• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemasaran Sapi Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemasaran Sapi Bali."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 1

PEMASARAN SAPI BALI I Wayan Sukanata

Lab Penyuluhan dan Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan UNUD HP. 081353248994, email: nata_suka@yahoo.com

Pendahuluan

Sapi bali merupakan salah satu aset nasional yang sangat berharga dan merupakan

sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sapi bali diyakini memiliki berbagai keunggulan

sehingga sangat diminati oleh berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Ia dapat hidup

dengan memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, memiliki daya cerna yang baik terhadap

serat, adaptif terhadap lingkungan, tingkat fertilitas yang tinggi (80-85%), selang beranak

yang pendek (12-14 bulan), dan persentase karkas tinggi (56%) (Bandini, 2001). Di samping

itu, daging sapi bali mengandung protein yang cukup tinggi (19.65-21.28%), dan lemak yang

rendah (2.01-6.86%) (Arka, 1984).

Menurut hasil sensus pertanian tahun 20013, populasi sapi bali di Bali pada tahun 2013

yaitu 478.253 ekor dimana tahun sebelumnya menurut data Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan Provinsi Bali yaitu 651.439 ekor, yang artinya ada penurunan populasi sekitar 27%.

Sedangkan populasi induk betina pada tahun 2013 (data sensus 2013 ) sebanyak 187.684 ekor

dimana pada tahun sebelumnya (data Dinas Peternakan) sebanyak 231.413 ekor, yang artinya

juga ada penurunan populasi sekitar 18,90%. Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius

pihak-pihak terkait jika ingin sapi bali tetap eksis secara berkelanjutan.

Salah satu kunci sukses suatu usaha termasuk peternakan sapi untuk dapat terus

diminati oleh peternak adalah mampu memberikan keuntungan yang layak bagi peternak.

Jika usaha tersebut menguntungkan maka tentu akan terus dapat berkembang secara

berkelanjutan. Untuk meningkatkan keuntungan peternak maka disamping masalah produksi,

masalah pemasaran sangat penting diperhatikan. Pemasaran ternak sapi merupakan suatu

proses kegiatan untuk mentransformasi hasil produksi berupa sapi menjadi pendapatan

berupa uang secara berkelanjutan. Pemasaran tersebut sangat penting untuk diperhatikan

karena akan sangat mempengaruhi pendapatan peternak dan keberlanjutan dari usahatani

tersebut. Sistem pemasaran yang lebih baik akan dapat memberikan pendapatan yang lebih

besar kepada peternak. Pendapatan yang lebih besar tersebut tentu akan merangsang peternak

(2)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 2 populasi. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji beberapa permasalahan dalam pemasaran sapi

di Provinsi Bali.

Karakteristik Pemasaran Sapi di Provinsi Bali

Berdasarkan wilayah pemasarannya, pemasaran sapi di Bali dapat dipilah menjadi

dua, yaitu pemasaran lokal dan perdagangan antar pulau. Pemasaran lokal meliputi

kegiatan-kegiatan pemasaran sapi untuk memenuhi permintaan pemotongan lokal dan pemotongan

industri. Pemotongan lokal merupakan pemotongan sapi untuk memenuhi konsumsi

masyarakat secara langsung, sedangkan pemotongan industri merupakan pemotongan sapi

untuk memenuhi kebutuhan industri, seperti industri pengalengan daging, sosis, dendeng,

bakso, daging beku, restoran/hotel, swalayan, dan lain sebagainya. Hasil olahan industri

tersebut tidak hanya untuk memenuhi permintaan lokal, namun juga untuk memenuhi

permintaan pasar di luar Bali.

Perdagangan antar pulau merupakan kegiatan pemasaran sapi potong yang masih

dalam keadaan hidup untuk memenuhi permintaan dari luar Bali. Daging sapi bali sangat

digemari oleh konsumen di luar, sehingga permintaannya terus meningkat. Data Dinas

Peternakan menunjukkan bahwa sebagian besar sapi yang dihasilkan di Bali dipasarkan ke

luar Bali, khususya ke DKI Jakarta dan beberapa daerah di sekitarnya.

