Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... -
HALAMAN PENGESAHAN ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR BAGAN ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 13
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 14
1. Variabel Penelitian ... 14
2. Definisi Operasional ... 15
D. Tujuan Penelitian ... 17
E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ... 17
BAB II LANDASAN TEORETIS ... 20
A. Penelitian Terdahulu ... 20
B. Konsep Dasar Belajar ... 25
1. Pengajaran dan Pembelajaran ... 25
2. Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme ... 29
3. Metode Pembelajaran ... 35
C. Multimedia Interaktif Sebagai Media Pembelajaran ... 39
1. Teknologi Pembelajaran ... 40
2. Pengertian Media Pembelajaran ... 41
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
4. Multimedia Interaktif ... 45
5. Prosedur Pengembangan Multimedia Interaktif ... 48
D. Teori Karawitan Sunda Gamelan Pelog Salendro ... 50
1. Sejarah dan Perkembangan Gamelan Pelog Salendro ... 51
2. Fungsi Penyajian Gamelan Pelog Salendro ... 52
3. Instrumentasi dalam Gamelan Pelog Salendro ... 53
4. Titi Laras pada Gamelan Pelog Salendro ... 62
BAB III METODE PENELITIAN ... 65
A. Metode Penelitian ... 65
B. Prosedur Penelitian dan Pengembangan (R&D) ... 66
C. Langkah Pengembangan Multimedia Interaktif Gamelan Pelog Salendro ... 70
B. Tahapan Pembuatan Media Pembelajaran Gamelan Pelog Salendro Berbasis Multimedia Interaktif ... 87
1. Standar Pengembangan Media Pembelajaran Multimedia Interaktif Berbasis Teknologi ... 87
2. Analisis Kebutuhan Data (Analysis Data Requirement) ... 109
3. Perencanaan (Planning) ... 112
4. Implementasi atau Koding (Programming) ... 115
5. Uji Coba Awal (Early Trials) ... 116
6. Pemeriksaan Akhir (final checking) ... 117
D. Implementasi Media Pembelajaran Gamelan Pelog Salendro Berbasis Multimedia Interaktif ... 118
1. Pertemuan Ke-1 ... 120
2. Pertemuan Ke-2 ... 126
3. Pertemuan Ke-3 ... 129
4. Pertemuan Ke-4 ... 134
E. Validasi Pengembangan Media Pembelajaran Gamelan Pelog Salendro Berbasis Multimedia Interaktif ... 138
1. Validasi Media ... 138
2. Validasi Materi ... 142
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 161
A. Kesimpulan ... 161
B. Rekomendasi ... 163
DAFTAR PUSTAKA ... 166
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar Keterangan Gambar Halaman
2.1
Posisi Tinggi Rendah Titi LarasDaminatila
Posisi Titik Yang Menunjuk Pada Tinggi Rendahnya Nada “La”
Visualisasi Menu Pilihan Waditra Dalam Membuat Karya Visualisasi Blank Sheet Dalam Membuat Karya
Aplikasi Menu “Apresiasi” dan “Kreasi”
Visualisasi Pengenalan Waditra Gamelan Pelog Salendro Melalui Aplikasi Multimedia Interaktif
Contoh Foto Waditra Sebelum dan Sesudah Diolah
Visualisasi Waditra Demung Beserta Informasi Yang Melingkupinya
Tampilan Awal Software yang Berupa Desain Visual Visualisasi Pembelajaran Waditra Saron Dalam Multimedia
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012 4.9
4.10 4.11
Interaktif
Visualisasi Not Angka Dalam Latihan Menabuh Gamelan Visualisasi Not Angka Pola Dasar Tabuhan Nada 5 (La) Visualisasi Not Angka Pola Dasar Tabuhan Nada 3 (Na)
124
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel Keterangan Tabel Halaman
1.1
Kategorisasi Tingkat Ketuntasan Belajar Klasikal Kategorisasi Daya Serap Klasikal
Kelebihan dan Kelemahan yang Dimiliki SMU Negeri 27 Bandung
Pemetaan Pembelajaran Pertemuan Ke-1
Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Ke-1 Pemetaan Pembelajaran Pertemuan Ke-2
Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Ke-2 Pemetaan Pembelajaran Pertemuan Ke-3
Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Ke-3 Pemetaan Pembelajaran Pertemuan Ke-4
Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Ke-4 Validasi dan Revisi Multimedia Interaktif
Rekapitulasi Nilai Hasil Games Evaluasi dan Teka-Teki Model 1
Rekapitulasi Nilai Hasil Games Evaluasi dan Teka-Teki Model 2 dan 3
Rekapitulasi Hasil Uji Coba Untuk Tiap Model Nilai Rata-Rata Hasil Uji Coba Secara Keseluruhan Data Pre-Test dan Post-Test Model 1
Data Pre-Test dan Post-Test Model 2 dan Model 3
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
DAFTAR BAGAN
Bagan Keterangan Bagan Halaman
1.1
2.1
3.1
3.2
4.1
4.2 4.3
Kedudukan Media Pembelajaran Pada Proses Belajar Mengajar
Implementasi Pembelajaran Gamelan Pelog Salendro Melalui Multimedia Interaktif
Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan Menurut Sugiyono
Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan yang Diterapkan
Diagram Flow Chart Multimedia Interaktif Gamelan Pelog Salendro
Grafik Hasil Uji Coba Untuk Tiap Model Grafik Hasil Uji Coba Pre-Test dan Post-Test
15
36
68
75
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Keterangan Lampiran Halaman
1 Form Contents Expert Judgement Form Contents Expert Judgement
Lembar Observasi
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Media merupakan benda atau alat yang mempunyai fungsi menyampaikan
sesuatu pesan tertentu. Pembelajaran adalah sebuah aktivitas, berupa proses
komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Peran media
pembelajaran adalah sebagai perantara dalam proses komunikasi antara bahan ajar
dan pengajar kepada pembelajar. Oleh sebab itu, media pembelajaran merupakan
aspek yang terintegral dalam proses belajar mengajar.
Materi belajar gamelan termuat dalam mata pelajaran Seni Budaya,
khususnya Seni Musik. Seni Musik tidak bisa dipelajarai hanya dengan
mendengarkan materi ceramah guru di depan kelas, ataupun melalui menonton
video dan mendengarkan audio saja. Pelajaran Seni Musik mutlak memerlukan
aktivitas aktif dari siswa, yaitu berinteraksi dengan alat-alat musik. Begitu halnya
dengan pelajaran gamelan, dibutuhkan alat atau media dalam proses
pengajarannya. Berikut ini kedudukan media pembelajaran dalam proses belajar
mengajar.
Bagan 1.1 Kedudukan Media Pembelajaran Pada Proses Belajar Mengajar Media
Pembelajaran
Pembelajar
(Siswa) Materi Ajar (Gamelan Pelog
Salendro)
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Idealnya mempelajari gamelan adalah dengan menghadapi alat musik
gamelan itu sendiri, sebagai media belajarnya. Namun demikian, tidak semua
sekolah mampu merealisasikan gamelan sebagai media belajar. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, paling tidak terdapat tiga kendala internal di sekolah
dalam proses belajar Seni Budaya, khususnya pelajaran gamelan Pelog Salendro,
antara lain: permasalahan fasilitas pendukung pembelajaran Seni Budaya di
sekolah, permasalahan ketersediaan guru Seni Budaya, dan permasalahan
kompetensi guru Seni Budaya.
