• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ISLAM DAN MORALITAS OLEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM ISLAM DAN MORALITAS OLEH"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ISLAM DAN MORALITAS

OLEH

NISWATUN HASANA

INSTITUT AGAMA ISLAM QOMARUDDIN GRESIK ABSTRAK

Penulis akan membahas Moral sebagai akhlaq karimah, pengertian akhlaq karimah dan kedudukannya sebagai misi utama kenabian, elaborasi ajaran tentang akhlaq karimah ke dalam pemikiran fiqh, hukum Islam dalam penetapan standar moral.

Jenis penelusuran adalah kualitatif. Data yang Dikumpulkan adalah dokumen-dokumen karya ilmiah tentang hukum islam dan moral. Sumber Data yang dihimpun adalah tentang Hukum Islam dan Moralitas. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, menelaah dan menganalisa sumber-sumber data berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan, dan kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan konprehensif. Teknik analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan pemaknaan terhadap data-data yang sudah tersistematisasi.

Hipotesis yang dapat diambil adalah bahwa Islam sebagai agama moral mewujudkan nilai-nilai moral tersebut kedalam semua hukum syariatnya. Kandungan nilai moral dalam hukum islam yang dimaksud dapat terbaca dengan melakukan pembacaan secara konperhensif serta yuniversal terhadap hukum islam dan kaidah-kaidahnya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Moralitas berperan sebagai pengatur dan petunjuk bagi manusia dalam berprilaku agar dapat dikategorikan sebagai manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku yang buruk.

Standar moral hukum dalam islam di landaskan pada kewahyuan; berupa al-Qur‟an yang terimplementasi dalam bentuk sifat dan tingkah laku Nabi SAW. standar moral ini yang bertumpu pada kewahyuan dan sinergis dengan akal. Sehingga moral ideal adalah yang di pandang baik menurut kewahyuan dan akal.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan menggunakan jenis penelitian ground theory, , Sumber data yang peneliti gunakan adalah sumber data yang berasal dari (person) berupa orang,

(place) berupatempat dan, berupa arsip dokumentasi, teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan teknik dokumentasi. Teknik Analisis data menggunakan reduksi data, penyajian keabsahan data, Conclusing Drawing/ verification.1

1 QOMARUDDIN http://ejournal.kopertais4.or.id/pantura/index.php/jipi/article/view/3575

(2)

PENDAHULUAN

Hubungan antara hukum dan moral dalam tinjauan falsafi tidak menjadi perhatian yang demikian serius dalam literatur Islam selama ini, kecuali barangkali oleh para pemikir Islam belakangan, Arkoun misalnya. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang berlangsung dalam filsafat hukum Barat. Dalam tradisi Barat, dikenal beberapa macam gagasan tentang hubungan antara hukum dan moral.Hubungan-hubungan tersebut pada pokoknya terbagi ke dalamdua golongan yaitu gagasan yang mendukung dan menentang adanya hubungan antara hukum dengan moral. Di Dunia Barat, semenjak zaman Plato soal ini telah diperbincangkan dan mungkin hingga saat ini orang belum bisa sepakat tentang satu kesimpulan mengenai hubungan tersebut.

Problem hukum dan moralitas saat ini yang menjadi subyek perdebatan yang hangat dikalangan umat Islam. Dalam Islam moralitas menjadi perhatian yang sangat pentingPara filosof terlibat dalam diskusi yang intens, berkepanjangan dan melelahkan mengenai topik tersebut selama berabad-abad. Mereka berdebat tentang apakah moral menjadi unsur penting dari hukum dan apakah ajaranajaran moral harus diindahkan oleh norma hukum.

Untuk itulah di sini akan dibahas tentang Hukum Islam Dan Moralitas. Meliputi Moral sebagai akhlaq karimah, pengertian akhlaq karimah dan kedudukannya sebagai misi utama kenabian, elaborasi ajaran tentang akhlaq karimah ke dalam pemikiran fiqh, hukum Islam dalam penetapan standar moral.

PEMBAHASAN

(3)

A. Moral sebagai Akhlaq Karimah

Kata “moral” berarti kesusilaan atau budi pekerti.

2

W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa moral adalah “ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan”.

3

Ada padanan kata itu dalam Islam yaitu al-akhlaq atau al-adab. Menurut al- Ghazali:“akhlak merupakan tabiat jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan- perbuatan dengan perwatakan tertentu secara serta merta tanpa pemikiran dan pertimbangan. Apabila tabiat tersebut melahirkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan agama, tabiat tersebut dinamakan akhlak yang baik.Apabila melahirkan perbuatan- perbuatan yang jelek, maka tabiat tersebut dinamakan akhlak yang jelek.”

4

Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral(moralitas). Sedang padanan kata etika dalam bahasa Arab adalah al-adab.Umat Islam biasanya menyamakan saja antara etika, moral dan akhlak.Kesemuanya memiliki kesamaan, yakni berhubungan dengan nilai baik dan buruk dari tindakan manusia, namun masing-masing memiliki perbedaan dalam pengertian.Secara singkat, jika moral lebih condong kepada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, maka etika berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk.Jadi bisa dikatakan bahwa etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau „ilm alakhlaq),sedangkan moral adalah praktiknya.Namun al-Ghazali membedakan antara etika/al-adab dengan alakhlaq.Al-adab adalah tata krama baik dan buruk yang sudah dibakukan, sedangkan al-akhlaq adalah watak kejiwaan yang paling dalam, yang melahirkan perbuatan serta merta tanpa melibatkan pertimbangan pemikiran.