Pemasaran sapi potong dari Bali ke luar bali dilakukan oleh beberapa perusahaan

(pedagang antar pulau) yang mendapat kuota dari pemerintah. Dengan demikian tidak semua

orang bisa memperdagangkan sapi ke luar Bali secara langsung, melainkan harus melalui

pedagang antar pulau yang telah mengantongi ijin. Pedagang antar pulau umumnya telah

memiliki langganan di luar Bali. Dalam memperoleh sapi untuk diperdagangkan ke luar,

pedagang antar pulau mengandalkan pasokan utama dari belantik yang sudah menjadi

langganannya. Pembelian sapi dari belantik, tersebut dapat dilakukan melalui pasar hewan

ataupun belantik yang langsung mendatangi lokasi pedagang tersebut.

Menurut hasil penelitian Sukanata et al. (2010) hanya sebagian kecil dari peternak

yang menjual sapinya secara langsung kepada pedagang antar pulau (22.58%). Sebagian

besar dari mereka (74,19%) menjual sapinya kepada belantik, dan sisanya menjual langsung

kepada pedagang antar pulau. peternak yang menjual langsung kepada pedagang antar pulau

tersebut sebagian besar merupakan peternak yang berada di desa-desa sekitar tempat tinggal

(3)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 3 Belantik merupakan pedagang pengumpul yang berkeliling di desa sekitar tempat

tinggalnya untuk membeli sapi dari para peternak. Belantik umumnya adalah orang yang

sudah dikenal oleh peternak. Hubungan belantik dan peternak cukup baik/dekat, sehingga

ketika peternak ingin menjual sapi ia akan menghubungi belantik atau informan (anak buah

belantik) yang umumnya ada di desa-desa sekitar tempat tinggal peternak. Belantik umumnya

mendatangi peternak (lokasi kandang) dan melakukan negosiasi harga dengan peternak.

Belantik menentukan harga berdasarkan perkiraan berat sapi tersebut (di petani dikenal

dengan istilah cawangan). Harga yang diterima peternak juga tergantung pada kecakapan

peternak dalam melakukan negosiasi harga dan perkiraan kualitas sapi yang diperjualbelikan.

Kualitas tersebut menyangkut: tingkat lemak, ketebalan kulit, perkiraan daging yang akan

diperoleh (karkas), tulang, kekompakan badan, serta warna bulu. Faktor-faktor tersebut juga

akan mempengaruhi tingkat harga yang akan diterima belantik dari pedagang antar pulau.

Dalam menjual sapi, peternak menghadapi struktur pasar yang mengarah ke pasar

bersaing tidak sempurna (oligopsoni), di mana hanya ada dua-tiga orang belantik (pembeli) di

desa-desa sekitar lokasi peternak, yang berhadapan dengan banyak peternak (penjual).

Struktur pasar seperti itu menyebabkan posisi tawar (bargain position) peternak lebih lemah

dibandingkan belantik, sehingga peternak lebih bersifat sebagai price taker dan belantik lebih

mempunyai peranan dalam menentukan harga (price maker). Dalam memasarkan sapinya,

belantikpun menghadapi struktur pasar yang mengarah ke pasar oligopsoni, di mana hanya

ada beberapa pedagang antar pulau yang mempunyai ijin untuk memasarkan sapi ke luar

(pembeli), yang berhadapan dengan banyak belantik (penjual). Struktur pasar tersebut juga

menyebabkan posisi tawar (bargaining position) belantik lebih lemah dibandingkan dengan

pedagang antar pulau, sehingga pedagang antar pulau lebih dominan dalam menentukan

harga.

Pasar hewan merupakan salah satu sarana pendukung untuk membantu kelancaran

dalam pemasaran. Saat ini di Bali ada sekitar 8 pasar sapi yang tersebar di beberapa

kabupaten di Bali. Pasar Beringkit merupakan pasar terbesar dan teramai dikunjungi oleh

para pelaku pasar. Pada umumnya kegiatan pasar sapi biasanya dibuka dua kali seminggu.

Para peternak diharapkan menjual sapinya secara langsung ke pasar hewan, sehingga rantai

pemasaran menjadi lebih pendek, dan peternak akan mendapat harga lebih baik. Namun

demikian, hanya sebagian kecil dari peternak melakukan penjualan dengan membawa

(4)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 4 bahwa hanya sebagian kecil (6,45%) dari peternak responden yang memasarkan sapinya

langsung ke pasar hewan. Sebagian besar (77,42%) dari mereka lebih memilih menjual

sapinya di lokasi peternak/kandang kepada belantik, dan sisanya menjual langsung di lokasi

pedagang antar pulau.

