• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ekstrakurikuler, 2) kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, 3) relevan, serta 6) kerangka berpikir.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. ekstrakurikuler, 2) kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, 3) relevan, serta 6) kerangka berpikir."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bagian ini menyajikan tentang kajian teori yakni konsep-konsep yang akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam melaksanakan penelitian dan juga cara membahas hasilnya. Kajian teori yang diuraikan meliputi: 1) ekstrakurikuler, 2) kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, 3) pendidikan karakter, 4) evaluasi program, 5) penelitian yang relevan, serta 6) kerangka berpikir.

2.1 Ekstrakurikuler

2.1.1 Pengertian Ekstrakurikuler

Suryosubroto (2009:287) mendefinisikan ekstrakurikuler sebagai kegiatan yang dapat memperkaya pengetahuan serta keterampilan peserta didik, kegiatan ini dilaksanakan di luar jam pelajaran bisa karena kegiatan ini adalah kegiatan tambahan di luar struktur program. Sejalan

(2)

18

dengan Suryosubroto, Nuh, (2013:24) pun menyampaikan bahwa ekstrakurikuler merupakan kegiatan kurikulum yang diperluas serta dilakukan dibawah bimbingan sekolah kepada peserta didik di luar jam belajar kurikulum standar, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan, minat, bakat, dan kepribadian siswa. Berdasarkan pendapat di atas, dapat pahami bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di bawah bimbingan sekolah yang dilakukan diluar jam pelajaran untuk mengembangkan potensi dan kepribadian siswa.

2.1.2 Jenis-jenis Ekstrakurikuler

Ada dua jenis kegiatan pengembangan diri yang dilakukan oleh sekolah yaitu kegiatan terprogram dan kegiatan tidak terprogram. Kegiatan ekstrakurikuler termasuk dalam kegiatan yang terprogram karena dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam waktu tertentu. Kegiatan

(3)

19

ekstrakurikuler bisa dilaksanakan secara individual, kelompok, maupun secara klasikal.

Berdasarkan jenisnya, kegiatan ekstrakurikuler dibedakan menjadi dua kelompok yaitu wajib dan pilihan.

Ekstrakurikuler yang harus diikuti oleh seluruh peserta didik kecuali bagi peserta didik dengan kondisi tertentu yang tidak memungkinkan mengikuti kegiatan tersebut adalah yang dimaksud dengan ekstrakurikuler wajib. Berdasarkan Permendikbud No. 62 tahun 2014, ekstrakurikuler yang wajib dilaksanakan di setiap sekolah adalah kepramukaan, sedangkan ektrakurikuler pilihan adalah ekstrakurikuler yang dapat diikuti oleh siswa sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing, misalnya seperti karate, paskibra, basket, voli, seni (lukis, suara, musik, tari) dan masih banyak lagi yang disesuaikan dengan kondisi bakat minat siswa serta kemampuan sekolah (Kemendikbud, 2014:2; Nasihin, S dan Sururi, 2012:212).

(4)

20 2.1.3 Fungsi Ekstrakurikuler

Menurut Depdikbud (2009) ada empat fungsi ekstrakurikuler yang dapat mendukung kegiatan kurikuler di sekolah. Keempat fungsi tersebut adalah sebagai: 1) fungsi pengembangan, yaitu untuk mendukung pengembangan diri siswa melalui perluasan minat, potensi, serta memberi kesempatan peserta didik untuk membentuk karakter dan kepemimpinan; 2) fungsi sosial, yaitu untuk menumbuhkan tanggungjawab dan kemampuan sosial siswa; 3) fungsi rekreatif, karena dilakukan dalam suasana yang santai, senang, dan menggembirakan; serta 4) fungsi persiapan karir, yaitu pengembangan kapasitas untuk menumbuhkan kesiapan karir siswa.

Berdasarkan fungsi tersebut maka kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dapat dimanfaatkan sebagai pelengkap dan penunjang keberhasilan pelaksanaan kurikulum di sekolah melalui pengembangan peserta didik.

Kegiatan ekstrakurikuler bermanfaat bagi peserta didik karena

(5)

21

dapat digunakan untuk mengisi kekosongan waktu dengan kegiatan positif, sehingga dapat menunjang pendidikan di sekolah.

2.1.4 Format Kegiatan Ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dilaksanakan dengan menyusun sistematika kegiatannya terlebih dahulu.

Sistematika kegiatannya minimal terdiri dari 1) rasional dan kebijakan program ekstrakurikuler; 2) deskripsi program kegiatan yang terdiri dari ragam kegiatan, tujuan dan kegunaan kegiatan, keanggataan, persyaratan, serta jadwal kegiatan; 3) manajemen atau pengelolaan program ekstrakurikuler dalam bentuk struktur organisasi di sekolah;

4) pendanaan; 5) monitoring dan evaluasi (Kemendikbud, 2014:4; Komri, 2014:315).

