• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS edy silistiono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TESIS edy silistiono"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

i

RAJA-RAJA JAWA DINASTI MATARAM

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Kajian Budaya

Oleh

EDY SULISTIONO NIM S701308003

PROGRAM PASCA SARJANA

(2)
(3)
(4)

iv

1. Tesis yang berjudul Diskursus Tokoh Arjuna Dalam Legitimasi Raja -Raja Jawa Dinasti Mataram, ini adalah hasil penelitian saya sendiri, dan belum pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik. Berbagai konsep

dan teori yang bersumber dari penulis lain dalam tulisan ini, diposisikan sebagai

referensi yang disebutkan dalam sumber kutipan maupun daftar pustaka. Apabila di

kemudian hari terbukti bahwa karya ini adalah plagiat, saya bersedia menerima sangsi

sebagaimana ketentuan yang berlaku.

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus

seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai

institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, saya

bersedia mendapat sangsi akademik yang berlaku.

Surakarta April 2015

(5)

v MOTTO

Heh Sira Bebakal wania ing angel wedia ing gampang. Yen Sira wani ing angel saliring gegayuhan bakal kasembadan, lamun wedi ing gampang bakal nggedhekke pangati-ati (Sri Rama kepada Anoman dalam Serat Rama Jarwa Yasadipura I)

Hasbunallaahu wani’mal wakil- Ni’mal maulaa wani’mannashiir.

Artinya, cukuplah bagi kami Allah menjadi Tuhan kami dan Dia-lah sebaik-baiknya wakil.

Dia-lah sebaik-baiknya pemimpin dan penolong. (Al Qur’an, Surat Ali Imran 173 & Al Anfaal:40)

Khoirunnas anfauhum linnas Artinya, sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi sesama (Hadist riwasat Muslim)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini kepada Ayahanda/Ibunda Solichin dan Ibu Susilawati.

(6)

vi

hingga sekarang. Salah satu tokoh wayang yaitu Arjuna menjadi idola Orang Jawa karena merupakan representasi karakter pria ideal. Popularitas tokoh wayang Arjuna diduga berkaitan dengan diskursus yang dibangun para penguasa Jawa dinasti Mataram untuk mendapatkan hegemoni legitimasi kekuasaanya. Dugaan itu atas dasar adanya wacana tentang kultus dan mitologi Arjuna sebagai leluhur Raja-Raja Mataram dalam Babad Tanah Jawi yang di susun zaman Sultan Agung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap kejelasan dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus, proses dibangunnya diskursus itu, serta implikasi-implikasinya bagi masyarakat Jawa.

Metode: Jenis penelitian ini adalah kualitatif interpretatif yang menekankan analisis pengungkapan nilai-nilai di balik relasi-relasi hubungan data material yang ada. Pendekatan hermeneutik berfungsi mengarahkan terhadap filosofi interpretasi sejarah terjadinya diskursus Arjuna zaman Sultan Agung yang masih berimplikasi terhadap budaya jawa sekarang.

Hasil: Pertama pemilihan Arjuna sebagai tokoh yang diwacanakan oleh Sultan Agung dengan pertimbangan bahwa Arjuna dipercaya membawa magi kemenangan perang. Sebagai tokoh mitologi, Arjuna dianggap leluhur yang akan mewariskan wahyu keraton, dan sebagai tokoh anutan, Arjuna adalah representasi ideologi kekuasaan Sultan Agung. Kedua, diskursus Arjuna dibangun dengan cara desentralisasi dan pluralisasi power knowledge (kuasa pengetahuan) bagi setiap individu di Mataram. Ketiga, implikasi diskurus Arjuna dalam masyarakat Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna baik secara individu-individu maupun inter-individu, menjadi sebuah pola pikir, perilaku, serta identitas yang disebut dengan istilah episteme era Mataram.

Kesimpulan: Diskursus tokoh Arjuna di Jawa adalah upaya Sultan Agung mendapatkan legitimasi kekuasaan di tengah-tengah usahanya mendapatkan dukungan dari daerah-daerah bawahan bekas jajahan Pajang, yang ketika itu banyak yang membangkang.

(7)

vii

characters is Arjuna, that has been idolized by most Javanese people because of its representation of character of an ideal man. Its popularity is presumably related to the discourse constructed by the Javanese potentate in Mataram dynasty to gain the hegemony of its authority legitimation. The presumption is based on the discourse about cult and mythology of Arjuna as the ancestor Kings of Mataram in Babad Tanah Jawi arranged in Sultan Agung era. The objectives of this research is to reveal the clarity about choosing Arjuna as the discourse media, the process of how the discourse constructed, and the implications toward Javanese people.

Method: It is a qualitative interpretative research which is emphasized in disclosure analysis of values behind relations of the existing material data. The approach of hermeneutic is used to lead to the historical interpretation philosophy of the occurrence of the discourse on Arjuna in the era of Sultan Agung which has implied in the Javanese culture until now.

Result: First, the choosing of Arjuna as the evoked discourse figure by Sultan Agung considering that Arjuna is believed that can bring the magi of victory in a war. As a mythology figure, Arjuna is considered as the ancestor who bequeath the palace revelation, and as the role figure, Arjuna represents the authority ideology of Sultan Agung. Second, the discourse of Arjuna constructed in the way of decentralization and pluralization of the power knowledge for each individual in Mataram. Third, the implication of Arjuna discourse in the Javanese society is that totally accepted, the knowledge about Arjuna individually or inter -individually, it becomes a role of thought, attitude, and identity which is called episteme of Mataram era.

Conclusion: The discourse of Arjuna in Java is an effort of Sultan Agung to get the authority of legitimation besides his trying in gaining support from the colony of Pajang where there was a lot of insubordination from.

(8)

viii

Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya, Tesis

ini bisa diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai derajat Magister

dalam Program Pasca Sarjana Prodi Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis sadari bahwa Tesis ini bisa diselesaikan berkat kesempatan yang diberikan

oleh institusi Prodi Kajian Budaya UNS, serta bantuan dari berbagai fihak, maka dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor UNS

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pasca sarjana UNS

3. Bapak Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum, selaku Kaprodi Kajian Budaya UNS, serta

Pembimbing I

4. Ibu Dr. Hartini, M. Hum, selaku Pembimbing II, dan PA

5. Ibu Dra. Chrisma Riny, MM, Kepala Stasiun RRI Surakarta yang telah memberi ijin

kepada penulis menempuh study Pasca Sarjana di UNS.

6. Ibu Dra. R.Ay. Irawati Kusumorasri, M.Sn, Direktur ASGA yang telah memberi ijin

dan mendorong selesainya penelitian ini.

7. Bapak Drs. H. Solichin, selaku Ketua Dewan Kebijaksanaan SENAWANGI yang

telah mendanai study di Kajian Budaya Pasca Sarjana UNS.

Terimakasih juga diucapkan kepada semua Bapak/Ibu dosen kami di Prodi Kajian

Budaya UNS yang telah membekali konsep, teori, serta metodologi Kajian Budaya yang

mencerahkan pemahaman dan menuntun selesainya Tesis ini. Lebih khusus diucapkan

kepada Bapak Dr. Titis Srimuda Pitana, ST, M.Trop. Arch, yang telah mengkritisi Tesis ini

dengan mengarahkan kepada pemahaman yang teliti terhadap konsep teori Diskursus

Foucault, sehingga menuntun tercapainya tujuan penelitian ini. Demikian pula teman-teman

mahasiswa dan mahasiswi Prodi Kajian Budaya, serta keluarga kami, isteri, dan anak-anak

tercinta yang telah mendorong dan membantu selesainya Tesis ini.

Karanganyar, April 2015

(9)

ix

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv

MOTTO/PERSEMBAHAN... v

ABSTRAKSI... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR GAMBAR... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2.1. Identifikasi Masalah... 6

1.2.2. Rumusan Masalah... 7

1.3. Tujuan Penelitian... 8

1.3.1 Tujuan Umum... 8

1.3.2 Tujuan Khusus... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis... 8

1.2.3. Manfaat Praktis... 9

BAB II LANDASAN TEORITIS... 10

2.1 Kajian Pustaka... 10

2.2.Konsep... 14

2.2.1. Diskursus Legitimasi... 15

2.2.2. Tokoh Arjuna Dalam Raja-raja Jawa Dinasti Mataram... 16

2.3. Landasan Teori... 19

2.3.1. Teori Wacana/Diskursus... 20

2.3.2. Teori Hegemoni... 23

2.3.3. Teori Semiotika ... 23

(10)

x

3.2 Lokasi Penelitian... 31

3.3 Jenis dan Sumber Data... 31

3.4 Teknik Penentuan Informan... 32

3.5 Instrumen Penelitian... 34

3.6 Teknik Pengumpulan Data... 35

3.6.1 Observasi... 35

3.6.2 Wawancara... 36

3.6.3 Studi Kepustakaan... 36

3.6.4 Studi Dokumen... 36

3.7 Teknik Analisis Data... 37

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data... 38

BAB IV PEMBAHASAN... 39

4.1. Sebab Dipilihnya Tokoh Arjuna oleh Raja-Raja Mataram sebagai Media Diskursus 39 4.1.1. Kepercayaan terhadap Kultus Arjuna di Jawa... 43

