• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. EVALUASI SIMULASI KEBIJAKAN

6.3. Dampak Simulasi Kebijakan terhadap Kesejahteraan Peternak

Perubahan total penawaran sapi potong dan total permintaan daging sapi di Bali maupun perubahan harga sapi potong dan harga daging sapi di Bali akibat adanya perubahan kebijakan kuota perdagangan berdampak pada kesejahteraan peternak sapi maupun konsumen daging sapi di Bali. Secara umum kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta maupun kombinasinya dengan beberapa kebijakan peningkatan produksi (seperti peningkatan IB, kredit dan pencegahan pemotongan sapi betina induk produktif) dan peningkatan harga sapi di Jakarta, dapat meningkatkan kesejahteraan peternak sapi dan menurunkan kesejahteraan konsumen daging sapi di Bali. Namun

demikian, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan tetap meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan peternak yang diakibatkan oleh berbagai skenario kebijakan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan kesejahteraan konsumen daging sapi di Bali. Perubahan kesejahteraan peternak yang terjadi sebagai akibat dari beberapa skenario kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 27.

Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta (skenario 1) meningkatkan harga sapi potong di Bali, sehingga kesejahteraan peternak sapi di daerah tersebut meningkat sekitar Rp 0.58 milyar. Peningkatan harga sapi potong tersebut menyebabkan harga daging sapi di Bali juga ikut meningkat, sehingga kesejahteraan konsumen daging sapi di Bali turun sekitar Rp 0.1 milyar. Namun demikian, kebijakan ini masih dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sekitar Rp 0.47 milyar.

Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong sebesar 10 persen yang dibarengi dengan kebijakan peningkatan realisasi teknologi IB sebesar 20 persen (skenario 2) menyebabkan kesejahteraan peternak meningkat, namun kesejahteraan konsumen daging sapi menurun. Hasil simulasi menunjukkan bahwa selain meningkatkan harga sapi, kombinasi kebijakan ini juga mampu meningkatkan total penawaran sapi potong di Bali, sebagai akibat dari adanya peningkatan produksi dengan adanya peningkatan IB. Peningkatan harga sapi yang juga diikuti dengan peningkatan total penawaran tersebut menyebabkan kesejahteraan peternak sapi di Bali meningkat lebih dari Rp 7.6 milyar. Di sisi lain, kombinasi kebijakan ini meningkatkan harga daging sapi yang juga disertai dengan penurunan permintaan daging sapi oleh pasar di Bali. Kondisi ini

Tabel 27. Dampak Kebijakan Kuota Perdagangan terhadap Penawaran, Populasi Sapi, dan Kesejahteraan Peternak di Provinsi Bali. Kesejahteraan Peternak (Rp) Kesejahteraan Konsumen Daging Sapi di Bali (Rp) Total Kesejahteraan (Rp) Populasi Sapi di Bali (%) Total Penawaran Sapi Potong di Bali (%) Produksi Daging Sapi di Bali (%) 1 Peningkatan Kuota Pengeluaran Sapi Potong dari Bali ke Jakarta

10 Persen 576 757 480 -107 759 555 468 997 925 -0.52 -0.04 -0.83

2 Kombinasi simulasi 1 dengan Peningkatan Realisasi IB 20 Persen

7 641 370 948 -2 486 712 528 5 154 658 420 1.13 1.49 -4.89 3 Kombinasi simulasi 1 dengan Peningkatan Realisasi Kredit 20

Persen 13 094 633 930 -4 021 221 918 9 073 412 012 2.75 2.62 -8.78

4 Kombinasi simulasi 1 dengan Peningkatan Populasi sapi Betina

Induk 5 Persen 22 553 727 844 -6 587 547 202 15 966 180 642 5.43 4.53 -15.17

5 Kombinasi simulasi 2 dengan Peningkatan Realisasi Kredit 20 Persen dan Pencegahan Pemotongan Sapi Betina Induk Produktif 5 Persen

43 214 085 678 -11 926 091 376 31 287 994 302 10.36 8.71 -27.18 6 Kombinasi simulasi 1 dengan Peningkatan Harga riil sapi potong di

Jakarta 10 Persen 31 639 925 884 -8 358 740 306 23 281 185 578 -9.55 0.82 -25.67

7 Kombinasi simulasi 5 dengan Peningkatan Harga Riil Sapi Potong

di Jakarta 10 Persen 75 799 530 652 -17 767 352 485 58 032 178 167 1.34 9.56 -52.02 No Simulasi Kebijakan Perubahan 1 3 1

menyebabkan kesejahteraan konsumen di daerah tersebut menurun hampir mencapai Rp 2.5 milyar. Namun karena peningkatan kesejahteraan peternak jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan kesejahteraan yang dialami oleh konsumen maka kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan masih meningkat lebih dari Rp 5 milyar.

Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong sebesar 10 persen yang dibarengi dengan kebijakan peningkatan realisasi kredit untuk pengembangan ternak sapi sebesar 20 persen (Skenario 3), menyebabkan kesejahteraan peternak meningkat lebih dari Rp 13 milyar. Disisi lain kebijakan ini menurunkan kesejahteraan konsumen daging sapi sekitar Rp 4 milyar. Namun demikian secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat meningkat lebih dari Rp 9 milyar. Peningkatan kesejahteraan yang dialami peternak dengan penerapan kombinasi kebijakan ini lebih besar dibanding dengan penerapan kebijakan sebelumnya (skenario 2). Sementara itu peningkatan total penawaran yang disebabkan oleh adanya peningkatan produksi tidak akan menurunkan harga sapi di Bali. Hal ini terjadi karena peningkatan total penawaran tersebut sebagian besar akan di tawarkan ke Jakarta. Disamping itu, Bali merupakan ”small country” di

pasar sapi potong, sehingga harga yang berlaku di Bali akan mengikuti harga sapi di Jakarta.

Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong sebesar 10 persen yang dibarengi dengan kebijakan peningkatan usaha pencegahan pemotongan sapi betina induk produktif sebesar 5 persen (Skenario 4) meningkatkan kesejahteraan peternak dalam jumlah yang cukup besar yaitu lebih dari Rp 22.5 milyar. Disisi lain kebijakan ini menurunkan kesejahteraan konsumen daging sapi sekitar

Rp 6.6 milyar. Namun demikian secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat meningkat lebih dari Rp 15 milyar. Peningkatan kesejahteraan yang dialami peternak dengan penerapan kombinasi kebijakan ini lebih besar dibanding dengan penerapan kebijakan sebelumnya (Skenario 3). Hal ini menunjukkan bahwa peranan sapi betina induk lebih besar dibandingkan dengan peranan realisasi kredit dalam produksi sapi di Bali. Oleh karena itu maka pencegahan pemotongan sapi betina produktif sangat penting untuk dilakukan.

Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong sebesar 10 persen yang diimbangi dengan kebijakan peningkatan produksi sapi (peningkatan realisasi IB, kredit dan pencegahan pemotongan betina induk produktif) seperti pada Skenario 5, mampu meningkatkan kesejahteraan peternak sapi di Bali dalam jumlah yang cukup besar yaitu lebih dari 43 milyar. Namun kebijakan tersebut menurunkan kesejahteraan konsumen daging sapi hampir mencapai Rp 12 milyar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan peternak sapi jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan kesejahteraan konsumen, sehingga secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat meningkat dalam jumlah yang cukup besar, yaitu lebih dari Rp 31 milyar.

Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong sebesar 10 persen yang dibarengi dengan peningkatan harga sapi potong di Jakarta sebesar 10 persen (Skenario 6) meningkatkan kesejahteraan peternak sapi di Bali sekitar Rp 31.64 milyar, namun kebijakan tersebut menyebabkan populasi sapi di daerah tersebut merosot dalam jumlah yang cukup besar yaitu lebih dari 9.5 persen. Disisi lain kebijakan ini juga menurunkan kesejahteraan konsumen daging sapi sekitar Rp 8 milyar, namun demikian, kesejahteraan masyarakat masih meningkat sekitar

Rp 23.28 milyar. Penurunan populasi di atas menunjukkan bahwa jika tidak diambil langkah-langkah yang dapat meningkatkan produksi sapi untuk mengimbangi meningkatnya perdagangan sapi ke Jakarta yang disertai dengan kecenderungan harga yang terus meningkat, maka bukan tidak mungkin populasi sapi di Bali akan terkuras seperti yang dialami oleh beberapa Propinsi lainnya di Indonesia.

Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong sebesar 10 persen yang dibarengi dengan peningkatan harga sapi potong di Jakarta sebesar 10 persen meningkatkan kesejahteraan peternak sapi di Bali dalam jumlah yang cukup besar yaitu lebih dari Rp 75 milyar dengan tanpa menurunkan populasi sapi di Bali, jika kebijakan tersebut juga dibarengi dengan kebijakan peningkatan produksi sapi (peningkatan realisasi IB, kredit dan pencegahan pemotongan betina induk produktif) sebagaimana pada Skenario 7. Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa kebijakan tersebut masih mampu meningkatkan populasi sapi di Bali sekitar 1.34 persen. Disisi lain kebijakan ini menurunkan kesejahteraan konsumen daging sapi di Bali, yaitu sekitar Rp 17 milyar, Namun demikian secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat masih meningkat dalam jumlah yang cukup besar, yaitu lebih dari Rp 58 milyar.

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN

DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

1. Penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta merupakan penawaran yang dibatasi oleh kuota. Kondisi tersebut dicerminkan oleh perilaku penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta yang kurang responsif terhadap perubahan harga sapi potong di Jakarta. Penawaran tersebut lebih dipengaruhi oleh sisi produksi dibandingkan sisi harga. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan kuota cukup epektif untuk mengendalikan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dalam rangka mencegah penurunan populasi.

2. Populasi sapi di Bali secara nyata dipengaruhi oleh dan responsif terhadap Produksi dan total penawaran sapi potong di Bali. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan produksi dan pengendalian penawaran sangat penting dilakukan untuk mencegah penurunan populasi sapi di Bali.

3. Kebijakan kuota diberlakukan dengan memberikan hak kuota kepada beberapa pedagang sehingga struktur pasar sapi potong di Bali kurang sempurna, dimana perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta hanya dikuasai oleh pedagang tersebut. Peningkatan harga di Jakarta lebih banyak akan dinikmati oleh para pedagang antar pulau yang memperdagangkan sapi dari Bali ke Jakarta. Hal ini dicerminkan oleh tingkat responsifitas harga sapi potong di Bali yang rendah terhadap perubahan harga sapi potong di Jakarta.

4. Kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta dapat meningkatkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dan kesejahteraan peternak sapi, dan menurunkan populasi sapi di Bali, namun

jika kebijakan tersebut diimbangi dengan kebijakan peningkatan produksi (peningkatan realisasi teknologi IB, kredit, dan pencegahan pemotongan sapi betina induk produktif), maka penawaran dan populasi sapi serta kesejahteraan peternak di Bali dapat ditingkatkan secara simultan.

5. Perbedaan harga yang terlalu tinggi antara kedua daerah dalam kondisi penawaran yang dibatasi dapat memicu terjadinya penyelundupan sapi potong dari Bali ke Jakarta, sehingga berpotensi menurunkan populasi sapi di Bali.

7.2. Implikasi Kebijakan

1. Kebijakan peningkatan kuota harus dimbangi dengan kebijakan peningkatan produksi (pencegahan pemotongan sapi betina induk produktif, peningkatan realisasi kredit dan realisasi teknologi IB) sehingga populasi, penawaran, dan kesejahteraan peternak dapat ditingkatkan secara simultan dan berkesinambungan. Di samping itu, penetapan kuota tersebut hendaknya juga mempertimbangkan kebutuhan daging sapi di daerah Bali sendiri. Perhitungan populasi dan produksi harus dilakukan secara cermat dengan didukung oleh informasi data yang akurat, sehingga jumlah kuota yang ditetapkan tepat. 2. Pencegahan pemotongan sapi betina induk yang produktif sangat penting

dilaksanakan dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat di rumah-rumah potong hewan (RPH) serta pemberian sanksi yang lebih tegas, baik kepada pemotong maupun petugas yang melanggar. Penjaringan sapi betina induk produktif yang ada di rumah potong hewan (RPH) perlu ditingkatkan dengan jalan membelinya dan kemudian disebar kembali kepada kelompok ternak sapi di perdesaan. Hal ini tentu harus didukung oleh anggaran yang cukup.