5

Al-Ghazali selanjutnya berpandangan bahwa induk atau prinsip dari budi pekerti ada empat; kebijaksanaan, keberanian, menjaga diri dankeadilan.Maksud kebijaksanaan adalah perilakujiwa yang dapat menemukan kebenaran dari yang salah dalam semua perbuatan yang dilakukan.Adil adalah perilaku jiwa yang dapat mengatur jiwa amarah dan syahwat dan mengarahkannya kepada yang dikehendaki oleh hikmah dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan.Keberanian adalah kekuatan amarah yang

2Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 145

3Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam DEPAG RI, 1985), 7

4Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya‟„ „Ulum al-Din,Vol. III (Kairo: Dar al Hadith, 1994), 86

5Abi Bakr Jabir al-Jaziri, Minhaj al-Muslim, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‟Ulum wa al-Hukm, t.t.), 127. Lihat al-Ghazali, Ihya‟, 231

(4)

tunduk pada akal dalammenjalankannya.Menjaga diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan agama.

6

B. Pengertian Akhlaq Karimah dan Kedudukannya sebagai Misi Utama Kenabian Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq ) قلاخأ ( yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq ) كٍخ ( , yang artinyabudi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata ini berasal dari kata khalaqa ) كٍخ ( yang berarti penciptaan.Derivasinya ialah kata khaliq ) كٍخ ( yang berarti Pencipta, makhluq ) قٍٛخِ ( artinya yang diciptakan, dan khalaq ) كٍخ ( artinya penciptaan.

7

Kesamaan akar kata seperti ini mengisyaratkan bahwa selain akhlak tercakup pengertian tercapainya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya bisa mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan pada kehendak Khaliq. Dasar pengertian seperti ini, akhlak saja merupakan hubungan antar sesame manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.

8

Secara terminology, ada beberapa definisi tentang akhlak, antara lain : 1. Menurut Ibrahim Anis :

خخساس سفٌٕا ٝف خئي٘ ٓع حسبجع كٍخٌبف ,

حشىف شيغ ِٓ خجبح شيغ ِٓ شسيٚ خٌٛٙسث يبعفلأا سذصر بٕٙع خيؤسٚ

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah perbuatan- perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.

9

2. Menurut „Abd al-Karim Zaidan :

ُحَجْمَي َٚ ِْبَسِْٔ ْلْا ِشْظَٔ ِٝف ًُْعِفٌْا ُُٓسْحَي بَِٙٔا َزْيِِ َٚ بَِ٘ء َْٛض ِٝف َٚ ِسْفٌَّٕا ِٝف ِحَّلاِمَزْسٌُّا ِدبَف ِّصٌا َٚ ِٝٔبعٌَّْا َِِٓ ٌخَع ُّْْٛجَِ

ََُّث ِِْٓ َٚ ,

َُْٕٗع َُُسْحُي َْٚأ ْْٗيٍََع ََُّذَمُي

“(Akhlak) adalah kumpulan nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menlai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian terus melakukan atau meninggalkannya”.

10

3. Menurut Ahmad al-Raisuniy

ش َِّزْسٌُّا ٍََِّٝعٌْا ِن ٍُُّْٛسٌا ِخَطِسا َِٛث بََْٕٙع ُشِّيَعٌُّا ِخَّيِسْفٌَّٕا ِيبَص ِخٌْا َِٓع ٌح َسبَجِع ُقَلاْخَلأا

6Ibid., 88.

7 M. Ridlwan Nasir (ed.), Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006), 108.

8 Harun Nasution, et all, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djembatan, 1992), 98.

9 Ibrahim Anis, al-Mu‟jam al-Wasith, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1972), 202.

10„Abd al-Karim Zaidan, Ushul al-Da‟wah, (Baghdad: Jam‟iyyah al-Amani, 1976), 75.

(5)

“Akhlak adalah sifat-sifat jiwa, yang terejawantahkan pada perilaku (manusia) secara berkelanjutan”.

11

Dari ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga ia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan adanya dorongan dari luar dirinya.Dari sini dapat dikatakan, akhlak merupakan tabiat dasar dari kejiwaan manusia; antara kebaikan dan keburukan, yang terejawantahkan dalam bentuk perbuatan.

Akhlak memuat sifat kebaikan dan sifat keburukan sekaligus.Pengejawantahan sifat- sifat jiwa dalam bentuk kebaikan disebut dengan akhlak, dan pengejawantahannya dalam bentuk keburukan juga disebut akhlak.Tetapi kata akhlaq atau khuluqapabila dikatakan tanpa sifat atau batasan, maka pada umumnya dimaksudkan untuk akhlak yang memuat sifat kebaikan dan kemuliaan.Pengertian inilah yang yang sering dimaksudkan dalam setiap perbincangan perihal akhlak atau moral.

