• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS BENTUK DAN MAKNA KRIA KEMASAN DAUN PISANG DALAM SAJIAN MAKANAN DI KAMPUNG NAGA KABUPATEN TASIKMALAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS BENTUK DAN MAKNA KRIA KEMASAN DAUN PISANG DALAM SAJIAN MAKANAN DI KAMPUNG NAGA KABUPATEN TASIKMALAYA."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB. I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan ... 5

D. Manfaat ... 6

E. Telaah Pustaka ... 7

F. Kerangka Teori ... 13

G. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data ... 17

1. Metode Penelitian ... 17

2. Teknik Pengumpulan Data ... 19

3. Sistematika Penulisan... 20

BAB. II MEDIA DAN TEKNIK SENI KRIYA KEMASAN MAKANAN .. 22

A. Pengertian Seni Kriya ... 22

(2)

viii

C. Jenis-Jenis Seni Kriya ... 24

D. Seni Kriya Modern ... 25

E. Seni Kriya Penyajian Makanan Modern ... 29

F. Pengaruh Kemasan Makanan Modern pada Lingkungan ... 31

1.Masalah Sampah ... 31

2.Bencana Leuwi Gajah ... 33

BAB. III METODE PENELITIAN ... 34

A. Metoda Penelitian ... 34

B. Subyek dan Lokasi Penelitian ... 39

C.Lokasi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 40

1. Observasi (Observation) ... 41

2. Wawancara (Interview) ... 42

3. Studi Dokumentasi ... 45

4. Analisis Data ... 46

5. Member Chek ... 48

6. Tahap Validitas ... 49

7. Kepercayaan (Credibility) ... 49

8. Keteralihan (Transferability)... 51

9. Kebergantungan (Dependability) ... 51

10. Kepastian (Confirmability) ... 52

BAB. IV PROFIL DAN SEJARAH KAMPUNG NAGA ... 53

(3)

ix

1. Pola Komunikasi ... 53

2. Rutinitas Keseharian dan Cara Berpakaian ... 56

3. Makanan dan Keunikan Mereka Dalam Menerima Tamu ... 59

4. Budaya Gotong Royong ... 60

5. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Kampung Naga ... 61

6. Kepemimpinan Khas Kampung Naga ... 66

7. Kesenian Khas Kampung Naga ... 68

8. Corak Arsitektur dan Peralatan ... 71

B. Geografi dan Kependudukan Kampung Naga ... 74

1. Geografis Kampung Naga ... 74

2. Demografis Kampung Naga ... 76

C. Sejarah Kampung Naga... 77

BAB. V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 80

A. Aspek Sejarah ... 82

B. Fungsi Seni Kriya Penyajian Makanan Bagi Masyarakat Kampung Naga ... 83

C. Seni Kriya Makanan Berbungkus Daun Pisang di Kampung Naga ………. ... 83

1.Daun Pelapis Piring ... 84

2.Pincuk Terbuka Lebar ... 85

3.Lontong Terlipat ... 87

4.Lontong Biting ... 88

(4)

x

6.Timbel ... 90

D.Nilai-nilai Seni pada Penyajian Makanan dengan Daun Pisang ... 92

1. Nilai Spiritual ... 92

2. Nilai Kesederhanaan ... 93

3. Nilai Kelestarian Budaya ... 94

4. Nilai Estetika ... 95

5. Nilai Natural ... 96

6. Nilai Kebersamaan ... 100

7. Nilai Kekuatan. ... 101

8. Nilai Kesehatan ... 103

9. Nilai Aromaterapi ... 103

E. Upacara Adat Kampung Naga Dengan Sajian Makanan. Daun Pisan ………... 105

1. Upacara Pernikahan ... 105

2. Upacara Muludan ... 107

3. Upacara Pertengahan Tahun ... 107

4. Hari Raya Idul Fitri ... 108

F. Upaya Masyarakat Kampung Naga Melestarikan Budaya Seni Kriya Makanan yang Menggunakan Bungkusan Daun Pisang ... 108

G.Upaya Pewarisan Seni Kriya pada Kaum Muda ... 109

(5)

xi

BAB. VI KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI... 111

A.Kesimpulan ... 111

B.Implikasi ... 112

C.Rekomendasi ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 116

LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 Insrumen Wawancara……….118

Lampiran 2 Wawancara ... 119

Lampiran 3 Foto-foto ... 123

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman yang cenderung mengglobal membawa pengaruh yang luas bagi kehidupan masyarakat. Pergeseran nilai-nilai budaya terjadi di hampir seluruh kawasan, termasuk kawasan Asia dan terlebih Indonesia. Banyak masyarakat di negeri ini telah meninggalkan warisan budaya nenek moyang, terutama generasi muda yang cenderung lebih condong kepada budaya Barat, dan melupakan nilai-nilai budaya sendiri. Ini terjadi karena pengaruh kapitalisme yang semakin luas membuat masyarakat semakin lemah memahami kearifan lokal dari budaya-budaya daerahnya sendiri. Hal ini dijelaskan Mamannoor (2002: 87) dalam bukunya Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia:

Analisis hakikat kehidupan sehari-hari dalam masyarakat kapitalis sangat krusial untuk memahami teknologi, meski teknologi itu sendiri bukanlah kekuatan yang menentukan, bagi Benjamin, ia mempunyai pengaruh penting. Mengikuti Marx, Benjamin yakin bahwa penggunaan alat musik modern akan berdampak pada fotisisme komoditas. Pemikiran yang sudah terkontaminasi tadi tidak berdaya untuk memahami kekinian yang diletakkan dalam konteks hubungan-hubungan sosial histories. Penggunaan teknologi secara luas akan membentuk tingkah laku manusia.

(7)

Padahal sebagian besar kemasan makanan itu tidak ramah lingkungan dan menimbulkan masalah tersendiri bagi masyarakat.

Telah lama kita mendengar masalah sampah di ibu kota. Gunungan sampah, saluran mampet, bahkan bencana longsornya sampah yang menelan korban jiwa kerap kali kita dengar beritanya dari media. Ketika diperhatikan, ternyata sebagian besar sampah itu berasal dari kemasan-kemasan makanan anorganik yang tidak bisa terurai dengan pembusukan. Lebih jelasnya, sebagian besar sampah itu adalah kemasan plastik, yang tentu saja tidak membusuk dan mencemarkan tanah. Ini menjadi bukti, banyak makanan berkemasan plastik atau kaleng yang menimbulkan masalah serius bagi lingkungan. Masyarakat Kampung Naga yang mencintai dan membanggakan budaya leluhurnya dalam cara mengemas makanan dalam kehidupan sehari-hari, resepsi-resepsi atau upacara adat. Suatu cara membungkus makanan yang bernilai seni tinggi, dunia seni menyebutnya media seni kriya. Cara ini tetap mereka lakukan sampai sekarang sebagai budaya yang telah mendarah daging dalam kehidupannya.

Melestarikan budaya dari leluhur bukanlah berusaha memisahkan diri dari lingkungan yang semakin modern, melainkan justru itu sebuah upaya mengintegrasikan diri dalam kehidupan nasional, memelihara karakter asli bangsa Indonesia. Sebagaimana diulas Kayam, dalam bukunya Seni, Tradisi, Masyarakat (1981: 65)

(8)

Kayam (1981: 57) juga menegaskan bahwa, melestarikan budaya leluhur merupakan upaya melepaskan diri dari ikatan-ikatan penjajah:

Dalam keputusan atau keinginan untuk melepaskan dirinya dari ikatan sejarah yang kurang menguntungkan, apakah itu ikatan yang berbentuk penjajahan bangsa lain ataupun ikatan lainnya—wilayah-wilayah itu bersepakat untuk meneliti kembali warisan-warisan yang mereka miliki itu, untuk kemudian dipilih kembali sebagai “bahan pokok” , baru menyusun suatu tata yang dianggap akan lebih menguntungkan dan lebih memintas jalan pendek sejarah perkembangan wilayah itu. Penelitian dan pemilihan kembali warisan atau percobaan menemukan “bahan pokok” baru inilah, saya kira, yang disebut “mencari kesepakatan idiom”. Dan ini pulalah saya kira yang disebut “Proses integrasi nasional”.

(9)

sesuatu yang tidak dilakukan oileh karuhun merupakan sesuatu yang tabu dan bisa menimbulkan malapetaka. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi setiap orang.

