• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan parameter dalam penelitian ini dilakukan terhadap 8 persamaan struktural dari 10 persamaan yang ada, dimana sisanya merupakan persamaan identitas. Sebagian besar peubah yang dimasukkan dalam model memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peubah endogennya.

5.2.1. Produksi Sapi di Bali

Populasi sapi betina induk berpengaruh positif dan nyata secara statistik (p<0.05) terhadap produksi sapi di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sapi betina induk sangat penting untuk memproduksi sapi di Bali. Sapi betina induk adalah ibarat mesin yang jika diberikan berbagai input seperti: pakan hijauan, konsentrat, semen (mani pejantan), dan yang lainnya akan dapat menghasilkan output berupa anak-anak sapi. Oleh karena itu keberadaan sapi betina induk di Bali sangat penting untuk diperhatikan dan jumlahnya harus terus ditingkatkan jika ingin meningkatkan produksi sapi dimasa yang akan datang. Pencegahan terhadap pemotongan sapi betina yang masih produktif harus dilakukan secara tegas mengingat masih tingginya tingkat pemotongan sapi betina induk yang

masih produktif. Keberadaan sapi betina induk yang ada di Bali juga semakin penting dengan ditetapkannya daerah Bali sebagai daerah pemurnian sapi bali. Kebutuhan akan bibit sapi hanya dapat dipenuhi dari produksi sendiri, tanpa dapat mendatangkan bibit dari luar Bali. Dilihat dari elastisitasnya, produksi sapi di Bali cukup responsif terhadap perubahan populasi sapi betina induk, dengan nilai elastisitas jangka pendek yang mendekati 1. Artinya, bila populasi sapi betina induk di Bali ditingkatkan sebesar 10 persen, maka produksi sapi di Bali juga akan meningkat hampir mencapai 10 persen.

Fenomena dilapangan menunjukkan bahwa peternak lebih cenderung untuk memelihara sapi kereman (penggemukan) daripada sapi induk betina (pembibitan). Hal ini terkait dengan keuntungan yang diperoleh peternak, dimana pemeliharaan kereman dirasa lebih menguntungkan daripada pemeliharaan induk (pembibitan). Hal ini didukung oleh Wiguna dan Suprapto (1997) yang menyatakan bahwa salah satu permasalahan yang muncul dalam pengembangan sistem usahatani berbasis sapi potong di Bali adalah masalah kelangkaan bibit, yang disebabkan oleh rendahnya minat peternak untuk memelihara induk betina jika dibandingkan dengan memelihara sapi kereman. Hal ini menunjukkan perlunya suatu kebijakan yang mampu memberikan insentif kepada peternak, khususnya yang mau mengembangkan sapi induk (pembibitan), sehingga dapat meningkatkan gairah mereka untuk memelihara induk. Program insentif kepada peternak tersebut juga dapat menjadi suatu strategi untuk mengurangi pemotongan sapi betina produktif.

Realisasi kredit untuk pengembangan ternak sapi berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi sapi di Bali (p<0.15). Hal ini menunjukkan bahwa

peranan kredit untuk pengembangan ternak sapi sangat penting untuk menunjang produksi sapi di Bali. Pemerintah telah memberikan subsidi suku bunga melalui berbagai skim kredit antara lain: Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP-3), dan Bantuan Langsung Masyarakat untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM-KIP), dalam upaya untuk mengatasi permasalahan modal yang dihadapi petani. Sesuai dengan Surat Direktur Jenderal

Bina Prasarana dan Sarana Pertanian Departeman Pertanian No.

TU.210/V.00/105/II/2000, tanggal 16 november tahun 2000, ditetapkan 8 bank pelaksana yang akan menyalurkan KKP, namun sampai saat ini baru 4 bank pelaksana yang menyalurkan kredit tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa minat bank masih rendah dalam menyalurkan kredit kepada petani, sehingga perlu ditingkatkan lagi agar dapat memberikan pengaruh yang lebih nyata dan berkesinambungan terhadap peningkatan produksi sapi di Bali.