4.1. 2. Mitos Arjuna sebagai Leluhur Raja Mataram... 47

4.1.3. Nilai Anutan yang Terkandung dalam Wayang Arjuna... 52

4.1.3.1. Memahami Nilai-Nilai Tokoh Arjuna dengan Semiotika Wacana Bartes... 53

4.1.3.1.1. Makna Denotasi Ornamen Figur Arjuna... 57

4.1.3.1.2.Makna Konotasi Ornamen Figur Arjuna... 57

4.1.3.1.3. Makna Ideologi Wacana Arjuna... 64

4.2. Proses Terjadinya Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram 68 4.2.1. Kesempatan Pentas Wayang... 73

4.2.2. Tempat Pentas Wayang... 73

4.2.3. Cara Mewacanakan Tokoh Arjuna dalam Pentas Wayang... 76

4.2.3.1. Wacana Tokoh Arjuna Secara Eksplisit dalam Teks Pakem... 76

4.2.3.2. Wacana Tokoh Arjuna Secara Implisit dalam Pakeliran... 78

4.2.4. Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton... 82

4.3. Implikasi Diskursus Arjuna bagi Kehidupan Orang Jawa... 84

4.3.1. Ragam Budaya Adiluhung... 87

4.3.2. Religiusitas Kejawen... 92

(11)

xi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 104

5.1. Simpulan... 104

5.2. Saran... 105

5.2.1. Saran Teoritis... 105

5.2.2. Saran Praktis... 107

DAFTAR PUSTAKA... 108

(12)

xii

Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori... 20

Gambar 2. Model Penelitian... 25

Gambar 3. Diagram Rancangan Penelitian... 30

Gambar 4. Skema Kekuasaan dan Pengetahuan Teori Diskursus Foucault... 42

Gambar 5. Tabel Silsilah Pangiwa Raja-Raja Dinasti Mataram... 49

Gambar 6. Diagram Silsilah Panengen Raja-Raja Mataram... 50

Gambar 7. Skema Prosedur Semiosis Barthes A... 53

Gambar 8. Skema Prosedur Semiosis Barthes B... 54

Gambar 9. Arjuna Wanda Malatsih... 56

Gambar 10. Skema Prosedur Semiosis Figur Wayang Arjuna... 56

Gambar 11. Skema Sumber Kekuasaan Sultan Agung... 66

Gambar 12. Skema Jejaring Kuasa... 70

Gambar 13. Skema Proses Diskursus Arjuna... 71

(13)

1 1.1 Latar Belakang

Wayang Purwa adalah karya budaya Jawa yang telah berkembang dalam kurun

waktu amat panjang sejak masa lampau hingga sekarang. Soetarno (1995:5)

berpendapat bahwa wayang bukan adopsi dari budaya India, ataupun Cina, tetapi karya

asli orang Jawa. Alasan yang dikemukakan, bahwa meskipun wayang Purwa sangat

dipengaruhi literatur darma sastra India Mahabarata dan Ramayana, tetapi kedua epos

itu hanya menambah vokabuler lakon, yang sebelumnya telah ada seperti Cerita Sri Sadana, Mikukuhan, Ajisaka, dan sebagainya.

Sebagai bentuk pertunjukan, wayang bisa digolongkan sebagai jenis seni teater

tradisi yang menggunakan media boneka wayang. Namun banyak pakar pedalangan

konvensi maupun akademisi berkeberatan penyepadanan wayang dengan seni teater,

puppet, dan sejenisnya, dikarenakan wayang purwa adalah pertunjukan khas Jawa, yang tidak hanya sebagai media hiburan namun memiliki latar belakang sejarah khusus, serta

berfungsi sebagai media, pendidikan, ritual adat, dan keagamaan (Murtiyoso 2007:1).

Perkembangan wayang di Indonesia saat ini sangat menggembirakan dengan

semakin banyaknya para generasi muda dan anak-anak mempelajari wayang baik di

sekolah-sekolah formal seperti Jurusan Pedalangan ISI (Surakarta, Jogjakarta, Bandung,

dan Bali), SMK-SMK kejuruan pedalangan maupun di sanggar-sanggar yang marak

akhir-akhir ini, di Surakarta, Jogjakarta, Surabaya, dan Jakarta. Bahkan, pada tahun

2004, atas usulan institusi pengembang pewayangan, Sekretariat Nasional Pewayangan

Indonesia (SENAWANGI) wayang diakui oleh UNESCO sebagai “masterpiece of the oral intangible heritage of humanityartinya “wayang sebagai maha karya agung dunia nir benda” adalah bukti bahwa budaya pewayangan telah mendapatkan pengakuan dunia sebagai nilai-nilai luhur Indonesia yang sangat perlu dilestarikan.

Salah satu tokoh wayang idola orang Jawa yaitu Arjuna. Dalam budaya Jawa,

Arjuna dianggap simbol manusia berbudi luhur sehingga patut menjadi panutan.

Keutamaan tokoh Arjuna terus menerus diwacanakan masyarakat Jawa sejak awal

adanya wayang hingga sekarang, terutama oleh para pujangga pengarang sastra Jawa,

(14)

tidak kalah penting juga peran para dalang yang selalu menceritakan Arjuna sebagai

tokoh protogonis dalam pertunjukan wayang.

Keberadaan wacana tentang Arjuna sangat menarik dan menimbulkan

pertanyaan, siapakah sesungguhnya tokoh Arjuna itu sehingga menarik perhatian orang

Jawa untuk selalu mewacanakan ? Soekmono (1985:35) ber-argumen bahwa awal mula

orang Jawa mengenal tokoh Arjuna dari kitab Mahabarata bersama dengan adanya pengaruh budaya India di Jawa sejak abad X Jaman Darmawangsa Teguh di Kediri.

Pada era penyebaran Hindu yang lebih banyak berpengaruh di lingkungan keraton itu

cerita tentang Arjuna dalam Mahabarata mulai dikenal, dari sebagian kecil parwa Mahabarata seperti “Adiparwa dan “Wanaparwa” kemudian secara berangsur-angsur lengkap hingga kedelapan belas parwa Mahabarata.

Kitab Mahabarata karangan Rsi Wyasa oleh banyak ahli ditafsir sebagai cipta sastra era ribuan tahun sebelum masehi, menceritakan ketokohan Arjuna sebagai

pemeran utama dalam darma sastra kuno itu (Soekmono, 1985:110). Pada parwa pertama “Adiparwa, dikisahkan bahwa pada masa kecil Arjuna beserta kelima saudaranya anak Pandhu berguru pada seorang brahmana ahli perang Rsi Drona.

Bersama saudara-saudaranya lima pandhawa serta keseratus Korawa anak Dhestarastra,

Arjuna muncul sebagai murid terbaik dalam hal olah panah. Buku karangan Soekotjo

(1982:178) berjudul Silsilah Wayang Mawa Carita menceritakan bahwa ketika masa pendidikan, pada sebuah arena ujian para siswa Rsi Drona yang disebut

Astradarmakarya (ujian olah senjata), Arjuna mampu memukau para hadlirin yang diantaranya duduk raja Astina Destarastra, Rsi Bisma, Perdana mentri Widura dan

Kunthi ibu Pandhawa, karena kehebatanya mengendalikan panah dengan

mantra-mantra keramat ajaran Rsi Drona seperti Bayubyastra (panah angin), Brama hastra (panah api), dan Barunastra panah yang mampu mengeluarkan hujan.

Pada parwa-parwa berikutnya Arjuna dikisahkan selalu menjadi andalan Pandhawa dalam membabat hutan Kandhawa yang kemudian menjadi kerajaan

Indraprasta, dan menjadi kekuatan utama dalam hal mengalahkan musuh-musuhnya

terutama kelicikan-kelicikan raja Gandara, Sakuni dan Korawa. Dalam parwa keempat “Wanaparwa”, setelah Pandhawa kalah bermain dadu, Arjuna berhasil dalam pertapaanya di Gunung Kailasa sehingga mendapat anugerah senjata pemusnah musuh,

(15)

Manimantaka Prabu Niwatakawaca dan semua musuh-musuhnya dalam perang besar

Baratayudha, antara Pandhawa dan Korawa, termasuk Karna raja Angga.

Wacana tentang ketokohan Arjuna bersumber dari darma sastra India yang kemudian disadur oleh para pujangga Indonesia diantaranya Mpu Kanwa dengan karya

populernya Arjuna Wiwaha abad XI. Seiring dengan pesatnya sastra Jawa klasik era Kediri, ketokohan Arjuna juga dipopulerkan lewat wacana lisan pentas-pentas wayang

kulit purwa dan wayang wong.