Ada beberapa alasan mengapa peternak enggan menjual sapinya langsung ke pasar

hewan antara lain: adanya permainan pasar seperti permainan timbangan, resiko jika tidak

laku harus membawa pulang kembali, biaya transportasi, dan informasi pasar yang kurang,

dan kesibukan. Di samping itu keengganan peternak menjual langsung ke pasar hewan juga

dipengaruhi oleh kurangnya jiwa enterpreneurship atau jiwa dagang pada sebagian besar

peternak.

Secara umum harga sapi di Pasar Hewan di Bali dipengaruhi oleh penawaran dan

permintaan. Meningkatnya penawaran sapi di pasar dapat berpengaruh negatif terhadap

harga, dan sebaliknya. Sedangkan peningkatan permintaan sapi potong dapat berpengaruh

positif terhadap harga dan sebaliknya. Penawaran dipengaruhi oleh beberapa faktor utama

antara lain produksi, tahun ajaran baru, dan hari raya. Saat-saat menjelang tahun ajaran baru

penawaran sapi di pasar umumnya meningkat dibandingkan pada hari-hari biasa, karena pada

waktu ini banyak peternak menjual sapinya untuk membiayai keperluan anak sekolah. Hari

raya juga berpengaruh terhadap penawaran sapi. Pada saat-saat menjelang hari raya banyak

peternak menjual sapi dengan harapan untuk memperoleh harga yang lebih tinggi. Sedangkan

permintaan sapi potong di Bali dipengaruhi oleh beberapa faktor utama seperti permintaan

pedagang antar pulau, dan impor. Peningkatan permintaan pedagang antar pulau dapat

meningkatkan harga di pasar, dan sebaliknya.

Efisiensi Pemasaran

Kinerja pemasaran sapi bali dapat dinilai dengan menggunakan konsep efisiensi.

Menurut Mubyarto, (1991), kegiatan pemasaran dikatakan efisien apabila kegiatan ini dapat

memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada semua pihak yang terlibat yaitu petani,

pedagang perantara, dan mampu menyampaikan komoditas hasil pertanian dari petani ke

konsumen. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi pemasaran

adalah saluran pemasaran, margin pemasaran, Farmer’s share, dan rasio keuntungan

(5)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 5 Umumnya pemasaran sapi di Bali baik sapi potong maupun sapi bibit melalui rantai

pemasaran yang cukup panjang, sehingga farmer’s share menjadi rendah. Seperti yang dapat

[image:5.595.68.521.145.741.2]

dilihat pada Gambar berikut.

Gambar 1. Rantai Pemasaran Sapi Potong Sumber: Sukanata et al. (2010)

Gambar 2. Rantai Pemasaran Sapi Bibit di Bali Sumber: Sukanata dan Rahayu (2014)

Ket erangan:

PH : Pasar Hew an

: Lem baga Pem asaran

Penganyar

Belant ik PH

Pet ernak (Produsen

Pet ernak (Konsumen

30% 70%

14,29%

33,33%

[image:5.595.74.507.154.427.2]
(6)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 6 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukanata, et al. (2010 dan 2014) menunjukkan

bahwa pemasaran sapi bali baik sapi potong maupun sapi bibit di Bali belum efisien. Dalam

pemasaran sapi potong antar pulau, farmer’s share yang dicapai berkisar antara

63,48%-69,03% dari harga beli konsumen akhir dan total margin pemasaran yang tinggi sebesar

40,93% dari harga beli konsumen akhir. Sebagian besar dari margin tersebut merupakan total

keuntungan yaitu sebesar 78,09%-83,35%, yang dinikmati oleh para pedagang. Rasio

keuntungan terhadap biaya yang diperoleh peternak berkisar antara 0,075-0,154 jauh lebih

rendah dibandingkan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran lainnya yang berkisar antara

1,05-21,84 pada setiap saluran pemasaran. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa

pemasaran sapi potong antar pulau lebih menguntungkan pedagang dibandingkan peternak.

Pedagang mempunyai peranan yang dominan dibandingkan peternak. Pedagang hanya

membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari untuk mengirim sapi ke Jakarta dan sekitarnya,

sedangkan peternak harus memelihara selama 3-4 tahun sebelum mencapai berat potong.

