• Tidak ada hasil yang ditemukan

Populasi adalah kumpulan individu suatu spesies yang mempunyai potensi untuk melakukan hubungan berbiak yang hidup pada suatu daerah dan suatu waktu tertentu Mudikdjo (1999). Populasi sapi bali di Bali merupakan jumlah sapi bali yang ada di daerah tersebut pada suatu tahun tertentu. Bagian terbesar populasi sapi bali ada pada peternak di perdesaan, dan secara umum merupakan peternakan rakyat.

Pelestarian populasi sapi bali di Bali sangat penting untuk meningkatkan produksi sapi di masa datang, disamping juga sebagai sumber bibit sapi bali murni yang memungkinkan disilangkan dengan jenis sapi lainnya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Handiwirawan dan Subandriyo (2004), yang menyatakan bahwa pelestarian sapi bali perlu terus dilakukan dan harus dipandang sebagai upaya antisipatif penyediaan ’’bahan kaku’’ untuk menghasilkan jenis sapi baru untuk dapat mengantisipasi perubahan selera pasar dimasa depan.

Mudikdjo (1999) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi populasi sapi pada suatu wilayah antara lain, pertama,

penambahan jumlah ternak yang terjadi melalui peningkatan kelahiran, misalnya melalui inseminasi buatan (IB) dan impor ternak dari luar. Mengingat daerah Bali merupakan daerah pemurnian sapi bali maka impor bibit dari luar Bali tidak bisa

dilakukan. Kedua, pengurangan jumlah ternak akibat kematian, pemotongan, dan

ekspor. Faktor yang pertama diatas tentu berpengaruh positif terhadap populasi sedangkan faktor yang kedua akan berpengaruh negatif.

Walaupun Bali merupakan provinsi dengan luas wilayah yang tergolong kecil, namun dari 33 provinsi yang ada, Bali memiliki populasi sapi nomer lima terbesar, setelah Jatim, Jateng, NAD dan Sulsel, seperti yang dapat kita lihat pada Tabel 2. Disamping itu, Provinsi Bali juga merupakan daerah surplus dalam hal sapi potong, sehingga merupakan salah satu pemasok sapi potong untuk pasar Tabel 2. Populasi Sapi pada Beberapa Sentra Produksi pada Tahun 2006

No Wilayah Populasi Sapi (ekor)

1 Jawa Timur 2 524 573 2 Jawa Tengah 1 391 372 3 NAD 626 447 4 Sulawesi Selatan 612 145 5 Bali 596 090 6 Nasional 10 835 686

Sumber : Ditjen Peternakan, 2006

di Jakarta. Namun demikian, menurut data Ditjen Peternakan (2007), pertumbuhan populasi sapi di Bali masih sangat rendah. Rata-rata pertumbuhan populasi sapi di Bali dari tahun 2001 sampai tahun 2007 hanya sebesar 3.33 persen per tahun, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3. Pertumbuhan populasi sapi betina induk memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan populasi, karena sapi betina induk merupakan mesin biologis yang dapat merubah berbagai input produksi menjadi anak sapi. Berdasarkan laporan cacah jiwa ternak tahun 2007, pertumbuhan populasi sapi betina induk di Bali masih sangat rendah,

Tabel 3. Perkembangan Populasi Sapi di Bali

Tahun Jumlah (ekor) Pertumbuhan (%)

2001 521 264 - 2002 521 973 0.5 2003 539 781 3.04 2004 576 586 6.82 2005 590 949 2.49 2006 613 241 3.77 2007 633 789 3.35 Rata-rata 571 083 3.33

Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Bali, 2007 (diolah)

yaitu hanya 1.99 persen per tahun, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pemotongan sapi betina induk produktif masih tinggi.

Sapi bali memiliki tingkat fertilitas dan daya tahan hidup yang cukup baik. Tingkat kelahiran sapi di Bali cukup tinggi, sedangkan tingkat kematiannya rendah, yaitu masing-masing sebesar 23.12 persen dan 1 persen dari populasi (Atmadja, 2006). Dari tingkat kelahiran tersebut komposisi pedet jantan sebesar 49 persen, sementara pedet betina sekitar 51 persen.