Sungguh merupakan hal yang dimaklumi, apabila manusia dalam perilakunya sehari- hari mengalami pergantian perilaku antara yang negatif dan positif.Namun secara mendasar, perilaku kebaikan dari seorang manusia lebih mendominasi dan lebih banyak memberikan daya tarik, yakni yang berasal dari kejiwaannya yang paling dalam.Maka wajar jika manusia terkadang berkata jujur dan terkadang pula berkata dusta, tetapi kejujuran itu merupakan watak dasar yang lebih disukai dalam naluri hatinya daripada kebohongan yang bertentangan dengan naluri hatinya.

Untuk itu, benar jika dikatakan bahwa akhlak adalah fitrah kemanusiaan.Sesungguhnya fitrah itu merupakan sumber pertama atas munculnya akhlak, macam-macam akhlak, dan perilaku akhlak.Tetapi memang terkadang fitrah seorang manusia yang berakhlak mengalami pergeseran karena sebab-sebab eksternal. Oleh sebab itulah, diturunkan agama kepada sekalian umat manusia agar tetap bisa berdiri di atas perilaku berakhlak sebagaimana fitrahnya, karena agama akan bertindak sebagai pengontrol, pembina dan pengatur dari setiap perilakunya.

12

Agama secara substansial ialah berisikan akhlak dan moral, sebagaimana Anas ibn Malik pernah berkata : “Tidak pernahnya aku dinasehati Nabi Allah SAW. kecuali ia bersabda :

ٌَُٗ ٌخَٔبََِأ َلا ٌَِّْٓ ٌْبَّْيِإ َلا ٌَُٗ ٌذَْٙعَلا ٌَِّْٓ ٌْٓيِدَلا َٚ ,

( ذّحأ ٖاٚس )

11 Ahmad al-Raisuniy, al-Kulliyyat al-Asasiyyah li al-Shari‟ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 107.

12Ibid., 109.

(6)

“Tiada iman bagi seseorang yang tiada amanah baginya, dan tiada agama bagi seseorang yang tiada janji baginya”. (HR. Ahmad)

Demikian makna akhlak untuk agama dan risalah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Nabi yang sangat terkenal :

ِقَلاْخَ ْلأا ََ ِسبَىَِ ََُِّّرُ ِلأ ُذْثِعُث بََِّّٔإ (

هٌبِٚ ُوبحٌاٚ ٝمٙيجٌا ٖاٚس )

“Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. al-Baihaqiy, al- Hakim dan Malik)

Moral dan akhlak sangat penting dalam kehidupan umat manusia di dunia ini.Oleh karena itu Allah SWT.sengaja mengutus Nabi Muhammad SAW. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dan Allah SWT sendiri sudah menjelaskan dengan firman-Nya yang berbunyi :

ٍُْيِظَع ٍكٍُُخ ٍََٝعٌَ َهَِّٔإ َٚ

(

ٍُمٌا : ) 4

“Sungguh engkau (Ya Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS.

Al-Qalam: 4)

Kemudian Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengambil contoh teladan dari moral Nabi Muhammad SAW.dengan firman-Nya yang berbunyi:

خٕسح ٌح َْٛسُأ الله يٛسس ٝف ُىٌ ْبو ذمٌ

, حشخلأا َٛيٌاٚ الله ٛجشي ْبو ٌّٓ

, اشيثو الله شورٚ

. ( ةازحلأا :

) 21

“Sungguh bagimu pada Rasulullah (Nabi Muhammad ) ada contoh teladan yang baik, bagi orang yang mengharap akan Allah, dan akhirat serta banyak ingat kepada Allah”.

(QS. Al-Ahzab: 21)

Dan, juga dalam firman-Nya yang lain Allah SWT memuji moral Nabi Muhammad SAW. dengan firman-Nya yang berbunyi :

ٌُٙشفغزساٚ ُٕٙع اٛفعبف هٌٛح ِٓ اٛضفٔ لا تٍمٌا بظيٍغ بظف ذٕو ٌٛٚ ذٕو ٌٛٚ ٌُٙ ذٌٕ الله ِٓ خّحس بّجف شِلأا ٝف ُ٘سٚبشٚ

, الله ٍٝع ًَّوٛزف َذِزع ارإف ,

ٓيٍوٛزٌّا تحي الله ْا .

( ْاشّع يا :

) 159

“Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu (Ya Muhammad) berlaku lunak terhadap mereka.Kalaulah kamu bersikap kasar, berhati keras, tentulah mereka telah menjauh dari sisimu.Maka beri maaflah kepada mereka dan minta ampun untuk mereka serta bermunyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.Apabila kamu sudah bulat tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal". (QS. Ali Imran: 150)

Dari uraian ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis di atas, memberikan penjelasan tegas

bahwa moral dan akhlak merupakan prinsip Islam dan tujuan utama dari risalah kenabian

Muhammad SAW.yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ibnu „Ashur, bapakmaqaṣid

shari‟ah kontemporer, saat merumuskan pilar-pilar sosiologi Islam dalam bukunya Uṣul al-

(7)

Nidham al-Ijtima‟iy fi al-Islammenyatakan : sesungguhnya seruan dakwah teragung yang dibangun oleh Islam ialah berupa makarimul akhlaq dan pembinaannya. Hal itu merupakan sebuah pertolongan untuk membina, menyempurnakan, dan menguatkan kejiwaan manusiadengan mengikuti petunjuk risalah dan yang mampu ditangkap oleh akal sehat terhadap hakikat maknanya, relevansinya, dan manfaatnya.

