1
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
DINAMIKA KEARIFAN LOKAL NUSANTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA 25 September 2018
ISBN 978-602-294-225-9
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
DINAMIKA KEARIFAN LOKAL NUSANTARA
Editor
Ida Bagus Gde Pujaastawa I Wayan Suwena
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA
Denpasar, 25 September 2018
ii PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
DINAMIKA KEARIFAN LOKAL NUSANTARA
Pelindung : Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Penanggung Jawab : Koordinator Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Udayana
Pembina : Prof. Dr. Drs. A.A. Ngurah Anom Kombara, M.A.
Ketua Panitia : Dr. I Wayan Suwena, M.Hum.
Sekretaris : Aliffiati, S.S., M.Si.
Bendahara : Dra. A.A. Ayu Murniasih, M.Si.
Reviewer : Prof. Dr. Drs. A.A. Ngurah Anom Kumbara, M.A.
Dr. Drs. I Ginting Suka, M.S.
Dr. Drs. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A.
Editor : Dr. Drs. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A.
Dr. Drs. I Wayan Suwena, M.Hum.
Cover Design : Dr. Drs. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A.
Layout : Dr. I Wayan Suwena, M.Hum.
ISBN : 978-602-294-225-9 Cetakan : Kesatu, November 2018
Denpasar. 25 September 2018 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2018
vii DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Personalia dan ISBN ii
Laporan Ketua Panitia iv
Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Budaya vi
Daftar Isi v
Pembicara Kunci
Refleksi Aktualisasi Nilai Civil Society dan Multikulturalisme dalam Tradisi Desa Pakraman Di Bali.
A.A. Ngurah Anom Kumbara
1
Potret Budaya Harmoni (Multikulturalisme dan Kebhinnekaan di Desa Pupuan, Tabanan, Bali).
I Gusti Made Aryana
8
Kapitalisasi Lingkungan dan Krisis Kearifan Lokal (Kasus Rencana Reklamasi Teluk Benoa).
Ida Bagus Gde Pujaastawa
30
Pembicara Undangan
Fleksibelitas Budaya Bali (Parhyangan) dalam Kehidupan Urbanis Etnis Bali Hindu di Perumahan.
I Nyoman Suarsana
41
Gaya Hidup Hijau Sebagai Implementasi Filsafat Tri Hita Karana pada Masyarakat Desa Penglipuran Kabupaten Bangli, Bali.
I. Ginting Suka
45
Dinamika Subak di Kawasan Pariwisata Bali (Analisis Kepaduan Aktivitas Subak Dengan Aktivitas Hotel).
I Wayan Suwena
52
Penerapan Perarem Sebagai Upaya Pencegahan Perilaku Mengemis pada Masyarakat Dusun Munti Gunung, Karangasem.
Ni Luh Arjani
58
Menggagas Kembali Mitos Kecantikan Perempuan Bali.
Ni Made Wiasti
63
Kebudayaan dan Kesehatan (Kajian tentang Inovasi Dukun Kit dalam Perawatan Kehamilan dan Pertolongan Persalinan).
I Gusti Putu Sudiarna
70
viii Eksistensi Matruna Nyoman Bagi Komunitas Adat di Desa Tenganan Pagringsingan.
I Ketut Kaler
78
Peran Nilai-Nilai Budaya Tradisional dalam Proses Perilaku Kesehatan Ibu Hamil dan Pascapersalinan dalam Balutan Kearifan Lokal di Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Bambang Dharwiyanto Putro
84
Sakralisasi dan Sekularisasi Barong dalam Dunia Bhatin Orang Bali.