Sebagaimana halnya dengan pemasaran sapi potong, pemasaran sapi bibit yang

dihasilkan oleh peternak juga kurang efisien, yang ditunjukkan oleh farmer’s share yang

rendah, yaitu berkisar antara 75%-76,19% dengan rataan hanya 75,45% (rata-rata pada

saluran 2,3, dan 4), sementara margin pemasaran yang diperoleh belantik cukup tinggi, yaitu

berkisar antara 21,09%-24,41% rata-rata 22,46%, sedangkan marjin pemasaran yang diterima

penganyar sebesar 3,91%. Rasio keuntungan terhadap biaya paling besar dinikmati oleh

belantik berkisar antara 390,91% - 408,20% dengan rataan sebesar 396,12%. Sedangkan rasio

keuntungan terhadap biaya yang dicapai penganyar adalah 390,20%. Namun rasio

keuntungan terhadap biaya yang dicapai peternak berdasarkan perhitungan biaya tunai, jauh

lebih rendah ketimbang kedua lembaga pemasaran tersebut, yaitu berkisar antara 46,60% -

52,71% dengan rataan sebesar 48,43%. Bahkan jika perhitungan dilakukan berdasarkan biaya

total, peternak rugi dengan rasio keuntungan terhadap biaya berkisar -48,89% - -50,93%,

dan rataan sebesar -50,32%.

Jika ingin meningkatkan populasi sapi di Bali, maka kesejahteraan peternak harus

diperhatikan yaitu bagaimana memberikan kondisi yang memberikan harga yang layak,

sehingga peternak bergairah beternak sapi bali. Pedagang harus memiliki pola pikir

sismbiosis mutualistis dengan peternak. Jika peternak mati, maka pedagangpun tidak akan

(7)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 7 memasarkan sapi peternak. Oleh karena itu berikanlah keuntungan yang lebih besar kepada

peternak. Di sini dituntut peran pemerintah yang lebih besar melalui kebijakan tepat yang

mampu menciptakan pasar yang lebih adil, yang tidak hanya mampu mensejahterakan

pedagang, tetapi juga mampu mensejahterakan peternak.

Kebijakan Pemasaran

Selisih harga yang menarik antara di bali dengan di daerah sentra konsumsi seperti

Jakarta dan tingginya permintaan pasar di luar bali terhadap sapi potong yang dihasilkan di

bali menyebabkan perdagangan sapi potong dari Bali ke daerah tersebut tumbuh pesat. Hal

ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah cq Dinas Peternakan Provinsi Bali, jika populasi

sapi di Bali akan menurun. Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut, maka Pemerintah

Provinsi Bali menetapkan dua kebijakan yang terkait dengan pemasaran sapi dari Bali ke

luar, yaitu Kebijakan Kuota/Jatah dan Perda No 2 th 2003.

Kebijakan Kuota Perdagangan

Kebijakan kuota perdagangan sapi potong antar pulau merupakan kebijakan yang

mengatur jumlah sapi yang boleh diperdagangkan dari Bali ke luar Bali, dan ditetapkan setiap

tahun berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali. Penentuan jumlah kuota dilakukan

berdasarkan jumlah populasi yang ada dan perkiraan pertumbuhannya, serta perkiraan

kebutuhan pasar lokal (Bali). Untuk menentukan besarnya kuota sebetulnya diperlukan data

populasi sapi yang akurat sebagai dasar penentuan kuota. Jika data yang digunakan tidak

akurat, maka jumlah kuota yang diperoleh dari hasil perhitungan tersebut juga salah.

Kesalahan dalam penentuan kuota dapat menimbulkan permasalahan baru yang justru dapat

merugikan peternak, pedagang, dan pemerintah, antara lain penurunan harga sapi, penurunan

populasi sapi, penurunan kesejahteraan peternak, pendorong penyelundupan sapi, praktek jual

beli kuota, peluang masuknya daging sapi impor, dan mengurangi PAD.