Permasalahan pertama adalah kemampuan sekolah dalam mendukung dan
memfasilitasi pembelajaran Seni Budaya. Semua bidang seni membutuhkan
fasilitas pendukung yang saling berbeda, yaitu fasilitas sarana dan prasarana. Seni
tari membutuhkan ruang yang lapang, kostum perlengkapan menari, dan musik
iringan yang dimainkan baik oleh alat musik ataupun dimainkan melalui digital
audio. Seni rupa membutuhkan ruang dan perlengkapan kekaryaan untuk seni
lukis, seni kriya, seni patung, dan sebagainya. Seni teater membutuhkan ruang dan
perlengkapan untuk memperagakan gerakan olah tubuh, pikiran dan suara. Seni
Musik membutuhkan ruang studio memadai yang di dalamnya terdapat alat-alat
musik pendukung untuk kegiatan berapresiasi dan berkreasi, serta media
pembelajaran yang mendukung proses belajar mengajar. Kendati demikian tidak
semua sekolah mampu memfasilitasi sarana dan prasarana tersebut.
Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam kurikulum
tahun 2011, pembelajaran seni musik terbagi menjadi tiga, yaitu seni musik
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
ketiganya membutuhkan sarana dan prasarana yang berbeda-beda. Pembelajaran
seni musik mancanegara membutuhkan prasarana alat-alat musik Barat, misalnya
seperangkat alat band. Pembelajaran seni musik Nusantara dan seni musik daerah
setempat membutuhkan prasarana alat-alat musik tradisi lokal, misalnya
seperangkat gamelan. Namun demikian, fakta yang terjadi di lapangan, pihak
sekolah lebih memfasilitasi sarana dan prasarana untuk pembelajaran seni musik
mancanegara. Paling tidak terdapat tiga alasan utama difasilitasinya pembelajaran
seni musik mancanegara, yaitu karena alat-alat musiknya bisa dibeli dengan harga
relatif murah, mudah tersedia, dan mudah dibawa kemana-mana. Alat musik Barat
yang paling umum diajarkan dalam pembelajaran musik di sekolah-sekolah
adalah rekorder dan djembe. Baik rekorder maupun djembe merupakan alat musik
yang relatif murah harganya, mudah didapatkan di toko-toko musik dan toko
perlengkapan sekolah, serta mudah dibawa ke mana-mana karena ukurannya yang
kecil.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka gamelan sebagai alat atau media
pembelajar seni musik daerah setempat dan seni musik Nusantara menjadi tidak
diutamakan. Padahal, sebagai bangsa yang berbudaya hendaklah pengajaran seni
musik Nusantara sudah diajarkan di tingkat sekolah-sekolah formal. Gamelan
memang alat musik yang mahal harganya jika dibandingkan dengan rekorder.
Alat musik gamelan susah ditemui dan didapatkan baik di toko-toko musik
apalagi di toko perlengkapan sekolah. Umumnya pengerajin gamelan terletak di
luar kota Bandung. Secara ukuran, gamelan termasuk alat musik yang besar dan
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
yang tidak diajarkan oleh sekolah-sekolah tingkat menengah. Akibatnya, seni seni
musik Nusantara, khususnya gamelan Pelog Salendro semakin tidak dikenal oleh
siswa. Kekhawatiran yang muncul adalah siswa tidak mengenal Seni Budaya
sendiri dan akan semakin teralienasi terhadap identitas budayanya.
Kedua, permasalahan ketersediaan atau ketidaklengkapan guru Seni
Budaya. Seni Budaya merupakan salah satu dari keseluruhan mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh siswa. Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar, minimal diajarkan satu bidang seni sesuai dengan kemampuan sumber
daya manusia yang tersedia di sekolah. Pada sekolah yang memiliki guru Seni
Budaya lebih dari satu dengan latar belakang seni yang berbeda, maka mata
pelajaran Seni Budaya yang dapat diikuti oleh siswa juga akan lebih dari satu.
Dengan demikian, dapat dipetakan kondisi-kondisi ideal dan tidak ideal
pengajaran Seni Budaya pada sekolah sebagai berikut.
Kondisi Ideal I Dalam satu sekolah terdapat:
Guru seni musik mengajar seni musik Guru seni tari mengajar seni tari Guru seni rupa mengajar seni rupa Guru seni teater mengajar seni teater
Kondisi Ideal II Dalam satu sekolah hanya terdapat:
Satu guru seni musik mengajar seni musik saja Satu guru seni tari mengajar seni tari saja Satu guru seni rupa mengajar seni rupa saja Satu guru seni teater mengajar seni teater saja
Kondisi Tidak Ideal I
Dalam satu sekolah terdapat satu guru seni tertentu, namun memaksakan diri mengajarkan beberapa mata pelajaran seni.
Kondisi Tidak Ideal II
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Tabel 1.1 Pemetaan Kondisi Ideal dan Tidak Ideal Pengajaran Seni Budaya
Pada kondisi ideal I, setiap guru seni akan membidani mata pelajaran
seninya masing-masing. Jika masing-masing guru tersebut memiliki kemampuan
dan pengetahuan sesuai kompetensi, serta tuntas dalam pembelajaran, maka
kondisi ini yang paling ideal dalam proses belajar mengajar Seni Budaya. Pada
kondisi Ideal II, sekolah tidak memiliki jumlah guru seni yang komplit. Artinya
sekolah hanya memiliki satu, dua, atau tiga guru yang mengajar sesuai dengan
bidang seninya saja.
Pada kondisi tidak ideal I, sekolah memiliki satu guru seni tertentu, namun
memaksakan diri mengajarkan beberapa mata pelajaran seni. Seringkali seorang
guru dengan latar belakang pendidikan seni dianggap mampu untuk mengajarkan
semua bidang yang terkait dengan seni, yaitu seni musik, tari, rupa, dan teater.
Umumnya, seorang guru seni hanya dibekali oleh satu bidang seni saja ketika
menempuh pendidikan formal. Namun demikian, karena berada dalam lingkungan
seni, maka seorang guru tersebut setidaknya pernah bersentuhan dengan
bidang-bidang seni lainnya. Hal inilah yang membuat seorang guru seni memaksakan
dirinya untuk mengajarkan bidang seni lain diluar basis pendidikan formalnya.
Pada kondisi tidak ideal II, mata pelajaran seni tetap diajarkan walaupun sekolah
tidak memiliki guru dengan latar belakang pendidikan seni tertentu. Hal ini
umumnya terjadi pada guru yang mengajar mata pelajaran seni musik. Keberanian
guru non seni yang mengajar seni musik karena didasari oleh pengetahuan musik
yang didapatkan secara otodidak ataupun melaui kursus-kursus musik. Kedua
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
musik, yaitu materi pengajaran seni tidak tersampaikan dengan tuntas, karena
guru hanya akan mengajarkan materi yang diketahuinya saja, walaupun hanya di
permukaan.
Permasalahan ketiga adalah berkaitan dengan kompetensi guru Seni
Budaya. Seringkali mata pelajaran Seni Budaya disepelekan atau tidak
mendapatkan porsi dan perlakuan yang ideal dalam praktik pengajarannya. Seperti
pada permasalahan ketersediaan guru Seni Budaya di atas, khususnya pada
kondisi tidak ideal dalam pengajaran Seni Budaya. Pada kondisi tidak ideal I,
setiap guru seni memiliki bekal pendidikan seni tertentu, namun mereka mengajar
lebih dari satu mata pelajaran seni. Hal tersebut akan menimbulkan permasalahan
pada kompetensi dan ketuntasan materi ajar yang disampaikan. Terlebih lagi pada
kondisi tidak ideal II, yaitu guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan
seni, namun mengajar mata pelajaran seni. Seperti halnya mata pelajaran lain,
guru Seni Budaya hendaklah memiliki kompetensi mengajar dalam bidang seni.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
guru dan dosen dijelaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau
dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Artinya, seorang guru seni
haruslah memiliki kemampuan dalam melaksanakan dan menjalankan tugas-tugas
keprofesiannya sesuai dengan bidang pendidikan seni tertentu secara spesifik.
Untuk hal yang lebih spesifik, tidak semua guru seni musik memiliki
keluasan dan kedalaman di wilayah materi ajar seninya. Misalnya, seorang guru
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Nusantara lainnya. Pada akhirnya, guru tidak akan mengajarkan seni Nusantara
kepada siswanya. Jikapun seni Nusantara diajarkan pada mata pelajaran seni
musik, maka materi ajarnya hanya akan berbicara pada pengenalan-pengenalan
secara umum saja. Hal tersebut akan berdampak pada aspek ketuntasan materi ajar
seni musik menjadi tidak rampung atau tidak mendalam tersampaikan kepada
peserta didik.
Berbicara tentang gamelan, nama-nama dan jenis gamelan dapat
dikelompokkan berdasarkan berbagai aspek, antara lain aspek wilayah budaya,
aspek identitas nama, fungsi dan kegunaan, serta aspek laras yang digunakan.
Nama-nama gamelan berdasarkan kepada aspek wilayah budaya dapat dilihat dari
sudut pandang sebaran gamelan di daerah-daerah di Indonesia. Munculnya
nama-nama wilayah budaya yang menyertai kata gamelan seperti gamelan Sunda,
gamelan Jawa, gamelan Bali, gamelan Minang, dan nama-nama lain yang
menunjukkan identitas wilayah budaya pemiliknya. Nama-nama gamelan
berdasarkan laras yang digunakan terutama terdapat di daerah Sunda dan Jawa.
Nama-nama gamelan seperti gamelan Salendro, gamelan Pelog, dan gamelan
Degung merupakan penamaan gamelan berdasarkan larasnya. Bahkan akhir-akhir
ini di daerah Sunda muncul nama gamelan yang disebut dengan gamelan selap,
yaitu jenis gamelan yang memiliki beragam laras atau gamelan multilatas.
Terdapat tiga laras dari gamelan selap, diantaranya laras Salendro, laras Pelog,
dan laras Madenda (wawancara Dody Satya Ekagusdiman, April 2012).
Nama-nama gamelan dapat pula dikelompokkan berdasarkan fungsi
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
penyajiannya tidak dipengaruhi oleh wilayah budaya dan laras yang digunakan.
Pengelompokan gamelan berdasarkan fungsi penyajiannya didasari oleh aspek
konsep estetika memainkannya. Pengelompokan berdasarkan fungsi penyajiannya
misalnya, di daerah Sunda dan Jawa terdapat gamelan wayang, gamelan kliningan
(klenengan), dan gamelan tari.
Di samping itu, terdapat pula kelompok gamelan yang memiliki identitas
nama khusus yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Di Sumatera Barat,
yaitu wilayah budaya Minangkabau, terdapat gamelan yang disebut dengan nama
talempong. Di Sunda, terdapat gamelan ajéng yang lazim pula disebut dengan
nama gamelan koromong, dan gamelan rénténg. Di wilayah budaya Betawi
terdapat gambang kromong. Di Jawa terdapat gamelan monggang, gamelan
skaten, gamelan ageng, dan gamelan kodok ngorék. Di Bali terdapat gamelan
gong kebyar, gamelan gong gede, dan gamelan wayangan.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa perangkat gamelan Sunda
diantaranya adalah gamelan ajéng atau gamelan koromong, gamelan goong
rénténg, gamelan degung, dan gamelan Pelog Salendro. Perangkat gamelan
tersebut hidup dalam masyarakat Sunda dalam konteks upacara ritual, kegiatan
berkesenian, dan dalam lingkup pendidikan di instansi atau sekolah. Menurut
Suparli (2010: 14) gamelan Pelog Salendro merupakan induk dari konsep-konsep
penyajian karawitan Sunda, selain itu gamelan Pelog Salendro cukup luwes untuk
disajikan dalam berbagai kepentingan pertunjukan. Beberapa tatanan kesenian
Sunda yang menggunakan gamelan Pelog Salendro misalnya pada perangkat
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
seperti longser, topeng banjet, perangkat iringan tari seperti jaipongan, dan lain
sebagainya.
Jika di Jawa gamelan turut dilestarikan oleh pihak keraton, maka hal ini
tidak terjadi di Sunda. Budaya keraton tidak hidup di Sunda seperti halnya di
Jawa, oleh sebab itu pelestarian dan perkembangan gamelan di Sunda sangat
bergantung pada masyarakat pelaku seni dan dunia instansi akademis. Masyarakat
pelaku seni Sunda hingga kini masih menunjukkan eksistensinya dalam
melestarikan gamelan Pelog Salendro. Namun demikian, untuk dunia akademis
hingga kini belum ada langkah-langkah konservasi yang kongkrit terhadap
gamelan Pelog Salendro, baik dalam bentuk inventarisasi dan pendokumentasian
gamelan secara lengkap, maupun dalam pembelajaran di sekolah. Ditinjau dari
kebutuhan tersebut, nampaknya cukup mendesak untuk mencari solusi yang
inovatif terhadap kebutuhan pembelajaran gamelan, khususnya gamelan Pelog
Salendro di sekolah-sekolah menengah umum.
Pembelajaran gamelan Pelog Salendro di sekolah menengah umum hanya
sebatas pengenalan-pengenalan di permukaan saja melalui metode ceramah dan
menghafal. Siswa hanya disuruh menghafal nama-nama waditra dalam gamelan.
Akibatnya, pengetahuan berdasarkan hafalan akan terlupakan saat siswa lulus dari
sekolah menengah. Seperti yang telah dijelaskan di atas, faktor ketersediaan
sarana dan prasarana menjadi penghambat utama tidak tersampaikannya materi
belajar gamelan secara tuntas dalam pembelajaran. Persoalan ini juga telah
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Pelajaran tentang seni tradisi di sekolah hanya terjadi dalam rangka “muatan lokal”, namun tetap dalam porsi yang sangat minim. Sekali lagi, tersedianya materi
atau bahan pelajaran serta petunjuk-petunjuk tentang cara penerapannya pun kurang memadai ... Kebanyakan pelajaran tentang seni tradisi yang masih direduksi pada hafalan istilah-istilah alat dan lain sebagainya. Pengalaman praktis tentang unsur-unsur musik dapat dikatakan tidak ada.
Selanjutnya porsi yang minim pada pengajaran mata pelajaran Seni Budaya,
yaitu 2x45 menit per minggu, seharusnya bukan menjadi alasan untuk tidak
menyediakan materi ajar gamelan. Minimnya porsi waktu pengajaran tersebut
seringkali disiasati dengan menggunakan metode-metode konvensional seperti
ceramah dan tanya jawab, serta tes akhir (ulangan) yang hanya menonjolkan pada
hafal-hafalan saja. Seperti diutarakan Tisnasomantri (1992:3) bahwa para guru
kesenian dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) kesenian terlalu menekankan
kepada hafalan saja, sedangkan hal-hal yang bersifat apresiasi dan keterampilan
kurang diperhatikan.
Faktor multi tafsir dan kebebasan guru dalam menerapkan
keterangan-keterangan yang tertuang dalam SKKD Kurikulum Seni Budaya tersebut juga
menjadi persoalan tersendiri. Bagaimana membedakan seni musik tradisi daerah
setempat dengan seni musik Nusantara, serta ditingkat mana diterapkannya,
menjadi ranah abu-abu dalam pelaksanaannya. Dieter Mack (2000:148)
menegaskan hal tersebut sebagai ketidakberanian guru dalam mengajarkan materi
(materi gamelan misalnya), karena materi tersebut tidak tercantum secara tertulis,
baik di tingkat kurikulum maupun di tingkat SKKD.
