• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA ATAS

PENYIMPANGAN DALAM PERIJINAN

DAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN

JAKARTA

2013

(2)
(3)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

PENYIMPANGAN DALAM PERIJINAN ATAS DAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pertambangan merupakan kekayaan alam yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;

b. bahwa diperlukan adanya pengawasan dalam proses perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;

c. bahwa dalam pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia masih terdapat penyimpangan dalam proses perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

e. bahwa Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Panitia Akuntabiltas Publik telah membahas dan merumuskan Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Penyimpangan dalam Perijinan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Penyimpangan dalam Perijinan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan;

Mengingat : 1. Pasal 22C dan Pasal 22D Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran

(4)

Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-15 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 tanggal 8 Juli 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PENYIMPANGAN DALAM PERIJINAN DAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN.

PERTAMA : Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Penyimpangan dalam Perijinan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan.

KEDUA : Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah lampiran yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, S.E., M.B.A.

Wakil Ketua,

G.K.R. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

(5)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PENYIMPANGAN DALAM PERIJINAN ATAS

DAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BAB I

PENDAHULUAN A. UMUM

Pertambangan di banyak daerah khususnya dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan banyak ditemukan penyimpangan yang disebabkan adanya perijinan usaha pertambangan yang tumpang tindih yang diberikan oleh Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Badan Usaha, Koperasi dan Perseorangan yang seharusnya perijinan usaha pertambangan tersebut dapat diberikan setelah mendapatkan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) dari Menteri atas Rekomendasi Gubernur atau Bupati/Walikota.

Dalam masa sidang sebelumnya Panitia Akuntabilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (PAP DPD RI) selalu konsisten untuk melakukan tugas-tugas konstitusionalnya dengan memberikan pandangan dan/ataupun memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang terkait dengan perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan yang dikeluarkan baik oleh Menteri maupun Gubernur, Bupati/Walikota.

Hal ini merupakan wujud akuntabilitas pelaksanaan mandat konstitusional yang diemban PAP DPD RI untuk senantiasa menyuarakan berbagai aspirasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat di daerah. Selain itu, menandakan bahwa keterbatasan kewenangan yang dimiliki PAP DPD RI sekarang ini, tidak mengurangi kualitas output kinerja yang dihasilkan PAP DPD RI secara umum.

PAP DPD RI diamanatkan antara lain untuk melakukan Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), disamping atas pelaksanaan sejumlah Undang-Undang terkait Otonomi Daerah. Pelaksanaan pengawasan dimaksud dilaksanakan oleh PAP yang bertugas melakukan tindak lanjut atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pengaduan Masyarakat yang terindikasi korupsi dan Maladministrasi (Parlianment Ombudsman).

PAP DPD RI memahami bahwa korupsi terkait Pengelolaan SDA telah menimbulkan ketidakadilan ekologis dan mengurangi hak serta akses dan kontrol masyarakat atas lingkungan hidup. Khususnya di sektor Pertambangan yang kini menjadi primadona di Indonesia, dilain pihak juga menimbulkan kerusakan alam yang luar biasa dan tak mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Bahkan di berbagai daerah telah menjadi pemicu munculnya konflik berkepanjangan.

Berdasarkan data dan Analisis PAP DPD RI, salah satu temuan BPK dan pengaduan masyarakat yang sering disampaikan kepada PAP adalah adanya penyimpangan kebijakan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan, pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan sehingga sering menimbulkan permasalahan yang muncul dalam pertambangan batubara karena belum ditetapkannya wilayah pertambangan, tidak dilaksanakannya kewajiban pemegang perijinan untuk membayar royalti kepada pemerintah, tidak optimalnya kegiataan pengawasan, tidak terlaksananya kegiatan reklamasi pasca tambang dengan baik dan tidak baik dalam tata kelola administrasi proses perijinan maupun dalam proses penegakan hukum.

(6)

Modus tindak pidana pertambangan sering ditemukan oleh aparat penegakan hukum yaitu adanya penambangan tanpa izin, melakukan penambangan dengan izin tapi tidak sesuai dengan peruntukannya, melakukan penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan, mempunyai perijinan eksplorasi tetapi sudah melakukan eksploitasi serta melakukan penambangan tanpa melengkapi izin lingkungan maupun menyampaikan laporan palsu tentang hasil produksi pertambangan dan penjualan sehingga beban iuran produksi dan royalti yang dibayarkan lebih ringan. Permasalahan tersebut diatas apabila tidak dilakukan pengawasan secara intensif akan berpotensi terjadinya kerugian Keuangan negara serta menjadi celah bagi terjadinya tindak pidana korupsi. Hal tersebut menginspirasi PAP untuk melakukan pembahasan mendalam guna memahami akar persoalan dan mencari solusi yang strategis. Untuk itu PAP telah melakukan inventarisasi permasalahan baik yang diterima dari masyarakat maupun hasil pemeriksaan BPK tentang adanya penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan bersama pihak-pihak terkait. Pada tanggal 7 Maret 2013 PAP telah melaksanakan FGD di Samarinda, Kalimantan Timur untuk menyerap aspirasi masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Assosiasi Penambang Batubara. Sebagai tindak lanjut dari FGD tersebut PAP telah melakukan RDP pada tanggal 21 Februari 2013 yang dihadiri Pejabat dari Kementrian ESDM, Kementrian Kehutanan, dan Kementrian Keuangan. Pada tanggal 8 Mei 2013 diadakan RDPU dengan Kemitraan (Partnership for Govenrnance Reform). Pada tanggal 31 Mei 2013 telah dilaksanakan lokakarya terkait Evaluasi Penyimpangan dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) bertempat Gedung GBHN Nusantara V MPR/DPR/DPD RI di Jakarta.

Sejalan dengan mandat PAP DPD RI sebagai perwakilan masyarakat daerah, maka PAP DPD RI senantiasa mendukung setiap aspirasi yang berkembang, satu diantaranya adalah terkait dengan adanya Penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan, tentu sesuai dengan koridor konstitusi dan kewenangan yang dimiliki PAP DPD RI sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.

B. DASAR HUKUM

1) Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Dewan Perwakilan Daerah.

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 nomor 123, tambahan lembaran Negara nomor 5043)

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2010 tentang wilayah pertambangan serta Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

4) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004 Junto Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

6) Peraturan DPD RI Nomor 2 tahun 2012 tentang Tata Tertib.

C. MAKSUD DAN TUJUAN

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan PAP DPD RI masa sidang IV tahun Sidang 2012-2013 PAP akan melaksanakan Lokakarya dengan maksud untuk :

1. Mendapat masukan dari pihak-pihak terkait, tentang mekanisme dan prosedur perijinan yang mengandung potensi timbulnya penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan yang dapat menimbulkan kerugian Keuangan negara.

2. Mendapatkan masukan sekaligus mengakomudir pengaduan masyarakat tentang penyimpangan-penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan.

3. Menanggapi dan mendiskusikan solusi yang ditawarkan guna mengatasi permasalahan dan kendala dalam Perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan.

4. Merumuskan dan menyepakati rekomendasi bersama semua instansi/lembaga terkait dalam rangka menentukan arah kebijakan.

5. Hasil pengawasan yang diperoleh dari rangkaian kegiatan tersebut digunakan sebagai bahan masukan bagi perumusan kebijakan (policy paper) dan pengambilan langkah- langkah perbaikan dalam rangka minimalisasi penyimpangan dalam proses perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan.

D. KELUARAN DAN TINDAK LANJUT

Kegiatan Lokakarya ditujukan untuk memperoleh identifikasi permasalahan-permasalahan di bidang pertambangan dan menghasilkan metode serta cara penyelesaian yang akomodatif bagi peningkatan peran dan posisi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai bahan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan berkaitan dengan peran serta masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud, akan menghasilkan keluaran berupa Hasil Pengawasan DPD RI atas perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan. Hasil Pengawasan ini disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD RI ke-15 pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013.

(7)

BAB II

PELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PENYIMPANGAN DALAM PERIJINAAN DAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN

A. OBJEK KEGIATAN PENGAWASAN

Pelaksanaan fungsi pengawasan PAP DPD RI diarahkan pada obyek pengawasan terkait dengan adanya penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan.

1. Objek Pengawasan

Salah satu program kerja PAP DPD RI pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012- 2013 adalah melaksanakan fungsi pengawasan atas penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan yang diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/

Walikota. Hal ini sejalan dengan adanya temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada PAP DPD RI tentang adanya penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan sehingga sering menimbulkan permasalahan yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan Negara dan terjadinya tindak pidana korupsi untuk itu PAP DPD RI melakukan pembahasan mendalam guna memahami akar persoalan dan mencari solusi yang strategis.

2. Pengawasan Atas Pelaksanaan Perundang-Undangan

Pengawasan PAP DPD RI ini difokuskan terhadap penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan. Mengingat adanya beberapa isu persoalan penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan yang dilakukan oleh Menteri (Pemerintah Pusat), Gubernur, Bupati/Walikota merupakan salah satu aspirasi yang berkembang di daerah yang diperoleh anggota PAP DPD RI dalam melaksanakan kegiatan di daerah pada masa reses maupun ketika melaksanakan kunjungan kerja di daerah ternyata masih terdapat adanya tumpang tindih terhadap kewenangan dalam memberikan perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Penyimpangan ini terjadi juga disebabkan karena lemahnya pengawasan terhadap pemberian perijinan usaha pertambangan serta lemahnya aparat penegak hukum dalam melaksanakan penindakan atas kasus dan konflik pertambangan.

B. ASPEK PENGAWASAN DPD RI

Pengawasan terhadap penerbitan izin usaha pertambangan terdiri 2 (dua) aspek, yaitu pengawasan yuridis dan pengawasan sosio-politik.

1. Aspek Yuridis

Secara yuridis, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa:

”Bumi dan Air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Sebagai pelaksanaan dari amanat UUD 1945 tersebut, mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara perlu melakukan penataan kembali peraturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Selain dari pada itu, pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dan mineral berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 pasal 6 bahwa Ijin Usaha Pertambangan (IUP) diberikan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan Badan Usaha, Koperasi dan Perseorangan. Selanjutnya pasal 7 menjelaskan bahwa IUP diberikan melalui tahapan pemberian Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) dan pemberian Ijin Usaha Pertambangan (IUP).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan fasal 15 menjelaskan bahwa Rencana Wilayah Pertambangan ditetapkan oleh Menteri menjadi Wilayah pertambangan setelah berkoordinasi dengan Gubernur, Bupati/Walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Wilayah pertambangan (WP) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan Gubernur atau Bupati/

Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan WP kepada Menteri berdasarkan hasil Penyelidikan dan Penelitian.

Ternyata dalam pelaksanaannya masih ditemukan permasalahan yang muncul dalam pertambangan batubara terkait aspek regulasi, wilayah pertambangan dimana Kementerian ESDM belum menetapkan Kawasan Wilayah Pertambangan, masih banyak KP/IUP yang belum berstatus Clean and Clear. Permasalahan lain adalah tidak ada data base izin usaha pertambangan, belum tertibnya kewajiban membuat laporan dan kewajiban keuangan yang disampaikan pemegang IUP kepada Bupati/Walikota, Gubernur

(8)

dan Menteri. Pemegang IUP juga tidak membayarkan kewajiban iuran tetap dan iuran produksi kepada pemerintah.

2. Aspek Sosio-Politik

Masalah Pertambangan sangat erat kaitannya dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Kedaulatan Negara dalam Negara kesatuan baik keluar maupun kedalam sepenuhnya berada di tangan Pemerintah Pusat. Namun demikian Pemerintah Pusat harus menyerahkan pelimpahan sebahagian kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya kepada daerah berdarkan azas desentralisasi. Namun dalam pelaksanaannya berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pengaduan masyarakat masih banyak ditemukan penyimpangan kebijakan dalam proses perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan baik dalam tata kelola administrasi proses perijinan maupun proses penegakan hukum.

C. METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASAN

Sebagaimana diatur dalam Peraturan DPD RI No. 6 Tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan pengawasan oleh PAP DPD RI mengatur bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dilakukan melalui rangkaian kegiatan: menyusun agenda pengawasan, menginventarisasi permasalahan dan mengindentifikasi permasalahan, melakukan pengumpulan data/verifikasi dan pembahasan terhadap aspirasi masyarakat, serta melakukan klarifikasi dengan pejabat yang bersangkutan yang selanjutnya disusun menjadi sebuah hasil pengawasan.

Dalam rangka penyusunan Hasil Pengawasan terhadap Pelaksanaan Undang- Undang pertambanganan dan mineral yang terkait penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan, maka PAP DPD RI telah menggunakan metode dan istrumentasi melalui penyerapan aspirasi masyarakat, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, Kunjungan Kerja, Rapat Koordinasi, Rapat Konsultatif, FGD dengan pakar dan ahli, lokakarya dengan Pakar, Ahli, Instansi terkait dan Aparat Penegak Hukum.

D. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATAN

Guna mencapai target dan sasaran yang dimaksud dalam pengawasan ini, maka dilakukan berbagai kegiatan yang pada prinsipnya guna menginventarisasi seluruh aspirasi masyarakat, dan pandangan dari berbagai pakar/ahli. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut, berdasarkan tempat dan waktu pelaksanaan sebagai berikut:

Inventarisasi materi, yang disarikan dari kegiatan-kegiatan:

1. Penyerapan aspirasi masyarakat, meliputi:

a) Penyerapan aspirasi masyarakat oleh Anggota PAP DPD RI di masing-masing provinsi selama periode Masa Sidang III Tahun Sidang 2012 - 2013;

b) Penyerapan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Kunjungan Kerja PAP DPD RI dan FGD ke Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 7 Maret 2013.

2. Rapat dengar pendapat pada tanggal 21 Februari 2013 dengan Kementerian Negara dan lembaga-lembaga negara yang terkait , antara lain: Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, dan Kemitraan.

3. Rapat dengan pendapat Umum PAP DPD RI dengan Kemitraan tanggal 8 Mei 2013.

4. Lokakarya PAP-DPD RI dengan Kementerian ESDM, Kejaksaan Agung, Asosiasi Pertambangan, Gubernur/Bupati yang terkait pada tanggal 31 Mei 2013 mengenai Evaluasi Penyimpangan dalam Penerbitan IUP.

(9)

BAB III

TEMUAN DALAM PENGAWASAN TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM PERIJINAN DAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN

Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang pertambangan dan batubara, Peraturan Pemerintah RI. No.23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, Peraturan Pemerintah RI No. 22 tahun 2010 tentang Wilayah pertambangan, sudah berlaku efektif selama 3 tahun dan telah memberikan kontribusi dan memberikan ruang gerak untuk berinovasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik dalam penerbitan ijin usaha pertambangan yang lebih baik bagi masyarakat, serta dapat meningkatkan Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Namun demikian ada beberapa masalah krusial dalam pelaksanaan Undang-Undang Pertambangan mineral dan batubara yang masih menjadi perhatian dan patut ditinjau sekaligus dianalisa secara mendalam dalam konteks akademis, guna memberikan berbagai masukan baik sifatnya politis maupun teknis implementasi di lapangan. Oleh karena itu, hasil temuan PAP DPD RI tatkala kunjungan kerja di lapangan, rapat kerja, RDP, RDPU, Rapat Konsultatif, FGD, dan Lokakarya dengan lembaga-lembaga Negara terkait dan berbagai pakar, hasilnya dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan laporan hasil pengawasan PAP DPD RI ini.

HASIL TEMUAN LAPANGAN TERKAIT PENGAWASAN PENYIMPANGAN DALAM PERIJINAN DAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN

1. Permasalahan terkait Aspek Regulasi (Penataan kewenangan pengelolaan pertambangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)

Belum ditetapkannya aturan-aturan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam pasal 174 Undang-Undang No. 4 tahun 2009 bahwa peraturan pelaksana Undang-Undang tersebut harus ditetapkan selambat-lambatnya 12 Januari 2011 namun sampai tanggal 4 Agustus 2011 masih terdapat 23 rancangan peraturan Meenteri yang belum ditetapkan. Sebagai ilustrasi bahwa pemberian ijin usaha pertambangan batuan berdasarkan PP No.23 tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah yaitu setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki Ijin Usaha Pertambangan harus menyampaikan permohonan terlebih dahulu kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan pembagian kewenangannya. Kewenangan Menteri ESDM. Untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah Provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 dari garis pantai sedangkan Gubernur untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah Kabupaten/Walikota dalam satu Provinsi atau wilayah laut 4 s/d 12 Mil. Bupati/Walikota untuk permohonan wilayah yang berada didalam satu wilayah Kabupaten/Walikota atau wilayah laut sampai dengan 4 Mil. Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administrasi kepada pemegang ijin usaha pertambangan atas pelanggaran terhadap Undang-Undang berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, atau pencabutan IUP.

2. Permasalahan terkait Wilayah Pertambangan.

Terkait dengan penetapan wilayah pertambangan, harus diperhatikan pula Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. Perkara 10/PUU-X/2012 yang menetapkan bahwa yang semula “Wilayah pertambangan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”

diubah menjadi “Wilayah Pertambangan ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Inddonesia”.

Sebagai mitra Pemerintah, DPR RI memegang peranan strategis dalam penataan sektor pertambangan. Melalui Komisi VII DPR RI yang merupakan mitra kerja yang merupakan mitra kerja Kementerian ESDM diharapkan dapat segera menyelesaikan pembahasan mengenai wilayah pertambangan dengan mendesak Kementeriaan ESDM untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai potensi/cadangan kekayaan mineral dan batubara yang sudah, sedang dan akan dieksplotasi yang sangat dibutuhkan untuk menetapkan rencana wilayah pertambangan.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengeluarkan Surat Edaran N0.08.E/30/DJB/2012 tanggal 8 Maret 2012 tentang penghentian sementara Peenerbitaan IUP baru sampai ditetapkannya wilayah pertambangan (WP). Hal ini disebabkan karena masih banyak terdapat pemberian ijin usaha pertambangan yang dikeluarkan Gubernur dan Bupati/

Walikota yang belum berstatus Clean & Clear. Sebagai contoh berdasarkan hasil Inventaris Ditjen Minerbapabun atas IUP yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah hingga 30 Juni 2011 terdapat 8.475 IUP di seluruh Indonesia namun setelah dilakukan verifikasi hanya 3.904 IUP (46%) yang dinyatakan tidak bermasalah (Clean and Clean).

3. Bentuk-bentuk Pelanggaran Proses Perijinan Pengusahaan Pertambangan Batubara.

Tidak ada database IUP disebabkan kewajiban pemegang IUP untuk memberikan laporan dan kewajiban keuangan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seharusnya Gubernur Bupati/Walikota berkewajiban melaporkan pelaksanaan pemegang IUP di wilayahnya kepada Menteri ESDM sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

Dari data yang ada sampai bulan Juli 2011 dari 8.475 IUP yang diterbitkan oleh Pemerintah

(10)

Daerah baru 30 pemegang IUP yang menyampaikan laporan produksi, empat pemegang IUP menyampaikan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), tiga IUP yang menyampaikan laporan penjualan dan pengangkutan kepada Kementerian ESDM. Walaupun ada laporan produksi yang disampaikan pemegang IUP kepada Pemerintah, namun tidak sesuai dengan standar isi laporan produksi yang memuat kegiatan pengelolaan, kegiatan penjualan, kegiatan pelatihan SDM, Statistik pemasaran dan biaya produksi. Kemudian terdapat perusahaan yang tidak membayarkan kewajiban iuran tetap dan iuran produksi kepada pemerintah, membayar iuran produksi lebih kecil dari yang ditetapkan, membayar iuran produksi melebihi batas waktu yang ditetapkan. Adanya potensi penyimpangan dalam mekanisme perhitungan iuran produksi secara self assessment oleh pemegang IUP. Terdapat sebagian pemegang IUP menyetorkan iuran dan royalti tidak menyampaikan bukti setor ke Pemda maupun ke Kementerian ESDM.

Tidak diberikannya sanksi yang tegas kepada pemegang IUP yang tidak membayarkan kewajiban keuangannya dan hanya memberikan surat teguran kepada pemilik IUP.

4. Sistem Pengawasan Pertambangan dan Mekanisme Sanksi Pengawasan.

Tidak sesuainya praktek pengawasan yang dilakukan di tingkat pemerintah daerah dengan standar pengawasan yang telah ditetapkan seperti aspek administrasi, lingkungan, produksi, pemasaran, keuangan, keselamatan kerja. Pengawasan yang dilakukan di Daerah hanya terkait dengan pembayaran iuran produksi dan tidak memastikan berapa jumlah produksi dan jenis kalori batubara yang dijual. Berdasarkan PP.55 tahun 2010 bahwa kegiatan pengawasan terhadap Usaha pertambangan dilakukan oleh Inspektur Tambang dan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota namun berdasarkan kondisi yang ada jumlah pengawas yang ada di tingkat Daerah sangat sedikit dibandingkan tugas dan tanggung jawabnya. Untuk memperkuat Sistem Pengawasan Pertambangan, perlu dipersiapkan mekanisme sanksi baru aparatur pengawas pertambangan. Hal ini tidak terlepas dari adanya kewajiban Gubernur, Bupati/Walikota untuk melaporkan pelaksanaan pemegang usaha pertambangan di wilayahnya kepada Menteri ESDM sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali. Mekanisme sanksi bagi pengawas pertambangan diberikan untuk menghindari tidak sesuainya praktek pengawasan yang dilakukan di tingkat Pemerintah Daerah dengan standar pengawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Untuk memaksimalkan pengawasan ini control pemberian ijin dan pengelolaan usaha pertambangan sebaiknya dititik beratkan pada pemerintah provinsi oleh sebab itu setiap Bupati/Walikota yang akan memberikan perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan sebaiknya terlebih dahulu menginformasikan kepada Pemerintah Provinsi atau memintakan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi. Hal ini semata-mata untuk mempermudah mekanisme pengawasan perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan sekaligus mengubah mekanisme pemberitahuan/tembusan perijinan usaha pertambangan yang diserahkan kepada Gubernur yang telah dipraktekkan selama ini. Sistem pengawasan pertambangan juga diarahkan untuk menghindari adanya barter perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan dengan pola Fresh Money dalam menghadapi pemilukada.

5. Penegasan Royalti dan Jaminan Reklamasi yang harus dilaksanakan oleh pengusaha Pelanggaran mengenai perijinan dan pelanggaran terhadap pembayaran kewajiban, iuran tetap, iuran eksplorasi, eksploitasi/royalti dan dana hasil produksi sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah nomor 45 tahun 2003 tentang tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak yang berlaku pada kementrian ESDM juga sering dilakukan pengusaha pertambangan dengan tidak melaporkan keadaan sebenarnya mengenai jumlah produksi yang dihasilkan. Sering pula ditemukan praktek penyampaian laporan palsu tentang hasil produksi pertambangan dan penjualan sehingga beban iuran produksi dan royalti yang dibayarkan lebih ringan. Pengusaha pertambangan juga sering kali mengabaikan kewajiban untuk menyediakan biaya jaminan reklamasi sehingga menimbulkan kerugian bagi Negara dan merusak lingkungan hidup. Terkait dana jaminan reklamasi seharusnya pemerintah menetapkan biaya jaminan reklamasi yang layak dan pantas baik yang akan menguntungkan Negara dan masyarakat maupun menguntungkan secara ekonomis dan ekologis.

(11)

BAB IV REKOMENDASI

Berdasarkan kondisi yang demikian itu, maka Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia memberikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:

1. Terkait Aspek Regulasi Pertambangan

Perlu dilakukan berbagai upaya untuk melakukan tinjauan kritis terhadap aspek regulasi/

peraturan perundang-undangan tentang Pertambangan, khususnya mengenai kewenangan pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Untuk itu perlu dipertegas dalam peraturan perundang-undangan mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan sekaligus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) beserta mekanisme dan konsekuensi hukumnya serta perlu untuk dikeluarkannya Peraturan Menteri/Peraturan Daerah terkait dengan prosedur atau petunjuk teknis tata cara lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Terkait aspek regulasi ini, perlu pula dilakukan secara terus menerus kegiatan sosialisasi dan desiminasi regulasi dan kebijakan pertambangan bagi pemerintah kabupaten/Kota.

2. Penetapan Kawasan Pertambangan

Mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Provinsi untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. Perkara 10/PUU-X/2012 tentang Wilayah Pertambangan. Mendesak Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi) segera menetapkan wilayah pertambangan dan melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terkait penentuan wilayah pertambangan. Mendesak Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemen ESDM untuk secepatnya menetapkan wilayah pertambangan.

3. Sistem Pengawasan Pertambangan

Pengawasan harus dilakukan dalam berbagai aspek; administrasi, lingkungan, produksi, pemasaran, keselamatan kerja, keuangan (penetapan dan pengawasan pembayaran iuran produksi dengan memastikan jumlah produksi baik secara kuantitas maupun kualitas bahan mineral dan batubara (memastikan jenis kalori batubara)) mulai dari hulu sampai ke hilir pertambangan. Untuk memaksimalkan pengawasan ini, kontrol pemberian IUP sebaiknya dititik beratkan pada pemerintah Provinsi dengan melibatkan pemerintah kabupaten/kota dan aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan KPK), perlu menambah jumlah PPNS (inspektur pengawas Pertambangan) serta Pemerintah Pusat perlu membuat suatu mekanisme pengawasan sehingga Gubernur mendapat informasi yang memadai (well informed) terhadap proses perizinan dan pengelolaan usaha pertambangan yang berada di wilayah hukumnya.

4. Mekanisme Sanksi Pengawasan

Untuk memperkuat sistem pengawasan pertambangan perlu disiapkan mekanisme sanksi baru aparatur pengawas pertambangan. Mekanisme sanksi bagi pengawas pertambangan diberikan untuk menghindari tidak sesuainya praktik pengawasan yang dilakukan di tingkat pemerintah daerah dengan standar pengawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Perlu diatur pula mengenai mekanisme pemberian sanksi oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota yang melanggar dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan.

5. Royalti

Pentingnya penegasan pemerintah tentang besaran royalti yang wajib dibayarkan pengusaha pertambangan yang sesuai mutu bahan tambang (misalnya mutu batubara yang ditentukan berdasarkan tingginya kalori batubara). Perlu juga ditegaskan tentang besaran, mekanisme pembayaran, dan tenggat waktu pembayaran royalty dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dan royalty yang harus dibayarkan oleh pengusaha pertambangan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

6. Jaminan Reklamasi

Mendesak pemerintah untuk menetapkan standar nilai pengelolaan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang yang bernilai ekonomis dan ekologis serta menerapkan sanksi yang tegas kepada pengusaha pertambangan yang tidak melaksanakan kewajiban pembiayaan jaminan reklamasi. Mewajibkan pengusaha pertambangan untuk melakukan reklamasi dan pemulihan kondisi tanah secara ekologis melalui tahapan-tahapan pembukaan areal pertambangan (pemanfaatan areal/lahan pertambangan secara bertahap/per-cluster) dan mewajibkan pemerintah (Pusat dan Daerah) untuk melakukan pengawasan melekat terhadap kegiatan reklamasi lahan bekas pertambangan.

7. Peta Pertambangan Nasional

Mendesak pemerintah untuk menetapkan satu peta pertambangan nasional yang menjadi pusat rujukan semua instansi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk di dalamnya penetapan batas wilayah provinsi, kabupaten/kota sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan/kawasan pada batas wilayah serta membuat aturan prioritas peruntukan lahan jika terjadi tumpang tindih.

8. Kebijakan Terkait Clean and Clear (CnC)

Saat ini dari 8.263 lahan pertambangan di Indonesia, hanya 3.778 yang Clean and Clear (CnC), sedangkan 4.485 izin pertambangan yang bermasalah secara administrasi dan

(12)

tumpang tindih. Terhadap izin pertambangan yang belum CnC diharapkan Pemerintah dapat segera menuntaskan agar semua IUP CnC dengan melibatkan para stakeholders yang terkait (memebentuk forum bersama penyelesaian CnC) dan jika tidak memungkinkan untuk CnC, maka diambil langkah-langkah tegas dan terukur agar negara tidak dirugikan (Membatalkan IUP yang tidak CnC). Terkait CnC ini disarankan agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi, regulasi, dan kebijakan yang berlaku di masyarakat dan pemerintah daerah.

9. Penerapan Good Minning Governance

Dalam upaya mewujudkan tata kelola pertambangan yang baik atau Good Minning Governance, maka perlu dibentuk one door services baik di pusat maupun daerah, menciptakan transparansi terutama terkait dengan pengeluaran dan pemasukan keuangan (pajak dan non pajak), melalui penerapan program Extractive Industries Transparancy Initiative/EITI, baik bagi pemerintah maupun pengusaha, mengurangi hambatan birokrasi, menghilangkan bentuk pungutan liar, dan menerapkan Good Mining Practices dan Good Corporate Governance bagi pengusaha pertambangan. Pengawasan melekat dari Kementerian PAN dan RB dalam pelayanan publik di sektor pertambangan harus diperkuat.

BAB V PENUTUP

Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas permasalahan Penyimpangan dalam perijinan dan pengelolaan usaha pertambangan.

Hasil pengawasan ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ke 15 Tahun 2012/2013 dan selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga penegak hukum dan Instansi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan perundang-undangan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Juli 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LA ODE IDA

Referensi

Dokumen terkait

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

Penelitian pemberian sel punca CD34 + darah tepi manusia secara subkutan pada kulit tikus jantan wistar yang dipajan sinar ultraviolet B dengan pengamatan jumlah

Bagi guru: dapat dijadikan sebagai bahan kajian literatur untuk melakukan penelitian mengenai nilai APTI pada Ficus lyrata Warb dan tembesi Samanea saman (Jacq) Merr

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-Exclusive

Metode analisis potensi kecelakaan yang digunakan adalah tool FTA dengan pendekatan top down yang dimulai dari top level event yang telah dianalisis berdasarkan

Bahwa berdasarkan isi Perjanjian Konsesi disebutkan tujuan Perjanjian Konsesi dibuat adalah memasok air bersih untuk memenuhi kebutuhan saat Perjanjian Konsesi

Pada penelitian ini didapatkan tingkat penerimaan orangtua dan toleransi saluran cerna yang baik terhadap pemberian formula isolat protein kedelai kepada bayi dengan

Jadi sistem pakar Æ kepakaran ditransfer dari seorang pakar (atau sumber kepakaran yang lain) ke komputer, pengetahuan yang ada disimpan dalam komputer, dan pengguna