• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang analisis salah satu kata yang ada di dalam Alquran ditinjau dari segi morfologi dan semantik (secara bersamaan) belum pernah diteliti oleh mahasiswa Sastra Arab Universitas Sumatera Utara.

2.1 Alquran

Alquran merupakan kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) pada nabi Muhammad SAW dan membacanya adalah ibadah. (Depag R.I, 1977:16). Alquran alkarim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, falsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan akhirat. (Depag R.I, 1977:27)

Adapun Alquran didefenisikan ulama Ushul, ulama Fikih, dan ulama Bahasa adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad SAW, yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah diturunkan secara mutawatir dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surah Al-Fatihah (1) sampai akhir surat An-Naas (114) (Anwar, 2006:11).

2.2 Morfologi

Menurut Crystal dalam Ba‟dulu dan Herman (2005:1) morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktural atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem. Morfologi pada umumnya dibagi ke dalam dua bidang : yakni telaah infleksi (inflectional morpology) dan telaah pembentukan kata

(2)

Morfologi di dalam bahasa Arab disebut dengan ilmu ṣaraf. Al- Ghulayani (2007:8) memaparkan defenisi ilmu ṣaraf sebagai berikut:

.ءاْت لاٗ باغػ ات دسٍى ىرىا اٖىا٘دأٗ حٍتغؼىا خاَينىا ُؾٍ ِص اٖت ف َغْؼُذ ه٘صأت ٌٌيػ : فغصىا

/aṣṣarfu : ʻilmun biuṣūlin tuʻrafu bihā ṣiyagu al-kalimāti al-ʻarabiyyati wa ahwāluhā allatī laisat bi`iʻrābin wa lā binā`in/ „„sharaf adalah ilmu yang

mengkaji akar kata untuk mengetahui bentuk-bentuk kata arab dengan segala hal-ihwalnya di luar i‟rab dan bina”

Menurut Hasan ilmu ṣaraf adalah ilmu yang menerangkan hal memalingkan satu kata kepada beberapa rupa dan sifat untuk menghasilkan beberapa makna. Sesuai pendapat Hasan di atas, penulis akan meneliti kata ةىلص /ṣalātun/ untuk menemukan bentuk-bentuk kata ةىلص /ṣalātun/ kemudian meneliti proses morfologisnya.

2.2.1 Proses Morfologis

Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya. Bentuk dasarnya itu mungkin berupa kata. Seperti pada kata terjatuh yang dibentuk dari kata jatuh; mungkin berupa pokok kata, misalnya kata bertemu yang dibentuk dari kata temu; mungkin berupa frase, misalnya kata ketidak adilan yang dibentuk dari frase tidak adil; mungkin berupa kata dan kata, misalnya kata rumah sakit yang dibentuk dari kata rumah dan kata

sakit; mungkin berupa kata dan pokok kata, misalnya kata pasukan tempur yang

dibentuk dari kata pasukan dan pokok kata tempur; dan mungkin pula berupa pokok kata dan pokok kata, misalnya lomba tari yang dibentuk dari pokok kata

lomba dan pokok kata tari (Ramlan, 2001:51).

Proses morfologis disebut juga dengan proses morfemis, Parera, (1994) mengatakan, proses morfemis merupakan proses pembentukan kata bermorfem jamak baik derivative maupun inflektif. Proses ini disebut morfemis karena proses ini bermakna dan berfungsi sebagai pelengkap makna leksikal yang dimiliki oleh sebuah bentuk dasar. Di samping sebutan morfemis ini juga disebut proses morfologis. Samsuri (1980:190) mengatakan, proses morfologis adalah cara

(3)

pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain.

