dampak dari peningkatan proses pembelajaran. Sehingga pembelajaran menceritakan teks fabel dengan menggunakan media audiovisual dinyatakan berhasil.
Refleksi Hasil Pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan dan menganalisis hasil yang diperoleh pada siklus II dan menetapkan kesimpulan tentang hasil yang dicapai dalam meningkatkan kemampuan menceritakan kembali isi cerita fabel.
Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara, pada siklus I, banyak siswa yang mengeluhkan bahwa tayangan yang digunakan terlalu banyak tokoh ceritanya sehingga sulit untuk mengingatnya.
Gambar 1. Video Bangau dan Kepiting
Sumber: https://www.youtube.com/
watch?v=fbFuUGB5o6I
Selain itu, pada siklus I siswa terlihat sulit dalam mengingat alur dan tokoh yang terdapat pada tayangan tersebut sehingga pada siklus II lebih ditekankan penggunaan tayangan yang lebih sederhana dan tidak mengurangi makna dari cerita fabel.
Adanya permasalahan pada siklus I, membuat peneliti merancang penggunaan media yang lebih sederhana.Pemilihan tayangan yang lebih sederhana dengan tokoh yang lebih sedikit tentunya menjadi alternatif terbaik agar membuat siswa lebih mudah dalam bercerita.
Dalam hal ini guru haruslah pandai dalam memilih media yang sesuai dan cocok digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Media yang baik adalah media yang menarik dan mampu memberikan informasi kepada siswa. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat bahwa media pembelajaran adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang sebagai penyebar ide/gagasan, sehingga ide/gagasan itu sampai pada penerima. Media yang dimaksudkan adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran dan dimaksudkan untuk mempertinggi mutu mengajar dan belajar (Trianto, 2009, hlm. 28).
Adapun media yang dipilih pada siklus II yaitu penggunaan media audiovisual dari youtube dengan judul “Semut dan Belalang.”Tayangan tersebut lebih sederhana daripada tayangan sebelumnya. Dalam tayangan ini terdapat tokoh binatang yaitu, semut dan belalang. Pemilihan media yang tepat sangat penting dilakukan agar sesuai dengan kemampuan siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa dalam memilih media pembelajaran, (Iskandar, 2011, hlm.
45) menyebutkan bahwa tidak asal asalan,
tapi harus dapat menentukan pilihannya sesuai dengan kebutuhan suatu kali pertemuan.
Dalam proses pembelajaran, media yang digunakan guru harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sehingga merangsang dan menumbuhkan minat siswa dalam belajar. Dengan demikian akan tumbuh interaksi antara media pembelajaran dan siswa dalam belajar. Adanya interaksi positif antara media pembelajaran dan siswa pada akhirnya akan mampu mempercepat proses pemahaman siswa terhadap isi pembelajaran.
Gambar 2. Video Semut dan Belalang
Sumber: https://www.youtube.com/
watch?v=WXGr2CQHPsU
Selain itu, hal lainnya yaitu pemberian motivasi oleh guru kepada siswa juga sangat penting dilakukan dalam pembelajaran. Karena dengan motivasi untuk belajar yang kuat dari diri siswa, maka akan mendorong ke arah yang lebih baik. Hal ini sebagaimana dikemukakan Susanti (2020, hlm.9) bahwa upaya yang harus dilakukan untuk memunculkan motivasi dalam pembelajaran adalah dengan mendesain pembelajaran yang tepat sehingga menjadi jembatan yang dapat menstimulus motivasi peserta didik untuk berusaha, bekerja keras, tekun, dan dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Hal tersebut menandakan bahwa tanpa adanya motivasi dalam pembelajaran maka tujuan pembelajaran sulit tercapai.