Berdasarkan informasi yang bersumber dari laporan Dinas Peternakan Provinsi Bali, sampai dengan tanggal 30 November 2007 dana KKP yang telah disalurkan adalah sebanyak Rp 161.6 milyar melalui Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali), Bank Mandiri, Bank Bukopin dan BRI. Secara rinci jumlah KKP yang disalurkan untuk sub-sektor peternakan di Provinsi Bali dapat dilihat pada Tabel 18. Sedangkan realisasi skim kredit SP-3 untuk subsektor Peternakan di Provinsi Bali tahun 2007 hanya sebanyak Rp. 7 567 287 500, dan realisasi BLM-KIP hanya sebanyak Rp. 41 817 750.

Upaya lain yang pernah dilakukan dalam rangka membantu peternak sapi di Bali dalam mengatasi masalah permodalan dan perbaikan manajemen usaha adalah pengembangan ternak sapi melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pola

Tabel 18. Realisasi KKP untuk Subsektor Peternakan di Provinsi Bali Tahun Jumlah KKP (Rp) 2001 11 415 606 300 2002 33 644 813 800 2003 52 115 704 800 2004 80 599 036 800 2005 105 953 948 588 2006 134 774 859 588 2007 161 612 534 088

usaha PIR sapi potong di Bali mulai dikembangkan pada awal tahun 1980-an berdasarkan kebijakan Pemda Provinsi Bali yang mengaitkan alokasi kuota perdagangan sapi potong antar pulau dengan investasi pedagang pada usaha inti (PIR) sapi potong. Hasil penelitian Simatupang, et al., (1995) menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan sapi potong melalui pola PIR cukup epektif mendorong perkembangan usaha ternak sapi potong di Bali. Ia juga menjelaskan bahwa pola PIR sapi potong dapat memberikan keuntungan baik bagi inti maupun bagi plasma, namun sayang sejak pelaksanaan inti diserahkan kepada organisasi pedagang sapi (INDAPTA) pada tahun 1987, pertumbuhan PIR sapi potong di Bali menunjukkan penurunan dan kini hampir tidak ada lagi. Dengan demikian maka pola pengembangan sapi potong berdasarkan pola PIR perlu dihidupkan kembali sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani dan menanggulangi kemiskinan di pedesaan.

Harga pakan konsentrat (pakan penguat) berpengaruh negatif dan nyata terhadap produksi sapi di Bali (p<0.01). Meningkatnya harga pakan konsentrat secara nyata akan mengurangi permintaan konsentrat sehingga berpotensi menurunkan produksi sapi di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa sistem

pemeliharaan sapi potong di Bali telah bergeser kearah yang lebih intensif. Hal ini sesuai dengan fenomena yang terjadi dilapangan, dimana pemberian pakan tidak hanya mengandalkan hijauan, namun sudah memanfaatkan pakan konsentrat (pakan penguat) seperti dedak padi, dedak gandum (polard), maupun pakan jadi (complete feed). Peternak menyadari bahwa pemberian pakan penguat dapat

meningkatkan pertumbuhan sapi yang ditunjukkan oleh pertambahan berat badan harian yang lebih tinggi, sehingga lama pemeliharaan dapat dipersingkat. Hal ini mendorong peternak khususnya peternak yang mengusahakan sapi penggemukan menggunakan pakan konsentrat. Dilihat dari struktur biaya pakan, biaya pakan konsentrat dapat mencapai 80 persen dari total biaya pakan yang dikeluarkan. Kondisi tersebut membutuhkan modal yang lebih besar untuk pembelian pakan konsentrat, sehingga peranan kredit menjadi penting sebagai sumber dana.

