• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA OBESITAS MENGGUNAKAN ALAT SPEKTROFOTOMETER Widarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA OBESITAS MENGGUNAKAN ALAT SPEKTROFOTOMETER Widarti"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

101 GAMBARAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA OBESITAS

MENGGUNAKAN ALAT SPEKTROFOTOMETER Widarti1, Zulfian Armah2

1,2Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Makassar Koresponden : widarti@poltekkes-mks.ac.id

ABSTRAK

Obesitas merupakan suatu keadaan tertimbunnya lemak dalam tubuh sebagai akibat berlebihnya asupan kalori dimana hal ini dapat memicu gangguan metabolisme yang menyebabkan asam urat dalam serum menjadi tinggi yang dipicu oleh beberapa faktor antara lain kadar purin dalam makanan. Berat badan yang berlebihan akan memperbesar gaya beban tubuh sehingga semakin tinggi daya rembesan asam urat dari plasma darah ke dalam ruang antar sendi sehingga menyebabkan terjadinya gout. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kadar asam urat pada penderita obesitas dilingkup Poltekkes kemenkes Makassar. jenis Jenis Penelitian bersifat deskriptif dengan subyek penelitian sebanyak 30 mahasiswa dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling.

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5 Juli – 27 Juli 2018, pengambilan sampel penelitian dilakukan pada seluruh mahasiswa di Poltekkes Kemenkes Makassar dan pemeriksaan asam urat dilakukan di Laboratorium Kimia Klinik RSUD Labuang Baji kota Makassar dengan menggunakan. Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap 30 sampel yang memenuhi kriteria, dan didapatkan hasil pemeriksaan asam urat pada penderita obesitas yaitu sebanyak 18 sampel (60%) terjadi penigkatan asam urat dan 12 sampel (40%)memiliki kadar asam urat yang normal. Disarankan kepada penderita obesitas agar pengaturan pola makan sangat diperlukan yaitu dengan menghindari konsumsi bahan pangan yang mengandung kadar purin yang tinggi.

Kata Kunci: Asam Urat dan Obesitas PENDAHULUAN

Obesitas atau yang biasa dikenal sebagai kegemukan, merupakan suatu masalah yang cukup merisaukan dikalangan masalah remaja. Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan jaringan adipose secara berlebihan.Jadi obesitas adalah keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih berat dibandingkan berat badan idealnya yang disebabkan terjadinya

penumpukan lemak ditubuhnya.

Sedangkan berat badan berlebih (overwight) adalah kelebihan berat badan termassuk didalamnya otot, tulang, lemak dan air.(Proverawati.A, 2010)

Obesitas tidak hanya berdampak pada medis, psikis, maupun sosial,tetapi juga erat hubungannya dengan kelangsungan hidup penderitanya. Menurut WHO, seseorang disebut obesitas bila BMI (Body Max Index). Lebih dari normal

(3)

102 atau disebut obesitas bila BMI >25,0.

Walaupun berbagai faktor berperan dalam timbulnya obesitas, perlu diperhatikan bahwa timbulnya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyaknya makan, terlalu sedikitnya aktifitas atau latihan fisik, atau keduanya. Dengan demikian tiap orang perlu memperhatikan banyaknya masukan makanan (disesuaikan dengan kebutuhan tenaga sehari hari) dan aktifitas fisik yang dilakukan.Perhatian lebih besar mengenai hal ini terutama diperlukan bagi mereka yang kebetulan berasal dari keluarga obesitas berjenis kelamin wanita, pekerjaan banyak duduk, tidak senang melakukan olahraga, senang masak, serta emosinya labil. Untuk hidup seseorang harus makan akan tetapi adapula orang yang hidup untuk makan. Akibatnya mereka mengakibatkan obesitas.

(Misnadiarly, 2007)

Asam urat merupakan hasil akhir metabolisme zat purin yang berasal dari sisa makanan yang kita konsumsi. Penelitian Kertia (2009) menunjukkan bahwa orang yang gemuk mempunyai kecenderungan lebih tinggi terkena penyakit asam urat. Meskipun tidak selalu, tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa orang yang kelebihan berat badan pada umumnya mengonsumsi protein yang berlebihan. Protein umumnya mengandung purin yang banyak sehingga menyebabkan kadar asam urat meningkat. Data-data penelitian menunjukan bahwa penyakit asam urat lebih banyak didapatkan pada seseorang yang berat badannya berlebih dan kadar kolesterol daranya tinggi dibandingkan dengan orang

yang tidak memiliki kelainan tersebut (Wises dkk, 2009).

Di Indonesia, menurut data Riskesdas 2013 obesitas pada anak usia 13 - 15 tahun persentasenya 10,8%. Angka tersebut tergolong tinggi, sehingga perlu mendapat perhatian penuh dari semua pihak (Depkes, 2013). Pravelensi ini meningkat seiring dengan meningkatnya umur. Perlu diketahui pula di Indonesia gout diderita pada usia lebih awal dibandingkan dengan negara barat. 32% serangan gout terjadi pada usia dibawah 34 tahun.

Di Indonesia asam urat menduduki urutan ke 2 setelah osteoarthritis namun, di Indonesia pravelensi asam urat belum diketahui secara pasti dan cukup bervariasi antar satu daerah.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti telah melakukan penelitian mengenai gambaran hasil pemeriksaan asam urat pada penderita obesitas.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasi laboratorik yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui kadar asam urat pada penderita obesitas .

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Klinik RSUD Labuang Baji Kota Makassar pada 05-25 Juli 2018

Sampel penelitian ini adalah seluruh mahasiswa penderita obesitas di Poltekkes Kemenkes Makassar sebanyak 30 sampel dengan teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Kriteria sampel bersedia berpartisipasi pada penelitian sebagai obyek, seseorang yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) >25 dan berusia 17-25 tahun

(4)

103 Alat yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu : Spoit 3 ml, karet pembendung/tourniquet, tabung vacum non antikoagulan dan rak tabung, alat pengukur tinggi dan berat badan dan spektrofotometer Cobas C 311 Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu : Kapas alkohol 70%, darah vena, reagen pemeriksaan asam urat.

Prosedur Penelitian

1. Memberikan Informed consent atau persetujuan tindakan medis kepada pasien atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien sesuai jumlah sampel penelitian.

2. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

3. Melakukan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan cara mengukur berat badan dalam ukuran kilogram dan tinggi badan dalam ukuran meter. Hasil tersebut dimasukkan dalam rumus IMT= Beratbadan (kg) : Tinggi badan (m)2

4. Melakukan proses pengambilan darah.

5. Memberikan kode sampel pada tabung pasien sesuai dengan identitas spesimen.

6. Untuk memperoleh sampel serum darah yang telah diambil didiamkan selama 15 menit, kemudian di sentrifus 3000 Rpm selama 15 menit, lapisan serum dipisahkan dari bekuan darah.

7. Memasukkan specimen sesuai dengan kode indentitas kedalam alat sesuai jenis pemeriksaan yang diinginkan yaitu pemeriksaan kadar asam urat.

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif, disajikan dalam bentuk tabel disertai narasi

HASIL

Berdasarkan hasil pemeriksaan asam urat pada penderita obsitas di laboratorium Kimia Klinik RSUD Labuang Baji Kota Makassar sebanyak 30 sampel diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 1 : Hasil Pemeriksaan Asam Urat Pada Penderita Obesitas

No. Kode

Sampel

Umur Jenis Kelamin

IMT Kadar asam urat

Keterangan

1 A 21 Pr 36,5% 6,6 Meningkat

2 B 20 Pr 32,6% 5,8 Meningkat

3 C 22 Pr 25,2 % 5,1 Normal

4 D 22 Pr 26,7 % 5,9 Meningkat

5 E 20 Pr 25,1 % 5,3 Normal

6 F 20 Lk 29,9% 8,7 Meningkat

7 G 20 Lk 25,3 % 6,1 Normal

8 H 20 Pr 27,4 % 5,9 Meningkat

9 I 19 Pr 26,6 % 4,6 Normal

10 J 19 Pr 30,7 % 5,8 Meningkat

11 K 20 Pr 29,9% 3,6 Normal

12 L 21 Pr 30,8% 3,6 Normal

13 M 21 Pr 27,6% 3,7 Normal

(5)

104

14 N 21 Lk 33,8% 9,2 Meningkat

15 O 21 Lk 41,8 % 9,1 Meningkat

16 P 20 Lk 32,2 % 5,7 Normal

17 Q 19 Lk 25,9% 3,6 Normal

18 R 20 Lk 38,5% 7,1 Meningkat

19 S 21 Lk 28,7% 6,8 Normal

20 T 21 Lk 40,2% 7,9 Meningkat

21 U 19 Pr 29,8% 6,3 Meningkat

22 V 20 Pr 27,4% 6,7 Meningkat

23 W 19 Pr 30,4% 6,4 Meningkat

24 X 24 Lk 36,1% 8,1 Meningkat

25 Y 19 Pr 29,5% 6,0 Meningkat

26 Z 19 Pr 26,3% 6,1 Meningkat

27 AA 21 Lk 28,8% 7,5 Meningkat

28 BB 23 Lk 30,3% 7,8 Meningkat

29 CC 19 Pr 26,2% 4,2 Normal

30 DD 19 Pr 25,5% 5,0 Normal

Normal asam urat pada laki-laki berkisar antara 3,4-7,0 mg/dl dan pada wanita berkisar 2,4-5,7 mg/dl.

Berdasarkan data hasil kadar pemeriksaan asam urat pada

penderita obesitas yang dilakukan terhadap 30 sampel maka didapatkan hasil pemeriksaan sebanyak 18 sampel dengan kadar asam urat meningkat dan 12 sampel normal.

Tabel 2 : Hasil Penelitian Pemeriksaan Asam Urat Pada Penderita Obesitas Berdasarkan Umur

No. Umur Jumlah Meningkat Jumlah Normal

1. 19 tahun 5 4

2. 20 tahun 5 4

3. 21 tahun 5 3

4. 22 tahun 1 1

5. 23 tahun 1 -

6. 24 tahun 1 -

Pada tabel 2 menyatakan dari 18 sampel penelitian yang meningkat didapatkan hasil penelitian pada umur 19 tahun, 20 tahun, 21 tahun sebanyak 5 sampel dan pada umur 22 tahun, 23 tahun, 24 tahun sebanyak 1

sampel. Pada 12 sampel penelitian yang normal dengan umur 19 tahun dan 20 tahun sebanyak 4 sampel, 21 tahun sebanyak 3 sampel, 22 tahun sebanyak 1 sampel, dan 23 tahun dan 24 tahun tidak ada sampel normal Tabel 3 : Hasil Penelitian Pemeriksaan Asam Urat Pada Penderita

Obesitas Berdasarkan Jenis Kelamin

No. JenisKelamin Jumlah Meningkat Jumlah Normal

1. Laki-laki 7 5

2. Perempuan 11 7

(6)

105 Pada tabel 3 menyatakan dari 18

sampel penelitian yang meningkat didapatkan hasil penelitian pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 7 sampel dan jenis kelamin perempuan

sebanyak 11 sampel. Pada 12 sampel normal pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 5 dan jenis kelamin perempuan sebanyak 7 sampel

Tabel 4 : Persentasi Hasil Penelitian Pemeriksaan Asam Urat Pada Penderita Obesitas

No. Hasil Persentasi Hasil Pemeriksaan Asam Urat pada Penderita Obesitas

1. Normal 40%

2. Meningkat 60%

Pada tabel 4 menyatakan dari 30 sampel didapatkan hasil asam urat penderita obesitas meningkat

sebanyak 60% dan hasil yang normal sebanyak 40%.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini melibatkan 30 sampel penderita obesitas yang memenuhi kriteria sampel yaitu bersedia dijadikan sampel penelitian, memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT)

>25%, berusia 17 sampai 25 tahun.

Berdasarkan data hasil kadar pemeriksaan asam urat pada penderita obesitas yang dilakukan terhadap 30 sampel maka didapatkan hasil pemeriksaan sebanyak 18 sampel dengan kadar asam urat meningkat dan 12 sampel normal.

Penyebab peningkatan kadar asam urat pada remaja obesitas kemungkinan disebabkan karena remaja obesitas cenderung mengkonsumsi makanan yang kaya akan lemak dan makan makanan yang mengandung banyak purin.

Obesitas juga berbahaya bagi kesehatan seseorang karena obesitas meningkatkan resiko terjadinya penyakit gout (Sudoyo, 2006).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tsushima dkk (2013) yang menyatakan obesitas dapat memicu penumpukan

purin di daerah sendi. Karena pada orang yang obesitas kadar asam urat di dalam darahnya meningkat.

Sekarang ini asam urat merupakan isu penting di Indonesia.

Asam urat tidak hanya pada orang dewasa saja, tetapi ini sudah menjadi masalah bagi remaja. Setiap orang memiliki asam urat di dalam tubuh, karena pada setiap metabolisme normal dihasilkan asam urat.

Sedangkan pemicunya adalah makanan dan senyawa lain yang banyak mengandung purin. Tubuh menyediakan 85% senyawa purin untuk kebutuhan setiap hari. Ini berarti bahwa kebutuhan purin dari makanan hanya sekitar 15%. Banyak orang menyantap apa saja yang dia inginkan, tanpa mempertimbangkan kandungan didalamnya. Makanan cepat saji atau yang lebih dikenal dengan junk food dapat diperoleh dengan mudah, para remaja sekarang ini cenderung lebih menyukai makanan cepat saji yang memiliki kadar lemak yang tinggi (Agus, 2009).

(7)

106 KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik simpulkan dari 30 sampel penderita obesitas dilakukan pemeriksaan asam urat dan diperoleh hasil sebanyak 18 sampel (60%) mengalami peningkatan kadar asam urat dan sebanyak 12 sampel (40%) tidak mengalami peningkatan asam urat.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disaran:

1. Kepada penderita obesitas untuk memeriksakan kadar asam urat dalam darah secarar rutin dan pengaturan pola makan sangat diperlukan yaitu dengan menghindari konsumsi bahan pangan yang mengandung kadar purin yang tinggi.

2. Untuk peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian dengan membandingkan kadar asam urat penderita obesitas pada usia remaja dan usia tua.

DAFTAR PUSTAKA

Agus A. 2009. Asam Urat. Available from:

http://www.rumaherbalku.com/typ ography-

mainmenu26/penyakit/61-asam- urat.pdf

Departemen Kesehatan Republik Indonesia [homepage on the internet]. Riset Kesehatan Dasar 2013. Nodate [cited 2015 Jan 25].

Available from:

www.litbang.depkes.go.id/sites/do wnlo

ad/rkd2013/Laporan_Riskesdas20 13.P DF

Hidayat, Rudi. Gout dan hiperurisemia [homepage on the internet]. Nodate [cited 2014 Sep 16]. Available from:

www.dexamedica.com/images/go ut_dan_hiperuris emia.pdf

Kertia N. Asam urat karena obesitas [homepage on the internet].

Nodate [cited 2014 Nov 18].

Available from:

http://bakhtiar.web.id/asam- uratkarena-obesitas

Misnadiarly, 2007. Obesitas Sebagai Faktor Risiko Beberapa Penyakit.

Jakarta; Pustaka Obor Popular Proverawati, Atika 2010. Obesitas

dan Gangguan Perilaku Makan Pada Remaja. Yogyakarta: Nufia Media

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Vol 2. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD Fakultas Kedokteran Umum Indonesia Tsushima Y1, Nishizawa H, Tochino

Y, Nakatsuji H, Sekimoto R, Nagao H, et al. Uric acid secretion from adipose tissue and its increase in obesity [homepage on the internet]. c2013 [update 2013 Aug 2; cited 2015 Jan 27].

Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/2 3913681

Wisesa N, Suatika, Ida Bagus, dan Ketut. 2009. Hubungan antara Konsentrasi Asam Urat Serum dengan Resistensi Insulin pada Penduduk Suku Bali Asli di Dusun Tenganan Pegringsingan Karangasem. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud.

Available from:

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/

4 _dr%20ib%20wisesa.pd

(8)

107 DETEKSI IMUNOGLOBULIN MIU (IgM) DAN IMUNOGLOBULIN GAMMA

(IgG) PADA PENDERITA DEMAM TIFOID Nurdin1, Andi Tendry Julianti2

1,2Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Makassar Koresponden : nurdinanalis@gmail.com, 081343837651

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri Salmonella tiphi. Penegakkan diagnosis demam tifoid adalah hal yang penting terutama agar diagnosis ditegakkan lebih tepat dan pengobatan dapat diberikan lebih cepat. Seiring perkembangan teknologi dalam ilmu kesehatan diagnosis demam tifoid dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi melalui pemeriksaan antibodi IgM dan IgG, dimana antibodi ini mempunyai makna dalam diagnosa yaitu agar mengetahui fase infeksi ada penderita demam tifoid dengan menggunakan tes imunokromatografi.

Selain memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi tes imunokromatografi juga mudah dilakukan dan tidak memerlukan peralatan khusus untuk interpretasi hasil. Jenis penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran antibodi IgM dan IgG pada penderita demam tifoid yang terdiagnosis oleh klinisi. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dengan jumlah 30 sampel. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan hasil pemeriksaan antibodi IgM dan IgG pada sampel penderita demam. Setelah dilakukan analisa data, didapatkan hasil pemeriksaan positif IgM sebanyak 2 sampel (6,7%) menunjukkan fase awal infeksi, positif IgG sebanyak 2 sampel (6,7%) menunjukkan infeksi ulang sebelumnya, positif IgM dan IgG sebanyak 14 sampel (44,6%) menunjukkan fase tengah infeksi dan 12 sampel (40%) menunjukkan tidak adanya antibodi IgM dan IgG. Tenaga klinisi disarankan sebaiknya melakukan pemeriksaan antibodi IgM dan IgG meskipun telah melakukan pemeriksaan uji widal, agar dapat mengetahui fase infeksi sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan tepat dan pengobatan diberikan dengan cepat.

Kata Kunci : Demam Tifoid, Antibodi IgM, Antibodi IgG PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.

Penyebaran dapat terjadi melalui makanan atau air yang terkontaminasi.

Setelah bakteri Salmonella typhi

dimakan atau diminum, kuman akan berkembang biak dan menyebar ke dalam aliran darah dan saluran usus.

Gejala termasuk demam tinggi berkepanjangan, kelelahan, sakit kepala, mual, sakit perut, dan sembelit

(9)

108 atau diare. Beberapa pasien mungkin

memiliki ruam. Kasus yang parah dapat menyebabkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Demam tifoid dapat dikonfirmasi melalui tes darah (WHO, 2018)

Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 menjelaskan bahwa di Indonesia hampir seluruh Provinsi ada kejadian tifoid. Situasi penyakit demam tifoid di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014 yaitu suspek penyakit typhus tercatat sebanyak 23.271 sedangkan penderita demam tifoid sebanyak 16.743 penderita, dengan kasus tertinggi yaitu di Kabupaten Bulukumba (3.270 kasus), Kota Makassar (2.325 kasus), Kabupaten Enrekang (1.153 kasus) dan terendah di Kabupaten Toraja (0 kasus), Kabupaten Luwu (1 kasus), dan di Kabupaten Tana Toraja (19 kasus). (Dinkes, 2015).

Penegakkan diagnosis demam tifoid adalah hal yang penting terutama agar diagnosis ditegakkan lebih tepat dan pengobatan dapat diberikan lebih cepat. Diagnosa untuk demam tifoid dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan metode deteksi kultur dan tes antibodi menggunakan uji widal. Namun, metode kultur tidak memiliki kecepatan, fasilitas kultur kurang dan terbatas di banyak wilayah.

Selain itu, uji widal menggunakan serum dengan teknik agglutinasi untuk diagnosis demam tifoid tidak spesifik untuk mendeteksi infeksi Salmonella typhi. Seiring perkembangan teknologi dalam ilmu kesehatan diagnosa demam tifoid dapat dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG, dimana antibodi ini mempunyai makna dalam diagnosa yaitu agar mengetahui

fase infeksi pada penderita demam tifoid dengan menggunakan tes imunokromatografi. Selain memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi tes imunokromatografi juga mudah dilakukan, dan tidak memerlukan peralatan khusus untuk interpretasi hasil.

Respon imun yang khas dimulai dengan peningkatan antibodi IgM terhadap antigen yang menstimulasi (imunogen).

Fase ini diikuti dengan produksi antibodi IgG terhadap antigen tersebut.

Stimulasi berulang dengan antigen tersebut mengakibatkan produksi IgG yang lebih besar tetapi dengan waktu yang lebih pendek setelah stimulus antigenik yang berhasil. (Sacher RA,Richarda M, 2004)

Secara umum, kadar antibodi IgM yang bermakna terhadap suatu virus, bakteri atau agen infeksius lain diinterpretasikan sebagai bukti adanya infeksi akut, sedangkan kadar IgG spesifik yang tinggi konsisten dengan persistensi imunitas pada fase konvalesen setelah infeksi terdahulu.

Saat menafsirkan tes, deteksi IgM positif ditafsirkan sebagai penyakit tifoid akut (fase awal infeksi) sedangkan deteksi igG dan IgM positif ditafsirkan sebagai penyakit tifoid akut (pada fase tengah infeksi) dan IgG positif ditafsirkan adanya infeksi ulang sebelumnya. Kuman tifoid dapat berasal dari karier demam tifoid yang merupakan sumber penularan yang sukar diketahui karena mereka tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.

Di daerah yang sangat endemis dimana tingkat penularan tifoid tinggi, deteksi IgG spesifik akan meningkat, karena IgG dapat bertahan lebih dari 2

(10)

109 tahun setelah infeksi tifoid, deteksi IgG

spesifik tidak dapat dibedakan antara kasus akut dan pemulihan. Sehingga diperlukan untuk melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi IgM.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mendeteksi antibodi IgG dan IgM pada penderita demam tifoid.

METODE

Penelitian ini bersifat deskriptif, Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Jongaya dilaksanakan pada bulan Juni-Juli tahun 2018.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita demam tifoid yang terdiagnosis oleh klinisi di Puskesmas Jongaya. Sampel penelitian ini adalah pasien penderita demam tifoid oleh Salmonella typhi. Spesimen penelitian ini menggunakan serum penderita demam tifoid. Besar sampel yang digunakan dalam Penelitian ini adalah 30 sampel. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling yaitu penderita demam tifoid yang melakukan pemeriksaan widal. Serum penderita demam tifoid dideteksi mengunakan tes cepat immunokromatografi. Tes ini memiliki spesifitas 99.3% dan sensitivitas 92.9%. (Koczula, KM, Andrea G. 2016).

Langkah-langkah penelitian

Pra Analitik: Alat yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah pengatur waktu, tempat sampel, dan pipet. Bahan yang digunakan adalah buffer, serum, kaset tes QDx S.typhi IgG/IgM.

Analitik : Ditulis identitas pasien pada kaset tes, diteteskan sebanyak 2 tetes atau 50μl serum pada lubang sampel, kemudian ditambahkan 1 tetes buffer (hindari gelembung udara) pada lubang yang sama. Setelah itu, dibaca hasil dalam 10 menit.

Pasca Analitik : Munculnya garis berwarna pada garis control dan garis IgM dan IgG menandakan adanya fase tengah infeksi , munculnya garis berwarna pada garis control dan garis IgG menandakan adanya infeksi ulang atau pembawa kronis, munculnya garis berwarna pada garis control dan garis IgM menandakan adanya fase awal infeksi. Hasil negatif hanya terdapat garis pada control dan invalid apabila tidak terdapat garis pada control.

Pengolahan dan analisis data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel lalu dihitung menggunakan rumus persentasi lalu dideskripsikan menggunakan narasi.

Rumus persentasi : IgG/IgM : 100%

Ket : x : Jumlah IgG/IgM positif, N : Jumlah sampel

HASIL

Hasil pemeriksaan antibodi IgM dan IgG pada penderita demam tifoid.

Dari 30 sampel terdapat hasil pemeriksaan yang menunjukkan hasil positif IgM sebanyak 2 sampel (6,7%), hasil positif IgG sebanyak 2 sampel (6,7%), hasil positif IgM dan IgG sebanyak 14 sampel (46,66%), dan hasil negatif IgM dan IgG sebanyak 12 sampel (40%).

(11)

110 Tabel 1. Gambaran antibodi IgM dan IgG pada penderita demam tifoid di

Puskesmas Jongaya No. Kode

Sampel

Jenis Kelamin

Umur Hasil Pemeriksaan Antibodi

1 A L 27 Positif IgM dan IgG

2 B L 7 Negatif

3 C L 15 Positif IgM dan IgG

4 D L 1 Negatif

5 E L 27 Negatif

6 F L 29 Negatif

7 G P 42 Negatif

8 H P 23 Negatif

9 I P 42 Positif IgG

10 J L 8 Negatif

11 K P 49 Positif IgM dan IgG

12 L L 24 Positif IgM dan IgG

13 M P 17 Negatif

14 N P 46 Positif IgM dan IgG

15 O P 18 Positif IgM dan IgG

16 P L 23 Positif IgM

17 Q P 27 Positif IgM dan IgG

18 R P 21 Positif IgM dan IgG

19 S L 52 Positif IgM dan IgG

20 T L 12 Positif IgM dan IgG

21 U L 6 Negatif

22 V L 7 Negatif

23 W L 7 Negatif

24 X L 6 Negatif

25 Y P 52 Positif IgM dan IgG

26 Z P 17 Positif IgM

27 AA P 12 Positif IgG

28 AB P 21 Positif IgM dan IgG

29 AC P 27 Positif IgM dan IgG

30 AD P 29 Positif IgM dan IgG

Sumber : Data Primer, 2018 PEMBAHASAN

Penentuan jenis antibodi pada penderita demam tifoid penting untuk menentukan kriteria pasien dan

berdampak pada pengobatan.

Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2006 menjelaskan terapi antimikrobial dengan kloramfenikol masih menjadi pilihan utama, berdasarkan efiksasi dan

(12)

111 harga. Namun cukup sering

menimbulkan carrier dan reinfeksi.

Reinfeksi biasanya berlangsung tidak lama, dan diberikan antibiotik yang sama, namun dengan penggunaan kloramfenikol kejadian relaps ini justru makin meningkat. Bila penderita dengan riwayat pernah terinfeksi tifoid serta memiliki predisposisi untuk carrier maka pengobatan pertama adalah golongan quinolone. Quinolone efektif mencegah relaps dan carrier.

Carrier akan terjadi bila penderita tidak diobati atau pengobatan yang tidak adekuat. Reinfeksi juga terjadi sehubungan dengan pengobatannya tidak adekuat, baik dosis atau lama pemberian antibiotik.

IgM anti-Salmonella merupakan antibodi fase akut yang muncul akibat adanya infeksi Salmonella typhi.

Antibodi ini muncul sebagai respon tubuh terhadap adanya antigen asing dalam tubuh manusia. Sedangkan antibodi IgG adalah antibodi sekunder, yaitu antibodi yang dibentuk setelah beberapa hari infeksi dan dapat bertahan lama walau penderita telah sembuh. IgM disebut sebagai antibodi fase akut karena muncul pada saat infeksi baru terjadi atau sedang terjadi.

IgM anti-Salmonella bisa dideteksi pada hari ke-5 untuk infeksi primer dan hari ke-2 untuk infeksi sekunder. Untuk daerah endemis seperti di negara kita ini, kecepatan deteksi ini sangat penting mengingat kebanyakan kasus adalah infeksi sekunder, dimana tes Widal kurang dapat membedakan mana kasus yang benar-benar tifoid atau bukan. Tes Widal membutuhkan dua kali

pemeriksaan dalam rentang waktu satu minggu yang dapat memperlambat penanganan, sedangkan hasil IgM anti- Salmonella sudah bisa positif dalam waktu 2 hari infeksi saja

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 30 sampel maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Gambaran antibodi IgM pada

penderita demam tifoid didapatkan sebanyak 2 sampel (6,7%) menunjukkan fase awal infeksi.

2. Gambaran antibodi IgG pada penderita demam tifoid didapatkan 2 sampel (6,7%) menunjukkan infeksi yaitu infeksi ulang sebelumnya.

3. Gambaran antibodi IgM dan IgG pada penderita demam tifoid didapatkan sebanyak 14 sampel (44,6%) menunjukkan fase tengah infeksi

4. Hasil negatif IgM dan IgG sebanyak 12 sampel (40%) menunjukkan tidak adanya infeksi Salmonella typhi.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran yaitu, sebaiknya tenaga klinisi melakukan pemeriksaan antibodi IgM dan IgG meskipun telah melakukan pemeriksaan uji widal, agar dapat megetahui fase infeksi sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan tepat dan pengobatan diberikan dengan cepat.

(13)

112 UCAPAN TERIMAKASIH

Kami banyak mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berjasa dalam penelitian ini terutama kepada Ketua jurusan Analis kesehatan poltekkes Makassar, kepala puskesmas Jongaya Makassar dan kepala laboratoium PKM Jongaya serta semua pihak yang tidak bias disebutkan satu-satu.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Garna & Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar Edisi 10. Jakarta: FKUI Brush, John L. 2018. Typhoid fever.

diakses 10 April 2018.

[http://www.Medicine.Mexcap e.com/Article/231135-

Overview#24]

Handojo, I. 2004. Imunoasai terapan pada beberapa penyakit infeksi.

Surabaya: Airlangga University Press

Kemenkes RI, 2006. Pedoman pengendalian demam tifoid.

Diakses 02 Agustus 2018.

[http://www.pdpersi.co.id/perat uran/kepmenkes/kmk3642006.

pdf]

Koczula, KM, Andrea G. 2016. Lateral flow assays. Diakses 31 Mei 2018.

[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pmc/articles/PMC4986465/]

Sacher, Ronald A & Richarda Mcpherson. 2004. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan Lab 11thed. Jakarta:EGC

WHO. 2018. Typhoid. diakses 26 Mei 2018.

[http://www.who.int/news- room/fact-

sheets/detail/typhoid].

(14)

113 PERFORMA TES CEPAT MOLEKULER DALAM DIAGNOSA

TUBERKULOSIS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT MAKASSAR

Nurlia Naim1, Novi Utami Dewi2

1,2Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Makassar Koresponden : nurlianaim0416@gmail.com

ABSTRAK

Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu bakteri patogen intrasel yang menimbulkan penyakit tuberkulosis (TB). Tes cepat molekuler (TCM) merupakan metode penemuan terbaru untuk diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan molekuler yang menggunakan metode Real Time Polymerase Chain Reaction Assay (RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen rpoB pada Mycobacterium tuberculosis (MTB), yang terintegrasi dan secara otomatis mengolah sediaan dengan ekstraksi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam cartridge sekali pakai. penelitian ini bertujuan untuk menganalisa performa tes cepat molekuler dalam diagnosis tuberkulosis. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional study dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling sebanyak 111 sampel di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. Hasil Uji TCM didapatkan sensitivitas sebesar 73,33%, spesifitas 90,12%, Nilai Ramal Positif (NRP) 73,33% dan Nilai Ramal Negatif (NRN) 76,86% dalam mendeteksi MTB dan pada Uji Wilcoxon didapatakan nilai signifikansi (p) sebesar 0,920 (P>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode TCM dengan metode gold standar kultur. TCM memiliki sensitivitas sebesar 89,47%, spesifitas 25%, Nilai Ramal Positif (NRP) 85% dan Nilai Ramal Negatif (NRN) 33,33% dalam deteksi resistensi rifampisin dan pada Uji Fishers Exact didapatkan nilai signifikansi 0,453 yang lebih besar dari 0,05 (P > 0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara TCM dengan metode proporsi.

Disimpulkan bahwa TCM memiliki nilai spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi MTB sehingga dapat digunakan dalam diagnosis tuberkulosis dan memiliki nilai sensitifitas yang tinggi untuk digunakan sebagai alat screening uji resistensi terhadap Rifampisin.

Kata kunci : Performa Tes Cepat Molekuler , Diagnosis, Tuberkulosis Pendahuluan

Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu bakteri patogen

intrasel yang menimbulkan penyakit tuberkulosis (TB). Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang

(15)

114 telah lama dikenal dan sampai saat ini

masih menjadi penyebab utama kematian di dunia (Saptawati L , et al 2012).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sebanyak 10,4 juta orang jatuh sakit dengan TB, dan 1,7 juta orang meninggal karena penyakit ini (termasuk 0,4 juta di antara orang dengan HIV). Lebih dari 95% kematian akibat TB terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Tujuh negara menyumbang 64% kasus TB baru : India, Indonesia, China, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan (WHO,2016)

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaaan fisik, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium, dan uji tuberculin. Diagnosis TB paru yang digunakan saat ini secara rutin di laboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmas adalah diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis basil tahan asam (BTA).

(Lynda A,2012)

Tes cepat molekuler merupakan metode penemuan terbaru untuk diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan molekuler yang menggunakan metode Real Time Polymerase Chain Reaction Assay (RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen rpoB pada Mycobacterium tuberculosis, yang terintegrasi dan secara otomatis mengolah sediaan dengan ekstraksi

deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam cartridge sekali pakai. Penelitian invitro menunjukkan batas deteksi bakteri TB dengan metode RT-PCR GeneXpert minimal 131 bakteri/ml sputum. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari dua jam dan hanya membutuhkan pelatihan yang simpel untuk dapat menggunakan alat ini. (Kurniawan et al,2016)

Pemanfaatan penggunaan alat tes cepat GeneXpert MTB/RIF saat ini ditujukan untuk diagnosis terduga TB resisten obat (Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat/MTPTRO), TB-HIV, dan selanjutnya akan dikembangkan untuk diagnosis TB baru pada anak, TB- Diabetes Melitus, TB ekstra paru, serta diagnosis pada terduga TB hasil BTA negatif.(Kemenkes, 2016) Metode tes cepat molekuler terus dikembangkan dan akan dilakukan untuk diagnosis tuberkulosis dimasa yang akan datang sehingga perlu dilakukan uji performa tes cepat molekuler ini khususnya di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar.

METODE

Penelitian ini merupakan cross sectional study dan dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari komisi etik Penelitian Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar dan persetujuan tindakan medik (informed consent) dari pasien. Populasi adalah pasien yang

(16)

115 menderita penyakit tuberkulosis di

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. Sampel adalah penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus :

𝑛 = N

1 + 𝑁(𝑑²) Keterangan :

N : Besar Populasi n : Besar Sampel

d : Tingkat kesalahan yang digunakan 5%

jumlah sampel minimal sebanyak 109,09 dan dibulatkan menjadi 110 orang.

Kriteria inklusi yaitu penderita tuberkulosis paru, sampel yang termasuk dalam kategori 9 + 1 kriteria pemeriksaan tes cepat molekuler (Suspect TB-MDR) berdasarkan SOP BBBKPM Makassar, bersedia menjadi subjek penelitian dibuktikan dengan informed consent, volume bahan pemeriksaan (sputum) mencukupi untuk dijadikan pemeriksaan, dan sampel atas dasar rujukan dokter untuk dilakukan pemeriksaan TCM.

Semua penderita suspect TB-MDR dilakukan pemeriksaan MTB menggunakan metode tes cepat

molekuler, metode BTA

dekontaminasi, dan metode kultur dengan menggunakan media Lownstein Jensen sebagai Gold Standar. Spesimen sputum yang sudah dikumpulkan dan dimasukkan kedalam wadah lalu

dilakukan pemeriksaan BTA dekontaminasi metode kubica, tes cepat molekuler dengan menambahkan buffer kemudian diinkubasi selama 15 menit lalu diambil dengan pipet khusus dan dimasukkan kedalam cartridge, setelah itu dimasukkan kedalam alat GeneXpert MTB/RIF. Sputum diproses dan diperiksa oleh GeneXpert MTB/RIF secara otomatis, hasilnya diperoleh setelah ± 2 jam. Kemudian sisa sputum yang tidak digunakan di masukkan kedalam tabung falcon lalu ditambahkan dengan NaOH 4% dan PBS (Phospat Buffer Sulfat) lalu di sentrifugasi. Dari hasil sentrifugasi, sputum diinokulasikan untuk penanaman pada media Loweinstein Jensen lalu diinkubasi pada suhu 37oC.

Hasil penanaman di media Loweinstein Jensen diperoleh setelah 6-8 minggu.

Kemudian dari hasil kultur yang positif dilakukan uji resistensi menggunakan metode gold standar proporsi

HASIL

Penelitian ini didapatkan data hasil pemeriksaan Laboratorium dengan

melakukan pemeriksaan

Mycobacterium tuberculosis metode tes cepat molekuler (TCM), dekontaminasi, dan Kultur. Setelah selama kurun waktu 3 bulan didapatkan 111 subjek. Data diatribusi dan frekuensi subjek berupa hasil BTA dekontaminasi, tes cepat molekuler, dan kultur.

(17)

116 Tabel 1. Distribusi dan Frekuensi hasil pemeriksaan BTA Dekontaminasi

Frekuensi Persen

Negatif 91 82 %

Positif 1 6 5,4 %

Positif 2 7 6,3 %

Positif 3 7 6,3 %

Total 111 100 %

Pada tabel 1 terlihat dari 111 jumlah sampel penelitian yang dilakukan hasil pemeriksaan BTA dekontaminasi menunjukkan hasil negatif sebanyak

91 sampel, positif 1 (+1) sebanyak 6 sampel, positif 2 dan 3 (+2 & +3) masing- masing 7 sampel

Tabel 2. Distribusi Frekuensi hasil pemeriksaan MTB dengan metode TCM Frekuensi Persen

Negatif 81 73 %

Rendah 3 2,7 %

Sedang 15 13,5 %

Tinggi 12 10,8 %

Total 111 100 %

Pada Tabel 2 hasil tes cepat molekuler menunjukkan hasil negatif 81 sampel, positif rendah 15 sampel, positif sedang

sebanyak 3 sampel dan positif Tinggi sebanyak 12 sampel.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi hasil pemeriksaan MTB dengan metode gold standar kultur

Frekuensi Persen

Negatif 81 73 %

Positif 1 17 15,3 %

Positif 2 6 5,4 %

Positif 3 7 6,3 %

Total 111 100 %

Pada Tabel 3 hasil kultur menunjukkan hasil negatif sebanyak 81 sampel, positif 1 (+1) sebanyak 17 sampel,

positif 2 (+2) sebanyak 6 sampel dan positif 3 (+3) sebanyak 7 sampel.

(18)

117 Tabel 4. Perbandingan hasil deteksi MTB metode TCM dengan gold standard

metode kultur

Hasil Deteksi

Mann-Whitney U 6123.000

Wilcoxon W 12339.000

Z -.101

Signifikansi .920

a. Variabel grup: Jenis Metode Pada Tabel 4 diketahui bahwa nilai

signifikansi (p) sebesar 0.920 yang mana lebih besar dari batas kritis yang ditetapkan yaitu 0.05 (p > 0.05). Maka

dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode TCM dengan kultur.

Grafik.1 Histogram perbandingan metode TCM dengan gold standard kultur

Berdasarkan Grafik 1 di atas, nilai tengah atau median antara dua kelompok yaitu sama (berada antara 0 dan 1). Hal ini membenarkan hasil pada

Tabel 4 sebelumnya bahwa antara dua kelompok metode tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

(19)

118 Tabel 5. Distribusi frekuensi deteksi MTB metode Dekontaminasi dengan metode

gold standar kultur

Hasil Gold standar

Total Positif Negatif Metode

Dekontaminasi

Positif 16 4 20

Negatif 14 77 91

Total 30 81 111

Berdasarkan Tabel 5 di atas, diperoleh nilai sensitivitas sebesar 53,30%, spesifisitas 95,06%, nilai ramal positif

(NRP) 80%, dan nilai ramal negatif (NRN) 84,61%.

Tabel 6. Distribusi frekuensi pemeriksaan MTB metode TCM dengan Metode gold standar

Hasil Kultur

Total Positif Negatif

Metode TCM

Positif 22 8 30

Negatif 8 73 81

Total 30 81 111

Berdasarkan Tabel 6 di atas, diperoleh nilai sensitivitas sebesar 73,33%, spesifisitas 90,12%, nilai ramal positif

(NRP) 73,33%, dan nilai ramal negatif (NRN) 76,86%.

Tabel 7. Distribusi frekuensi Uji resistensi metode TCM dengan Metode gold standar

Hasil Gold standar

Total Sensitif Resisten

Metode TCM

Sensitif 17 3 20

Resiste

n 2 1 3

Total 19 4 23

Berdasarkan Tabel 6 di atas, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 89,47%, spesifisitas 25%, nilai ramal positif

(NRP) 85%, dan nilai ramal negatif (NRN) 33,33%.

(20)

119 Tabel 8. Hasil uji Chi-square proporsi resistensi metode TCM dengan gold standar

Nilai df p

Fisher’

s exact (2 sisi)

Fisher’

s exact (1 sisi) Chi-

square 0.610a 1 0.43 5 Chi-

square (2x2)

0.000 1 1.00 0 Fisher’s

exact 0,453 0.453

a. 3 sel (75,0%) mempunyai nilai ekspektasi kurang dari 5.

Dari Tabel 8 di atas, didapatkan nilai signifikansi hasil uji chi-square sebesar 1 (untuk tabel 2x2). Namun karena terdapat nilai ekspektasi yang kurang dari 5 yaitu sebesar 75% (atau lebih dari 20%), maka digunakan uji Fisher’s exact. Berdasarkan uji tersebut, didapatkan nilai signifikansi yaitu 0.453 yang lebih besar dari 0.05 (p>0.05), maka dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara proporsi resistensi metode TCM dengan kultur.

Pembahasan

Dalam mendeteksi MTB

menggunakan TCM memiliki sensitivitas 73,33%, spesifitas 90,12%, Nilai Ramal Positif (NRP) 73,33% dan Nilai Ramal Negatif (NRN) 76,86%

dan pada Uji Wilcoxon didapatakan nilai signifikansi (p) sebesar 0,920 (P>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode TCM dengan kultur, sehingga metode TCM dapat digunakan untuk

diagnosis tuberkulosis karena didapatkan hasil nilai spesifisitas yang tinggi artinya metode ini mampu mendeteksi 90,12% pasien yang tidak terinfeksi MTB dari keseluruhan pasien yang benar-benar tidak terinfeksi, sehingga metode ini efektif digunakan sebagai alat diagnosis MTB.

Dalam uji resistensi metode TCM memiliki sensitivitas sebesar 89,47%, spesifitas 25%, Nilai Ramal Positif (NRP) 85% dan Nilai Ramal Negatif (NRN) 33,33% dan pada Uji Fishers Exact didapatkan nilai signifikansi 0,453 yang lebih besar dari 0,05 (P >

0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara TCM dengan metode proporsi namun metode TCM memiliki spesifisitas 25%

yang artinya hanya dapat mendeteksi pasien resisten 25% dari keseluruhan pasien yang benar-benar resisten sehingga TCM dapat digunakan untuk screening uji resistensi terhadap

(21)

120 Rifampisin karena didapatkan hasil

nilai sensitivitas yang tinggi.

Pada pemeriksaan BTA metode dekontaminasi pada penelitian ini memiliki spesifisitas 95,06%

dibandingkan dengan metode gold standar kultur namun untuk sensitifitasnya lebih rendah dibandingkan dengan metode TCM yaitu 53,30% dibanding TCM yaitu 73,33% hal ini dapat disimpulkan bahwa TCM lebih baik dalam mendeteksi pasien yang benar-benar terinfeksi MTB dibandingkan dengan BTA dekontaminasi dan seperti pada penelitian Bahtiar sebelumnya bahwa BTA memiliki kelemahan dikarenakan pemeriksaan mikroskopis BTA metode dekontaminasi memerlukan volume specimen yang cukup banyak yaitu sekitar 2 – 4 ml sputum agar

menemukan Mycobacterium

tuberculosis dalam sputum lebih mudah, hal ini berguna untuk kasus tuberkulosis dengan jumlah bakteri yang sedikit. Namun hal ini menjadi sulit dikerjakan apabila jumlah specimen sputum yang didapat sedikit atau kurang dari 2 ml (Bahtiar Z, 2016).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Dhingra VK et al (2003) menilai validitas dan reliabilita pemeriksaan BTA sputum dibandingkan dengan kultur pada media Loweinstein Jensen terhadap 5776 pasien tuberkulosis paru.

Didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan BTA sputum sebesar 62%

dan 99% dengan nilai prediksi positif 96,4% dan nilai prediksi negatif 84,2%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang menyatakan pemeriksaan basil tahan asam metode

tes cepat molekuler memiliki sensitivitas yang bagus, dimana pada tes cepat molekuler bisa membaca kuman Mycobacterium tuberculosis serta dapat membaca resistensi rifampisin secara bersamaan, (Susanty E, 2015 ; Kurniawan E dkk, 2016), namun pada penelitian selain sensitifitas yang baik diketahui pula metode TCM memiliki spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi MTB

Proses tes cepat molekuler menggunakan molecular beacon dengan target gen rpoB dan mendeteksi 81 bp (base pair) core region dari gen rpoB yang dikode oleh lokasi aktif enzim. Core region rpoB terletak di samping Mycobacterium tuberculosis dengan urutan DNA spesifik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan untuk mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan resistensi rifampisin secara bersamaan dengan menggunakan teknologi PCR.

Molecular beacon merupakan urutan oligonukleotida yang berisi urutan probe yang terdapat diantara dua tangkai urutan DNA. Molecular beacon digunakan untuk mendeteksi keberadaan Mycobacterium tuberculosis dan mendiagnosa resistensi rifampisin secara bersamaan.

Molecular beacon menggunakan fluorophor dan quencher untuk mendeteksi hibridisasi pada masing- masing dari lima region target amplifikasi gen (Association of Public Health Laboratories, 2013). Untuk uji resistensi dari hasil penelitian ini masih disimpulkan dapat digunakan sebagai screening karena memiliki sensitifitas

(22)

121 yang tinggi dan memerlukan penelitian

lebih lanjut.

Kesimpulan

Metode Tes Cepat Molekuler (TCM) memiliki nilai spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi MTB sehingga dapat digunakan dalam diagnosis tuberkulosis dan memiliki nilai sensitifitas yang tinggi untuk digunakan sebagai alat screening uji resistensi terhadap Rifampisin.

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis dapat memberikan saran yaitu,

1. Metode TCM digunakan dalam identifikasi MTB dalam penegakkan diagnosis tuberkulosis karena hasil lebih cepat diperoleh dan memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik 2. Diharapkan pada peneliti selanjutnya mengkaji metode TCM dalam uji resistensi terhadap rifampisin menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak dibandingkan dengan metode gold standar.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka

Acharya S, Ghimire P, Khadka D.K, Nepali S. (2010). Comparison of Proportion and Resistance Methods for Drug Susceptibility Testing of Mycobacterium Tuberculosis Centre Nepal.

SAARC Journal of Tuberculosis Lung Disease & HIV/AIDS 1 Adriyani, A. (2016). Gambaran Hasil

Perbandingan Pemeriksaan Mikroskopis Basil Tahan Asam Dengan Carbol Fuchsin Dan Methylene Blue. Retrieved Desember 14, 2017, from repository.unimus.ac.id/110/1/S KRIPSI%20FULTEX.pdf Alsagaff, H., & Mukty, H. A. (2010).

Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.

Surabaya: Airlangga University Press.

Amran, P., Mursalim, Hadijah, S., &

Hasnawati. (2015). Bakteriologi Terapan 3. Makassar:

Kementerian Kesehatan RI Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar.

Association of Public Health Laboratories. (2013). Laboratory Considerations for Use of Cepheid Xpert MTB/RIF Assay.

Retrieved Juni 25, 2018, from . www.aphl.org/AboutAPHL/publ ications/Documents/ID_2013No v_ Cepheid-Xpert-Fact- Sheet.pdf.

Bahtiar, Z. (2016). Perbandingan Hasil Pemeriksaan Basil Tahan Asam Menggunakan Mikroskopis Langsung (Direct) Dengan Metode Kubica (Indirect).

Retrieved Desember 14, 2017, from

http://zulfitriani28.blogspot.co.id /2017/03/karya-tulis-ilmiah- perbandingan-hasil.html

Brooks, G. F., Carrol, K. C., Butel, J. S., Morse, S. A., & Mietzner, T. A.

(2014). Jawetz, Melnick, &

(23)

122 Adelberg Mikrobiologi

Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

CDC (Central of Disease Control).

(2009) Updated Guildelines for the Use of Nucleic Acid Amplification Tests in the Diagnosis of Tuberculosis.

MMWR. Retrieved Juni 25,

2018, from

www.cdc.gov/mmwr/preview/m mwrhtml/mm5801a3.

htm?scid=mm5801a3_e.

Frida, E., S, I., & Hardjoeno. (2006).

Analisis Temuan BTA pada Sputum Cara Langsung dan Sediaan Konsentrasi Pada Suspek TB. Retrieved Juni 25, 2018 from journal.unair.ac.id/download- fullpapers-IJCPML-12-2-05.pdf.

Gampa, E. S. (2017). Analisis Hubungan Gradasi Basil Tahan Asam Dengan Indeks Eritrosit Pada Penderita Tuberculosis Diagnosis Awal Di BBKPM Makassar.

Kementerian Kesehatan RI. (2012).

Standar Prosedur Operasional Pemeriksaan Mikroskopis TB.

Retrieved Desember 14, 2017, from

www.depkes.go.id/download.ph p?file=download/.../SopTB/SopT B-2012-TB.pdf

Kementerian Kesehatan RI. (2016).

Info Data Tuberkulosis Indonesia. Retrieved Desember

14, 2017, from

www.depkes.go.id/download.ph p?file=download/.../infodatin/In foDatin-2016-TB.pdf

Kurniawan, E., Raveinal, Fauzar, &

Arsyad, Z. (2016). Nilai Diagnostik Metode Real Tme

PCR GeneXpert Pada

Tuberkulosis Paru BTA Negatif.

Retrieved Desember 12, 2017, from

jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/j ka/article/download/609/495 Lynda, A. (2012). Rapid TB Test.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia.

Retrieved Desember 12, 2017, from ppti.info/ArsipPPTI/PPTI- Jurnal-Maret-2012.pdf

Saptawati, L., Mardiastuti, Kurniawati, A., & Rumende, C. M. (2012).

Evaluasi Metode FastPlaque Tuberkulosis Untuk Mendeteksi Mycobacterium Tuberculosis Pada Sputum Di Beberapa Unit Pelayanan Kesehatan Di Jakarta . Jurnal Tuberkulosis Indonesia.

Retrieved from

ppti.info/ArsipPPTI/PPTI-Jurnal- Maret-2012.pdf

World Health Organization. (2016).

Tuberculosis. Retrieved Desember 14, 2017, from www.who.int/tb/...report/gtbr2 016_executive_summary.pdf

(24)

123 ANALISIS MPN (Most Probable Number) COLIFROM PADA ES PUTER

YANG BEREDAR DI KABUPATEN GOWA DAN MAKASSAR Mursalim1, Sitti hadijah2, Hasnawati3

1,2,3Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Makassar Koresponden : liemachmad@gmail.com

ABSTRAK

Es Puter adalah minuman Es yang terbuat dari santan kelapa dan pada prosespembuatannya cukup lama yang dapat menyebabkan coliform dapat tumbuh atau mencemari es putar tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah MPN coli pada es puter yang dijual di Kabupatn Gowa dan Makassar. Jenis penelitian ini adalah observasional laboratorik yang bersifat deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 15 sampel yang diperolah dengan menggunakan accidental sampling. Penelitian ini dianalisa dilaksanakan di laboratorium Bakteriologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Makassar pada tanggal 9 sampai13 Agustus 2018. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat MPN coliform yaitu 96 – 240 kuman/ 100ml sampel, sehingga dapat disimpulkan bahwa dari 15 sampel es puter semua positif mengandung coliform dan tidak layak dikonsumsi, karena tidak sesuai dengan Permenkes No 492/Menkes/per/IV/2010 tentang kualitas mikrobiologis air yaitu 0/100ml dan 3 MPN/100ml Dan disarankan perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan pemeriksaan coli tinja dan identifikasi bakteri patogen.

Kata kunci : MPN, Coliform, Es Puter PENDAHULUAN

Es puter merupakan salah satu jenis dari prodak es krim yang dikembangkan oleh masyarakat lokal.

Es puter lahir dari kreasi masyarakat Indonesia yang menggantikan bahan utama yaitu susu sapi diganti dengan santan kelapa yang lebih mudah didapat serta harganya lebih murah. Dengan memadukan santan kelapa dengan buah-buahan lokal seperti kelapa muda, nangka, atau durian terciptalah sejenis es krim yang kita kenal dengan sebutan es puter (Prihatini, 2008). Faktor yang berperan dalam pencemaran bakteri coliform fekal berdasarkan hasil

observasi pedagang es puter adalah cara pembuatannya, serta penyimpanan es krim.

Menurut badan POM RI Nomor HK 00.06.1.52.401 Tahun 2009 batas maksimum pencemaran bakteri koliform fekal pada es krim adalah 3 MPN/ml, sehingga jika pada es puter diketahui pencemaran melebihi batas tersebut maka dinyatakan tidak layak konsumsi. (BPOM, 2009).

Menurut data yang diperoleh pada Dinas Kesehatan Kotamadya Makassar bahwa infeksi bakteri dan sakit perut. Kasus diare yang ditemukan dan ditangani yang

(25)

124 dilaporkan oleh 46 puskesmas se Kota

Makassar sampai dengan desember 2015 sebanyak 28.257 kasus dengan Angka Kesakitan (Incidence Rate/IR) yaitu 20,07 per 1.000 penduduk meningkat dari tahun 2014 yaitu 26.485 kasus dengan Angka Kesakitan (Incidence Rate/IR) yaitu 19,34 per 1.000 penduduk,

Indikasi golongan bakteri coliform fekal yaitu Escherichia coli adalah bakteri yang umum dan hidup dalam usus manusia maupun hewan atau lebih dikenal dengan istilah intestinal. Sebagian besar keberadaan bakteri ini tidak merugikan bagi pencernaan. Namun ada beberapa kondisi sehingga dapat menimbulkan berbagai macam gangguan pencernaan, seperti terlalu banyak jumlah bakteri dalam usus sehingga menyebabkan infeksi saluran pencernaan.

Escherichia coli yang terdapat pada makanan atau minuman yang masuk kedalam tubuh manusia dapat menyebabkan gejala seperti kolera,disentri,gastroenteritis,

diare,dan berbagai penyakit saluran pencernaan lain.

Escherichia coli merupakan kuman berbentuk batang pendek (koko basil) Gram negatif, ukuran 0,4-0,7μm X 1,4μm, sebagian gerak positif dan beberapa strain mempunyai kapsul.

Escherichia coli tumbuh baik pada hampir semua media yang biasa dipakai di laboratorium mikrobiologi pada media yang dipergunakan untuk isolasi kuman enterik. Sebagian besar strain Escherichia coli tumbuh sebagai koloni yang meragi laktosa Escherichia coli bersifat mikroaerofilik. Beberapa strain bila ditanam pada agar darah

menunjukkan hemolisis tipe beta (Karsinah, 1994). Koloni yang berwarna merah pada agar Mac Conkey menunjukkan bahwa basil memfermentasi laktosa dan bersifat non patogen di dalam intestin (Gibson, 1996).

Ada dua macam enterotoksin yang diisolasi dari Eschrichia coli yaitu:

1. Termolabil Toksin (LT)

Seperti toksin kolera, toksin LT bekerja merangsang enzim adenil siklase yang terdapat didalam sel epitel mukosa usus halus menyebabkan peningkatan aktivitas enzim tersebut dan terjadinya peningkatan permeabilitas sel epitel usus, sehingga terjadi akumulasi cairan dalam usus dan berakhir dengan diare. Toksin LT seperti juga toksin kolera bersifat cytopathis terhadap sel tumor adrenal dan sel ovarium Chinese hamster serta meningkatkan permeabilitas kapiler pada test rabit skin. Kekuatan toksin LT adalah 100x lebih rendah dbandingkan toksin kolera dalam menimbulkan diare.

2. Termostabil Toksin (ST)

Toksin ST adalah asam amino dengan berat molekul 1970 dalton, mempunyai satu atau lebih ikatan disulfda yang penting untuk mengatur stabilitas pH 7 dan suhu 37oC. Produksi kedua jenis toksin ini diatur oleh plasmid yang mampu pindah dari satu sel kuman ke sel kuman lainnya yaitu 1 plasmin lainnya mengatur pembentukan toksin ST saja.

Sehubungan dengan infeksi pada usus dikenal lima jenis Escherichia coli, yaitu:

1. Enteropathogenik Escherichia coli (EPEC)

(26)

125 Penyebab penting diare pada

bayi, khususnya di Negara berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Faktor yang diperantarai secara kromosom menimbulkan pelekatan yang kuat.

Akibat dari infeksi EPEC adalah diare cair yang biasanya sembuh sendiri taetapi dapat juga kronik. EPEC menyebabkan diare pada bayi atau anak – anak kurang dari 1 tahun dan jarang pada orang dewasa dengan gejala berupa demam tidak tinggi, muntah, malaise dan diare.

2. Enterotoxigenik Escherichia coli (ETEC)

Penyebab yang sering dari “diare wisatawan” dan sangat penting

menyebabkan diare pada bayi di Negara berkembang. Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk

menimbulkan pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil. Lumen usus terengang oleh cairan dan

Mengakibatkan hipermortilitas serta diare, dan berlangsung selama beberapa hari.

3. Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC)

EIEC menyebabkan diare mirip dengan yang disebabkan oleh shigella, baik pada anak – anak maupun orang dewasa. Tinja agak encer bahkan seperti air, mengandung nanah, lender dan darah dengan gejala panas dan malaise.

4. Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC)

EHEC dikenal sebagai penyebab diare hemorhagik dan colitis serta hemolytic uremic syndrome (HUS) yang ditandai dengan jumlah trombosit berkurang, anemia hemolitik dan

kegagalan ginjal. Tinja encer berair, mengandung darah dan abdomen terasa sakit, kram serta demam rendah atau tanpa demam.

5. Enterodherant Escherichia coli (EAEC)

Menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara berkembang. EAEC menproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC. EAEC menyebabkan diare dengan cara menempel kuat pada permukaan mukosa usus dengan gejala tinja encer berair, muntah, dehidrasi, dan biasanya sakit pada abdomen. (Gaani A, 2003).

Dari uraian diatas peneliti telah melakukan penelitian analisis mpn (most probable number) colifrom pada es puter yang beredar di Kabupaten Gowa dan Makassar

METODE

Jenis penelitian yang dilakukan adalah observasi laboratorik yang bersifat deskriptif untuk mengetahui jumlah MPN coli pada es puter yang beredar di Kabupaten Gowa dan Makassar.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 15 es puter yang diambil dengan menggunakan tehnik pengambilan sampel yaitu accidental sampling.

Instrumentasi Penelitian

Instrumentasi penelitian yaitu berupa alat – alat yang digunakan untuk pengumpulan data, dokumentasi, izin penelitian, kotak sampling,

Prosedur Penelitian

1. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemeriksaan laboratorium dengan penentuan

(27)

126 jumlah bakteri metode Most

Probable Number (MPN) coliform atau perkiraan jumlah kuman terdekat dengan memakai porsi 5-1- 1.

2. Prinsip: Coliform

memfermentasikan laktosa yang ditandai dengan terbentuknya gas pada media LB (Lactosa Broth) dan BGLB (Brilliant Green Bile Lactosa Broth). Nilai most probable number (MPN) dihitung berdasarkan jumlah tabung yang positif yang disesuaikan dengan nilai tabel Most Probable Number (MPN).

3. Persiapan Alat dan Bahan

a Alat: Box sampel, cup sampling, tabung reaksi steril, erlenmeyer 250 ml, beaker glass, tabung durham, autoclave, sendok/tangkai pengaduk, rak tabung, pipet ukur (10 ml dan 1 ml), pipet tetes, bunsen, timbangan, oven, inkubator, ose bulat, tali pengikat, kertas pembungkus, korek api, label, pulpen, kapas dan cool box.

b Bahan: Sampel es puter, alkohol 70%, aquades, media LB (Lactosa Broth) 1,5% dan 0,5%, media BGLB (Brilliant Green Bile Lactosa Broth), E.C Bronth, Endo Agar/ EMBA ( Eosin Methylen Blue Agar), TSIA, dan IMVIC (Indol, Methylen Red- Voges Proskauer, dan Simon’s Citrat).

4. Cara kerja Tes pendahuluan

Disiapkan satu seri tabung uji (seri 511) lalu diberi label : lima tabung

berisi LB konsentrasi 1,5% sebanyak 10 ml sampel Es puter, satu tabung berisi LB konsentrasi 0,5% sebanyak 1 ml sampel Es puter dan satu tabung berisi LB konsentrasi 0,5% sebanyak 0,1 ml sampel Es puter. Lalu dihomogenkan sampel Es puter dengan dikocok kuat setelah itu mulut botol disterilkan dengan melewatkan mulut botol pada nyala api spiritus. Kemudian dipindahkan 10 ml sampel Es puter kedalam lima tabung yang berlabel LB konsentrasi 1,5% dengan menggunakan pipet 10 ml. Lalu dipindahkan 1 ml sampel Es puter kedalam lima tabung yang berlabel LB konsentrasi 0,5%

dengan menggunakan pipet 1 ml. Dan terakhir dipindahkan 0,1 ml sampel Es puter kedalam lima tabung yang berlabel LB konsentrasi 0,5% dengan menggunakan pipet 1 ml . kemudian menginkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37oC , jika belum ada pertumbuhan (kekeruhan dan terdapat gas dalam tabung durham) maka inkubasi dilanjutkan sampai 48 jam lalu diamati semua tabung LB (Lactosa Broth) yang memperlihatkan kekeruhan dan terbentuknya gas dalam tabung durham.

Tes penegasan BGLB

Tabung yang positif selanjutnya dipindahkan 1-2 ose ke dalam tabung yang berisi media BGLB lalu diinkubasi pada suhu 37OC selama 24 jam. Diamati tabung positif pada media BGLB yang ditandai dengan terbentuknya kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Dan dipindahkan 1-2 ose ke dalam tabung yang media E.C.

Broth pada suhu 440C selama 24 jam.

Diamati tabung positif pada media E.C.

Broth yang ditandai dengan

(28)

127 terbentuknya kekeruhan dan gas dalam

tabung durham.

Tes penentuan jenis bakteri Dimana tes ini melakukan isolasi dan identifikasi tehadap es puter dimana ingin mengetahui apakan bakteri ini merupakan bakteri coliform fekal atau

bukan menggunakan media sesuai prosedur kerja yang berlaku di BPOM.

HASIL

Dari penelitian yang telah dilakukan pada 15 sampel es puter diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel. 1 Hasil Pemeriksaan Sampel dengan Jumlah MPN coli Kode

Sampel

Jumlah MPN coli

1 96

2 240

3 240

4 240

5 96

6 240

7 96

8 96

9 240

10 240

11 96

12 96

13 240

14 240

15 240

1. Hasil pemeriksaan pada media LB (Lactose Broth) semua positif (+).

2. Hasil pemeriksaan Colifrom pada media BGLB (Brilliant Green Bile lactose Broth) didapatkan 96 – 240 MPN/100ml.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan es puter yang bertujuan untuk mengetahui kualitas es puter tersebut layak dikomsumsi oleh

masyarakat atau tidak. Diketahui bahwa es puter merupakan minuman es yang sangat digemari oleh masyarakat sekitar umumnya rakyat dibawa standar. Dimana es puter ini terbuat dari santan kelapa dan proses pembuatannya cukup lama. Bahan baku dalam pembuatan jajanan tersebut dapat tercemar mulai dari proses pembuatan, tidak terkecuali es puter yang berbahan dasar santan kelapa.

(Risbawan, 1999).

(29)

128 Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan kontrol media negative dengan perlakuan tanpa menggunakan sampel. Tujuan digunakannya control media negatif yaitu untuk memastikan hasil penelitian yang positif tercemar bakteri Coliform dan Coli tinja itu benar-benar berasal dari sampel bukan dari media atau cara pengerjaannya.

Berdasarkan hasil penelitian dari 15 sampel tersebut dinyatakan MPN coli positif dengan jumlah diatas ambang batas yaitu antara 96 – 240 kuman/100 ml sampel, sehingga dapat dipastikan bahwa semua sampel yang diambil secara acak tidak layak untuk dikonsumsi.

Standar baku mutu Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, bahwa air untuk minum seharusnya tidak mengandung bakteri patogen dan kadar maksimum Escherichia coli pada air minum adalah 0/100 mL sampel. Dan menurut badan POM RI Nomor HK 00.06.1.52.401 Tahun 2009 batas maksimum pencemaran bakteri koliform fekal pada es krim adalah 3 MPN/ml, sehingga jika pada es puter diketahui pencemaran melebihi batas tersebut maka dinyatakan tidak layak konsumsi KESIMPULAN

Dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap 15 sampel es puter didapatkan 96-240 kuman/100ml sampel (semua positif) mengandung coliform

SARAN

1. Untuk peneliti selanjutnya Agar dilakukan pemeriksaan lanjutan

yaitu pemeriksaan coli tinja dan identifikasi bakteri pathogen 2. Kepada Masyarakat agar berhati

hati mengkonsumsi es puter yang dijual di pinggir jalan.

UCAPAN TERIMA KASIH Kepada yang terhormat :

1. Direktur Poltekkes Kemenkes Makassar yang telah memberikan izin dalam penelitian ini.

2. Ketua Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Makassar yang telah memberikan support dan izin untuk melaksanakan penelitian.

3. Kepada Seluruh teman teman yang telah berpartisipasi dan membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2009. Pengujian Mikrobiologi Pangan. Jurnal.

Infopom Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.

Vol. 9, No. 2.

Gaani A. 2003. Pengantar Mikrobiologi Umum. Angkasa, Bandung.

Gibson. 1996. Bakteri Koliform yang

Bersifat Anaerob.

Diperoleh:www.1Sthumanwinner.

com/2010/12/16?bakteri-

koliform- yang bersifatanaerob [Diakses tanggal 20 Maret 2018].

Prihartini, R.I. 2008. Analisa Kecukupan Panas pada Proses Pasteurisasi Santan. Naskah Skripsi S-1. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(30)

129 Rimbawan, 1999, Mutu Mikrobiologis

Minuman Jajanan di Sekolah Dasar Wilayah Bogor

Tengah.Jurnal Gizi dan Pangan.

1(1): 44-50.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka saran yang diberikan adalah (1) Pembelajaran fisika hendaknya menggunakan model yang dapat membawa siswa ikut

Hasil dari penelitian menunjukkan adanya perubahan fungsi penggunaan lahan sebesar tujuhpuluh empat persen bangunan dari fungsi hunian menjadi fungsi perdagangan dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan

Sedangkan yang masih menjadi perdebatan sekarang ini adalah Hubungan antara kepribadian dengan golongan darah belum menemukan titik temu, bila dilihat dalam kajian

Analisis deviasi ini, ditempuh dengan beberapa langkah penting di antaranya, pengumpulan/menentukan deviasi-deviasi yang terdapat pada puisi O Amuk

Judul Skripsi : Pengaruh Jenis Pakan Usus Ayam Dan Ampas Tahu Terhadap Pertumbuhan Lele Dumbo Clarias gariepinus Sumbangsih Pada Materi Pertumbuhan Dan Perkembangan Pada Mata

Pencapaian tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, di mana BTEL mencatatkan rugi usaha sebesar Rp329,5 miliar.. kinerja BTEL

Bekas militer-wajib dan bekas militer-sukarela adalah tenaga yang telah terdidik dan terlatih dalam olah-jurit, Dalam keadaan darurat atau keadaan perang yang pada umumnya