Salah satu cara pemberian motivasi yang sederhana yaitu dengan cara memberikan pujian kepada siswa atau dengan memerhatikan gerak-gerik siswa. Ketika guru telah memberikan perhatiannya kepada siswa, siswa pasti akan merasa lebih termotivasi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Selain itu, pada saat tanya jawab guru sebaiknya memberikan pujian melalui kata- kata yang baik kepada siswa seperti, bagus, benar, baik sekali, berikan tepuk tangan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar siswa lebih tenang dan nyaman dalam mengikuti pelajaran.
Selain motivasi yang berkonstribusi dalam peningkatan hasil pembelajaran siswa, terdapat juga pemberian penekanan terhadap aspek penilaian dalam pembelajaran. Guru memberikan penekanan terhadap aspek-aspek penilaian yang masih rendah khususnya dalam penyampaian intonasi dan kejelasan lafal siswa pada saat bercerita. Kurangnya kejelasan lafal dan intonasi pada siklus I, membuat guru lebih menekankan mengenai hal tersebut pada siklus II. Guru memberikan penegasan, dalam bercerita harus memiliki suara yang keras sehingga jelas terdengan oleh teman satu kelas. Dengan suara yang keras, siswa harus mampu menyampaikan intonasi dan kejelasan lafal yang tepat. Hal tersebut akan menandakan bahwa siswa lebih percaya diri dalam penyampaian ceritanya.
Berikutnya yaitu pemberian diskusi.
Sebelum siswa bercerita, siswa diberikan waktu untuk mendiskusikan mengenai alur dan isi dari cerita yang telah ditayangkan.
Hal ini dilakukan untuk memperkuat gagasan ataupun ide siswa pada saat bercerita. Siswa akan lebih memahami alur cerita yang
ditayangkan sehingga dalam bercerita lebih mudah dan lancar. Tidak hanya itu, kegiatan diskusi ini akan membuat siswa lebih percaya diri dalam bercerita dan memantapkan siswa dalam bercerita. Hal tersebut dikarenakan guru memberikan kesempatan diskusi untuk membahasa mengani unsur-unsur dalam cerita yang telah ditayangkan guna menyamakan pendapat sehingga terjadi persepsi yang sama pada saat bercerita.
Terakhir yaitu guru membentuk keadaan kelas yang lebih kondusif. Guru harus mampu mengontrol situasi di dalam kelas maupun di luar kelas. Sungguh besar peran pendidik dalam proses pembelajaran ini juga sebagaimana yang dikemukakan (Widaningsih, 2019, hlm.
142) bahwa sebaik apapun kurikulum dan sistem pendidikan yang ada, tanpa didukung kualitas pendidik yang memenuhi syarat maka semuanya akan sia-sia. Sebaliknya, apabila proses belajar mengajar dikelola oleh guru profesional maka kurikulum dan sistem yang tidak baik akan tertopang. Keberadaan guru atau pendidik bahkan tak tergantikan oleh siapapun atau apapun sekalipun dengan teknologi canggih. Alat dan media pendidikan, sarana prasarana, multimedia dan teknologi dapat dinilai hanyalah media atau alat yang hanya digunakan sebagai alat penunjang keberhasilan proses pembelajaran.
Dalam hal ini guru dituntut harus memiliki kedekatan dengan siswa sehingga mampu membentuk kelas menjadi lebih kondusif. Pada saat pelaksanaan siklus II, guru telah melakukan tindakan pendekatan dengan siswa seperti guru telah memberikan sebuah motivasi, memilihkan media yang lebih sederhana agar sesuai dengan kemampuan siswa, dan memberikan contoh
cara bercerita sehingga siswa merasa lebih dekat dengan guru. Dari paparan di atas, itulah beberapa langkah-langkah yang harus ada dalam pembelajaran menceritakan kembali isi cerita fabel.
Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa penggunaan media audio visual dapat membantu meningkatkan kemampuan siswa menceritakan kembali isi cerita fabel.Hal tersebut terbukti dengan adanya peningkatan hasil belajar siswa dari sebelum diberikan tindakan, siklus I dan siklus II. Hasil belajar tersebut dapat dilihat melalui pada tabel bawah ini.