Penjadwalan waktu kegiatan merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam merencanakan kegiatan ekstrakurikuler. Jadwal kegiatan tersebut dirancang pada awal

(6)

22

tahun pelajaran, selain itu juga kegiatan ekstrakurikuler tersebut hendaknya disosialisasikan kepada anggota sekolah yaitu siswa, guru, komite dan juga kepada orang tua siswa.

Jadwal kegiatan ekstrakurikuler hendaknya diatur dengan baik agar pelaksanaannya tidak terhambat dan aktivitas belajar siswa di dalam kelas pun dapat benjalan lancar. Hal-hal yang termasuk dalam tahap perencanaan yaitu rekrutmen peserta, pemberian tugas kepada pelatih atau pembina ekstrakurikuler, penetapan kompetensi dan materi yang akan diajarkan, penyusunan jadwal kegiatan, serta penyusunan rencana kegiatan (Kemendikbud, 2014:4; Komri, 2014:316).

Kepala sekolah, pengawas, pembina, atau pelatih hendaknya melakukan memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan ekstrakurikuler. Penilaian prestasi ini kemudian didiskripsikan dalam rapor dengan kriteria keberhasilan yang meliputi proses serta pencapaian kompetensi dari kegiatan ekstra kurikuler ini dilakukan oleh pembina atau pelatih ekstrakurikuler. Sebagai syarat kenaikan kelas, siswa harus

(7)

23

mendapat nilai minimal “B” (Baik) dalam kegiatan ekstrakurikuler. Karena ekstrakurikuler pramuka adalah ekstrakurikuler wajib, maka siswa yang belum mencapai nilai minimal perlu mendapatkan bimbingan yang lebih intensif agar dapat mencapat ketuntasan minimal (Kemendikbud, 2014:4; Komri, 2014:316).

Pengukuran tingkat pencapaian tujuan pada kegiatan ekstrakurikuler di setiap indikator yang telah ditetapkan pada perencanaan perlu dievaluasi oleh sekolah, apakah tujuan tersebut telah tercapai atau belum. Selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, sekolah membuat perbaikan pada rencana tindak lanjutnya guna menentukan siklus kegiatan selanjutnya. (Kemendikbud, 2014:5).

2.2 Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka di Sekolah 2.2.1 Pengertian Program Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka

Azwar (2009:25) menyatakan bahwa Gerakan Pramuka adalah sebuah lembaga pendidikan bagi kaum muda yang

(8)

24

mendapat dukungan dari orang dewasa, organisasi ini juga memiliki status badan hukum. Definisi lain dikemukakan oleh Suharso dan Ana (2011:289) yang menyatakan pramuka adalah kependekan dari praja Muda karana yang memiliki fungsi mendidik sebagai organisasi pemuda yang mendidik berbagai ketrampilan.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia no 12 Tahun 2010 tentang gerakan pramuka menjelaskan bahwa

"Pramuka adalah warga negara Indonesia yang aktif dalam pendidikan kepramukaan serta mengamalkan Satya Pramuka dan Dharma Pramuka". Jadi dari berbagai penjelasan dan definisi di atas dapat dijelaskan bahwa pramuka adalah program yang dilaksanakan di luar jam sekolah dalam mengenalkan satya pramuka dan dharma pramuka yang berfungsi untuk mendidik pendidikan karakter serta kemampuan lain siswa yang dilaksanakan oleh pihak sekolah.

Kesimpulan dari berbagai definisi di atas bahwa pramuka merupakan organisasi pemuda yang mendapat

(9)

25

dukungan dari orang dewasa serta memiliki status badan hukum yang mengamalkan dharma serta satya pramuka.

Kepramukaan yang dilaksanakan di sekolah Menurut Kwarnas (2012:25), pada hakekatnya adalah suatu proses pendidikan tentang penerapan prinsip-prinsip dasar kepramukaan dan juga metode pendidikan kepramukaan bagi siswa. Kegiatan tersebut berfungsi untuk menumbuhkan minat, bakat, dan potensi siswa dengan tujuan untuk pembentukan akhlak, watak, serta budi pekerti luhur siswa.

Kegiatan ini dilaksanakan dibawah tanggung jawab guru maupun pembina pramuka dan pelaksanaannya di luar jam kegiatan belajar mengajar.