Wacana-wacana yang tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya

berbagai kelompok masyarakat Jawa itu melahirkan interpretasi-interpretasi serta

berbagai pandangan beragam tentang Arjuna. Kritik Murtiyoso (2007:4) dalam jurnal

budaya Lango berjudul ”Misteri Risang Arjuna Rahasia Jagat Wayang” menguraikan bagi manyarakat penggemar mistik, Arjuna diinterpretasikan sebagai tokoh mitis yang

disebut insan kamil atau manusia sempurna. Sebaliknya bagi kaum pria yang longgar terhadap ketaatan beragama Arjuna dianggap sebagai lambang kejantanan, dipengaruhi

kisahnya yang diwarnai poligami serta perselingkuhan. Ada pula manyarakat Jawa yang

percaya pada datangnya tuah keberhasilan dan kemenangan dari ketokohan Arjuna.

Sebagai misal dalam adat tradisi Jawa selamatan setelah kehamilan mencapai tujuh

bulan yang disebut mitoni, salah satu perabot upacara kelapa gading selalu digambari tokoh wayang Arjuna; bahkan group suporter PSIS Solo juga dinamai pusaka Arjuna

Pasupati agar mendapatkan tuah kemenangan dari Arjuna.

Pandangan tentang pengkultusan Arjuna itu juga berkembang di lingkungan

masyarakat Dieng. Dataran tinggi di daerah Wonosobo itu terdapat kelompok candi

yang oleh masyarakat setempat dinamai tokoh-tokoh wayang keluarga Pandhawa,

seperti Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, Nakula-Sadewa, Sembadra, Gathutkaca dan

Semar. Yang menarik, kelompok candi utama dinamai Candi Arjuna, bukan nama

Pandhawa yang lebih senior, Puntadewa ataupun Bima. Berkaitan dengan pengkultusan

Arjuna di Dieng Rusmanto seorang paranormal setempat mengatakan bahwa, anak

Pandhu ketiga itu bukan sosok imajiner melainkan nenek moyang masyarakat Dieng

yang benar-benar ada dan bersemayam di puncak Gunung Sindoro untuk mengayomi

anak keturuannya masyarakat di dataran tinggi Dieng (Sulistiono dan Made, 2013:12).

Popularitas dan kultus Arjuna tidak bisa dipisahkan dengan warisan sejarah

(16)

dinasti Mataram. Dugaan itu bisa dikaitkan dengan berbagai simbol pemuliaan Arjuna

di lingkungan keraton seperti pemujaan pada tokoh Arjuna Kyai Mangu, Kanyut dan Jimat pusaka keraton Surakarta, kepercayaan tentang wahyu keraton Makutharama dan Cakraningrat dari Arjuna dan Abimanyu, dan yang paling menonjol adalah kepercayaan bahwa raja-raja Jawa dinasti Mataram keturunan dari Arjuna (Murtiyoso,

2007:2).

Sekilas wacana lisan tersebut terasa aneh dan menimbulkan pertanyaan

bagaimana seorang tokoh imajinatif dari Mahabarata India bisa menurunkan raja-raja

Jawa dinasti Mataram? Namun demikian, pada kenyataanya mitologi itu dipercaya

turun-temurun dan mengakar dahulu hingga sekarang oleh kalangan tertentu dalam

budaya Jawa. Bahkan, seorang pejabat Pengageng Sasanawilapa (bagian keadministrasian) Keraton Surakarta, Winarno mengatakan bahwa mitologi tentang

raja-raja di Keraton Surakarta sebagai keturunan dari Arjuna adalah konvensi resmi

yang diakui oleh Keraton Surakarta (wawancara Winarno, 1 Desember 2014).

Makna-makna pengkultusan, mitologi dan nilai-nilai pengaruh penokohan Arjuna

yang begitu kuat mempengaruhi pola perilaku orang Jawa, memiliki indikasi kuat

berhubungan dengan kekuasaan Raja-Raja di Mataram dan dinasti keturunannya.

Gejala-gejala tersebut dalam konsep teori diskursus dari Michels Foucault adalah

sebuah wacana pengetahuan yang sengaja diwacanakan di masyarakat oleh penguasa

dengan tujuan mengkonstruksi pola perilaku budaya agar mendapatkan umpan balik

positif dari masyarakat berupa dukungan politik legitimasi kekuasaan atau hegemoni.

Barker (2005:109) mengutip pandangan Foucault menguraikan bahwa penguasa

dimana-pun secara sadar atau tidak selalu memproduksi pengetahuan melalui bahasa

untuk memformula budaya yang tujuannya mendapatkan kuasa. Formulasi budaya

melalui wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat secara otomatis akan

membentuk pembedaan-pembedaan, pendisiplinan-pendisiplinan, dan

pembenaran-pembenaran bagi perilaku dan legitimasi penguasa tanpa bisa dikontrol secara sadar

oleh masyarakat dikarenakan mereka secara personal maupun interpersonal telah

dibentuk menjadi subjek yang patuh.

Gejala-gejala budaya sebagaimana diuraikan dalam aspek-aspek teori Foucault

(17)

lingkungan keraton maupun masyarakat luas. Selain apa yang telah diuraikan di atas

sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan tentang Arjuna juga implikasi-implikasi

diskursus tokoh Arjuna yang hingga sekarang masih bisa dirasakan seperti (a)

pembedaan strata masyarakat dalam level gusti dan kawula, trah ningrat (bangsawan) dan sudra (rakyat kebanyakan); (b) masih menjamurnya budaya sinkretik yang oleh sementara ulama dianggap syirik; (c) keharusan patuh pada aturan-aturan seni

pertunjukan produk kraton yang dianggap belenggu kreativitas bagi para seniman muda;

(d) perilaku-perilaku poligami dan perselingkuhan di lingkungan raja-raja dan ningrat Mataram yang kemudian menjadi model anutan bagi pria Jawa, dan (e) pengakuan

orang Jawa dahulu hingga sekarang tentang legitimasi dinasti Mataram sebagai raja-raja

Jawa.

Menjadi menarik untuk dianalisis mengapa justeru Arjuna yang dikait-kaitkan

dengan kultus, pembawa berkah, mistik bahkan dimanfaatkan sebagai media diskursus

kepentingan keraton Jawa, bukannya tokoh yang lebih senior seperti Bima, Puntadewa,

Kresna atau-pun Semar. Tokoh-tokoh tersebut tidak kalah populer bahkan bisa disebut

lebih populer dari pada Arjuna berkaitan dengan pandangan sinkretik orang Jawa, dalam

hal etika, kebijaksanaan, kawruh penitisan (re-inkarnasi), dan mistik Islam

manunggaling kawula Gusti (penyatuan manusia dengan Tuhan).

Tokoh Bima misalnya, dalam wacana kejawen begitu sangat populer karena dianggap simbol kesatuan antara manusia dan Tuhan, sebuah kepercayaan yang banyak

diyakini oleh orang Jawa. Simbolisme manunggaling kawula Gusti itu berkiblat pada serat suluk yang sangat populer era Demak, tulisan Sunan Bonang berjudul Dewa Ruci, menceritakan Bima bertemu dengan perwujudan Tuhan, Dewa Ruci (Solichin, 2011:

44). Sisa-sisa kultus Bima oleh orang Jawa juga bisa dilacak pada relief-relief dan arca

Bima di Candi Sukuh lereng Gunung Lawu berangka tahun 1437 M (Asmadi, 2004:7).

Demikian pula tokoh Puntadewa dalam pedalangan dikisahkan manusia suci

berdarah putih. Kesucian sulung Pandhawa itu juga disimbolkan bersenjata Jamus Kalimasada lambang dari kalimah syahadad, tauhied dan Rossul (Purwadi dalam Widyasari, 2010:16). Tidak kalah populer Kresna dan Semar sebagai titisan dewa

untuk mensejahterakan bumi, bahkan Semar dianggap perwujudan sifat Tuhan (Purwadi

(18)

nenek moyang dan pelindung masyarakat Dieng (Rusmanto dalam Sulistiono dan

Prasta, 2014:17).

Alasan pengkultusan dan diskursus Arjuna tentu tidak bisa dipisahkan dengan

pandangan orang Jawa terhadap nilai-nilai yang tersembunyi dalam wayang Arjuna baik

dari sisi wujud benda, ide-ide, serta aktivitas sehubungan eksistensi Arjuna dalam

pakeliran (pentas wayang) dalam masyarakat Jawa. Berkaitan dengan fungsi dan peranan wayang dalam kebudayaan Jawa, Sutrisno (2009:1) berpandangan:

Wayang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia Indonesia karena proses daya spiritual. Pengamatan yang mendalam terhadap pertunjukan wayang menunjukkan wayang bukan seni yang bertujuan untuk kepuasan biologis, tetapi memberi kepuasan batiniah. Menonton pergelaran wayang merupakan proses introspeksi intuitif terhadap simbol-simbol disertai pembersihan intelektual dan penyucian moral sehingga mendapatkan pencerahan rohani.