13

C. Elaborasi Ajaran tentang Akhlaq Karimah ke dalam Pemikiran Fikih

Syariat Islam diturunkan sebagai rahmat untuk umat manusia sebagaimana Allah berfirman : “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya′: 107). Dan Allah telah berfirman :

“Wahai sekalian manusia telah datang kepada kalian nasehat dari Tuhan kalian yang menjadi obat dalam hati, sebagai petunjuk, dan rahmat untuk kaum beriman” (QS. Yunus: 57). Oleh karena itu, Islam memproyeksikan hukum-hukumnya ke arah tiga hal umum, yaitu :

14

1. Pembinaan individu; agar dapat menjadikan individu yang baik sebagai anggota masyarakat, sehingga nantinya tidak melakukan keburukan dalam berinteraksi sosial.

Pembinaan individu ini diwujudkan dalam bentuk penetapan syariat ibadah dengan ragam-jenisnya, yang semuanya mengarah kepada pembinaan jiwa individu untuk membentuk masyarakat yang muliah. Pensyariatan ibadah ini merupakan media pembersihan jiwa dari ragam kotoran jiwa pada diri anak adam, agar nantinya tidak sampai berbuat kezaliman dan keburukan dalam berinteraksi dengan pihak lain.

Sebagaimana Allah berfirman tentang tujuan ibadah salat : “Sesungguhnya salat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar” (QS. Al-„Ankabut: 45).

2. Menegakkan keadilan bagi umat Islam; yaitu keadilan di antara mereka, dan keadilan antara mereka dengan umat yang lain. Nilai keadilan Islam ini teraplikasi pada hukum-hukumnya, pengadilan-pengadilan dan kesaksian-kesaksian, serta keadilan dalamberinteraksi dengan umat selain umat non-Islam. Sebagaiana Islam mewajibkan untuk berlaku adil dalammemenuhi hak-hak sesama, seperti dalam urusan harta benda, Rasul bersabda : “Perlakukankah di antara manusia menurut apa yang harus engkau perbuat”. Keadilan Islam juga teraplikasi dalam urusan social- kemasyarakatan, yakni dengan mendudukkan semua orang dalam hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum.

13 Muhammad Thahir ibn „Ashur, Uṣul al-Nidham al-Ijtima‟iy fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Salam, 2006), 120.

14 Muhammad Abu Zahrah, Uṣul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabiy, 2004), 338-359.

(8)

3. Kemaslahatan merupakan tujuan utama bagi semua hukum Islam; Tidak ada suatu perkara yang disyariatkan Islam dalam al-Quran dan Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan yang hakiki di dalamnya.

Dari ketiga hal yang menjadi motivasi hukum Islam di atas, diwujudkan pada bentuk- bentuk aturan hukum yang ada.Pembinaan individu merupakan upaya untuk membentuk peradaban umat manusia yang ideal, dan dengan bermoral, guna mencapai kesejahteraan hidup.Untuk itu, para pakar teori hukum Islam mengelaborasikan ajaran tentang akhlaq karimah ini ke dalam kerangka berpikir fikih; berupa kaidah-kaidah ijtihad yang mereka konsepkan.

Di antaranya sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Ishaq al-Shatibiy, ia menegaskan bahwa upaya penetapan hukum Islam(baca; ijtihad) terbangun atas dua landasan, yaitu : pertama, pengetahuan terhadap tujuan-tujuan utama syariat Islam (maqaṣid shari‟ah);berupa kemaslahatan hakiki yang bukan sekedar obsesi atau keinginan manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup yang lebih baik, Al-Shatibiy mengatakan :

“Jika seseorang dalam pemahamannya telah mencapai pada tujuan-tujuan yang diinginkan oleh Shari‟ dari tiap-tiap ketetapan syariat yang ada, dan dari tiap-tiap bab dari bab-babnya, maka ia akan mencapai kedudukan sebagai penerus (khalifah) Nabi SAW.dalammengajarkan, menfatwakan, dan menetapkan hukum sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.”.

Dan kedua, tetap berpijak pada konsepsi istinbath hukum; dengan tetap memiliki pengetahuan terhadap linguistik Arab dan pemahaman terhadap hukum-hukum al-Quran, Sunnah, Ijma‟ (konsensus ulama), perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan konsepsi Qiyas (kaidah analogi) sebagaimana hal tersebut merupakan perangkat penetapan hukum.

15

Dengan pernyataan serupa diketengahkan oleh „Allal al-Fasiy dalam buah pikirnya Maqasid al-Shari‟ah al-Islamiyyah wa Makarimuha (edisi revisi 1991),menuliskan : “Tidak diragukan lagi, bahwa syariat Islam terbangun demi pencapaian maslahat secara umum pada segala (hukum) yang terkait dengan perbuatan manusia”. Lanjut al-Fasiy : “maslahat yang dimaksud bukan sekedar untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi pribadi individu maupun sosial dengan upaya tertentu, walaupun bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan kaidah-kaidah moral”.

16

15 Muhammad Abu Zahrah, Uṣul al-Fiqh, 347-348.

16„Allal al-Fasiy, Maqasid al-Shari‟ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, cet. V, (Ribath: Dar al-Gharb al-Islamiy, 1993), 193.