Di dalam Alquran kata ةىلص /ṣalātun/ dan perubahan-perubahannya secara morfologi adalah sebagai berikut:

ج٘يص /ṣalātun/ sebanyak 67; ٌٖذلاص /ṣalātuhum/ sebanyak 5; خا٘يص /ṣalawātun/ sebanyak 4; ىّيص /ṣalla/ sebanyak 3; ٍِيصٍ /muṣallīna/ sebanyak 3; اّ٘يصٌ /yuṣallū/ sebanyak 2;ًّيصٌ /yuṣallī/ sebanyak 2; ّوص /ṣalli/ sebanyak 2; لذ٘يص /ṣalātuka/ sebanyak 2; dan kata ٌٖذ٘يص /ṣalātihim/ لذلاص /ṣalātika/ ّوصذ /tuṣalli/ ُّ٘يصٌ /yuṣallūna/ ّ٘يصا /ṣallū/ ٔذلاص /ṣalātahu/ خلاص /ṣalāti/ ٌٖذا٘يص /ṣalawātihim/ ىّيصٍ ى /muṣallā/ masing-masing sebanyak 1. (Abdul Baqi, 2006:508-510)

2.3 Semantik

Semantik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda dalam bahasa. Dalam bahasa Arab disebut „ilm ad-dalalah. „ilm-ad-dalalah ini terdiri atas dua kata: „ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan ad-dilalah yang berarti penunjukan atau makna. Jadi, „ilm ad-dilalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan yang mengetahui tentang makna. Secara terminologis, ilm- ad-dilalah sebagai salah satu cabang linguistik („ilm al-lughoh) yang telah berdiri sendiri yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran makna mufrodat (kosa kata) maupun pada makna dalam tataran tarokib (struktur atau gramatikal bahasa) (http://www.falaahisme.blogspot.com/2013/04/pengertian-ilmu-semantik-atau-ilmu-ad.html).

Menurut Umar, (1998:11) „ilm ad-dilalah adalah sebagai berikut:

ِػ ِْ ٍِ ُع ْغَفىا َلِىَط َْٗا ىَْْؼََْىا ُس ُعْضٌَ ْيِظّىا ٌُْيِؼْىَا َْٗا ىَْْؼََْىا ُحَسا َعِص ََُّّٔاِت ٌُُْٖضْؼَت ُُٔف َّغَؼ ٌ

حَغّيىا ٌِْي

ْيِظّىا

ىَْْؼََىا َحٌَ ِغْظَّ ُه َٗاََْرٌَ

/yuʻarrifuhu baʻḍuhum bi`annahu dirāsatu al-maʻnā au al-ʻilmu al-lażī yadrusu al-ma`nā au żalika al-farʻu min ʻilmi al-lugati al-lażī yatanāwalu naẓriyata almaʻnā/ “didefenisikan sebagian mereka dengan studi tentang makna atau ilmu

yang memepelajari tentang makna, atau merupakan cabang linguistik yang mengkaji tentang teori makna”

(4)

Dalam buku makna dalam wacana yang ditulis oleh Yayat Sudaryat kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) „tanda‟ atau „lambang‟ yang verbanya semaino „menandai‟ atau „melambangkan‟. Tanda atau lambang ini dimaksudkan tanda linguistik (Perancis: signe linguistique). (Sudaryat, 2008:3).

Secara umum semantik lazim diartikan sebagai kajian mengenai makna bahasa. Mengapa harus dieksplisitkan makna bahasa?, karena selain makna bahasa, dalam kehidupan kita banyak makna-makna yang tidak berkaitan dengan makna bahasa melainkan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang lain, seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda kejadian alam, lambang-lambang negara, simbol-simbol negara, simbol-simbol kebudayaan, simbol-simbol keagamaan, dan lambang atau simbol lainnya bidang ilmu yang mengkaji makna berbagai tanda dan lambang itu disebut semiotik. Lalu, karena bahasa itu juga merupakan sistem lambang maka sebenarnya makna bahasa juga termasuk dalam semiotika. Namun, secara khusus kajian mengenai makna bahasa mempunyai wadah sendiri, yaitu semantik. (Chaer, 2007).

Untuk dapat memahami makna sebuah ujaran banyak faktor yang harus diperhatikan seperti faktor sosial, faktor psikologi, dan faktor budaya. Dalam studi semantik faktor-faktor itu tercermin pada yang disebut tingkatan makna, yakni makna leksikal dan idiomatikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual. (Chaer, 2007)

2.3.1 Makna Leksikal

Istilah leksikal adalah bentuk ajektifa dari nomina leksikon, yang berasal dari leksem. Menurut Kridalaksana dalam Chaer (2003:269) mengatakan bahwa di dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan sebagai bentuk dasar yang setelah mengalami proses gramatikalisasi akan menjadi kata. Dalam kajian semantik leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu makna atau satu pengertian, seperti air dalam arti „sejenis bahan cair yang digunakan untuk keperluan sehari-hari‟, pensil dalam arti „sejenis alat tulis, yang terbuat dari