Disamping itu, perlu juga dipikirkan pemberian insentif kepada peternak atau swasta yang mau bergerak dibidang pengembangan sapi pembibitan (pemeliharaan induk), sehingga dapat meningkatkan gairah peternak untuk memelihara sapi betina induk.

3. Realisasi teknologi IB selama ini masih relatif rendah jika dibandingkan dengan populasi sapi betina induk yang ada di Bali, sehingga perlu ditingkatkan. Peningkatan realisasi teknologi IB tersebut antara lain dapat dilakukan melalui penambahan petugas IB (inseminator), peningkatan keterampilan inseminator, serta sosialisasi yang lebih intensif mengenai keunggulan penerapan program IB kepada peternak. Langkah-langkah ini juga sangat penting disertai dengan kebijakan yang dapat menekan biaya yang harus ditanggung peternak untuk melaksanakan IB. Dengan demikian realisasi teknologi IB dapat ditingkatkan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi sapi secara lebih nyata.

4. Pemberian subsidi suku bunga yang lebih besar sangat penting untuk meningkatkan realisasi kredit dalam menunjang pengembangan ternak sapi. Realisasi kredit tersebut hendaknya disertai dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kredit tersebut demi kepentingan lain atau jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Pengawasan tersebut dapat melibatkan desa adat yang ada di Bali.

5. Mengaktifkan kembali sistem kemitraan antara peternak sapi dengan para pedagang sapi antar pulau yang dilandasi dengan prinsip saling menguntungkan dan keadilan, dimana pemerintah berperanan sebagai

regulator. Hal ini juga diharapkan dapat membantu mengatasi masalah permodalan yang dihadapi peternak.

6. Penurunan luas lahan pertanian di Bali merupakan ancaman bagi produksi sapi potong di masa datang. Beberapa langkah penting yang dapat ditempuh untuk menekan dampak penurunan luas lahan pertanian terhadap produksi sapi di Bali antara lain: pertama, penegakan aturan tata ruang secara tegas, sehingga

dapat memperlambat alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, kedua,

dengan pola pemeliharaan sapi yang lebih intensif, misalnya penerapan teknologi pengolahan pakan, sehingga pakan sapi tidak hanya bergantung pada hijauan saja, namun dapat memanfaatkan pakan non hijauan (konsentrat) seperti yang bersumber dari limbah industri dan lain sebagainya.

7. Kebijakan penetapan Daerah Bali sebagai wilayah pemurnian sapi bali menyebabkan peternak kehilangan kesempatan untuk memelihara jenis sapi selain sapi bali. Para peternak tidak punya alternatif lain dalam pemeliharaan sapi. Daerah Bali mengemban tanggung jawab yang besar untuk melestarikan sapi bali. Di samping itu, daerah ini juga mendapat mandat sebagai penyedia bibit sapi bali yang genetiknya masih murni (sebagai sumber flasma nutfah sapi bali). Dengan demikian maka pengembangan sapi bali hendaknya bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Bali, namun juga membutuhkan perhatian pemerintah pusat yang lebih besar yang berupa kebijakan-kebijakan yang lebih memihak kepada peternak.

8. Pencegahan penyelundupan dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat di daerah pantai yang berpotensi digunakan sebagai tempat

penyelundupan sapi. Hal ini tentu harus didukung oleh semua pihak yang berwenang dalam hal tersebut.

9. Informasi harga sangat penting, sehingga peternak dapat mengetahui harga sapi yang sebenarnya. Informasi harga tersebut dapat disiarkan melalui media komunikasi yang ada.

10.Jumlah pedagang sapi antar pulau yang mendapat hak kuota untuk memperdagangkan sapi potong dari Bali ke Jakarta perlu diperbanyak, sehingga struktur pasar akan lebih mendekati sempurna untuk meningkatkan bargaining position peternak.

11.Keputusan mengkonsumsi daging sapi sangat terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat. Mengingat daging sapi masih merupakan barang mewah bagi sebagian besar masyarakat Bali, maka peningkatan konsumsi daging sapi dapat dilakukan melalui perbaikan pendapatan masyarakat.

12.Perlu dipikirkan perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta dalam bentuk daging, bukan dalam bentuk sapi hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas rumah potong hewan yang bertaraf internasional yang telah tersedia di Kabupaten Gianyar. Hal ini tentu akan dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi produk sapi potong, disamping juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak di Daerah Bali.