Sunarto (2013:2) mengutip pandangan Bastomi dalam jurnal internasional

Refereed Research Journal berjudul Leather P uppet In Javanese Ritual Ceremony menguraikan “Wayang art contains values thet people adore to date. Since the significance role of wayang in the live Javanees people, it can be said that wayang has become the identity of Javanese people.” Wayang mengandung nilai-nilai ideologi dan identitas orang Jawa.

Borody (1997:1) berkaitan dengan ketokohan Arjuna dalam jurnal internasional

Asian Philosophymenguraikan sebagai berikut: “In the Indian philosophical traditions Arjuna stands out as major representative of an importan ethical and intellectual position, as Socrates stands out in the West”. Landasan nilai-nilai etika dan intelektual Timur (India dan Indonesia) lebih banyak mereprentasikan ketokohan Arjuna,

sedangkan di Barat adalah sosok Sokrates.

1.2.1. Identifikasi Masalah

Keberadaan diskursus Arjuna yang kemudian berimplikasi terhadap diterimanya

produk budaya priyayi, adiluhung sebagai representasi hegemoni masyarakat Jawa terhadap legitimasi Raja-Raja Jawa, di era sekarang menimbulkan berbagai

permasalahan yang diuraikan dalam pernyataan sebagai berikut.

(19)

dinasti kerturunannya Surakarta dan Jogjakarta. Kebingungan masyarakat tersebut

dikarenakan kerancuan posisi mitologi wayang antara tokoh imajiner atau tokoh sejarah.

Kedua, budaya adiluhung sebagai produk keraton oleh kalangan tertentu wajib dihayati dan transformasikan kepada generasi penerus. Di sisi lain para generasi muda

yang telah sangat akrab dengan budaya populer era global, mengalami kesulitan

menerima transfer budaya tersebut karena pada umumnya mereka menganggap kuno

dan ketinggalan zaman.

Ketiga, budaya Jawa dipengaruhi diskursus Arjuna memandang bahwa Arjuna adalah simbol kejantanan kaum pria. Sistem pemikiran itu mengkonstruksi perilaku

poligami dan perselingkuhan, yang sudah tidak sesuai dengan era emansipasi dan

kesetaraan gender.

Keempat, warisan budaya priyayi mengkonstruksi perbedaan ras antara tra h gusti dan kawula yang memposisikan priyayi menduduki status yang tinggi dan kawula sebagai orang kebanyakan pada posisi rendahan. Sistem pemikiran tersebut

meminggirkan peranan rakyat sehingga di era masa lampau kaum ningrat selalu mendominasi sejarah, sebaliknya di era sekarang perilaku tersebut bertentangan dengan

demokrasi dan HAM.

Kelima, pemakeman berbagai jenis seni pertunjukan dan tata adat sebagai hasil pengendalian pengetahuan dari penguasa masa lampau, di era sekarang menjadi

belenggu kreativitas yang berimplikasi terhadap tertinggalnya perkembangan seni

tradisi dengan kemajuan zaman.

1.2.2. Rumusan Masalah

Berbagai masalah di atas dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut:

1. Mengapa tokoh Arjuna dipilih oleh penguasa Jawa Dinasti Mataram dalam

membangun diskursus ?

2. Bagaimana Raja-Raja Jawa terutama dinasti Mataram membangun diskursus

Arjuna untuk memperoleh legitimasi serta hegemoni dari orang Jawa ?

(20)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mendeskrepsikan adanya fenomena

diskursus tokoh Arjuna berkaitan dengan upaya raja-raja Jawa, terutama Mataram Islam

awal, membentuk hegemoni dari orang Jawa untuk mendapatkan legitimasi sebagai

penguasa Jawa. Selanjutnya diharapkan mampu memberi kejelasan serta memecahkan

masalah terhadap implikasi-implikasi yang masih ada hingga saat ini, terutama

berkaitan dengan kedudukan pakem sebagai belenggu kreativitas.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian dengan asas kajian budaya (cultural studies) ini ditujukan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam penelitian

ini yakni sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui kejelasan sebab dipilihnya tokoh Arjuna dalam membangun

diskursus.

2) Untuk mengungkap proses dalam membangun diskursus Arjuna oleh

Raja-Raja Mataram.

3) Untuk mengungkap implikasi diskursus tokoh Arjuna dalam kehidupan orang

Jawa.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Secara teoritis hasil penelitian ini sangat berguna untuk pengembangan ilmu

sejarah terutama kebudayaan Jawa era Mataram.

2. Konsep penelitian ini sangat membantu untuk mengetahui sejarah episteme era Mataram yang pengaruhnya masih sangat kuat terhadap kebudayaan Jawa saat

ini sehingga dapat dijadikan referensi penulisan bidang pengetahuan sosial,

sastra, seni maupun kajian budaya Jawa umunnya.

3. Hasil penelitian ini juga akan menjadi model penelitian lain sejenis yang akan

(21)

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Secara praktis penelitian ini sangat berguna bagi masyarakat luas untuk

meningkatkan pengetahuan dalam hal memahami kebudayaan pada umumnya,

dan lebih khusus kearifan lokal Jawa.

2. Penelitian ini juga sangat berguna bagi para dalang dan institusi-institusi

pedalangan baik formal maupun non formal dalam hal pemahaman tentang

kedudukan pakem dalam budaya Jawa.

3. Konsep penelitian ini juga sangat penting bagi para pejabat pengambil

keputusan di lingkungan pemerintahan baik di bidang pendidikan, kebudayaan,

(22)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1. Kajian Pustaka

Penelitian ini meskipun menggunakan obyek material wayang bukan mengarah

pada kajian seni pertunjukannya yang mengandalkan data dari observasi pentas, tetapi

kajian wacana mengenai kuasa pengetahuan Arjuna, yang lebih mengarah pada

pembahasan konseptual baik teori-teori diskursus maupun sejarah tersosialisasinya

tokoh Arjuna dalam masyarakat Jawa. Analisis tentang diskursus Arjuna ini akan

berkisar pada sejarah kultus, mitologi dan nilai-nilai klasik wayang Arjuna kaitannya

dengan peradaban Jawa sejak masa-masa awal era Kahuripan hingga Mataram dan

dinasti keturunannya di Surakarta. Konsekuensinya analisis penelitian ini lebih

mengandalkan data kepustakaan.

Telah banyak tulisan tentang wayang baik oleh para pujangga, para akademisi

maupun para peneliti asing dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Di

antaranya tulisan para pujangga di keraton dalam bentuk-bentuk gancaran (prosa), tembangsekar ageng ataupun macapat, seperti Serat Rama, Serat Dewa Ruci dan Serat Pustkaraja Purwa, karangan Yasadipura I, Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsita. Banyak pula karangan buku-buku pedalangan dalam bentuk pedoman belajar

mendalang atau yang dalam budaya Jawa disebut pakem, baik ciptaan keraton maupun para penulis di luar keraton, diantaranya yang digunakan sebagai pakem pedalangan

baku di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunagaran, yaitu Irawan Rabi karya Noyowirongko dan Wahyu Pakem Makutharama tulisan Ki Ng.Wignyo Soetarno (Soetarno 1995:30).

Dari sekian banyak buku gancaran yang banyak penulis acu untuk penelitian ini adalah karangan Padmosoekotjo (1982), berjudul Silsilah Wayang Mawa Carita Jilid III, dan Jilid IV (1984), terbitan dari CV. Citrajaya Surabaya. Buku ini tergolong

istimewa karena urainnya dalam bahasa Jawa baru selain mudah dipahami, juga berisi

relatif lengkap tentang silsilah Pandhawa dan leluhurnya, serta parwa-parwa kutipan Mahabarata India yang dikomperasi dengan gaya pedalangan Jawa. Hal itu tidak biasa dalam tulisan pedalangan pada umumnya yang lebih mengacu gaya Surakarta, tentang

(23)

Tulisan dari ruang akademik berupa tesis dan laporan penelitian di Institut Seni

Surakarta (ISI), dan Sekretariatan Pewayangan Indonesia (SENAWANGI) juga sangat

diperlukan dalam penelitian ini. Tesis berjudul “Wanda Wayang Kaitannya dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa ini”, tulisan Soewarno (1999) karya tesis di Program pasca Sarjana UGM Jogjakarta, berisi deskripsi tentang wanda-wanda wayang, diantaranya figur tokoh Arjuna, yaitu wanda Kinanthi, Malatsih, Mangu, dan Arjuna bertapa yang bergelar Begawan Ciptawening. Karya tesis tersebut lebih banyak

mengkaji macam-macam bentuk fisik figur, serta wanda (bentuk raut muka wayang) tokoh Arjuna dengan petunjuk pemakaian wanda-wanda itu dalam pentas wayang. Karya ini sama sekali tidak menyentuh makna figur Arjuna, sebagaimana penelitian ini.

