• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kebijakan Kuota Perdagangan terhadap Penawaran dan Populasi Sapi serta Kesejahteraan Peternak di Provinsi Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Kebijakan Kuota Perdagangan terhadap Penawaran dan Populasi Sapi serta Kesejahteraan Peternak di Provinsi Bali"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PENAWARAN DAN POPULASI SAPI

SERTA KESEJAHTERAAN PETERNAK

DI PROVINSI BALI

I WAYAN SUKANATA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam tesis saya yang berjudul:

”DAMPAK KEBIJAKAN KUOTA PERDAGANGAN TERHADAP PENAWARAN DAN POPULASI SAPI SERTA

KESEJAHTERAAN PETERNAK DI PROVINSI BALI”

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2008

I Wayan Sukanata

(3)

I WAYAN SUKANATA. Impact of Trade Quota Policy on the Supply, Beef Cattle Population and Farmer’s Surplus in Bali Province. Under direction of NUNUNG KUSNADI and I WAYAN RUSASTRA.

Intertemporally, beef cattle interregional trade from Bali to Jakarta increase consistently. Unrestricted trade can decrease beef cattle population in Bali. To avoid the respective problem, the Government of Bali impose trade quota policy that limit the amount of beef cattle trade from Bali to Jakarta every year. Theoretically, the increasing of trade quota can improve supply and the farmers’s welfare, but excessive of trade quota will decrease beef cattle population, then farmer’s welfare will not be sustainable. The aims of this study are to analyze the factors that determine beef cattle supply and population in Bali. The study also analyze the impact of trade quota policy to beef catlle supply, population, and farmers’s welfare in Bali. In this study, beef cattle economic phenomenon was formulated as an econometric model, i.e. simultaneous equations. Two Stage Least Squares Method was used to estimate the parameter, and simulation procedure was employed to analyze the impact of trade quota policy. This study used time series data of 1980-2007. The study results indicate that there were interdependence among production, population, supply, and beef cattle price in Bali. Total beef cattle supply in Bali was influenced by beef cattle production and it’s price. The total beef cattle supply and beef cattle production influenced the beef cattle population in Bali. The trade quota policy caused the beef cattle supply from Bali to Jakarta was not affected significantly and not responsif to the beef cattle price in Jakarta. Besides that, beef cattle price in Bali was not responsif to beef cattle price in Jakarta. Based on the simulations, the increasing of trade quota will be able to increase beef cattle supply and farmers’s welfare, but deacreased the beef cattle population in Bali. However, if the increasing of trade quota was complemented with production development policy, the beef cattle supply, farmers’s welfare, and beef cattle population can be improved simultaneously.

(4)

I WAYAN SUKANATA. Dampak Kebijakan Kuota Perdagangan terhadap Penawaran dan Populasi Sapi serta Kesejahteraan Peternak di Provinsi Bali. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan I WAYAN RUSASTRA.

Perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta menunjukkan peningkatan setiap tahun. Perdagangan yang tidak dibatasi akan menurunkan populasi sapi di Bali. Untuk menghindari hal tersebut maka pemerintah Daerah Bali memberlakukan kebijakan kuota yang membatasi jumlah sapi yang boleh diperdagangkan dari Bali ke Jakarta setiap tahun. Secara teoritis, peningkatan kuota dapat meningkatkan penawaran dan kesejahteraan peternak, namun peningkatan kuota yang berlebihan akan menurunkan populasi sapi di Bali, sehingga peningkatan penawaran dan kesejahteraan yang diperoleh tidak akan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan populasi sapi potong di Bali, serta menganalisis dampak pemberlakuan kebijakan kuota terhadap penawaran dan populasi sapi, serta kesejahteraan peternak sapi di Bali. Dalam penelitian ini, fenomena ekonomi sapi potong diformulasikan sebagai model ekonometrika, yaitu model persamaan simultan. Pendugaan parameter model dilakukan dengan metode Two Stage Least Squares dan menggunakan data deret waktu (1980-2007). Analisis simulasi dengan menggunakan beberapa skenario dilakukan untuk melihat dampak kebijakan kuota. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa terdapat saling keterkaitan antara produksi, populasi, penawaran, dan harga sapi potong di Bali. Total penawaran sapi potong di Bali secara nyata dipengaruhi oleh produksi dan harga sapi potong di daerah itu. Total penawaran dan produksi sapi secara nyata mempengaruhi populasi sapi di Bali. Kebijakan kuota menyebabkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta secara nyata tidak dipengaruhi oleh dan tidak responsif terhadap harga sapi potong di Jakarta. Di samping itu, harga sapi potong di Bali tidak responsif terhadap harga sapi potong di Jakarta. Berdasarkan pada hasil simulasi, kebijakan peningkatan kuota perdagangan dapat meningkatkan penawaran dan kesejahteraan peternak, tetapi menurunan populasi sapi di Bali. Namun, jika kebijakan tersebut dipadukan dengan kebijakan peningkatan produksi, maka penawaran dan populasi sapi serta kesejahteraan peternak dapat ditingkatkan secara simultan.

(5)

I WAYAN SUKANATA. Dampak Kebijakan Kuota Perdagangan terhadap Penawaran dan Populasi Sapi serta Kesejahteraan Peternak di Provinsi Bali. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan I WAYAN RUSASTRA.

Provinsi Bali merupakan salah satu daerah sentra produksi sapi potong nasional, khususnya sapi bali, yang juga merupakan daerah surplus sehingga menjadi salah satu pemasok sapi potong untuk pasar di Jakarta. Selisih harga yang menarik antara kedua daerah menyebabkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta tumbuh pesat. Tingginya penawaran tersebut dipandang dapat menguras populasi sapi di Bali. Untuk menghindari hal tersebut maka sejak tahun 1970-an pemerintah Daerah Bali telah menetapkan kebijakan kuota, yang membatasi jumlah sapi yang boleh diperdagangkan dari Bali ke luar. Kuota yang ditetapkan tersebut cenderung meningkat setiap tahun.

Menurut Tweeten (1992) dan Krugman (2003), peningkatan kuota perdagangan dapat meningkatkan penawaran dan kesejahteraan produsen di daerah dimana kebijakan tersebut diberlakukan. Berdasarkan hal tersebut maka peningkatan kuota perdagangan sapi potong dari Bali ke luar dapat meningkatkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dan kesejahteraan peternak sapi di Bali. Disisi lain, Mudikdjo (1999) menyatakan bahwa pengeluaran dan pemotongan ternak dari suatu daerah akan mengurangi populasi ternak tersebut di daerah itu. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta berpotensi mengurangi populasi sapi di Bali. Populasi mempunyai kemampuan berkembang biak, sehingga dalam suatu periode waktu tertentu populasi ternak sapi di Bali akan menghasilkan sejumlah ternak sapi baru yang akan menambah populasi sapi di daerah itu. Populasi sapi di daerah itu akan turun jika selama periode waktu tersebut total penawarannya (penawaran untuk dipotong di Bali dan penawaran ke Jakarta) melebihi produksinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kuota yang berlebihan (tidak seimbang dengan produksi) akan dapat menurunkan populasi. Penurunan populasi tersebut akan menurunkan produksi dimasa yang akan datang yang selanjutnya akan menurunkan penawarannya. Jadi peningkatan kuota yang berlebihan dapat meningkatkan penawaran dan kesejahteraan peternak tetapi menurunkan populasi sapi. Penurunan populasi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan penawaran dan kesejahteraan tersebut tidak akan berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran sapi potong di Bali, dan menganalisis dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangansapi potong di Bali terhadap penawaran dan populasi sapi serta kesejahteraan peternak sapi di daerah tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan dan pengembangan sapi potong, sehingga populasi, penawaran dan kesejahteraan peternak dapat ditingkatkan secara simultan dan berkelanjutan.

(6)

Hasil pendugaan menunjukkan bahwa penawaran dan populasi sapi potong di Bali merupakan sistem yang komplek, dimana didalamya terdapat berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Populasi Sapi di Bali secara nyata dipengaruhi oleh produksi sapi di Bali, total penawaran sapi potong di Bali dan lag populasi sapi di Bali. Dalam jangka panjang populasi sapi di Bali sangat responsif terhadap produksi sapi di Bali dan total penawaran sapi potong di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian penawaran yang diikuti dengan upaya peningkatan produksi sangat penting untuk mencegah penurunan populasi.