Penerapan teknologi Inseminasi Buatan (IB) diharapkan akan dapat meningkatkan produksi sapi di Bali. Pada penelitian ini teknologi IB memberikan pengaruh yang positif pada produksi sapi di Bali, namun kurang signifikan secara statistik (p>0.15). Realisasi semen sapi beku untuk penerapan teknologi IB di Bali masih rendah jika dibandingkan dengan populasi sapi betina induk yang ada, sehingga realisasi teknologi IB tersebut belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produksi sapi di Bali. Hal ini dapat dilihat dari rasio antara rata-rata realisasi semen sapi beku dengan rata-rata jumlah sapi betina induk selama periode penelitian. Rasio tersebut hanya sebesar 0.12, dan karena nilai service per conception lebih dari 1 maka dapat dikatakan bahwa sapi

betina induk yang dapat diinseminasi setiap tahun rata-rata masih kurang dari 12 persen dari populasi sapi betina induk yang ada. Beberapa kemungkinan yang

dapat menyebabkan rendahnya penerapan IB tersebut antara lain: pertama,

kurangnya sosialisasi mengenai keuntungan penerapan teknologi IB, kedua,

tingginya biaya penerapan IB ditingkat peternak dibandingkan dengan sistem kawin secara alami, sehingga dirasa memberatkan bagi peternak, ketiga, jumlah

petugas inseminator yang terlalu sedikit jika dibandingkan dengan populasi sapi betina induk. Berdasarkan informasi data Dinas Peternakan Provinsi Bali (2007), jumlah petugas inseminator yang aktif di Bali hanya 177 orang, sementara populasi sapi betina induk di daerah tersebut sebanyak 199 978 ekor.

Hubungan antara produksi sapi dengan penerapan teknologi IB yang diperoleh dari penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilham (1998). Ia menyatakan bahwa teknologi IB memberikan pengaruh yang positif terhadap penawaran peternakan rakyat namun tidak nyata (p>0.15).

Populasi sapi di Bali memberikan pengaruh yang positif terhadap produksi sapi di Bali. Ini berarti bahwa semakin besar populasi sapi yang ada di Bali maka semakin besar pula jumlah sapi yang dihasilkan (diproduksi). Namun demikian, tampaknya pengaruh tersebut tidak nyata secara statistik (p>0.15). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan populasi selama ini. Selama periode penelitian pertumbuhan populasi sapi di Bali rendah, yaitu rata- rata hanya 2.1 persen per tahun dan bahkan negatif pada beberapa periode.

Lag luas lahan pertanian di Bali memberikan pengaruh yang positif terhadap produksi sapi di Bali. Ini menunjukkan bahwa penurunan luas lahan pertanian di Bali saat ini akan menurunkan produksi sapi di masa yang akan datang. Hal ini terjadi karena dalam pemeliharaan ternak sapi ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dalam peternakan sapi, lahan

tersebut mempunyai arti yang penting sebagai lokasi kandang dan penghasil pakan hijauan. Umumnya peternak memelihara sapi secara terintegrasi dengan tanaman pertanian. Hijauan maupun limbah yang dihasilkan dari lahan pertanian akan dimanfaatkan menjadi pakan sapi, dan selanjutnya kotoran yang dihasilkan oleh sapi akan dimanfaatkan kembali untuk memupuk tanaman.

Penurunan luas lahan pertanian di Bali tidak secara nyata menurunkan produksi sapi di daerah itu (p>0.15). Hal ini terjadi karena penurunan luas lahan tersebut cukup rendah, dimana selama periode penelitian luas lahan pertanian di daerah itu turun hanya sebesar 4.4 persen atau rata-rata hanya sebesar 0.17 persen per tahun. Disamping itu, sistem pemeliharaan sapi di Bali sudah mengarah ke sistem yang lebih intensif sehingga daya tampung (carrying capacity)lahan dapat

ditingkatkan. Walaupun demikian alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian tetap perlu di kendalikan untuk mencegah menurunnya produksi sapi di masa yang akan datang, mengingat ketersediaan lahan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam berternak sapi.