1. Penurunan Harga Sapi

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa data yang tersedia yang terkait dengan

penentuan kuota disangsikan keakuratannya, sehingga kuota yang ditetapkan masih jauh di

bawah jumlah sapi yang sebenarnya dapat dikirim ke luar bali (underestimate). Sebagai bukti,

(8)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 8 ternak yang terbatas, dengan alasan kuota sudah habis, padahal sapi yang memenuhi

ketentuan untuk dikirim keluar masih banyak di peternak. Oleh karena pasar lokal tidak

mampu menyerap kelebihan stok sapi yang seharusnya dapat dikirim ke luar bali akibat

terhentinya/berkurangnya pengiriman ke luar bali, maka permintaan sapi potong oleh

pedagang antar pulau menurun, sehingga harga sapi di peternak menurun padahal harga sapi

di sentra konsumen seperti di Jakarta sangat tinggi. Harga yang tinggi tersebut selanjutnya

direspon oleh pemerintah dengan melakukan impor seperti pengalaman pada saat bulan

ramadan. Hal ini menjadi satu kondisi yang sangat ironis dimana peternak di Bali kelebihan

produksi namun tidak bisa memasarkan ke luar bali sehingga harga di Bali anjlok sementara

di daerah konsumen seperti di jakarta kekurangan sapi dan harganya sangat tinggi. Oleh

karena itu, kebijakan ini justru seringkali menjadi bumerang bagi peternak, sehingga

menurunkan gairah mereka beternak dan dapat berpengaruh negatif terhadap populasi.

2. Penurunan Populasi Sapi

Turunnya harga sapi karena keterbatasan kuota jelas akan menurunkan

pendapatan/keuntungan peternak, sehingga surplus peternak (kesejahteraan peternak dalam

pengertian ekonomi) akan menurun. Turunnya keuntungan peternak dalam jangka panjang

akan menurunkan motivasi atau gairah peternak untuk memelihara sapi. Selanjutnya akan

berpengaruh terhadap penurunan populasi sapi di bali. Dengan demikian maka kesalahan

dalam penentuan kuota (underestimate) justru akan berdampak negatif terhadap populasi

sapi, yang sangat bertolak belakang dengan tujuan meningkatkan populasi.

3. Penurunan Kesejahteraan Peternak

Dampak penerapan kebijakan kuota terhadap kesejahteraan peternak ditunjukkan oleh

hasil penelitian Sukanata et al (2010), Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa kebijakan

penurunan kuota perdagangan sapi antar pulau yang dilakukan oleh pemerintah (kuota tahun

2009 sebesar 55.000 ekor sedangkan tahun sebelumnya 75.000 ekor) telah menurunkan harga

sapi di Bali, sehingga kesejahteraan peternak sapi menurun sekitar Rp 1.54 Milyar.

Penurunan kesejahteraan peternak akibat penurunan harga tersebut tentu akan menurunkan

gairah mereka untuk memelihara sapi. Sebagai akibatnya, maka dalam jangka panjang

penurunan kuota yang sebetulnya ditujukan untuk meningkatkan populasi tersebut justru akan

(9)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 9

4. Mendorong Penyelundupan Sapi

Rendahnya kuota yang diperoleh pedagang antar pulau, sementara sapi yang siap

dikirim masih banyak dan permintaan sapi di luar tinggi, ini akan merangsang para pedagang

untuk mengirim sapi ke luar secara ilegal atau melakukan penyelundupan. Penyelundupan

sapi jantan dan betina terus berlangsung ditengah berlakunya Kuota. Menurut penuturan

pedagang dalam acara focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh PKSB Unud

tanggal 5 Januari 2011, penyelundupan terpaksa dilakukan walaupun memerlukan biaya yang

lebih tinggi dibandingkan secara legal demi untuk memenuhi permintaan sapi di luar Bali.

Peningkatan biaya yang diakibatkan oleh cara penyelundupan tersebut pada akhirnya akan

dibebankan kepada peternak, dengan jalan menekan harga di tingkat peternak. Akibat dari

kebijakan yang tidak tepat tersebut, maka peternak yang sebagian besar merupakan peternak

rakyat akan semakin menderita secara ekonomi.

5. Praktek Jual Beli Kuota

Kelemahan lain dari sistem kuota adalah maraknya praktek jual beli kuota. Saat ini

ada sekitar 80 nama perusahaan yang mempunyai hak kuota. Namun tidak semua perusahaan

aktif mengirim sapi ke luar, melainkan sebagian besar perusahaan tersebut didirikan untuk

memperoleh kuota yang selanjutnya dijual kepada perusahaan yang aktif. Praktek ini

sesungguhnya sangat merugikan peternak, karena biaya ini akan dibebankan kembali kepada

peternak dengan menekan harga sapi yang diterima peternak.