Total penawaran sapi potong di Bali dipengaruhi secara nyata oleh harga sapi potong di Bali dan produksi sapi di Bali, namun kurang responsif terhadap perubahan kedua peubah tersebut. Harga sapi potong di Bali dipengaruhi secara nyata oleh harga sapi potong di Jakarta, lag penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dan harga daging sapi di Bali, namun kurang responsif terhadap perubahan ketiga peubah tersebut dalam jangka pendek. Produksi sapi di Bali dipengaruhi secara nyata oleh populasi sapi induk betina, harga pakan konsentrat dan realisasi kredit. Produksi sapi di Bali cukup responsif terhadap perubahan populasi sapi induk betina. Populasi dan teknologi IB memberikan pengaruh yang positif terhadap produksi, namun tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi maupun realisasi IB selama ini masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan agar dapat meningkatkan produksi secara lebih nyata. Penurunan luas lahan pertanian selama ini telah menurunkan produksi sapi di Bali namun tidak nyata. Total penawaran tersebut di atas memberikan pengaruh yang nyata terhadap penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta. Berdasarkan pada nilai elastisitasnya, penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta responsif terhadap perubahan total penawaran sapi potong di Bali.

Permintaan daging sapi oleh pasar di Bali dipengaruhi secara nyata oleh harga daging sapi di Bali dan pendapatan per kapita masyarakat di Bali. Permintaan daging sapi oleh pasar di Bali responsif terhadap perubahan harga daging sapi di Bali dalam jangka panjang tapi kurang responsif dalam jangka pendek. Permintaan tersebut responsif terhadap perubahan pendapatan per kapita masyarakat di Bali, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa daging sapi masih merupakan barang mewah bagi sebagian besar masyarakat di Bali. Daging kambing dan daging babi masing-masing mempunyai hubungan substitusi dan komplemen yang lemah dengan daging sapi. Harga daging sapi di Bali dipengaruhi secara nyata oleh total permintaannya dan harga sapi potong di Bali, namun kurang responsif terhadap perubahan kedua peubah tersebut dalam jangka pendek.

Produksi daging sapi di Bali dipengaruhi secara nyata oleh dan responsif terhadap harga sapi potong di Bali maupun lag harga daging sapi di Bali. Produksi daging sapi di Bali dipengaruhi juga oleh penawaran sapi untuk dipotong di Bali, namun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa sapi yang dipotong di Bali beratnya cenderung menurun, sehingga peningkatan jumlah pemotongan tidak secara nyata meningkatkan jumlah daging yang diperoleh.

(7)

terhadap perubahan harga sapi potong di Jakarta. Penawaran tersebut lebih dipengaruhi oleh sisi produksi dibandingkan sisi harga. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan kuota cukup epektif untuk mengendalikan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dalam rangka mencegah penurunan populasi, namun sebagai konsekuensinya peternak tidak dapat menikmati lonjakan-lonjakan harga yang terjadi di Jakarta secara optimal. Di samping itu, pemberlakuan kebijakan kuota juga telah menyebabkan perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta hanya dikuasai oleh pihak-pihak tertentu saja yang mendapat hak kuota dari pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan harga sapi potong di Bali kurang responsif terhadap perubahan harga di Jakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan harga di Jakarta akan lebih banyak dinikmati oleh pedagang antar pulau yang mendapat hak kuota dari pemerintah.

Hasil simulasi model menunjukkan bahwa peningkatan kuota perdagangan dapat meningkatkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dan kesejahteraan peternak sapi di Bali, tetapi dapat menurunkan populasi sapi di daerah tersebut, namun jika kebijakan tersebut dipadukan dengan beberapa kebijakan peningkatan produksi, maka penawaran dan populasi sapi serta kesejahteraan peternak di Bali dapat ditingkatkan secara simultan. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan harga yang terlalu tinggi antara kedua daerah dapat memicu terjadinya penyelundupan sapi potong dari Bali ke Jakarta, sehingga berpotensi menurunkan populasi sapi di Bali.

Kebijakan peningkatan kuota harus diimbangi dengan kebijakan peningkatan produksi seperti pencegahan pemotongan sapi betina induk produktif, peningkatan akses peternak dalam memperoleh kredit dan peningkatan realisasi teknologi IB, sehingga populasi, penawaran, dan kesejahteraan peternak dapat ditingkatkan secara bersama-sama dan berkesinambungan. Sistem kemitraan antara peternak sapi dengan para pedagang sapi antar pulau yang dilandasi dengan prinsip saling menguntungkan dan keadilan, perlu aktifkan kembali sebagai salah satu upaya untuk membantu mengatasi masalah permodalan yang dihadapi oleh peternak. Kebijakan peningkatan kuota hendaknya juga mempertimbangkan kebutuhan daging sapi di daerah Bali sendiri. Perhitungan populasi dan produksi harus dilakukan secara cermat dengan didukung oleh informasi data yang akurat, sehingga jumlah kuota yang ditetapkan tepat. Peningkatan bargaining position peternak dalam perdagangan sapi potong dapat dilakukan dengan perbaikan struktur pasar, yaitu dengan memperbanyak jumlah pedagang sapi yang mendapat hak kuota, disamping juga perlu didukung oleh adanya informasi harga yang akurat. Upaya pencegahan penyelundupan yang dapat dipicu oleh perbedaan harga yang tinggi antara kedua daerah juga sangat penting di lakukan. Sapi bali merupakan salah satu aset nasional yang penting untuk dilestarikan, sehingga dalam pengembangannya perlu mendapat perhatian yang lebih besar baik oleh Pemerintah Daerah Bali maupun pemerintah pusat.

(8)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang- Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(9)

SERTA KESEJAHTERAAN PETERNAK

DI PROVINSI BALI

I WAYAN SUKANATA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Nama : I Wayan Sukanata

NRP : H351060061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas

segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan populasi sapi di

Provinsi Bali serta menganalisis dampak pemberlakuan kebijakan kuota

perdagangan sapi potong di Provinsi Bali terhadap penawaran dan populasi sapi

serta kesejahteraan peternak di daerah tersebut.

Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat arahan,

bantuan, dorongan dan doa berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS., selaku ketua komisi pembimbing yang

dengan segala dedikasi dan antusiasmenya dalam memberikan bimbingan dan

arahan dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU., selaku anggota komisi pembimbing,

yang dengan sabar memberikan masukan-masukan yang sangat berharga.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian, atas perhatian, bimbingan dan motivasi yang telah

diberikan selama mengikuti pendidikan.

4. Pemerintah Republik Indonesia khususnya Direktur Jenderal Pendidikan

Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS bagi penulis.

5. Bapak Frans, Bapak Wistemaja, Bapak Atmaja dan ibu AA. Istri Iriani beserta

staf Dinas Peternakan Provinsi Bali yang telah banyak memberikan informasi

(13)

fasilitas dan kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis.

7. Ibu Suciani, Bapak I Gusti Ngurah Kayana, Bapak Wayan Budiarta, Bapak

Gde Spatika, Bapak Ketut Warsa Parimarta, Budi Rahayu, Bapak Tjok. Gde

Oka Susila, Bapak IB. Gaga Partama, Bapak Nyoman Suparta dan semua

dosen di Fakultas Peternakan Universitas Udayana, yang selalu memberi

dorongan dan semangat untuk meraih cita-cita.

8. Teman-teman seperjuangan di PS. Ilmu Ekonomi Pertanian khususnya

angkatan 2005 & 2006 yang merupakan sumber semangat yang tiada habisnya.

9. Teman-teman seperjuangan di Wisma Garduraya: Bapak Nyoman Suarsana,

Bapak Ngurah Sudisma, Ibu Made Ernawati, Rai Widarta, Ida Bagus Ketut

Widnyana Yoga, Nyoman Puspawati, Ketut Sutiari, Bapak Rai Temaja, Bapak

Agung Arta Putra, Kamdan, Yuli, Diah, Arnata, dan Sukarta atas

persaudaraannya baik dalam suka maupun duka.

10.Bapak Nengah Berata dan Ibu Sumarni beserta keluarga atas segala

pengorbanan dan doa restunya yang telah diberikan.

11.Bapak I Made Karsana dan ibu Ni Wayan Kartu (alm) adalah ayah dan bunda

penulis atas kasih sayangnya yang tiada henti dan doa restu yang telah

diberikan, begitu pula kepada ibu Ni Nyoman Serata, I Made Suastika,

Ni Komang Ratnasih dan seluruh keluarga besar atas doa dan segala

dukungannya.

12.Ni Wayan Padma Yogi, dan I Wayan Danuja Pramudita Daniswara, istri dan

(14)

setinggi-tingginya. Karya ini merupakan persembahan terbaik penulis,

namun tiada gading yang tak retak, tentu masih banyak kekuranganya, namun

demikian penulis tetap berharap semoga karya ini bermanfaat bagi yang

membacanya.