5.2.2. Populasi Sapi di Bali

Produksi sapi di Bali memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik (p<0.01) terhadap populasi sapi di Bali. Artinya, meningkatnya jumlah ternak sapi yang dihasilkan di Bali secara nyata akan meningkatkan jumlah ternak sapi di daerah tersebut, atau makin tinggi produksi sapi, maka populasinya juga akan semakin tinggi, dan sebaliknya.

Berdasarkan nilai elastisitasnya, populasi sapi di Bali sangat responsif terhadap produksi, dimana nilai elastisitasnya sebesar 4 647 persen dalam jangka

panjang. Artinya bila terjadi peningkatan produksi sapi di Bali sebesar satu persen, maka populasi sapi di Bali akan meningkat sebesar 4 647 persen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan populasi sapi di masa datang maka harus dilakukan strategi peningkatan produksi.

Disisi lain, total penawaran sapi di Bali akan memberikan pengaruh yang negatif dan nyata secara statistik (p<0.01) terhadap populasi sapi di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah sapi yang dijual oleh peternak baik untuk memenuhi permintaan pemotongan lokal di Bali maupun untuk memenuhi permintaan pasar Jakarta, maka akan semakin mengurangi populasi sapi di Bali. Populasi sapi di Bali sangat responsif terhadap perubahan total penawaran, dalam jangka panjang dimana nilai elastisitasnya -4207. Artinya, peningkatan total penawaran sapi potong di Bali sebesar satu persen akan menurunkan populasi sapi di Bali sebesar 4 207 persen dalam jangka panjang.

Rata-rata pertumbuhan populasi sapi selama periode penelitian sangat rendah, yaitu hanya 2.1 persen per tahun, bahkan pada beberapa tahun tertentu sempat negatif. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi rendahnya pertumbuhan tersebut adalah tingginya total penawaran (jumlah sapi yang dijual peternak) baik untuk memenuhi permintaan lokal di Bali maupun pasar Jakarta. Rata-rata pertumbuhan total penawaran sapi potong di Bali selama periode penelitian jauh lebih tinggi dari pertumbuhan produksinya. Data Dinas Peternakan Provinsi Bali menunjukkan bahwa selama periode waktu penelitian (1980-2007) pertumbuhan total penawaran sapi potong di Bali sebesar 12.02 persen per tahun sementara pertumbuhan produksi sapi di Bali hanya 3.04 persen per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan populasi selama periode waktu tersebut rendah, yaitu

hanya sebesar 2.1 persen per tahun, bahkan pada beberapa tahun tertentu, seperti pada tahun 1982, 1987, 1988, dan tahun 2001 pertumbuhan populasi sapi di Bali negatif. Artinya, pada tahun tersebut jumlah sapi yang dijual oleh peternak (total penawaran) jauh melebihi jumlah ternak sapi yang dihasilkan (produksinya).

Ketidakseimbangan antara produksi dengan total penawarans akan menyebabkan terjadinya penurunan populasi. Penurunan populasi sapi di Bali pada suatu tahun tertentu secara nyata dapat menurunkan populasi sapi di Bali pada tahun berikutnya, dan sebaliknya. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pendugaan, dimana lag populasi memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik (p<0.01) terhadap populasi sapi di Provinsi Bali.

Tingginya responsifitas populasi sapi di Bali terhadap produksi dan total penawaran mengindikasikan bahwa pengendalian penawaran yang disertai dengan upaya peningkatan produksi sangat penting untuk menjaga populasi sapi di Bali. Jadi untuk mencegah terjadinya penurunan populasi sapi di Bali maka harus ada keseimbangan antara produksi dengan total penawaran. Dengan demikian, populasi dapat ditingkatkan, sehingga produksi maupun penawaran juga dapat ditingkatkan dimasa yamg akan datang.

