4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
Lansia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, yang secara fisik terlihat berbeda dengan kelompok umur lainnya. Banyak perubahan dan masalah yang terjadi pada lansia seiring dengan proses penuaan, seperti penurunan fungsi biologis, psikologis, sosial, ataupun ekonomi. Kesejahteraan hidup lansia yang meningkat akan meningkatkan pula kualitas hidup lansia karena proses penuaan, penyakit, dan berbagai perubahan dan penurunan fungsi yang dialami lansia mengurangi kualitas hidup lansia secara progresif. (Nasrun, 2017)
Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lansia Indonesia akan mencapai 28, 8 juta orang atau 11,34 persen. Sebaran penduduk lansia tahun 2012 di Indonesia, pada urutan kedua ditempati oleh Jawa Timur yaitu 10,40% dan penduduk lansia lebih banyak tinggal di pedesaan (7,63%) dari pada di perkotaan (7,49). Angka harapan hidup penduduk di Jawa Timur dari periode 2010-2015 sebesar (71,9 tahun) pada 2015-2020 menjadi (73,2 tahun).
(Nasrun, 2017)
Seiring dengan peningkatan usia tidak jarang di ikuti dengan penurunan kemampuan fisik sehingga tidak jarang keluhan Kesehatan dirasakan oleh lansia. Kondisi ini yang mendasari adanya anggapan bahwa lansia bergantung kepada penduduk yang lain, terutam pada pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Keberadaan lansia juga dikaitkan dengan perhitungan rasio ketergantungan, yang merupakan perbandingan antara usia produktif dan usia non-prduktif termasuk di dalamnya adalah lansia.
5 Sumber foto dari : UN, World Population Prospect
2.2 Demensia
2.2.1 Definisi Demensia
Demensia merupakan suatu kondisi lansia yang mengalami penurunan fungsi mental-intelektual yang progresif yang dapat disebabkan oleh penyakit organik difus pada hemisfer serebri atau kelainan strurktur subkortikal.
Menurunnya fungsi kognitf ini harus cukup berat sehingga mengganggu fungsi social dan pekerjaan yang dilakukan secara individu. (Nasrun, 2017)
Arti kata demensia sendiri secara harfiah berarti “kehilangan pikiran”
ini merupakan bagian dari penuaan yang normal. Demensia bukanlah penyakit atau gangguan spesifik, melainkan sekelompok gejala yang merefleksikan kehilangan kemampuan untuk berfikir, menular, atau mengingat. Penyebab penyakit demensia sangat banyak, akan tetapi tampilan dan gejala klinisnya pada umumnya hampir sama. Enam puluh persen demensia adalah irreversibel atau tidak dapat pukih ke kondisi semula, dua puluh lima persen dapat di control, dan 15% dapat pulih kembali. Pravelensi demensia pada populasi lansia atau lebih dari 65 tahun berkisar antara 3-30 %. (Nasrun, 2017)
Demensia tipe alzheimer dilaporkan tumbuh tumbuh dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun, yaitu bila pravelensi lansia berusia 65 tahun 3%, pada usia 70 tahun akan bertambah menjadi 6%, pada usia 75 tahum akan bertambah menjadi 12%. (Nasrun, 2017) Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan ada 1.000.000 orang dengan demensia, jika di ambil dari perkiraan pravelensi diatas pada tahun 2021 ada kurang lebih 10.000.000 orang dengan diagnosa demensia
Demensia progresif adalah kondisi kronik, ireversibel yang mempengaruhi kognitif, yaitu kemampuan untuk berfikir, memahami dan bereaksi dengan tepat ketika menghadapi stres setiap hari. Pada akhirnya, demensia akan mengganggu kemampuan seorang untuk membina hubungan sosial yang normal, melakukan perawatan diri dan pekerjaan individu.
Demensia progresif dikarakteristikan dengan penurunan kontrol emosional, intelektual, memori, penilaian, kemampuan berhitung dasar, bahasa, dan kemandirian.
Demensia adalah jenis penyakit gangguan otak. Sel-sel otak akan mati secara bertahap dengan bertambahnya usia seseorang. Sel-sel otak penderita demensia akan mati dengan cepat dan volume otak mereka akan menyusut, menyebabkan kerusakan parah terhadap fungsi otak. Pasien penderita demesia bukan saja bisa menjadi pelupa, tetapi juga memeiliki masalah dengan pemahaman, bahasa, pembelajaran, perhitungan, dan penilaian. Kepribadian dan perilaku mereka juga bisa berubah. (LAU, 2016).