(9)

Rupa-rupanya al-Fasiy hendak menganalogikan prinsip maslahat yang menjadi tujuan hukum Islam dengan substansi hukum Islam itu sendiri, yakni sebagai hukum Tuhan.Secara substansial hukum Tuhan diturunkan untuk mengatur perilaku manusia agar berperilaku dengan etika terpuji demi tujuan kesejahteraan dalam hidup mereka sebagai umat yang paling berperadaban.Jika etika-moral merupakan identitas bagi manusia berperadaban yang kembali kepada fitrahnya, maka Islam disifati sebagai agama fitrah sebagaimana agama-agama Allah yang diturunkan sebelumnya.Untuk itu, segala hukum Allah memerintahkan untuk berperilaku yang ma‟ruf; yakni berperilaku secara baik-moral dalam pandangan fitrah manusia yang juga merupakan kesatuan fitrah dari agama-agama Allah yang bernilai kemanusiaan.

17

Hukum Islam memproyeksikan spirit moral pada seluruh aturan hukum yang ada, mulai dari masalah ibadah, hukum perdata (mu‟amalat), hukum pidana („uqubat), hukum rumah tangga (ahwalshahshiyyah), hukum internasional („alaqahal-Dawliyyah), bahkan pada hukum ketata-negaraan (Shu′unIdariyyahwaDusturiyyah).

18

Inilah di antara yang menjadi karakteristik hukum Islam yang azas-azasnya bersumber dari kewahyuan.Sedangkan bagi hukum wadla‟iy (hukum buatan manusia) tidak menetapkan persoalan ibadah dan ketakwaan yang terkait dengan upaya mendasar dalam membina moral individu dan sosial. Sementara hal yang menjadi perhatian pertama dalam penetapan hukumnya sebelum penciptaan aturan- aturan hukum yang lain adalah mengatur interaksi sosial yang dipandang secara empiris (dhahir). Oleh karena itu, hukum wadla‟iysama sekali tidak memuat spirit spiritual; berupa ketakwaan dan kontinuitas ibadah (istiqamah), yang berfaedah besar dalam pembentukan pribadi ideal.

19

Apabila kita menengok pada hukum Islam maka akan kita temukan spirit moralitas pada aturan-aturan hukumnya, sehingga dapat dikatakan hukum Islam memiliki dua aspek penegakan, yaitu aspek penegakan hukum yang bersifat religi (al-I‟tibar al-Diyaniy) dan

17Pandangan al-Fasiy tentang “moralitas sebagai tujuan dari hukum Islam” merupakan statement yang didasarkan kepada logika alamiah, bahwaIslam sebagai syariat Allah membawa kesatuan misi dari syariat- syariat yang diturunkan sebelumnya yang berkarakteristik sesuai dengan fitrah kemanusiaan demi terwujudnya manusia berperadaban.Oleh karena itu, segala aturan syariat; baik hukum perintah ataupun larangan, menunjuk pada prinsip moralitas yang ditegakkan demi terwujudnya puncak kesejahteraan sehingga dapat dikatakan sebagai manusia berperadaban. Logika alamiah ini didasarkan pada ayat al-Quran : ٓع ضشعأٚ فٛىعٌّبث شِأٚ ٛفعٌا زخ

ٓيٍ٘بجٌا , yang dalam interpretasinya mengandung kaidah induk dari segala perintah dan larangan dalam hukum Islam, yakni seluruhnya berprinsip moralitas.Baca lebih jauh interpretasi ayat dalam- „Allal al-Fasiy, Maqasid al-Shari‟ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, 195-198.

18Yusuf al-Qaradlawiy, al-Fiqh al-Islamiy bayna al-Ashalah wa al-Tajdid, cet. II, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), 11.

19 Ahmad al-Raisuniy, al-Kulliyyat al-Asasiyyah li al-Shari‟ah al-Islamiyyah,118.

(10)

aspek penegakan hukum yang bersifat perundangan (al-I‟tibar al-Qadla‟iy).

20

Perhatian Islam dalam membina moral secara konkret diwujudkan pada perintah-perintah syariat dan larangan-larangannya, di antaranya sebagai berikut :Dalam salat terdapat kekhusu‟an, kekhudlu‟an, ketenangan dan ketenteraman jiwa. Sebagaimana dikatakan : ُخَٕ ْيِىَّسٌا ُُُىْيٍََع َٚ بَ٘ َّشَلَأَف ُسبَلٌِْٛا َٚ (maka tegakkanlah, maka bagi kalian suatu ketenangan dan ketenteraman).Dalam ibadah zakat terdapat muru′ah (sikap hati-hati terhadap harta yang remang-remang hukumnya) dan kemuliaan, sebagaimana firman Allah : َٜرَلأْا َٚ ٌَِِّّٓبِث ُُْىِربَلَذَص ا ٍُْٛ ِطْجُرَلا ا ََُِْٕٛأ َْٓيِزٌَّا بَُّٙيَأ بَي (QS. Al-Baqarah: 264), dan : (QS. Al-Insan: 9).