Tabel 4. Kategori, Frekuensi dan Persentase Nilai Siswa pada Siklus I
dan II
Interval Kategori Frekuensi Frekuensi Siklus I Siklus II 85-100 Baik
Sekali 4 15
75-84 Baik 2 16
60-74 Cukup 11 0
40-59 Kurang 12 0
0-39 Gagal 2 0
Jumlah 31 31
Dari tabel 4 tersebut di atas, maka dapat kita ketahui bahwa pada siklus II terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari hasil belajar siswa. Pada siklus II tidak ada seorangpun yang memperoleh nilai dengan kategori cukup, kurang bahkan gagal.
Semuanya memperoleh nilai pada interval 75-100. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 1 di bawah ini.
Grafik 1. Perbedaan Hasil Belajar pada Siklus I dan Siklus II
Pada siklus I siswa yang memperoleh nilai dengan kategori baik sekali hanya 4 orang sedangkan pada siklus II menjadi 15 orang.
Peningkatan jumlah tersebut, dipengaruhi oleh penggunaan media audiovisual dalam pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan langsung kepada siswa untuk melihat, mendengar, dan merasakan sebuah cerita. Cerita bukan hanya sekadar hiburan, melainkan dalam cerita terdapat sebuah amanat yang harus dipetik. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat bahwa teks cerita fabel tidak hanya mengisahkan kehidupan binatang, tetapi juga mengisahkan kehidupan manusia dengan segala karakternya (Harsiati et al., 2017, hlm. 194)
Penggunaan media tayangan audiovisual ini menjadikan siswa tidak bosan dalam mengikuti pembelajaran dan siswa dengan mudah mengetahui amanat yang terkandung dalam sebuah cerita.
Temuan selanjutnya mengacu pada hasil angket, baik pada siklus I dan II menunjukan bahwa siswa merasa lebih senang pada saat pembelajaran dengan digunakannya media
audiovisual.Rasa senang dan semangat siswa tersebut dapat dilihat dari nilai rata-rata respons siswa yang diberikan oleh siswa dalam pembelajaran ini. Sebagian besar siswa memberikan respons positif terhadap tindakan yang dilakukan dalam pembelajaran. Hasil respons siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pembelajaran Teks Fabel Faktor Guru
Hasil pengamatan di kelas VII B menunjukkan faktor guru sangat berpengaruh dalam menentukan jalannya pembelajaran teks fabel. Pengaruh guru ini berhubungan dengan pemilihan media pembelajaran. Pemilihan media pembelajaran, guru menggunakan audiovisual. Hal ini dilakukan agar siswa dapat lebih memahami dan mempunyai semangat dalam belajar. Selain itu, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dan bereksplorasi dalam pembelajaran.
Faktor Siswa
Hasil pengamatan di kelas VII B menunjukkan bahwa faktor siswa berkaitan dengan media pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalam pembelajaran teks fabel.
Media pembelajaran yang digunakan guru menuntut para siswa harus mandiri dan aktif dalam pembelajaran teks fabel sehingga proses pembelajaran berjalan dengan baik. Selama pengamatan kegiatan proses pembelajaran berlangsung di kelas VII B menunjukkan bahwa siswa memiliki keinginan belajar yang mandiri dan aktif. Hal tersebut terlihat dari para siswa yang antusias dalam proses pembelajaran.
Faktor sarana dan prasarana
Faktor sarana merupakan faktor yang berpegaruh terhadap pelaksanaan pembelajaran teks fabel. Faktor sarana dapat membantu kelancaran dalam pelaksanaan pembelajaran teks fabel. Hasil pengamatan di kelas menunjukkan bahwa sarana sangat berpengaruh karena para siswa menggunakan buku bahan ajar sebagai sumber belajar dan ruang kelas sebagai sarana pembelajaran teks fabel.