Proses belajar mengajar pada hakekatnya merupakan proses komunikasi
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
bahwa dibutuhkan alat atau media yang mampu menjadi penghantar dalam proses
komunikasi tersebut. Artinya, komunikasi tidak akan berjalan dengan baik tanpa
bantuan sarana penyampai pesan, yaitu alat atau media. Pembelajaran gamelan,
khususnya gamelan Pelog Salendro secara ideal memang dilakukan dengan cara
menghadapi wujud alat musik itu sendiri sebagai media belajar dan didukung
materi-materi pembelajarannya. Kendati demikian, seperti yang telah disebutkan
di atas, bahwa faktor harga dan faktor ruangan yang memadai untuk praktik
gamelan, susah untuk direalisasikan di tiap sekolah menengah umum. Salah satu
solusi yang bisa ditempuh untuk mengajarkan gamelan Pelog Salendro adalah
melalui pengembangan media pembelajaran berbasis piranti lunak (software).
Roger S. Pressman (2002:10) memaparkan bahwa piranti lunak atau
software adalah perintah dalam program komputer yang bila dieksekusi akan
memberikan fungsi dan unjuk kerja seperti yang diinginkan. Selanjutnya,
Daryanto (2010: 7) menegaskan bahwa media pembelajaran merupakan
komponen yang terintegral dari sistem pembelajaran. Media pembelajaran
dikondisikan agar mampu mendorong kreativitas anak secara keseluruhan,
membuat siswa aktif, mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan
berlangsung dalam kondisi menyenangkan.
Berdasarkan dua paparan di atas, dibutuhkan kreativitas guru dalam
mengembangkan media pembelajaran untuk mata pelajaran gamelan Pelog
Salendro. Dengan perkembangan teknologi yang makin canggih, maka
pembelajaran gamelan Pelog Salendro bisa difasilitasi melalui piranti lunak.
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
kesenangannya terhadap teknologi. Dengan kata lain, guru dapat memanfaatkan
dan memberdayakan teknologi untuk mewujudkan perilaku belajar yang efektif
dan meningkatkan motivasi siswa terhadap pembelajaran seni musik, khususnya
gamelan Pelog Salendro.
Pembelajaran gamelan memerlukan partisipasi aktif bagi guru dan siswa.
Seorang guru perlu memperkenalkan lingkungan atau kultur budaya masyarakat
lokal, sehingga dapat menumbuhkan identitas dan daya tarik siswa terhadap
budayanya. Namun dalam praktiknya, keterbatasan pengetahuan guru, baik secara
materi bahan ajar, metode atau strategi pembelajaran membuat pembelajaran
gamelan menjadi monoton atau membosankan. Akibatnya siswa tidak aktif dan
kurang motivasi dalam proses belajar mengajar. Salah satu model atau pendekatan
pembelajaran yang sesuai untuk mempelajari gamelan Pelog Salendro melalui
media pembelajaran adalah pendekatan Science Technology and Society (STS).
Melalui pendekatan pembelajaran STS, nilai-nilai budaya lokal (Nusantara)
mampu dielaborasikan dengan perkembangan teknologi kekinian. Seperti yang
dikemukakan oleh National Science Teachers Association (NSTA) dalam Pradeep
M. Dass (2005: 96) sebagai berikut.
The bottom line in STS is the involvement of learners in experiences and issues which are directly related to their lives. STS develops students with skills which allow them to become active, responsible citizens by responding to issues which impact their lives. The experience of science education through STS strategies will create a scientifically literate citizenry for the twenty-first century.
Pendekatan pembelajaran STS tersebut melibatkan peserta didik dalam
pengalaman musikalnya yang berhubungan langsung dengan kehidupan bermusik
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
mengembangkan keterampilannya. Peserta didik akan mendapatkan pengalaman
dan berhadapan langsung dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan
kehidupan mereka. Pendekatan pembelajaran STS memadukan pengalaman
pendidikan siswa dengan kemajuan teknologi. Artinya, mempelajari gamelan
Pelog Salendro bisa dilakukan melalui media pembelajaran berbasis teknologi,
yaitu piranti lunak atau software.
Inovasi teknologi berpengaruh pada masyarakat dan budayanya. Tinggal
bagaimana para pendidik menanggapi hal ini sebagai sebuah program
interdisipliner yang muncul dari pertemuan disiplin ilmu seni musik, khususnya
gamelan dengan perkembangan teknologi. Inovasi di bidang teknologi pendidikan
khususnya program multimedia, dirasa mampu merangsang dan membangkitkan
garirah siswa untuk mempelajari gamelan Pelog Salendro. Berdasarkan paparan di
atas, maka penelitian ini akan diberi judul “Pembelajaran Gamelan Pelog
Salendro Berbasis Multimedia Interaktif Untuk Sekolah Menengah Umum”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan
permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran gamelan antara lain:
1. Permasalahan mengatasi sarana dan prasarana pendukung pembelajaran
gamelan Pelog Salendro, baik berupa alat musik maupun ruang praktik
bermusik.
2. Permasalahan ketersediaan guru Seni Budaya, khususnya seni musik yang
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
3. Permasalahan kompetensi guru seni musik yang mengerti dan memahami
ketuntasan pembelajaran gamelan Pelog Salendro.
4. Permasalahan tentang kurangnya materi ajar gamelan Pelog Salendro di
sekolah menengah umum, sehingga menghambat pembelajaran tentang
gamelan.
Selanjutnya penelitian ini akan lebih difokuskan kepada pengembangan
media pembelajaran pendidikan seni musik berbasis multimedia interaktif,
khususnya untuk gamelan Pelog Salendro. Oleh karena itu untuk menjawab
identifikasi masalah di atas, maka diperlukan rumusan dalam bentuk pertanyaan
penelitian diantaranya:
1. Bagaimanakah bentuk media pembelajaran gamelan Pelog Salendro berbasis
multimedia interaktif?
2. Bagaimanakah implementasi media pembelajaran gamelan Pelog Salendro
berbasis multimedia interaktif?
3. Bagaimanakah validasi hasil pembelajaran melalui media pembelajaran
gamelan Pelog Salendro berbasis multimedia interaktif?
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Berdasarkan judul penelitian dan latar belakang masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat dibagi dalam beberapa variabel yang dijadikan
landasan penelitian, diantaranya adalah:
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012 b. Gamelan Pelog Salendro
c. Multimedia Interaktif
d. Metode Pembelajaran
2. Definisi Operasional
Dari variabel-variabel penelitian di atas, maka akan dibatasi pada beberapa
istilah dalam bentuk definisi operasional, antara lain:
a. Media Pembelajaran
Secara harfiah media adalah perantara atau pengantar. Pengertian umumnya
adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber
informasi kepada penerima informasi. Selanjutnya, pembelajaran berkaitan
dengan proses memperoleh, menerapkannya, dan mengembangkan
pengetahuan peserta didik, serta membuatnya untuk terus belajar (Clouston
2010: 174). Dengan demikian, media pembelajaran merupakan perantara atau
pengantar informasi, untuk selanjutnya diproses, diterapkan, dan
dikembangkan oleh peserta didik. Sanaky (2009:4) mempertegas media
pembelajaran sebagai bagian dari proses pendidikan yang mampu
menstimulasi peserta didik untuk terus belajar, mempertinggi efektifitas dan
efisiensi dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran.
b. Gamelan Pelog Salendro
Pada dasarnya gamelan Pelog Salendro bukan saja dikarenakan laras yang
digunakan adalah laras Pelog dan laras Salendro, melainkan dikarenakan
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
pada suatu pertunjukan gamelan yang digunakan hanya gamelan laras
Salendro, tetap saja gamelan yang digunakan tersebut disebut gamelan Pelog
Selendro (Suparli 2010:19). Artinya Pelog Salendro dalam hal ini berfungsi
sebagai nama.
c. Multimedia Interaktif
Secara etimologis multimedia berasal dari kata multi (Bahasa Latin, nouns)
yang berarti banyak, bermacam-macam, dan medio atau medium (Bahasa
Latin) yang berarti sesuatu yang dipakai untuk menyampaikan atau membawa
sesuatu. Berikutnya, interaksi bersifat saling melakukan aksi, antar-hubungan,
ataupun saling aktif. Green & Brown (2002: 2-6) mendefinisikan multimedia
interaktif sebagai penggabungan dan pensinergian semua media yang terdiri
dari teks, grafik, audio, dan interaktivitas. Artinya, bila pengguna
mendapatkan keleluasaan dalam mengontrol multimedia tersebut, baik berupa
navigasi, kreasi, dan komunikasi, maka hal ini disebut multimedia interaktif.
d. Metode Pembelajaran
Metode menurut Djamaluddin (1999: 114) berasal dari kata meta yang berarti
melalui, dan hodos yang berarti jalan. Jadi, metode adalah jalan yang harus
dilalui dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1999: 767), metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai suatu maksud. Pada konteks pembelajaran, metode
merupakan sistem yang ditempuh untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012 D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, maka penelitian
ini juga bertujuan untuk:
1. Mengembangkan bentuk media pembelajaran gamelan Pelog Salendro
berbasis multimedia interaktif.
2. Mengetahui implementasi media pembelajaran gamelan Pelog Salendro
berbasis multimedia interaktif.
3. Memvalidasi hasil pembelajaran melalui media pembelajaran gamelan Pelog
Salendro berbasis multimedia interaktif.
E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi dari penelitian ini adalah merealisasikan paradigma baru
pembelajaran seni, yaitu pembelajaran yang berfokus kepada aktivitas siswa dan
pembelajaran yang inovatif. Dengan jalan menganalisis dan mengkaji teori-teori
dan pengalaman emprik dari pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya,
diharapkan dapat dikembangkan bahan ajar berbasis multimedia interaktif seni
musik Nusantara. Hal ini dirasa tepat sasaran, melihat perkembangan teknologi
yang sangat pesat dan sangat diminati semua kalangan.
Adapun manfaat penelitian ditujukan bagi:
1. Peneliti
Penelitian yang dilakukan merupakan wujud pengalaman yang sangat berharga
dan merupakan salah satu upaya untuk membantu menambah khasanah
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
interaktif. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi
peneliti dalam mengembangkan media pembelajaran berbasis multimedia
interaktif untuk jenis kesenian musik Nusantara yang lainnya.
2. Objek yang diteliti
Penelitian pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif
ini merupakan wujud dedikasi pada dunia pendidikan. Media pembelajaran ini
diharapkan bisa menjadi sumbangsih dalam meningkatkan mutu pendidikan
musik Nusantara dalam mata pelajaran Seni Budaya.
3. Guru dan Seniman
Paradigma pengajaran konvensional adalah menempatkan guru sebagai pusat
instruksi. Untuk itu, pengembangan multimedia interaktif ini dapat
dimanfaatkan oleh para guru seni menuju pembelajaran yang berfokus pada
aktivitas siswa yang efektif dan efisien, sehingga kekayaan musik Nusantara di
Indonesia akan tetap terpelihara di tingkat institusi. Begitu juga, bagi seniman,
media pembelajaran berbasis multimedia interaktif ini dapat menjadi solusi
pendokumentasian dan pelestarian seni musik Nusantara, khususnya gamelan
Pelog Salendro.
4. Lembaga Pendidikan
Bagi lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal; baik dari
tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi, pembelajaran musik Nusantara
khususnya gamelan selalu terhambat oleh fasilitas (gamelan) yang tidak
tersedia. Hasil dari penelitian ini adalah produk yang berupa media
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
diharapkan dapat menjadi bahan acuan pembelajaran berbasis multimedia
interaktif bagi lembaga pendidikan. Dengan demikian seni musik Nusantara
lebih menarik untuk dipelajari dan dipahami.
5. Instansi lain
Penelitian ini adalah salah satu upaya dalam membantu pemerintah atau
instansi terkait lain dalam mendokumentasikan seni musik Nusantara,
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang pengembangan media pembelajaran gamelan dalam
bentuk multimedia banyak mendapatkan perhatian peneliti di dunia pendidikan.
Andreas Mangunsong, seorang mahasiswa Pascasarjana UPI angkatan 2008
dalam tesisnya membicarakan tentang pengembangan multimedia interaktif
sebagai media pembelajaran. Judul yang diangkat dalam tesisnya adalah
“Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Bonang Slendro dalam Rangka
Meningkatkan Minat Siswa dalam Kesenian Tradisional”. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and
Development). Produk yang dihasilkan adalah media pembelajaran berbasis
piranti lunak untuk instrumen bonang slendro. Media pembelajaran tersebut diuji
cobakan secara terbatas pada anak usia 6 sampai 15 tahun. Uji coba terbatas
diselenggarakan di Sanggar Musik Kruisnode, Bandung. Manfaat yang diperoleh
peneliti dari hasil penelitian Andreas Mangunsong adalah mengetahui prosedur
pengembangan media pembelajaran interaktif melalui metode penelitian dan
pengembangan (R & D).
Pengembangan yang dilakukan oleh Andreas Mangunsong tersebut hanya
menitikberatkan pada waditra Bonang Salendro saja. Perbedaan pengembangan
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Sunda, khususnya gamelan Pelog Salendro dengan penambahan menu kreasi dan
permainan (games). Menu kreasi memungkinkan pengguna gamelan multimedia
interaktif untuk mengasah kreativitas dengan jalan mengungkapkan ide-ide
musikalnya ke dalam komposisi musik. Pada tahap ini pengguna gamelan
multimedia interaktif secara tidak langsung akan mengalami pembentukan
sensitivitas dan kompetensi musikal karawitan Sunda. Pada menu permainan,
secara tidak langsung pengguna gamelan multimedia interaktif akan merasa
bahwa bermain gamelan itu menyenangkan. Mereka seolah sedang „bermain
-main‟, namun tanpa disadari pengguna akan belajar mengenali, memahami,
melatih kepekaan, dan berkemampuan untuk menikmati estetika musikal karya
musik gamelan Pelog Salendro.
Peneliti lain yang membicarakan tentang media pembelajaran adalah Dedi
Hernawan (2005) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Karawitan Sunda.
Produk akhir dari penelitiannya adalah buku pembelajaran karawitan Sunda yang
dilengkapi media audio. Model yang ditawarkan dalam buku tersebut adalah
praktik kegiatan imitasi gending dengan vokal atau medium lingkungan sekitar
dan mengapresiasi serta menganalisis karya yang tersedia dalam media audio
tersebut. Tawaran dari penelitian ini adalah mengajak peserta didik untuk
mengenali sejumlah fenomena musikal (karawitan Sunda) dengan cara
mendengarkan contoh-contoh konkret, agar terbangun sensitivitas musikalnya.
Manfaat yang diperoleh peneliti dari buku pembelajaran karawitan Sunda hasil
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
dalam mempelajarai karawaitan Sunda dan mengetahui aplikasi penerapan media
pembelajaran yang ditawarkan di buku tersebut.
Media pembelajaran yang dikembangkan oleh Dedi Hernawan berupa CD
audio, sehingga tidak ada interaksi aktif dari siswa dalam memainkan waditra
gamelan. Perbedaan penelitian yang dikembangkan peneliti dengan Dedi
Hernawan adalah aspek interaktif yang disajikan dalam media pembelajaran.
Media pembelajaran yang dikembangkan peneliti mampu membuat siswa aktif
berinteraksi, dalam bentuk memainkan waditra gamelan dan membuat
karya-karya untuk gamelan, khususnya gamelan Pelog Salendro.
Catherine Basset (2003) bersama tim penelitinya mengembangkan gamelan
interaktif berbasis piranti lunak. Hasil penelitiannya adalah sebuah software yang
diberi nama Gamelan Mécanique (gamelan mekanik). Produk Gamelan
Mécanique memfokuskan pada pengenalan gamelan Jawa, Sunda, dan Bali.
Hal-hal yang ditawarkan dalam software tersebut adalah pengenalan instrumentasi dari
gamelan dan apresiasi lagu dengan jalan membandingkan antara gamelan Jawa,
Bali, dan Sunda. Catherine Basset adalah peneliti dari Perancis, oleh karena itu
software yang dikembangkan menggunakan bahasa Perancis. Banyak terdapat
idiom-idiom dasar dalam gamelan yang tidak diinformasikan dengan jelas,
misalnya penggunaan dan penamaan laras (termasuk di dalamnya penotasian),
penamaan waditra, dan aspek bentuk serta pola menabuh gamelan.
Perbedaan software yang dikembangkan oleh Catherine Basset dengan
software yang dikembangkan oleh penelitian ini mencakup beberapa aspek, antara
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
mengembangkan semua jenis gamelan yang ada di Indonesia, yaitu Gamelan
Jawa, Sunda, dan Bali. Kendati demikian, software yang dikembangkanya tidak
mencakup detail tentang gamelan tersebut. Sebagai contoh, dalam software
tersebut tidak diinformasikan laras yang digunakan, termasuk di dalamnya
penamaan dari laras pada Gamelan Jawa, Bali, maupun Sunda yang
masing-masing tentu saja berbeda. Oleh karena laras dalam gamelan tidak disebutkan,
maka teknik penotasiannya pun terlewat untuk disampaikan. Hal detail
selanjutnya yang tidak tercakup dengan baik adalah masalah penamaan waditra.
Pada Gamelan Sunda, secara fisik waditra saron terdiri dari tiga waditra, yaitu
peking, saron, dan demung. Namun demikian, pada gamelan yang dikembangkan
oleh Catherine, ketiga waditra saron tersebut justru disatukan secara fisik
waditra-nya. Penyatuan waditra yang dimaksud misalnya bunyi peking bisa
dibunyikan pada saron. Artinya waditra peking dan saron bersatu secara fisik.
Permasalahan tekstual musik juga tidak dikenalkan, yaitu aspek bentuk serta pola
menabuh gamelan pada tiap waditra-nya. Dalam hal apresiasi, Gamelan
Mecanique lebih ditujukan pada apresiasi, sehingga aspek kreasi tidak terfasilitasi
dalam software tersebut.
Tim peneliti selanjutnya yang juga menggagas pengembangan media
pembelajaran musik Nusantara adalah tim P4ST UPI. Diantara buku yang dirilis
yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Topeng Cirebon (2003) dan Gamelan
Bali (2006). Produk yang dihasilkan adalah buku paket buku pembelajaran. Pada
paket tersebut berisi buku I yang memaparkan kajian teoretis dan kontekstual seni
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
pembelajarannya, dan paket media pembelajaran audio dan visual (CD musik,
VCD dan DVD), serta kartu pos (postcard) yang menjadi alternatif dalam
menunjang keberhasilan proses belajar mengajar pendidikan seni di sekolah.
Kedua buku yang dikembangkan oleh tim P4ST UPI tersebut sangat
lengkap, khususnya dalam hal metodologi pengajaran dan materi ajar. Aspek
media pembelajaran yang dikembangkan berupa CD audio, VCD, dan kartu pos
bergambar. Perbedaan media pembelajaran yang dikembangkan oleh penelitian ini
adalah jenis media pembelajaran. Pada penelitian ini, data audio dan gambar
disajikan dalam satu media pembelajaran secara interaktif.
Berikut ini penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan.
No. Peneliti Judul Tahun Hasil Penelitian Pengguna
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Berdasarkan uraian penelitian-penelitian terdahulu mengenai pengembangan
media pembelajaran mata pelajaran seni Nusantara di atas, maka dapat dilihat
penelitian yang dilakukan masih orisinil. Disebut orisinil karena belum ada
peneliti-peneliti terdahulu yang mengembangkan media pembelajaran berbasis
multimedia interaktif untuk Gamelan Pelog Salendro dalam Karawitan Sunda.
B. Konsep Dasar Belajar
1. Pengajaran dan Pembelajaran
Paradigma baru dalam dunia pendidikan adalah adanya pergeseran dari
paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Suyono (2011: 2-3)
memaparkan definisi keduanya sebagai berikut: Paradigma pengajaran lebih
menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada
siswa didik. Artinya, instruksi berfokus kepada aktivitas guru (teacher-centered).
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya. Pengembangan potensi diri
tersebut mencakup pembentukan individu yang berakhlak mulia, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, memiliki estetika, dan keterampilan yang dibutuhkan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Paradigma pembelajaran lebih berfokus
pada aktivitas siswa (student-centered).
Faktanya dalam praktek pengajaran selama ini, tatkala guru menjadi pusat
kegiatan pembelajaran, guru menjadi dominan. Siswa seolah gelas kosong yang
harus selalu diisi air. Menurut Paulo Freire, salah satu pionir paham
rekonstruksionisme sosial, model pengajaran ini merupakan aktivitas pengajaran
gaya bank, atau model deposito. Di sini guru sebagai deposan selalu
mendepositokan pengetahuan kepada siswa, sementara siswa pasif dan reseptif.
Pembelajaran berlangsung tanpa ada demokratisasi, memasung kreativitas dan
abai terhadap hak asasi siswa. Selanjutnya model ini oleh Muska Mosston disebut
pengajaran gaya komando (Rosyada, 2004: 89-90).
Dalam pengajaran gaya komando semua dikendalikan oleh guru,
disampaikan kepada siswa, dan siswa menerima pelajaran tersebut. Biasanya guru
menerangkan materi pengajaran kepada siswa, memberikan ilustrasi dengan
contoh-contoh, dianalisis berbagai faktornya, lalu disiapkan tes akhir pelajaran.
Selanjutnya mengukur tingkat keberhasilan dan kegagalan pengajaran yang terkait
dengan materi pengajaran. Dalam situasi tersebut, siswa tidak banyak dilibatkan
atau bahkan tidak dilibatkan sama sekali. Pengajaran bentuk ini mematikan
semangat demokratisasi dan kreativitas siswa. Siswa tidak lagi berkesempatan
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
kesempatan untuk memanifestasikan potensi serta segenap daya kemampuannya.
Dalam pengertian konvensional, pengajaran dipandang bersifat mekanistik dan
merupakan otonomi guru untuk mengajar, sehingga guru menjadi pusat kegiatan.
Dalam pandangan seperti ini, metode ceramah dan tanya jawab menjadi sangat
dominan. Dengan cara seperti ini siswa dianggap telah belajar.
Setelah paradigma baru pendidikan berkembang, belajar dimaknai sebagai
rangkaian kegiatan aktif siswa dalam membangun pemahaman atas hal yang
dipelajari. Tanggung jawab belajar pada diri siswa, sedangkan guru bertanggung
jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan
tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat. Belajar bukan lagi
merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi oleh guru ke dalam
kepala siswa, namun belajar juga membutuhkan keterlibatan aktif dari siswa
sendiri.
Melalui paradigma student-centered, para guru akan menjadi semakin
menyadari bahwa model, metode, dan strategi pembelajaran yang konvensional
tidak akan cukup membantu siswa mengembangluaskan wawasannya. Guru
semakin dituntut lebih dinamis, inovatif, adaptatif, dan kreatif serta mampu
membawa suasana pembelajaran yang menyenangkan ke dalam kelas dan
lingkungan pembelajaran.
Pandangan terhadap siswa didik yang terintegrasi dengan lingkungan
sosio-kulturnya, pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan
anggota masyarakat yang mandiri dan berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
memahami sesuatu. Suyono (2011:14) menjelaskan bahwa belajar dimaknai
sebagai kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman.
Tanggung jawab belajar ada pada diri siswa, sedangkan guru bertanggung jawab
untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung
jawab siswa untuk terus belajar sepanjang hayat. Artinya paradigma pembelajaran
lebih sesuai dengan kondisi dan situasi mental emosional siswa saat ini. Belajar
membutuhkan keterlibatan mental dan aktivitas siswa sendiri. Dengan demikian
belajar baru bermakna jika ada pembelajaran terhadap dan oleh siswa.
Pembelajaran dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, tidak harus dalam
kondisi formal di dalam kelas, tetapi dapat secara informal maupun nonformal.
Oleh sebab itu, pengetahuan tidak serta merta dipindahkan begitu saja dari otak
seorang guru ke otak murid-muridnya. Murid sendirilah yang harus mengartikan
apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman
lingkungan kulturnya.
Transformasi ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa adalah langkah awal
dalam proses pengajaran. Selanjutnya, pengetahuan itu dikembangkan sendiri oleh
siswa sesuai dengan kesiapan struktur kognitifnya masing-masing sehingga
memiliki nilai tambah. Banyak opsi dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan,
khususnya di era kini. Arus globalisasi dan informasi yang terlanjur deras
berkembang di Indonesia hendaklah disikapi lebih sigap. Artinya, globalisasi
perlu dibarengi dengan penonjolan lokal genius atau pemantapan identitas
nasional. Dengan berkembangnya paradigma baru pendidikan yang mengarah
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
tidak harus dalam kondisi formal di dalam kelas. Pendidikan hendaknya mampu
menggiring siswa didik untuk belajar secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan, khususnya pada mata pelajaran seni musik, atau lebih khusus lagi
dalam mempelajari gamelan Pelog Salendro.
2. Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme
Pada dasarnya pendekatan pembelajaran konstruktivisme sangat penting
dalam peningkatan dan pengembangan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa,
berupa keterampilan dasar yang diperlukan dalam pengembangan diri siswa baik
dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat. Pembelajaran
berbasis multimedia interaktif termasuk dalam pendekatan pembelajaran
konstrukstivisme. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Phillips (1997: 21) sebagai
berikut.
Interactive Multimedia software designed from a constructivist viewpoint can take advantage of all aspects of Interactive Multimedia. Material is designed so the student can build their own knowledge instead of the instructor dictating it.
Menurut Fosnot dalam Suparno (1997:61), belajar bukanlah kegiatan
mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan
membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan
merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntun
konstruksi pemikiran seseorang. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif,
dimana siswa didik membangun sendiri pengetahuannya.
Membicarakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme berarti membedah
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Dahar (1989: 159)
menegaskan bahwa Piaget dikenal sebagai konstruktivis pertama yang
memberikan penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori
atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Teori Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Kontruktivisme lebih
memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya.
Poedjiadi (1999: 61) mengemukakan lebih jauh pemikiran Piaget, bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui
tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun penghayatan terhadap
suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung
pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Perkembangan kognitif sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan.
Untuk memahami teori konstruktivisme Piaget, maka konsep-konsep
penting yang berkaitan dengan pemikiran Piaget harus dipahami terlebih dahulu.
Konsep-konsep penting dalam pemikiran Piaget tersebut adalah skema (schemas),
asimilasi (assimilation), akomodasi (accommodation), dan ekuilibrasi
(equilibration). Pritchard dan Woollard (2010: 10-13) memaparkan konsep
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
a. Schemas (Schemata; plural): All living, thinking beings have a set of rules which are variously known as “scripts”, “schemes” and, as we will be using, “schemas” that are used to interpret their everyday surroundings. Schemas are integrated networks of knowledge which are stored in long-term memory and allow us to recall, understand and create expectations. This allows us to operate in a world that becomes increasingly familiar and understandable with the passage of time as the schemas are built up and increasingly interlinked.
b. Assimilation: In Piagetian terms, assimilation is the collecting and classifying of new information. When new information is encountered, this is added to the existing schema. It is assimilated. However, it will only be assimilated if it does not contradict something already established as an integral part of what exists. If it seems that the new information is actually plausible or if it presents itself on many occasions despite the apparent contradiction, the schema is added to and the information is assimilated. c. Accommodation: This is the alteration of a schema in order for new and
contradictory information to be allowed. There will perhaps be a time of denial. This will be followed by a period of adjustment, possibly over some time, and eventually, based on experience, and a situation of no contradiction will be returned to. As living, thinking beings we strive for a situation of no contradiction.
d. Equilibration: This is the state of having no contradictions present in our mental representations of our environment. The linked processes of assimilation and accommodation are the means by which a state of equilibrium is sought. Equilibration is said to follow a threefold path. First, we are satisfied with our mode of thought and said to be in a state of equilibrium. Second, if we become aware of a shortcoming or contradiction in our existing thinking we become dissatisfied and enter a state of disequilibrium; we experience cognitive conflict. Third,we move to a more sophisticated mode of thought. We are able to eliminate the contradiction of the previous mode and in that way regain equilibrium.
Berdasarkan paparan Pritchard dan Woollard tersebut, dapat dipahami
bahwa skema atau skemata (jamak) merupakan jaringan terpadu pengetahuan
yang disimpan dalam memori jangka panjang dan memungkinkan kita untuk
mengingat, memahami dan menciptakan harapan. Skema membentuk struktur
kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi diri terhadap
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Asimilasi merupakan proses kognitif. Asimilasi mengumpulkan informasi
atau stimulus ke dalam skema yang sudah ada atau tingkah laku yang ada.
Informasi baru tersebut akan terintegral dengan yang sudah ada jika tidak
bertentangan. Asimilasi mempengaruhi pertumbuhan skemata. Individu secara
kognitif mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan tersebut.
Akomodasi dapat diartikan sebagai penciptaan skema baru atau pengubahan
skema lama. Proses akomodasi memperbolehkan perubahan skema agar informasi
baru yang bertentangan dengan skema lama diperbolehkan. Jikapun ada
penolakan, kelak akan ada sebuah periode penyesuaian. Akomodasi memodifikasi
struktur kognitif. Oleh karena itu, dengan adanya akomodasi maka perkembangan
intelektual seseorang akan berkembang dan menyesuaikan. Asimilasi dan
akomodasi terjadi sama-sama saling mengisi pada setiap individu yang
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses ini perlu untuk pertumbuhan
dan perkembangann kognitif.
Ekuilibrasi merupakan keadaan tidak memiliki kontradiksi. Proses ini terkait
asimilasi dan akomodasi, yaitu sebagai sarana yang keadaan kesetimbangan
dicari. Jika lingkungan yang ditemui oleh seseorang berubah maka akan terjadi
ketidakseimbangan antara struktur kognitifnya dengan lingkungan tersebut.
Namun, karena adanya tendensi bawaan seperti yang diasumsikan oleh Piaget di
atas, maka seseorang akan melakukan akomodasi sehingga tercapai keseimbangan
antara struktur kognitifnya dengan lingkungannya. Tendensi bawaan yang
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
adaptasi yang optimal dengan lingkungannya itulah yang selanjutnya dinamakan
ekuilibrasi.
Seperti yang telah disebutkan di atas, Vygotsky merupakan salah satu tokoh
filsafat pendidikan konstruktivisme penting lainnya. Pemikiran Vygotsky lebih
menitik beratkan pada pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Suyono
(2011: 109) menerangkan bahwa pembelajaran kognisi sosial menurut Vygotsky
melibatkan kebudayaan sebagai penentu utama perkembangan individu. Oleh
karenanya, perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit
oleh kebudayaannya, yaitu budaya di lingkungan sekolah, keluarga, dan di mana
individu berkembang.
Suparno (1997: 66) mengerucutkan konsep-konsep pemikiran para tokoh
konstruktivisme tersebut dalam konteks fungsi dan peran pengajar sebagai
berikut.
a. Menyediakan dan memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasanya.
b. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berfikir secara produktif.
c. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam proses belajar.
d. Memonitor dan menunjukkan apakah pemikiran murid jalan atau tidak. e. Mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid.
Dalam paham konstruktivisme, siswa didik bukanlah kertas kosong yang
siap ditumpahkan beragam warna, melainkan siswa didik telah memiliki
pengetahuan dasar sesuai dengan taraf berfikir yang siap dikembangkannya.
Artinya, siswa didik sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Mereka membawa pengertiannya yang telah ada dalam situasi belajar yang baru.
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
melalui proses kreatif menggali kembali makna dengan jalan membandingkan
dengan apa yang telah diketahuinya. Kreatifitas dan keaktifan siswa didik akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka.
Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena
mereka berfikir tentang sesuatu, bukan sekedar meniru. Dalam proses tersebut,
siswa didik akan mengalami pengalaman baru, dan akan terus diperbaharui
selama ia mendapat ruang konstruktivisme dalam belajar.
Dari penegasan filsafat pembelajaran konstruktivisme diatas, maka secara
garis besar dapat diambil prinsip-prinsip konstruktivisme, antara lain:
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa didik sendiri.
b. Pengetahuan tidak selalu dipindahkan dari guru ke siswa didik.
c. Siswa didik secara terus menerus mengkonstruksi pemahaman, pengetahuan,
dan pengalamannya.
d. Guru berperan sebagai mediator dan fasilitator, sehingga proses konstruksi
siswa berjalan mulus.
e. Mengajar adalah membantu siswa didik belajar.
Pendekatan pembelajaran konstruktivisme tersebut selanjutnya
dikembangkan dalam dunia pendidikan dengan memperhatikan kurikulum. Dalam
kurikulum telah dijelaskan mengenai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
yang seharusnya dapat dicapai oleh siswa, khususnya perihal apresiasi dan
ekspresi dalam pembelajaran Seni Budaya Nusantara, lebih khusus dalam
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Berdasarkan paparan mengenai pendekatan pembelajaran konstruktivisme
di atas, maka untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis multimedia
interaktif digunakan teori Rob Phillips, yaitu sebuah perangkat lunak berupa
multimedia interaktif yang dirancang dari sudut pandang konstruktivis. Adapun
pertanyaan penelitian mengenai implementasi media pembelajaran gamelan Pelog
Salendro berbasis multimedia interaktif yang diterapkan pada siswa didik di SMU
digunakan teori Fosnot, bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif,
dimana siswa didik membangun sendiri pengetahuannya, sedangkan guru
berperan sebagai mediator dan fasilitator. Disamping teori Fosnot, digunakan juga
teori pembelajaran dari Piaget, yaitu tentang belajar sebagai tindakan membangun
atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya pembelajar (siswa SMU). Dalam memvalidasi
pengembangan media pembelajaran gamelan Pelog Salendro berbasis multimedia
interaktif yang diterapkan pada siswa didik di SMU digunakan teori Vygotsky
tentang pembelajaran kognisi sosial. Pembelajaran kognisi sosial merupakan
pembelajaran sangat melibatkan aspek kebudayaan sebagai penentu utama
perkembangan individu.
3. Metode Pembelajaran
Menurut Suyono (2011: 19), metode pembelajaran merupakan perencanaan
dan prosedur, maupun langkah-langkah yang ditempuh dalam kegiatan
pembelajaran. Metode pembelajaran digunakan untuk mengimplementasikan
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
mencapai tujuan pembelajaran. Prinsip pembelajaran pada gamelan Pelog
Salendro melalui multimedia interaktif lebih menitik beratkan pada aktivitas
siswa. Untuk mengimplementasikan materi pembelajaran digunakam metode
discovery dan cooperative learning. Berikut ini bagan penerapan metode
pembelajaran gamelan melalui multimedia interaktif.
Bagan 4.2 Implementasi Pembelajaran Gamelan Pelog Salendro Melalui Multimedia Interaktif
Fasilitator
Mediator
Motivator
Active Learning
Cooperative Learning
Reflektif Multimedia
Interaktif
Gamelan
Pelog Salendro
GURU
Discovery
Integratif
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
Terdapat tiga peran yang harus dimiliki oleh guru dalam pembelajaran aktif,
yaitu posisi guru adalah sebagai fasilitator, mediator, dan motivator. Peran guru
sebagai fasilitator adalah dedikasi dirinya dalam mengiringi perkembangan
kognisi siswa melalui interaksi dan percakapan-percakapan yang bersifat
menumbuhkan intelektualitasnya. Sebagai mediator, guru memberikan perhatian,
bimbingan, dan dukungan terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, maupun yang
dipikirkan oleh siswa. Dalam kondisi ini, siswa tidak merasa sendirian dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang sedang dibangunnya. Selanjutnya siswa dapat
melakukan konservasi dan klarifikasi melalui bantuan guru tersebut. Peran guru
sebagai motivator adalah menjadi perangsang, pendorong, dan penggerak bagi
siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya. Di samping itu, guru juga akan memberikan feedback
terhadap hasil kerja siswa, sehingga siswa mendapatkan masukan dari hasil
kerjanya. Hasil kerja dan feedback dari guru tersebut dapat digunakan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dikuasai oleh siswa. Peran guru
sebagai motivator sangatlah penting dalam menumbuh kembangkan mentalitas
siswa agar lebih matang.
Perilaku aktif dalam kegiatan belajar akan mendorong siswa untuk belajar
dengan diri mereka sendiri. Pada tahap ini siswa mengalami pembelajaran secara
discovery, yaitu menemukan dan mendeteksi hal-hal baru yang bisa
menghubungkan pengalaman-pengalaman yang pernah mereka dapatkan. Melalui
Diecky Kurniawan Indrapraja, 2012
secara detail perbedaan-perbedaan timbre atau warna suara antar waditra,
perbedaan laras, fungsi dan peran masing-masing waditra dalam membangun satu
keutuhan karya gamelan. Selain itu, siswa juga belajar untuk mandiri dalam
memecahkan masalah dan memiliki keterampilan berfikir kritis, karena mereka
harus menganalisis dan mengelola segala informasi yang ada dalam multimedia
interaktif.
Setelah siswa belajar secara mandiri melalui multimedia interaktif, tahap
selanjutnya masing-masing siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan hasil
temuan-temuannya secara berpasang-pasangan ataupun dalam kelompok kecil.
Prinsip ini dikenal dengan istilah cooperative learning, yaitu menempatkan siswa
sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang
optimal dalam belajar (Solihatin dan Raharjo, 2007: 5). Melalui cooperative
learning, proses belajar dijalankan dengan cara berdiskusi antara siswa satu
dengan siswa lainnya secara komprehensif untuk saling membantu memecahkan
masalah yang dihadapi. Cooperative learning lebih menekankan pada lingkungan
sosial belajar dengan jalan menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk
mendapatkan pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan, dan menantang
pengetahuan yang dimiliki oleh tiap siswa (bersifat kritis).
Pembelajaran dengan jalan discovery dan cooperative learning haruslah
terintegrasi secara utuh. Artinya multimedia interaktif menjadi sarana untuk
menggabungkan dan mengkoordinasikan perbedaan persepsi siswa selama
mempelajari gamelan Pelog Salendro. Selama proses integrasi, siswa akan terlatih