Ketut Darmana
93
39 FLEKSIBELITAS BUDAYA BALI (PARHYANGAN)
DALAM KEHIDUPAN URBANIS ETNIS BALI HINDU DI PERUMAHAN
I Nyoman Suarsana inyomansuarsana.58@gmail.com
ABSTRAK
Karya tulis ini berjudul ”Fleksibelitas Budaya Bali (Parhyangan) Dalam Kehidupan Urbanis Etnis Bali Hindu di Perumahan”. Berawal dari adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) yang umumnya terjadi karena hubungan kerja, maka terwujudlah komunitas urbanis di sebuah pemukiman yaitu di perumahan. Komunitas urbanis yang dimaksud dalam hal ini adalah kesatuan hidup etnis Bali Hindu berbudaya Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana dan berjiwakan Agama Hindu dan bertempat tinggal di perumahan. Ketika berstatus sebagai urbanis tampaknya relatif beragam dibandingkan dengan kehidupan di daerah asal dalam hal mengimplementasikan budaya yang dipangku. Data keragaman/bervariasi implementasi budaya yang dipangku oleh urbanis etnis Bali Hindu di perumahan diperoleh melalui metode observasi partisipasi, wawancara, dan kepustakaan. Berdasar atas metode tersebut maka hasilnya dapat dinarasikan beberapa hal berkenaan dengan implementasi budaya Bali terutama komponen parhyangan (hubungan harmonis antara manusia dan Ida Sanghyang Widhi Wasa).
Narasi terfokus pada komponen parhyangan karena diyakini bahwa dengan mengimplementasikan komponen parhyangan dengan baik/benar dan dilakukan dengan tulus maka komponen yang lainnya (pawongan dan palemahan) akan mengikuti secara otomatis. Implementasi komponen parhyangan dalam kehidupan urbanis etnis Bali Hindu di perumahan tampak bervariasi terutama dalam hal wujud fisik dan penempatan parhyangan keluarga. Wujud fisik parhyangan keluarga ada yang berupa kemulan taksu, padma, dan bahkan ada yang hanya berupa pelangkiran saja. Penempatannya berorientasi pada ruang kosong, oleh karenanya tidak ada pola yang pasti artinya di segala penjuru mata angin (kaja, kaja kangin, kangin, kelod kangin, kelod, kelod kauh, kauh, dan kaja kauh). Jika hal itu dibandingkan dengan di daerah asal, maka wujud fisik parhyangan keluarga umumnya berupa kemulan taksu. Penempatannya adalah pada arah atau zona ruang kaja kangin dan kaja kauh.
Di samping itu bervariasi pula dalam hal pelaksanaan upacara tertentu. Walaupun implementasinya bervariasi namun semua itu bermakna untuk memperoleh kerahayuan. Demikian kebudayaan Bali (parhyangan) bersifat dinamis dan fleksibel, realisasinya sesuai dengan situasi dan kondisi para pendukungnya.
Kata kunci: fleksibel, bervariasi, kerahayuan.
1. Pendahuluan
Manusia dipandang dari sisi budaya pada hakikatnya memiliki sifat yang dinamis dalam arti sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Perpindahan itu cenderung berasal dari daerah perdesaan menuju wilayah perkotaan (urbanisasi). Urbanisasi membawa konsekuensi dengan adat menetap neolokal, yaitu pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman yang baru, tidak
40 mengelompok sekitar tempat kediaman kerabat suami maupun istri (Koentjaraningrat, 1980: 103). Proses perpindahan penduduk dalam arti urbanisasi, juga dapat merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan ( Arnicun; Hartomo, 1990: 248-251).
Urbanisasi terjadi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pekerjaan di luar bertani. Semua itu dominan bisa diperoleh di daerah kota. Sehubungan dengan hal itu, kota juga merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan, untuk dapat mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya (Arnicun;
Hartomo, 1990: 251). Urbanisasi dengan demikian sekaligus dapat merupakan sebuah proses awal terbentuknya kesatuan hidup baru (neolokal/ngarangin) pada daerah tertentu di sekitar kota. Contoh kasus sebagaimana terjadi di Kota Denpasar (perumahan “Green Kori”) yaitu kesatuan hidup baru (kompleks perumahan) yang merupakan salah satu pemukiman para urbanis etnis Bali Hindu dari berbagai daerah di Bali.
Sesungguhnya telah disepakati bersama bahwa kebudayaan sebagai landasan setiap gerak dan langkah pembangunan ke dalam rangkuman visi:
mewujudkan pembangunan Kota Denpasar yang berwawasan budaya yang dijiwai oleh agama Hindu dan dilandasi Tri Hita Karana (Perda Kota Denpasar Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Pola Dasar Pembangunan Kota Denpasar Tahun 2001-2005).