(5)

kayu dan arang‟, meja hijau dalam arti „pengadilan‟ dan membanting tulang dalam arti „bekerja keras‟ adalah contoh-contoh leksem. Dari contoh itu, tampak bahwa, leksem itu bisa berupa kata bisa juga berupa gabungan kata. Namun, dalam dunia pendidikan bentuk-bentuk seperti meja hijau dan membanting tulang lazim disebut sebagai ungkapan atau idiom. (Chaer, 2003:269).

Jadi, makna leksikal adalah yang secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna kata secara lepas, di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata di dalam kamus biasanya didaftarkan sebagai makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar dalam kamus itu misalnya bagian tubuh dari leher ke atas‟ adalah makna leksikal dari kata kepala‟, sedangkan makna „ketua‟ atau „pemimpin‟ bukanlah makna leksikal, sebab untuk mengatakan makna „ketua‟ atau „pemimpin‟ kata kepala itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam frase kepala sekolah dan kepala kantor.

Tahap pertama untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah memahami makna leksikal setiap butir leksikal (kata, leksem) yang digunakan di dalam ujaran itu. Andaikata seseorang tidak tahu makna leksikal sebuah kata yang digunakan di dalam suatu ujaran, maka bisa melihatnya di dalam kamus, atau bertanya kepada orang lain yang tahu.

2.3.2 Makna Gramatikal

Makna Gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil suatu proses gramatikal. Dalam bahasa Indonesia dikenal adanya beberapa proses gramatikal. Yang utama adalah proses afiksasi, proses reduplikasi, proses komposisi, proses pemfrasean dan proses pengalimatan. (Chaer, 2003:277).

2.3.2.1 Makna Gramatikal Afiksasi.

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia afiksasi merupakan salah satu proses penting dalam pembentukan kata dan penyampaian makna. Jenis afiks dan makna gramatikal

(6)

yang dihasilkan cukup banyak dan beragam. Satu hal yang jelas makna afiks yang dihasilkan mempunyai kaitan dengan fitur semantik bentuk dasarnya. Umpamanya dalam prefiksasi dengan prefiks ber- pada bentuk dasar nomina yang berfitur makna [+pakaian] atau [+perhiasan] akan melahirkan makna gramatikal „mengenakan‟ atau „memakai‟. Misalnya pada kata berdasi, bersepatu, berbedak dan berpita. Pada bentuk dasar yang berfitur semantik [+kendaraan] akan melahirkan makna „mengendarai‟, „naik‟ atau „ menumpang‟. Misalnya pada kata bersepeda, berkereta, berkuda dan berbemo. (Chaer, 2003:279)

Kalau sebuah bentuk dasar memiliki fitur makna yang menonjol lebih dari satu, umpamanya kata patung memiliki fitur makna yang menonjol (a) [+hasil (pekerjaan)] dan (b) [+sifat diam (tak berbicara, tak bergerak)], maka bila dibubuhi prefiks me- menjadi kata mematung akan memunculkan makna gramatikal (a) „membuat patung‟ dan (b) „diam seperti patung‟. Padahal kata menyambal hanya bermakna gramatikal „membuat sambal‟ dan kata membatu hanya bermakna gramatikal „(keras) seperti batu‟. Mengapa? Karena kata sambal hanya memiliki satu fitur makna yang menonjol yaitu [+hasil (pekerjaan)], dan kata batu hanya memiki satu fitur makna yang menonjol yaitu [+‟(keras) seperti batu‟]. Untuk mengetahui makna gramatikal makna yang diacu pada kata mematung tampaknya tidak cukup hanya pada tingkat morfologi, melainkan harus melihat pada tingkat gramatikal yang lebih tinggi, yaitu tingkatan sintaksis seperti kalimat berikut:

1. Usaha mematung banyak dilakukan penduduk desa itu. 2. Dia duduk saja mematung dalam seminar itu.

Kalimat pertama memberikan makna gramatikal „membuat patung‟ dan kalimat kedua memberikan makna gramatikal „(diam) seperti patung‟.

