• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Penelitian

Dalam dokumen TESIS edy silistiono (Halaman 36-43)

BAB II LANDASAN TEORITIS

2.4 Model Penelitian

Sebuah model atau pola diperlukan untuk menampilkan gagasan yang abstrak menjadi sebuah pola-pola visual yang mudah dipahami (2010:286). Model penelitian tentang diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi raja-raja Mataram ini berupa diagram yang menampilkan objek, variabel, dan masalah-masalah dan implikasi-implikasi yang terjadi dari proses budaya tersebut. Rekonstruksi alur pemikiran penelitian ini bisa divisualkan dalam gambar 2 berikut.

Gambar 2. Model Penelitian.

Dari gambar di atas dapat diuraikan alur pemikiran penelitian sebagai berikut:

1) Wayang adalah jenis teater tradisi yang telah berkembang di Jawa dahulu hingga sekarang. Kelestarian wayang tersebut karena orang Jawa menganggap bahwa wayang memiliki keterkaitan dengan kehidupannya dalam hal sejarah, kultus, mitologi, dan tokoh anutan.

2) Menyadari posisi wayang yang sangat satrategis dalam kehidupan budaya Jawa, maka Sultan Agung sebagai raja Mataram yang sangat membutuhkan legitimasi kekuasaan dari masyarakat Jawa, memilih wayang tokoh Arjuna sebagai media diskursus. Pertimbangan pemilihan itu adalah tokoh Arjuna selain sangat populer dan diidolakan oleh orang Jawa juga dikultuskan, dan dimitoskan sebagai pembawa kejayaan bagi seorang raja.

3) Diskursus Arjuna diwacanakan dengan cara menyebar power knowledge kepada masyarakat pendukung wayang yaitu dalang, penanggap, dan penonton yang terdiri dari masyarakat luas.

NILAI-NILAI KULTUS,MITOLOGI, & IDEOLOGI WAYANG

Sultan Agung, dan Raja- raja Mataram dan

penerusnya

Para agen kuasa pengetahuan wayang, dalang, penanggap &

penonton

(1)

Motifasi dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus Nilai-nilai kultus, mitologi dan anutan moral Arjuna

DISKURSUS TOKOH ARJUNA

(2)

Proses terjadinya diskursus dengan menyebar kuasa

pengetahuan

(3) Implikasi Diskursus dalam kehidupan orang Jawa

4) Implikasi dari diskursus Arjuna itu, menjadikan masyarakat jawa secara pribadi dan kolektif tersosialisasi terhadap pengetahuan tentang Arjuna sehingga menerima secara total dalam bentuk kesatuan pemahaman, pola pikir dan perilaku berkaitan tentang mitologi, serta ideologi Jawa berkaitan tentang Arjuna.

5) Proses sosialisasi masyarakat baik secara individu atau kolektif dalam episteme era Mataram Sultan Agung itu secara otomatis menumbuhkan hegemoni terhadap legitimasi Raja-Raja Mataram.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Ratna (2010:289) mengutip metode penelitian dari Black dan Champion (1999) mengemukakan bahwa rancangan penelitian adalah sebuah desain proses pelaksanaan penelitian semacam blue prient yang bertujuan memberi kejelasan keseluruhan proses baik pengumpulan data, sumber data, analisis, paradigma serta pendekatan yang digunakan.

Penelitian ini dirancang dengan paradigma kajian budaya ranah postmodernisme, menggunakan pendekatan hermeneutik sebagai model analisis, dan memanfaatkan metode analisis kualitatif interpretatif yang akan mengungkap nilai-nilai serta makna- makna dari objek material pewayangan dalam ground budaya Jawa di masa klasik maupun kekinian.

Paradigma, oleh Ratna (2010:38) didefinisikan sebagai kerangka pokok sebuah ilmu yang membedakan dengan ilmu lain. Ia mengutip pandangan yang lebih lengkap dari Lincoln dan Guba yang mendefinisikan bahwa paradigma adalah sistem anggapan dasar pandangan dunia yang mengarahkan peneliti dalam menentukan metodologi dan kerangka ontologisnya.

Paradigma post modernisme lahir di Inggris sejak tahun 1960-an melalui lembaga Centre of contemporery Cultural Study (CCCS) dipelopori oleh Richard Hoggart, Raymond William, E.P. Thomson, Stuart Hall, Paul Willis, dan Dick Hebdige. Dari ketiga pelopor tersebut kajian budaya melangkah lebih jauh memanfaatkan budaya sebagai arena pertarungan ideologi, beroperasi secara independen bukan semata-mata sebuah refleksi dari sistem ekonomi. Sebagai sebuah ilmu paradigma postmodernisme memiliki ciri umum filosofis yaitu secara ontologi kajian budaya digali dari hakikat multidisiplin, multikultur, budaya minoritas, dan analisis permukaan; secara epistemologis kajian budaya termasuk ranah postmodernisme yang melakukan analisis melalui teori-teori post strukturalisme; dan tidak berbeda dengan ilmu lain, kajian budaya juga digunakan untuk memahami keseluruhan aspek budaya. Perbedaanya, ilmu pengetahuan lain lebih cenderung untuk mempertahankan eksistensi yang sudah ada,

sebaliknya kajian budaya memperlakukan secara kritis, politis, partisipatoris, bahkan secara dekonstruktif.

Dalam tulisan ini paradigma post modernisme diposisikan sebagai sudut pandang teoritis, yang ciri utamanya kritis dalam memahami objek. Penggunaan teori-teori tersebut bertujuan sebagai alat (1) memperjelas suatu fenomena yang muncul pada tahap penelusuran masalah; (2) sebagai alat peringkas atau alat seleksi data pada tahapan pengumpulan data; dan (3) sebagai alat untuk mempertajam kajian pada tahap analisis (Storey dalam Ratna, 2010:169).

