PRAGMATISME DAN MIGRASI POLITIK SETELAH VERIFIKASI PARPOL Oleh: GPB Suka Arjawa
Verifikasi faktual yang hanya meloloskan 10 partai politik dalam pemilu pendatang mempunyai arti penting dari sisi jumlah partai yang akan bertarung di pemilu, tingkat kesadaran peserta pemilu (politisi) maupun kemungkinan migrasi politik di masa depan. Pengumuman verifikasi partai oleh Komisi Pemilihan Umum baru-baru ini, seperti biasanya, selalu gaduh. Banyak partai tidak lolos verifikasi protes, menggugat bahkan mengumpat kemampuan KPU dalam menilai kelolosan partai bersangkutan. Kegaduhan ini sebenarnya juga merupakan ”ciri” dari dinamika politikdari negara-negara bertransisi (lihat misalnya Mesir, Libya dan Tunisia). Semuanya itu memberikan ketertarikan
tersendiri, apabila dikaitkan dengan ranah sosiologi.
Jumlah sepuluh partai politik yang lolos pemilu sebenarnya merupakan kuantitifikasi yang pantas untuk Indonesia. Jika diasumsikan diantara 230 juta masyarakat Indonesia itu sekitar 125 juta yang mempunyai hak pilih, maka masing-masing partai politik mempunyai anggota 12,5 juta orang yang tersebar di 33 propinsi. Ini sekedar bayangan saja. Jumlah itu cukup ideal bagi Indonesia. Pengorganisasinnya jelas lebih mudah dibanding dengan kepemilikan 50 juta massa misalnya. Sudah tentu pula lebih mudah mengotrol massa pendukung. Sebab, jika diberikan pertumbuhan partai politik bebas dan tidak terkendali, Indonesia berpeluang menjadi negara dengan jumlah partai politik terbanyak di dunia. Ratusan suku dan berbagai agama dan aliran kepercayaan akan membentuk partai politik, sesuai dengan kepentingan suku dan budayanya masing-masing. Kehidupan sebuah budaya dan keberadaan agama akan lebih kuat kalau memang mempunyai kekuatan-kekuatan politik yang memayungi. Karena itu, adanya ketentuan hukum dan bebagai persyaratan tentang kelolosan partai politik dalam pemilu,
merupakan instrumen yang sangat membantu menyeleksi partai politik ini. Sepuluh partai politik itu, memberikan keuntungan bagi sistem sosial di Indonesia. Sejarah telah membuktikan ratusan partai politik, bahkan belasan partai politik kerap menimbulkan percekcokan sosial di Indonesia.
Dari sisi fungsionalnya, sepuluh partai politik ini mempunyai tanggung jawab besar terhadap segala ragam corak budaya yang ada di Nusantara. Artinya, mereka harus mampu menyerap berbagai budaya yang ada di masyarakat, untuk diperjuangkan pada tingkat pemerintah dan negara. Jumlah itu juga akan mampu meminimalisir konflik dan perbedaan kepentingan. Ratusan kelompok budaya dan berbagai kelompok kepentingan lainnya, akan terserap ke dalam sepuluh partai lolos verifikasi faktual itu, dan dengan demikian memaksanya untuk menyamakan persepsi yang sesuai dengan garis ideologi partai. Sepuluh partai politik ini harus bekerja keras untuk menyerap berbagai unsur budaya, adat, sistem sosial dan sebagainya di masyarakat Indonesia. Jadi, jangan bersikap sembarangan sebagai partai yang sudah mendapat kepercayaan.
Jika dalam konteks kemasyarakatan, terutama dalam meminimalisir konflik dan kegaduhan sosial, jumlah sepuluh partai lolos verifikasi itu mempunyai makna positif, tidak demikian halnya dalam konteks tertib administrasi bagi partai lain. Seluruh partai yang ”mengajukan diri” ikut pemilu sebanyak 34 partai. Tetapi 24partai politik
dinyatakan gagal. Sebagian dari partai-partai yang tidak lolos tersebut dinyatakan tidak memenuhi persyaratan. Malah konon, terutama yang tidak lolos verifikasi adminsitrasi, ada yang alamatnya tidak jelas (tukang tambal ban, tukang cukur dan sebagainya). Kalaupun ini memang demikian kenyataannya, maka fenomena tersebut memperlihatkan bentuk pragmatisme politisi Indonesia. Ini adalah fakta bahaya. Pragmatisme memang merupakan sebagian dari esensi politik, misalnya memperebutkan kekuasaan dengan segala macam cara. Tetapi pragmatisme demikian tidak harus dilakukan pada dasar-dasar fundamental dari perpolitikan itu sendiri. Sebab, fundamental (pondasi) politik itu adalah kepercayaan. Dengan kepercayaan inilah muncul ketertarikan, identitas individual terhadap partai, dan keberpihakan. Pembentukan partai politik berada pada segmen yang fundamental ini. Jika pembentukan partai itu telah dilakukan dengan jujur, sistematis dan bersungguh-sungguh maka rakyat akan memberikan kepercayaan kepada partai tersebut, meskipun itu partai yang baru terbentuk. Individu akan melekatkan dan menaruh
kepercayaan diri kepada partai karena dilihat benar-benar memperjuangan aspirasi mereka dan memperlihatkan kesungguhan dari eksistensi partai itu. Ini adalah bagian idetifikasi dan keberpihakan masyarakat kepada partai yang bersangkutan. Dalam studi-studi politik yang berhubungan dengan masyarakat, identitas ini akan melekat kuat dalam jangka waktu panjang, dan bahkan turun-temurun. Lihat misalnya bagaimana tokoh nasionalis di masa lalu (PNI), sampai anak cucunya kini tetap melekatkan dirinya kepada partai yang nasionalis (PDI Perjuangan damn partai nasionalis lain).
Karena itulah, merupakan aib besar apabila sikap pragmatisme ini pagi-pagi sudah muncul ketika peembentukan partai politik tersebut. Politisi yang mengandalkan sikap pragmatis ketika membangun partai politik (misalnya memalsu tanda tangan, memalsu alamat, atau jumlah pengikut), merupakan politisi konyol, yang memang benar-benar tidak mampu berpolitik. Mungkin terlalu kasar kalau dikatakan politisi busuk atau jangan-jangan hanya mengharapkan keuntungan ekonomis dari pembentukan partai tersebut. Ditengarai cukup banyak politisi yang mempunyai predikat demikian di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu, menjadi peringatan bagi masyarakat agar lebih hati-hati apabila didekati oleh politisi yang baru muncul. Peringatan bagi masyarakat semua, bahwa sebagaian masyarakat Indonesia tidak mampu memanfaatkan kebebasan berpolitik yang diberikan sistem kenegaraan Indonesia.
Migrasi Politik
Akan tetapi, migrasi yang dilakukan semata-mata karena ingin mempertahankan cita-cita menjadi politisi dan dengan modal pengikut (konstituens), mempunyai sisi yang
berbahaya, terutama pada partai baru tempatnya bergabung. Akan menimbulkan faksi baru, dan akhirnya konflik di partai yang baru itu. Faktor inilah yang harus diwaspadai oleh partai-partai politik yang sudah lolos verifikasi apabila bersedia menerima ”anggota” baru. Partai tidak harus melihat jumlah konstituens yang dibawa oleh pendatang baru itu tetapi lebih melihat bagaimana kualifikasi pribadi anggota baru. Etika, niat baik,
kesediaan untuk mengalah atau memberi kesempatan kepada kader lama, harus dilihat dari politisi-politisi yang baru masuk ini.****