Terkait dengan visi tersebut berikut adat menetap neolokal/ngarangin maka idealnya pada tiap-tiap pekarangan keluarga adalah wajib membuat tempat pemujaan leluhur yaitu kemulan dan taksu, di tempat ini juga dipuja Tri Murti (Bagus, 1969: 8-23). Lebih lanjut kemulan dan taksu letaknya di sudut pekarangan kaja kangin (Gelebet, 2002: 120-121). Akan tetapi unit rumah telah terpola versi pengembang dengan ruang kosong pada bagian depan rumah menjadi kurang sesuai dengan zona ruang dan fungsinya menurut budaya Bali, utamanya dalam rangka mewujudkan jenis dan penempatan wujud fisik parhyangan keluarga masing-masing.
Urbanis etnis Bali Hindu tentunya harus berhadapan dengan lingkungan yang baru dan berbeda dengan lingkungan di tempat asal baik lingkungan supranatural, sosial, maupun alam. Oleh sebab itu, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru agar tetap rahayu dan dapat tampil bercirikan budaya Bali khususnya dalam hal hubungan manusia dengan Tuhan (Ida Sanghyang Widhi).
Lalu, upaya apa yang dilakukan oleh urbanis etnis Bali Hindu di perumahan dalam mengimplementasikan komponen parhyangan demi mendapat kerahayuan yang diyakini bersumber dari-Nya, dan juga agar dapat menampilkan diri bercirikan budaya Bali?
Pertanyaan di atas dijawab atas dasar kenyataan yang terjadi di salah satu wilayah pemukiman para urbanis etnis Bali Hindu yaitu di perumahan ”Green Kori”
Denpasar. Adapun metode yang digunakan dalam rangka pengumpulan data adalah observasi partisipasi (pengamatan langsung dan terlibat dalam kehidupan di perumahan), wawancara, dan kepustakaan.
41 2. Pembahasan
Rumah dalam arti yang utuh, di samping berfungsi untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang intinya sebagai wadah bagi keberlangsungan berbagai aktivitas hidup yang bersifat jasmaniah, adalah juga bersifat rohaniah.
Fungsi rumah, dengan demikian selalu merupakan relasi antara kebutuhan imanen dan transenden (sekala-niskala) sesuai dengan pengertian Tri Hita Karana yang menyerasikan antara aspek geo-sosio dan budaya. Jika kebutuhan sekala-niskala tidak terelasikan satu sama lain akan berakibat kurang baik dalam kehidupan.
Sebagaimana Agung, dkk (1989: 115) menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hal-hal yang bersifat sekala-niskala ini baik sengaja maupun tak sengaja maka warga masyarakat merasakan kebrebehan, artinya dialami kejadian-kejadian yang mengerikan sampai-sampai merenggut jiwa di samping peristiwa lainnya yang dapat mengganggu stabilitas sosial masyarakat.
Pernyataan di atas berdasar cara-cara berpikir elementer yaitu membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras. Hal ini oleh Levi-Strauss disebut oposisi berpasangan (binary opposition) (Koentjaraningrat, 1980: 229). Identik dengan itu, masyarakat Bali mengenal konsep rwa-bhineda, termasuk dalam hal ini adalah dunia sekala-niskala.
Berpegang pada pedoman budaya berikut prinsip keseimbangan antara skala- niskala, diyakini dan dipercaya bahwa hidup dalam kebahagiaan/kerahayuan lahir maupun bathin dapat diwujudkan. Terkait dengan semua pernyataan di atas, upaya yang dilakukan oleh para urbanis etnis Bali Hindu di perumahan dalam mengimplementasikan komponen parhyangan agar dapat memperoleh kerahayuan adalah sebagai berikut.