6. Memberi Peluang Masuknya Daging Sapi Impor

Kuota yang underestimate akan memberi peluang masuknya sapi/daging impor lebih

besar, padahal peternak lokal kesulitan menjual sapinya, akibat berkurangnya atau tidak

adanya kuota pengiriman ke luar Bali. Masuknya impor tersebut tentu akan berpengaruh

negatif terhadap harga, karena umumnya sapi impor jauh lebih murah dibanding sapi lokal.

Hal ini tentu akan semakin berpengaruh negatif terhadap kondisi peternak lokal.

7. Mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Ijin pengeluaran ternak yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah berdasarkan kuota

(10)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 10 bisa dikeluarkan lagi, sehingga otomatis tidak ada pemasukan cukai dari pengeluaran sapi,

sementara disisi lain penyelundupan marak terjadi. Jadi bagi pemerintah, kuota yang

underestimate tersebut akan mengurangi pemasukan pemerintah (PAD).

Sistem kuota tidak tepat yang diterapkan oleh pemerintah, di samping menurunkan

kesejahteraan peternak yang notabene merupakan peternak rakyat yang hidupnya sudah

pas-pasan, mengindikasikan kegagalan pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Di satu sisi

peternak dipacu untuk meningkatkan produksi, namun disisi lain pemerintah justru membuat

kebijakan yang merugikan peternak. Fenomena penurunan populasi juga mengindikasikan

bahwa kebijakan kuota kurang efektif untuk menjaga populasi tapi justru sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas, maka kebijakan kuota perlu ditinjau kembali untuk dihapus,

karena: pertama, secara teknis sulit ditentukan berapa jumlah populasi yang tepat. Kesalahan

dalam penentuan jumlah kuota justru akan sangat merugikan terutama bagi peternak dan

berdampak negatif pada populasi. Oleh karena itu sepanjang pedagang itu dapat memperoleh

sapi yang memenuhi ketentuan, maka ijin pengeluaran sapi antar pulau harus diberikan,

sehingga pemasaran akan menjadi lancar. Kedua, peran kebijakan kuota dalam mencegah

pengurasan populasi sebenarnya telah dapat digantikan oleh Perda No. 2 Th 2003.

Perda No 2 Tahun 2003 dan Implikasinya

Di samping menetapkan kebijakan kuota, Pemerintah Daerah Bali juga mengeluarkan

Perda No. 2 Tahun 2003 untuk mengatur pemasaran sapi dari bali ke luar bali. Berdasarkan

perda tersebut, sapi yang boleh diperdagangkan ke luar dari Bali adalah sapi jantan dengan

berat minimal 375 kg/ekor. Perda ini mempunyai tujuan yang sama dengan kuota, yaitu untuk

mencegah adanya pengurasan populasi di Bali. Melalui perda ini pemerintah membatasi jenis

kelamin dan berat minimal sapi yang boleh diperdagangkan ke luar. Pelarangan pengeluaran

sapi betina dari Bali dapat diterima, tapi pembatasan berat pada sapi jantan dianggap

berlebihan. Kebijakan ini telah menutup peluang pasar bibit atau sapi jantan yang beratnya di

bawah angka tersebut. Kebijakan ini juga dapat memicu terjadinya penyelundupan sapi betina

maupun bibit jantan.

Terbatasnya daerah pemasaran sapi betina (hanya di Bali) tentu juga akan

berpengaruh pada harga sapi betina tersebut, sehingga perlu dipikirkan bagaimana

meningkatkan harga sapi betina di Bali. Dengan harga yang lebih tinggi diharapkan akan

(11)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 11 untuk memelihara induk. Dengan demikian populasinyapun akan meningkat, sehingga

produksi akan lebih banyak. Peningkatan populasi sapi betina tentu sangat penting dilakukan

karena ia merupakan mesin biologis yang mampu menghasilkan anak-anak sapi. Keberadaan

sapi betina induk di Bali juga semakin penting dengan ditetapkannya daerah bali sebagai

daerah pemurnian sapi bali. Kebutuhan akan bibit sapi hanya dapat dipenuhi dari produksi

sendiri, tanpa dapat mendatangkan bibit dari luar Bali. Oleh karena itu keberadaan sapi betina

induk di bali sangat penting untuk diperhatikan dan jumlahnya harus terus ditingkatkan jika

ingin meningkatkan produksi sapi di masa yang akan datang. Di samping itu, perlu juga

dipikirkan pemberian insentif kepada peternak atau swasta yang mau bergerak dibidang

pengembangan sapi pembibitan (pemeliharaan induk), sehingga dapat meningkatkan gairah

peternak untuk memelihara sapi betina induk.