5.2.3. Total Penawaran Sapi Potong di Bali

Total penawaran sapi potong di Bali didefinisikan sebagai jumlah sapi yang ditawarkan oleh para peternak sapi (produsen) di Bali pada suatu waktu tertentu. Salah satu faktor yang mempengaruhi total penawaran tersebut adalah harga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa harga riil sapi potong di Bali maupun produksi sapi di Bali memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara

statistik [masing-masing (p<0.10) dan (p<0.01)] terhadap total penawaran sapi potong di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga riil sapi potong di Bali maupun produksi sapi di Bali akan secara nyata mendorong peternak untuk menjual sapi yang ia miliki dalam jumlah yang lebih banyak.

Berdasarkan pada nilai elastisitasnya, total penawaran sapi potong di Bali tampaknya lebih responsif terhadap produksi dari pada harga sapi di Bali, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menentukan penjualan ternaknya, sebagian besar peternak lebih mengedepankan pada produksi dibandingkan dengan harganya. Hal ini juga terkait dengan fungsi ternak sapi sebagai tabungan keluarga. Jika lama pemeliharaannya sudah dirasa cukup dan sapi tersebut diperkirakan tidak dapat tumbuh lebih besar lagi, maka peternak akan menjual sapi tersebut. Namun demikian, fenomena dilapangan juga menunjukkan bahwa masih banyak peternak yang terpaksa menjual sapi induknya yang masih produktif karena kebutuhan mendesak walaupun belum saatnya dilakukan, misalnya untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah anak, biaya berobat, upaca adat dan lain sebagainya.

5.2.4. Penawaran Sapi Potong dari Bali ke Jakarta

Harga riil sapi potong di Jakarta memberikan pengaruh yang tidak nyata secara statistik (p>0.15) terhadap penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta. Disamping itu, penawaran tersebut kurang responsif terhadap perubahan harga sapi potong di Jakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta merupakan penawaran yang terkonstrain (dibatasi) oleh kuota. Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut maka peningkatan harga sapi di

Jakarta tidak sepenuhnya dapat direspon oleh peternak di Bali, sehingga peternak di daerah tersebut tidak dapat menikmati lonjakan-lonjakan harga yang terjadi di Jakarta secara optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan kuota cukup epektif untuk mengendalikan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta.

Disisi lain, total penawaran sapi potong di Bali memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik (p<0.01) terhadap penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta. Artinya, peningkatan total penawaran sapi potong di Bali secara nyata akan meningkatkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah sapi yang ditawarkan oleh peternak di Bali, maka pedagang antar pulau akan memperoleh sapi yang lebih banyak untuk dipasarkan ke Jakarta, dan sebaliknya. Hal ini juga mengindikasikan bahwa eksistensi pedagang sangat ditentukan oleh peternak sapi, sehingga perlu kerjasama yang baik antara kedua belah pihak sehingga akan saling menguntungkan. Pola kemitraan (PIR) antara pedagang antar pulau dengan peternak sapi yang dulu pernah ada perlu dihidupkan kembali dengan dilandasi prinsip keadilan dan saling menguntungkan. Hal ini merupakan salah satu langkah yang dapat membantu mengatasi masalah permodalan yang dihadapi peternak. Dengan demikian maka produksi dapat ditingkatkan sehingga para pedagang pun akan dapat memasarkan sapi dalam jumlah yang lebih banyak.

Penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta sangat responsif terhadap total penawaran sapi potong di Bali baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini dapat dilihat dari nilai elastisitas penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta terhadap total penawaran sapi potong di Bali, dimana nilai tersebut sebesar 1.196 persen dalam jangka pendek dan 2.88 persen dalam jangka panjang.

Artinya peningkatan total penawaran sapi potong di Bali sebesar 1 persen akan meningkatkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta sebesar 1.196 persen dalam jangka pendek, dan 2.88 persen dalam jangka panjang.