Contoh makna gramatikal kata ةىلص /ṣalātun/ dalam Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama RI yang sementara ini penulis temukan diantaranya:

(7)

.                                                    

/Wa `iżja„alnāl baita maṡābatan linnāsi wa `amnan wa `attakhiżū min maqāmi `ibrahīma muṣallān, wa „ahidnā `ilā `ibrahīma wa `ismā„īla `an ṭahhirā baitiya liṭṭā`ifīna wal „ākifīna wa ar-rukka„i as-sujūdi/. “Dan (ingatlah), ketika Kami

menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud”. (Qs. 2:125)

Ayat Alquran di atas dilihat dari segi maknanya, kata ىل ة َص /ṣalātun/

dengan bentuk ىًّلَصُه /muṣallān/ bermakna gramatikal tempat salat. Makna „tempat salat‟ adalah makna yang dihasilkan akibat proses afiksasi yang terdapat pada kata

ىًّلَصُه /muṣallān/ tersebut, yaitu penambahan prefiks ًَ() /mim/ sebagai salah satu

-penanda dari isim makan.

2.3.2.2 Makna Gramatikal Reduplikasi

Reduplikasi juga merupakan satu proses gramatikal dalam pembentukan kata. Secara umum makna gramatikalnya adalah menyatakan „pluralis‟ atau „intensitas‟. Umpamanya kata rumah direduplikasikan menjadi rumah-rumah bermakna gramatikal „banyak rumah‟, dan kata besar direduplikasikan menjadi

besar-besar memiliki makna gramatikal „banyak yang besar‟. Sedangkan kata memukul yang direduplikasikan menjadi memukul-mukul memberi makna

gramatikal „berkali-kali memukul‟. (Chaer, 2003:280)

Namun, makna gramatikal reduplikasi ini tampaknya tidak bisa ditafsirkan pada tingkat morfologi saja, melainkan baru bisa ditafsirkan pada tingkatan gramatikal yang lebih tinggi yaitu pada tingkatan sintaksis.

(8)

1. Bukalah pintu itu lebar-lebar!

2. Daunnya sudah lebar-lebar, tetapi belum dipetik. 3. Kumpulkan kertas yang lebar-lebar itu disini.

Kata lebar-lebar pada kalimat (1) bermakna „selebar mungkin‟, pada kalimat (2) bermakna „banyak yang lebar‟ dan pada kalimat (3) bermakna „hanya yang lebar saja‟. Sejauh ini penulis tidak menemukan kata ةىلص /ṣalātun/ dalam Alquran yang mengalami proses gramatikal reduplikasi.

2.3.2.3 Makna Gramatikal Komposisi

Butir leksikal dalam setiap leksikal, termasuk bahasa Indonesia, adalah terbatas, padahal konsep-konsep yang berkembang dalam kehidupan manusia selalu bertambah. Oleh karena itu, selain dengan proses afiksasi dan proses reduplikasi, banyak juga digunakan proses komposisi untuk menampung konsep-konsep yang baru muncul itu atau yang belum ada kosa katanya. Umpamanya, dulu kata kereta digunakan untuk menampung konsep „kendaraan beroda yang ditarik oleh kuda‟. Kemudian dengan hadirnya kereta yang berjalan di atas rel dan ditarik oleh lokomotif bertenaga uap, muncullah gabungan kata kereta api atau kereta rel; dan yang ditarik oleh kuda disebut kereta kuda. Lalu, dengan hadirnya tenaga listrik yang digunakan untuk menjalankan kereta muncullah kata kereta listrik. (Chaer, 2003:282)

Dalam perkembangan selanjutnya dikenal pula pola komposisi kata seperti kereta penumpang, kereta barang, kereta bisnis, kereta eksekutif dan sebagainya, dengan makna gramatikal ‟kereta untuk mengangkut penumpang‟,‟ kereta untuk mengangkut barang‟, „kereta untuk kelas bisnis‟, dan „kereta untuk penumpang eksekutif‟

Penutur (asli) suatu bahasa tidak perlu secara khusus mempelajari dulu fitur semantik kosa kata yang ada di dalam bahasanya untuk dapat membuat

(9)

gabungan kata, sebab fitur-fitur semantik itu sudah turut ternuranikan sewaktu dia dalam proses pemerolehan bahasanya.