Buku laporan penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI) berjudul “Telaah Perwatakan Sembilan Tokoh Wayang Dalam Serat Centhini Jilid 1” tulisan Suratno (1993) menguraikan tentang perwatakan sembilan tokoh wayang, salah

satunya Arjuna, memberi kontribusi deskrepsi karakter Arjuna, yang akan dikaji dengan

semiotika dalam penelitian ini. Tulisan tersebut tidak mengkhususkan uraian tentang

makna Arjuna dalam legitimasi raja-raja Jawa Mataram, sebagaimana penelitian ini,

melainkan uraian tentang watak sembilan wayang, yang salah satunya Arjuna.

Laporan penelitian STSI Surakarta tahun 2003, tulisan Suratno berjudul “Studi tentang Lakon Wahyu dalam Pakeliran di Surakarta dalam Satu Dekade Terakhir”, berkontribusi penting dalam penelitian ini memberi katagori penerima wahyu dalam

wayang. Informasi itu sangat penting kaitanya dengan diskursus Arjuna dalam proses

mengkonstruksi hegemoni kekuasaan raja-raja Jawa. Dari informasi buku tersebut

diperoleh data bahwa wahyu Cakraningrat dan Makutharama, yang dalam mitos Jawa

sebagai kekuatan utama para raja Jawa, adalah cerita wayang. Laporan penelitian dari

STSI itu juga tidak memfokus mengkaji Arjuna, berkaitan dengan fenomena budaya

Jawa, tetapi mengarah pada kajian seni pedalangan katagori jenis-jenis lakon wahyu

dalam pakeliran.

Tulisan berjudul Filsafat Wayang terbitan SENAWANGI, karya Slamet Sutrisno (2009) dan kawan-kawan, dalam salah satu bab-nya menguraikan tentang nilai-nilai

filosofi tokoh Begawan Ciptawening (nama lain Arjuna ketika bertapa di Indrakila),

dengan menggunakan pendekatan reflektif, menyumbang makna-makna filsafat tokoh

(24)

memfokus pada diskursus tokoh Arjuna dan semiotika figur serta gelar-gelar tokoh

Arjuna.

Laporan penelitian dari Prodi Kajian Budaya UNS berjudul “Berwisata ke Negeri Pewayangan”, tulisan Sulistiono dan Prasta (2013) memberi informasi tentang keberadaan tokoh Arjuna kaitannya dengan Candi Arjuna dan mitologi tokoh tersebut di

dataran tinggi Dieng. Dari laporan penelitian itu bisa diketahui bahwa masyarakat Dieng

sangat percaya bahwa tokoh-tokoh Mahabarata seperti Krisna, Puntadewa, Arjuna,

Bima, Nakula-Sadewa, Sembadra, Dropadi dan lainnya di jaman dahulu hidup di daerah

tersebut. Kepercayaan masyarakat Dieng itu adalah bagian dari wacana-wacana dari

kultus Arjuna yang sangat relevan dengan penelitian ini.

Buku berjudul Kalanggwan tulisan Zoetmulder (1983) terbitan Djambatan Anggota IKAPI Jakarta, menguraikan banyak literatur kuno pedalangan, salah satunya

Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa menyadur “Wanaparwa”, bab IV Mahabarata, menginformasikan bahwa pada abad X di Kahuripan, Mpu Kanwa atas perkenan

Airlangga mengarang cerita tentang kemenangan Arjuna melawan raja raksasa Niwata

kawaca. Cerita itu dipercaya oleh masyarakat Kahuripan masa itu bisa mendatangkan

berkah kemenangan bagi Airlangga melawan musuh dari Kerajaan Wengker yang telah

menguasai ibu kota.

Babad Tanah Jawi buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta 1980, yang

dialih-aksarakan oleh Sudibyo (1980), memberi informasi penting mengenai silsilah raja-raja

Mataram sejak Nabi Adam hingga raja-raja di Surakarta.

Sangat diperlukan juga dalam tulisan ini adalah buku berjudul Kebudayaan Jawa tulisan Koentjaraningrat (1994), terbitan Balai Pustaka, banyak memberi informasi tentang ritual-ritual tradisi Jawa pemujaan kepada Arjuna serta

konsep-konsep gaya hidup para priyayi Jawa di lingkungan keraton. Demikian pula, tulisan Geertz ( 1959) berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, edisi terjemahahan Mahasin, terbitan Pustaka Jawa Jakarta memberi acuan tentang

perilaku-perilaku religi kaum priyayi maupun petani di Jawa. Buku tersebut dalam tulisan ini

digunakan untuk memahami sejauh mana religiusitas perilaku para raja Jawa Mataram.

(25)

Jakarta, banyak memberi informasi tentang sejarah kehidupan raja-raja dan para

bangsawan di Mataram awal, Kota Gede, materi analisis dalam penelitian ini. Tulisan

tersebut bisa mengarahkan objektivitas kajian, karena de Graaf di samping

menggunakan sumber data primer Babad Tanah Jawa, juga memanfaatkan sumber

tertulis berupa catatan harian dari duta besar Belanda bernama Rijklof Van Goens, yang

saat kejayaan Sultan Agung (1636-1642) sedang ditugaskan di Mataram.

Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli cetakan ke-IV, penerbit Laksana Jogjakarta, tulisan Abimanyu (2014) dalam penelitian ini memberi informasi tentang

konsep legitimasi raja Jawa, yang diperoleh dengan memuliakan Arjuna sebagai nenek

moyangnya.

Lebih tua lagi dari kedua buku Babad Tanah Jawi terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,

Jakarta 1980, dan karangan Abimanyu tersebut adalah tulisan seorang gubernur jendral

Inggris Raffles (1817) berjudul The Histori of Java terjemahan Prasetyaningrum dan kawan-kawan, menginformasikan lebih rinci lagi tentang silsilah raja-raja Jawa serta

peristiwa-peristiwa sejak Ajisaka mendarat pertama kali di Pulau Jawa, jaman

kehidupan Arjuna hingga trah keturunannya jaman Pangeran Haryo Hamangkunagara atau yang lebih dikenal Pangeran Sambernyawa pendiri dinasti Mangkunagaran. Buku

tulisan Raffles itu banyak mengutip sumber-sumber resmi dari keraton Jawa yang

mengukuhkan bahwa Babad Tanah Jawi dianggap sebagai sejarah resmi keraton Jawa. Buku berjudul Sejarah P erempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, tulisan Stuers (2008) terjemahan dari Elvira, terbitan Komunitas Bambu Jakarta, memberi

informasi implikasi dari poligami para priyayi Jawa bagi para selir di keraton. Stuers

mengutip surat RA Kartini kepada sahabatnya di Belanda, Zeehandelaar pada 23

Agustus 1900 yang menguraikan kritik pedas pahlawan emansipasi itu terhadap iklim

poligami di lingkungan priyayi Jawa.

Implikasi kekerasan terhadap wanita di dalam keraton disebabkan adanya tradisi

poligami juga disajikan oleh Soeratman (2000) dalam penelitiannya yang berjudul

Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, terbitan Yayasan Untuk Indonesia, Jogjakarta, menjadi rujukan penting pada bagian implikasi-implikasi adanya diskursus

(26)

Penelitian kajian budaya berparadigma postmodernisme ini akan memanfaatkan

teori- teori diskursus dari Foucault, teori hegemoni dari Gramsci mengacu pada tulisan

Barker (2005) dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies Teori dan Praktik terjemahan dari Cultural Studies Theori and practice, terjemahan Tim kunci cultural studies center terbitan PT Bentang Pustaka Jogjakarta.

Teori-teori diskursus dalam penelitian ini banyak mengacu dua tulisan dari

Yusuf Lubis (2014a) dan (2014b) berjudul Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer dan Postmodernisme Teori dan Metode. Buku pertama terbitan PT Raja Grafindo Persada Jakarta, diacu penulis dalam hal teori relasi kuasa,

pengetahuan, dan kebenaran. Selain itu buku tersebut menguraikan relatif jelas tentang

teori-teori Foucault berkaitan dengan diskursus yaitu genealogi dan episteme. Buku kedua juga diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada menjadi acuan bagi penulis untuk

memahami teori Foucault tentang power, tubuh, dan wacana-kuasa wacana. Buku lain sebagai acuan teori diskursus mengacu tulisan Kali (2013) berjudul Diskursus Seksualitas Michel Foucault, diterbitkan oleh Ledalero Maumere yang menguraikan sejarah pemikiran Foucaul tentang arkheologi, genealogi dan wacana, serta konsep tentang wacana dan episteme.

Dalam menganalisis tentang nilai-nilai makna figur Arjuna, digunakan teori dari

Bartes yang mengacu pada tulisan Budiman (2002) berjudul Analisis Wacana dari Lingguistik sampai Dekonstruksi terbitan Pusat studi Kebudayaan UGM Jogjakarta. Buku tersebut menguraikan cukup jelas tentang analisis wacana mitos dan

prosedur-prosedurnya. Lebih diperjelas lagi tentang analisis mitos dari Bartes itu oleh Hoed

(2011) dalam judul bukunya Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, diterbitkan oleh Komunitas Bambu, Jakarta.