5.2.5. Harga Riil Sapi Potong di Bali

Harga riil sapi potong di Jakarta memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik (p<0.01) terhadap harga riil sapi potong di Bali. Artinya, Peningkatan harga riil sapi potong di Jakarta secara nyata akan meningkatkan harga riil sapi potong di Bali, dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, Jakarta merupakan konsumen terbesar bagi komoditas sapi potong yang

dihasilkan oleh Bali. Daging sapi bali sangat digemari oleh konsumen di Jakarta, sehingga laju pertumbuhan perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta cukup pesat. Pada tahun 1980 persentase penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta hanya 38.06 persen dari total penawaran sapi potong di Bali. Sejalan dengan tingginya permintaan sapi dari Jakarta maka persentase penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta terus meningkat, hingga pada tahun 2007 menjadi sebanyak 68.42 persen. Kedua, Provinsi Bali merupakan ”small country” dalam

perdagangan sapi potong, sehingga harga sapi potong yang berlaku di Bali akan mengikuti harga sapi potong yang berlaku di Jakarta.

Walaupun harga sapi di Jakarta berpengaruh nyata terhadap harga sapi di Bali, tetapi berdasarkan nilai elastisitasnya ternyata harga sapi potong di Bali kurang responsif terhadap perubahan harga sapi di Jakarta. Peningkatan harga sapi di Jakarta sebesar 1 persen hanya mampu meningkatkan harga sapi di Bali sebesar 0.36 persen. Ketidakresponsifan tersebut merupakan salah satu dampak

pemberlakuan kebijakan kuota dimana perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta hanya dapat dilakukan oleh pihak tertentu yang mendapat hak kuota dari pemerintah (saat ini hanya ada 31 pengusaha) sehingga struktur pasar sapi potong di Bali kurang sempurna. Hal ini menyebabkan harga sapi potong di Bali kurang responsif terhadap perubahan harga di Jakarta, sehingga peningkatan harga di Jakarta akan lebih banyak dinikmati oleh pedagang antar pulau yang mendapat hak kuota dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa peternak menjadi pihak yang lebih lemah dalam perdagangan sapi potong. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Syahyuti (1999) yang menyatakan bahwa pedagang memiliki bargaining position yang lebih tinggi dihadapan peternak dalam penentuan harga.

Dengan demikian maka jumlah pedagang antar pulau perlu diperbanyak sehingga struktur pasar lebih mendekati sempurna untuk meningkatkan bargaining position

peternak. Disamping itu, informasi pasar yang lebih akurat juga sangat penting untuk mendukung hal tersebut.

Harga riil sapi potong di Bali juga dipengaruhi secara nyata (p<0.01) oleh Lag penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta. Artinya, peningkatan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta pada tahun tertentu akan meningkatkan harga riil sapi di Bali pada tahun berikutnya. Hal ini secara mudah dapat dimengerti karena semakin banyak sapi yang ditawarkan ke Jakarta maka di Bali sapi tersebut akan menjadi semakin langka sehingga harganya akan semakin tinggi.

Harga riil daging sapi di Bali memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik (p<0.01) terhadap harga riil sapi potong di Bali. Fenomena ini menunjukkan bahwa makin tinggi harga riil daging sapi di Bali maka harga riil sapi potong juga akan makin tinggi dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena jika

harga daging meningkat maka permintaan sapi potong oleh para pemotong (jagal) akan meningkat, sehingga akan meningkatkan harga sapi potong, dan sebaliknya. Namun demikian responsifitas harga sapi di Bali terhadap harga daging sapi di daerah itu sangat rendah, yaitu hanya 0.69. Artinya peningkatan harga daging sapi sebesar 1 persen hanya dapat meningkatkan harga sapi di daerah itu hanya sebesar 0.69 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga daging akan lebih banyak dinikmati oleh pedagang dibandingkan oleh peternak.

5.2.6. Harga Riil Daging Sapi di Bali

Total permintaan daging sapi di Bali memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik (p<0.05) terhadap harga riil daging sapi di Bali. Daerah ini tidak hanya memperdagangkan komoditas sapi potong yang masih dalam keadaan hidup ke luar daerah, namun juga dalam bentuk daging sapi. Produksi