21

Sedangkan dalam persoalan hukum selain ibadadah, sepertikafarat (denda atas pelanggaran) memiliki tujuan pendidikan moral berupa rasa tanggung-jawab atas konsekuensi ketika meninggalkan kewajiban.Dalam larangan minuman keras, pelakunya dibebani hukuman cambuk sebanyak empat puluh cambukan sebagai bentuk pendidikan demi pemeliharaan akal sehat yang merupakan kunci penegakan mora.

22

D. Hukum Islam dalam Penetapan Standar Moral

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, nilai moral yang terdapat dalam hukum Islam sejiwa dengan tabiat kemanusiaan, bahkan dapat dikatakan “seimbang” dengan kemanusiaan.Namun hal ini bukan berarti dipahami bahwa standar moral di sini bergantung pada penilaian manusia.Sebab, dalam jiwa manusia terdapat unsur hawa nafsu yang memiliki daya tarik kepada hal-hal negatif. Suatu tabiat kemanusiaan juga bisa muncul dari tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang, baik bernilai positif maupun negatif, keduanya sama-sama akan membentuk tabiat tersebut. Oleh karena itu, manusia membutuhkan tuntunan Tuhan, berupa ajaran agama yang memuat nilai moral yang sejiwa dengan sifat kemanusiaan secara universal.

Mengenai hal tersebut Prof. John Oman yang dikutip oleh Dr. Faisal Ismail menyatakan : “If religion without morality lacks a solid earth to walk on, morality without religion lacks a wide heaven to breath in” (jika agama tanpa moralitas, kekurangan tanah untuk berjalan diatasnya, jika moralitas tanpa agama, kekurangan surga langit untuk bernafas).

23

Pernyataan ini berlaku untuk semua agama, termasuk agama Islam yang secara universal memuat nilai seluruh agama Samawi.Sesungguhnya merosotnya moral adalah

20 Yusuf al-Qaradlawiy, Madkhal li al-Dirasah al-Shari‟ah al-Islamiyyah, cet. VI, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009), 103.

21 Ahmad al-Raisuniy, al-Kulliyyat al-Asasiyyah li al-Shari‟ah al-Islamiyyah,119-120.

22Yusuf al-Qaradlawiy, Madkhal li al-Dirasah al-Shari‟ah al-Islamiyyah, 103-106.

23 Khairul Anwar, Membangun Moral di Abad Global, dalam artikel Islami, tanggal 15 Juni 2008.

(11)

hilangnya keyakinan (iman) terhadap Tuhan, hari akhir dan balasan surga-neraka.Agama yang telah diberikan Tuhan sebagai pembimbing ditinggalkan begitu saja, sehingga norma- norma yang mengatur perilaku manusia dilupakan.

Hakekat agama secara global dengan muatanhukum-hukumnya memiliki perhatian serius terhadap moralitas atau akhlak.Untuk itu dikatakan “Sesungguhnya agama seluruhnya adalah akhlak, barangsiapa yang tambah pada akhlaknya maka tambah dalam agamanya”. Di dalam hadis diriwayatkan bahwa Sayyidah A‟isyah pernah ditanya perihal akhlak Rasulullah, kemudian beliau menjawab : “Akhlak beliau adalah al-Quran”. Dari keterangan ini memberikan makna terdapatnya nilai-nilai moral yang secara universal terkandung di dalam al-Quran.

24

Maka, dapat dikatakan bahwa standar moral akhlak Rasulullah yang berpijak pada standar akhlak dalam al-Quran.

Mahmud Dhaoudi, pakar sosiologi dari Universitas Tunisia, mengkritik pandangan mazhab positivis-empirik. Ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan positivis modern dirasakan tidak menyenangkan dan tidak memadai untuk memecahkan masalah-masalah moral kemasyarakatan dan isu-isu nilai yang tidak bias diukur oleh standar obyektif.

Konsekuensinya, intervensi dari wahyu agama dengan adanya pengetahuan absolut berfungsi sebagai pelengkap dari pengetahuan yang dibuat oleh manusia, yang serba terbatas ruang lingkupnya.

25

Dalam konteks inilah hukum Islam berpijak. Hal ini didasarkan pada alasan berikut ini:

Pertama,dalam epistemologi bayani(teologi Islam), segenap aktivitas didominasi oleh otoritas teks (wahyu) sebagai sumber utama kebenaran. Sedangkan porsi untuk akal sebagaimana diungkapkan oleh Muhyar Fanani, hanya sekitar + 0-12,5 persen.

26

Penggunaan yang terlalu dominan terhadap epistemologi ini dianggap telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman, padahal permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat manusia, khususnya umat Islam semakin kompleks dan beragam.Metode kasyf (metafisika) dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim „irfaniyyun (intuitif).

Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab

24Ahmad al-Raisuniy, al-Kulliyyat al-Asasiyyah li al-Shari‟ah al-Islamiyyah, 110.

25Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum:Esai-esai Ilmiah untuk Pembauran (Yogyakarta : Madyan Press, 2002), h. 140.

26Muhyar Fanani, Epistemologi Ilmu Ushul al-Fiqh: Sebuah Refleksi Filosofis Perbandingan antara al-Ghazali dan al-Syatibi, Tesis Pascasarjana IAIN SunanKalijaga, Yogyakarta, 1999, h. 54.

(12)

yang mendahuluinya, akan mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis danterjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran

pola fikir manusia.