Bogor, Agustus 2008

(15)

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Maret 1977 di Banjar Penginyahan,

Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, sebagai

anak pertama dari ayah I Made Karsana dan ibu Ni Wayan Kartu.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Puhu pada tahun

1989. Pada tahun 1992 penulis menamatkan pendidikan sekolah menegah pertama

di SMP Negeri 2 Payangan, dan pada tahun 1995 menyelesaikan pendidikan

sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Ubud. Pada tahun 1996 penulis

melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Peternakan Universitas Udayana

jurusan Produksi Ternak, dan tamat pada tahun 2000. Pada tahun 2006 penulis

mendapat beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana untuk

Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor.

Pada tahun 2001-2003 penulis pernah bekerja di PT. Charoen Pokphand

Cabang Denpasar sebagai Technical Service. Sejak tahun 2003 sampai sekarang

penulis adalah staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Penulis menikah dengan Ni Wayan Padmayogi pada tahun 2006 dan telah

(16)

i

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Sapi Bali dan Penyebarannya ... 13

2.2. Perkembangan Populasi dan Pola Pengusahaan Sapi Bali di Bali ... 16

2.3. Potensi Pengembangan Sapi Bali di Bali... 20

2.4. Produksi dan Penawaran Sapi di Bali ... 23

2.5. Program Inseminasi Buatan ... ... 27

2.6. Pemasaran Sapi di Bali ... 28

2.7. Perdagangan dan Kebijakan Perdagangan Sapi Potong Antar Pulau ... 31

2.8. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 33

III. KERANGKA TEORITIS ... 39

3.6. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen ... ... 49

(17)

ii

3.6.2. Surplus Produsen ... 52

3.7. Analisis Keseimbangan Parsial ... ... 54

3.8. Hambatan dalam Perdagangan ... .. 57

3.9. Dampak Kebijakan Kuota Ekspor ... ... 59

3.10. Kebijakan Kuota Perdagangan Sapi Potong di Bali ... 64

IV. METODE PENELITIAN ... 66

4.1 Pendekatan Kuantitatif... . 66

4.1.1. Pemilihan Model ... 66

4.1.2. Spesifikasi Model ... 67

4.1.2.1. Produksi Sapi di Bali ... 68

4.1.2.2. Populasi Sapi di Bali ... 72

4.1.2.3. Total Penawaran Sapi Potong di Bali... 73

4.1.2.4. Penawaran Sapi Potong dari Bali ke Jakarta .. 74

4.1.2.5. Penawaran Sapi untuk dipotong di Bali... 74

4.1.2.6. Harga Riil Sapi Potong di Bali... 75

4.1.2.7. Harga Riil Daging Sapi di Bali... 75

4.1.2.8. Total Permintaan Daging Sapi di Bali... 76

4.1.2.9. Permintaan Daging Sapi oleh Pasar di Bali... 77

4.1.2.10. Produksi Daging Sapi di Bali ... 78

4.1.3. Identifikasi Model... 78

4.1.4. Metode Pendugaan Model ... ... 81

4.1.5. Evaluasi dan Validasi Model ……... 82

4.1.6. Analisis Struktural dan Simulasi Model……… 85

4.1.7. Analisis Kesejahteraan Produsen dan Konsumen….... 89

4.2. Pendekatan Kualitatif... .. 90

4.3. Jenis dan Sumber Data ... 91

V. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 92

5.1. Hasil Pendugaan Model……….... 92

5.2. Pembahasan Hasil Pendugaan Model……….. 95

5.2.1. Produksi Sapi di Bali... 95

5.2.2. Populasi Sapi di Bali ... .... 101

(18)

iii

5.2.4. Penawaran Sapi Potong dari Bali ke Jakarta... 104

5.2.5. Harga Riil Sapi Potong di Bali ... ... 106

5.2.6. Harga Riil Daging Sapi di Bali ... ... 108

5.2.7. Permintaan Daging Sapi oleh Pasar di Bali... ... 109

5.2.8. Produksi Daging Sapi di Bali ... ... 111

VI. EVALUASI SIMULASI KEBIJAKAN... 114

6.1. Hasil Validasi Model... 114

6.2. Hasil Simulasi Kebijakan……… .. 115

6.3. Dampak Simulasi Kebijakan terhadap Kesejahteraan Peternak 129 VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN... 135

7.1. Kesimpulan ... 135

7.2. Implikasi Kebijakan... ... 136

7.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan... ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(19)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Populasi Sapi Bali di Beberapa Provinsi pada Tahun 2001... 15

2. Populasi Sapi pada Beberapa Sentra Produksi Tahun 2006 ... 17

3. Perkembangan Populasi Sapi di Bali ... 18

4. Komposisi Populasi Sapi di Bali ...………...…... 18

5. Luas Lahan Penghasil Hijauan di Bali pada Tahun 2005 ... 23

6. Penawaran Sapi Potong di Bali ... 25

7. Produksi Sapi di Bali... 26

8. Produksi Daging Sapi dan Pemotongan Sapi di Bali ... 26

9. Beberapa Daerah Surplus Sapi Potong pada Tahun 2007... 32

10. Pertumbuhan Jumlah Sapi Potong yang di Perdagangkan ke Jakarta... 32

11. Dampak Penerapan Kuota Ekspor di Negara Besar ... 62

12. Dampak Penerapan Kuota Ekspor di Negara Kecil ... 64

13. Daftar Persamaan Identitas... ... 80

14. Hasil Identifikasi Model... 80

15. Daftar Peubah yang Digunakan dalam Model ... 81

16. Hasil Pendugaan Parameter dan Uji Statistik Model Ekonomi Sapi Potong di Bali, Tahun 1980-2007... 93

17. Elastisitas Rata-Rata Pebubah-Peubah Endogen terhadap Peubah-Peubah Penjelas dalam Model Ekonomi Sapi Potong... 94

18. Realisasi KKP untuk Subsektor Peternakan di Provinsi Bali ... .. 98

19. Daftar Indikator Statistik Validasi Model ... ... 114

(20)

v

21. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kombinasi Kebijakan Peningkatan Kuota Perdagangan 10 Persen dengan Peningkatan

IB 20 Persen... ... 117

22. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kombinasi Kebijakan Peningkatan Kuota Perdagangan 10 Persen dengan Peningkatan

Kredit 20 Persen... ... 120

23. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kombinasi Kebijakan Peningkatan Kuota Perdagangan 10 Persen dengan Peningkatan Usaha Pencegahan Pemotongan Sapi Betina induk Produktif

5 Persen... ... 122

24. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kombinasi Peningkatan Kuota Perdagangan 10 Persen dengan Peningkatan Realisasi Teknologi IB dan Kredit 20 Persen serta Pencegahan

Pemotogan Sapi Betina Induk Produktif 5 Persen... ... 124

25. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kombinasi Kebijakan Peningkatan Kuota Perdagangan 10 Persen dengan Peningkatan

Harga Riil Sapi Potong di Jakarta 10 Persen... ... 126

26. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kombinasi Peningkatan Kuota Perdagangan 10 Persen dengan Peningkatan Realisasi Teknologi IB dan Kredit 20 Persen, Pencegahan Pemotogan Sapi Betina Induk Produktif 5 Persen, serta Peningkatan Harga

Sapi di Jakarta 10 Persen... 128

27. Dampak Kebijakan Kuota Perdagangan Terhadap Penawaran

(21)

vi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hubungan Antara Populasi, Penawaran, Produksi Sapi dan Daging Sapi serta Pemasaran Sapi Potong dan Daging Sapi di

Bali... 24

2. Skema Rantai Tata Niaga Sapi di Bali... 30

3. Surplus Konsumen …... ... 50

4. Surplus Produsen ... 53

5. Mekanisme Terciptanya Keseimbangan dalam Perdagangan ... 55

6. Dampak Penerapan Kuota Ekspor di Negara Besar ………... 60

7. Dampak Penerapan Kuota Ekspor di Negara Kecil ... 63

(22)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Aktual Peubah-Peubah yang Digunakan dalam Pendugaan

Model Ekonomi Sapi Potong di Provinsi Bali... 147

2. Sumber Data Penelitian... 149

3. Program Pendugaan Model Ekonomi Sapi Potong di Provinsi

Bali dengan Menggunakan SAS 9.1... 150

4. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Sapi Potong di Provinsi Bali

dengan menggunakan SAS 9.1... 152

5. Program Validasi Model Ekonomi Sapi Potong di Provinsi Bali

dengan Menggunakan SAS 9.1... ... 161

6. Hasil Validasi Model Ekonomi Sapi Potong di Provinsi Bali

dengan Menggunakan SAS 9.1... ... 163

7. Program Simulasi Kebijakan dengan Contoh Skenario 7,

Menggunakan SAS 9.1... 165

8. Hasil Simulasi Kebijakan dengan Contoh Skenario 7,

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional yang pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Pembangunan peternakan dimasa depan adalah

pembangunan yang berorientasi pada pengembangan pola agribisnis berbasis

sumber daya lokal untuk menciptakan suatu peternakan yang tangguh, berdaya

saing tinggi, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Subsektor peternakan diharapkan

mampu mengemban misinya, yaitu: menyediakan pangan asal ternak yang cukup

(baik kuantitas maupun kualitasnya), memberdayakan sumberdaya manusia

peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi,

menciptakan peluang ekonomi, serta melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya

alam pendukung peternakan.