Tata kehidupan tersebut berdasarkan kepada pandangan dan pola kehidupan yang sederhana, yang tersirat dalam ungkapan “teu saba, teu banda, teu boga, teu weduk, teu bedas, teu gagah, teu pinter (tidak bepergian, tidak menyimpan harta, tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai kekuatan, tidak kuat, tidak gagah, tidak pintar). Masyarakat Kampung Naga beranggapan bahwa mereka tidak diwarisi oleh leluhurnya sesuatu yang lebih, tetapi justru mereka diwarisi suatu keharusan hidup dalam kesederhanaan. Falsafah hidup sederhana tampaknya yang membuat mereka berada di tengah masyarakat global, namun tetap bisa bertahan dengan adat istiadat leluhur yang dipegang teguh. Masyarakat Kampung Naga melihat kemasan-kemasan makanan di pasaran beserta daya tariknya, namun mereka tetap cinta pada budaya leluhurnya, mengemas makanan dengan daun pisang, sebuah media kemasan makanan yang sederhana, namun bernilai seni tinggi.

(10)

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang yang telah disebutkan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan untuk menjadi bahan bahasan dalam karya tulis ini: 1. Bagaimanakah kebudayaan masyarakat Kampung Naga?

2. Apa saja media dan teknik kemasan seni kriya pada penyajian makanan di masyarakat Kampung Naga?

3. Bagaimanakah makna, fungsi dan tujuan bentuk kemasan daun pisang dalam penyajian makanan?

C. Tujuan

Prama (2005: 106), seorang motivator yang renungannya selalu menyentuh, dalam bukunya Rumah Kehidupan Penuh Keberuntungan: Membangun Keberuntungan dengan Menyelami Diri, membagi model manusia ke dalam dua golongan, ada golongan pencinta dan ada golongan inovator, yang keduanya memiliki perbedaan:

(11)

Menjadi pencinta, demikianlah salah satu tujuan menganalisis kemesan seni kriya bungkusan makanan yang menggunakan daun pisang pada salah satu kelompok adat Kampung Naga, di samping tujuan yang lainnya diantaranya:

1. Mendeskripsikan jenis dan media kemasan seni kriya penyajian makanan pada masyarakat Kampung Naga.

2. Mendeskripsikan fungsi kemasan daun pisang untuk kelestarian budaya mereka, dan lingkungan hidupnya.

3. Manganalisis pesan tersirat di balik bentuk dari media seni kriya penyajian makanan daun pisang masyarakat Kampung Naga.

4. Mengungkap kenyataan bahwa di balik kesederhanaan cara penyajian makanan itu, terkandung nilai-nilai yang tinggi.

D. Manfaat

1. Bagi peneliti: Dapat mengenal bentuk dan media seni kriya dalam penyajian makanan masyarakat Kampung Naga beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

2. Bagi pendidikan: Menambah wawasan tentang seni kriya dalam penyajian makanan masyarakat Kampung Naga beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

(12)

E. Telaah Pustaka

Masyarakat adat merupakan satu komunitas masyarakat yang sangat kental dengan adat istiadat yang telah tertanam sejak lama. Berdasarkan perspektif sosio-ekologis, masyarakat adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok Pertama bumi yang terdiri dari masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan, di mana mereka percaya sebagai kelompok masyarakat perpilih yang bertugas menjaga kelestarian bumi. Kelompok kedua, yaitu kelompok masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Suku Naga yang juga cukup ketat dalam memelihara dan menjalankan adat tetapi masih membuka ruang cukup luas untuk berhubungan dengan dunia luar. Kelompok ketiga, adalah masyarakat-masyarakat adat yang tergantung dari alam (hutan, sungai, laut, dan lain-lain) dan mengembangkan sistem pengelolaan yang unik tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat. Masuk ke dalam kelompok ini di antaranya masyarakat adat Dayak dan Penan di Kalimantan, masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, dan Masyarakat Dani di Papua Barat.

(13)

Haris dan Moran dalam Komunikasi Antar Budaya suntingan Mulyana & Rakhmat ( 1990: 87) mengatakan:

Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan social mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktek-praktek, dan tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. (….) generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima kebenaran-kebenaran tersebut tentang kehidupan di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan, dan melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku yang dapat diterima untuk hidup dalam masyarakat tersebut.

Budaya yang berkembang dalam suatu lingkungan juga memiliki nilai-nilai kuat untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai-nilai ini merupakan suatu bentuk aturan tidak tertulis yang secara tidak langsung telah disepakati oleh masyarakatnya. Serta Pelanggaran terhadap aturan tersebut pada umumnya akan menimbulkan sanksi sosial. Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok masyarakat tertentu. Karena keunikannya tersebut maka setiap budaya dari suatu suku bangsa tidak sama dengan suku bangsa lainnya. Masing-masing mempunyai ciri khas. Sehingga apabila seseorang akan memasuki suatu budaya baru maka ia perlu beradaptasi, menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan terdahulu dimana mereka pernah tinggal.

(14)

mengenalkan budayanya pada masyarakat setempat, begitu pula pada saat kembali kepada lingkungannya akan membawa hal baru yang ia peroleh dari masyarakat perantauannya tersebut. Kebudayaan itu sendiri lahir dan berkembang seiring dengan waktu. Budaya akan berkembang dan berevolusi dari waktu ke waktu. Namun seperangkat karakteristik dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secera keseluruhan dan dapat dilacak, meskipun telah berubah banyak dari generasi ke generasi.

Pertukaran budaya ini terjadi disebabkan adalanya proses komunikasi, sehingga, Mulyana (1990: 97) mengatakan: “Bahwa setiap praktek komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya, atau tepatnya merupakan realitas budaya yang sangat rumit”. Budaya dan komunikasi berinteraksi sangat erat dan dinamis. Budaya muncul melalui komunikasi, dan sebaliknya budaya pun mempengaruhi cara berkomunikasi masyarakat bersangkutan.

Budaya tidak hanya berkaitan dengan kebiasaan, kesenian, dan kepercayaan suatu masyarakat, tetapi budaya adalah suatu yang kompleks. Dikutip oleh Singer (1972: 527), Taylor mengatakan: “Culture or civilization, taken ini its wide ethnographic sense, is that complex whole which includes

knowledge, belief, art, morals, law, custom, ang any other capabilities and habits

(15)

masyarakat yang berfungsi sebagai model dan tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam masyarakat di suatu lingkungan Geografis tertentu.

Marzali (1997: xix), mengutip pendapat Goodenough, mengatakan bahwa:

Budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan dipercayai seseorang agar dia dapat berprilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyakarat. Budaya bukanlah suatu fenomena materian: dia tidak hanya terdiri atas benda-benda, manusia, prilaku atau emosi. Dia adalah suatu pengorganisasian dari hal-hal tersebut (mind), model yang mereka punya untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan hal ihwal tersebut.

Kompleksitas yang terdapat dalam suatu budaya pada akhirnya akan menampilkan suatu prilaku sosial, yang kemudian menjadi ciri suatu suku bangsa. Kebudayaan merupakan pengetahuan yang diperoleh, dan digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.

Kebudayaan, di mana nampak berbeda dengan yang lainnya, tetap mempunyai hakikat yang meliputi:

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

2. Kebudayaan telah ada terlebih daulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan

(16)

Hakekat kebudayaan tersebut nampak di lingkungan Kampung Naga. Kebudayaan yang merupakan peninggalan dari leluhur mereka; tecermin dalam bentuk benda-benda fisik dan dalam proses menjalankan upacara adat. Tidak hanya karena ingin melestarikan adat yang sudah ada tetapi warga Kampung Naga menjalankan ritual kebudayaan karena keyakinan, bahwa itu harus mereka lakukan dan apabila tidak dilaksanakan akan menimbulkan malapetaka. Dengan menjalankan ritual-ritual terdahulu secara tidak langsung telah menghormati leluhur.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks terdiri dari berbagai unsur sebagaimana dikemukakan Purwasito (2002: 98) bahwa budaya mengandung beberapa unsur meliputi:

a. Bahasa

b. Sistem pengetahuan c. Organisasi Sosial

d. Sistem Peralatan hidup dan teknologi e. Sistem mata pencaharian hidup f. System religi

g. Kesenian

Unsur-unsur tersebut, satu dengan lainnya akan saling mempengaruhi sistem peralatan hidup dan teknologinya. Di samping tujuh unsur tersebut letak geografis dapat ditambahkan sebagai salah satu hal yang akan mempengaruhi bagaimana budaya dalam masyarakat terbentuk.