27

Epistemologi burhani (rasional)berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Dengan demikian, perpaduan antara fikiran yang brilian yang dipandu dengan hati yang jernih, akan menjadikan iptek, termasuk didalamnya ilmu hukum, yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi (terasing) dari lingkungannya.

Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern ini terjadi karena iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki.Mereka menuhankan iptek di atas segala-galanya. Sedangkan potensi rasa (jiwa) mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada yang hilang dalam diri mereka.Keseimbangan antara fikiran (fikr) dan rasa (dzikr) ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia, ia tidak akan dapat menciptakan sesuatu. Keduanya, fikr dan dzikr adalah pilar peradaban yang tahan bantingan dalam situasi dan kondisi seperti apapun.

Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yangberpegang teguh kepada dua pilar ini disebut al-Qur‟an sebagai ululalbab, ulul abshar.Mereka, di samping mampu mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu mengembangkan kearifan yangmenurut al-Qur‟an dinilai sebagai khairan katsiran.

Kedua, dalam konteks hukum Islam, al-Jabiri memasukkan teologi dan fiqh dalam epistemologi bayani(logika).Menurut penulis, sangat tidak memadai bila hukum Islam hanya dimasukkan pada epistemologi bayani sebagaimana yang dipahami al-Jabiri.Benar, fiqh oleh al-Jabiri dikategorikan dalam epistemologi bayani, namun fiqh jelas berbeda dengan epistemologi hukum Islam.Yang pertama adalah produk, sementara yang kedua adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menentukan produk tersebut. Dengan demikian, keduanya tidak mungkin disamakan atau dianggap sama. Keduanya jelas berbeda.Akan tetapi memiliki hubungan yang sangat erat.

27Anom S. Putra dkk, “Revolusi Nalar Islami: Menangguhkan Teks, Mencuri Subyek”, dalam Gerbang: Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Edisi 02, Th. II,1999, h. 26

(13)

Dimasukkan dalam kategori epistemologi „irfani, hukum Islam juga sangat susah.Hal ini terjadi karena hukum Islam tidak melulu berurusan dan bersumber dari hal-hal yang bersifat wujdani dan hati nurani manusia.Hukum Islam sangat erat hubungannya dengan interaksi yang bersifat sirkular, artinya kajian hukum Islam mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan antara manusia dengan yang lainnya.

Apabila dimasukkan dalam epistemologi burhani juga dianggap kurang memadai.Sebagaimana dalam pemahaman al-Jabiri tentang epistemologi burhani ini, yang dijadikan sebagai sumber adalahrealitas alam, sosial, dan humanitas.Metode yang dapatdikembangkan adalah abstraksi dan analisis.Pendekatan yang sering digunakan adalah filosofis dan saintifik(menurut ilmu pengetahuan). Hukum Islam dalam hubungannya dengan epistemologi ini, secara nyata memang tidak dapat dipisahkan karena memiliki sumber yang sama. Akan tetapi sekali lagi hukum Islam tidak hanya berbicara dan bersumber dari realitas alam, sosial dan humanitas belaka. Hukum Islam tidak akan mampu melepaskan diri dari ayat-ayat al-Qur‟an dan pengetahuan Tuhan yang diperoleh melalui wujdan dan hati nurani manusia.Dengan demikian kurang pas bila hanya dimasukkan dalam epistemologi ini.Barangkali hukum Islam cukup layak untuk dijadikan sebagai sebuah epistemologi tersendiri yang mencakup ketiga epistemologi al-Jabiri di atas.Dalam hal ini bisa disebut dengan epistemologi jama‟I atau epistemologi komprehensif, artinya hukum Islam merupakan sebuah epistemologi tersendiri yang disebut dengan epistemologyjama‟i atau epistemologi komprehensif.

Ketiga, dalam ajaran Islam, pembentukan moralitas masyarakat terjabar secara komprehensif dan sistematis.Manusia memang hidup dalam tatanan yang empiris dan berkembang, tetapi tidak mungkin bisa terlepas dari kategori jasmani dan rohani.Maka pembentukan tatanan sosial atau masyarakat (hukum), mestinya juga tidak terlepas dari moralitas agama. Hal ini disebabkan karena hukum, moralitas,dan agama harus dipahami sebagai tiga hal yang terkait satu sama lain.

Dari berbagai paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa tuntutan masa yang telah

melahirkan pandangan bahwa hukum tidak hanya dimaknai sebagai realitas sosial yang

empirik tetapi juga realitas metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera, ternyata

sejalan dengan bangunan pemikiran hukum Islam. Hal ini setidaknya didasarkan pada alasan-

alasan berikut: (1) Islam menuntut perpaduan antara fikiran yang brilian yang dipandu

dengan hati yang jernih, (2) keterbatasan epistemologi perseorangan dalam pengembangan

pemikiran hukum Islam, meniscayakan adanya keterpaduan epistemologi tersebut secara

(14)

komprehensif, (3) moralitasagama sangat berperan dalam membentuk tatanan sosial atau masyarakat (hukum).

28

28 Muhammad Thahir ibn „Ashur, Ushul al-Nidham al-Ijtima‟iy fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Salam, 2007), 117.