Tabel 4. Komposisi Populasi Sapi di Bali

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jagiran 73386 76 880 80 630 81 595 82 191 85 351 87 466 2.98 Jantan Muda 73 593 81 908 81 808 89 064 92 025 94 750 96 985 4.78 Godel jantan 61 978 61 311 65 746 71 481 73 734 76 946 82 951 5.03 Kebiri 1 900 2 813 1 349 3 487 634 504 862 20.53 Betina Induk 178 497 167 937 175 293 186 257 189 991 196 047 199 978 1.99 Betina Muda 72 714 69 309 70 084 76 443 80 081 82 922 87 045 3.13 Godel Betina 63 349 61 668 64 871 68 259 72 293 76 721 78 502 3.69 Jenis Sapi rata-rata Pertumbuhan (%) Tahun

Nitis (1991) menyatakan bahwa pola peternakan sapi bali dapat dilakukan dengan pola terpadu dan tidak terpadu. Pola peternakan sapi terpadu meliputi: (a) integrasi sapi dengan pertanian tanaman pangan, pada musim tanam dikandangkan dan setelah musim panen digembalakan disawah, (b) integrasi sapi dengan perkebunan, yaitu sapi digembalakan di bawah tanaman perkebunan yang tidak ditanami palawija, dan (c) integrasi sapi dengan kehutanan. Dengan pola integrasi tersebut selain dapat menghasilkan ternak juga dapat memberantas gulma. Sedangkan pola peternakan sapi tidak terpadu meliputi: (a) sistem pastoral (sapi dilepaskan di padang rumput), (b) sistem feed lot (sapi dipelihara dalam

kandang) dan (c) sistem nomadik (sapi dipindahkan dari satu padang rumput ke padang rumput yang lain.

Menurut Payne dan Rollinson (1973), sapi bali di domestikasi pertama kali di Pulau Bali. Hal ini menunjukkan bahwa sapi bali sudah dipelihara oleh nenek moyang masyarakat Bali sejak berabad-abad yang lalu, sehingga ternak ini sudah menjadi ciri khas Daerah Bali. Peternakan sapi di Bali secara umum merupakan peternakan rakyat yang sistem pemeliharaannya dilakukan secara terintegrasi dengan tanaman pertanian. Pola pemeliharaan sapi di daerah ini secara umum masih bersifat semi intensif dengan jumlah pemeliharaan rata-rata 3 ekor. Ternak sapi umumnya dipelihara disekitar pekarangan rumah, dikebun-kebun atau tegalan, dengan kandang yang sederhana, dan diberi makan dari hijauan, gulma, jerami, atau limbah pertanian lainnya. Peternak yang lokasinya dekat dengan hutan juga mendapatkan pakan hijauan dari hutan tersebut, berupa rerumputan, leguminose, dan paku-pakuan. Kandang sapi umumnya dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti: bambu, kayu dan daun kelapa.

Sejalan dengan berkembangnya teknologi dibidang peternakan, pola pemeliharaan sapi telah bergeser ke arah yang lebih intensif, dimana sebagian peternak sudah memelihara sapinya dengan menggunakan pakan dan kandang yang lebih baik. Golongan peternak tersebut umumnya merupakan peternak sapi penggemukan, yang menggemukkan sapi jantan dengan masa pemeliharaan berkisar antara empat bulan sampai satu tahun, dengan jumlah pemeliharaan 5 sampai 100 ekor. Peternak ini biasanya membeli jantan muda dengan berat badan antara 250 sampai dengan 300 kg per ekor dari petani langsung atau di pasar hewan. Pakan yang digunakan bervariasi, tetapi umumnya merupakan kombinasi hijauan atau limbah pertanian dengan konsentrat (dedak padi, polar, maupun complete feed) serta beberapa feed additif , seperti: mineral, vitamin dan probiotik.

Dukungan penyediaan bibit yang berkualitas sangat penting untuk menunjang keberhasilan pemeliharaan ternak sapi. Di samping itu, harus didukung juga dengan penyediaan pakan yang bermutu dengan harga yang terjangkau. Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan daya saing produk yang akan dihasilkan (Ilham, 1995). Ketersediaan pakan hijauan sangat terkait dengan luas lahan pertanian. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang terus meningkat merupakan ancaman bagi penyediaan pakan hijauan, yang pada akhirnya dapat mengurangi produksi sapi pada masa yang akan datang.