6 2.2.2 Kategori utama Demensia
1. Demensia yang tidak dapat pulih (Irreversibel) a. Penyakit Alzheimer
Merupakan jenis demensia paling umum, penyebab AD belum diketahui dengan jelas sampai sekarang, dan merupakan proses degenerasi yang progresif. Demensia tipe Alzheimer mencapai hampir 50% dari semua tipe demensia (5%-10% orang berusia diatas 65 tahun, 50%
diatas 85 tahun). Alzheimer dapat dimulai pada usia lima puluhan (awitan dini familial, bentuk pra-senil, sekitar 2%
dari seluruh kasus). Atau dapat dimulai pada usia 60 tahunan sampai 80 tahunan (awitan lambat, umumnya lebih banyak) dan berkembang sampai kematian dalam waktu 6- 10 tahun.
Gejala Alzheimer yang tampak dalam kehidupan sehari- hari adalah kegelisahan yang terjadi terus menerus dan sering mencari dalih untuk menghindari kegiatan, naming respons social seringkali masih utuh sampai saat saat akhir.
Atrofi korteks dan pelebaran ventrikel pada demensia yang sudah nyata dapat terlihat dengan MRI (magnetig reconance imaging), namun pada tahap demensia ringan tidak begitu jelas.
Secara histologik, dijumpai plak sinilis (saraf terminal degenaratif yang dikelilingi oleh inti beta amiloid neurotoksik), kekusutan serabut saraf (neurofibrillary tangies) dan neuron granulovacuolar. Penemuan terkini menunjukan adanya degenerasi primer pada neuron kolinergik di basal forebrain (bagian bawah otak depan).
Ada peningkatan insidens pada wanita (1,5:1), hubungan keluarga tingkat pertama – meningkat 3 kali lipat (terutama demensia pra-senil) dan syndrome down. Hanya sedikit kasus demensia tipe Alzheimer familial awitan dini (usia 50 tahun). Kasus Azheimer lainnya mempunyai hubungan dengan kromosom 14 (gen presenilin 1) dan kelompok lainnya berhubungan dengan gen presenilin 2 pada kromosom 1.
7 b. Korea Hutington
Pada penyakit ini yang terjadi adalah demensia subkortikal. Gejala psikiatrik bervariasi dari neurotic sampai psikotik (termasuk demensia) dapat mendahului gejala korea. Demensia terjadi pada stadium akhir.
Penyakit ini termasuk autosomal dominant (lengan pendek dari kromosom 4) sehingga perlu di telusuri adanya penyakit pada keluarga.
c. Parkinson, Lesi terletak di basal ganglia (subkorteks). Pada beberapa pasien terdapar depresi (40%) dan atau demensia.
Pemeberian Levodopa hanya memperbaiki gejala sementara saja.
2. Demensia yang dapat di pulihkan (reversible) a. Demensia Vaskuler
Demensia vaskuler diperkirakan mencapai 10% dari populasi. Membedakan demensia vaskuler dari Alzheimer adalah dari riwayat awitannya yang cepat dan deteriorasinya yang seperti anak tangga (bertahap kejut sehingga tidak selalu mudah di tenggarai) pada pasien berusia 50-60 tahun dan ada defisit neurologik fokal.
Penyebab demensia ini adalah episode trombolik-embolik multiple pada pasien dengan aterisklerotik pembuluh darah besar atau katup jantung, biasanya juga ada hipertensi.
3. Jenis lain dari demensia bisa disebabkan oleh depresi, kurangya asupan nutrisi, hipotriodisme, dan keracunan obat. Umumnya lansia tersebut ada riwayat peminum alkohol berat selama bertahun-tahun.
2.2.3 Faktor resiko Demensia
1. Penyakit demensia beresiko menyerang seorang yang umurnya diatas 65 tahun, resiko tersebut meningkat secara signifikan seiring dengan bertambahnya usia
2. Riwayat kesehatan keluarga, orang yang memiliki riwayat kesehatan keluarga yang pernah menderita demensia memiliki faktor resiko yang lebih besar.
3. Jenis kelamin, demensia lebih sering terjadi pada wanita, sebagian besar terjadi karena wanita hidup lebih lama daripada pria
4. Gaya hidup, orang yang memiliki tekanan darah tinggi, kadar kolesterol yang tinggi atau diabetes, memiliki faktor resiko yang lebih tinggi terkena demensia jika mereka tidak mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan kondisi kesehatan mereka
8 5. Gangguan kognitif, orang dengan gangguan kognitif karena berbagai macam gangguan atau faktor lainnya memiliki faktor resiko yang lebih tinggi terkena demensia ditahun-tahun selanjutnya.
6. Tingkat pendidikan, tingkat pendidikan yang lebih rendah memiliki faktor resiko yang lebih tinggi terkena demensia, karena orang yang berpendidikan tinggi melakukan lebih banyak latihan mental, yang melindungi otak mereka dari proses degenerasi.
2.2.4 Penyebab Demensia
Sindrom demensia terjadi akibat disfungsi otak yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala defisit kognitif seperti kelemahan memori, hendaya bahasa, gangguan fungsi eksekutif, apraksia dan agnosia. Etiologi demensia adalah semua penyakit menyebabkan disfungsi otak, antara lain penyakit Alzheimer, penyakit serbrovaskuler (stroke), hidrosephalus, parkinson, AIDS, Hutington, dan gangguan metabolic termasuk defisiensi.
Gangguan mental seperti gangguan depresi, gangguan konversi, dan skizofrenia dapat memberikan gambaran seperti demensia. Gangguan depresi dengan hendaya daya ingat dan gangguan konsentrasi sangat mirip dengan demensia sehingga disebut pseudodemensia.
Ada dua jenis perubahan sel otak biasanya terjadi pada penderita demensia. Perubahan ini termasuk plak (gumpalan protein yang biasanya tidak berbahaya yang disebut beta-amiloid) dan kusut (serat yang kusut, terdiri dari protein abnormal yang disebut protein TAU). Keduanya bisa menyebabkan kematian sel otak. Namun, penyebab kondisi ini masih belum diketahui hingga saat ini. Selain itu, demensia bisa terjadi ketika pembuluh darah menghalangi pasokan daraah ke otak.
Orang yang mengalami stroke ringan (berskala kecil atau bersifat sementara) mungkin tidak menyadari bahwa pembuluh darah dan sel-sel otak mereka sudah rusak, dan memiliki faktor resiko terkena demensia yang lebih tinggi. Beberapa demensia, seperti yang disebabkan oleh kurangnya vitamin B12 karena menjadi vegetarian untuk jangka waktu yang lama, mungkin bisa disembuhkan dengan pengobatan tertentu. (LAU, 2016)
9 2.2.5 Gejala-gejala Dimensia
1. Demensia stadium dini
Dampak demensia fase dini umumnya berupa perubahan samar- samar dalam kepribadian, hendaya dalam ketrampilan social, berkurangnya minat dan ambisi, afek yang labil dan dangkal, agitasi sejumlah keluan somatic, gejala psikiatrik yang samar, penurunan bertahap kemampuan intelektual dan ketajaman pikiran. Hal ini sering merupakan tanda pertama dalam ruang lingkup pekerjaan yang menuntut kinerja yang tinggi. Pasien dapat mengenali tanda dan gejala pada permulaan tetapi kemudian menyagkalnya tegas-tegas. Berikut daftar secara rinci tanda dan gejala demensia stadium dini.
a. Kehilangan ingatan jangka pendek dan sering melupakan percakapan atau janji, yang bisa mempengaruhi aktivitas atau kemampuan kerja sehari-hari.
b. Kesulitan dalam melakukan tugas biasa sehari-hari
c. Masalah berbahasa, kesulitan berkomunikasi dengan orang lain
d. Penilaian yang buruk
e. Disorientasi waktu dan tempat. Bingung tentang waktu, tanggal atau tempat
f. Masalah dengan pemikiran dan perhitungan g. Peruahan suasana hati dan perilaku
h. Kehilangan inisiatif
i. Lupa tempat menaruh barang-barang j. Perubahan kepribadian.
2. Demensia stadium lanjut
a. Penurunan memori (daya ingat)
Adanya penurunan memori jangka pendek atau peristiwa jangka pendek (recent memory) tetapi kemudian secara bertahap daya ingat (recall) juga menurun.
b. Perubahan mood dan kepribadian
Seringkali di warnai oleh ciri kepribadian sebelumnya (misal menjadi lebih kompulsif atau lebih mudah bereaksi). Mula- mula depresi , ansietas dan atau iritabilitas – kemudian menarik diri (withdrawal) dan apatis. Adakah pasien telah menjadi sentimental, bermusuhan, tidak memikirkan orang lain, paranoid, tidak sesuai norma social, ketakutan, tidak mempunyai inisiatif, menggunakan kata-kata vulgar atau mengolok-olok.
10 c. Penurunan daya orientasi
Terutama orientasi waktu (nama hari, tanggal, bulan, tahun, dan musim) dan juga orientasi tempat (“tempat apakah ini”) dan jika berat orientasi orang. Apakah pasien pernah tersesat, ditempat bari yang dikenalnya, di sekitar rumahnya, di dalam rumahnya. Pasien mungkin tidak dapat tidur nyenyak, berkeluyuran di malam hari dan tersesat.
d. Hendaya intelektual
Pasien kurang tajam pemikirannya dibandingkan biasanya.
Apakah pasien mempunyai masalah dalam mengerjakan sesuatu yang biasanya dapat di kerjakan dengan mudah.
Pengetahuan umum (menyebutkan nama presiden terakhir, 6 kota besar di Indonesia) kalkulasi (perkalian, mengurangi 100 dengan tujuh sebanyak lima kali, membuat perubahan), persamaan (apa persamaan bola dengan jeruk? Tikus dengan gajah?, lalat dan pohon?)
e. Gangguan daya nilai
Tidak mengantisipasi akibat dari perbuatannya. Apakah pasien bertindak secara impulsif?. Apa yang harus pasien lakukan jika menemukan amplop yang berperangko?.
f. Gejala psikotik
Halusinasi (biasanya sederhana) ilusi, delusi, preokupasi yang tak tergoyahkan, ide-ide mirip waham (delusi).
g. Hendaya berbahasa
Seringkali samar dan tidak begitu persis, kadang-kadang hampir mutisme. Adakah perseverasi, blocking, atau afasia?
(bila afasia dini dicurigai, patologi fokal) Tanyakan tentang penyakit kronis atau gangguan psikiatrik yang pernah dialaminya, psikiatrik dalam keluarga, penyalahgunaan obat atau alkohol, trauma kepala dan paparan terhadap zat racun (toksik)
2.2.6 Cara mencegah Demensia
Sampai saat ini, belum ada cara yang diketahui bisa mencegah penyakit Alzheimer. Pencegahan primer saat ini ditujukan pada edukasi agar orang selalu mengaktifkan otaknya dengan bekerja atau melakukan aktivitas, berfikir kreatif dan menyelesaikan problem atau tantangan hidup. Di tingkat sekunder, pencegahan progresivitas penyakit dilakukan dengan pemberian obat yang dapat menahan laju perkembangan demensia. Dalam hal ini diperlukan keteraturan dan kesinambungan obat dalam jangka waktu yang lama. Pada tingkat tersier, upaya pencegahan perburukan fungsi kognitif dilakukan
11 dengan program aktivitas dan stimulasi terapi kenangan, penyesuaian lingkungan dan Latihan orientasi realitas. Rehabilitasi kognitif dalam hal ini berarti mengawetkan fungsi-fungsi (aset) kognitif yang masih ada, bukan mengembalikan kepada fungsi semula. Langkah-langkah berikut dapat mengurangi resiko dan memperlambat proses degenerasi otak pada para manula :
1. Berolahraga secara teratur dan pertahankan keaktifan mental, kegiatan yang merangsang mental, seperti membaca dan bermain catur bisa melindungi manula dari demensia atau meningkatkan kemampuan anda untuk mengatasi perubahan yang berkaitan dengan demensia.
2. Pertahankan pola makan yang sehat , pola makan yang seimbang bisa menjaga kesehatan pembuluh darah, mengurangi kemungkina tekanan darah tinggi dan kadar kolesterol yang tinggi, sehingga menurunkan faktor resiko demensia veskular.
3. Cukupi asupan vitamin B12, C dan E. Kurangnya vitamin B12 nisa menyebabkan demensia. Jika tidak bisa mengkonsumsi banyak ikan, daging, telur atau susu, makan anda harus mengkonsumsi suplemen vitamin B12. Vitamin C dan E merupakan antioksidan yang bisa melindungi neuron dari pembuluh darah untuk mencegah demensia.
4. Deteksi dini, deteksi dini demensia dapat dilakukan oleh berbagai kalangan medik maupun non medik bilamana gejala dan tanda demensia dapat terpantau. Pentingnya deteksi dini tidak dapat di pungkiri mengingat sebagian besar demensia bersifat ireversibel sehingga pencegahan primer adalah salah satu cara menghambat progresifitas penyakit
2.2.7 Cara untuk mendeteksi dan mendiagnosis demensia.
Banyak usia lanjut mengalami ansietas ringan, depresi atau gangguan hipokondrik yang menyerupai demensia, akan tetapi dengan dorongan dan pertanyaan-pertanyaan yang persisten biasanya memori dan orientasi dapat kembali normal. Deteriorasi intelektual pada skizofrenia dibedakan dari demensia dengan adanya riwayat psikosi dan penarikan diri secara social serta adanya gangguan proses pikir yang khas.
Suatu wawancara amytal dapat membedakan antara demensia dan skizofrenia katatonik. Pada delirium ada tingkat kesadaran yang berubah dan berfluktuasi. Delirium dan demensia seringkali ada Bersama-sama, tetapi delirium harus jelas dahulu sebelum diagnosis demensia ditegakkan. Jangan sampai membuat kesalahan mendiagnosis demensia untuk suatu afasia yang disebabkan oleh lesi fokal (walaupun mungkin 10% pasien demensia berat mengalami afasia). Jadi dalam mendiagnosis demensia pastikan bahwa defisit kognitif yang terjadi multiple (amnesia, afasia, agnosia, apraksia, penurunan fungsi eksekutif dll) yang disebabkan otak karena berbagai kondisi medik.
12 Untuk memastikan kemungkinan kondisi lainnya yang bisa menyebabkan gejala yang sama, dokter akan melakukan serangkaian tes untuk mendiagnosis demensia serta melakukan anamnesis dan pemeriksaan kondisi mental secara terperinci.
1. Deteksi dini
Deteksi dini demensia dapat dilakukan bilaman gejala dan tanda demensia dapat terpantau atau muncul. Deteksi dini dinilai sangat penting, mengingat sebagian besar tipe demensia bersifat irreversibel. Selain itu deteksi dini juga berguna untuk mencegah maupun menghambat progresifitas penyakit.
2. Tes darah
Untuk membantu memastikan adanya ganggua lain seperti hipotiroidisme atau kekurangan vitamin B12, dll
Evaluasi perilaku dan uji kognitif
Sejumlah tes terstruktur untuk mengukur ingatan dan ketrampilan mental, untuk menentukan apakah ada penyakit demensia
3. Pemindaian MRI
Menggunakan medan dan gelombang radio magnetik untuk membuat citra otak secara terperinci, untuk membantu mengidentifikasi ukuran dan perubahan struktural otak serta masalah lainnya, seperti gumpalan darah atau tumor diotak.
4. Pemindaian PET (Tomografi Emisi Positron)
Jenis pencitraan yang bisa mendeteksi kelainan beta-amiloid diotak.
Pemindaian ini delakukan dengan menyuntikan sejumlah kecil zat radioaktif (pelacak) kedalam vena. Pelacak diangkut menuju ke otak untuk mengevaluasi tingkat keparahan kondisi kesehatan dan respon pasien terhadap obat-obatan.
2.2.8 Tatalaksana demensia 1. Terapi Suportif
Berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, kacamata, alat bantu dengar, alat proteksi (untuk anak tangga, kompor, obat-obatan) dan lain-lain. Pertahankan pasien berada dalam lingkungan yang sudah dikenalnya dengan baik, jika memungkinkan. Usahakan pasien dikelilingi oleh teman-teman lamanya dan benda-benda yang biasa ada didekatnya. Tingkatkan daya pengertian dan partisipasi anggota keluarga.
Pertahankan keterlibatan pasien melalui kontak personal, orientasi yang sering (mengingatkan nama hari dan jam.
Mendiskusikan berita actual Bersama pasien. Pergunakan
13 kalender, radio, televisi. Aktivitas harian dibuat terstruktur dan terencanan. Bantu pasien dalam membangun kembali rasa percaya dirinya. Rencana diarahkan kepada kekuatan dan kelebihan pasien. Bersikap menerima dan menghargai pasien.
Hindari suasana yang remang-remang, terpencil; juga hindari stimulasi yang berlebihan.
2. Terapi simtomatik
Kondisi psikiatrik memerlukan obat-obatan dengan dosis yang sesuai :
• Ansietas akut, kegelisahan, agresi, agitasi: Haloperidol 0,5 mg per oral 3 kali sehari (atau kurang); Risperidon 1 mg per oral sehari. Hentikan setelah 4-6 minggu.
• Ansietas non psikotik, agitasi: diazepam 2 mg peroral dua kali sehari, venvlaxin XR. Hentikan setelah 4-6 minggu.
• Agitasi kronik: SSRI (misal Fluexetine 10-0 mg / hari) dan buspirone ( 15 mg dua kali sehari); juga pertimbangkan Beta bloker dosis rendah.
• Depresi: pertimbangkan SSRI dan anti depresan baru lainnya dahulu; dengan Trisiklik mulai perlahan-lahan dan tingkatkan sampai ada efek-misal desipramine 75- 150 mg per oral sehari.
• Insomnisa hanya untuk penggunaa jangka pendek.
3. Terapi khusus
• Identifikasi dan koreksi semua kondisi yang dapat diterapi.
• Tidak ada terapi obat khusus untuk demensia yang ditemukan bermanfaat secara konsisten, walaupun banyak yang sedang di teliti (misal vasodilator serebri, antikoagulan, stimulant metabolic serebri, oksigen hiperbarik). Vitamin E (antioksidan) sedang diselidiki sebagai zat yang mungkin dapat memperlambat progresifitas penyakit Alzheimer. Peningkatan kolinergik sentral dapat memberikan perbaikan sementara dari beberapa gejala pada pasien dengan penyakit Alzheimer, misalnya pemberian asetilkolin esterase inhibitor yaitu:
a) Donezepil (Aricept 5-10 mg, satu kali sehari, malam hari)
b) Rivastigmine (Exelon 6-12 mg, dua kali sehari) c) Galantamine (Reminyl 8-16 mg, dua kali sehari)
14 4. Perilaku dan kondisi psikologis penderita demensia.
Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada orang dengan demensia merupakan problem tersendiri bagi keluarga.
Tidak jarang hal ini membuat suasana kacau dan mengakibatkan stress bagi pelaku rawat (caregiver). Untuk itu perlu adanya penanganan yang tepat agar ganguan perilaku pada demensia seperti agitasi, wendering, depresi, delusi, paranoid apatis, halusinasi dan agresivitas (verbal/fisik) dapat diatasi.
2.2.9 Prinsip tatalaksana demensia
Strategi tatalaksana meliputi pengembangan program aktivitas dan pemberian obat bila perlu. Program aktivitas meliputi stimulasi kognitif, mental dan afektif yang dikemas dalam bentuk yang sesuai untuk pasien terebut.
Beberapa prinsip tatalaksana yang harus diperhatikan :
1. Kualitas hidup orang dengan demensia (dan caregivernya) 2. Kemunduran kogninitif terjadi pelan berangsur-angsur, tidak
sekaligus semuanya hilang.
3. Kenikmatan tidak memerlukan memori yang utuh.
4. Sadari bahwa informasi yang terakhir didapat biasnya cepat dilupakan.
5. Selesaikan masalah secara kreatif 6. Orang dengan demensia tumbuh surut
7. Sesuaikan lingkungan terhadap pasien, jangka sebaliknya.
8. Sikap keluarga atau pelaku rawat berpengaruh terhadap kondisi demensia.
Tatalaksana demensia harus disesuaikan dengan tahapan demensia, kondisi lingkungan dan sumber-sumber dukungan yang ada (fisik maupun finansial), sarana terapi yang tersedia serta harapan pasien dan keluarganya.
Pemberian obat untuk gangguan perilaku pada demensia bersifat simtomatik, dapat dipergunakan beberapa jenis psikotropik dalam dosis kecil. Pemilihan jenis terapi harus sesuai dengan target terapi berdasarkan hasil pengkajian yang cermat dan menyeluruh.
2.3 Konsep Perilaku
2.3.1 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah sebuah kegiatan yang dapat diamaati dan dilihat dari luar, misalnya orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai mobil atau motor.
Untuk melakukan aktifitas ini mereka harus bisa melakukan beberapa hal, seperti saat seseorang sedang membaca koran yang dimana kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. Jelas ini merupakan sebuah perilaku. Ia sedang membaca meskipun pengamatan dari luar sangatlah miniml, akan tetapi sebenarnya perilaku itu ada dibalik tabir tubuh, didalam tubuh manusia.
15 perilaku merupakan suatu kegiatan ataupun aktivitas organisme (makhluk hidup) yang saling bersangkutan (Marmi & Margiyanti, 2016).
Oleh sebab itu, dari sudut pandangan biologis makhluk hidup selain manusia seperti tumbuhan dan hewan juga mempunyai aktivitas dan kegiatan masing – masing. Sehingga pada hakikatnya perilaku manusia merupakan tindakan atau aktivitas pada individu manusia itu sendiri yang mempunyai permadani yang sangat luas diantaranya: berjalan, merintih, tersenyum, menulis, membaca dan sebagainya (Pitra, 2017). Sedangkan menurut (Lutviyah, 2017) perilaku merupakan hasil dari beberapa pengalaman serta berinteraksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam beberapa bentuk, yaitu dibentuk dengan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan. Dari uraian diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa perilaku merupakan segala bentuk kegiatan ataupun aktifitas manusia, baik yang dapat diobservasii ataupun dilihat secara langsung maupun yang tidak dapat diobservasi ataupun tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Skiner (1983) dalam (Marmi & Margiyanti, 2016) merumuskan bahwa rangsangan dari luar terhadap seseorang melalui stimulus sehingga menimbulkan sebuah respon dan reaksi disebut dengan perilaku. Oleh karena itu, perilaku akan terjadi apabila melalui sebuah proses yaitu adanya stimulus terhadap sebuah organisme, setelah itu organisme tersebut merespon, dan dari uraian diatas merupakan sebuah teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.
Skiner membedakan adanya 2 proses:
1. Respondent respon atau reflexsive
Yakni sebuah rangsangan yang responnya ditimbulkan oleh stimulus tertentu. electing stimulation merupakan Stimulus yang timbul akibat sebuah respon yang relative tetap dan sama.
Semisal ada makanan yang lezat sehingga menimbulkan keinginan untuk memaknnya lagi. Respon ini juga mencakup perilaku yang emosional seperti mendengar kabar berita musibah sehingga membuatnya menjadi sedih ataupun menangis, lulus ujian denag meluapkan kesenangannya.
2. Operant respon atau instrumental respon
Sebuah stimulus ataupun rasangan tertentu yang muncul dan berkembang akibat adanya sebuah respon. reinforcing stimulation atau Reinforce merupakan stimulus yang timbul karena memperkuat dan memperkokoh respon. Semisal apabila ada seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh penghargaandari atasanya. Maka dengan hal itu membuat motivasi kepada petugas kesehatan tersebut agar lebih baik lagi dalam melakukan tugasnya.
16 2.3.2 Bentuk Perilaku
Menurut (Notoadmojo, 2017) dilihat dari beberapa bentuk respon pada stimulus, maka perilaku dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Perilaku Terselubung/Tertutup
Perilaku tertutup adalah sebuah respon seseorang terhadap stimulus yang membuatnya dalam bentuk terselubung maupun tertutup.
Respon ataupun reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, pengertian, pemahaman, kesadaran serta sikap yang terjadi pada seorang yang mendapatkan stimulus tersebut, dan belum dapat dilihat secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku Terbuka
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan yang nyata ataupun terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudahlah jelas berupa sebuah tindakan dan praktik, dan dengan mudah dapat dilhat oleh orang lain.
2.3.3 Domain Perilaku
Menurut (Marmi & Margiyanti, 2016) membagi perilaku itu ada dalam 3 domain (ranah atau kawasan), meskipun kawasan – kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan, yaitu untuk mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut yang terdiri dari ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotor. Tiga tingkat yang merupakan ranah/domain pada perilaku tersebut biasanya dinamakan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan (Bagus, 2016).
1. Pengetahuan
Merupakan hasil dari penginderaan manusi, yang membuat hasil terhadap sebuah objek melalui indera yang ia miliki seperti : mata, hidung, mulut dan seterusnya. Tanpa pengetahuan seseorang pun tidak akan mempunyai dasar untuk mengambil keputusan Pengetahuan dibagi menjadi 6 yaitu : Tahu, paham, mengaplikasikan, analisis, sintesis dan evaluasi.
2. Sikap
Merupakan sebuah respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus ataupun objek (Lutviyah, 2017). Menurut (Notoadmojo, 20127sikap mempunyai 3 kompunen:
17 a. Kepercayaan ataupun keyakinan terhadap ide dan konsep pada
suatu objek
b. Kehidupan emosional dan evaluasi terhadap suatu objek c. kecondongan untuk melangkah
3. Tindakan
Setelah mengetahui stimulus ataupun objek, kemudian melakukan penilaian atau pendataan terhadap apa yang diketahui.
Sedangkan proses selanjutnya diharapkan dapat melaksanakanya dan mempraktekannya yang diketahuinya. Menurut (Marmi & Margiyanti, 2016) Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan factor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan factor pendukung.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan secara langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari ataupun blan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakini dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan partisipan.
2.3.4 Determinan Perilaku
Menurut (Bagus, 2016) Dalam memberikan sebuah respon tergantug pada beberapa faktor lain dari orang yang berangkutan. Faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda dinamakan determinan perilaku. Determinan perilaku dibagi menjadi dua yaitu
1. Determinan faktor internal
Karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, contohnya tingkat kecerdesan, emosional, jenis kelamin dll.
2. Determinan faktor eksternal
Lingkungan baik itu fisik, social, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Factor lingkungan ini yang sangat mendominasi dalam perilaku seseorang.
2.4 Konsep Kognitif
2.4.1 Definisi Kognitif
Seiring bertambahnya usia, tubuh akan mengalami proses penuaan, termasuk otak. Otakakan mengalami perubahan fungsi, termasuk fungsi kognitif berupa sulit mengingat kembali, berkurangnya kemampuan dalam mengambil keputusan dan bertindak (lebih lamban). Fungsi memori merupakan salah satu komponen intelektual yang paling utama, karena sangat berkaitan dengan kualitas
18 hidup. Banyak lansia mengeluh kemunduran daya ingat yang disebut sebagai mudah lupa.
Seseorang dikatakan mengalami penurunan fungsi kognitif yang lazim dikenal dengan demensia atau kepikunan, bila menunjukkan 3 atau lebih dari gejala-gejala berupa gangguan dalam hal, diantaranya perhatian (atensi), daya ingat (memori), orientasi tempat dan waktu, kemampuan konstruksi dan eksekusi (seperti mengambil keputusan, memecahkan masalah) tanpa adanya gangguan kesadaran. Gejala tersebut bisa disertai gangguan emosi, cemas, depresi agresivitas. Demensia merupakan kemunduran progresif kapasitas intelektual yang disebabkan oleh gangguan pada otak.
2.4.2 Fungsi Kognitif
Penurunan fungsi kognitif dengan gejala sindroma demensia, akan berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari lansia yang bersangkutan. Lansia dengan demensia sering lupa makan dan minum, atau makan dan minum diluar jam makan, serta kurang memperhatikan kualitas makanannya (misalnya makanan yang sudah berjamur). Kebutuhan dasar lain seperti kebutuhan eliminasi, keamanan dan keselamatan, komunikasi dan sebagainya juga akan mengalami hal yang serupa.
Fungsi kognitif dikemudian hari sangat ditentukan oleh pengalaman hidup, status kesehatan, dan gaya hidup seseorang. Gaya hidup merupakan kegiatan-kegiatan dan rutinitas yang biasa dilakukan seseorang sehari-hari. Gaya hidup yang sehat bagi lansia adalah pemenuhan kebutuhan nutrisi yang baik, latihan dan olahraga, istirahat dan tidur yang cukup serta tidak merokok.
2.4.3 Aktivitas Kognitif
Wreksoatmaja (2015) menyampaikan bahwa aktivitas kognitif adalah aktivitas yang melibatkan kegiatan berpikir. Beberapa aktivitas yang termasuk dalam aktivitas kognitif antara lain, memasak, menonton berita, membaca koran, bermain catur atau permainan yang mengasah otak (Wreksoatmaja, 2015), pekerjaan yang melibatkan kerja otak (Johansson, 2015), bermain puzzle, mengajar (Santrock, 2011), membuat kerajinan tangan, dan organisasi sosial (Geda, et al., 2011). Aktivitas kognitif dapat berupa aktivitas membaca koran, mem- baca buku, menonton berita, melakukan aktivitas atau kegiatan seni, serta kegiatan yang bersifat konsep, analisa, dan perencanaan.
Penelitian yang dilakukan Marquine, Segawa, Wilson, Bennett,
& Barnes (2012) menghasilkan temuan bahwa aktivitas kognitif yang dilakukan secara rutin, berkaitan secara umum dengan fungsikognitif lansia yang lebih baik. Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian
19 yang dilakukan Lachman, Agrigoroaei, Murphy, dan Tun (2010).
Dalam penelitian tersebut juga didapatkan hasil bahwa lansia yang terlibat dalam aktivitas kognitif secara regular, memiliki fungsi kognitif, khususnya pada aspek episodic memory yang lebih baik, meskipun pendidikan mereka rendah. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa lansia yang berpendidikan rendah tetap dapat memiliki fungsi kognitif yang baik selama ia terlibat secara rutin dalam aktivitas kognitif.
2.4.4 MMSE (Mini Mental State Examination)
MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif. Hasilnya, MMSE menjadi suatu metode pemeriksaan status mental yang digunakan paling banyak di dunia. Tes ini telah diterjemahkan kebeberapa bahasa dan telah digunakan sebagai instrumen skrining kognitif primer pada beberapa studi epidemiologi skala besar demensia.