Salah satu jenis ternak yang mempunyai andil cukup besar dalam

penyediaan daging nasional adalah ternak sapi. Jenis ternak ini lebih dari 90

persen merupakan peternakan rakyat, yang pemeliharaannya lebih banyak

menggunakan sumber daya lokal (Priyanto, 2003). Dengan tidak banyak

tergantung pada bahan baku impor, peternakan sapi rakyat berpeluang menjadi

suatu peternakan yang tangguh. Hal ini didukung oleh Erizal (1994) yang

menyatakan bahwa usaha peternakan sapi potong yang berskala kecil lebih

kompetitif dibandingkan dengan yang berskala besar.

Daging sapi merupakan komoditas kedua terbesar setelah daging ayam

(24)

daging sapi selama lima tahun terakhir mencapai 20 persen dari total produksi

daging nasional (Ditjen Peternakan, 2007). Sejalan dengan terus meningkatnya

jumlah penduduk dari tahun ke tahun, permintaan daging sapi nasional terus

meningkat, namun teryata hal tersebut belum didukung oleh pertumbuhan

populasi sapi yang cukup. Rata-rata laju permintaan daging sapi per tahun selama

tahun 2002-2006 sekitar 17.13 persen, sementara rata-rata laju pertumbuhan

populasi sapi nasional -0.97 persen per tahun. Hal ini merupakan tanda-tanda

pengurasan populasi sapi, yang jika dibiarkan maka dalam jangka panjang akan

menurunkan produksi sapi nasional. Pemotongan sapi betina produktif maupun

pemotongan sapi jantan yang belum mencapai berat potong dapat terjadi untuk

memenuhi tingginya permintaan pasar. Penurunan populasi pada akhirnya juga

akan menyebabkan ketergantungan terhadap impor akan semakin tinggi, sehingga

mengancam ketahanan pangan nasional khususnya daging sapi.

Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi daging sapi nasional

dimana produksi daging sapi masih jauh dibawah permintaannya, menyebabkan

Indonesia menjadi negara net importir daging sapi maupun bakalan. Pada periode

tahun 2002-2006, rata-rata produksi daging sapi nasional sebanyak 378 738 ton

per tahun dimana pada tahun 2002 sebanyak 330 290 ton dan pada tahun 2006

menjadi 389 294 ton, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5.4 persen per tahun

(Ditjen Peternakan, 2007).

Impor daging sapi maupun bakalan dilakukan untuk menutupi kekurangan

produksi dalam pemenuhan kebutuhan nasional. Perkembangan impor nasional,

baik impor daging sapi maupun bakalan pada beberapa tahun terakhir cenderung

(25)

dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 27 persen per tahun (tahun 2002-2006),

dimana pada tahun 2002 jumlah impor daging sapi sebanyak 11. 47 ribu ton dan

pada tahun 2006 menjadi 25.95 ribu ton. Sedangkan rata-rata jumlah impor sapi

bakalan pada kurun waktu yang sama sebanyak 221 640 ekor per tahun, dengan

pertumbuhan sebesar 11.39 persen per tahun, dimana pada tahun 2002 jumlah

impor bakalan sebanyak 141 700 ekor, dan tahun 2006 menjadi 256 700 ekor.

Meningkatnya permintaan daging sapi impor juga dipengaruhi oleh kondisi harga

daging sapi impor yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di dalam

negeri. Pada periode 2001-2006, rata-rata harga daging sapi nasional adalah Rp

34 807/kg, sementara rata-rata harga daging sapi impor adalah Rp 17 041/kg

(Departemen Perdagangan, 2006). Selisih harga yang begitu besar akan

memberikan insentif yang menarik bagi importir untuk melakukan impor.

Tingkat ketergantungan terhadap daging sapi impor dalam pemenuhan

kebutuhan nasional selama beberapa tahun terakhir cenderung terus meningkat.

Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata proporsi daging sapi impor dalam pemenuhan

kebutuhan daging sapi nasional yang terus mengalami peningkatan sejak beberapa

tahun terakhir. Pada tahun 2002, sebanyak 3.35 persen dari kebutuhan daging sapi

nasional di penuhi dari daging sapi impor dan pada tahun 2006 telah menjadi

6.25 persen (Ditjen Peternakan 2006). Selanjutnya jika dilihat dari nilainya, impor

daging sapi dan sapi bakalan nasional, pada tahun 2001-2005 menghabiskan

devisa negara yang cukup besar, yaitu rata-rata Rp 1.93 triliun per tahun

(Departemen Perdagangan, 2006).

Sebagai negara yang mempunyai jumlah penduduk cukup besar,

(26)

negeri menjadi penting. Jika misalnya karena sesuatu hal hubungan politik dengan

negara lain tidak harmonis, maka hal itu dapat mengganggu hubungan ekonomi

dan perdagangan dengan negara tersebut. Tingginya tingkat ketergantungan

terhadap impor tentu mencerminkan kemerdekaan secara ekonomi belum tercapai.

Salah satu strategi yang harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan

antara produksi dan konsumsi sapi potong nasional dalam rangka mencapai

swasembada daging sapi di masa yang akan datang adalah meningkatkan produksi

dengan cara yang efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Peningkatan produksi

tersebut dapat dilakukan dengan peningkatan populasi sapi melalui

pengembangan agribisnis yang berbasis sumber daya lokal. Salah satu sumber

daya ternak sapi lokal yang sudah diakui keunggulannya adalah sapi bali. Provinsi

Bali merupakan salah satu sentra produksi sapi bali yang genetiknya masih murni.

Daerah ini merupakan sumber plasma nutfah sapi bali. Disamping itu, daerah ini

juga merupakan daerah surplus dalam hal sapi potong sehingga merupakan salah

satu pemasok sapi potong untuk pasar Jakarta. Data Dinas Peternakan Provinsi

Bali (2007) menunjukkan bahwa perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta

tumbuh dengan pesat, yaitu rata-rata 9.55 persen per tahun, dimana pada tahun

2001 jumlah sapi potong yang diperdagangkan dari Bali ke Jakarta sebanyak

58 000 ekor, dan pada tahun 2007 menjadi 75 000 ekor. Tingginya permintaan

sapi potong oleh pasar di Jakarta merupakan peluang emas untuk meningkatkan

pendapatan petani peternak. Namun sayang peluang tersebut belum dapat diraih

secara maksimal, karena tingginya permintaan tersebut belum dapat diimbangi

dengan pertumbuhan produksi yang cukup. Pada periode tersebut, rata-rata

(27)

perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta, dimana rata-rata pertumbuhan

produksinya hanya sebesar 7.87 persen per tahun.

Populasi sapi di Bali pada tahun 2007 diketahui sebanyak 633 789 ekor

dengan rata-rata pertumbuhan hanya 3.3 persen per tahun (periode 2001-2007),

namun pada periode tahun 1997-2002 pertumbuhannya sempat negatif

(rata-rata -0.5 persen per tahun). Tingginya tingkat pengiriman sapi dari Bali ke

luar Bali untuk diperdagangkan diduga merupakan salah satu penyebab rendahnya

pertumbuhan populasi sapi di Daerah Bali. Disamping itu, hal tersebut juga

diduga dapat menurunkan jumlah sapi yang dapat dipotong di Bali. Hal ini

berkaitan dengan penurunan produksi daging sapi di Bali selama beberapa tahun

terakhir. Selama periode 2001-2007, rata-rata produksi daging sapi di Bali

menurun 4.2 persen per tahun.

Tingginya perdagangan sapi potong dari Bali ke luar dipandang akan

menguras populasi sapi di Daerah Bali. Untuk mencegah hal itu maka pemerintah

Provinsi Bali sejak tahun 1970-an memberlakukan kebijakan kuota perdagangan

yang membatasi jumlah sapi yang boleh diperdagangkan dari Bali ke luar Bali.