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa harga sapi betina jauh lebih rendah

dibandingkan dengan harga sapi jantan, sementara harga dagingnya relatif sama di pasar. Hal

ini menyebabkan tingkat keuntungan yang diperoleh dari memotong sapi betina jauh lebih

tinggi dari memotong sapi jantan, sehingga jagal lokal lebih tertarik untuk memotong sapi

betina daripada sapi jantan. Faktor ini menyebabkan permintaan untuk pemotongan lokal

hampir seratus persen dipenuhi dari sapi betina. Pencegahan pemotongan sapi betina

produktif sangat penting dilaksanakan dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat di

rumah potong hewan (RPH), serta pemberian sanksi yang lebih tegas, baik kepada

jagal/pemotong maupun petugas yang melanggar. Penjaringan sapi betina induk produktif

yang ada di rumah potong hewan (RPH) perlu ditingkatkan dengan jalan membelinya dan

kemudian disebar kembali kepada peternak yang membutuhkannya. Hal ini tentu harus

didukung oleh anggaran yang cukup. Dalam acara FGD tanggal 6 Januari 2011 tercetus

pemikiran bahwa ada peluang untuk memperoleh dana dari perusahaan-perusahaan yang

terkait dengan peternakan sapi, yaitu melalui program corporate social responsibility (CSR).

Konsekuensi lain dari adanya perda ini adalah tertutupnya peluang pemasaran sapi

jantan bibit secara legal ke luar akibat adanya pembatasan berat. Kebijakan ini tentu akan

berseberangan dengan kebijakan pengembangan daerah Bali sebagai sentra pembibitan sapi

bali secara nasional. Peluang pemasaran bibit sapi jantan harus dibuka sehingga akan

meningkatkan harga bibit jantan. Peningkatan harga bibit tersebut akan merangsang peternak

untuk memelihara sapi khususnya induk betina penghasil bibit, artinya penjualan bibit

(12)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 12 karena itu perlu dipikirkan penghapusan pembatasan berat sapi jantan yang dikeluarkan dari

Bali. Alternatif lain yang berkembang dalam acara FGD tanggal 6 Januari 2011 adalah

pengeluaran bibit jantan tapi yang grade 2 atau 3, atau bibit jantan yang sudah di kastrasi.

Kenyataan dilapangan yang terjadi adalah banyak bibit sapi jantan yang telah diselundupkan

ke luar bali seperti halnya sapi betina, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dan bahkan

sejak akhir tahun 2011, melalui Peraturan Gubernur Bali No. 46 tahun 2011, Pemerintah Bali

melegalkan perdagangan bibit sapi bali (termasuk jantan dan betina yang grade 1) dari Bali

ke luar. Dalam jangka pendek hal ini mungkin saja meningkatkan harga sapi betina, namun

dalam jangka panjang hal ini justru dapat mematikan peternak sapi di Bali.

Keragaman fenotifik sapi bali masih sangat tinggi. Fakta di lapangan menunjukkan

bahwa masih banyak terdapat sapi bali jantan yang badannya sudah penuh walaupun belum

mencapai berat 375 kg. Jika dipelihara terus sampai mendekati berat tersebut, tentu

dibutuhkan waktu yang lama karena pertumbuhannya sudah melambat sehingga secara

ekonomi merugikan peternak. Berdasarkan perda ini maka sapi tersebut sulit untuk

dipasarkan karena pasarnya terbatas untuk konsumsi lokal, sementara jagal lokal lebih

menyenangi memotong sapi betina. Jika dipasarkan untuk pasar lokal harga sapi tersebut

akan anjlok mendekati harga sapi betina sehingga sangat merugikan bagi peternak. Di

samping itu, pada saat hari raya Idul Adha, permintaan terhadap sapi dengan berat di bawah

375 sangat tinggi untuk acara qurban.