Contoh yang penulis temukan diantaranya:

                                                                                                                                

/Yā `ayyuha al-lażīna `āmanū liyasta`żinukumu al-lażīna malakat `aimānukum wa al-lażīna lam yablugū al-ḥuluma minkum ṡalāṡa marrātin, min qabli ṣalāti al-fajri wa ḥīna taḍaʻū ṡiyābakum mina aẓ-ẓahīrati wa min baʻdi ṣalāti al-ʻisyā`i, ṡalāṡa ʻaurātin lakum, laisa ʻalaikum wa lā ʻalaihim junāḥun baʻdahunna, ṭawwāfūna ʻalaikum baʻḍukum ʻalā baʻḍin, każalika yubayyinu allahu lakumu al-`ayāti, wa allahu ʻalīmun ḥakīmun./ “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah

budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. 24:58)

Pada ayat Alquran di atas terdapat 2 (dua) kata ةىلص /ṣalātun/ yang mengalami proses gramatikal, yaitu gramatikal komposisi pada رجفلا ةولص /ṣalāti al- fajri/ dan ءاشعلا ةولص /ṣalāti al-`isyā‟/

Proses gramatikal di sini adalah penggabungan dua kata yaitu kata ةولص

(10)

bermakna gramatikal „sembahyang subuh (sembahyang yang dilakukan di waktu subuh)‟ serta penggabungan dua kata yaitu kata ةولص /ṣalāti / dengan kata ءاشعلا /

al-`isyā‟/, sehingga ءاشعلا ةولص /ṣalāti al-`isyā‟/ bermakna gramatikal „sembahyang yang dilakukan di waktu isya`‟. رجفلا ةولص /ṣalāti al- fajri/ dan ةولص ءاشعلا /ṣalāti al-`isyā‟/ dalam bahasa Arab dikenal dengan iḍafah, yaitu ةولص

/ṣalāti sebagai muḍaf, sedangkan رجفلا dan ءاشعلا adalah muḍafun ilaih.

2.3.2.4 Kasus Kepolisemian

Kepolisemian lazim diartikan sebagai dimilikinya lebih dari satu makna oleh sebuah kata atau leksem atau dengan rumusan sederhana lazim dikatakan polisemi adalah kata yang bermakna ganda atau memiliki banyak makna. Misalnya kata kepala dalam kamus besar bahasa Indonesia tercatat memiliki enam buah makna, yaitu: (1) bagian tubuh diatas leher ; (2) bagian di atas leher tempat tumbuhnya rambut; (3) bagian suatu benda yang sebelah atas (ujung, depan, dan sebagainya); (4) bagian yang terutama, (yang penting); (5) pemimpin, ketua dan (6) akal pikiran, otak. Sedangkan kata jatuh tercatat memiliki sepuluh buah makna, yaitu: (1) turun ke bawah dengan cepat; (2) merosot, menjadi murah; (3) ditujukan kepada (4) bertepatan dengan; (5) berhenti dari suatu jabatan; (6) bangkrut, merugi; (7) kalah, dirampas musuh; (8) tidak lulus; (9) tidak tahan lagi; dan (10) menjadi sakit (miskin dan sebagainya) (Chaer, 2003:283).

Konsep umum bahwa polisemi merupakan masalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu, sebetulnya kurang tepat, sebab substansinya tidak menyangkut masalah leksikal. Makna pertama kata kepala dan makna pertama kata jatuh yang tercatat dalam kamus besar bahasa Indonesia memang makna leksikal atau makna denotatif dari kata kepala dan kata jatuh itu. Namun, makna-makna berikutnya tidak bisa dipahami tanpa konteks sintaksisnya, baik dalam satuan frase maupun satuan kalimat. Makna „pemimpin‟, „ketua‟ sebagai makna kelima dalam kamus besar itu baru bisa dipahami atau dimengerti kalau kata

kepala itu berada dalam frase seperti kepala kantor, kepala sekolah dan kepala keluarga. Tanpa konteksnya dalam frase seperti itu kata kepala hanyalah memiliki

(11)

makna leksikalnya. Begitupun makna menjadi sebagai makna kesepuluh dari kata jatuh yang tercatat dalam kamus besar itu baru bisa dipahami kalau kata jatuh itu berada dalam konteks frase seperti jatuh cinta, jatuh miskin dan jatuh sakit. Tanpa konteks tentu kata jatuh itu hanya memiliki makna leksikalnya, yakni makna pertama yang tercatat dalam kamus besar itu.