Kebijakan tersebut diatur berdasarkan SK Gubernur Bali yang ditetapkan setiap

tahun. Kebijakan ini di latarbelakangi oleh pemikiran bahwa pertumbuhan

produksi sapi di Bali belum dapat mengimbangi tingginya pertumbuhan

permintaan sapi oleh pasar di luar Bali, sehingga perdagangan sapi potong yang

tidak dibatasi dipandang akan memicu terjadinya pengurasan populasi, yang

selanjutnya akan menurunkan produksi dan penawaran sapi dimasa yang akan

datang. Disamping itu, Daerah Bali juga merupakan daerah pemurnian sapi bali,

(28)

yang dihasilkan sendiri, dan tidak bisa memasukkan bibit dari luar, seperti yang

dapat dilakukan oleh peternak di daerah lainnya. Oleh karena itu, penerapan

kebijakan kuota perdagangan sapi potong dipandang sangat penting untuk

menjaga kelestarian sapi di daerah ini.

Data Dinas Peternakan provinsi Bali menunjukkan bahwa kuota

perdagangan sapi potong dari Bali ke luar cenderung meningkat dari tahun ke

tahun. Secara teoritis, peningkatan kuota tersebut berdampak pada penawaran dan

populasi sapi serta kesejahteraan peternak di Provinsi Bali. Perhatian terhadap

perkembangan populasi dan kesejahteraan peternak sangat penting dilakukan

untuk menjaga kelestarian sapi bali di daerah ini. Peningkatan kesejahteraan

peternak dapat meningkatkan gairah peternak untuk memelihara sapi sehingga

populasi dapat ditingkatkan, dimana peningkatan populasi tersebut sangat penting

untuk meningkatkan produksi sapi dimasa datang. Berdasarkan hal-hal tersebut di

atas, maka penelitian ini sangat penting untuk menganalisis faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap penawaran dan populasi sapi serta sejauh mana sebenarnya

dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan terhadap penawaran dan

populasi sapi serta kesejahteraan peternak di Provinsi Bali.

1.2. Perumusan Masalah

Daerah Bali merupakan daerah pemurnian sapi bali sehingga satu-satunya

jenis ternak sapi yang boleh dikembangkan di daerah ini adalah sapi bali. Sapi

yang dihasilkan di daerah ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan

berbagai jenis sapi lainnya, baik dalam hal persentase karkas maupun kualitas

(29)

digemari, baik oleh konsumen di Bali maupun di luar Bali. Jakarta merupakan

daerah tujuan pengiriman sapi potong yang dihasilkan di Bali. Perbedaan harga

yang menarik diantara kedua daerah menyebabkan perdagangan sapi potong dari

Bali ke daerah tersebut tumbuh sangat pesat, yaitu rata-rata 9.55 persen per tahun

(tahun 2001-2007). Namun, pada kurun waktu yang sama, rata-rata jumlah sapi

yang dipotong di Bali cenderung mengalami penurunan (-1.6 persen per tahun),

sehingga jumlah daging yang dihasilkan dari pemotongan di Bali juga

menunjukkan tren yang menurun, yaitu rata-rata 4.2 persen per tahun.

Sebagian besar sapi potong yang dihasilkan di Bali pada awalnya

ditawarkan untuk memenuhi permintaan pasar di Bali (dipotong di Bali), namun

tampaknya kondisi tersebut kini telah terbalik dimana sebagian besar dari jumlah

sapi yang dihasilkan ditawarkan untuk memenuhi permintaan pasar di Jakarta.

Pada tahun 1980 jumlah penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta sekitar 38.06

persen dari total penawaran sapi potong di Bali, namun pada tahun 2007

meningkat menjadi sekitar 68.42 persen.

Sehubungan dengan ditetapkannya daerah Bali sebagai daerah pemurnian

sapi bali maka penawaran sapi potong di Bali hanya bersumber dari hasil produksi

sendiri, tanpa dapat mendatangkan sapi potong dari daerah lainnya maupun dari

impor. Disamping itu, pemenuhan kebutuhan bibit juga hanya dapat dipenuhi dari

hasil sendiri. Para peternak tidak dapat membeli bibit sapi dari luar Bali seperti

yang dapat dilakukan oleh peternak di daerah lainnya di Indonesia. Hal ini

membawa konsekuensi bahwa jika sampai terjadi penurunan populasi sapi dalam

jumlah yang besar, maka populasi tersebut akan sulit dikembalikan seperti

(30)

perkembangbiakannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk mencegah

terjadinya pengurasan populasi, maka pemerintah menetapkan kebijakan

pembatasan jumlah (kuota) sapi yang boleh diperdagangkan dari Bali ke luar

berdasarkan SK Gubernur Bali. SK tersebut menunjukkan bahwa jumlah kuota

perdagangan sapi potong dari Bali ke luar Bali cenderung meningkat setiap tahun.

Penawaran, populasi sapi potong, dan kesejahteraan peternak memiliki

hubungan yang erat dan merupakan suatu sistem yang komplek yang melibatkan

berbagai faktor yang saling terkait. Jika terjadi perubahan pada salah satu faktor,

maka dapat menyebabkan perubahan pada sistem secara keseluruhan, termasuk

juga jika ada suatu kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah. Secara

teoritis, kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong dari Bali ke luar

dapat meningkatkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dan kesejahteraan

peternak sapi di Bali. Menurut Tweeten (1992) dan Krugman (2003), peningkatan

kuota perdagangan dapat meningkatkan penawaran dan kesejahteraan produsen di

daerah dimana kebijakan tersebut diberlakukan. Disisi lain, menurut

Mudikdjo (1999), jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak dari suatu daerah

dapat mengurangi populasi di daerah itu. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran

sapi potong dari Bali ke Jakarta dapat mengurangi populasi sapi di Bali.

Populasi ternak sapi di Bali dalam suatu periode waktu tertentu akan

menghasilkan (memproduksi) sejumlah ternak sapi baru yang akan menambah

populasi sapi di daerah itu, karena populasi tersebut mempunyai kemampuan

berkembang biak. Populasi sapi di daerah itu akan turun jika selama periode

waktu tersebut penawarannya melebihi produksinya. Hal ini mengindikasikan

(31)

menurunkan populasi. Penurunan populasi tersebut akan menurunkan produksi

dimasa yang akan datang yang selanjutnya juga akan menurunkan penawaran.

Peningkatan kuota yang berlebihan dapat meningkatkan penawaran dan

kesejahteraan peternak tetapi menurunkan populasi sapi di Bali, sehingga

peningkatan penawaran dan kesejahteraan tersebut tidak akan berkelanjutan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan penting yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain :

1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penawaran dan populasi sapi

potong di Bali.

2. Bagaimana dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan sapi

potong di Bali terhadap penawaran sapi potong di Bali.

3. Bagaimana dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan sapi

potong di Bali terhadap perkembangan populasi sapi di Bali.

4. Bagaimana dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan sapi

potong di Bali terhadap kesejahteraan peternak di Bali.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan populasi

sapi potong di Bali.

2. Menganalisis dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan sapi

potong di Bali terhadap penawaran sapi potong di Bali.

3. Menganalisis dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan sapi

(32)

4. Menganalisis dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan sapi

potong di Bali terhadap kesejahteraan peternak di Bali.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

perilaku penawaran dan populasi sapi di Provinsi Bali. Di samping itu, hasil

penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dampak

penerapan kebijakan kuota perdagangan sapi potong terhadap penawaran dan

perkembangan populasi sapi, serta kesejahteraan peternak di Provinsi Bali.

Informasi tersebut dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil

keputusan (decision maker) dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat yang

berkaitan dengan perdagangan dan pengembangan sapi potong di masa yang akan

datang. Dengan demikian maka penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta,

populasi, serta kesejahteraan peternak dapat terus ditingkatkan secara simultan.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi penawaran dan populasi sapi di Provinsi Bali serta melihat

dampak pemberlakuan kebijakan kuota perdagangan sapi potong di Bali terhadap

penawaran dan populasi sapi, serta kesejahteraan peternak di Provinsi Bali.

Fenomena ekonomi sapi potong di Bali diformulasikan sebagai model

ekonometrika, yaitu model persamaan simultan. Pendugaan model dilakukan

dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS) dan menggunakan data deret

waktu dari tahun 1980 sampai 2007. Dampak yang ditimbulkan dari adanya

(33)

Simulasi kebijakan yang dilakukan tidak hanya meningkatkan kuota perdagangan,

tapi juga memadukan kebijakan tersebut dengan kebijakan peningkatan produksi.

Dengan demikian, diperoleh kombinasi kebijakan yang dapat meningkatkan

penawaran, kesejahteraan peternak dan populasi sapi di Bali secara simultan dan

berkelanjutan.

Beberapa keterbatasan dari kajian ini, diantaranya: (1) tidak

memperhatikan sentra-sentra produksi sapi potong yang juga memperdagangkan

sapinya ke Jakarta, (2) tidak dapat mengetahui perilaku pasar sapi potong di

Jakarta, (3) tidak melakukan disagregasi permintaan daging sapi di Bali

berdasarkan konsumen, yaitu permintaan oleh industri dan permintaan rumah

tangga, (4) tidak memasukkan pengaruh impor dalam model.