2.2. Konsep

Untuk menjelaskan dan memberi batasan tentang pusat perhatian penelitian ini

perlu dijelaskan konsep-konsep yang digunakan. Urutan konsep yang diuraikan tesis

berjudul Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram

ini terdiri dari 2 satuan (unit) yaitu (1) Diskursus Legitimasi; dan (2) Tokoh Arjuna

(27)

2.2.1. Diskursus Legitimasi

Satuan konsep dari kalimat diskursus legitimasi dapat diurai menjadi dua unsur

yaitu diskursus, dan legitimasi. Dua unsur prasa tersebut bisa dijabarkan maknanya dalam uraian berikut.

Pertama, diskursus dalam Bahasa Indonesia disinonimkan dengan wacana. Diskursus atau wacana dalam konteks penelitian ini mengacu pada teori Foucault tokoh

Postmodernisme anti esensialisme pasca strukturalis yang mengajukan argumen

melawan teori-teori formalis mengenai bahasa yang memandang sebagai sistem otonom

yang memiliki aturan sendiri. Lebih lanjut pendapat Foucault bahwa ia juga menentang

metode-metode interpretatif atau hermeneutika yang hendak mengungkap makna

tersembunyi bahasa. Foucault mengajukan argumen bahwa kondisi –kondisi historis di

mana pernyataan-pernyataan dikombinasi dan diregulasi untuk membentuk dan

mendefinisikan suatu bidang pengetahuan/obyek tertentu yang membutuhkan

seperangkat konsep dan memunculkan sebuah rezim pembenaran, yang akan

menentukan apa yang termasuk sebagai kebenaran (Barker, 2005:104-105).

Yusif Lubis (2014a: 161) mencatat bahwa Michel Foucault (1926 – 1984) lahir di

tengah-tengah keluarga ahli medis di Poiteirs Prancis. Meskipun ia keluarga dokter,

tetapi Faoucault lebih tertarik pada Filsafat, Sejarah dan Psikologi. Pandanganya yang

dianggap sangat kontroversi pada tulisan-tulisannya seperti Folie et Deraison (Kegilaan dan Peradaban), dan Naissance de la Clinic (Lahirya Klinik) keduanya diterbitkan di Fillingham mengantarkannya sebagai tokoh filsuf dan sejarawan terkemuka paradigma

pasca strukturalisme.

Khusus bukunya berjudul Larcheo Logie du Savoir (1968) Foucault melontarkan metode dan teori discourse yang diadaptasi dalam Bahasa Indonesia menjadi wacana atau diskursus mengemukakan bahwa diskursus adalah sebuah produksi pengetahuan

yang berasal dari bahasa dengan cara diwacanakan di tengah-tengah masyarakat; di

mana wacana tersebut akan menghasilkan kuasa.

Kuasa yang oleh Foucault dipahami sebagai kemampuan mengkomunikasikan

pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain pada proses diskursif, menyebar pada personal-personal dan inter-personal di bawah kendali pengetahuan yang telah menyatu

(28)

manusia mengalami proses menjadi pribadi-pribadi yang oleh Foucault disebut sebagai

teknologi menjadi subyek. Pribadi-pribadi atau subyek-subyek yang telah diformula

oleh episteme pengetahuan tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma dan aturan-aturan sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa

(Yusuf Lubis, 2014a: 162-188).

Masih berkaitan dengan diskursus, diuraikan oleh Yusuf Lubis (2014b:168) dalam

metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan

yang oleh Foucault disebut genealogi, mengemukakan bahwa dalam vase histori tertentu apa yang disebut sebagai sebuah kebenaran dikonstruksi untuk

mendistribusikan kekuasaan lewat lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan,

penjara, rumah sakit, yang hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang

gila dan waras, bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan.

Kedua, kata legitimasi berarti kredibelitas seorang penguasa berujut pengakuan kekuasaan dari rakyat, bawahan maupun penguasa lain sebagai seorang pemimpin yang

syah (Abimanyu, 2013:386). Dalam kajian budaya legitimasi dan pengakuan terjadi

lewat proses hegemoni yang oleh Gramsci adalah suatu blok historis dan faksi kelas

penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas

subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses

penciptaan makna digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan

praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467).

2.2.2. Tokoh Arjuna dalam Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram.

Satuan konsep kata tokoh Arjuna dalam raja-raja Jawa dinasti Mataram dapat

diurai menjadi tokoh, Arjuna, dalam, Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram. Makna konsep kata-kata tersebut bisa diuraikan sebagai berikut.

Pertama, makna dari kata tokoh. Kata tersebut adalah unsur penting dalam karangan-karangan rekaan baik bentuk prosa, puisi maupun drama. Maryanto (2009:10)

mengutip pendapat Sudjiman mendefinisikan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang

mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam

cerita tokoh digolongkan menjadi dua yaitu tokoh atasan atau utama dan tokoh bawahan

(29)

Menurut dramaturgi tokoh dipilahkan sebagai berikut: (a) protogonis, (b)

antagonis, (c) deutragonis dan (d) tritagonis. Protogonis adalah tokoh utama cerita, yang

kehadirannya untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam meraih cita-cita. Tokoh

antagonis diklasifikasikan tokoh-tokoh yang melawan tujuan protogonis, deutragonis

adalah tokoh pendamping protogonis dalam menyelesaikan masalah, dan tritagonis

adalah tokoh penengah konflik antara protogonis dan antagonis (Anirun,

1998:124-126).

Kedua Arjuna adalah tokoh protogonis dalam wayang. Wayang kulit purwa meskipun diklaim asli karya orang Jawa oleh Hazeau dan Brandes, tetapi menggunakan

sumber lakon asal India kuno, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Dua epos itu sangat populer di Jawa dahulu hingga sekarang mengalahkan karya pujangga lokal Jawa.

Cerita Mahabarata sebanyak 18 parwa menceritakan ketokohan ksatria utama anak Pandhu yang populer disebut Pandhawa, terutama Arjuna. Sentralitas Arjuna dalam

Mahabarata terjadi karena berperan sangat dominan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa kelima saudara Pandhawa, terutama dalam memenangkan

perang besar Baratayuda (Soekmono, 1985: 113).

Ketiga, makna kata dalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kata dalam adalah bagian yang di dalam; yang tak tampak dari luar (Setiawan,

2014:1). Relasi kata dalam dengan raja-raja Jawa Mataram bermakna berbagai masalah yang menyangkut kedalaman kehidupan sosial budaya raja-raja Jawa Mataram.

Keempat, raja-raja Jawa dinasti Mataram berkaitan dengan pengertian penguasa Islam Jawa pasca Kerajaan Pajang, yaitu masa pemerintahan Mataram dan trah keturunanya di Kartasura dan Surakarta. Graaf dan Pigeaud (2003:249) dalam bukunya

berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mendeskrepsikan sejarah Mataram didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan seorang prajurit karismatik dati Sela pada tahun 1577 M

bertempat di Kota Gede sebagai ibu kota pemerintahan. Sebelum dibangun menjadi

kerajaan Mataram, wilayah itu berujud hutan yang disebut Hutan Mentaok, merupakan

tanah hadiah dari Raja Pajang Hadiwijaya, setelah Pemanahan mampu mengalahkan

Harya Penangsang Bupati Jipang yang makar kepada raja Pajang. Setelah Ki Gedhe

(30)

Buyut Pemanahan, Sultan Agung Hanyakra Kusuma pada era kekuasaanya tahun 1613 – 1645 memindahkan ibu kota ke Pleret. Era Sultan Agung itu bisa dikatakan

jaman keemasan Mataram, karena di era itu merupakan superioritas raja Jawa Islam

dalam hal politik budaya dan sosial. Di era Sultan Agung bupati-bupati di Jawa tengah

dan timur berhasil ditahlukkan oleh cucu Panembahan Senopati itu. Kompeni Belanda

di Batavia yang sejak masa pemerintahan ayah Sultan, Sunan Hanyakarawati diberi ijin

mendirikan beteng di Jayakarta diserang dua kali tahun 1628 dan 1629.

Di bidang budaya era Sultan Agung tercipta karya seni yang selanjutnya akan

menjadi pedoman bagi dinasti selanjutnya di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta maupun

orang Jawa pada umumnya, di antaranya adalah penetapan tahun Jawa 1555, penciptaan

Sastragendhing, pemakeman wayang pangruwatan, dan Bhedhaya Ketawang. Sepeninggal Sultan Agung, Mataram menjadi semakin terpuruk akibat perang saudara

sesama dinasti keturunan Panembahan Senopati yang menyebabkan Keraton Mataram

berpindah-pindah serta terbagi-bagi. Perpindahan dan pembagian itu dicatat oleh

Soeratman (2000) sebagai berikut: (a) masa Sunan Mangkurat II (1677-1703) Mataram

pindah ke Kartasura akibat serbuan Trunajaya, (b) tahun 1743 Mataram dipindahkan

oleh PB II ke Surakarta, (c) tahun 1755 Mataram dibelah menjadi Surakarta dan

Jogjakarta akibat perjanjian Giyanti antara PB III, Mangkubumi, dan Belanda, dan (d)

tahun 1775 sekali lagi Surakarta harus dikurangi wilayahnya oleh Belanda untuk

diserahkan kepada Raden Mas Said yang kemudian mendirikan Kadipaten

Mangkunagaran. Demikian pula Jogjakarta atas prakarsa pemerintah kolonial Inggris,

Raffles pada tahun 1813 membagi kasultanan Jogjakarta diberikan kepada Pangeran

Nata Kusuma yang kemudian mendirikan Kadipaten Pakualaman bergelar Sri Paku Alam I.