Berdasarkan uraian di atas, penghapusan poin pembatasan berat pada perda ini perlu

dipertimbangkan. Penghapusan poin ini tidak akan menguras populasi, namun justru dapat

memberi peluang pemasaran bibit jantan yang lebih luas. Yang justru dapat mengancam

populasi sapi di Bali pada masa mendatang adalah pengeluaran bibit sapi betina dari Bali ke

luar. Peluang pemasaran bibit jantan yang lebih luas akan dapat meningkatkan gairah

peternak untuk memelihara induk penghasil bibit, sehingga justru akan berpengaruh positif

bagi pengembangan populasi. IB sexing dapat dikembangkan untuk mengatasi kesenjangan

(13)

Makalah disampaikan pada acara Focus Gr oup Discussion

Penyelamat an sapi bet i na pr odukt if, BPTP, Denpasar 1 Okt ober 2015 13

Kesimpulan

1. Pemasaran sapi bali kurang efisien yang ditunjukkan oleh struktur pasar yang bersaing

tidak sempurna (oligopsoni), saluran pemasaran yang panjang, farmer share yang

rendah, margin pemasaran yang tinggi, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang sangat

timpang antara yang dicapai peternak dengan yang dicapai pedagang perantara.

2. Kebijakan pemasaran yang ditetapkan oleh pemerintah seperti kebijakan kuota dan perda

No. 2 tahun 2003 belum mampu menjaga populasi secara optimal sehingga perlu ditinjau

ulang penerapannya.

3. Kebijakan kuota pengiriman sapi ke luar Bali yang diberlakukan oleh Pemprov bertujuan

untuk mempertahankan populasi. Dalam prakteknya penetapan jumlah kuota cenderung

underestimate sehingga kebijakan tersebut justru dapat berdampak negatif, yaitu;

menurunkan harga sapi, menurunkan populasi sapi, menurunkan kesejahteraan peternak,

mendorong penyelundupan sapi, praktek jual beli kuota, peluang masuknya daging sapi

impor, dan mengurangi PAD daeran bali.

4. Praktek-praktek pemasaran yang tidak fair seperti permainan timbangan di pasar hewan

perlu dicegah dan diberikan sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.

Daftar Pustaka

Arka, I.B. 1984. Pengaruh Penggemukan terhadap Kualitas Daging dan Karkas pada Sapi Bali. Disertasi. Universitas Pajajaran. Bandung.

Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2014. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali. Dinas Peternakan Provinsi Bali, Denpasar.

Sukanata, I W., Suciani, I G.N. Kayana, W Budiartha. 2010. Kajian Kritis terhadap Penerapan Kebijakan Kuota Perdagangan dan Efisiensi Pemasaran Sapi Potong Antar Pulau. Laporan Penelitian. Fapet Unud, Denpasar.

Mubyarto. 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.

Sukanata, I W., dan B Rahayu T.P., 2014. Efisiensi Pemasaran Bibit Sapi Bali Pada Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Fapet Unud, Denpasar.

Gambar

Gambar 1. Rantai Pemasaran Sapi Potong Sumber: Sukanata et al. (2010)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Secara prinsip, berbagai penelitian lebih lanjut mengenai kriteria pemilihan jenis tumbuhan sebagai pengisi dari arboretum, konservasi biodiversitas, perencanaan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Hasil belajar fisika yang menggunakan model PBL-BL lebih tinggi dibandingkan siswa

Nilai tersebut menunjukkan jenis dinding yang tidak memenuhi syarat meningkatkan risiko terjadinya TB Paru sebesar 3,7 kali dibandingkan dengan jenis dinding yang

menyelesaikan penelitian dan penyusunan naskah skripsi yang berjudul “ Karakterisasi Perkembangan Pollen Dan Struktur Reproduksi Betina Anggrek Bulan

At once the laughter stopped and they stared at the Doctor and Rose suspiciously, their faces a mixture of bravado and fear, a look that Rose recognised from all children who have

Metode pitfall traps lebih banyak menangkap ordo Hyme- noptera, Ordo Hymenoptera yang dominan adalah jenis semut (Formicidae) baik semut hitam ( Myrmica sp.)

Secara rinci tulisan ini bertujuan untuk menganalisis (1) seberapa besar sumbangan produksi kabupaten kawasan ubi kayu terhadap produksi ubi kayu di tingkat wilayah dan

1) Perubahan terjadi secara sadar, ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang- kurangnya ia merasakan telah