Daerah Bali bukanlah satu-satunya daerah sentra produksi sapi potong

yang menyuplai kebutuhan pasar di Jakarta, namun juga melibatkan beberapa

daerah lainnya seperti Jawa Timur, NTB, NTT, Kupang, dan yang lainnya.

Masing- masing daerah kemungkinan mempunyai perilaku penawaran yang

bervariasi. Perilaku tersebut bisa mempengaruhi pasar sapi potong di Jakarta dan

selanjutnya juga dapat mempengaruhi perilaku penawaran sapi potong di Bali.

Penelitian ini tidak mengendogenkan semua peubah-peubah yang

berkaitan dengan pasar sapi potong di Jakarta, sehingga tidak dapat mengetahui

perilaku pasar sapi potong di Jakarta. Penelitian juga tidak mendisagregasikan

permintaan daging sapi di Bali berdasarkan permintaan konsumen industri dan

konsumen rumah tangga. Padahal dalam kenyataannya ada dua kelompok

konsumen tersebut dalam pasar daging. Namun karena keterbatasan data maka

(34)

berdasarkan permintaan daging sapi oleh pasar di Bali dan permintaan daging sapi

di Bali oleh pasar di luar Bali.

Penelitian ini juga tidak memasukkan peubah impor dalam

memformulasikan model. Indonesia merupakan salah satu negara importir sapi

potong maupun daging sapi. Dengan demikian, perubahan perilaku pasar sapi

potong dunia dapat mempengaruhi perilaku pasar sapi potong nasional, termasuk

pasar sapi potong di Jakarta. Selanjutnya perubahan perilaku pasar sapi potong di

di Jakarta dapat berpengaruh pada perilaku pasar sapi potong di daerah-daerah

sentra produksi, termasuk juga pasar sapi potong di Daerah Bali, yang selama ini

(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Bali dan Penyebarannya

Ternak sapi merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui

sebagai salah satu aset nasional yang sangat penting. Di antara berbagai jenis sapi

yang ada di dunia, sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan salah satu jenis sapi

unggul yang merupakan keturunan langsung dari banteng liar (Bos sondaicus atau

Bos javanicus), yang dewasa ini masih terdapat di Ujung Kulon, Jawa Barat dan

di hutan lindung Baluran dan Blambangan Jawa Timur (Payne, 1970).

Sapi bali memiliki penampilan reproduksi dan produksi yang cukup baik

sebagai jenis sapi tipe pedaging. Secara umum sapi induk betina dapat melahirkan

anak satu ekor per periode melahirkan, dengan bobot lahir anak sekitar

16.5 ± 1.54 kg untuk anak jantan, dan 15.12 ± 1.44 kg untuk anak betina,

(Pastika & Darmadja 1976). Sedangkan bobot sapihnya (umur 205 hari) sekitar

87.6 ± 7.23 kg untuk yang jantan, dan 77.9 ± 7.53 kg untuk yang betina. Umur

pubertas sapi bali jantan adalah 21 bulan dan sapi bali betina, sekitar 15 bulan,

namun umur betina yang dianjurkan saat kawin pertama minimal 18 bulan. Lama

bunting sapi bali sekitar 285.59 ± 14.72 hari, dan interval beranak berkisar antara

528 ± 155 hari, (Darmadja 1980). Berat badan pada saat dewasa (umur 3-4 tahun)

dapat mencapai 335 ± 75 kg, sedangkan yang betina 247 ± 39 kg. Berat badan

sapi bali pada umur yang sama yang dipelihara diluar Bali jauh di bawah yang

dipelihara di Bali. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Paputungan

(1997), berat badan sapi bali yang dipelihara di Sulawesi Utara pada umur 3 tahun

(36)

sekitar 0.24 ± 0.3 kg per hari (Koger, Cunha & Warwick, 1973 dalam Arlina,

1997). Pertambahan berat badan harian sapi bali cukup responsif terhadap

pemberian pakan yang berkualitas baik pada masa penggemukan. Hal ini

didukung oleh Agung (1998) yang menyatakan bahwa sapi bali yang diberikan

pakan yang baik pada masa penggemukan, pertambahan berat badannya dapat

mencapai 313.31-959.15 gram/ekor/hari.

Menurut Bandini (1997), sapi bali memiliki beberapa keunggulan, antara

lain: mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi (83 persen) serta selang beranak

yang pendek (lebih tinggi dari fertilitas bangsa sapi Eropa), persentase karkas

tinggi (56 persen dari berat hidup, dimana sapi ongole 45 persen, sapi madura

47.80 persen, dan sapi Eropa 57 persen), serta mempunyai daya adaptasi yang

baik terhadap lingkungan. Disamping itu, menurut Martojo (1990), sapi bali

memiliki daya cerna pakan yang baik, yang terlihat dari kemampuannya untuk

memanfaatkan pakan yang kurang baik. Daya adaptasi yang tinggi terhadap

lingkungan memungkinkan penyebaran sapi bali ke pelosok tanah air, sehingga

sapi bali dikenal sebagai hewan perintis, dimana ia dapat dikembangkan di

daerah-daerah yang kering yang sebelumnya tidak terdapat ternak sapi. Dalam

pemeliharaannya, sapi bali lebih banyak menggunakan sumber daya lokal, tidak

tergantung pada bahan impor seperti pada ternak unggas dan babi. Sapi bali dapat

mengembalikan bobot badannya dengan cepat setelah berada dalam kondisi

kesulitan seperti setelah dipakai untuk bekerja atau mengalami kondisi

kekurangan pakan (Huitema, 1982) juga menambahkan bahwa. Disamping itu,

sapi bali dinyatakan mempunyai kualitas daging dan kulit yang baik. Hal ini di

(37)

mempunyai beberapa keunggulan seperti: kandungan protein cukup tinggi

(19.65-21.28 persen), dan kandungan lemak yang rendah (2.01-6.86 persen).

Penyebaran sapi bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890, yaitu ke

Sulawesi, dan kini sudah meyebar hampir diseluruh wilayah Indonesia

(Hardjosubroto, 2004). Ia juga menjelaskan bahwa sapi bali telah menyebar

sampai ke Malaysia, dan Semenanjung Cobourg Australia Utara. Beberapa daerah

di Indonesia yang mempunyai populasi sapi bali yang cukup besar antara lain:

Sulawesi Selatan, Bali, NTB, NTT, dan Lampung, seperti yang dapat dilihat pada

Tabel 1. Sapi bali memiliki berbagai keunggulan, sehingga dipandang sebagai

kekayaan nasional yang patut dijaga kelestariannya. Sapi bali yang ada di Bali

genetiknya masih murni sehingga ditetapkan kebijakan pemuliaan ternak yang

mempertahankan Daerah Bali sebagai pusat pembibitan sapi bali murni.

Tabel 1. Populasi Sapi Bali di Beberapa Provinsi pada Tahun 2001

No Provinsi Jumlah(ekor) Persentase

1 Sulawesi Selatan 751277 25.33

2 Bali 533042 17.97

3 NTB 392 090 13.22

4 NTT 472626 15.94

5 Lampung 256312 8.64

2405347 81

2965610 100

Sub Total

Total Nasional

Sumber : Atmaja, 2006

Kebijakan ini diperkuat oleh hasil konferensi luar biasa dokter hewan seluruh

Indonesia pada tahun 1934 di Pamekasan Madura yang menetapkan Daerah Bali

sebagai pusat peternakan sapi bali murni, (Pane, 1982 dalam Arlina, 1997). Hal

ini didukung dengan keputusan Dewan Raja-Raja di Bali tanggal 25 Juli 1947

(38)

selain jenis sapi Bali. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Gubernur Bali No. 45

tahun 2004 tentang pelestarian sapi bali. Berdasarkan hal tersebut, maka jenis sapi

yang boleh dikembangkan di Provinsi Bali hanyalah sapi bali, dimana sapi dari

luar Bali dilarang dimasukkan ke Bali termasuk sapi bali yang ada di luar Bali.

2.2. Perkembangan Populasi dan Pola Pengusahaan Sapi Bali di Bali

Populasi adalah kumpulan individu suatu spesies yang mempunyai potensi

untuk melakukan hubungan berbiak yang hidup pada suatu daerah dan suatu

waktu tertentu Mudikdjo (1999). Populasi sapi bali di Bali merupakan jumlah sapi

bali yang ada di daerah tersebut pada suatu tahun tertentu. Bagian terbesar

populasi sapi bali ada pada peternak di perdesaan, dan secara umum merupakan

peternakan rakyat.