(17)

Dikutip oleh Spradley, (1997: 89) mengemukakan tiga premis mengenai landasan teori ini.

Premis pertama, “Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka”. Premis kedua, yang mendasari interaksionalisme simbolik adalah bahwa “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Premis ketiga, adalah “makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi.”

Esensi interasksionalisme adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Simbol atau lambang yang digunakan merupakan hasil kesepakatan bersama untuk menunjukkan sesuatu. Misalnya kata wortel ditujukan untuk jenis sayuran yang berwarna oranye. Simbol-simbol inipun tidak hanya berupa benda nyata tetapi juga meliputi perkataan, dan perilaku.

(18)

Prinsip-prinsip teori simbolik yang dikemukakan Mulyana, (1990: 79) di antaranya adalah:

1. Manusia tidak seperti hewan yang lebih rendah, manusia diberkahi dengan kemampuan berfikir.

2. Kemampun berfikir ini dipengaruhi oleh intraksi

3. dalam intraksi sosial orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berfikir.

4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi khas manusia.

5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksiberdasarkan interpretasi mereka atas situasi.

6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative, dan kemudian memilih salah satunya.

7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, maka sangat mungkin satu simbol mempunyai makna yang beraneka ragam. Tergantung kepada interpretasi masing-masing individu, situasi yang mendukung saat simbol itu muncul, dan juga latar belakang individu yang bersangkutan.

F. Kerangka Teori

(19)

abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, pengalaman yang dipahami dan dihayati bersama oleh masyarakat.

Ekspresi kesenian berdasarkan uraian di atas akan selalu terkait. Oleh karena itu, ekspresi kesenian dari kebudayaan masyarakat petani akan berbeda dengan ekspresi kebudayaan masyarakat pegunungan dalam skala mikro, sebab pada dasarnya berkesenian adalah ekspresi spiritual pencipta seni itu sendiri. Mamannoor, (2002: 135) berpendapat:

Spiritualitas dalam seni ibarat ruh, jiwa dan batin yang menghidupkan makna dan nilai seni untuk mencapai suatu tujuan penghayatan. Di dalam tujuan penghayatan tersebut terdapat manifestasi bentuk dan realitas yang keseluruhannya mencuatkan nilai-nilai batin. Spiritualitas religius dalam seni bukan sekedar memberikan gambaran yang baik, melainkan ia adalah kebajikan keajikan yang terungkapkan.

Dengan demikian pada lapisan masyarakat pasti memiliki ekspresi kesenian yang khas, sistem simbol dan bentuk strategi adaptasinya dalam memenuhi kebutuhan akan keindahan (kebutuhan integratife yang akan menselaraskan kebutuhan lainnya). Kesenian adalah komponen sosiokultural yang bersifat universal. Isi dari kesenian adalah kesan-kesan atau pengungkapan simbolik yang bersifat fisik, mempunyai nilai estetis, emosional intelektual bagi para anggota masyarakat.

(20)

kesenian yang didasarkan atas jenis media ungkap (seni rupa, seni musik, seni tari dan seni drama); klasifikas-klasifikasi lain sehingga menimbulkan seni profan, seni sakral, seni tradisional, seni modern, seni postmodern, dan lain-lain.

Dari uraian di atas, seni adalah medium antara materialisme dunia dengan spiritual. Seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang identitas, sesuatu yang tidak kita kenal sebelumnya, dan kini dapat dikenali sebagai karya seorang seniman. Meskipun demikian, niat itu ada, berkembang dan dibakukan di dalam dan melalui tradisi-tradisi suatu masyarakat. Kesenian pada akhirnya mampu menopang kolektivitas nilai, karena kesenian seperti halnya kebudayaan juga dimiliki oleh masyarakat, itupun dalam kenyataan empirik didukung oleh individu-individu dalam suatu masyarakat. Penciptaan seni oleh individu-individu itu pada dasarnya tidak akan terlepas dari sistem budaya yang dimilikinya secara bersama. Oleh karena itu, sebuah ekspresi kesenian akan dapat dipahami dan diterima secara sosial karena di dalamnya terdapat asas-asas yang dimiliki secara bersama.

(21)

kemasyarakatan mewujudkan dalam berbagai bentuk norma, budaya dan kebiasaan bersama dapat dijadikan sebagai kebijakan dalam menjelaskan aturan masyarakat.

Masyarakat dalam kajian ini dipandang sebagai organisme yang di dalamnya selalu diupayakan suatu keadaan yang memperjuangkan tertib dan aturan sosial serta mengedepankan keseimbangan. Konsep ini adalah inti dari pandangan yang lebih mengarah kepada upaya mewujudkan komitmennya dalam membangun keseimbangan, tertib dan aturan sosial. Perilaku anggota masyarakat memiliki dua alternatif terdiri dari pasangan-pasangan berbeda yang terdiri dari lima variabel yaitu: 1) Netral perasaan, 2) Arah diri atau arah kolektif, 3) Partikularisme atau universalisme, 4) Status Bawaan dan Status Perolehan, dan 5) Campur baur kekhususan.

(22)

G. Metode Penelitian dan Teknik pengumpulan Data

1. Metode Penelitian

Keterangan tentang apa itu yang disebut metode dijelaskan oleh Bagus dalam karyanya Kamus Filsafat ( 1996: 635 - 636)

Metode secara harfiyah menggambarkan jalan atau cara totalitas yang dicapai dan dibangun. Kita mendengkati pengetahuan suatu bidang secara metodis apabila kita mempelajarinya sesuai rencana, mengerjakan bidang-bidangnya yang tertentu, mengatur berbagai kepingan pengetahuan secara logis dan mengahasilkan sebanyak mungkin hubungan. Akhirnya, kita mencoba mengetahui masing-masing dan setiap hal bukan hanya bahwa hal itu ada melainkan juga mengapa hal itu ada, bagaimana adanya—jadi kita ingin mengetahui bukan hanya fakta-fakta melainkan juga alas an atau dasar fakta-fakta ini.

Metode pertama adalah pendekatan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam kajian yakni pendekatan budaya, yakni suatu pendekatan dalam penelitian yang lebih memperhatikan hubungan-hubungan fungsional dalam struktur yang bertingkat-tingkat, di mana antar gejala satu sama lain saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan dan holistik.

(23)

obyek, pelaku, aktifitas, tindakan, dan perasaan-perasaan masyarakat yang bersangkutan mengenai pola budaya belajar masyarakat Kampung Naga.

(24)

2. Teknik Pengumpulan Data

Sumber informasi atau data yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh

melalui studi lapangan, yakni melalui observasi atau pengamatan, baik berupa pengamatan biasa ataupun pengamatan terlibat. Sumber informasi pengamatan adalah keadaan dan kejadian yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat Kampung Naga, seperti: (a) peta pemukiman; (b) jenis bangunan yang ada; (c) jalan-jalan yang saling menghubungkan antar kampung; (d) kegiatan-kegiatan; (f) kegiatan keagamaan; (g) kegiatan keterampilan hidup sehari-hari. Observasi atau pengamatan terlibat digunakan untuk memperhatikan pada (a) suasana kehidupan; (b) suasana pekerjaan; (c) berbagai proses kegiatan bekerja; (d) proses pembelajaran kriya melukis.

(25)

H. Sistematika Penulisan

1. BAB I: PENDAHULUAN

Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Langkah-langkah Penelitian, Sistematika Penulisan.

2 . BAB II: LANDASAN TEORI / KAJIAN PUSTAKA

Terdiri dari konsep/teori dan pendapat yang menjadi landasan dalam penelitian ini.

3. BAB: IV METODOLOGI PENELITIAN

Menjelaskan tentang metode apa yang akan digunakan dalam penelitian, menentukan sumber data, teknik pengumpulan data dan jenis instrumen, penyususnan dan analisis data.

4. BAB: III PROFIL DAN SEJARAH KAMPUNG NAGA

Menjelaskan perihal sejarah yang sebenarnya profil Kampung Naga dan tradisi kehidupannya yang merupakan kebanggaan daerah setempat dan penghargaan kepada nenek moyangnya.. Analisis yang kami tawarkan lebih kepada studi kasus.

(26)

5. BAB: V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Menjelaskan tentang fungsi aspek media seni seni kriya penyajian makanan yang dibungkus daun pisang dan nilai-nilai seni apakah yang terkandung dalam seni kriya masyarakat Kampung Naga.