Jadi, batasan konsep tentang dinasti Mataram adalah trah/dinasti Ki Gedhe Pemanahan beserta anak keturunanya sejak putranya Panembahan Senopati hingga

raja-raja di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta, Mangkunagaran dan Pakualaman.

Bisa diabstraksikan secara ringkas judul Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram adalah wacana-wacana tentang tokoh Arjuna yang dibangun oleh para raja Jawa dinasti Mataram untuk mendapatkan

(31)

2.3. Landasan Teori

Tulisan ini merupakan penelitian kajian budaya yang bertujuan mengungkap

makna wacana-wacana tokoh wayang Arjuna di era raja-raja Jawa Mataram Sultan

Agung hingga Zaman Surakarta, yang mana diskursus itu ditujukan untuk mendapatkan

hegemoni dari orang Jawa.

Sebagaimana tradisi penelitian ilmiah yang ciri-cirinya mengembangkan metode

berfikir kritis objektif, konsisten serta sistematis, maka dalam rangka pengungkapan

makna tujuan penelitian sangat perlu dituntun oleh teori-teori yang tepat. Ratna

(2010:49-53) mengemukakan bahwa peranan sebuah teori dalam sebuah penelitian

adalah sebagai penuntun memahami obyek yang akan mengarahkan peneliti

memecahkan masalah. Teori berbentuk konsep, argumentasi, dan proposisi yang lahir

dari pemikiran yang sensitif, tajam, dan sistematis. Sifat analisis kajian budaya yang

holistik dan ekletik mengarahkan penelitian ini bisa menggunakan multi disiplin serta

memanfaatkan berbagai teori secara dinamis dengan tujuan menghasilkan harmoni

makna.

Grand teori atau teori induk dari penelitian ini menggunakan teori wacana dari

Foucault, didukung teori-teori minor seperti semiotika, dan hegemoni. Khusus berkaitan

dengan semiotika pada bab pembahasan akan digunakan untuk mengungkap makna

nilai-nilai yang terkandung dalam figur wayang Arjuna beserta gelar-gelarnya.

Makna-makna yang terungkap berupa nilai-nilai etika serta estetika klasik orang Jawa

merupakan struktur-struktur mapan dari nilai-nilai Jawa. Hal itu adalah konsekuensi

dari semiotika yang harus mengacu pada ground atau kode budaya lokal. Ratna berpandangan bahwa tidak bisa dihindari semiotika sebagai teori tanda selalu berkaitan

dengan semua teori lain. Untuk memudahkan pemahaman jalinan metodologi serta

(32)

Diskursus Tokoh Arjuna

dalam Legitimasi Raja-raja Jawa Mataram

Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori

2.3.1. Teori Wacana/diskursus

Michel Foucault adalah filsuf anti-esensialisme dan pascastrukturalisme yang

intinya menolak tradisi berfikir tiga hal berikut.

1) Menolak kebenaran transendental sebagaimana mendominasi filsafat modern

seperti konsep Kant, Descartess dan Husserl tentang adanya kebenaran yang

mutlak atau kebenaran akhir asal-usul adanya sesuatu seperti Tuhan, ide, roh

absolut, kebenaran mutlak dan abadi berasal dari substansi transenden yang

metafisis yang berada di luar ruang dan waktu. Sebaliknya sebagimana pemikir

post modernisme yang lain Foucault beransumsi bahwa tidak ada sebuah

kebenaran mutlak, dan universal karena filsafat dan ilmu pengetahuan

bersumber dari upaya manusia untuk menyingkap rahasia alam. Dalam konsep

teorinya Arkeologi kemudian sejak tahun 1970 lebih populer disebut Genealogi,

Foucault mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran dan ide yang diturunkan dari “dunia sana” melainkan berasal dari konstruksi berfikir yang bersumber dari wacana-wacana pada episteme kurun sejarah tertentu (Yusuf Lubis, 2014 b:68). 2) Menolak paradigma strukturalisme yang beransumsi bahwa perkembangan pola

pikir manusia lebih ditentukan oleh struktur/sistem seperti sistem sosial, politik,

ekonomi dan bahasa di sekitarnya. Bukan manusia yang menciptakan makna

melalui bahasa tetapi sebaliknya bahasa dan budayalah yang mengkonstruksi

pikiran manusia. Foucault mengkritisi pandangan kaum strukturalis yang

dipelopori oleh Levi Strauss, bahwa dengan hilangnya otonomi imajinasi kreatif

manusia sebagaimana asumsi strukturalisme berarti telah terjadi “kematian Diskursus

(33)

manusia” (the death of man). Bagi Foucault meskipun ia mengakui adanya episteme/sistem yang menstruktur pikiran manusia, akan tetapi tidak bersifat

kontinyu sebaliknya diskontinyu bisa berubah dan berganti-ganti dari satu

zaman atau tempat ke zaman dan tempat yang lain (Yusuf Lubis, 2014a: 168).

3) Menolak konsep subyek universal sebagaimana teori Marx bahwa kesadaran

dikonstruksi oleh kelas sosial, sehingga ada perbedaan kesadaran, nilai-nilai

antara kelas proletar dan borjuis. Bagi Foucault subyek adalah produk sejarah,

produk dari diskursus yang berbeda dari satu era ke era lain. Kuasa yang oleh

Foucault dipahami sebagai kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk

mempengaruhi kehendak orang lain pada proses diskursif, menyebar pada personal-personal dan inter-personal di bawah kendali pengetahuan yang telah

menyatu menjadi sistem pola pikir masyarakat yang diistilahkan Foucault

episteme oleh kuasa agung yaitu penguasa. Dalam proses sosialisasi dalam episteme kurun sejarah tertentu manusia mengalami proses menjadi pribadi-pribadi yang oleh Foucault disebut sebagai teknologi menjadi subyek.

Pribadi-pribadi atau subyek-subyek yang telah diformula oleh episteme pengetahuan tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma dan aturan-aturan

sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa. Yusuf

Lubis (2014:168) dalam metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya

berbagai macam pengetahuan yang oleh Foucault disebut genealogi, mengemukakan bahwa dalam vase histori tertentu apa yang disebut sebagai

sebuah kebenaran dikonstruksi untuk mendistribusikan kekuasaan lewat

lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan, penjara, rumah sakit, yang

hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang gila dan waras,

bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan (Yusuf

Lubis, 2014b:73).

Teori Diskursus tersebut digunakan untuk menganalisis diskursus tokoh Arjuna

dalam legitimasi Raja-Raja Dinasti Mataram dalam pembahasan sebagai berikut.

Pertama, konsep teori Foucault power knowledge / kuasa pengetahuan digunakan untuk menganalisis motifasi tindakan Sultan Agung dalam mewacanakan

tokoh Arjuna sebagai media membangun legitimasi kekuasaanya. Salah satu aspek

(34)

untuk menahlukan dan membuat orang menjadi patuh. Bagi penguasa pengetahuan

adalah sebuah ekspresi berkuasa. Pengetahuan yang diwacanakan oleh penguasa akan membangun sebuah sistem berpikir yang disepakati dan disepahami oleh anggota

kolektif masyarakat dan sesuai dengan deskrepsi kebenaran menurut otoritas intelektual,

politis, dan elite pemerintah. Untuk mensosialisasikan wacana itu maka pengetahuan

didesentralisasi dan dipluralisasi, sehingga akan melahirkan dukungan produktif dari

masyarakat kepada penguasa (Faoucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:77).

Berlandaskan pertimbangan bahwa pengetahuan bisa dijadikan alat untuk

membangun kekuasaan, maka Sultan Agung memilih Arjuna sebagai tokoh paling

populer yang memiliki reputasi nilai kultus, mitologi dan simbol kejayaan bagi

Mataram, sebagai media wacana. Wacana-wacana yang disosialisasikan kepada semua

lapisan dan penjuru masyarakat Mataram diaharapkan akan mampu menyatukan pola

pikir masyarakat yang pada akhirnya mendatangkan timbal balik dukungan terhadap

kekuasaan Raja-Raja Dinasti Mataram.

Kedua, konsep teori Foucault tentang jaringan kuasa, pengetahuan dan kebenaran digunakan untuk menganalisis proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna di Mataram.

