• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian mengenai dampak kebijakan kuota perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta terhadap penawaran dan populasi

sapi serta kesejahteraan peternak di Provinsi Bali belum pernah dilakukan, namun demikian, di bawah ini akan ditinjau beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini.

Kajian terhadap kebijakan kuota pengeluaran ternak sapi terhadap perkembangan populasi sapi bali di Nusa Tenggara Barat (NTB) dilakukan oleh Arlina (1997). Penelitian tersebut dimaksudkan untuk mempelajari keadaan perkembangan populasi terkait dengan kebijakan kuota pengeluaran sapi dari NTB. Dalam penelitian tersebut, populasi ternak sapi pada tahun tertentu dirumuskan sebagai populasi pada tahun sebelumnya, ditambah dengan jumlah kelahiran, dikurangi dengan jumlah kematian, jumlah yang dipotong dan yang dikirim keluar NTB. Kuota pengeluaran sapi dari NTB yang ditetapkan pemerintah sebanyak 25 000 ekor per tahun. Dalam penelitian tersebut dibuat beberapa skenario, yaitu tingkat pemanenan sebesar 16 persen , 14 persen, dan 12 persen. Tingkat kelahiran 40 persen, 50 persen, dan 60 persen, tingkat kematian 4 persen, 6 persen dan 8 persen.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kuota pengeluaran sapi rata-rata 25 000 per tahun dari NTB dengan asumsi tingkat kelahiran 50 persen, kematian anak sapi dan sapi muda sebanyak 6 persen, kematian sapi dewasa 4 persen, serta total pemanenan 13.35 persen, masih dapat meningkatkan populasi sebesar 3.4 persen. Namun jika tingkat kelahiran 40 persen, tingkat kematian 6 persen dan tingkat pemanenan 12 persen, akan menurunkan populasi.

Penelitian ini hanya melihat dampak kebijakan kuota perdagangan terhadap perkembangan populasi, dengan hanya menggunakan satu persamaan identitas yaitu persamaan populasi. Penelitian tersebut lebih menekankan pada

masalah teknis, dan hanya melihat dampak kebijakan kuota secara parsial. Model hanya disusun dari peubah populasi tahun sebelumnya, tingkat kelahiran, kematian, tingkat pemanenan (tingkat pemotongan serta pengeluaran ternak sapi). Penelitian ini sama sekali tidak melibatkan peubah-peubah ekonomi seperti harga, penawaran dan peubah-peubah penting lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Agung (1998), berjudul ”Fungsi Keuntungan, Permintaan Input, Penawaran Output dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usaha Ternak Sapi Penggemukan di Bali”. Penelitian ini menggunakan pendekatan fungsi keuntungan, dan menggunakan data primer yang diambil dari 80 orang peternak sapi penggemukan yang ada di dua desa di Bali. Ia menyimpulkan bahwa produksi sapi penggemukan maupun permintaan input tidak tetap, responsif terhadap kenaikan harga sapi, dimana elastisitasnya, masing- masing adalah sebesar 3.15 persen dan 4.15 persen. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa harga sapi bakalan mempunyai peranan yang besar untuk mendorong produksi sapi penggemukan pada dua desa di Bali, dimana produksi responsif terhadap harga bakalan dengan elastisitas sebesar 3.41 persen. Penelitian ini hanya merupakan studi kasus sehingga tidak bisa digeneralisasikan untuk Daerah Bali. Disamping itu data yang digunakan hanya pada suatu titik waktu sehingga tidak mencerminkan dinamika peternakan sapi di Provinsi Bali.

Suatu analisis simulasi mengenai penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia dilakukan oleh Ilham (1998). Penelitian dilakukan dengan pendekatan model ekonometrika yang diformulasikan dalam bentuk persamaan simultan, dan kemudian pendugaan model dilakukan dengan metode Two stage

penelitian tersebut tidak dapat mempelajari perilaku harga, perilaku produksi, maupun perilaku populasi sapi potong, padahal ketiga peubah tersebut sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dengan produksi daging sapi. Namun ketiga peubah tersebut tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Pergerakan harga daging sapi kadangkala tidak mencerminkan harga sapi potong, dimana walaupun harga daging sapi naik, belum tentu harga sapi potong juga naik. Begitu pula produksi daging sapi belum tentu mencerminkan produksi sapi potong, sebab bisa saja produksi daging sapi tinggi tanpa produksi yang tinggi, namun produksi yang tinggi tersebut dilakukan dengan cara menguras populasi.

Simulasi penghapusan kebijakan kuota perdagangan sapi potong antar daerah pada penelitian ini dilakukan dengan meningkatkan volume penawaran daging sapi dari peternakan rakyat sebesar 20 persen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penghapusan kuota menyebabkan penawaran daging sapi produsen domestik dan penawaran daging domestik meningkat masing-masing sebesar 13.78 persen dan 13.33 persen. Peningkatan penawaran tersebut menyebabkan harga daging domestik turun sebesar 2.78 persen. Penurunan harga tersebut menurunkan volume penawaran daging industri peternakan rakyat sebesar 15.82 persen dan meningkatkan konsumsi daging sapi sebesar 2.85 persen.

Penelitian yang berjudul ”Analisis Penawaran Sapi Potong dari Nusa Tenggara Timur ke Jakarta”, dilakukan oleh Kaho (2001). Kajian ini menggunakan data time series tahun 1982-1997, dengan pendekatan yang sama

dengan yang dilakukan Ilham (1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penawaran sapi antar pulau dari Timor maupun dari Sumba tidak responsif terhadap perubahan harga riil sapi di Jakarta maupun perubahan pendapatan per

kapita penduduk Jakarta. Ketidakresponsifan penawaran tersebut bisa saja disebabkan oleh adanya kebijakan kuota yang membatasi pengeluaran sapi dari kedua daerah tersebut, namun peneliti tidak menjelaskan hal tersebut, padahal pemerintah daerah ini juga menerapkan kebijakan kuota untuk mencegah pengurasan populasi akibat tingginya permintaan dari luar daerahnya. Disamping itu, penelitian ini tidak memasukkan peubah populasi, padahal secara teori penawaran atau produksi sapi potong sangat berkaitan dengan populasi, sehingga perilaku populasi sapi di daerah ini tidak dapat diketahui.

Evaluasi kebijakan impor daging sapi dalam rangka proteksi peternak domestik dengan pendekatan analisis penawaran dan permintaan, dilakukan oleh Priyanto (2003). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data time series

tahun 1981-2000, yang dianalisis dengan pendekatan yang sama dengan yang dilakukan Ilham (1998). Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain: populasi sapi nasional secara nyata (P<0.15) meningkatkan penawaran daging sapi, harga daging sapi yang berlaku tidak banyak mempengaruhi laju perkembangan usaha peternakan rakyat, dan konsumsi daging nasional nyata (P<0.05) dipengaruhi oleh laju peningkatan populasi penduduk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daging ayam berkompetitif terhadap daging sapi. Penelitian yang dilakukan tidak memasukkan peubah harga sapi potong. Disamping itu, peubah populasi sapi nasional dalam penelitian ini hanya merupakan peubah eksogen, sehingga tidak diketahui bagaimana perilakunya.

Erisal (1994) telah melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis pemasaran sapi potong di Provinsi Bali”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa di daerah tersebut telah tercipta suatu sistem pemasaran yang baik dengan dukungan

7 buah pasar hewan sehingga para peternak dapat langsung memasarkan sapi yang dihasilkannya maupun membeli bibit di pasar tersebut. Namun demikian, peternak juga dapat menjual sapinya kepada belantik maupun kepada ”kaki tangan” pedagang antar pulau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar (88.7 persen dari total sapi yang diperdagangkan) sapi yang diperdagangkan dilakukan oleh peternak dengan menjual langsung ke pasar hewan, dan sisanya dijual kepada belantik dan ”kaki tangan” pedagang antar pulau dengan persentase masing-masing sebesar 7.3 persen dan 4.0 persen.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perdagangan sapi antar pulau memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pedagang antar pulau, yaitu sebesar Rp 140900 untuk setiap ekor sapi yang dikirimnya, yang jauh lebih besar dari penerimaan para penggaduh yang memelihara sapi sampai lebih dari setahun dan menerima imbalan hanya sebesar Rp 107 402, tanpa memperhitugkan tenaga kerja yang telah mereka keluarkan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh BAPPEDA dan PPLH (2007) yang menyatakan bahwa perdagangan sapi potong antar pulau memberikan keuntungan yang cukup besar kepada pedagang antar pulau dengan tingkat keuntungan sebesar 10.14 persen dari total biaya yang mereka keluarkan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sistem pemasaran sapi penggemukan di Bali cukup efisien melalui pedagang antar pulau, dengan tingkat farmer share sebesar 80 persen.

III. KERANGKA TEORITIS