Pelestarian populasi sapi bali di Bali sangat penting untuk meningkatkan

produksi sapi di masa datang, disamping juga sebagai sumber bibit sapi bali murni

yang memungkinkan disilangkan dengan jenis sapi lainnya. Hal ini sejalan dengan

yang disampaikan oleh Handiwirawan dan Subandriyo (2004), yang menyatakan

bahwa pelestarian sapi bali perlu terus dilakukan dan harus dipandang sebagai

upaya antisipatif penyediaan ’’bahan kaku’’ untuk menghasilkan jenis sapi baru

untuk dapat mengantisipasi perubahan selera pasar dimasa depan.

Mudikdjo (1999) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi populasi sapi pada suatu wilayah antara lain, pertama,

penambahan jumlah ternak yang terjadi melalui peningkatan kelahiran, misalnya

melalui inseminasi buatan (IB) dan impor ternak dari luar. Mengingat daerah Bali

(39)

dilakukan. Kedua, pengurangan jumlah ternak akibat kematian, pemotongan, dan

ekspor. Faktor yang pertama diatas tentu berpengaruh positif terhadap populasi

sedangkan faktor yang kedua akan berpengaruh negatif.

Walaupun Bali merupakan provinsi dengan luas wilayah yang tergolong

kecil, namun dari 33 provinsi yang ada, Bali memiliki populasi sapi nomer lima

terbesar, setelah Jatim, Jateng, NAD dan Sulsel, seperti yang dapat kita lihat pada

Tabel 2. Disamping itu, Provinsi Bali juga merupakan daerah surplus dalam

hal sapi potong, sehingga merupakan salah satu pemasok sapi potong untuk pasar

Tabel 2. Populasi Sapi pada Beberapa Sentra Produksi pada Tahun 2006

No Wilayah Populasi Sapi (ekor)

1 Jawa Timur 2 524 573

2 Jawa Tengah 1 391 372

3 NAD 626 447

4 Sulawesi Selatan 612 145

5 Bali 596 090

6 Nasional 10 835 686

Sumber : Ditjen Peternakan, 2006

di Jakarta. Namun demikian, menurut data Ditjen Peternakan (2007),

pertumbuhan populasi sapi di Bali masih sangat rendah. Rata-rata pertumbuhan

populasi sapi di Bali dari tahun 2001 sampai tahun 2007 hanya sebesar 3.33

persen per tahun, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3. Pertumbuhan populasi

sapi betina induk memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan

populasi, karena sapi betina induk merupakan mesin biologis yang dapat merubah

berbagai input produksi menjadi anak sapi. Berdasarkan laporan cacah jiwa ternak

(40)

Tabel 3. Perkembangan Populasi Sapi di Bali

Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Bali, 2007 (diolah)

yaitu hanya 1.99 persen per tahun, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pemotongan sapi betina induk produktif

masih tinggi.

Sapi bali memiliki tingkat fertilitas dan daya tahan hidup yang cukup baik.

Tingkat kelahiran sapi di Bali cukup tinggi, sedangkan tingkat kematiannya

rendah, yaitu masing-masing sebesar 23.12 persen dan 1 persen dari populasi

(Atmadja, 2006). Dari tingkat kelahiran tersebut komposisi pedet jantan sebesar

49 persen, sementara pedet betina sekitar 51 persen.

Tabel 4. Komposisi Populasi Sapi di Bali

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

(41)

Nitis (1991) menyatakan bahwa pola peternakan sapi bali dapat dilakukan

dengan pola terpadu dan tidak terpadu. Pola peternakan sapi terpadu meliputi: (a)

integrasi sapi dengan pertanian tanaman pangan, pada musim tanam

dikandangkan dan setelah musim panen digembalakan disawah, (b) integrasi sapi

dengan perkebunan, yaitu sapi digembalakan di bawah tanaman perkebunan yang

tidak ditanami palawija, dan (c) integrasi sapi dengan kehutanan. Dengan pola

integrasi tersebut selain dapat menghasilkan ternak juga dapat memberantas

gulma. Sedangkan pola peternakan sapi tidak terpadu meliputi: (a) sistem pastoral

(sapi dilepaskan di padang rumput), (b) sistem feed lot (sapi dipelihara dalam

kandang) dan (c) sistem nomadik (sapi dipindahkan dari satu padang rumput ke

padang rumput yang lain.

Menurut Payne dan Rollinson (1973), sapi bali di domestikasi pertama kali

di Pulau Bali. Hal ini menunjukkan bahwa sapi bali sudah dipelihara oleh nenek

moyang masyarakat Bali sejak berabad-abad yang lalu, sehingga ternak ini sudah

menjadi ciri khas Daerah Bali. Peternakan sapi di Bali secara umum merupakan

peternakan rakyat yang sistem pemeliharaannya dilakukan secara terintegrasi

dengan tanaman pertanian. Pola pemeliharaan sapi di daerah ini secara umum

masih bersifat semi intensif dengan jumlah pemeliharaan rata-rata 3 ekor. Ternak

sapi umumnya dipelihara disekitar pekarangan rumah, dikebun-kebun atau

tegalan, dengan kandang yang sederhana, dan diberi makan dari hijauan, gulma,

jerami, atau limbah pertanian lainnya. Peternak yang lokasinya dekat dengan

hutan juga mendapatkan pakan hijauan dari hutan tersebut, berupa rerumputan,

leguminose, dan paku-pakuan. Kandang sapi umumnya dibuat dari bahan-bahan

(42)

Sejalan dengan berkembangnya teknologi dibidang peternakan, pola

pemeliharaan sapi telah bergeser ke arah yang lebih intensif, dimana sebagian

peternak sudah memelihara sapinya dengan menggunakan pakan dan kandang

yang lebih baik. Golongan peternak tersebut umumnya merupakan peternak sapi

penggemukan, yang menggemukkan sapi jantan dengan masa pemeliharaan

berkisar antara empat bulan sampai satu tahun, dengan jumlah pemeliharaan 5

sampai 100 ekor. Peternak ini biasanya membeli jantan muda dengan berat badan

antara 250 sampai dengan 300 kg per ekor dari petani langsung atau di pasar

hewan. Pakan yang digunakan bervariasi, tetapi umumnya merupakan kombinasi

hijauan atau limbah pertanian dengan konsentrat (dedak padi, polar, maupun

complete feed) serta beberapa feed additif , seperti: mineral, vitamin dan probiotik.

Dukungan penyediaan bibit yang berkualitas sangat penting untuk

menunjang keberhasilan pemeliharaan ternak sapi. Di samping itu, harus

didukung juga dengan penyediaan pakan yang bermutu dengan harga yang

terjangkau. Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang sangat

menentukan daya saing produk yang akan dihasilkan (Ilham, 1995). Ketersediaan

pakan hijauan sangat terkait dengan luas lahan pertanian. Konversi lahan

pertanian ke non pertanian yang terus meningkat merupakan ancaman bagi

penyediaan pakan hijauan, yang pada akhirnya dapat mengurangi produksi sapi

pada masa yang akan datang.

2.3. Potensi Pengembangan Sapi Bali di Bali

Walaupun dikenal sebagai daerah tujuan wisata bertaraf internasional,

(43)

komoditi unggulan. Salah satu komoditi unggulan tersebut adalah sapi bali.

Peternakan sapi di daerah ini melibatkan rumah tangga petani yang cukup banyak.

Menurut data Ditjen peternakan (2006), pada tahun 2003 ada sekitar 240 845

rumah tangga petani yang menjadi peternak sapi, atau sekitar 28 persen dari total

rumah tangga yang ada di daerah ini.

Ternak sapi mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat Bali

antara lain: sebagai sumber produksi daging, tenaga kerja hewan dan sebagai

sumber pendapatan bagi masyarakat di perdesaan. Ternak sapi juga mempunyai

arti penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Akhir-akhir ini ternak

sapi juga mulai dikembangkan sebagai penghasil biogas. Disamping itu ternak

sapi juga berpotensi dalam menghasilkan pupuk organik yang sangat bermanfaat

bagi kesuburan tanah. Menurut Suharyanto dan Rinaldi (2005), seekor ternak sapi

dapat menghasilkan pupuk kandang sebanyak 4.5 ton/tahun, yang mengandung N,

P205, dan K2O, masing masing sebanyak 0.4 persen, 0.2 persen dan 0.1 persen.

Pupuk organik yang dihasilkan tersebut dapat digunakan untuk memupuk

tanaman sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan. Dengan demikian

maka sistem integrasi tanaman pertanian dengan ternak sapi akan lebih

menguntungkan bagi petani. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh

Dwiyanto, et al. (2002), yang menyatakan bahwa sistem integrasi tanaman ternak

(Crop-livestock system) mampu menekan biaya produksi sehingga dapat

meningkatkan pendapatan petani.