Foucault dalam Yusuf Lubis (2014a : 176) mengemukakan adanya relasi yang sigfikan

antara kuasa – pengetahuan – kebenaran. Kuasa didapat dari pengetahuan, dan

dipraktikkan menggunakan wacana melalui bahasa. Dalam wacana itu kebenaran

dikonstruksi. Pada akhirnya kebenaran adalah kekuasaan itu sendiri. Teori tersebut

menuntun pemahaman bahwa wacana tokoh Arjuna bersumber dari Babad Tanah Jawi disebarluaskan ke seluruh Mataram oleh agen-agen diskursif yaitu dalang, penanggap dan penonton, dalam setiap ivent-ivent yang mentradisi di masyarakat, di keraton, di rumah-rumah priyayi maupun masyarakat umum. Dalam satu periode wacana tokoh

Arjuna itu menyatu dalam kesadaran setiap subyek dan kolektif di Mataram membentuk

kesamaan sistem berpikir tentang Arjuna dan nilai-nilai pengetahuannya berkaitan

dengan legitimasi Raja-Raja Mataram, yang disebut episteme era Mataram atau budaya ragam Mataraman sebagaimana mentradisi di keraton Jawa Surakarta dan Jogjakarta.

Ketiga, pandangan Foucault tentang tubuh digunakan untuk menganalisis proses terbentuknya kepatuhan orang Jawa terhadap diskursus yang dibangun oleh Raja-Raja

Dinasti Mataram. Berkaitan teori tentang tubuh Foucault menguraikan bahwa

(35)

regulasi (sosialisasi kepatuhan terhadap norma-norma dan aturan-aturan di masyarakat),

yang norma serta aturan itu dikonstruksi oleh rezim kebenaran atau episteme era sejarah tertentu oleh penguasa (Barker, 2005:104).

2.3.2. Teori Hegemoni

Teori hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci, berkait dengan

pembahasan tentang masalah politik kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980. Konsep

ini menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang

menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas subordinat dengan

cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses penciptaan makna

yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik

yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467).

Teori hegemoni dalam penelitian ini akan dimanfaatkan untuk menuntun analisis

peranan raja-raja Jawa merebut persetujuan dari orang Jawa dengan makna tokoh

Arjuna yang pada finalnya akan melegitimasikan kekuasaan mereka. Wayang memiliki

sejarah panjang berkaitan dengan perananya dalam masyarakat untuk kepentingan

penguasa. Helen (2004) dalam jurnal internasional Journal of Southeast Asian Studies menguraikan “The use of wayang (shadow puppets) as means of conveying political propaganda in Java is far from new.” Sejak dahulu hingga sekarang wayang sering dimanfaatkan penguasa untuk kepentingan politiknya.

2.3.3. Teori Semiotika

Untuk menganalisis nilai-nilai moral dalam figur wayang Arjuna dan

gelar-gelarnya, digunakan semiosis wacana dari Bartes. Tokoh terkemuka semiosis pasca

strukturalisme yang bernama lengkap Roland Barthes (1915-1980) lahir di Cherbourg

Prancis utara mengembangkan analisis wacana (Budiman, 2002:102). Hal itu berbeda

dengan semiotika struktural Saussure yang telah mendominasi model semiosis modern

barat pada umumnya, yang berasumsi bahwa wacana/parole (termasuk bentuk-bentuk ujaran individual) adalah sub sistem semiosis yang tidak mungkin bisa terjangkau

analisis.

Sistem penandaan wacana Barthes terdiri dari dua tataran yaitu denotasi dan

(36)

petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis baik denotasi maupun

konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi (expression) dilambangkan E, dan isi (content) dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi (relation) yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan

(ERC)

Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom

sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna

bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi

subyek-subyek individu. Hoed (2011:66) tentang semiotika wacana Barthes

mengemukakan bahwa interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer (mana suka)

digolongkan sebagai mitos jika konotasi itu telah tetap mencapai kemapanan sebagai sebuah kewajaran di masyarakat; jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir

masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi.

Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur tokoh wayang Arjuna dan gelar julukannya “Lelananging Jagat” bertujuan memahami nilai-nilai yang terkandung sebagai anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu

sebagai motivasi penting dipilihnya Arjuna sebagai media membangun wacana

pengetahuan di Mataram.

Dalam analisis semiosis Barthes ini figur wayang Arjuna akan dianalisis

menggunakan konsep teori citra visual, dan julukan Arjuna yang digolongkan citra

lingguistik akan dianalisis sebagai citra penambat.

2.4. Model Penelitian

Sebuah model atau pola diperlukan untuk menampilkan gagasan yang abstrak

menjadi sebuah pola-pola visual yang mudah dipahami (2010:286). Model penelitian

tentang diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi raja-raja Mataram ini berupa diagram

yang menampilkan objek, variabel, dan masalah-masalah dan implikasi-implikasi yang

terjadi dari proses budaya tersebut. Rekonstruksi alur pemikiran penelitian ini bisa

(37)

Gambar 2. Model Penelitian.

Dari gambar di atas dapat diuraikan alur pemikiran penelitian sebagai berikut:

1) Wayang adalah jenis teater tradisi yang telah berkembang di Jawa dahulu hingga

sekarang. Kelestarian wayang tersebut karena orang Jawa menganggap bahwa

wayang memiliki keterkaitan dengan kehidupannya dalam hal sejarah, kultus,

mitologi, dan tokoh anutan.

2) Menyadari posisi wayang yang sangat satrategis dalam kehidupan budaya Jawa,

maka Sultan Agung sebagai raja Mataram yang sangat membutuhkan legitimasi

kekuasaan dari masyarakat Jawa, memilih wayang tokoh Arjuna sebagai media

diskursus. Pertimbangan pemilihan itu adalah tokoh Arjuna selain sangat populer

dan diidolakan oleh orang Jawa juga dikultuskan, dan dimitoskan sebagai pembawa

kejayaan bagi seorang raja.

3) Diskursus Arjuna diwacanakan dengan cara menyebar power knowledge kepada masyarakat pendukung wayang yaitu dalang, penanggap, dan penonton yang terdiri

(38)

4) Implikasi dari diskursus Arjuna itu, menjadikan masyarakat jawa secara pribadi dan

kolektif tersosialisasi terhadap pengetahuan tentang Arjuna sehingga menerima

secara total dalam bentuk kesatuan pemahaman, pola pikir dan perilaku berkaitan

tentang mitologi, serta ideologi Jawa berkaitan tentang Arjuna.

5) Proses sosialisasi masyarakat baik secara individu atau kolektif dalam episteme era Mataram Sultan Agung itu secara otomatis menumbuhkan hegemoni terhadap

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Ratna (2010:289) mengutip metode penelitian dari Black dan Champion (1999)

mengemukakan bahwa rancangan penelitian adalah sebuah desain proses pelaksanaan penelitian semacam blue prient yang bertujuan memberi kejelasan keseluruhan proses baik pengumpulan data, sumber data, analisis, paradigma serta pendekatan yang

digunakan.

Penelitian ini dirancang dengan paradigma kajian budaya ranah postmodernisme,

menggunakan pendekatan hermeneutik sebagai model analisis, dan memanfaatkan

metode analisis kualitatif interpretatif yang akan mengungkap nilai-nilai serta

makna-makna dari objek material pewayangan dalam ground budaya Jawa di masa klasik maupun kekinian.

Paradigma, oleh Ratna (2010:38) didefinisikan sebagai kerangka pokok sebuah ilmu yang membedakan dengan ilmu lain. Ia mengutip pandangan yang lebih lengkap

dari Lincoln dan Guba yang mendefinisikan bahwa paradigma adalah sistem anggapan

dasar pandangan dunia yang mengarahkan peneliti dalam menentukan metodologi dan

kerangka ontologisnya.

Paradigma post modernisme lahir di Inggris sejak tahun 1960-an melalui lembaga

Centre of contemporery Cultural Study (CCCS) dipelopori oleh Richard Hoggart, Raymond William, E.P. Thomson, Stuart Hall, Paul Willis, dan Dick Hebdige. Dari

ketiga pelopor tersebut kajian budaya melangkah lebih jauh memanfaatkan budaya

sebagai arena pertarungan ideologi, beroperasi secara independen bukan semata-mata

sebuah refleksi dari sistem ekonomi. Sebagai sebuah ilmu paradigma postmodernisme

memiliki ciri umum filosofis yaitu secara ontologi kajian budaya digali dari hakikat

multidisiplin, multikultur, budaya minoritas, dan analisis permukaan; secara

epistemologis kajian budaya termasuk ranah postmodernisme yang melakukan analisis

melalui teori-teori post strukturalisme; dan tidak berbeda dengan ilmu lain, kajian

budaya juga digunakan untuk memahami keseluruhan aspek budaya. Perbedaanya, ilmu

Gambar

Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori
Gambar 4. Skema Kekuasaan dan Pengetahuan Teori Diskursus Foucault (Yusuf Lubis, 2014b:74-80)
Gambar 5. Tabel Silsilah Pangiwa Dinasti Mataram (Abimanyu, 2014:378)
Gambar 6. Diagram Silsilah Panengen Raja-Raja Mataram (Abimanyu,
+7

Referensi

Dokumen terkait