Berangkat dari ruang kosong yang rata-rata tersedia di depan rumah dan dalam luas relatif terbatas, maka wujud fisik komponen parhyangan keluarga dan penempatannya menjadi beragam/bervariasi. Ada yang berupa kemulan taksu, padma, dan bahkan ada pula yang hanya berupa pelangkiran saja. Penempatannya ada pada arah atau zona ruang utara (kaja), timur laut (kaja kangin), timur (kangin), tenggara (kelod kangin), selatan (kelod), barat daya (kelod kauh), barat (kauh), dan barat laut (kaja kauh) baik secara vertikal maupun horisontal.
Wujud fisik parhyangan keluarga bagi urbanis etnis Bali Hindu di perumahan umumnya ditempatkan secara horisontal, akan tetapi ada juga yang menempatkannya secara vertikal (lantai dua). Penempatan wujud fisik parhyangan keluarga berikut jenisnya baik secara vertikal maupun secara horisontal sangat tergantung dari posisi rumah, ruang kosong yang tersedia, dan kemampuan ekonomi pemiliknya. Khusus penempatan secara vertikal memerlukan biaya tambahan yang relatif banyak. Penempatan wujud fisik parhyangan keluarga (kemulan taksu, padma, dan juga termasuk tugu karang) baik secara vertikal maupun horisontal adalah pada zona ruang di semua arah mata angin (zona ruang utama, madya, dan nista) atau dengan kata lain pada arah luan dan teben.
42 Penempatan wujud fisik parhyangan keluarga secara horisontal dilakukan dengan membagi ruang menjadi tiga bagian secara mendatar dan dipandang bahwa cara seperti itu sebagai suatu pembagian yang tersusun bertinggi-rendah berdasar atas nilai yang terkandung dalam masing-masing bagian ruang. Pembagian tersebut adalah berpedoman pada konsep Tri Mandala yaitu utama mandala, madya mandala, dan nista mandala. Pembagian ruang secara horisontal ini dilakukan dengan meniru pembagian ruang secara vertikal yang berpedoman pada konsep Tri Loka yaitu shuah loka, bhuah loka, dan bhur loka. Kedua cara pembagian ruang seperti itu dipandang mempunyai persamaan nilai yaitu nilai utama pada bagian utama mandala dan shuah loka, nilai madya pada bagian madya mandala dan bhuah loka, dan nilai nista pada bagian nista mandala dan bhur loka.
Sebagaimana diuraikan di atas, penempatan wujud fisik parhyangan keluarga secara vertikal dilakukan semata-mata karena keterbatasan ruang yang tersedia berikut posisi rumah yang telah terpolakan secara seragam oleh pihak pengembang. Upaya ini ditempuh melalui renovasi/modifikasi bangunan rumah dengan mengkonstruksi rumah bertingkat dan menempatkan bangunan suci tersebut pada lantai atas (shuah loka). Hal ini merupakan sebuah cara untuk meletakkan wujud fisik parhyangan keluarga agar tidak terlalu banyak menyimpang dari konsep yang berlaku secara umum, yaitu Tri Mandala yang mengimplikasikan nilai utama, madya, dan nista berdasar prinsip zona ruang luan-teben. Arah atau zona ruang yang disebut luan adalah kaja, dan kangin, sedangkan kelod dan kauh disebut teben. Jadi dalam hubungan ini pada prinsipnya berpedoman pada konsep Tri Angga atau Tri Loka (kepala, badan, dan kaki). Wujud fisik parhyangan keluarga adalah ibarat kepala, oleh karena itu idealnya harus ditempatkan pada zona ruang yang bernilai utama (luan).
Seseorang dapat menempuh cara vertikal dalam hal penempatan wujud fisik parhyangan keluarga sangat tergantung dari posisi rumah dan kemampuan ekonomi keluarga masing-masing. Cara ini umumnya memerlukan biaya relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan konstruksi horisontal. Oleh karenanya, bagi keluarga dengan kemampuan ekonomi cukup memadai maka peluang untuk mengkonstruksi secara vertikal lebih memungkinkan.