(15)

KESIMPULAN

Islam sebagai sistem kehidupan yang syamil, kamil & mutakamil (Sempurna ) dengan dilandasi aqidah yang salim (Selamat) pada akhirnya membentuk sebuah masyarakat utama.

Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara aqidah dan akhlak, menjaga dan memperkuat serta memancarkan sinarnya keseluruh penjuru dunia dengan baik. Bagaimana islam sebagai sebuah sistem dan landasan aqidah dan akhlak (moral) yang kuat menghadapi persoalan kontemporer dan bagaimana pula islam memandang hal al-fundamental pada sisi ruang, waktu dan aktivitas kehidupan manusia. Agama islam sebagai manhaj (jalan/metodologi) kesejahteraan dan keluhuran dunia-akhirat.

Islam sebagai agama moral mewujudkan nilai-nilai moral tersebut kedalam semua hukum syariatnya. Kandungan nilai moral dalam hukum islam yang dimaksud dapat terbaca dengan melakukan pembacaan secara konperhensif serta yuniversal terhadap hukum islam dan kaidah-kaidahnya.

Standar moral hukum dalam islam di landaskan pada kewahyuan; berupa al-Qur‟an

yang terimplementasi dalam bentuk sifat dan tingkah laku Nabi SAW. standar moral ini yang

bertumpu pada kewahyuan dan sinergis dengan akal. Sehingga moral ideal adalah yang di

pandang baik menurut kewahyuan dan akal.

(16)

BIBLIOGRAFI

Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam DEPAG RI, 1985

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya„Ulum al-Din,Vol. III Kairo: Dar al Hadith, 1994

Abi Bakr Jabir al-Jaziri, Minhaj al-Muslim, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‟Ulum wa al-Hukm,t.t.

Ahmad al-Raisuniy, al-Kulliyyat al-Asasiyyah li al-Shari‟ah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al- Salam, 2010

A

nom S. Putra dkk, “Revolusi Nalar Islami: Menangguhkan Teks, Mencuri Subyek”, dalam Gerbang: Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Edisi 02, Th. II,1999

„Allal al-Fasiy, Maqasid al-Shari‟ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, cet. V, Ribath: Dar al- Gharb al-Islamiy, 1993

„Abd al-Karim Zaidan, Ushul al-Da‟wah, Baghdad: Jam‟iyyah al-Amani, 1976 Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Harun Nasution, et all, Ensiklopedi Islam Indonesia,Jakarta: Djembatan, 1992 Ibrahim Anis, al-Mu‟jam al-Wasith, Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1972

Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum:Esai-esai Ilmiah untuk Pembauran Yogyakarta : Madyan Press, 2002

Khairul Anwar, Membangun Moral di Abad Global, dalam artikel Islami, tanggal 15 Juni 2008.

Muhammad Thahir ibn „Ashur, Uṣul al-Nidham al-Ijtima‟iy fi al-Islam, Kairo: Dar al-Salam, 2006

Muhammad Abu Zahrah, Uṣul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabiy, 2004

M. Ridlwan Nasir (ed.), Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006 Muhyar Fanani, Epistemologi Ilmu Ushul al-Fiqh: Sebuah Refleksi Filosofis Perbandingan

antara al-Ghazali dan al-Syatibi, Tesis Pascasarjana IAIN SunanKalijaga, Yogyakarta 1999

Muhammad Thahir ibn „Ashur, Ushul al-Nidham al-Ijtima‟iy fi al-Islam, Kairo: Dar al- Salam, 2007

Yusuf al-Qaradlawiy, al-Fiqh al-Islamiy bayna al-Ashalah wa al-Tajdid, cet. II, Kairo:

Maktabah Wahbah, 1999

Yusuf al-Qaradlawiy, Madkhal li al-Dirasah al-Shari‟ah al-Islamiyyah, cet. VI, Kairo:

Maktabah Wahbah, 2009

QOMARUDDIN http://ejournal.kopertais4.or.id/pantura/index.php/jipi/article/view/3575

Referensi

Dokumen terkait

Jika dalam pandangan etika Islam – bagi manusia— tolakan sikap moral atau akhlak dibangun dari kondisi jiwa (khuluq), maka jiwa bagi media adalah para pelaku pemberitaan media

manusia dan maknanya keduanya memiliki sifat –sifat terpuji dan tercela. Akhlak dapat diketahui melalui banyak definisi yang sebagian besarnya menegaskan bahwa akhlak

Sekalipun demikian, para ahli hukum Islam tetap memberikan definisi yang berbeda, dimana ‘urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul

Dari hal itu muncul juga definisi yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses yang komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang

Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, yaitu paksaan rohani atau paksaan

Sebagaimana dijelaskan bahwa akhlak dalam diri manusia timbul dan tumbuh dari dalam jiwa, kemudian berubah kesegenap anggota yang menggerakkan amal-amal serta menghasilkan sifat-sifat

4 Dengan kata lain akhlak merupakan sifat-sifat bawaan manusia dari sejak ia lahir yang selalu tertanam didalam jiwanya dan selalu ada padanya Al-Qur’an, bahwa akhlak itu baik atau

Penulis lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan ruh dan jiwa adalah perbedaan sifat bukan zat.11 Jiwa juga punya gerak, sebab itu manusia jika ia tidur jiwanya