6. BAB: VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Apabila di Bab I telah dijelaskan kerangka berpikir untuk memperjelas fokus penelitian, sementara Bab II dibahas tinjauan teori yang relevan dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka pada Bab III ini dikemukakan tentang pendalaman teori seni budaya berbasis nilai Islam prosedur penelitian. Sedangkan Bab IV lebih kepada prosedur penelitian.

A. Metode Penelitian

Keterangan tentang apa itu yang disebut metode, dijelaskan oleh Lorens Bagus dalam karyanya Kamus Filsafat ( 1996 : 635-636)

Metoda secara harfiyah menggambarkan jalan atau cara totalitas yang dicapai dan dibangun. Kita mendekati pengetahuan suatu bidang secara metodis apabila kita mempelajarinya sesuai rencana, mengerjakan bidang-bidangnya yang tertentu, mengatur berbagai kepingan pengetahuan secara logis dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan. Akhirnya, kita mencoba mengetahui masing-masing dan setiap hal bukan hanya bahwa hal itu ada, melainkan juga mengapa hal itu ada, bagaimana adanya—jadi kita ingin mengetahui bukan hanya fakta melainkan juga alasan atau dasar fakta-fakta ini.

Metoda pertama yang penulis gunakan adalah pendekatan penelitian.. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan budaya, yakni suatu pendekatan dalam penelitian yang lebih memperhatikan hubungan-hubungan fungsional dalam struktur yang bertingkat-tingkat, dimana antar gejala satu sama lain saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan dan holistik.

(28)

yang menjadi serangkaian data penjelas dalam pendekatan ini harus berdasar pada pandangan masyarakat setempat sebagai landasan prinsipil yang harus ditaati dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian posisi peneliti adalah menafsirkan situasi sosial budaya yang nampaknya punya hubungan dengan tempat , waktu, obyek, pelaku, aktifitas, tindakan, dan perasaan-perasaan masyarakat yang bersangkutan mengenai pola budaya masyarakat Kampung Naga.

(29)

yakni teknik menggali informasi melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian yang dikaji.

Penelitian ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan hubungan antar variabel melalui studi korelasi atau regresi untuk mengkaji hipotesis tertentu. Rumusan masalah dalam penelitian ini menuntut peneliti untuk melakukan explorasi dalam rangka memahami dan menjelaskan masalah yang diteliti melalui komunikasi yang intensif dengan sumber data. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam proses penelitiannya.

“Qualitative research” mengandung arti bahwa peneliti harus mempunyai tingkat intensitas pemahaman terhadap suatu konsepsi atau teori. Konsepsi ini merupakan perspektif teoretis yang dijadikan pedoman proses inquiri oleh peneliti. Bila tidak demikian, maka apa yang dihasilkan penelitian hanyalah merupakan kumpulan informasi (data) belaka. Bila kumpulan informasi (data) itu tersusun secara terarah dan terorganisasi dalam suatu struktur pemikiran tertentu, maka data tersebut mempunyai makna untuk menjelaskan masalah yang diteliti.

(30)

variabel penelitian. Pertanyaan penelitian kualitatif dirumuskan dengan maksud untuk memahami gejala yang kompleks dalam kaitannya dengan aspek-aspek lain. Penelitian kualitatif ini menggunakan metoda studi kasus (case study), karena memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain data dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai sumber. Sebagai sebuah studi kasus maka data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya berlaku pada kasus yang diselidiki. Metoda studi kasus ini sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gelaja tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit. Metoda penelitian seperti ini lebih tepat menggunakan studi kasus (case study) .

Alasan peneliti memilih metoda studi kasus adalah karena adanya keinginan peneliti untuk menghubungkan seni kriya modern dan seni kriya tradisional khususnya yang telah membudaya di Kampung Naga, lalu membandingkannya dan mengungkap nilai-nilai lebih dari seni tradisional itu. Bagi penulis, ini sebuah aktifitas yang sangat menarik minat karena sifatnya yang langsung meneliti ke lapangan dan mendapatkan data original dan alami/natural.

(31)

The case study research method as an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life cotext; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used.

Menurut pengertian di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data. Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan. Secara sekilas, metoda penelitian ini sama dengan metoda penelitian kualitatif pada umumnya.

Penelitia studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan mendalam.

(32)

B. Subyek dan Lokasi Penelitian

Salah satu karakteristik dan kekuatan utama penelitian studi kasus adalah dimanfaatkannya berbagai sumber dan teknik pengumpulan data. Dengan demikian teknik cuplikan (sampling) dalam penelitian ini bersifat bertujuan (purposive). Sehingga, yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah mereka yang dianggap dapat memberikan informasi yang memadai berkaitan dengan pertanyaan penelitian ini. Oleh karenanya, terdapat beberapa subyek penelitian yang sengaja dipilih dan ditentukan peneliti sebagai sumber data. Subyek-subyek penelitian yang mendukung pada penghayatan nilai-nilai yang terkandung pada berbagai jenis seni kriya makanan di Kampung Naga.

(33)

artinya bahwa dengan menggunakan responden selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti.

Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan diatas, maka mengambil beberapa orang dari warga masyarakat Kampung Naga, tidak hanya para tetua di sana, melinkan juga dari kalangan bawah dan anak-anak mudanya, adalah suatu hal yang epektif. Ini dimaksudkan agar data lebih lengkap dan sebuah permasalahan dapat dilihat dari berbagai perspektif.

C. Lokasi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah segala sesuatu yang berkaitan dengan ijin penelitian diselesaikan. Dalam hubungannya dengan masalah pengumpulan data, Nasution (1988: 37) memberikan petunjuk sebagai berikut: masing-masing peneliti dapat memberi sejumlah petunjuk dan saran berdasarkan pengalaman masing-masing, namun rasanya penelitian kualitatif hanya dapat dikuasai dengan melakukan sendiri sambil mempelajari cara-cara yang diikuti oleh para peneliti yang mendahuluinya. Sampai akhirnya peneliti akan menemukan caranya sendiri dalam memecahkan masalah-masalah khusus yang dihadapi.

(34)

merupakan kutipan langsung dari informan yaitu dari apa yang dikatakan dan ditulis.

Teknik pengumpulan data yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini meliputi : (1) Observasi; (2) Wawancara; (3) Studi dokumentasi.

1. Observasi (Observation)

Observasi (Observation) dalam sebuah penelitian diartikan sebagai tindakan perhatian terhadap suatu objek dengan melibatkan seluruh indera untuk mendapatkan data. Jadi observasi merupakan pengamatan langsung dengan menggunakan penglihatan, penciuman, perabaan, pendengaran, atau kalau perlu dengan pengecapan. Observasi sebagai alat pengumpul data harus sistematis artinya observasi serta pencatatannya dilakukan menurut prosedur dan aturan-aturan tertentu sehingga dapat diulang kembali oleh peneliti lain. Selain itu hasil observasi harus memberikan kemungkinan untuk menafsirkannya secara ilmiah (Nasution, 2008: 107)

(35)

bahwa ia sedang melakukan penelitian. Namun ada saatnya pula peneliti melakukan penelitian secara tersamar apabila ingin memperoleh data yang masih dirahasiakan oleh sumber data; (3) Observasi yang tak berstruktur (unstructure observation); Observasi ini digunakan jika fokus penelitian belum jelas. Fokus penelitian akan berkembang selama kegiatan observasi berlangsung. Oleh karena itu dalam observasi ini tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi.

Sesuai dengan kerangka teori (paradigma penelitian) dan masalah yang diteliti, maka data yang akan dikumpulkan melalui observasi meliputi hal-hal sebagai berikut: Data yang menyangkut seni kriya makanan yang menggunakan bungkus daun pisang pada masyarakat Kampung Naga; sifat dari berbagai bentuk seni kriya itu; Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan seni kriya.

Kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pembuatan seni kriya tersebut, penghayatan mereka pada karyanya, dan pemahaman mereka pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

2. Wawancara (Interview)

(36)

menggunakan teknik wawancara, data utama yang berupa ucapan, pikiran, gagasan, perasaan dan tindakan dari peserta didik, guru mata pelajaran seni budaya, kepala sekolah dan komite sekolah, diharapkan dapat terungkap secara lebih teliti dan cermat. Untuk menghindari kekeliruan dalam pencatatan data, dilakukan pula perekaman menggunakan tape recorder setiap wawancara dilakukan. Setelah dilakukan wawancara, informasi yang diperoleh diolah dan dikonfirmasikan melalui tahap triangulasi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan mengenai kesesuaian data tersebut dengan kenyataan yang ada.