Program kegiatan ekstrakurikuler yang materi muatannya tentang pendidikan kepramukaan dalam rangka mengembangkan potensi, bakat dan minat siswa dengan tujuan untuk membentuk akhlak, watak, dan budi pekerti luhur adalah program kegiatan ekstrakurikuler pramuka yang dilakukan dalam penelitian ini. Program kegiatannya dimulai

(10)

26

dari perencanaan program, tahap pelaksanaan sampai dengan penilaian program kegiatan.

2.2.2 Landasan Pelaksanaan Program Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka di Sekolah dan Manfaatnya 1. Landasan Pedagogis

Landasan secara ilmu kependidikan merupakan landasan pedagogis. Landasan pedagogis program kegiatan ekstrakurikuler pramuka secara kependidikan antara lain:

a. Multiple intelligence theory atau teori kecerdasan majemuk (Gardner), emotional intelligence theory atau teori kecerdasan emosi (Goleman), theory of moral intelligence atau teori kecerdasan moral (Cores), serta theory of spiritual intelligence atau teori kecerdasan spiritual (Zohar dan Marshal).

Ada tujuh kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Gardner. Kercedasan tersebut yaitu linguistik, logis matematis, spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, dan

(11)

27

intrapersonal. Gardner berpendapat bahwa kecerdasan setiap individu berbeda-beda dan mereka menggunakan kecerdasan tersebut dengan cara yang berbeda pula.

Kemampuan kecerdasan dalam teori gardner yaitu kemampuan menghasilkan persoalan-persoalan baru yang harus diselesaikan, menyelesaikan masalah, dan menghasilkan sesuatu. (Nilandari, 2007: XVI; Uno, 2014:11).

Kemampuan merangkai kata serta menggunakan bahasa untuk mengekspresikannya secara tertulis maupun lisan termasuk dalam kecerdasan linguistik. Penulis cerpen atau novel, pendongeng, wartawan, dan reporter merupakan contoh orang yang memiliki kecerdasan linguistik. Kecerdasan logis matematis merupakan kemampuan seseorang untuk menghitung, mengukur, membuat hipotesis dan menganalisis. Ilmuwan-ilmuwan penemu teori, akunting, dan peneliti merupakan contoh seseorang yang memiliki kecerdasan logis matematis.

(12)

28

Kecerdasan spasial merupakan kemampuan seseorang untuk memvisualisasikan sesuatu dalam bentuk gambar, grafik, mewarnai serta mengilustrasikannya. Desainer, arsitektur, dan pelukis merupakan contoh orang yang memiliki kecerdasan spasial. Kecerdasan musikal merupakan kemampuan yang berkaitan dengan sensitifitas terhadap titi nada, melodi dan juga ritme. Penyanyi, pemusik, aransemen lagu, pencipta lagu, dan juga pencipta musik merupakan contoh orang yang memiliki kecerdasan musikal. Kecerdasan kinestetik merupakan kemampuan untuk mengekspresikan gerak fisik tubuh. Atlet dan penari merupakan contoh orang yang memiliki kecerdasan kinestetik. Kemampuan individu untuk berinteraksi dan memahami orang lain sehingga mudah bergaul dan juga pandai menarik perhatian orang lain merupakan definisi dari kecerdasan interpersonal. Orang yang memiliki kecerdasan interpersonal cocok bekerja di bidang marketing. Sedangkan kemampuan untuk membuat

(13)

29

persepsi akurat tentang diri sendiri dan menggunakan kemampuan tersebut untuk mengarahkan atau merencanakan seseorang merupakan definisi dari kecerdasan interpersonal. (Naomi dan Kumadin, 2007:2-3;

Nilandari, 2007: XX-XXI).

Pada tahun 1983 Gardner (dalam Hariono, 2007:60- 65), mengembangkan tujuh kecerdasan menjadi delapan kecerdasan dengan menambahkan kecerdasan naturalis yaitu kemampuan seseorang untuk menunjukkan rasa empati, pengenalan, dan pemahaman yang berkaitan dengan kehidupan dan alam. Selanjutnya ia juga menyebutkan kecerdasan naturalis dengan istilah kecerdasan sosial seperti yang disebutkan oleh Goleman.

Kecerdasan sosial menurut Hariono (2007:60-65) adalah kemampuan untuk mengatur serta memahami orang lain agar bertindak bijaksana dalam membentuk relasi dan mempertahankannya dengan baik. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini akan memiliki banyak teman,

(14)

30

mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial dan alam sehingga tidak hanya memperhatikan dirinya sendiri tetapi peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Pendapat Gardner di atas ditentang oleh Goleman pada tahun 1995. Goleman menentangnya dengan mengemukakan Teori kecerdasan emosi atau emotional intelligence theory. