• Tidak ada hasil yang ditemukan

J RNA ITE. Michael Cottier War Crimes in International Law: An Introduction

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "J RNA ITE. Michael Cottier War Crimes in International Law: An Introduction"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

J RNA MH M

Timothy L. H. McCormack

ITE

Sixty Years from Nuremberg: What Progress for International Criminal Law?

Michael Cottier

War Crimes in International Law: An Introduction

Natsri Anshari

Tanggung-jawab Komando menurut Hukum International dan Hukum Nasional Indonesia

Harkristuti Harkrisnowo

Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter

Rina Rusman

Kejahatan Perang dan Beberapa Rumusannya dalam Hukum Pidana Nasional

Heru Cahyono

Kejahatan Perang yang Diatur dalam Hukum International dan Hukum Nasional

Konvensi Den Haag 1907

Pasal-pasal tentang Kejahatan Perang

(

War Crimes

)

Ditert>itkan oleh:

PUSAT STUDI HUKUM MUMANITER DAN HAM OerllJ FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI

(2)

Diterbitkan atas kerja sama dengan:

Komite lnternasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross)

ICRC

(3)

JURNAL HUKUM HUMANITER

Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terls) Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta

Pen a n g g u ng -jawab :

Rektor Universitas Trisakti Prof Dr. Thoby Mutis

Dewan Redaksi Kehormata n :

Prof KGPH. Haryomataram, S.H.

Prof Timothy L. H. McCormack Prof Dr. F. Sugeng /stanto, S.H.

Prof Or. Andi Hamzah, S.H.

Michael Cottier, LL. M.

Brigjen. TN/ (Pum) PL T. Sihombing, S.H., LL.M.

Kol. Chk. Natsri Anshari, S.H., LL.M.

Rudi M. Rizki, S.H., LL.M.

Pemimpin Reda ksi

Arlina Permanasari, S.H., M.H.

A n g g ota Reda ksi :

Andrey Sujatmoko, S.H., M.H.

Aji Wibowo, S.H., M.H.

Kushartoyo Budisantosa, S.H., M.H.

Amalia Zuhra, S.H., LL.M.

Jun Justinar, S.H., M.H.

Sekretariat:

Ade A/fay Alfinur, S. Sos.

Supriyadi, S. E.

Andi Setiawan, A. Md.

Alamat Reda ksi :

Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terls) FH-USAKTI JI. Kyai Tapa No. 1 Gedung H Lt. 5

Kampus A Grogol Jakarta 11440 Tlp./Faks.: (021) 563-7747 E-mail: [email protected]

Jurnal Hukum Humaniter terbit setiap enam bulan pada bulan Juli dan Desember

(4)

EDITORIAL ii

EDITORIAL Para pem baca yang kami hormati ,

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata'ala karena berkat rahmatNya jualah maka J U RNAL H U KUM H UMANITER ini dapat hadir di tangan para pembaca semua. Jurnal ini merupakan jurnal yang pertama kali terbit di tanah air, secara khusus mengulas berbagai masalah hukum humaniter, dan akan terbit setiap enam bulan sekali.

Penerbitan j u rnal ini d imaksudkan sebagai wahana bagi semua lapisan masyarakat, baik dari kalangan militer, aparat penegak h ukum, birokrat, LSM, akademisi, mahasiswa , maupun kalangan lainnya yang ingin mengetahui secara lebih mendalam mengenai seluk-beluk hukum humaniter. Di samping itu, konflik-konflik yang terjadi di berbagai wilayah Republik Indonesia dalam dekade terakhir juga menjadi pertimbangan lain bagi diterbitkannya jurnal ini.

Pada ed isi perdana ini, topik utama J U RNAL H U KUM H UMAN ITER adalah tentang "kejahatan perang" (war crimes). Kejahatan perang merupakan salah satu tindak pidana yang belum sepenuhnya diakomodasikan ke dalam aturan h ukum nasional I ndonesia. Oleh karena itu, sejara h dan praktik­

prakti k negara serta beberapa substansi dasar dari peraturan-peraturan mengenai tindak pidana kejahatan perang akan dikemukakan dalam artikel­

artikel utama dan pend ukung . Tidak hanya itu, pemaparan h ukum nasional serta upaya-u paya yang telah dilakukan khususnya dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional juga akan ditampilkan guna melengkapi edisi kali ini.

Di samping materi pokok tersebut, d isertakan pula " Kolom" yang pada edisi ka li ini berisikan tentang Konvensi Den Haag IV ( 1 907) yang mengatur mengenai hukum dan kebiasaan berperang di darat. Pemilihan materi ini sengaja dila kukan mengingat urgensi Konvensi ini yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional dan berlaku bagi semua negara serta merupakan aturan penting dalam hal pengaturan alat dan cara berperang yang masih relevan dan berlaku pada saat ini.

Atas diterbitka nnya jurnal ini, kami mengucapkan terima kasih kepada

International Committee of the Red Cross (ICRC) yang memiliki komitmen tinggi dalam upaya mengembangkan hukum humaniter di I ndonesia dengan mendukung penerbitan jurnal ini.

Akhir kata , ka mi berharap semoga penerbitan jurrnal ini dapat memenuhi kebutuhan dan keingintahuan yang mendalam terhadap h ukum humaniter.

U ntuk itu, kami dengan segala kerendahan hati akan menerima segala kritik maupun saran-saran yang konstruktif bagi penyempurnaan j u rnal ini di masa datang.

Redaksi

JURNAL HUKUM HUMANITER, Vol. 1 , No. 1

(5)

DAFTAR ISi

him.

Artikel

1 . Timothy L. H . McCormack

Sixty Years from Nuremberg: What Progress for Internatio-

nal Criminal Law? . . . 1 2. Michael Cottier

War Crimes in International Law: An Introduction . . . . . . . . . .. 2 1 3. Natsri Anshari

Tanggung-jawab Komando menurut H ukum lnternasional

dan Hukum Nasional Indonesia . . . 45 4. Harkristuti Harkrisnowo

Kejahatan Berat dan Hukum Hu ma niter . . . . 90 5. Rina Rusman

Kejahatan Perang dan Beberapa Rumusannya dalam Hu-

kum Pidana Nasional . . . 1 00 6. Heru Cahyono

Kejahatan Perang yang Diatur dalam H ukum l nternasional

dan Hukum Nasional . . . 1 21 Kolom

1 . Kejahatan Perang (War Crimes) dalam Berbagai l nstrumen

H ukum l nternasional . .. . .. . . .. .. . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 57 2. Konvensi Den Haag 1 907 tentang Alat dan Cara Berperang 1 70 3. Terjemahan Konvensi Den Haag IV 1 907 tentang H ukum

dan Kebiasaan Perang di Darat . . . 1 84 4. Teks Konvensi Den Haag IV 1 907 dan Lampira nnya (dalam

bahasa lnggris) .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 98 iii

(6)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya I 00

da/am Hukum Pidana Nasional

KEJAHATAN PERANG DAN BEBERAPA MASALAH RUMUSAN NYA DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL

Rina Rusman1 Abstrak

Konvensi Jenewa 1 949 dan Protokol Tambahan 1 977 telah mewajibkan negara peserta perjanjian tersebut untuk membuat peraturan perundang­

undangan mengenai pelanggaran berat hukum humaniter yang secara substansial merupakan kejahatan perang. I ndonesia sebagai negara peratifikasi Konvensi Jenewa telah merumuskan kejahatan perang di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tahu n 2004.

Dalam R KUHP tersebut berbagai rumusan mengenai kejahatan perang di antaranya telah mengacu kepada Statuta Roma 1 998. Namun demikian, banyak substansi dalam RKUHP yang berkaitan dengan kejahatan perang masih perlu dikaji lebih lanjut.

A. Pendahuluan

Jauh sebelum dirumuskannya sanksi kejahatan perang dalam Statuta Roma 1 998 tentang Mahkamah Pidana l nternasional, empat Konvensi Jenewa 1 949 beserta dua Protokol Tambahan 1 977 telah menegaskan bahwa negara-negara anggota Konvensi tersebut akan memberlakukan aturan yang memberikan sanksi pidana efektif bag i orang-orang yang melakukan atau memerintahkan dilakukakannya perbuatan tersebut. 2

Adapun perbuatan pelanggaran berat tersebut, yang juga sering disebut dengan istilah pelanggaran berat hukum humaniter internasional, sama dengan perbuatan kejahatan perang yang diatur dalam Statuta Roma Pasal

1 Rina Rusman, S . H . , M . H . , saat ini menjabat sebagai Legal Adviser Komite l nternasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross) Delegasi I ndonesia.

2 Empat Konvensi Jenewa 1 949 tentang Perlindungan Korban Perang sebagaimana termuat dalam "Terjemahan Konvensi Jenewa 1 949 yang disusun dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman pada Agustus 1 999 adalah sebagai berikut: Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran (Konvensi I), Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Konvensi Jenewa II), Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Konvensi I l l ) , Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu perang (Konvensi Jenewa IV) . Dua Protokol Tambahan 1 977 dari Konvensi Jenewa 1 949 adalah Protokol Tam bahan I tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata lnternasional dan Protokol Tambahan I I tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non-internasional.

JURNAL HUKUM HUMANITER, Vol. 1 , No. 1

(7)

Kejahatan Perang dan Beberapa Massiah Rumusannya I O I dalam Hukum Pidana Nasional

8. 1 .2. (a).3 Suatu hal yang telah sejalan dengan kewajiban Indonesia dari Konvensi Jenewa yang telah diratifikasinya semenjak tahun 1 958, adalah telah dirumuskannya perbuatan-perbuatan kejahatan perang tersebut beserta ancaman hukumannya dalam Rancangan Kitab U ndang-undang Hukum Pidana (RKU H P) tahun 2004, yaitu dalam Pasal 392 sampai dengan Pasal 395.4

Diharapkan, apabila RKU H P ini disahkan, peradilan nasional dapat memidanakan setiap perbuatan yang dilarang oleh h ukum internasional tersebut. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara I ndonesia atau terjadi di I ndonesia, tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional seperti yang diatur dalam Statuta Roma 1 998.

Untuk memastikan harapan tersebut, perlu ada perhatian ekstra untuk memastikan bahwa formulasi hukum dalam RKU H P tersebut telah cukup memungkinkan untuk mempidanakan perbuatan kejahatan perang.

Perhatian ekstra tersebut menjadi penting mengingat belum tentu prinsip­

prinsip dan tujuan Konvensi Jenewa yang berkaitan dengan pemidanaan kejahatan perang dapat terangkum seluruhnya dalam RKUHP.

Sepintas lalu, ada beberapa prinsip hukum pidana dalam RKUH P yang tidak cocok u ntuk diberlakukan terhadap kejahatan perang. Misalnya, ketentuan tentang peniadaan pidana karena perintah jabatan tidaklah tepat untuk diberlakukan terhadap perbuatan kejahatan perang. Di lain pihak, prinsip-prinsip hukum perang atau hukum humaniter internasional (HHI) tentang tanggung jawab atasan dan komandan terhadap perbuatan kejahatan perang belum tertampung secara mencukupi dalam RKUHP. Oleh

karena itu, dalam kaitannya dengan kejahatan perang, perum usan RKU H P harus disesuaikan dengan H H I . Sekurang-kurangnya, ketentuan tentang perintah dan tanggung jawab atasan harus dirumuskan sesuai dengan H H I .

3 Statuta Roma 1 998 tentang Mahkamah Pidana lntemasional (Rome Statute on the International Criminal Court).

4 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004. Lihat juga http://www.legalitas.org

JURNAL HUKUM HUMANITER, Vol. 1 , No. 1

(8)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya ) 02

dalam Hukum Pidana Nasional

B. Rumusan Kejahatan Perang

Sebelum menelusuri aturan perintah dan tanggung jawab atasan, ada baiknya didahului dengan menelusuri rumusan kejahatan perang itu sendiri.

Dalam RKUHP, kejahatan perang disebut dengan istilah tindak pidana perang dan konflik bersenjata. Rumusan yang termuat dalam Pasal 392 sampai dengan Pasal 396 tersebut tampak diterjemahkan dari rumusah kejahatan perang yang termuat dalam Pasal 8.2. Statuta Roma 1 998.

Adapun Pasal 8.1. Statuta Roma 1998 yang berbunyi " The Court shall have jurisdiction in respect of war crimes in particular when committed as part of a plan or policy or as part of a large-scale commission of such crimes" tidak ikut d isalin kedalam RKUHP. Padahal , rum usan yang menegaskan yurisdiksi Mahkamah Pidana l nternasional tersebut juga turut memberikan gambaran tentang perbuatan kejahatan perang. Pasal tersebut memberikan penegasan bahwa biasanya perbuatan kejahatan perang dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan, atau sebagai bagian dari suatu perbuatan berskala besar. Tidak dimuatnya rumusan tersebut dalam RKUHP menyebabkan kesan bahwa RKU H P tidak menegaskan adanya kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan karena rencana penguasa atau perintah jabatan.

Sehubungan dengan keterkaitan antara rencana dan kebijakan penguasa dengan perang, suatu hal yang harus digarisbawahi adalah adanya kekhususan di waktu perang. Kekhususan tersebut memungkinkan atau membolehkan orang-orang yang mendapat tugas dalam perang, khususnya tentara, melakukan tindakan yang di waktu damai merupakan tindakan pidana. Dalam hal ini, tepat sekali Pasal 32 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang menyebutkan:

"Tidak dihukum, barang siapa yang didalam keadaan batas-batas kekuasaannya melakukan suatu perbuatan yang menurut hukum perang diperbolehkan, atau penghukumannya itu akan bertentangan dengan suatu persetujuan yang berlaku antara Indonesia dengan negara yang berperang dengan I ndonesia, atau dengan suatu peraturan yang ditetapkan karena perjanjian semacam itu."

J URNAL HUKUM H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(9)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masa/ah Rumusannya I 03

dalam Hukum Pidana Nasional

Tampaknya, peniadaan pidana ataupun pemaaf perbuatan pidana karena melakukan tugas yang sesuai hukum perang seperti demikian belum ada dalam RKUHP. Penting nya penegasan ketentuan demikian semakin dirasakan apabila hukum kejahatan perang dirumuskan dalam satu kodifikasi hukum pidana seperti KUHP dan RKUHP.

C. Keterkaitan Beberapa Konvensi di Bidang Hukum Humaniter lnternasional dalam Perumusan Kejahatan Perang

Mengikuti rum usan dalam Statuta Roma 1 998, Rancangan KU H P memberikan ancaman sanksi pidana terhadap kejahatan perang yang ditetapkan dalam beberapa konvensi H H I , baik yang sudah diratifikasi oleh I ndonesia maupun yang belum diratifikasi. Sebagaimana diketahui, H H I , sebagai bagian dari h ukum internasional, memang berisikan aturan-aturan yang berlaku pada waktu konflik bersenjata, sehingga juga sering disebut dengan h ukum konflik bersenjata atau hukum sengketa bersenjata.

Pasal 392 dan Pasal 394 RKU H P menetapkan sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan kejahatan perang yang dimuat dalam konvensi yang telah diratifikasi oleh I ndonesia , yaitu empat Konvensi Jenewa 1 949. Adapun Pasal 393, 395 dan 396 RKU H P menetapkan sanksi pidana dan batasan terhadap kejahatan perang yang dimuat dalam konvensi H H I yang belum diratifikasi ·oleh Indonesia, yaitu dua Protokol Tambahan tahun 1 977 yang merupakan pelengkap dari Konvensi Jenewa 1 949.

Daftar kejahatan perang yang dimuat d alam Pasal 392 RKU H P mencakup setiap tindakan terhadap orang atau harta kekayaan yang dilindungi berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam konvensi berupa : a. pembunuhan yang disengaja;

b. penyiksaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan termasuk percobaan biologis;

c. menyebabkan penderitaan berat atau mencederai berat tubuh atau kesehatan;

J URNAL H U K U M H U MANITER, Vol. 1 , N o . 1

(10)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masa/ah Rumusannya ] 04

dalam Hukum Pidana Nasional

d. perusakan dan pengambilan secara besar-besaran harta kekayaan, yang tidak dibenarkan oleh keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan secara tidak bermoral;

e. memaksa tahanan perang atau orang yang dilind ungi lainnya untuk bekerja dalam pasukan musuh;

f. merampas hak para tahanan perang atau orang yang dilindungi lainnya dari haknya untuk memperoleh pengadilan yang adil dan diakui;

g. pengusiran atau deportasi, pemindahan, atau perampasan kemerdekaan secara tidak sah; atau

h. penyanderaan.

Adapun daftar kejahatan perang yang dimuat dalam Pasal 394 RKU H P disebutkan sebagai kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, yaitu perbuatan-perbuatan terhadap orang-orang yang tidak terli bat secara aktif dalam peperangan termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakan senjata karena sakit, Iuka-Iuka , ditahan atau karena sebab-sebab lain, berupa:

a. kekerasan terhadap kehidupan dan orang khususnya pembunuhan dalam segala bentuknya, mutilasi , tindakan kejam dan penyiksaan;

b. kekejaman terhadap martabat pribadi khususnya penghinaan dan tindakan merendahkan;

c. penyanderaan;

d. penerapan pidana dan pelaksanaan pidana mati tanpa adanya proses peradilan sebelumnya yang sah, yang memberikan segala jaminan yudisial yang diperlukan dalam proses peradilan yang adil.

Rumusan perbuatan kejahatan perang dalam Pasal 394 RKU H P memang lebih umum dan lebih ringkas dibanding kan dengan Pasal 392 RKU HP, karena Pasal 392 memang merupakan standar minimal H H I yang juga berlaku pada situasi konflik bersenjata internasional maupun yang tidak

bersifat internasional. 5

5 Pasal 3 yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1 949.

JU RNAL H U KU M HUMANITE R, Vol. 1 , No. 1

(11)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya 1 05 dalam Hukum Pidana Nasional

Berbeda dengan Pasal 394 RKUHP yang menggambarkan kejahatan perang pada waktu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, Pasal 392 harus dipa hami sebagai menggambarkan kejahatan perang pada waktu konflik bersenjata internasional. Pemahahaman demikian terhadap Pasal 392 R KU H P dapat diperoleh dengan mengacu kepada Konvensi Jenewa, khususnya pada Pasal 2 yang bersamaan dari Konvensi Jenewa .

Ketika Pasal 393 dan Pasal 395 RKU H P menetapkan sanksi bagi kejahatan perang yang ditetapkan dalam Konvensi yang belum diratifikasi oleh I ndonesia, seperti halnya dalam Statuta Roma 1 998, kejahatan perang tersebut dirumuskan sebagai pelanggaran berat terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku di dalam konflik bersenjata. Pasal 393 RKU H P memuat rumusan kejahatan perang yang terjadi pada waktu konflik bersenjata internasional karena tampak diambil dari Protokol Tambahan I tahun 1 977 tentang Perlindungan Korban Perang pada Waktu Konflik Bersenjata l nternasional. Adapun Pasal 395 RKU H P mem uat rumusan kejahatan perang yang terjadi pada waktu konflik bersenjata non­

internasional karena tampak diambil dari Protokol Tambahan I I tahun 1 977.

Pelanggaran berat hukum dan kebiasaan HHI pada waktu konflik bersenjata yang dimuat dalam Pasal 393 RKU H P adalah berupa:

a. melakukan penyerangan terhadap kelompok penduduk sipil atau orang sipil perorangan yang tidak terlibat langsung dalam permusuhan;

b. melakukan penyerangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objek-objek yang bukan merupakan sasaran militer;

c. melakukan penyerangan terhadap personil, instalasi, material, unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, selama mereka mempunyai hak untuk memberikan perlindungan terhadap orang-orang sipil atau objek-objek sipil menurut hukum internasional tentang konflik bersenjata;

d. melakukan penyerangan yang diketahuinya bahwa serangan tersebut menyebabkan kematian atau Iuka terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang hebat,

J U RNAL HUKUM H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(12)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya I 06 dalam Hukum Pidana Nasional

meluas, dan berjangka panjang terhadap lingkungan hidup yang berkelebihan dalam kaitannya dengan keseluruhan keuntungan militer yang bersifat nyata dan langsung yang diantisipasi;

e. menyerang atau melakukan pemboman, dengan cara apapun, terhadap kota, desa, tempat pemukiman, atau gedung yang tidak di pertahankan dan bukan merupakan sasaran militer;

f. membunuh a tau melukai peserta perang yang tel ah meletakan senjatanya atau tidak lagi memiliki alat untuk mempertaha nkan diri yang telah menyerah atas kehendak sendiri;

g. menyalahgunakan bendera gencatan senjata , bendera atau lencana dan seragam militer musuh atau PBB, atau emblem khusus Konvensi Jenewa, yang mengakibatkan kematia n atau Iuka berat;

h. pemindahan, baik secara langsung maupun tidak langsung penduduk sipil oleh kekuasaan pendudukan dari wilayahnya sendiri ke wilayah yang diduduki, atau pengusiran atau pemindahan seluruh atau sebagian penduduk dari wilayah yang diduduki ke luar wilayah tersebut;

i. melakukan penyerangan terhadap bangunan-ba ng unan untuk keperluan ibadah, pendidikan, seni , ilmu pengetahuan, atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang sakit dan Iuka dikumpulkan, dengan ketentuan bahwa bangunan-bangunan tersebut

bukan merupakan sasaran militer;

j. menjadikan sebagai objek orang-orang yang berada dalam pengawasan pihak lawan u ntuk dijadikan objek pemotongan atau mutilasi fisik atau pengobatan atau percobaan ilmiah yang tidak dapat dibenarkan baik oleh kedokteran , kedokteran gigi maupun rumah sakit terhadap orang tersebut, maupun dilakukan u ntuk kepentingannya yang menyebabkan kematian atau secara serius membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut;

k. membunuh atau melukai secara curang orang-orang atau tentara dari pihak musuh;

I. menyatakan tidak akan memberikan pengampunan;

JURNAL HUKUM H U MANITER, Vol. 1 , N o . 1

(13)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya I 07 dalam Hukum Pidana Nasional

m. menghancurkan atau menyita harta kekayaan musuh, kecuali penghancuran atau penyitaan tersebut secara sangat mendesak diminta untuk dilakukan guna keperluan perang;

n. menyatakan dalam pengadilan, penghapusan , penundaan, atau penolakan hak dan tindakan para warga negara dari pihak musuh;

o. memaksa para warga dari pihak musuh untuk ikut berperang melawan negaranya sendiri, walaupun warga tersebut terikat sebagai tentara bayaran sebelum perang tersebut dimulai ;

p. menjarah kota atau tempat walaupun dilakukan dalam penyerangan;

q. menggunakan racun atau senjata-senjata beracun;

r. menggunakan gas-gas yang menyesakan nafas, gas beracun atau gas lainnya, dan segala cairan, material, atau perlengkapan yang semacam;

s. menggunakan peluru-peluru yang meluas atau merata di dalam badan manusia seperti peluru dengan suatu selubung keras yang tidak seluruhnya mencakup inti atau ditembus dengan irisan;

t. menggunakan senjata-senjata, proyektil dan material atau cara-cara berperang yang secara alamiah menyebabkan Iuka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau yang bersifat tidak pandang bulu yang melanggar hukum internasional tentang konfilk bersenjata yang secara luas dilarang;

u. kekejaman terhadap martabat perorangan, khususnya tindakan­

tidakan yang menghina dan merendahkan ;

v. memperkosa, memperbudak sec?ra seksual, pelacuran paksa, penghamilan paksa, sterilisasi paksa , atau suatu bentuk lain kekerasan seksual yang beruba pelanggaran berat Konvensi Jenewa;

w. mendayagunakan kehadiran penduduk sipil atau orang-orang yang dilidungi untuk mempertahankan tempat-tempat tertentu, area, atau pasukan militer yang kebal dari operasi militer;

x. memerintahkan penyerangan terhadap bangunan, material, unit medis, dan angkutan, dan personil dengan menggunakan emblem­

emblem khusus dari Konvensi Jenewa dari hukum internasional;

JURNAL HUKUM H UMANITER, Vol. 1 , No. 1

(14)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya } 08 dalam Hukum Pidana Nasional

y. menggunakan penderitaan penduduk sipil sebagai suatu cara perang melalui pencabutan atau penghilangan objek-objek yang sangat dibutuhkan terhadap kehidupan mereka, termasuk merintangi penyediaan pertolongan sebagaimana ditentukan oleh Konvensi Jenewa;

z. wajib militer dan mendaftarkan anak-anak di bawah usia lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berperan serta secara aktif dalam peperangan.

Sebagaimana halnya daftar rumusan dalam Protokol Tambahan I 1 977, perbuatan kejahatan perang yang dimuat dalam Pasal 393 RKUHP yang disebutkan di atas merupakan tambahan dan pelengkap dari daftar perbuatan kejahatan perang yang disebut dalam Pasal 392 RKU H P. Begitu juga daftar perbuatan kejahatan perang pada waktu sengketa bersenjata non-internasional yang termuat dalam Pasal 395 RKU H P merupakan tambahan dan pelengkap perbuatan kejahatan perang yang disebut dalam Pasal 394 RKU HP.

Oleh karena itu, sebagaimana halnya rumusan dalam Protokol Tambahan II 1 977, daftar perbuatan pelanggaran h ukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata non-internasional dalam kerangka hukum internasional yang dimuat dalam Pasal 305 RKU H P lebih sedikit dan lebih ringkas daftar perbuatan kejahatan perang yang disebut dalam Pasal 393. Hal tersebut dikarenakan, ketentuan dalam Pasal 3 yang bersamaan dari Konvensi Jenewa dan Protokol Ta m ba han I I , sebagaimana diakui dalam konferensi-konferensi diplomatik untuk pembentukannya, baru memuat perangkat aturan H H I yang paling elementer.6

6 Jacob Kellenberger pada kata pengantarnya dalam buku Customary International Humanitarian Law, Jean-Marie Hencaerts and Louise Doswald Beck, ICRC, Cambridge University Press, United Kingdom, 2005.

J URNAL HUKUM H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(15)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya I 09 dalam Hukum Pidana Nasional

D. Rum usan yang Masih Memerlukan Penjelasan dan Peraturan Pelaksanaan

Sekalipun daftar perbuatan kejahatan perang pada waktu konflik internasional dimuat dan dirumuskan lebih lengkap dibandingkan dengan daftar dan rumusan perbuatan kejahatan perang pada waktu konflik bersenjata non-internasional, masih terdapat beberapa perbuatan kejahatan perang yang tidak dimudah dipahami oleh masyarakat awam maupun tentara. Contohnya, Pasal 393 (d) dan (g) RKU H P yang masih membutuhkan sosialisasi dan pengaturan yang lebih jelas.

Pasal 393 (d) RKUHP menegaskan bahwa yang dilarang dilakukan oleh anggota pihak yang berperang adalah perbuatan yang menyebabkan kematian atau Iuka terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang hebat, meluas, dan berjangka panjang, walaupun serangan tersebut tidak diarahkan langsung kepada orang atau objek-objek sipil tersebut.

Sepintas lalu, aturan tersebut dapat menimbulkan kesan sebagai aturan yang mengganggu jalannya suatu operasi militer atau operasi tempur yang diperintahkan secara sah oleh lembaga atau pejabat negara . Padahal, prinsip H H I yang diambil dari Protokol Tambahan I Pasal 85.3. (b) ini juga dilengkapi dengan prinsip-prinsip H H I yang dapat dilaksanakan untuk mengantisipasi kejahatan perang yang dimuat dalam Pasal 393 d tersebut, yaitu prinsip tentang tindakan pendahuluan yang harus dilaksanakan ketika menjalankan tugas tersebut. Petunjuk tentang tindakan pendahuluan sekaligus ukuran tentang sudah patut a' au belum patutnya pelaksanaan suatu tugas dan perintah atasan untuk melakukan serangan telah dimuat

dalam Protokol Tambahan I Pasal 57 dan Pasal 58.

Bagi negara yang telah meratifikasi Protokol Tambahan I, sudah seharusnya menuangkan dan mengelaborasikan ketentuan-ketentuan tentang kewajiban tindakan pendahuluan dari Protokol tersebut dalam perundang-undangan nasionalnya dan termasuk dalam perangkat hukum petunjuk latihan angkatan perang nya. Bagi negara yang belum meratifikasi pun tidak perlu rag u untuk melakukan hal demikian, mengingat ketentuan

J URNAL H U K U M HUMANITER, Vol. 1 , No. 1

(16)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya 1 1 O dalam Hukum Pidana Nasional

tersebut telah merupakan kebiasaan hukum internasional, bahkan sebagai hukum kebiasaan dalam konflik bersenjata non-internasional. 7 Penuangan hal tersebut ke dalam perangkat hukum nasional diperlukan untuk kepastian hukum. Kepastian hukum demikian bukan saja diperlukan untuk kepentingan tentara yang akan menjalankan tugas berperang, tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya untuk menghindari mereka dari keterlibatan dalam kejahatan perang.

l mplementasi dalam perangkat hukum nasional juga dibutuhkan untuk mendukung tujuan Pasal 393 (g) RKU H P yang berkaitan dengan penyalahgunaan lambang-lambang yang dilindungi oleh hukum humaniter intemasional, antara lain lambang lambang yang dimuat dalam Konvensi Jenewa. U ntuk mengetahui persis bentuk fisik dan pemakaian serta perlindungan lambang-lambang tersebut, perlu ada peraturan perundang­

undangan yang memuat aturan tersebut secara jelas. Di samping itu, untuk mencegah penyalahgunaan tanpa sengaja oleh pelaku, larangan penyalahgunaan seharusnya telah diterapkan pada waktu sebelum konflik.

Saat ini, aturan mengenai penggunaan lambang yang dimuat dalam Konvensi Jenewa, yaitu lambang berbentuk palang merah dan bulan sabit merah terdapat di dalam Keputusan Presiden tentang Pendir1an dan Pengakuan Organisasi Palang Merah I ndonesia dan Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1 962 tentang Pemakaian/Penggunaan Tanda dan Kata-kata Palang Merah.

Adapun larangan dan sanksi atas peniruan dan penyalahgunaan lambang tersebut di masa konflik termuat di dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1 962 tentang Pemakaian/Penggunaan Tanda dan Kata-kata Palang Merah, sedangkan untuk masa damai termuat dalam Pasal 508 KUHP. Melihat ketentuan dalam Pasal 508 KU H P ternyata tidak ada lagi dalam RKUHP, maka aturan tersebut perlu dimunculkan kembali dalam RKU H P atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.

7 Jean-Marie Hencaerts and Louise Doswald Beck, Customary International Humanitarian Law, ICRC, Cambridge University Press, United Kingdom 2005, him. 68-76 .

J U RNAL HUKU M H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(17)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya 1 1 1 dalam Hukum Pidana Nasional

E. Perintah Jabatan dari Pejabat yang Berwenang terhadap Tindak Pidana Pada Umumnya dan Kejahatan Perang

Berkaitan dengan tindak pidana pada umumnya, dalam rumusan RKU HP, perintah jabatan dari pejabat yang berwenang telah ditetapkan sebagai alasan pembenar bagi pelaku yang telah melakukan perbuatan dimaksud . Hal tersebut tidak terlalu berbeda dengan ketentuan yang dimuat dalam KUH P saat ini.

Suatu h al yang menarik, adalah contoh yang diberikan oleh R.

Soesilo dalam mengomentari Pasal 5 1 KUHP. Beliau memberikan contoh dengan menggambarkan situasi pada operasi militer. Ketika itu, sepasukan militer harus bertindak dan komandan memberikan perintah aba-aba untuk menembak, maka anak buah pasukan itu wajib taat pada perintah tersebut.

Disebutkan juga dalam komentarnya bahwa jika pasukan tersebut pada waktu itu menembak mati orang, mereka tidak dihukum karena telah menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. 8 Sekiranya contoh tersebut digambarkan terjadi pada waktu situasi konflik bersenjata, maka pembahasan dapat dilanj utkan dengan menjelaskan a pakah penembakan yang terjadi merupakan kejahatan perang dan apakah anggota pasukan yang melakukan penembakan tersebut dapat dipidana.

Untuk memperkirakan bahwa perbuatan tersebut adalah kejahatan perang, langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan memastikan dua hal, yaitu:

1 . sasaran tembakan tersebut merupakan orang-orang yang dilindungi oleh HHI;

2. penembakan dilakukan dengan melanggar H H I , misalnya dilakukan secara membabi-buta sehingga menyebabkan korban sampingan di pihak masyarakat sipil yang tidak bersalah. Apabila salah satu dari dua hal tersebut terpenuhi, maka penembakan tersebut dapat d ikategorikan sebagai perbuatan kejahatan perang yang disebut dalam Konvensi

8 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Boger: Politeia, 1 985.

J URNAL H UKUM HUMANITER , Vol. 1 , No. 1

(18)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya 1 1 2 dalam Hukum Pidana Nasional

Jenewa dan Protokol Tambahannya serta Statuta Roma. Adapun untuk menentukan bahwa anggota pasukan pelaku perbuatan tersebut tidak dapat dipidana, tidak cukup dari faktor adanya perintah jabatan dari pejabat yang berwenang.

Dalam hat kejahatan perang, perintah jabatan hanya dapat membebaskan pelaku apabila terpenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Pasal 33 Statuta Roma ada tiga syarat kumulatif yang harus terpenuhi untuk membebaskan pelaku yang melakukan perbuatan kejahatan perang karena perintah jabatan. Syarat atau faktor tersebut adalah sebagai berikut:

pertama, orang tersebut berada dalam suatu kewajiban hukum untuk mematuhi perintah dari pemerintah atau dari atasannya ; kedua, orang tersebut tidak tahu bahwa perintah tersebut melanggar hukum; dan ketiga, perintah tersebut tidak melawan hukum.

Faktor pertama telah disebutkan dalam RKUHP, yaitu dalam Pasal 3 1 nya. Namun demikian, berbeda dengan yang disyaratkan oleh Statuta Roma, dalam RKUHP tidak dinyatakan bahwa faktor kedua dan ketiga harus dipenuhi untuk menentukan seseorang tidak dipidana. Terlepas dari hal tersebut, Pasal 40 ayat ( 1 ) RKUHP memang menyebutkan hal-hal yang dapat dijadikan alasan pemaaf terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana. Hal tersebut antara lain adalah apabila orang tersebut tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana, atau apabila orang tersebut sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur perbuatan tindak pidana. Demikian diatur dalam Pasal 40 ayat ( 1 ) RKU H P yang berbunyi:

"Tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan , atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya."

Namun demikian, keberadaan Pasal 40 ayat ( 1 ) RKU H P tidak dapat dijadikan dasar bahwa tanggung jawab yang ditetapkan oleh RKU H P terhadap pelaku kejahatan perang karena perintah jabatan oleh pejabat yang berwenang sama besarnya dengan tanggung jawab yang ditetapkan

JURNAL HUKUM H UMANITER, Vol. 1 , No. 1

(19)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya 1 1 3 dalam Hukum Pidana Nasional

menurut Pasal 33 Statuta Roma. Kesimpulan tersebut dapat diambil mengingat Pasal 40 ayat ( 1 ) RKU H P bukanlah merupakan bagian dari Pasal 31 RKU H P dan tidak berkaitan dengan perintah atasan. Artinya, jika dibandingkan dengan RKUHP, Statuta Roma memberi tanggung jawab yang lebih luas dan tegas kepada pelaku kejahatan perang , sekalipun perbuatan tersebut dilakukan atas perintah jabatan dari pejabat yang berwenang.

F. Perintah Jabatan dari Pejabat yang Tidak Berwenang

Sepintas lalu, ada ketentuan dalam RKU HP, yang terkesan mirip dengan ketentuan dalam Pasal 33 Statuta Roma, yaitu dalam Pasal 43 RKU HP. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

"Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengaki­

batkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya."

Tentu saja apabila perhatian diberikan semenjak kata-kata awal dari pasal tersebut, jelaslah sangat berbeda dengan Pasal 33 Statuta Roma.

Kalau Pasal 33 Statuta Roma berbicara tentang perintah jabatan dari pejabat yang berwenang , maka Pasal 43 RKU HP di atas berbicara tentang perintah jabatan tanpa wewenang. Pasal 43 RKU H P ini menegaskan bahwa perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang dapat menyebabkan hapusnya pidana bagi si pelaku pelaksana perintah yangbersangkutan apabila terpenuhi beberapa situasi tertentu. Adapun Pasal 33 Statuta Roma menegaskan hal yang berbeda, yaitu jangankan perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang, perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat berwenang pun tidak dapat begitu saja melepaskan tanggung jawab pelaku kejahatan perang karena melaksanakan perintah tersebut.

G. Tanggung Jawab Pemberi Perintah

Walaupun pemberian perintah tidak dapat begitu saja meniadakan tanggung jawab pelaku perbuatan kejahatan perang, pemberi perintah itu sendiri , atau yang disebut dengan orang yang menyuruh, jelas memikul

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. 1, No. 1

(20)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masa/ah Rumusannya 1 1 4 dalam Hukum Pidana Nasional

tanggung jawab dan harus dipidana. Demikian disebutkan dalam dan Pasal 25.3. (b) Statuta Roma 1 998 dan Konvensi Jenewa 1 949. 9

Begitu juga dalam Pasal 55 KUHP, ditegaskan bahwa orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana dapat dihukum sebagai orang yang melakukan. Dalam pasal tersebut ditegaskan juga sebagai orang yang dapat dihukum sebagai pelaku peristiwa pidana, yaitu orang yang dengan salah memakai kekuasaan atau pengaruh sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan. Tidak berbeda dengan yang ditetapkan dalam KU HP, dalam KUH PM, khususnya Pasal 1 35, juga ditetapkan bahwa orang yang menghasut seorang anggota tentara untuk melakukan suatu kejahatan dapat dihukum dengan hukuman penjara. Hukuman yang lebih berat juga dapat dijatuhkan, berdasarkan Pasal 1 26 KU H PM, kepada anggota tentara yang dengan menyalahgunakan atau melanggar hak atau kekuasaan orang lain memaksa sesorang untuk berbuat sesuatu. Dalam Pasal 20 RKUHP, orang yang menyuruh melakukan perbuatan tindak pidana, atau yang melakukan salah satu bentuk penyertaan dalam tindak pidana, juga dapat dipidana sebagai pembuat tindak pidana.

Baik KU H P maupun KU HPM tidak memberikan ketentuan peniadaan penuntutan pidana bagi orang yang menyuruh melakukan perbuatan pidana, walaupun orang yang menyuruh tersebut kemudian dapat mencegah pelaksanaan perbuatan tersebut dengan cara melaporkannya kepada penguasa. Padahal pasal 72 KUH PM memberikan maaf kepada orang yang ikut serta melakukan permufakatan dalam kejahatan terhadap keamanan negara, asal saja keikutsertaan orang tersebut bukan sebagai pemimpin, penganjur atau penggerak. Oleh karena itu, sudah pada tempatnya bahwa Pasal 22 RKU H P menetapkan bahwa keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan penjatuhan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.

Pada dasarnya, tidak diragukan lagi bahwa orang yang memberikan perintah atau menyuruh dilakukannya perbuatan kejahatan perang dan

9 Pasal 49-50/50-5 1 / 1 29- 1 30/1 46- 1 47 dari Konvensi Jenewa 1 949 1 /II / I l l/ IV.

J U RNAL HUKUM H U MANITE R, Vol. 1, No. 1

(21)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya 1 1 5 dalam Hukum Pidana Nasional

perbuatan pidana pada umumnya seharusnya dapat dihukum. Artinya, tanggung jawab pidananya muncul karena telah memberikan perintah atau menyuruh. Hanya saja yang masih perlu digarisbawahi bahwa tanggung jawab pemberi perintah yang dirumuskan dalam Pasal 22 RKU H P belum mencakup tanggung jawab komandan dan tanggung jawab atasan.

H. Tanggung Jawab Atasan atau Komandan

Berbeda dengan tanggung jawab orang yang memberikan perintah atau menyuruh melakukan perbuatan, tanggung jawab seorang atasan dan komandan terhadap perbuatan bawahannya dapat muncul walaupun ia tidak menyuruh dilakukannya perbuatan tersebut. Berkaitan dengan perbuatan kejahatan perang, tanggung jawab atasan dan komandan ditegaskan dalam Pasal 28 Statuta yang dapat dikatakan sejalan dengan ketentuan dari Pasal 87 Protokol Tambahan I .

Tanggung jawab atasan dan komandan terhadap perbuatan kejahatan perang belum diatur dalam perundang-undangan nasional Indonesia, tetapi untuk perbuatan kejahatan kemanusiaan dan genosida sudah diatur dalam Pasal 43 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Berat. Ketentuan dalam Pasal 43 undang-undang tersebut juga tidak berbeda dengan yang dimuat dalam Pasal 28 Statuta Roma . Seperti halnya dalam Protokol Tambahan I , Pasal 43 tersebut di atas menyebutkan bahwa seorang komandan militer bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komandonya dan pengendalaian efektifnya atau di bawah kewenangan dan pengendalian efektifknya. Begitu juga tanggung jawab atasan terhadap

bawahan yang berada di bawah kewenangan dan pengendalian efektifnya.

Pasal 43 tersebut menyebutkan secara rinci kewajiban masing-masing komandan militer dan atasan untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau untuk menyerahkan persoalan kepada pejabat yang berkompeten untuk investigasi dan penuntutan. Khusus untuk komandan militer, Pasal 43 mengindikasikan bahwa dalam keadaan tertentu seharusnya komandan tersebut telah mengetahui bahwa pasukannya

J URNAL H U KU M H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(22)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masa/ah Rumusannya 1 1 6 dalam Hukum Pidana Nasional

sedang atau akan melakukan tindak pidana tersebut. Di samping itu, lebih berat dibandingkan dengan tanggung jawab atasan, tanggung jawab komandan tidak dibatasi hanya pada perbuatan yang berkaitan dengan kegiatan yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian efektifnya.

Oleh karena itu, apabila Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak diamandemen dengan memasukkan yurisdiksi terhadap perbuatan kejahatan perang atau tidak ada perundang-undangan lain tentang hukum kejahatan perang, maka ketentuan tentang tanggung jawab komandan dan atasan harus dirumuskan dalam RKUHP.

I. Penyertaan dan Korporasi

Tidak seperti yang dimuat dalam Pasal 398 RKU H P , seharusnya ketentuan tentang korporasi tidak dikecualikan dari perbuatan kejahatan perang. Ketentuan korporasi dan penyertaan juga perlu diberlakukan terhadap perbuatan kejahatan perang, mengingat sipil dan korporasi dapat saja melakukan penyertaan dalam kejahatan perang, termasuk dalam kejahatan perang yang dilakukan oleh kombatan atau anggota pihak yang berperang.

Korporasi dapat saja ikut serta dalam perbuatan kejahatan perang dengan menyediakan bahan-bahan yang tidak boleh digunakan sebagai senjata dalam perang sebagaimana disebut dalam Pasal 393 (q) sampai dengan (t) RKUHP. Bahwa korporasi juga dapat menanggung tanggung jawab pidana terhadap perbuatan kejahatan perang demikian sudah dapat dilihat dari kasus-kasus setelah Perang Dunia II yang menyangkut beberapa industrialis atau pengusaha. Contohnya adalah kasus Zyklon B menyangkut dua orang industrialis Jerman yang merupakan orang sipil. Mereka divonis di pengadilan Jerman dengan hukuman mati sebagai pelaku kejahatan perang karena telah mensuplai gas beracun untuk kamp-kamp konsentrasi, sementara mereka tahu bahwa penggunaan bahan tersebut adalah untuk membunuh warga negara Sekutu. 1 0

Knut Dorman , Elements of War Crimes under the Rome Statute of the International Criminal Court, Cambridge University Press, United Kingdom 2004, him. 34-36.

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(23)

J. Sanksi

Kejahatan Perang dan Beberapa Masa/ah Rumusannya 1 1 7 dalam Hukum Pidana Nasional

Sanksi pidana maksimal yang ditetapkan terhadap perbuatan kejahatan perang dalam RKUHP ini berbeda atau lebih ringan dari sanksi yang dimuat dalam Pasal 77 Statuta Roma 1 998. Bahkan sanksi dalam RKUHP juga lebih ringan dibandingkan dengan sanksi terhadap beberapa perbuatan serupa yang dimuat dalam 1 38 KU H PM.

Statuta Roma mengenakan ancaman sanksi pidana penjara paling lama 30 tahun dan memungkinkan pengenaan hukuman seumur hidup dalam hal tertentu. Di samping hukuman penjara, Statuta Roma juga memberikan kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman denda.

Pasal 1 38 KUH PM menetapkan ancaman pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun terhadap orang yang melakukan kekerasan kepada orang mati, sakit atau mendapat Iuka dalam peperangan. Namun begitu , ada juga ketentuan KU H PM yang jika d ibandingkan dengan RKUHP tampaknya memuat ancaman hukuman maksimal yang lebih rendah terhadap salah satu perbuatan kejahatan perang. Ketentuan tersebut termuat dalam Pasal 1 43 KU H PM yang menetapkan pidana penjara maksimum dua belas tahun terhadap orang yang melakukan pencurian dari atau terhadap orang mati, sakit atau yang Iuka dalam perang. Khusus ketentuan Pasal 1 43 KUHPM tidak mengherankan jika ancaman sanksinya lebih ringan dari pada Pasal 392 sampai dengan Pasal 397 RKUHP, karena perbuatan yang disebut dalam Pasal 1 43 KUHPM tidak sama dengan perbuatan kejahatan perang yang disebut dalam Pasal 392 (d) RKUHP, yaitu belum merupakan perusakan

dan pengambilan secara besar-besaran harta kekayaan, walau pun tidak dibenarkan oleh keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan secara tidak bermoral.

Pasal 392 RKU H P menetapkan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 1 5 tahun terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1 949, termasuk terhadap perbuatan yang disebut dalam Pasal 1 38 KUHPM. Apabila rumusan hukum kejahatan perang dalam perundang-undangan nasional akan disesuaikan

JURNAL H U KU M H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(24)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masa/ah Rumusannya 1 1 8 dalam Hukum Pidana Nasional

dengan standar internasional, seharusnya sanksi dalam RKU H P tidak dibuat lebih rendah daripada KUHPM dan Statuta Roma 1 998.

K. Kesimpulan

1 . Apabila RKU H P ini, khususnya pasal-pasal tentang kejahatan perang, akan diberlakukan bagi anggota militer, maka ketentuan seperti yang termuat dalam Pasal 32 KUHPM perlu dicantumkan di dalamnya.

2. Pasal 31 RKU H P seharusnya dikecualikan terhadap perbuatan kejahatan perang, karena menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang tidak akan dipidana.

3. Pasal 31 RKU H P dapat diberlakukan bagi kejahatan perang apabila ditambahkan dengan harus terpenuhinya dua syarat tertentu, yaitu:

apabila orang tersebut tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana dan orang tersebut sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur perbuatan tindak pidana. Syarat pertama diperlukan sebagai penegasan bahwa adalah kewajiban setiap peserta perang dan setiap anggota angkatan perang untuk mengetahui prinsip-prinsip hukum perang atau hukum humaniter internaisonal.

4. Perlu d ipersiapkan peraturan perundang-undangan nasional yang mengadopsi aturan-aturan hukum kebiasaan internasional seperti yang termuat dalam Protokol Tambahan I dan I I . Terlepas dari masalah urutan prioritas negara untuk segera atau menunda ratifikasi dua Protokol tersebut, dengan mengadopsi aturan yang termuat di dalamnya merupakan urgensi untuk kepastian hukum.

5. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa dan Statuta Roma, RKU H P terkesan memberikan kewajiban disiplin yang lebih ringan kepada prajurit. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 43 RKU H P yang memberikan kemungkinan bagi prajurit untuk menjalankan perintah dari pejabat yang tidak berwenang. Begitu juga Pasal 31 RKU H P yang terkesan mengizinkan anggota angkatan perang atau prajurit untuk menjalankan perintah tanpa memastikan bahwa perintah tersebut bukan

J U RNAL HUKUM H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

(25)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masa/ah Rumusannya I 1 9 dalam Hukum Pidana Nasional

perintah untuk melakukan perbuatan kejahatan perang atau perbuatan lainnya yang melanggar hukum. Dalam rangka mengejar standar hukum internasional dan u ntuk memberikan kepastian hukum bagi para anggota angkatan perang, maka seharusnya Pasal 31 RKU H P dihapuskan atau sekurang-kurangnya disesuaikan.

6. Agar ketentuan tentang larangan dan sanksi terhadap kejahatan perang dalam RKU H P tidak sekadar menjadi beban bagi tentara dan masyarakat umumnya, maka aturan-aturan yang dimuat dalam Protokol Tambahan I dan I I perlu diadopsi ke dalam peraturan perundang­

undangan nasional.

J URNAL H U KUM HUMANITER, Vol. 1, No. 1

(26)

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya 1 20 dalam Hukum Pidana Nasional

DAFTAR PUSTAKA

Dorman, Knut, Elements of War Crimes under the Rome Statute of the International Criminal Court, United Kingdom: Cambridge U niversity Press, 2004.

Kellenberger, Jacob, pada kata pengantarnya dalam buku Customary International Humanitarian Law, Marie Hencaerts, Jean and Doswald Beck, Louise, United Kingdom: ICRC, 2005.

Marie Hencaerts, Jean and Beck, Louise Doswald , Customary International Humanitarian Law, United Kingdom: ICRC, 2005.

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar­

komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogar: Politeia, 1 985.

Statuta Roma 1 998 tentang Mahkamah Pidana l nternasional (Rome Statute on the International Criminal Court).

Konvensi Jenewa 1 949.

Protokol Tambahan 1 977.

http://www. legalitas.org

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. 1 , No. 1

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4 menunjukkan bahwa pada setiap setiap proses dengan pengadukan dan tanpa pengadukan, penjerapan ion logam Pb 2+ meningkat seiring dengan peningkatan bobot

Dengan demikian segment untuk DATA, STACK dan CODE pada program COM adalah sama, stack akan menggunakan akhir dari segment yang digunakan oleh segment CODE. Berbeda dengan

Kedua, setiap pekerja yang sudah dinyatakan lulus seleksi serta berhak mengikuti masa training selama 3 (tiga) bulan dan masa percobaan selama 1 (satu) tahun

Padahal kenyataannya, untuk mengem- balikan umat pada jalur yang benar menuju jalan Allah, kita membutuhkan waktu ber- tahun-tahun, sesuai dengan waktu yang dibutuhkan

Sehubungan dengan itu, kiranya perlu penelitian secara khusus yang berkaitan dengan potensi dan posisi manusia dalam mengolah sumber daya alam dan memanfaatkannya sebagai

Apabila melihat hasil tanggapan responden pada variabel Sikap, rata-rata responden menyatakan setuju sehingga menunjukkan bahwa responden memiliki sikap yang

Maka untuk kupu-kupu abu-abu sendiri tidak bisa ditemukan semudah itu karena mereka tidak menjajakan diri dan tidak mendeklarasikan bahwa dirinya adalah wanita yang bisa

c) Apabila terdapat hal-hal yang penting, disampaikan pula konsep surat Inspektur Jenderal kepada pejabat Eselon I terkait. 4) LHA Dengan Tujuan Tertentu selain Audit