Berdasar atas semua uraian tersebut di atas, maka tampak jelas bahwa jenis dan penempatan wujud fisik parhyangan keluarga dalam kehidupan urbanis etnis Bali Hindu di perumahan sangat bervariasi. Di samping itu tampak pula bervariasi dalam hal pelaksanaan upacara tertentu, misalnya upacara pada saat hari raya Galungan. Pelaksanaan upacara dalam hal ini ada yang melaksanakan sehari sebelum Galungan yaitu pada hari Penampahan Galungan, dengan alasan agar pada saat bertepatan dengan hari raya Galungan dapat melakukan persembahyangan di tempat asal dan dapat berkumpul dengan keluarga luas. Beragam penampilan seperti itu sesungguhnya berawal dari kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
43 Kemampuan beradaptasi yang berakhir dengan penampilan bervariasi, merupakan suatu hasil dari strategi adaptasi atau hasil dari upaya dalam hal reproduksi budaya. Artinya, bahwa hal tersebut merupakan hasil dari proses aktif pemangku kebudayaan untuk menghadirkan masa lalu ke dalam kehidupan masa kini, atau hasil dari proses penegasan identitas budaya oleh pendatang yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya, menyangkut bagaimana “kebudayaan asal”
dipresentasikan dalam lingkungan yang baru. Dalam proses pembentukan identitas, meskipun ekspresi mereka berbeda, namun dasar reproduksi budaya lebih disebabkan oleh usaha menghadirkan masa lalu ke dalam kehidupan masa kini (Abdullah, 2006: 42-52).
Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Benyamin dan Barthes dengan mengambil contoh karya seni, bahwa secara prinsip sebuah karya seni selalu dapat direproduksi. Artifak buatan manusia selalu dapat ditiru oleh siapapun. Terkait dengan benda tiruan menurut Barthes, bahwa bentuk luar bisa beragam: selalu produk-produk baru akan tetapi selalu sama maknanya (Benjamin dan Barthes dalam Piliang, 1999: 38-39). Demikian pula halnya bervariasi wujud fisik dan penempatan parhyangan keluarga di lingkungan perumahan namun semuanya dimaknai oleh urbanis etnis Bali Hindu sebagai perwujudan untuk memperoleh kerahayuan.
3. Simpulan
Mobilitas manusia (etnis Bali Hindu) dimanapun berada tidak dapat ditiadakan. Keberadaan setiap manusia tentu tidak bisa lepas dari budaya yang dipangku, maka dengan demikian budaya senantiasa mengikutinya. Demikian juga budaya Bali selalu mengikuti para urbanis etnis Bali Hindu ketika menetap atau bertempat tinggal di perumahan walaupun harus diimplementasikan secara beragam/bervariasi.
Implementasi budaya Bali yang bervariasi tampak dalam hal zona ruang penempatan wujud fisik parhyangan keluarga ( kemulan taksu, padma, dan termasuk tugu karang) baik secara vertikal maupun horisontal, berikut beragam dalam hal pelaksanaan upacara tertentu. Semua itu merupakan suatu usaha reproduksi budaya yang dapat diwujudkan melalui kemampuan perilaku adaptif dan strategi adaptasi bagi urbanis etnis Bali-Hindu dalam rangka mencapai kerahayuan.
Walaupun urbanis etnis Bali Hindu di perumahan mengimplementasikan budaya secara beragam/bervariasi, akan tetapi tetap dapat merepresentasikan diri sebagai penghuni perumahan bercirikan budaya Bali dan dapat dikenal oleh orang banyak. Demikian hal tersebut menunjukkan keberadaan budaya Bali bersifat dinamis dan fleksibel dimana implementasinya tergantung pada posisi rumah, ketersediaan ruang kosong, kemampuan finansial pemilik rumah, dan keterikatan pada tempat asal masing-masing.
44 Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Agung, I Gusti Ngurah, dkk, 1989. Pola Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Bali. Arinton Poedja (ed). Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Bagus, I Gusti Ngurah, 1980. “Kebudayaan Bali” dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Koentjaraningrat (ed). Jakarta: Jambatan.
Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Arintor Puja (Penyunting). Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian Dan Pemanfaatan Sejarah Dan Tradisi Bali.
Hartomo, H dan Aziz, Arnicun, 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Koentjaraningrat, 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI- Pres.
Piliang, Yasraf Amir, 1999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS