PENGARUH
ORGANIZATIONAL JUSTICE
TERHADAP
EMPLOYEE ENGAGEMENT
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Disusun Oleh:
Octaviani Elga Fernandez
129114076
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
PENGARUH
ORGANIZATIONAL JUSTICE
TERHADAP
EMPLOYEE ENGAGEMENT
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Disusun Oleh:
Octaviani Elga Fernandez
129114076
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang,tetapi engkau akan
mengertinya kelak.
-Yohanes 13:7-
“
she knew the power of her mind. So she programmed it for success
.”
-Carrie Green-
Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan
ajaib; ajaib apa yang Kau buat, dan jiwaku benar-benar
menyadarinya.
-Mazmur 14: 139-
Aku menanam,
Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi
pertumbuhan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam
atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan penuh perasaan bahagia dan terharu, hasil usaha dan karya ini saya persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu ada untuk menguatkan saya
My father in heaven yang sampai bulan april tahun 2016 kemaren setiap hari selalu tanya skripsi sudah sampai mana nona? Nona targetnya kapan kelar? Harus serius yah
nona!
Mama ewit sayang yang selalu memberikan dukungan, semangat dan yang terpenting doa yang terus mengalir setiap saat. Terimakasih banyak mama sudah sangat sabar
menunggu.
Tak lupa juga kakak dan adik tercinta, Edman dan Rista, terimakasih bro sis sudah menjadi partner yang mengerti dan selalu memberi semangat, yaa walaupun terkadang caranya suka nyindir.
Terimakasih banyak kesayangan ega yang selalu ada. Kalian luar biasa!
vii
Pengaruh Organizational Justice terhadap Employee Engagement
Octaviani Elga Fernandez
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pengaruh organizational justice terhadap employee engagement
pada karyawan. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebas adalah organizational justice yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu distributif justice, prosedural justice dan interactional justice. Penelitian ini memiliki tiga hipotesis. Hipotesis yang pertama, distributif justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Kedua, prosedural justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap
employee engagement. Ketiga, interactional justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 159 orang. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Colquitt (2001) untuk
organizational justice dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah sebesar 0.828 dan reliabilitas skala engagement adalah sebesar 0.758. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Diketahui nilai standardized coefficients (β) sebesar 0,262 untuk hubungan antara distributif justice dan employee engagement, 0.247 untuk hubungan antara prosedural justice dan employee engagement dan 0,430 untuk hubungan antara interactional justice dan employee engagement. Artinya terdapat pengaruh positif dan signifikan pada organizational justice dan employee engagement. Maka, semakin tinggi
organizational justice, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya semakin rendah
organizational justice, semakin rendah pula employee engagement.
viii
The Influence of Organizational Justice toward Employee
Engagement
Octaviani Elga Fernandez ABSTRACT
This research discussed the influences of organizational justice toward employee engagement. The dependent variable in this research is employee engagement which contains of 3 dimensions, such as distributive justice, procedural justice and interactional justice. This research has three hypotheses. The first hypotheses isdistributive justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The second isprocedural justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The third is interactional justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The subjects of this research are 159 people. The measurement tools used for this research are the scale that has been adapted from Colquitt (2001) for organizational justice and Saks (2006) for employee engagement.Thescale reliability in this research is 0.828 for organizational justice and 0.758 for employee engagement.In this research, multiple regression analysis is used in doing hypothesis trial. The result of the analysis shows that all hypotheses in this research are accepted. It is known that the value of standardized coefficients
(β) is 0.262 for the relationship between distributive justice and employee engagement, 0.247for
the relationship betweenprocedural justice and employee engagement and 0.430 for the relationship between interactional justice and employee engagement. It means there is a positive influence between organizational justice and employee engagement. Thus, the higher the organizational justice, the higher employee engagement will be. Conversely, the lower organizational justice, the lower the employee engagement will be.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih, pertolongan, dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Ibu Ratri Sunar A., M. Si. Selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
4. Bapak Minta Istana, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skrispi atas
kesediaan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, kritik dan saran dalam proses penulisan skripsi. Terima kasih karena bapak tidak pernah lelah mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan kewajiban
saya dan selalu meyakinkan saya untuk bisa menyelesaikan skripsi meskipun banyak sekali rintangan yang saya temui. Terimasih sudah
sangat sabar membaca skripsi saya. Sekali lagi terimakasih banyak pak. 5. Segenap Dosen Psikologi yang telah mendidik, memberikan
pengetahuan, dan inspirasi selama penulis menempuh pendidikan di
xi
6. Saks yang mengembangkan skala Organizational Engagement dan Jason A. Colquitt yang mengembangkan skala Organizational Justice
dan telah memberikan ijin untuk melakukan proses adaptasi skala ke dalam Bahasa Indonesia.
7. Khusus buat Papa Jeji Fernandez (alm), terimakasih banyak pah aahh tidak jadi merangkai kata ah, papa tau apa yang ega rasakan sekarang! Maaf dan terimakasih banyak pah
8. Mama Hedwi Lagur, terimakasih banyak atas pengertian, kesabaran waktu menunggu, dukungan dalam bentuk jasmani maupun rohani,
“sindiran” pembangkit semangat, doa yang tak henti mengalir, cinta
yang tulus tak berkesudahan. Saya percaya Tuhan begitu menyayangi mama dan saya yakin Tuhan akan memberikan kebahagiaan berkat
kasih yang melimpah yang tak terhingga untuk mama yang sungguh luar biasa.
9. Mama, kakak No, Uncuk, papa Gus, papa Markus, mama Iyah dan mama Erna yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa yang tidak pernah berhenti. Terimakasih kalian selalu menyempatkan waktu
untuk mendengar keluh kesah saya dan kalian tidak pernah berhenti untuk memberi saya dukungan yang pasti membuat saya semakin kuat.
xii
11.Seluruh keluarga besar Fernandez dan Lagur yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam doa untuk kesuksesan penulis.
12.Jerry Mardani. You did too much. I can’t describe it in words. Thankyou for everything!
13.Nona, Kak Gue, Ajeng, Awrina, Risca, Moka, GM, Igan, para anggota Geng MITOS yang lebih sering mengatakan hal mitos daripada kebenaran. Terima kasih kalian selalu ada dan selalu tahan banting
menghadapi penulis yang sangat annoying ini.
14.Nona dan kak Gue, tim pengawas yang luar biasa. Terima kasih kalian
berdua selalu mendengarkan keluh kesah penulis. Terima kasih selalu menyempatkan waktu untuk menangani berbagai macam kagalauan penulis serta saling mendukung untuk memberikan yang terbaik dalam
mengerjakan skripsi.
15.Imel nona ambon manise memang sudah jalannya kau lebih cepat
selesai jadi leptop kau bisa saya pakai. Terimakasih melzz sudah meminjamkan leptop sampai selama ini & membuat beban saya berkurang karena leptop saya yang selalu eror.
16.Kak Gue, Cik Silvi, Nata, Pras, Leo, Sakti. Terima kasih atas lelucon dan gosip sebelum atau sesudah maupun ketika sedang bimbingan yang
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
2. Aspek-aspek Employee Engagement ... .14
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Employee Engagement 15
B. Organizational Justice ... 20
xv
2. Dimensi Organizational Justice ... 22
3. Dampak dari Organizational Justice ... 28
C. Dinamika Hubungan Organizational Justice dengan Employee Engagement ... 29
D. Kerangka Pemikiran ... 36
E. Hipotesis Penelitian ... 39
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. Jenis Penelitian ... 40
B. Variabel Penelitian ... 41
C. Devinisi Operasional ... 41
1. Organizational Justice ... 41
2. Employee Engagement ... 42
D. Subjek Penelitian ... 43
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 44
xvi
c. Uji Heteroskedasitas... 53
2. Uji Hipotesis ... 53
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54
A. Pelaksanaan Penelitian ... 54
B. Deskripsi Penelitian ... 55
1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 55
2. Deskripsi Data Penelitian ... 57
C. Analisis Data Penelitian ... 59
1. Uji Asumsi ... 59
a. Uji Normalitas ... 59
b. Uji Heteroskedasitas... 60
c. Uji Linearitas ... 62
2. Uji Hipotesis ... 62
D. Pembahasan ... 67
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Keterbatasan Penelitian dan Saran Untuk Penelitian Selanjutnya ... 73
C. Saran ... 75
1. Bagi Perawat Rumah Sakit ... 75
2. Bagi Rumah Sakit ... 76
3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 79
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pemberian Skor pada Skala Organizational Justice 45
Tabel 2 Cetak sebaran Skala organizational justice sebelum seleksi item 45
Tabel 3 Pemberian Skor pada Skala Employee Engagement 46
Tabel 4 Pemberian Skor pada Skala Employee Engagement sebelum seleksi
item 47
Tabel 5 Reliabilitas Skala Organizational Justice 50
Tabel 6 Reliabilitas Skala Employee Engagement 51
Tabel 7Deskripsi data subjek berdasarkan jenis kelamin 55
Tabel 8Deskripsi data subjek berdasarkan lama bekerja di rumah sakit 56
Tabel 9 Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia 56
Tabel 10 Deskripsi Statistik Data Penelitian 58
Tabel 11 Uji Normalitas Residu 60
Tabel 12 Uji Glejser Heteroskedasitas 61
Tabel 13 Hasil Uji Linearitas 62
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Reliabilitas Skala 86
Lampiran 2 Uji t 87
Lampiran 3 Uji Normalitas Residu 89
Lampiran 4 Uji Heteroskedastisitas 90
Lampiran 5 Uji Linearitas 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“When people are financially invested, they want a return. When
people are emotionally invested, they want to contribute”,(Simon Sinek).
Ketika karyawan terlibat penuh dalam organisasi, maka karyawan tersebut
memberikan kontribusi yang sangat bermakna bagi organisasi. Employee
engagement adalah perasaan keterlibatan secara emosional antara
karyawan dengan pekerjaan dan organisasi, serta motivasi karyawan untuk
memberikan kemampuan terbaiknya demi membantu kesuksesan
perusahaan melalui tindakan nyata (McLeod, 2009). Hal ini dapat
membantu perusahaan dalam mencapai tujuan jangka panjang sehingga
perusahaan tersebut dapat unggul dalam berkompetisi dengan
perusahaaan lain (Little, 2006).
Hasil survei oleh AON Hewitt (2011) menunjukkan tingkat
keterlibatan karyawan yang rendah terhadap perusahaan, padahal hal ini
merupakan salah satu aspek penting untuk mencapai kesuksesan
perusahaan tersebut. Survei AON Hewitt (2011) menunjukkan bahwakrisis
ekonomi yang dimulai pada tahun 2008 mengakibatkan adanya penurunan
indeks engagement dari 72% menjadi 56% pada tahun 2010. Pada survei
AON Hewitt (2013), tingkat engagement pada karyawan tergolong rendah
karyawan di banyak negara. Karyawan yang tergolong highly engage di
Indonesia hanya sebesar 15%. Sementara itu, 52% karyawan di Amerika
dan 68% di Cina dilaporkan memilih untuk mengundurkan diri dari
pekerjaanya (Gallup, 2013). Oleh karena itu, salah satu solusi yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah
meningkatkan employee engagement (MacLeod & Clarke, 2009).
Employee engagement memiliki dampak positif terhadap
perusahaan, misalnya PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Unit Costumer
Service yang menjadi ujung tombak perusahaan dalam melakukan bisnis.
Mereka menjual produk perusahaan kepada pelanggan dan memastikan
tetap menjadi pilihan pelanggan dari tahun ke tahun. Tren penjualan
speedy terus mengalami kenaikan dari bulan ke bulan dan terus mengalami
kenaikan. Penjualan bulan Februari mengalami kenaikan sebesar 8,64%
dari bulan Januari. Bagitu pula dengan bulan berikutnya yang mengalami
kenaikan berturut-turut sebesar 9,68% (April), 4,41% (Mei) dan 8,31%
(Juni). Menurut Alex J. Sinaga, selaku direktur PT. Telekomunikasi
Indonesia, employee engagement dapat meningkatkan kinerja karyawan
dan kinerja karyawan yang tinggi menandakan adanya indikasi tingkat
engagement di lingkungan perusahaan tergolong tinggi. Kinerja karyawan
di PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Unit Costumer Service tergolong
antara baik dan baik sekali, khususnya pada tahun 2010, kinerja karyawan
tergolong sangat baik dan menunjukkan kinerja karyawan yang mencapai
absensi perusahaan yang cukup rendah. Tingkat absensi hanya kisaran 3%
dari jumlah keseluruhan (kompas.com 2016).
Keterlibatan karyawan juga bermanfaat sebagai sarana dalam
meningkatkan kinerja (Bakker & Demerouti, 2008). Ketika karyawan
terlibat dalam organisasi, maka mereka akan lebih produktif, memiliki
tingkat absensi yang rendah, dan siap bekerja lebih keras untuk perusahaan
(Buchanan, 2004; Harter, 2006). Keterlibatan pada karyawan juga dapat
mengurangi burnout, karena karyawan terlibat dengan aktivitas kerja dan
mereka mampu menyelesaikan tugas (Schaufeli et al., 2008). Oleh karena
itu, banyak perusahaan berusaha untuk mempertahankan karyawan yang
berpotensi agar mereka terlibat dalam perusahaan untuk meningkatkan
produktivitas dan kualitas perusahaan (Peffer, 2005). Fenomena di PT.
Telekomunikasi Indonesia Tbk, para karyawan dinilai dapat terlibat dalam
organisasi dan menunjukkan kinerja yang baik sehingga meningkatkan
omset perusahaan. Hal ini terlihat dari karyawan yang bekerja lebih keras
dalam menyelesaikan tugas mereka. Selain itu, karyawan juga memiliki
tingkat absensi yang tergolong rendah.
Hallberg dan Schaufeli (2006) menyatakan bahwa kurangnya
keterlibatan karyawan pada perusahaan menyebabkan karyawan
cenderung mudah merasa lelah, emosi tidak stabil, gejala depresi,
gangguan tidur, dan cenderung mengalami gejala burnout. Hasil
meta-analisis Robertson Cooper (2001) menunjukkan bahwa karyawan yang
burnout dengan alasan yang bermacam-macam atau bahkan tanpa
memberikan alasan yang jelas.
Smulder (2006) menyatakan bahwa beberapa pekerjaan yang
menuntut keterikatan kerja yang tinggi diantaranya guru, entrepreneur, dan
perawat. Beberapa pekerjaan tersebut memiliki kesamaan, yaitu pekerjaan
yang melibatkan kualitas pelayanan sebagai modal utamanya. Namun,
rasio antara perawat dengan pasien yang dirawatnya tidak seimbang.
WHO menetapkan standar rasio ideal perawat dengan pasien adalah 1:
200, sedangkan WHO mencatat rasio antara perawat dengan pasien di
Indonesia masih jauh dari standar WHO, yaitu sebesar 1: 375. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan perawat sebagai
subjek penelitian.
Perawat merupakan salah satu profesi di rumah sakit yang berperan
penting dalam penyelenggaraan pelayanan. Perawat harus berada di sekitar
pasien dan bertanggung jawab terhadap pelayanan perawatan pasien
selama 24 jam (Gunarsa, 1995). Andriani (2004) mengungkapkan tugas
utama perawat dalam membantu kesembuhan pasien adalah memulihkan
kondisi kesehatan bahkan menyelamatkan pasien dari kematian. Oleh
karena itu, profesi perawat dituntut agar memiliki keterlibatan secara
emosional sehingga perawat dapat bekerja dengan sungguh-sungguh.
Disamping itu, perawat yang berkualitas adalah perawat terlibat pada
(Bakker, 2002). Hal ini mengurangi kelelahan dalam bekerja sehingga
perawat bekerja tanpa adanya paksaan (Schaufeli & Bakker, 2003).
Employee engagement dipengaruhi 5 faktor yaitu kepemimpinan,
iklim organisasi, kompensasi, pelatihan, dan team work (Anitha, 2014 &
Maslach et al. 2001). Xanthopoulouet (2009) juga menemukan bahwa
"suasana kerja" atau iklim organisasi berpengaruh pada keterlibatan.
Macey dan Schneider (2008) juga menyatakan bahwa keterlibatan
tergolong sebagai perilaku adaptif. Perilaku manusia terbentuk dari
lingkungannya. Hal ini juga terjadi pada keterlibatan kerja yang tergolong
sebagai perilaku adaptif. Keterlibatan kerja tersebentuk dari lingkungan
kerja. Lingkungan kerja sendiri sering sekali dikaitkan dengan iklim
organsiasi.
Iklim organisasi memiliki karakteristik yang khas dan bersifat
relatif tetap pada setiap organisasi, dan kekhasannya itu yang
membedakannya dengan organisasi lain. Iklim organisasi meliputi sistem
penggajian, disiplin kerja dan proses pengambilan keputusan (Sheridan &
Radmacher, 1992), budaya kerja yang mencakup rasa memiliki,
konsultasi, dan komunikasi (Gibson, 1994). Iklim organisasi yang baik
dapat diciptakan melalui manajemen sumber daya manusia dengan
memberikan fasilitas yang memadai dan memperlakukan karyawan
dengan adil dalam organisasi (Konovsky 2000).
Berbagai macam kasus tentang keadilan organisasi juga sudah
dihasilkan oleh pihak manajemen yang dirasakan tidak adil oleh karyawan,
di antaranya tuntutan UMR (prosentase kasus 21,98 %), hak cuti (18,68
%), PHK (13,19%) dan lain sebagainya. Kemudian ada juga tuntutan yang
bersifat non-Normatif yaitu kenaikan upah (23,67%), tunjangan sembako
(4,52%) dan lain sebagainya (http://www.epsikologi.com). Dikemukakan
juga bahwa dalam suatu perusahaan ada seseorang yang berpendapatan
puluhan bahkan ratusan juta rupiah dalam sebulan, sementara ada
sekelompok pekerja yang hanya diberi upah sekitar Rp 5.000,00 per hari
(Tim Prisma, 1992).
Greenberg (1987) mendefinisikan keadilan organisasi sebagai
pandangan karyawan mengenai keadilan atau ketidakadilan dalam
organisasi, serta menggambarkan dan menjelaskan peran keadilan sebagai
pertimbangan karyawan untuk bekerja dalam suatu organisasi. Setiap
peristiwa, tindakan atau keputusan dinilai adil atau tidak berdasarkan
keyakinan individu tentang keputusan, nilai individu atau sistem norma,
serta yang berkaitan dengan keyakinan individu (Bies, 1987). Cropanzano
(2007) membahas keadilan organisasi sebagai perekat yang
memungkinkan karyawan untuk bekerja sama dalam organisasi. Keadilan
dalam organisasi memungkinkan karyawan untuk mempertahankan rasa
hormat dan kepercayaan pada sebuah organisasi. Bahkan ketika sesuatu
tidak berjalan dengan baik, karyawan akan tetap melakukan yang terbaik
(Brockner & Wiesenfeld, 1996). Contoh keadilan dalam organisasi adalah
tugas. Hal ini membuat karyawan merasa bahagia dan bangga terhadap
kinerja yang telah mereka capai (Krehbiel & Cropanzano, 2000).
Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi karyawan mengenai
keadilan organisasi berkaitan dengan hasil secara fisik dan kesehatan
mental (Robbins, 2012), kinerja dan kepuasan kerja (Colquitt, 2001)
sehingga mempengaruhi keterikatan (Heponiemi, Manderbacka, Vanska &
Elovainio, 2013). Selain itu, prosedur yang adil dapat menumbuhkan
kerjasama sehingga mengurangi efek negatif yang dapat merugikan
organisasi (Cropanzano, 2007).
Dampak negatif ketidakadilan dalam organisasi, misalnya ketika
karyawan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, maka akan ada
kemarahan dan kebencian, bahkan hal ini akan mendorong tindakan balas
dendam (Greenberg, 1996). Ketidakadilan dalam organisasi juga dapat
memicu adanya protes dan pemberontakan (Rahardjo, 1994), sabotase
kerja (Seabright, & Schminke, 2002) dan kecurangan (Greenberg, 1993).
Selain itu, ketidakadilan dalam organisasi akan menimbulkan gejala stres
pada karyawan (Cropanzano, Goldman, & Benson, 2005). Oleh karena itu,
keadilan organisasi diperlukan dalam menjalankan kehidupan organisasi
dan menggerakkan roda organisasi.
Menurut Colquit (2001), keadilan organisasi terdiri dari tiga
dimensi yaitu (a) Keadilan distributif (persepsi alokasi); (b) Keadilan
prosedural (persepsi terhadap proses dan aturan dalam pembuatan
organisasi). Keadilan distributif dibutuhkan karena berkaitan dengan
pemberian penghargaan diantara individu seperti gaji dan intensif lainnya
(Robbin & Judge, 2007). Keadilan distributif terjadi apabila karyawan
merasa bahwa usaha dan imbalan yang diterima sebanding dengan rasio
karyawan lain (Greenberg & Baron, 2003).
Keadilan prosedural dilihat sebagai keadilan dari proses bagaimana
keputusan organisasi dibuat. Ketika anggota organisasi diberi kesempatan
untuk lebih banyak terlibat dalam pembuatan keputusan, maka anggota
organisasi akan mempersepsikan adanya keadilan dalam pembuatan
keputusan tersebut (Robbin & Judge, 2007). Hal ini yang mempengaruhi
mereka semakin kuat dalam mengenal organisasi dan melibatkan diri
dalam organisasi (Grennberg & Baron, 2003).
Keadilan Interaksional menggambarkan interaksi interpesonal saat
menegakkan prosedur/aturan dalam membagikan hasil (Colquitt, 2001)
serta keadilan yang dirasakan dalam pemberian penjelasan dan informasi
terkait penghargaan kepada individu (Colquitt, 2011). Hal ini dibutuhkan
karena karyawan pada masa kini mengharapkan adanya komunikasi yang
baik dan saling menghormati antar karyawan atau dengan atasan dan
bawahan.
Hasil penelitian Ghosh dan Sinha (2014), mengungkapkan bahwa
keadilan distributif dan keadilan interaksional adalah yang paling kuat dan
paling diutamakan daripada keadilan prosedural dalam menentukan
(2006) menjelaskan bahwa keadilan distributif dan prosedural menjadi
prediktor terbentuknya employee engagement dalam organisasi. Sementara
itu hasil penelitian Saks (2006) tidak memberikan bukti bahwa keadilan
distributif memprediksi baik job engagement maupun organizational
engagement. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Kumar
(2012) menemukan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan
distributif justice, prosedural justice dan interactional justice terhadap
employee engagement. Perbedaan hasil penelitian ini menjadi alasan
peneliti melakukan penelitian kembali dengan variabel yang sama.
Penelitian tentang keadilan organisasi secara konsisten menemukan
keterkaitan antara keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan
interaksional. Keadilan organisasi telah dianggap bermanfaat bagi
organisasi, khususnya di negara-negara berkembang dengan banyak
tantangan sosial, politik dan ekonomi (Cropanzano 2007). Selain itu,
proses yang adil mengarahkan pada pelaksanaan strategi untuk
mengurangi efek negatif yang dapat merugikan organisasi (Folger &
Cropanzano, 2007). Leung dan Stephan (2001) juga berpendapat bahwa
penelitian tentang keadilan organisasi harus dilakukan diluar budaya Barat
agar dapat dikembangkan dan digeneralisasikan secara universal. Dengan
demikian, peneliti ingin melihat pengaruh antara employee engagement
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh distributif justice, prosedural justice dan
interactional justice terhadap employee engagement?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh distributif
justice, prosedural justice dan interactional justice terhadap employee
engagement.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu sekaligus
digunakan sebagai referensi untuk penelitian lain, terutama di bidang
Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya dalam hal hubungan
keadilan yang dirasakan individu dengan keterlibatan karyawan terhadap
perusahaan.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan
gambaran bagi perusahaan mengenai kualitas perlakuan yang adil
terhadap karyawan dan memberikan gambaran kepada perusahaan sejauh
mana karyawan mereka merasa terlibat dalam organisasi. Jika hipotesis
ini terbukti, perusahaan nantinya dapat berupaya untuk meningkatkan
kualitas perlakuan yang adil pada karyawan sehingga dapat
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Keterlibatan karyawan telah menjadi topik yang popular dalam
meningkatkan kinerja sumber daya manusia (Shuck & Wollard, 2010).
Sejak tahun 1990-an, keterlibatan karyawan telah menarik minat
pebisnis dan para konsultan, serta mulai dikembangkan dalam bidang
akademik. Selain itu, literatur keterlibatan kerja menunjukkan
perubahan dan perkembangan konsep dari waktu ke waktu.
Kahn (1990) dianggap sebagai penemu teori dasar keterikatan
kerja karyawan dalam bidang akademik. Dalam beberapa tahun
terakhir, lebih banyak studi mulai melihat faktor dan konsekuensi
keterlibatan karyawan. Saks (2006) menemukan perbedaan antara dua
jenis keterlibatan, yaitu job engagement dan organization engagement.
Saks menyatakan bahwa kedua jenis keterlibatan karyawan tersebut
memiliki keterkaitan, tetapi terbentuk dari konstruksi yang berbeda.
Keterlibatan karyawan berasal dari konsep akademik dan
empiris yaitu commitment dan Organizational Citizen Behaviour (OCB)
(Rafferty, 2005). Karyawan yang terlibat penuh dan dapat
melaksanakan setiap tugas, serta melakukan hal baik dengan emosi
positif dapat berpengaruh pada kinerja (Bakker & Demerouti, 2008).
membalas jasa organisasi adalah dengan tingkat keterlibatan karyawan
pada perusahaan. Dengan kata lain, karyawan akan memilih untuk
melibatkan diri dalam merespon sumber daya yang mereka terima dari
organisasi. Karyawan akan memberikan hal yang lebih besar dari peran
mereka masing-masing. Karyawan lebih mungkin untuk terlibat dan
memberikan sumber daya yang lebih serta bermanfaat bagi perusahaan.
Saks (2006) berpendapat bahwa komitmen organisasi berbeda dari
keterlibatan, karena komitmen organisasi menunjukkan sikap yang
mengikat karyawan terhadap organisasi dimana mereka berada,
sedangkan engagement bukan sikap karena engagement melihat
seberapa karyawan memiliki perhatian dan keterlibatan pada pekerjaan
dan perannya (Margaretha & Saragih, 2013).
Saks mengacu pada definisi Kahn (1990) dan sepakat mengenai
keterikatan karyawan yang terdiri dari kognitif, emosional, dan
perilaku. Menurut Kahn (1990) keterikatan karyawan dapat dipahami
sebagai peran kognitif, emosional dan fisik yang ditandai dengan vigor,
dedication, dan absorption.
Kahn (1990) menyatakan bahwa keterlibatan adalah keadaan
dimana karyawan dapat menjalankan peran mereka masing-masing,
menyesuaikan diri dan memiliki motivasi yang tinggi dalam
meningkatkan kinerja. Selain itu, karyawan yang terikat secara kognitif
dan emosional terhadap organisasi dapat menimbulkan kepuasan kerja
Perryman dan Hayday (2004), keterlibatan karyawan adalah sikap
positif karyawan yang berisi nilai-nilai organisasi. Keterlibatan
karyawan memiliki energi positif yang efektif untuk melakukan
kegiatan dalam pekerjaan agar bisa menangani tuntutan pekerjaan.
Schmidt (2004) menyatakan bahwa keterlibatan kerja dapat
memunculkan kepuasaan dan komitmen bersama. Selain itu, Nelson
dan Simmons (2003) berpendapat bahwa keterlibatan karyawan adalah
situasi ketika karyawan merasakan adanya emosi positif terhadap
pekerjaan mereka, membentuk pribadi, serta mempertimbangkan dan
mengelola beban kerja, dan memiliki harapan tentang masa depan dari
pekerjaan mereka.
Saks (2006) kemudian membuat kesimpulan tentang definisi
dari employee engagement. Employee Engagement didefinisikan
sebagai emosi dan komitmen karyawan terhadap organisasi atau
sejumlah usaha yang diperlihatkan oleh karyawan pada pekerjaan
mereka, serta keterlibatan karyawan terhadap organisasi dan nilai di
dalamnya.
Gebauer dan Lowman (2009) menggambarkan keterlibatan
karyawan sebagai hubungan yang mendalam dan luas dengan
perusahaan, serta kesediaan melampaui apa yang diharapkan untuk
membantu keberhasilan perusahaan. Maslach dan Leiter (1997)
karyawan merasa energik, terlibat, dan efektif dibandingkan merasa
lelah, sinisme, dan tidak efektif.
Adapun jenis-jenis employee engagement yang dibagi menjadi
dua bagian, yang pertama adalah Job Engagement. Job engagement
adalah keterlibatan yang ditandai dengan energi, keterlibatan, dan hal
yang bertentangan langsung dengan dimensi burnout. Selain itu, Job
engagement dapat membangun motivasi yang positif yang ditandai
dengan semangat dan dedikasi terhadap tujuan perusahaan (Schaufeli et
al. 2002 & Bakker, 2010).
Kemudian jenis employee engagement yang kedua adalah
Organizational Engagement yang lebih luas menjelaskan mengenai
keterlibatan karyawan dengan organisasi dan tujuan organisasi. Saks
(2006) menjelaskan organizational engagement adalah keterlibatan
karyawan dalam organisasi dan adanya perasaan bangga, serta menjadi
bagian dari organisasi. Keterikatan kerja berfokus pada keterlibatan
karyawan terhadap organisasi dan tujuannya untuk kesejahteraan dan
kesehatan karyawan.
2. Aspek Employee Engagement
Robertson dan Cooper (2009) telah melengkapi penjelasan
Schaufeli tentang kondisi positif di tempat kerja yang ditandai dengan
karakteristik vigor, dedication, dan absorption. Karakteristik dari
employee engagement. Vigor ditandai dengan tingginya energi serta
ketahanan mental saat bekerja, upaya yang dilakukan pada pekerjaan,
dan ketekunan saat menghadapi kesulitan. Dedication ditandai dengan
perasaan bermakna, antusias, inspirasi, kebanggan dan tantangan.
Aspek yang terakhir dari engagement adalah absorption. Absorption
(penyerapan) ditandai dengan konsentrasi penuh dan kesenangan
individu dalam bekerja, dimana waktu berlalu dengan cepat dan
individu sulit untuk memisahkan diri dari pekerjaan tersebut.
3. Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement
Dilihat dari tahap perkembangan, employee engagement dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni:
a. Lingkungan Kerja
Studi oleh Khan (2010) menunjukkan bahwa keterlibatan
karyawan adalah hasil dari berbagai aspek di tempat kerja. Deci
dan Ryan (1987) menetapkan bahwa manajemen yang
meningkatkan lingkungan kerja dapat mendukung untuk
menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan dan perasaan
karyawan. Hal ini merupakan kunci penentu dalam keterikatan
karyawan. Lingkungan yang terbuka dan mendukung sangat
penting untuk karyawan sehingga membuat karyawan merasa
nyaman di tempat kerja sehingga karyawan dapat terlibat pada
interpersonal yang mendukung dapat mempromosikan keterlibatan
karyawan.
b. Kepemimpinan
Kepemimpinan yang efektif dan dukungan dari atasan dapat
memberikan motivasi bagi karyawan agar terlibat dalam organsasi.
Kahn (1990) menemukan bahwa hubungan interpersonal yang
mendukung dapat membentuk keterlibatan karyawan.
c. Kompensasi
Kompensasi yang menarik terdiri dari gaji, bonus dan finansial
lainnya. Ketika karyawan menerima penghargaan dan pengakuan
atas kinerjanya maka keterikatan cenderung semakin tinggi.
Ada juga beberapa faktor lain yang membentuk employee
engagement seperti Job Characterictic, Perceived Organizational
Support, Perceived Supervisor Support, Reward dan Recognition,
Distributive dan Procedural Justice. Hasil penelitian Saks (2006),
ArunKumar & Renugadevi (2013), Kahn dan Ramzan (2013)
memiliki kesamaan dalam menjelaskan faktor yang mempengaruhi
pembentukan keterlibatan karyawan yaitu:
a. Job Characterictic menurut saks (2006) adalah
pemaknaan pekerjaan secara psikologis melibatkan
pencapaian peran baik yang selama ini telah dijalankan oleh
individu. Pemaknaan pekerjaan secara psikologis dapat
memungkinkan individu memakai keterampilan yang
berbeda, keleluasaan individu, dan kesempatan berkontribusi
secara penting. Pekerjaan yang memiliki karakteristik baik,
dapat membawa individu ke dalam pekerjaan tersebut
sehingga individu menjadi lebih engage.
Penelitian ArunKumar dan Renugadevi (2013) dan
Rasheed, Kahn, dan Ramzan (2013) kemudian menambahkan
bahwa Job Characteristic; pemaknaan pekerjaan secara
psikologis dari individu dapat dicapai dari karakteristik tugas,
dimana tugas tersebut memberikan pekerjaan yang
menantang, beraneka ragam, memungkinkan karyawan untuk
menggunakan keterampilan yang berbeda dari biasanya,
kebijaksanaan, dan kesempatan untuk berkontribusi.
b. Kemudian Saks (2006) menjelaskan bahwa Perceived
Organizational Support dan Perceived Supervisor Support:
Psychologycal Safety mencakup rasa mampu dan mau
bekerja pada peran tanpa diikuti oleh konsekuensi negatif.
Semua aspek penting dari keamanan atau keselamatan berasal
dari banyaknya kepedulian dan dukungan terhadap karyawan
dari pihak organisasi, maupun atasan terhadap bawahan
secara langsung. Selain itu ditemukan juga support dan
trusting interpersonal relationship dapat mendukung
lingkungan kerjanya ditandai dengan openness dan
supportiveness. Lingkungan sekitar yang mendukung
memungkinkan anggota untuk bereksperimen dan mencoba
hal-hal baru tanpa takut gagal.
Sedangkan Penelitian Arun Kumar dan Renugadevi (2013)
dan Rasheed, Kahn, dan Ramzan (2013) menambahkan
bahwa Perceived Organizational and Supervisor Support;
dua variabel ini memungkinkan menangkap dukungan secara
sosial baik dari lingkup organisasi maupun dari atasan. Dasar
dari penelitian Perceived Organizational Support adalah teori
pertukaran sosial, dimana karyawan memiliki kewajiban
untuk merespon dengan keterlibatan yang lebih tinggi
terhadap organisasi ketika karyawan mendapatkan dukungan
yang sama dari pihak organisasi. Perceived Supervisor
Support merupakan prediktor penting dari keterlibatan
karyawan. Bahkan kurangnya dukungan atasan berdampak
pada burnout dalam organisasi.Ketika karyawan memiliki
persepsi yang tinggi tentang keadilan dalam organisasi,
mereka lebih mungkin merasa wajib bersikap adil dalam
melakukan peran mereka dengan memberikan lebih dari diri
mereka sendiri melalui tingkat yang lebih besar dari
May et al. (dalam Brunetto, 2012) juga menyebutkan
bahwa anteseden dari keterlibatan karyawan adalah
hubungan yang efektif antara pimpinan dan rekan kerja,
penghargaan, pemberian tugas yang menarik, ketersediaan
sumber daya dalam menunjang pekerjaan dari karyawan itu
sendiri.
c. Reward dan Recognition (Penghargaan dan Pengakuan)
dalam penelitian Khan (dalam Saks, 2006) menyatakan
bahwa individu terlibat dalam organisasi secara berbeda-beda
tergantung persepsi mereka tentang manfaat apa yang akan
diterima. Selain itu, individu dapat terlibat dalam organisasi
disebabkan karena feedback eksternal dan pengakuan dalam
pekerjaan. Oleh karena itu, salah satu kemungkinan karyawan
menjadi engage di tempat kerja adalah saat mereka dihargai
dan diakui dalam peran yang mereka lakukan ketika
karyawan menerima penghargaan dan pengakuan dari
organisasi sehingga karyawan akan merasa berkewajiban
untuk lebih terlibat seperti yang dikatakan teori timbal balik.
Penelitian ArunKumar dan Renugadevi (2013) dan
Rasheed, Kahn, dan Ramzan (2013) juga menjelaskan
tentang Reward and Recognition yang seharusnya diberikan
pengakuan dari pihak organisasi terhadap karyawan dapat
menyebabkan kelelahan di tempat kerja.
d. Distributive dan Prosedural Justice, menurut Saks (2006),
salah satu hal yang penting dalam organisasi adalah
pendistribusian reward, serta prosedur yang tepat untuk
mengalokasikan reward tersebut. Pandangan karyawan
tentang keadilan mendistribusi reward dalam perusahaan
memiliki pengaruh terhadap engagement karyawan. Dengan
kata lain, ketika karyawan memiliki pandangan yang baik
terhadap keadilan organisasi, mereka lebih mungkin merasa
wajib untuk terlibat pada organisasi tersebut. Arun Kumar &
Renugadevi (2013), serta Rasheed, Kahn, & Ramzan (2013),
penting bagi organisasi untuk membuat strategi untuk
mendistribusikan reward secara adil. Organizational justice
berhubungan dengan kecenderungan yang positif terhadap
organisasi, seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan
kinerja.
B. Organizational Justice
1. Definisi Organizational Justice
Istilah "Keadilan Organisasi" diciptakan oleh Wendell French pada
tahun 1964. Umumnya istilah keadilan organisasi digunakan oleh
dan cara yang etis dalam memperlakukan karyawan dalam organisasi
(Cropanzano, 1993) dan didasarkan pada pandangan mengenai
keadilan (Adams, 1965). Konsep keadilan organisasi awalnya
diciptakan oleh Greenberg pada tahun 1980 (Greenberg,1997) dan
umumnya terdiri dari tiga komponen yang berbeda yaitu keadilan
distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional (Bowen,
1999).
Keadilan organisasi adalah cara karyawan diperlakukan oleh
organisasi dengan adil, merata dan sejalan dengan standar yang
diharapkan dari segi moral dan etika (Cropanzano, 2007). Keadilan
organisasi mengarah pada sesuatu yang adil, jujur dan cara yang etis
dalam memperlakukan karyawan (Cropanzano, 1993). Keadilan
organisasi berkaitan dengan cara-cara di mana karyawan menentukan
apakah mereka telah diperlakukan dengan adil dalam pekerjaan
mereka (Moorman, 1991).
Lawler (2005) menyatakan bahwa ketika seseorang mendapat
perlakuan yang tidak adil, maka akan menimbulkan kecemburuan antar
karyawan dan mereka akan melakukan perlawanan dalam bentuk
protes atau melakukan kecurangan. Menurut Arens (2008), kecurangan
dan kinerja yang menurun dari karyawan terjadi karena adanya
motivasi untuk melakukan kecurangan. Hal ini terjadi selain karena
kondisi kerja yang buruk, tetapi juga karena karyawan diperlakukan
perlakuan yang adil dalam sebuah organisasi agar dapat mencapai visi
dan misi bersama. Bila keadilan pada karyawan terpenuhi dengan baik,
maka produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat dan
mengurangi motivasi untuk melakukan tindakan yang merugikan
perusahaan sehingga mendorong tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
keadilan organisasi adalah persepsi karyawan mengenai peran dan
tempat kerja mereka masing-masing yang mengarah pada suatu
perlakuan dan keputusan yang adil dengan menerapkan nilai-nilai inti
dalam organisasi serta menentukan cara-cara agar diperlakukan adil.
2. Dimensi Organizational Justice
Konseptualisasi keadilan organisasi telah diperluas dan dipisahkan
ke dalam bentuk keadilan distributif, prosedural, dan interaksional
(Colquitt, 2001).
a. Keadilan Distributif
Dimensi ini disarankan oleh Adams (1965) yang didasarkan
pada gagasan bahwa perilaku sosial dikondisikan oleh hasil
distribusi, seperti dalam mengambil keputusan perekrutan dan
penilaian kinerja. Moorman (1993) mengatakan bahwa keadilan
distributif adalah sejauh mana imbalan dialokasikan dengan cara
yang adil. Hal ini mengacu pada keadilan yang dirasakan dari
(Colquitt, 2001). Keadilan distribusi dikatakan ada apabila
distribusi hasil tersebut bermanfaat untuk memenuhi harapan
karyawan (Chou, 2009).
Munchinsky (2005) mengatakan bahwa keadilan distributif
mengacu pada keadilan yang berkaitan dengan pembagian hasil,
berupa pembagian gaji, beban kerja, promosi, dan hukuman.
Keadilan distributif adalah persepsi karyawan tentang hasil
keputusan (seperti gaji, reward dan promosi) dalam kaitannya
dengan kontribusi yang diberikan (Colquitt, 2001).
Homans (dalam Furhman, 2002) mengatakan bahwa hasil
yang didapat individu harus sesuai dengan konstribusi yang
diberikan. Furhman (2002) mengungkapkan bahwa sebenarnya
bukan perbandingan hasil konstribusi yang didapat individu
dengan rekan kerjanya. Ketika individu merasa bahwa rekan
kerjanya mendapat imbalan lebih besar dari dirinya, sementara
konstribusi yang diberikan untuk mereka sama, persepsi tentang
ketidakadilan muncul. Keadilan distributif merupakan keadilan
yang dirasakan dari hasil dan dapat menentukan persepsi
karyawan tentang hasil tertentu seperti upah atau promosi. Semua
orang harus diperlakukan dengan layak dan sama. Mereka yang
diperlakukan berbeda bisa dikatakan mendapatkan perlakuan
Selanjutnya, menurut Colquitt (2001), keadilan distributif
dinilai melalui tiga perspektif. Perspektif ini merupakan tambahan
dari pandangan sebelumnya yaitu yang pertama equity dimana
hasil yang didapat individu harus sesuai dengan kontribusi yang
diberikan atau keseimbangan antara outcome yang diterima
seseorang dengan input yang orang berikan (Deutcsh dalam
Colquitt, 2001). Kedua, equality, dimana semua orang
mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil.
Dan yang terakhir adalah need, seperti pengalokasian hasil yang
ideal sesuai dengan kebutuhan individu.
Inti dari keadilan distributif adalah pengalokasian hasil. Dari
berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa isu utama dari
keadilan distributif berkaitan dengan imbalin/gaji yang
didapatkan pegawai. Persepsi karyawan tentang keadilan
pendistribusian sumber daya organisasi dengan memperhatikan
beberapa aturan distributif, yang merupakan hasil dari keputusan
alokasi, misalnya standar gaji.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
keadilan distributif adalah persepsi karyawan mengenai
keseimbangan antara seluruh hal yang diterima karyawan dari
perusahaan (outcome) dibandingkan dengan seluruh hal yang
b. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural menekankan pentingnya proses
pengambilan keputusan. Dimensi ini mengacu pada persepsi
karyawan tentang aturan yang adil dan prosedur yang digunakan
untuk menentukan hasil yang karyawan terima di tempat kerja
(Suliman & Kathairi, 2013). Keadilan prosedural mengacu pada
sejauh mana pengaruh keputusan yang adil dan akurat serta sesuai
dengan etika. Fokus utama pada keadilan prosedural ini guna
menciptakan kerangka kerja untuk memproses masalah. Keadilan
prosedural terkait dengan persepsi keadilan yang digunakan untuk
memberikan hasil dari keseluruhan proses (Colquitt,2001).
Cropanzano (1998) mendefinisikan keadilan prosedural sebagai
isu-isu keadilan mengenai metode, mekanisme, dan proses yang
digunakan untuk menentukan hasil. Ketika karyawan memiliki
pandangan bahwa proses pengambilan keputusan prosedur akurat,
konsisten, objektif dan bisa dikoreksi, maka karyawan
memandang proses dalam menjalankan sistem termasuk dalam
kriteria yang adil (Colquitt, 2006).
Colquitt dan Leventhal 2001, mengidentifikasikan enam
aturan pokok dalam keadilan prosedural. Bila setiap aturan ini
dapat dipenuhi, suatu prosedur dapat dikatakan adil. Enam aturan
yang dimaksud adalah pertama, prosedur yang adil harus
ke waktu. Setiap orang memiliki hak dan diperlakukan sama
dalam satu prosedur yang sama. Aturan yang kedua adalah
minimalisasi bias, yaitu mengesampingkan kepentingan individu
dan doktrin yang memihak. Oleh karenanya, dalam upaya
minimalisasi bias ini, baik kepentingan individu maupun
pemihakan harus di hindarkan. Aturan yang ke empat yaitu
informasi yang akurat berdasarkan fakta. Upaya untuk
memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting
perlu ditegakkannya keadilan. Aturan kelima adalah representatif.
Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk
melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Terakhir, prosedur
yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Dengan
demikian, meskipun berbagai hal diatas terpenuhi, bila
substansinya tidak memenuhi standar etika dan moral, tidak bisa
dikatakan adil.
Disamping enam aturan pokok dalam prosedur yang adil
tersebut, Leventhal (dalam Lind & Tyle, 1988) dan Colquitt
(2011) juga menyatakan perlunya komponen untuk menengakkan
dan menjaga keadilan prosedural. Komponen-komponen tersebut
adalah ada agen yang berfungsi mengumpulkan informasi dan
membuat keputusan, ada aturan yang jelas dan kriteria yang baku.
Ada pula tindakan nyata untuk mengumpulkan dan menanyakan
keputusan yang dibuat selalu disampaikan secara terbuka kepada
semua pihak yang bersangkutan. Prosedur selalu dijaga agar tetap
terstandar melalui pengawasan dan pemberian sanksi bila ada
penyimpangan.
Berdasarkan uraian tersebut, keadilan prosedural adalah
persepsi karyawan mengenai adil atau tidaknya peraturan atau
prosedur yang digunakan dalam organisasi atau perusahaan untuk
mengambil keputusan.
c. Keadilan Interaksional
Hal ini mengacu pada bagaimana karyawan diperlakukan
selama pelaksanaan proses organisasi yang berfokus pada
dinamika antar pribadi dalam hal komunikasi. Keadilan
interaksional disebut juga hubungan timbal balik atau komunikasi
antara atasan dan bawahan dengan melihat kualitas interpersonal
pada karyawan dalam suatu organisasi, dengan harapan adanya
kebenaran dan rasa hormat dalam komunikasi. Karyawan juga
mengevaluasi atau menilai apakah mereka diperlakukan oleh
orang lain, termasuk rekan-rekan dan supervisor dengan hormat
dan bermartabat (Crow, 2012). Keadilan interaksional mengacu
pada proses kualitas dan pengolahan hubungan interpersonal pada
setiap individu (Bies & Moag, 1986).
Keadilan interaksional adalah sebuah konsep yang
organisasi, seperti menghargai dan saling menghormati satu sama
lain dalam organisasi.
Menurut Colquitt (2001), keadilan interkasional dapat dibagi
dalam dua aspek yang spesifik yaitu keadilan interpersonal yang
mencerminkan sejauh mana seseorang diperlakukan dengan
sopan, bermartabat, dan rasa hormat oleh pihak otoritas dalam
melaksanakan prosedur atau menentukan hasil (Greenberg, 1993).
Aspek yang kedua adalah keadilan informasi yangberfokus pada
penjelasan mengenai alasan suatu prosedur dilakukan dengan cara
t tertentu atau alasan mengapa hasil didistribusikan dengan cara
tertentu.
Berdasarkan uraian tersebut, keadilan interaksional disebut
juga hubungan timbal balik atau komunikasi antara atasan dan
bawahan dengan melihat kualitas interpersonal pada karyawan
dalam suatu organisasi, dengan harapan adanya kebenaran dan
rasa hormat dalam komunikasi.
3. Dampak Organizational Justice
Jika karyawan memiliki persepsi yang baik mengenai keadilan
organisasi dan mereka merasa bahwa mereka diperlakukan secara adil,
maka mereka cenderung untuk meningkatkan tingkat keterlibatan pada
organisasi (Saks, 2006). Beberapa studi menunjukkan peningkatan rasa
aspek perilaku organisasi, seperti kepuasan kerja (McCain, 2010),
komitmen organisasi (Kathairi, 2013), kepercayaan organisasional
(McLean, 2009), perilaku warga organisasi (Orlowska, 2011) dan
kinerja karyawan (Suliman & Kathairi, 2013).
Colquitt, (2001) mejelaskan bahwa keadilan organisasi
menunjukkan berbagai dimensi keadilan berdampak pada sikap dan
perilaku yang penting, termasuk kepuasan kerja, komitmen organisasi,
kepercayaan, dan kinerja. Cropanzano, Prehar, dan Chen (2002) juga
berpendapat bahwa keadilan meningkatkan prestasi kerja karyawan
dalam organisasi. Karyawan yang merasa diperlakukan adil cenderung
ingin tampil lebih baik sebagai bentuk timbal balik (Gaudet, Trambley
& Doucet, 2014). Keadilan Organisasi mempengaruhi apa yang
karyawan percaya tentang organisasi secara keseluruhan, ketika proses
internal dianggap bagus, maka karyawan lebih memberikan loyalitas
yang besar dan memiliki kemauan untuk berperilaku yang terbaik demi
kepentingan organisasi (Cropanzano, Bowen & Gilliland, 2007).
Bowen, Gilliland dan Folger (1999) mengemukakan keadilan
organisasi memiliki dampak positif pada organisasi perilaku
kewarganegaraan, loyalitas dan kepuasan karyawan.
C. Dinamika antara Organizational Justice dan Employee Engagement
Persepsi terhadap keadilan distributif, keadilan procedural dan
meningkatkan keterlibatan karyawan karena memiliki peran
masing-masing dalam mencapai tujuan organisasi (Demerouti, 2001). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Kumar (2006) menemukan
bahwa pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada keadilan dapat
menumbuhkan persepsi pada karyawan bahwa organisasi memberikan
dukungan sehingga meningkatkan keterlibatan karyawan.
Jika karyawan memiliki keyakinan yang rendah terhadap keadilan
organisasi maka karyawan tersebut cenderung melepaskan diri dari
pekerjaan mereka (Biswas, 2013). Sebaliknya, ketika karyawan memiliki
keyakinan yang tinggi terhadap keadilan dalam organisasi, maka karyawan
cenderung merasa memiliki kewajiban untuk berperan aktif, dan lebih
terlibat dalam organisasi (Cropanzano & Mitchell, 2005). Maslach (2001)
juga menyatakan bahwa jika karyawan memiliki persepsi positif terhadap
keadilan organisasi maka employee engagement akan meningkat.
Menurut Maslach dan Leiter (1997) karyawan yang memiliki level
engage tinggi akan merasa energik, tidak memunculkan tanda-tanda
burnout seperti kelelahan, cynicism dan tidak efektif. Para karyawan akan
lebih berenergi dan memiliki hubungan yang efektif dengan segala
aktivitas kerja serta melihat diri memiliki kemampuan dalam
menyelesaikan persoalan di tempat kerja.
Hal ini bisa terjadi karena karyawan dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Saks (2006) serta Arun Kumar dan Renugadevi (2013) memiliki
perusahaan. Menurut mereka hal tersebut dipengaruhi oleh karakteristik
pekerjaan yang menantang karyawan untuk berusaha sebaik mungkin dan
memberikan keleluasaan bagi karyawan untuk bebas berekspresi
menyelesaikan tugas tersebut. Selain itu Perceived Organizational Support
dan Perceived Supervisor Support juga mempengaruhi keterlibatan
karyawan. Dua hal tersebut dipercaya mempengaruhi keterlibatan
karyawan sebab dukungan yang baik dari pihak atasan maupun organisasi
dapat menimbulkan keyakinan bahwa karyawan tersebut memiliki
dukungan yang kuat untuk melakukan tugas organisasi. Selain itu, Reward
dan Recognition, yaitu penghargaan dan pengakuan dalam bentuk apapun
terhadap karyawan membuat karyawan tersebut semakin engage terhadap
organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi menghargai segala jerih
payah karyawan untuk perusahaan. Faktor yang terakhir adalah
distributive dan procedural justice dimana faktor yang terakhir ini
membahas tentang bagaimana karyawan memandang keadilan yang
diberikan oleh organisasi. Keadilan yang diterima oleh karyawan dan
pendistribusian penghargaan secara tepat akan meningkatkan keterlibatan
karyawan terhadap organisasi.
Ketika seluruh faktor tersebut saling mendukung maka terciptalah
keterlibatan karyawan di dalam organisasi tempat bekerja. Arun Kumar
dan Renugadevi (2013) memaparkan bahwa keterlibatan karyawan
berdampak penting bagi kelangsungan organisasi maupun karyawan itu
Dalam penelitian ini, hal yang akan diteliti adalah pengaruh antara
tiga dimensi organizational justice dengan employee engagement, yaitu 1)
distributif justice dengan employee engagement, 2) prosedural justice
dengan employee engagement, dan 3) interactional justice dengan
employee engagement.
Gupta dan Kumar (2012) meneliti bahwa distributif justice sebagai
penentu yang signifikan dalam membentuk employee engagement.
Keadilan distributif dikatakan adil apabila distribusi hasil seperti
kompensasi, manfaat dan lainnya memenuhi harapan karyawan,
kesesuaian antara usaha karyawan dalam bekerja dan hasil yang diperoleh
sesuai dengan kontribusi yang diberikan (Simpson & Kaminski, 2007;
Chou, 2009). Furhman (2002) mengungkapkan bahwa sebenarnya bukan
perbandingan hasil konstribusi yang didapat individu dengan rekan
kerjanya, melainkan ketika individu merasa bahwa rekan kerjanya
mendapat imbalan lebih besar dari dirinya, sementara konstribusi yang
mereka berikan sama besarnya. Hal ini menimbulkan persepsi tentang
ketidakadilan muncul. Hal ini sesuai dengan tiga perspektif Colquitt
(2001), yaitu equity dimana hasil yang didapat individu harus sesuai
dengan kontribusi yang diberikan sehingga individu merasa dihargai, puas
terhadap kebijakan organiasasi dan akan lebih terikat pada organisasi.
Kedua, equality, dimana semua orang mempunyai kesempatan yang sama
dalam mendapatkan hasil yang diinginkan sehingga setiap individu selalu
adalah need, dimana individu memperoleh hasil yang ideal sehingga dapat
memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, penilaian karyawan terhadap
keadilan distributif akan memicu hal kognitif, afektif, perilaku
(Cohen-Charash & Spector, 2001). Oleh karena itu, Persepsi keadilan distibutif
yang tidak adil dapat menyebabkan karyawan menunjukkan prestasi kerja
yang rendah, kurang menerima masukan untuk menyelesaikan tugas
mereka, tidak terlibat dalam organisasi dan mengalami stress (Greenberg,
1990 & Cropanzano, 2007). Selain itu, hal ini akan mempengaruhi emosi
individu yang memunculkan kemarahan, ketidakbahagiaan dan akan
memunculkan perilaku penurunan kinerja sehingga karyawan tidak terlibat
pada organisasi (Cohen-Charash & Spector, 2001). Sebaliknya, keadilan
distributif yang tinggi dapat membuat karyawan merasa tidak dirugikan
sehingga bisa mendapatkan hasil kerja yang memuaskan dan
meningkatkan keterlibatan kerja (Near,1993).
Saks (2006) mengidentifikasi bahwa secara empiris terdapat
hubungan positif antara keadilan prosedural dan keterlibatan organisasi.
Cropanzano (1998) mengatakan keadilan prosedural sebagai isu-isu
keadilan mengenai metode, mekanisme, dan proses yang digunakan untuk
menentukan hasil. Ketika karyawan memiliki pandangan bahwa proses
pengambilan keputusan prosedur akurat, konsisten, objektif dan bisa
dikoreksi, maka karyawan memandang proses dalam menjalankan sistem
termasuk dalam kriteria yang adil (Colquitt, 2006). Hal ini berpengaruh
karyawan dapat membuat karyawan merasa bangga sebagai anggota atau
bagian dari organisasi tersebut (Tyler & Blader, 2003). Kebanggaan
sebagai anggota organisasi akan mempegaruhi Employee Engagement
karena karyawan akan memandang kesuksesan organisasi adalah
kesuksesannya (Mael & Ashforth 1992). Berbagai penelitian lain
(Woodruffe, 2005 & Rama Devi, 2009) telah menekankan pentingnya
kebijakan dan prosedur yang terbaik bagi organisasi agar mendukung
pengaturan kerja yang fleksibel dan lingkungan organisasi yang baik
sehingga terbentuk karyawan yang mau terlibat dalam organisasi. Kahn
(1990) mengatakan proses mengambil keputusan yang adil membuat
karyawan terikat dan merasa puas dengan organisasi. Thibaut dan Walker
(1975) mengatakan bahwa kepuasan karyawan terhadap keadilan
prosedural dalam organisasi akan membuat karyawan termotivasi untuk
bekerja sama dan berkomitmen dalam organisasi untuk meningkatkan
employee engagement. Ketika keadilan prosedural tinggi, maka karyawan
akan memberikan reaksi yang positif terhadap supervisor (Folger &
Cropanzano, 1998) dan dengan adanya persepsi positif dari keadilan
prosedural ini maka dapat meningkatkan keterlibatan karyawan pada
perusahaan (Maslach, 2001). Ketika keadilan prosedural rendah, karyawan
cenderung untuk menarik dan melepaskan diri dari peran pada pekerjaan
mereka. Selain itu, kurangnya keadilan prosedural dapat membuat
Keadilan prosedural merupakan salah satu kondisi kerja yang sangat
berpengaruh terhadap keterlibatan karyawan (Maslach, 2001).
Gupta dan Kumar (2012) meneliti bahwa keadilan interaksional
sebagai penentu yang signifikan dari keterlibatan karyawan. Karyawan
yang merasa dihargai dan dihormati serta dinilai memiliki nilai sosial yang
baik dan dapat mengelola diri dengan baik terhadap proses dalam
organisasi dapat membuat karyawan merasa berguna dan cenderung ingin
terlibat lebih dengan organisasi (Crow, 2012). Colquitt (2001) mengatakan
bahwa keadilan interaksional sebagai faktor utama yang berhubungan
dengan suasana lingkungan kerja dalam memperkuat hubungan antara
pemimpin atau supervisor dan meningkatkan keterlibatan karyawan pada
organisasi. Para pemimpin yang bersikap obyektif dan beretika merupakan
aspek penting dari keadilan interaksional sehingga memunculkan
pandangan terhadap dukungan sosial antar karyawan, maupun karyawan
dan atasan, dan hal ini menjadi faktor dari keterikatan karyawan (Schaufeli
& Bakker, 2004). Hal ini membuat adanya perasaan positif yang dapat
merangsang karyawan untuk membalas dengan terlibat penuh pada
organisasi bahkan menjalankan pekerjaan diluar peran mereka (Nasurdin
& Khuan, 2011). Menurut Folger (1993) ketika komunikasi yang terjalin
antar karyawan dengan atasan tidak berjalan dengan baik maka karyawan
akan merespon dengan negatif dan tidak terlibat dalam organisasi apalagi
yang buruk. Hal ini membuat keadilan interaksioanl cenderung rendah dan
karyawan cenderung tidak engage.
D. Kerangka Pemikiran
Skema 1
Distributif Justice memilki pengaruh terhadap Employee Engagement
Distributif Justice
Tinggi Rendah
Kompensasi, manfaat dan lainnya memenuhi harapan karyawan, adanya kesesuaian antara usaha karyawan dalam bekerja dan hasil yang diperoleh. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil yang di inginkan dan individu memperoleh hasil yang ideal.
Kompensasi, manfaat dan lainnya tidak memenuhi harapan karyawan, tidak adanya kesesuaian antara usaha karyawan dalam bekerja dan hasil yang diperoleh. Semua karyawan tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil yang di inginkan dan karyawan tidak memperoleh hasil yang ideal.
Prestasi kerja yang baik, menerima masukan untuk menyelesaikan tugas, terlibat dalam organisasi dan tidak mengalami stress. karyawan akan merasa bahagia dan puas bekerja diperusahaan.
Karyawan engage
Prestasi kerja yang rendah, kurang menerima masukan untuk menyelesaikan tugas mereka, kurang terlibat dalam organisasi dan mengalami stress. karyawan akan merasa marah, tidak bahagia, dan tidak puas bekerja di perusahaan.
Skema II
Prosedural Justice memilki pengaruh terhadap Employee Engagement
Prosedural Justice
Tinggi Rendah
Proses pengambilan keputusan prosedur
akurat, konsisten, dan objektif membuat
karyawan merasa bangga dan puas
menjadi bagian dari organisasi
Proses pengambilan keputusan prosedur
tidak akurat, konsisten, dan objektif
membuat karyawan tidak merasa bangga
dan puas menjadi bagian dari organisasi.
Karyawan memandang kesuksesan
organisasi sebagai kesuksesan karyawan
juga. Karyawan memiliki persepsi dan
memberikan reaksi positif terhadap
supervisor sehingga karyawan
termotivasi untuk bekerja sama dan
berkomitmen dalam organisasi.
Karyawan engage
Karyawan tidak memandang
kesuksesan organisasi sebagai
kesuksesannya. Karyawan
memiliki reaksi negatif terhadap
supervisor sehingga karyawan
tidak termotivasi untuk bekerja
sama atau berkomitmen