Contoh : ٔ .                                          

/`ulā‟ika „alaihim ṣalawātun mmin rrabbihim waraḥmatun wa `ulā`ika humu al-muhtadūna/ “mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat

dari tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. 2:157) ٕ .                                

/ḥāfiẓū „alā aṣ-ṣalawāti wa aṣ-ṣalāti al-wusṭā wa qūmū lillahi qānitīna/

“peliharalah segala salatmu dan peliharalah salat wustha berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu`” (Qs. 2:238)

ٖ .                                                         

/Wa mina al-`a„rābi man yu`minu bi allahi wa al-yaumi al-`ākhiri wa yattakhiżu māyunfiqu qurubātin „inda allahi wa ṣalawāti ar-rasūli, `alā `innahā qurbatun lahum, sayudkḣiluhumu allahu fī raḥmatihi, inna allaha gafurun rohīmun/ "di

antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa rasul. ketahuilah, Sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). kelak Allah akan memasukan mereka

(12)

kedalam rahmat (surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. 9:99) ٗ .                                                                       

/allażīna `ukhrijū min diyārihim bigairi ḣaqqin `illā `an yaqūlū rabbunā allahu, wa laulā daf‟u allah an-nāsa ba„ḍahum biba„ḍin lahuddimat ṣawāmi„u wa biya„un wa ṣalawātun wa masājidu yużkaru fīhā `ismu allahi kaṡīran, wa layanṣuranna allah man yanṣuruhu, inna allaha laqawiyyun „azizun. “(yaitu)

orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa," (Qs. 22:40) Pada ayat-ayat Alquran di atas terdapat kata ةىلص /ṣalātun/ yang mengalami proses gramatikal, yaitu gramatikal kepolisemian. Proses gramatikal kepolisemian di sini adalah terdapatnya banyak makna pada satu kata yaitu pada kata ىَل ت َص /ṣalawātun/ yang memiliki 4 makna yaitu: ‘keberkatan’, ‘doa’, ‘segala

salatmu’, dan ‘rumah-rumah ibadat orang yahudi’ dikarenakan proses

pemfrasean atau proses pengalimatan.

Untuk mengetahui proses gramatikal lainnya perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam terkait makna kata ةىلص /ṣalātun/ dalam Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama RI.

2.3.3 Makna Kontekstual

Untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks dari terjadinya ujaran itu, atau tempat terjadinya ujaran itu. Konteks ujaran ini

(13)

dapat berupa konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran atau juga situasi ujaran. (Chaer, 2003:285)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan sukrosa, ammonium sulfat (ZA), dan asam alami (belimbing wuluh dan jeruk) terhadap tekstur dan

1 Aceh Barat 2 Aceh Barat Daya 3 Aceh Besar 4 Aceh Jaya 5 Aceh Selatan 6 Aceh Singkil 7 Aceh Tamiang 8 Aceh Tengah 9 Aceh Tenggara 9 Aceh Tenggara 10 Aceh Timur 11 Aceh Utara 12

mengklasifikasikan kalimat opini berbahasa Inggris dan berbahasa Indonesia pada data tersebut di atas sebagai opini positif atau opini negatif berdasarkan isinya dengan

Gejala komodifikasi atas jilbab ini membuat perempuan yang mengenakan jilbab tidak selalu berhasil membangun klaim heroik bahwa jilbab yang dikenakannya adalah

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama melalui sumber yang berbeda, dalam hal ini sumber datanya adalah yaitu manajer cabang,

Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Walikota..

Makhluk hidup dari faktor abiotik pada suatu lingkungan merupakan satu kesatuan yang disebut

“ada nak, masyarakat setempat jika sakit beliau tak segera dibawa kerumah sakit, melainkan melihat kendi itu terlebih dahulu, jika kendi tersebut berisi air maka masyarakat yang