Ditinjau dari aspek pasar, sapi bali memiliki prospek pemasaran yang

cukup cerah. Jenis sapi ini memiliki kualitas daging serta persentase daging yang

(44)

Hal ini ditunjukkan oleh permintaan sapi potong yang berasal dari Bali oleh pasar

di Jakarta yang terus meningkat setiap tahun. Di tinjau dari harganya, karkas sapi

bali yang berasal dari Bali adalah yang termahal dibandingkan dengan karkas

beberapa jenis sapi lainnya di pasar Jakarta, (RPH Cakung, 2007). Selain diminati

oleh pasar dalam negeri, sapi bali juga sangat diminati oleh konsumen dari luar

negeri dimana pada tahun 1970-an Bali pernah mengekspor sapi potong ke

Hongkong (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Peluang ekspor sapi bali ke

luar negeri seperti ke Malaysia dan Brunei juga sangat besar. Hal ini didukung

oleh Ilham (2006) yang menyatakan bahwa masyarakat Malaysia dan Brunei lebih

menyukai daging sapi bali dibandingkan daging sapi hibrid. Disamping itu,

Indonesia merupakan negara yang bebas dari penyakit-penyakit berbahaya yang

bersifat zoonosis seperti penyakit mulut dan kuku, penyakit sapi gila dan lain

sebagainya. Namun demikian peluang pasar tersebut belum dapat diraih secara

maksimal karena belum didukung oleh produksi yang cukup.

Ditinjau dari daya dukung alamnya, Daerah Bali memiliki lahan yang

cukup luas sebagai penghasil hijauan, untuk mendukung penyediaan pakan.

Tabel 5 menunjukkan luas lahan yang berpotensi sebagai sumber penyediaan

pakan di daerah tersebut. Menurut Atmadja (2006), daerah tersebut memiliki

luas lahan penghasil hijauan lebih dari 43 000 ha, yang dapat menghasilkan pakan

hijauan sebanyak 162.9 ribu ton bahan kering (BK) per tahun. Ia menambahkan

bahwa pakan hijauan juga dihasilkan dari rumput yang dibudidayakan secara

khusus, pepohonan, jerami, dimana masing-masing dapat menghasilkan pakan

hijauan sebanyak (ton BK/th) 115 850, 608 692, dan 911 599.92. Secara

(45)

Tabel 5. Luas Lahan Penghasil Hijauan di Bali pada Tahun 2005

Penggunaan Luas Tersedia

Lahan (Ha) (Ha)

1 Padang Rumput Alam 5 945.87 5 945.87

2 Sawah 80 765 4 038.25

3 Perkebunan 127 207 6 360.35

4 Tegalan 128 996 1 289.96

5 Tepi Jalan

- Panjang Jalan (6 644.25) 1 661.06

6. Hutan 130 686.01 6 534.30

7 Lahan Kering 352 214.99 17 610.75

Total 43 440.54

No

Sumber : Atmaja, 2006

Keterangan : angka dalam tanda ( ) dalam satuan km

1 799 043.345 ton BK/tahun, namun yang sudah dimanfaatkan baru 86 persen

dari jumlah tersebut, sehingga masih ada pakan hijauan yang belum dimanfaatkan,

yang cukup untuk menghidupi sekitar 64 282 ekor sapi dewasa. Pola

pemeliharaan yang lebih intensif, dengan menggunakan pakan non hijauan (dedak

padi dan yang lainnya), dapat meningkatkan daya tampung (carrying capacity)

lahan tersebut.

2.4. Produksi dan Penawaran Sapi di Bali

Produksi sapi merupakan jumlah sapi yang dihasilkan oleh suatu populasi

sapi pada suatu daerah dan periode waktu tertentu. Produksi sapi memiliki kaitan

yang sangat erat dengan populasi sapi dan penawaran sapi. Semakin besar

populasi maka akan semakin besar pula produksinya dan semakin banyak pula

penawarannya. Untuk sementara bisa saja penawaran sapi tinggi tanpa dibarengi

dengan produksi sapi yang tinggi, yaitu dengan jalan menguras populasi, namun

(46)

produksi daging sapi. Hubungan antara populasi, produksi sapi, penawaran dan

produksi daging sapi dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kaitan Antara Populasi, Penawaran, Produksi Sapi dan Daging Sapi serta Pemasaran Sapi Potong dan Daging Sapi di Bali

Daerah Bali merupakan daerah pemurnian sapi bali, dimana sapi potong

yang berasal dari luar Bali tidak boleh dimasukkan ke daerah ini. Dengan

demikian maka penawaran sapi potong di Bali ditentukan oleh besarnya produksi

daerah itu sendiri, tanpa ada penawaran dari daerah lainnya. Penawaran sapi

potong di Bali dapat di pilah menjadi dua, yaitu: penawaran untuk memenuhi

pemotongan lokal di Bali dan penawaran ke Jakarta. Data Dinas Peternakan

Provinsi Bali (2007) menunjukkan bahwa pada periode tahun 2001-2007

penawaran sapi untuk dipotong di Bali mengalami penurunan rata-rata sebesar

1.62 persen per tahun, sedangkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta

tumbuh pesat dengan tingkat pertumbuhan lebih dari 9.5 persen per tahun, seperti

yang dapat di lihat pada Tabel 6.

(47)

Tabel 6. Penawaran Sapi Potong di Bali 2006 36 462 5.26 57 373 -22.51 93 835 -13.66 2007 34 620 5.05 75 000 30.72 109 620 16.82 Rata-rata 35 492 -1.62 62 988 9.55 98 752 3.14

dibatasi oleh kuota. Tingginya permintaan pasar Jakarta menyebabkan kuota yang

ditetapkan terpenuhi, sehingga penawaran tersebut merupakan jumlah kuota itu

sendiri. Artinya, jumlah yang ditawarkan ke Jakarta adalah sebesar kuota yang

ditetapkan. Umumnya para pedagang menginginkan jumlah yang lebih besar dari

kuota yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa kuota yang ditetapkan masih

dibawah jumlah sebenarnya yang ingin ditawarkan.

Data Dinas Peternakan Provinsi Bali (2007) menunjukkan bahwa

pertumbuhan produksi sapi di Bali cenderung meningkat dengan tingkat

pertumbuhan rata-rata 7.87 persen per tahun, namun tampaknya pertumbuhan

tersebut kurang stabil dan bahkan sempat negatif selama beberapa tahun,

sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7.

Harga daging sapi di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan harga

jenis daging lainnya, sehingga umumnya dikonsumsi hanya pada waktu-waktu

tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa daging sapi masih merupakan barang

mewah bagi masyarakat. Kenyataan ini di dukung oleh hasil penelitian terdahulu

Gambar

Tabel 2.  Populasi Sapi pada Beberapa Sentra Produksi pada Tahun 2006
Tabel 3.  Perkembangan Populasi Sapi di Bali
Tabel 5.  Luas Lahan Penghasil Hijauan di Bali pada Tahun 2005
Gambar 1. Kaitan Antara Populasi, Penawaran, Produksi Sapi dan Daging Sapi                      serta Pemasaran Sapi Potong dan Daging Sapi di Bali
+7

Referensi

Dokumen terkait

Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi

Untuk itu maka tujuan dari makalah ini adalah melakukan analisis kualitas jasa dengan fokus pada pengukuran persepsi dan harapan pengguna jasa perusahaan dengan

Dalam penelitian ini lebih difokuskan dalam membangun sistem kontrol yang mampu untuk menyalakan dan menghidupkan perangkat desalinasi air laut dari jarak jauh

Secara prinsip, berbagai penelitian lebih lanjut mengenai kriteria pemilihan jenis tumbuhan sebagai pengisi dari arboretum, konservasi biodiversitas, perencanaan

Untuk ini Jama'at Jepang telah memberikan pengorbanan harta yang besar, tetapi harus selalu diingat bahwa hak-haknya yang semestinya akan dipenuhi ketika apapun yang Hadhrat

Pada penelitian ini substitusi tepung Skeletonema yang terlalu berlebih juga dapat mempengaruhi kualitas air media pemeliharaaan sehingga air media menjadi cepat

Hal-hal yang mempengaruhi hasil tersebut antara lain usia anak, hubungan anak dengan pengasuh, lamanya konstipasi, frekuensi defekasi, defekasi yang menyakitkan, nyeri perut

Pada Liga polo air tahun 2007, iklim kompetisi lebih semarak lagi dengan melibatkan banyak sponsor dan pemain asing sehingga dapat memberikan suasana pertandingan yang lebih