(37)

dua jenis, yaitu wawancara yang berfokus atau focused interview dan wawancara bebas atau free interview. Wawancara yang terfokus berisi pertanyaan-pertanyaan yang tak mempunyai struktur tertentu. Wawancara bebas berisi pertanyaan-pertanyaan yang beralih-alih dari satu pokok ke pokok yang lain, sepanjang berkaitan dengan dan menjelaskan aspek-aspek masalah yang diteliti.

Aspek penting dalam pendekatan penelitian studi kasus yang berkaitan dengan penggunaan teknik wawancara adalah bahwa peneliti harus berusaha mengetahui bagaimana responden memandang persoalan atau keadaan dari segi perpektif, pikiran dan perasaannya. Secara garis besarnya, sesuai dengan paradigma dan masalah penelitian, data yang dikumpulkan melalui wawancara adalah:

a. Data yang Menyangkut Kepemimpinan di Kampung Naga

Data tentang persepsi kuncen/ketua adat masyarakat itu sendiri terhadap seni. Seni kriya penyajian makanan. Data terhadap persepsi masyarakat terhadap kuncen/ketua Kampung Naga dalam pelestarian budaya seni kriya bungkusan makanan yang menggunakan daun pisang.3. Data tentang persepsi masyarakat terhadap berbagai jenis makanan karya mereka dan variasi penyajiannya serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

b. Data yang Menyangkut Seni Kriya

(38)

c. Data yang Menyangkut Pengembangan Materi Seni Kriya

Data tentang upaya pengembangan masyarakat terhadap pelestarian seni kriya. Data tentang kemampuan kaum muda dalam menerima warisan budaya seni kriya penyajian makanandi masyarakat Kampung Naga. Data tentang bagaimana para tetua sekarang mempelajari seni kriya itu dahulu. Data tentang upaya para pemimpin adat meyakinkan nilai-nilai yang terkandung dalam seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang. Data tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat pembuatan seni kriya pembuatan makanan yang menggunakan bungkus daun pisang pada masyarakat Kampung Naga.

3. Studi Dokumentasi

(39)

1. Catatan untuk mendata masalah yang biasa dibahas dalam diskusi kelompok adat.

2. Program upacara adat rutin bulanan atau tahunan berkaitan dengan jenis makanan yang disajikannya dan data otentik tertulis tentang hal itupun menjadi bahan dalam penelitian ini.

3. Hasil-hasil kegiatan pembuatan seni kriya makanan dan apa yang mereka jiwai dari pelestarian budaya leluhurnya itu.

4. Foto-foto untuk memperoleh data tentang bentuk kegiatan dan isi kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga.

5. Data-data lain yang bersifat dokumen dalam penelitian ini meliputi: (1) data seni kriya modern, (2) data tentang kampung Naga, dan (3) data seni kriya penyajian makanan di masyarakat Kampung Naga.

4. Analisis Data

Data mentah yang baru dikumpulkan biasanya disebut data “lunak” (soft date), karena data tersebut berupa uraian yang kaya akan deskripsi mengenai kegiatan subyek yang diteliti, pendapatnya dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan, yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Uraian-uraian seperti itu bisanya sangat sulit untuk ditangani melalui prosedur pengolahan statistik. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana data seperti itu diolah dan disajikan sehingga diketahui maknanya.

(40)

anlisis data. Setiap peneliti memiliki cara-cara khusus. Dalam hubungan ini Nasution (1938: 126) menjelaskan sebagai berikut:

Analisis memerlukan daya kreatif serta kemampuan intelektual tinggi. Lagi pula tidak ada cara tertentu yang dapat diikuti untuk mengadakan analisis, sehingga tiap peneliti harus mencari sendiri metoda yang dirasakan cocok dengan sifat penelitiannya.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Hadisubroto (1983: 20) menyatakan sebagai berikut :

…bahwa dalam analisis data kuantitatif itu metodanya sudah jelas dan pasti; sedangkan dalam analisis data, kualitatif metoda seperti itu belum tersedia. Penelitilah yang berkewajiban menciptakannya sendiri. Oleh sebab itu ketajaman dan ketepatan analisis data kualitatif ini sangat tergantung kepada ketajaman melihat data oleh peneliti serta kekayaan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki peneliti.

Analisis data kualitatif adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan dan diketahui maknanya. Menyusun data jenis ini berarti menggolongkannya kedalam pola, tema, unit atau kategori. Apabila data diperoleh dari banyak sumber, maka data yang diperoleh diseleksi dan dibanding-bandingkan agar dapat dimasukkan ke dalam salah satu unit atau kategori. Tafsiran atau interpretasi menggambarkan perspektif atau pandangan peneliti dalam menyusun dan menjelaskan unit atau kategori, mencari hubungan di antara berbagai konsep, dan memberikan makna kepada analisis unit atau kategori itu.

(41)

5. Tahap Member Chek

Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh kredibilitas hasil penelitian. Dijelaskan oleh Nasution (1988: 112) bahwa data itu harus diakui dan diterima kebenarannya oleh sumber informasi dan selain itu data itu juga harus dibenarkan oleh sumber informan lainnya. Maka ukuran kebenaran dalam penelitian naturalistic adalah kredibilitas. Untuk maksud tersebut “member chek” dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:

Setiap kali setelah selesai melakukan wawancara, hasil wawancara tersebut dikonfirmasikan kepada responden yang bersangkutan untuk mendapat reaksi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara informasi yang diberikan dengan yang dicatat oleh peneliti.

(42)

Proses “unitisasi” tersebut dilakukan bukan saja setelah data terkumpul, akan tetapi dilakukan pula selama proses pengumpulan data. Pada dasarnya proses kategorisasi ini tidak lain dari pada memilah-milah sejumlah unit menjadi satu kategori tertentu berdasarkan karakteristik-karakteristiknya yang “mirip”.

Menguraikan (secara tertulis) kategori-kategori itu untuk memahami semua aspek yang terdapat si dalamnya sambil terus mencari hal-hal baru. Dalam menguraikan setiap kategori tersebut, peneliti harus menjelaskan hubungannya satu sama lain sehingga tidak kehilangan konteksnya.

6. Tahap Validitas

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang absah (valid) adalah data yang tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Untuk menetapkan keabsahan (truntworthiness) data diperlukan tehnik pemeriksaan. Pelaksanaan tehnik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan dalam menguji keabsahan data, yaitu: derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).

7. Kepercayaan (credibility)

(43)

Triangulasi. Triangulasi adalah proses untuk mencek kebenaran data dengan cara membandingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan dengan menggunakan metoda yang berlainan (Nasution, 1983: 115). Sebagai contoh dalam penelitian ini misalnya informasi mengenai kegiatan adat Kampung Naga dari wawancara dengan kuncen dibandingkan dengan informasi yang sama yang diperoleh dari masyarakat setempat melalui wawancara, bahkan dibandingkan pula dengan data hasil observasi data peneliti mengikuti kegiatan upacara adat yang sealu dilengkapi dengan makanan khas Kampung Naga. Cara seperti ini peneliti lakukan untuk informasi lainnya selama pelaksanaan penelitian.

(44)

8. Keteralihan (Transferability)

Nilai keteralihan (Transferability) ini berkaitan dengan pertanyaan : Hingga manakah hasil penelitian ini dapat diaplikasikan atau digunakan dalam situasi lain. Dalam Bab I telah dijelaskan bahwa tujuan penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kelompok adat masyarakat Kampung Naga dalam melestarikan adapt kebiasaan peninggalan para leluhurnya, yang sampai saat masih menjadi kebanggaan dan mempunyai nilai-nilai misteri yang memiliki asumsi-asumsi dapat dipertangungjawabkan. Pelestarian seni budaya tersebut khususnya mendia penyajian seni kriya penyajian makanan kelompok masyarakat Kampung Naga, merupakan satu kemungkinan yang diterapkan dalam situasi lain dengan memungkinkan penyesuaian menurut keadaan masing-masing tanpa mengabaikan asumsi-asumsi yang mendasarinya.

9. Kebergantungan (Dependability)

(45)

kesimpulan sebagai hasil sintesis data; dan (4) Melaporkan bagaimana proses pengumpulan data yang dilakukan.

10. Kepastian (Confirmability)

Pengujian tingkat kepastian (Confirmability) dalam penelitian non kualitatif disebut dengan uji obyektivitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitiannya telah disepakati banyak orang. Dalam penelitian kualitatif, uji kepastian (Confirmability) mirip dengan penelitian kebergantungan (dependability), sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan.

(46)

BAB V

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Sesuatu akan terlihat sederhana saja, tidak punya keistimewaan, sehingga sesuatu itu diungkap sisi keistimewaannya, menurut ilmu pengetahuan sain atau disiplin ilmu lainnya. Misalkan cicak, setelah dibahas melalui ilmu pengetahuan, keistimewaan dan kemampuan-kemampuannya, maka cicak akan tampak bukan binatang biasa lagi. Demikianlah seni kriya yang menggunakan bungkus daun pisang ini, supaya keistimewaan dan nilai seni kriya terungkap dan tidak lagi dipandang sebelah mata, pada bagian ini akan dilakukan pendataan berbagai deskripsi dan keunikannya.

Sedangkan sistematika penyusunan pembahasan penelitian ini berdasarkan acuan kerangka wawancara yang telah disusun dalam tabel berikut:

Tabel 5.1

ANALISIS HASIL WAWANCARA JENIS KEMASAN SENI KRIYA MAKANAN

(47)
(48)

Naga

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sebenarnya ada data otentik tentang sejarah Kampung Naga dalam buku yang tersimpan di Bumi Ageung, namun pada tahun 1956, Kampung Naga ini diserang oleh DI/TII dambil mengadakan pembakaran, dan dokumen sejarah serta benda-benda pusaka ikut terbakar.

(49)

Nenek moyang masyarakat Kampung Naga dahulu mulai membiasakan membuat kriya bungkusan makanan dengan daun pisang ini terutama bila ada acara kenduri atau resepsi atau istilah sundanya hajatan. Makanan ini dibuat pada awalnya untuk supaya acara itu terasa istimewa. Sengaja makanannnya dibuat berbeda dari hari-hari biasanya, yang dengan perbedaan ini akan terasa berbeda antara hari-hari upacara adat dengan hari-hari yang lain.

Makanan ini mereka adakan terutama dalam upacara adat yang berhubungan dengan agama seperti Maulidan dan Pringatan tahun Baru Hijriyah. Sedangkan maksud mereka mengemas makanan dengan daun pisang, selain karena memang itu bungkusan yang tersedia, namun juga karena menurut pengalaman mereka daun pisang tidak membahayakan bagi kesehatan.

Aspek lainnya mengapa dahulu mereka menggunakan daun pisang sebagai kemasan makanan, ini untuk menunjukkan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Kemudian kebiasaan ini turun temurun, diajarkan dari generasi ke geenerasi, dan tetap lestari hingga hari ini.

B. Fungsi Seni Kriya Penyajian Makanan bagi Masyarakat Kampung Naga

(50)

alam. Misalnya, ketika orang lain lebih senang nasi itu disimpan di bakul alumunium atau bakul plastik, mereka tetap cinta bila nasi itu disimpan di bakul bambu, atau di piring beralaskan daun pisang atau dalam kemasan timbel sebagai ekspresi hormat mereka pada budaya leluhur dengan cara tidak menyalahi kebiasaan mereka. Mereka yakin, leluhurnya bisa hidup baik, aman dan tenteram karena sikap hidup sederhananya.

C. Seni Kriya Makanan Berbungkus Daun Pisang di Kampung Naga

1. Daun Pelapis Piring

(51)

Gambar : 5,2 Daun Pelapis Piring

Sumber

Dep.Pariwisata Tsm, ( 2002: 67 ), Sejarah Budaya Adat Kampung Naga

Makanan di piring beralaskan daun pisang ini akan membuatnya lebih cantik. bila makanan itu nasi, maka tampilannya akan bagaikan wajah gadis berbingkai kerudung berenda-renda. Gadis berkedung seperti ini tampak lebih cantik dan manis, dan itu karena pengaruh bingkainya di sekeliling wajahnya dan seperti itu pula pengaruh alas daun pisang bagi makanan yang dialasinya.

2. Pincuk Terbuka Lebar

(52)

telunjuk. Cukup rumit memang, namun gambar di bawah ini bisa menjelaskannya dengan baik:

Gambar 5.3 Pincuk/ Takir

Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan Oleh Andriati (2001: 43)

Nama Makanan : Nasi Kuning/ Wuduk Nama Kemasan : Pincuk/Takir

Bahan Kemasan : Daun Pisang,diolah dengan cara dileumpeuh

Teknik : Lipat, kedua ujungnya yang dilipat-lipat diberi semat Sehingga berfungsi sebagai wadah unutk makannya Lian-lain : Makanan khusus dalam berbagai acara kenduri bisyanya Syukuran atau upacara adat tradisional.

(53)

3. Lontong Terlipat.

Orang Sunda menyebut nasi kukus yang dikemas dengan kemasan ini dengan nama buras. Di atas daun pisang terbuka nasi setengah matang disimpan, kemudian kedua tepi daun tutupkan ke tengah, sedangkan kedua ujungnya dikerutkan dan dilipat ke bawah, sebelum kemudian dikukus. Dalam kemasan ini bukan hanya nasi, melinkan sayur, perutan kelapa, udang, ikan asin, atau jamur bisa dimasak dengan kemasan bentu ini, dan inilah hasilnya :

Gambar 5.4

Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan Oleh Andriati (2001: 43)

Lontong Lipat/ Leupeut Nama Makanan : Lontong Lipat/Leupeut

Nama Kemasan : Bungkus

Bahan Kemasan : Daun pisang, diolah bersama dengan isinya (direbus) Teknik : Gulung, kedua ujungnya dilipat kebawah, bisa dua Leupeut di satukan di simpul.

Lian-laian : Makanan ringan pengganti Nasi, dibuat terutama untuk Kegiatan upacara tradisional.

(54)

bahwa dalam penyajian makanan tradisional nan sederhana ini mengandung tehnik pengemasan mutakhir.

4. Lontong Biting

Sama dengan pembuatan kemasan bentuk lontong lipat, hanya yang ini, kedua ujungnya tidak dilipat, tapi di tusuk potongan lidi, masing-masing lidi dua kali tusukan. Bila orang telah pandai membungkus dengan cara ini, bungkusan akan tampak bulat memanjang dan cantik, sebagaimana ditunjukkan oleh gamar di bawah ini:

Gambar 5.5 Lontong Biting

Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan Oleh Andriati (2001: 43)

Nama Makanan : Lontong biting Nama Kemasan : Bungkus

Bahan Kemasan : Daun pisang, diolah bersama dengan isinya (direbus) Teknik : Gulung, kedua ujungnya dilipat kebawah dan di semat. Leupeut di satukan di simpul.

Lian-laian : Makanan ringan pengganti Nasi, dibuat terutama untuk Kegiatan upacara tradisional.

(55)

5. Prisma Segi Tiga

Ini jenis pengemasan paling rumit menurut penulis. Rumit dalam menerangkannya. Pembuatan kemasan model ini diawali dengan memotong daun membentuk segi lima, lipatlah dari tengah ke tepi yang rata sehingga membentuk kerucut dengan salah satu sisinya mencuat tinggi. Tekan bagian depan hingga terlipat rata, tekan pula kedua sisinya hingga terlipat rata, maka kini hanya salah satu ujung yang mencuat lancip ke atas. Lipatlah bagian lancip itu dan masukkan ke bawah dua sisi yang sudah melipat tadi, maka jadilah kemasan prisma segi tiga. Dan inilah hasilnya:

Gambar 5.6

Kemasan Prisma Segi Tiga/ Bugis

Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan Oleh Andriati (2001: 43)

Nama Makanan : Bugis Prisma Segi tiga Nama Kemasan : Bungkus

Bahan Kemasan : Daun pisang, diolah bersama dengan isinya (direbus) Teknik : Gulung berbentuk segi tiga, kedua ujungnya dilipat . Lian-laian : Makanan ringan pengganti Nasi, dibuat terutama untuk Kegiatan upacara tradisional.

(56)

kreatifitas seni teramat tinggi dengan tidak mengabaikan nilai-nilai kesederhanaan.

6. Timbel

Ini kemasan daun pisang terpopuler untuk membungkus nasi. Orang biasa menyebut nasi dengan kemasan ini dengan nama nasi timbel. Dengan kata lain, nasi bungkus dengan menggunakan daun pisang. Cara pelipatannya nyaris sama dengan pembuatan lontong lipat, namun di sini nasi yang dibungkus lebih besar hingga terkadang sebagian permukaan atasnya tidak tertutupi, yang menimbulkan efek keindahan tersendiri. Sebab nantinya memang timbel ini akan dibuka dan dijadikan alas saat memakannya.

Gambar 5.7 Timbel

Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan Oleh Andriati (2001: 43)

Nama Makanan : Timbel Nama Kemasan : Bungkus

Bahan Kemasan : Daun pisang, diolah bersama dengan isinya

Teknik : Gulung berbentuk segi empat, kedua ujungnya dilipat . Lian-laian : Makanan Nasi, dibuat terutama untuk kegiatan

upacara tradisional.

(57)

dan ketika mulai disuapkan, tercium perpaduan aroma daun dan wangi nasi yang khas menggugah selera. Beberapa kemasan daun pisang di atas beserta deskripsi dan keunikan bentuknya masing-masing akan lebih simpel lagi bila dibagankan dengan tabel seperti di bawah ini.

Tabel 5.2

Jenis Bungkusan Daun Pisang

Sumber: Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia : Mamannoor: ( 2002: 87)

No. Jenis Bentuk Deskriptif Keunikan

1 Daun Pelapis 4 Lontong Biting •Sama dengan lontong

(58)

lipat namun isinya lebih banyak dan terbuka

•Kontras hijau daun dan putih nasi

•Menambah aroma nasi

D. Nilai-nilai Seni Pada Kemasan Makanan Dengan Daun Pisang

Sekalipun sederhana, bungkusan makanan dengan daun pisang di masyarakat Kampung Naga itu termasuk seni rupa juga. Dan sebagaimana hasil karya seni rupa lainnya, seni kriya penyajian makanan dengan daun pisang mengandung makna dan nilai-nilai.

Tanpa aneka warna, tanpa gambar, dan hanya berbekal wujud seadanya daun pisang yang dibungkuskan, bagi penulis, betapa itu mempunyai nilai tinggi, seperti yang diberitahukan oleh masyarakat Kampung Naga, akan coba penulis ramu dengan sumber-sumber lainnya:

1. Nilai Spiritual

(59)

religius dalam seni bukan sekedar memberikan gambaran yang baik, melainkan ia adalah kebajikan keajikan yang terungkapkan.

2. Nilai Kesederhanaan

Sama halnya dengan cara mereka membangun rumah, berpakaian, bekerja dan berbicara, dalam pembungkusan makanan mereka mengedepankan kesederhanaan. Daun pisang telah tersedia di lingkungan perkampungan mereka, tinggal memetik dan tidak harus keluar uang untuk berbelanja, sebagaimana ketika akan mengemas makanan dengan plastik, kertas, atau styrofoam. Kemasan daun pisang tidak memerlukan banyak pengolahan, cukup dengan hanya dijemur, dipisahkan dari batangnya, maka daun pisang sudah siap digunakan. Kesederhanaan lain terdapat pula pada warnanya. Saat sebagian besar kemasan makanan mengutamakan warna-warna cerah seperti merah, gading, hijau muda, merah muda, biru muda, warna bungku daun pisang terasa bersahaja dengan warna hijau tuanya, satu corak warna yang dekat dengan kehidupan dan alam semesta dan tidak melelahkan mata.

Hidup sederhana telah mengakar kuat dalam jiwa mereka dan ini menjadi nilai lebih tersendiri, nilai lebih sebagai akhlak mulia dan nilai lebih bagi kebahagiaan jiwa.

(60)

memberitakann keberhasilannyan atau besarnya sumbangan yang dia berikan kepada kehidupan sosial, atau memperlihatkan kendaraan, rumah, dan istrinya yang cantik. Dia berbangga diri dan ketika kebanggaannya sampai pada titik jenuh, dia akan mengalami kesengsaraan tersendiri, bingung mencari lagi hal lain yang ingin dia pamerkan. (Gymnastiar, 2005: 57).

Budaya mengemas makanan dengan daun pisang adalah salah satu seni kriya yang di dalamnya terkandung nilai tinggi nan mulia, nilai kesederhanaan.

3. Nilai Kelestarian Budaya.

Pengalaman adalah guru terbaik, demikian kata sebuah ungkapan lama. Para orang tua dahulu, telah mengalami berbagai macam pengalaman hidup, kebiasaan yang menguntungkan, kebiasaan merugikan, dan perbuatan berakibat baik, perbuatan berakibat buruk, mana cara yang aman dan mana cara yang mencelakakan.

(61)

rumah masyarakat Kampung Naga, yang semuanya panggung beratap ijuk, tetap utuh seperti sedia kala. Saat kejadian, warga Kampung Naga kaget. Namun kekagetan itu cuma sesaat karena gempa berlalu begitu saja di kampung ini. Rumah warga dibangun dengan filosofi adat Sunda berdasarkan pengalaman nenek moyang selama bertahun-tahun. Kearifan bangunan yang selaras dengan alam, yang dibangun menurut adat budaya leluhur itu, telah menyelamatkan 316 orang warga Kampung Naga. Padahal tak jauh dari lokasi, masih di Kecamatan Salawu, sebanyak 80 rumah dan satu masjid rusak. Korban luka-luka delapan orang dan seorang anak tewas tertimpa bangunan rumah.

Sama halnya dengan penggunaan daun pisang untuk kemasan itu, sebagai budaya leluhur yang mereka lestarikan, sebab mereka yakin, tidaklah kebiasaan itu ada, melinkan dari hasil olah pengalaman-pengalaman para orang tua selama ratusan tahun. Sebab mereka yakin, kebiasaan membungkus makanan dengan daun pisang itu akan berbuah kebaikan untuk dirinya, keluarganya, turunannya dan alam lingkungannya. Dan ini bisa dibuktikan, kemasan daun pisang itu lebih menyehatkan dari kemasan lain, sebagaimana yang akan kita bahas di foin berikutnya.

4. Nilai Estetika

(62)

tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya, pengertian lain tentang keindahan yaitu kepekaan terhadap seni dan keindahan.

Dikaitkan dengan pembahasan mengenai kemasan tradisional, nilai estetis yang terkandung dalam kemasan tradisional tersebut tidak sebatas muncul dari keindahan bentuknya, pengertian nilai estetisnya dapat menjadi luas, misalnya nilai estetis yang hadir justru dari unsur budaya teradat atau nilai tradisi dari bentuk kemasan makanan tersebut.

Kemasan yang dibuat menyerupai kerucut atau pincukan sama semuanya menunjukkan kecantikan yang khas. Dan kecantikan ini bukan hanya terlihat dari entuknya, melainkan juga dari unsur budaya yang melandasinya, bagaikan keindahan sebuah lukisan, tidak hanya dinilai dari rupanya saja, tetapi juga dari makna dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Seperti lukisan Jean Mitchel Basquiat, lukisan dia nyaris sama dengan hasil curat-coret anak-anak, namun banyak orang memburunya dan membelinya dengan harga milyaran rupiah. Ini memang sebuah aliran seni rupa ekspresionismee, namun di baliknya mengandung suatu hikmah yang membuktikan bahwa keindahan itu bukan hanya dilihat dari rupa melainkan dari makna.

Demikianlah nilai keindahan atau nilai estetika dari seni kriya bungkusan daun pisang di masyarakat Kampung Naga, keindahanya bukan hanya dari bentuk dan jenisnya semata, melainkan juga dari makna yang terkandung di dalamnya. 5. Nilai Natural

(63)

dampak yang bersifat negatif. Manusia merupakan perwujudan dari alam bukan sebagai penakluk alam, yakni menjadi peserta di alam bukan menjadi pemangsa alam. Manusia sebagai perwujudan dari alam terus mengungkapkan keindahan, kebenaran, dan kebaikan alam; dan mengartikulasikannya dalam pengolahan moral atau alam dari kehidupan manusia atau sifat manusia. Dengan kata lain, manusia seharusnya bersahabat dengan alam. Sebagai bagian dan bidang dari alam, manusia tidak berdiri menentang alam dengan cara yang bermusuhan. Sebaliknya, manusia memiliki keprihatinan dan perhatian yang mendalam pada alam dan pada umumnya, karena cocok dengan sifatnya sendiri. Untuk pertumbuhan dan kesejahteraannya sendiri, manusia harus mengolah hubungan internal dalam dirinya antara dirinya dan alam semesta. Menaklukkan alam dan mengeksploitasinya adalah bentuk perusakan diri dan perendahan diri bagi manusia.

(64)

lingkungannya dan intensitas ketergantungan itu semakin lama semakin meningkat kualitasnya.

Alam adalah organisme dari pertumbuhan dan kerusakan yang berkelanjutan, tetapi tidak pernah tanpa kehidupan internal. Manusia tidak bisa memperlakukan alam sebagai bagian yang terasing dan atomis tanpa memperhatikan keseluruhan yang termasuk masa lalu dan masa depan. Manusia harus mempertimbangkan banyak level pendekatan untuk menghubungkan kebutuhan-kebutuhan potensial manusia dengan alam. Manusia harus meng-alam-kan manusia seperti juga memanusiameng-alam-kan alam, dengan memperlakumeng-alam-kan alam sebagai sama dengannya dan sebagai anggota dalam keluarga Tao.

Ekologis bukan hanya berarti bahwa kita mengambil secara bijaksana persediaan sumber-sumber daya yang tersedia dan menganjurkan ukuran-ukuran yang ketat untuk melestarikannya lebih lama; kesadaran itu juga berupa penghormatan terhadap alam dan keinsafatan bahwa kita adalah perluasan alam dan alam adalah perluasan dari kita. Nilai-nilai manusia harus dilihat sebagai bagian dari sebuah spektrum yang lebih besar yang di dalamnya alam berpartisipasi dan saling mendefinisikan.

(65)

dilihat di alam akan tergantung pada kepentingan ekonominya terhadap sumber-sumber daya alam.

Manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam, dan perkembangan kehidupan manusia menyatu dengan proses evolusi dan perkembangan kehidupan alam semesta seluruhnya. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang didasarkan pada kekerabatan, sikap hormat dan hidup layak sebagai manusia dalam arti seluas-luas dan sepenuhnya, manusia bergantung pada alam, bukan hanya pada sesama manusia.

Lingkungan tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah objek yang ada di sekeliling, kondisi-kondisi material, peralatan mesin, ataupun ciri sementara. Lingkungan lebih tampak, lebih dari nyata, lebih dari eksternal, lebih dari persoalan periode waktu yang terukur atau penyebaran ruang. Oleh karenanya, dampak perkembangan teknologi yang merusak tatanan lingkungan, baik berupa benda-benda fisik maupun nonfisik yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap ekosistem yang ada di dalamnya.

(66)

Karena itulah, sudah seharusnya manusia menjalin hubungan dengan alam, peduli, menghargai, tidak mencemarinya dengan sampah-sampah yang bisa merusak dan menimbulkan polusi, seperti yang dilakukan masyarakat Kampung Naga, mereka membungkus makanannya dengan daun pisang, dan sampah daun pisang itu, bila dibuang ke tanah, akan mudah terurai, tidak mencamari, bahkan sebaliknya, menambah kwalitas kesuburan tanah. Itulah salah satu tehnik seni bersahabat dengan alam.

6. Nilai Kebersamaan

(67)

Masyarakat Kampung Naga membudayakan hidup seragam dengan pelestarian kemasan sederhana daun pisang. Karena kepraktisan dan murahnuya, kemasan daun pisang bisa digunakan semua orang. Oleh karena itu takkan pernah terjadi sebagian orang bisa menggunakannya dan sebagian lagi tidak bisa. Dan hal ini akan membuat kebersamaan mereka semakin erat, karena semua orang akan merasa sama, sejajar, tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah.

Masyarakat Kampung Naga sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan keseragaman. Seperti telah disampaikan pada bab terdahulu, dalam berbahasapun di Kampung Naga tidak mengenal hierarki atau tingkatan bahasa sebagaimana bahasa Sunda lainnya. Mereka memakai bahasa yang digunakan kepada semua orang dengan berbagai tingkat usia. Kepada anak-anak, teman sebaya dan kepada orang tua, mereka menggunakan bahasa yang sama tidak pernah membeda-bedakan. Sekali lagi, mereka sangat menjunjung tinggi kebersamaan.

7. Nilai Kekuatan.

(68)

dipesan dan dikemas dalam dua wadah styrofoam. Setelah saya bayar dan dibawa ke rumah, saya terperanjat begitu membuka tas, karena ada cairan yang tumpah. Dalam bayangan saya, tadi mungkin miring, sehingga ada kuah yang tertumpah. Tetapi kemudian ingat kembali bahwa saya hanya memesan nasi goreng dan telur dadar, darimana cairan ini?. Begitu diamati, tampak lebih parah lagi karena ternyata kemasan styrofoam itu berlubang di beberapa bagian karena meleleh. Bahan styrofoam ini ternyata meleleh setelah terkena minyak dari telur dadar yang dimasukkan ke dalamnya pada saat masih panas. Akhirnya karena sudah malam dan lapar tentu saja makanan harus tetap dimakan sebagian saja, yang kira-kira tidak terkena lelehan styrofoam ini.

Styrofoam memang mudah meleleh bila terkena panas cukup tinggi. Terkena telur dadar dia akan berlubang, juga bila terkena nasi goreng, walaupun nasi itu tidak cukup panas, namun permukaan styrofoam yang terkena panas akan berubah kasar menjadi kasar dan tidak rata.

Kemasan styrofoam itu terbuat dari polimer sejenis polystyrene (PS). Dunia industri mengenalnya sebagai plastik dengan kode angka 6. Polystyrene merupakan polimer aromatik yang terdiri dari komponen monomer styrene. Styren dapat muncul dari styrofoam yang terbakar atau bahkan saat kontak dengan bahan yang masih panas saat terjadi kontak.

(69)

kemasan modern. Dari sini terkuak lagi satu fakta kearifan lokal dalam budayanya, sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan masyarakat Kampung Naga: Mengemas makanan dengan daun pisang.

8. Nilai Kesehatan

Di atas telah disebutkan, kemasan styrofoam itu terbuat dari polimer sejenis polystyrene (PS). Dunia industri mengenalnya sebagai plastik dengan kode angka 6. Polystyrene merupakan polimer aromatik yang terdiri dari komponen monomer styrene. Menurut hasil penelitian, diketahui bahwa styrene ternyata sangat berbahaya untuk kesehatan otak, dapat mengganggu hormon estrogen pada wanita yang berakibat pada masalah kesehatan reproduksi, pertumbuhan dan sistem syaraf .

Bungkus daun pisang terbebas dari semua hal di atas. Tidak ada styrene, tidak ada polystyrene, dan tidak ada ancaman gangguan otak, gangguan hormon estrogen, juga tidak menimbulkan masalah pada reproduksi. Tuhan telah menyediakan di alam kemasan sederhana yang menyehatkan bagi manusia. Dan masyarakat Kampung Naga percaya kebiasaan nenek moyang mereka itu suatu cara hidup terbaik.

9. Nilai Aromaterapi.

Gambar

Tabel 5.1  ANALISIS HASIL WAWANCARA
Gambar : 5,2
Gambar 5.3 Pincuk/ Takir
Gambar 5.4 Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Namun terjadi penurunan pada perlakuan pengukusan 50 menit dan waktu kempa 60 menit yang dapat disebabkan oleh kesalahan teknis seperti jarak yang ditempuh dari

Berdasarkan hasil dari percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa dengan menerapkan mekanisme fleksibilitas kapasitas dapat meningkatkan service level pabrik secara

Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu

Adapun yang menjadi pencipta dan yang membudayakan tradisi pembacaan senandung munajat ini adalah tuan guru pertama yang juga merupakan pendiri Tarekat

15% orang dewasa yang menggunakan situs jejaring sosial mengatakan mereka mendapat pengalaman yang buruk mengakhiri hubungan pertemanan dengan seseorang, sementara pada remaja

Harga yang terjangkau (masih murah) akan menjadi kekuatan pasar, karena harga komoditi di Kabupaten Serdang Bedagai tidak terlalu mahal kerena sumber barang yang tidak begitu

4,7,8 berdasarkan kuesioner responden paling banyak memiliki lama menyirih 6-10 tahun sebanyak 17 orang (40,4%).Berdasarkan uji korelasi menggunakan chi-square test,

Faktor yang menyebabkan mahasiswa PPL mengalami kesulitan saat melaksanakan ouyou renshuu adalah maha- siswa PPL memberikan masukan dan ungkapan baru yang bisa digunakan