Faktor prasarana yang berpengaruh dalam pembelajaran teks fabel di kelas VII B dan kelas VII pada umumnya adalah para siswa menggunakan media LCD yang baik jadi tidak mengganggu jalannya pembelajaran.
Hasil pengamatan di kelas VII B bahwa prasarana seperti LCD yang belum terpasang secara permanen. Belum terpasangnya LCD secara permanen sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar terutama alokasi waktu, waktu yang seharusnya digunakan untuk pembelajaran tapi digunakan untuk mengambil dan memasang LCD.
III. SIMPULAN
Berdasarkan analisis data dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menceritakan kembali teks cerita fabel dengan menggunakan media audiovisual, dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam bentuk nilai, dibandingkan dengan nilai siswa ketika tanpa menggunakan alat peraga atau media pembelajaran. Dengan menggunakan media pembelajaran audiovisual, siswa lebih mudah memahami cerita yang disampaikan sehingga mereka dapat terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran.
Media audio visual direkomendasikan untuk pembelajaran khususnya dalam meningkatkan keterampilan menyimak.
Selain itu guru dapat menggunakan media audiovisual pada materi yang lain.
Guru harus menindaklanjuti hasil refleksi dengan baik dan melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran sehingga terjadi peningkatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum (2013). Refika Aditama.
Arsyad, N. M. (2017). Pembelajaran Menulis Teks Cerita Fabel pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kabila Tahun Pelajaran 2016/2017. Skripsi, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo.
Hadi, W. N. (2007). Penggunaan Media Audio Visual dalam Menunjang Pembelajaran.
UNY.
Hanifah, N. (2014). Memahami Penelitian Tindakan Kelas: Teori dan Aplikasinya.
UPI PRESS.
Harsiati, T., Trianto, A., & Kosasih, E.
(2017). Bahasa Indonesia/kementerian Pendidikan dan Kebudayaan SMP/MTs Kelas VII. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Iskandar, A. (2011). Manfaat Media Pembelajaran. Swara, Edisi IX Nopember 2011. Cimahi : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri.
Kemdikbud. (2016). Buku Guru Bahasa Indonesia Kelas VII SMP/MTs. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Mahsun. (2014). Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Raja Grafindo Persada.
Martono. (2016). Perencanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia. STAIN Pontianak Press.
Moleong, L. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro.(2001). Belajar Pintar Bahasa Inonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurgiyantoro, B. (2005). Sastra Anak. Gadjah Mada University Press.
Pramiari, I. A. G., Wendra, I. W., & Wisudariani, N. M. R. (2017). Penggunaan Media Tayangan Televisi “Pada Zaman Dahulu”
Untuk Meningkatkan Kemampuan Menceritakan Kembali Isi Cerita Fabel Pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Mengwi. e-Journal Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha.
Vol.7 No.2. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
Setiyaningsih, I., & Santhi, M. S. (2019).
Pegangan Guru Bahasa Indonesia. PT.
Penerbit Intan Pariwara.
Subyakto, S. U. (1993). Metodologi Pengajaran Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudirman. (1992). Ilmu Pendidikan.
Rosdakarya.
Sudirman. (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada.
Sudjana, N. (2008). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru Algensindo.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Sutikno, S. (2013). Belajar dan Pembelajaran.
Holistika.
Susanti, Lidia. (2020). Strategi Pembelajaran Berbasis Motivasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Syaidah. (2018). Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur-Unsur Intrinsik Cerita Pendek Melalui Model Respons Analisis Siswa Kelas XI IPA2 SMA Negeri 1 Cendana Kabupaten Enrekang.
Jurnal Totobuang, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember 2018. hlm.331-347. Kantor Bahasa Provinsi Maluku.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Kencana Prenada Media Group.
Widaningsih, I. (2019). Strategi dan Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di era revolusi Industri 4.0. Uwais Inspirasi Indonesia.