Pendekatan oleh Ratna (2010:45) diartikan sebagai cara mendekati, menjinakkan sehingga kahekat objek dapat diungkapkan sejelas mungkin. Secara praktis pendekatan adalah model analisis yang akan mempermudah pengungkapan makna. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan hermeneutik yang diposisikan sebagai sudut pandang filosofis.

Sumaryono (1991:40) mengutip pandangan dari Palmer (1969) mengemukakan bahwa hermeneutik adalah proses menelaah isi dan maksud yang direpresentasikan oleh teks hingga pada makna terdalam dan laten. Pakar hermeneutik sejarah dan psikis Dilthey mengemukakan bahwa bila kita mencoba menjelaskan alam, saat itu pula kita memahami kehidupan batin (psychic life). Pemahaman terhadap kehidupan sama dengan memahami diri-sendiri. Pemahaman itu didapat manusia karena mengalami sebuah pengalaman (Sumaryono, 1991:51).

Berkaitan dengan pengalaman yang akan membentuk pemahaman individu dalam sejarah Dilthey mengungkapkan bahwa pribadi-pribadi dalam masyarakat selalu dalam kondisi tersejara hkan. Ia membagi individu hidup dalam dua sistem, yaitu sistem ekternal yang ditentukan oleh ruang dan waktu, seperti organisasi-organisasi sosial, politik, ekonomi, tehnologi serta keagamaan, dan internal adalam sistem individual. Hanya pengetahuan tentang sistem eksternal saja yang bisa dijadikan bekal setiap individu untuk meng-interpretasi secara obyektif tentang situasi historis (Sumaryono, 1991:49).

Individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya seperti misalnya sejarah, keluarga dan peraturan-peraturan kemasyarakatan, tetapi individu tersebut juga merupakan person psikologis yang mampu merusak lingkungan eksternalnya atas alasan-alsan pribadi. Dalam hal cara kerja pendekatan hermeneutik, Dilthey

mengemukakan dua prosedur yaitu interpretasi data dan riset sejarah. Pertama, interpretasi data, Dilthey memilahkan dua katagori yaitu benda dan manusia. Terhadap benda, manusia hanya mampu memahami, dan terhadap manusia-lah bisa dilakukan interpretasi. Proses dimana manusia bisa menangkap manifestasi kejiwaan dengan melihat tanda-tanda dari pancaindera dari individu itulah disebut komprehensi atau pemahaman. Kedua riset sejarah Dilthey mengemukakan tiga langkah: (a) memahami sudut pandang pelaku sejarah, (b) memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah, (c) menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat tokoh sejarah itu hidup (Dilthey dalam Sumaryono, 1991:53-59).

Konsep-konsep Dilthey tersebut akan mengarahkan penelitian ini dalam mendekati obyek diskursus Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Jawa yang lebih mengarah pada interpretasi sejarah episteme era Sultan Agung dan penerusnya.

Lebih lanjut Ratna menguraikan langkah kerja pendekatan dalam penelitian ini yaitu: (a) pemahaman secara umum, secara keseluruhan dalam rangka menemukan kedudukan objek dalam totalitas kebudayaan sebagai analisis makro, (b) pemahaman dengan intensitas pada objek, sebagai analisis mikro, dan (c) mengadakan hubungan dialektis antara analisis makro dan mikro, sekaligus menemukan maknanya (Ratna, 2010:407).

Dalam hal metode, penelitian ini dirancang menggunakan metode analisis kualitatif interpretatif, yang menekankan intensitas kualitas nilai-nilai. Metode ini dalam ilmu-ilmu humaniora terutama kajian budaya sangat dianjurkan karena kekhasannya yang bersifat penafsiran dan tekstual (Ratna 2010:307). Rangkaian kerja dari metode ini dimulai dari pengumpulan data, klasifikasi, komperasi, dan dilanjutkan interpretasi yaitu menguraikan segala sesuatu yang ada di balik data yang ada, yang bertujuan akhir kualitias obyektifitas (Ratna 2010:307).

Dalam hal obyektifitas, berbeda dengan metode penelitian kealaman yang diperoleh dengan pembuktian, metode kualitatif ini dengan cara pemahaman, mengaitkan objek dengan referensi-referensi yang relevan. Benar bahwa interpretasi berasal dari interpretator, tetapi dalam teori kontemporer interpretator bukan semata- mata merupakan kualitas subyektif, tetapi intersubyektif. Artinya, interpretator dalam

hubungan ini peneliti sebagai anggota masyarakat pada dasarnya membawa ide kelompok dan/atau masyarakat (Ratna 2010:309).

Secara umum penelitian yang menggunakan analisis kualitatif akan menghasilkan data deskreptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan serta data-data yang dapat diamati.

Untuk lebih mudah dalam pemahaman rancangan penelitian ini juga disajikan desain penelitian dalam bentuk gambar 3 diagram sebagai berikut.

Gambar 3. Diagram Rancangan Penelitian Paradigma: Sudut

pandang teoritis digunakan paradigma Kajian Budaya sistem berfikir kritis wilayah Post Modernisme

Teori Diskursus , Hegemoni, & semiotika Pendekatan: Hermeneutik Data: Fenomena- fenomena diskursus tokoh Arjuna serta implikasi-implikasinya dalam masyarakat Jawa Tehnik Pengumpulan Data Analisis data Konsep-konsep Teori-teori Fenomena: Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-raja Dinasti Mataram

Dalam dokumen TESIS edy silistiono (Halaman 36-43)

Dokumen terkait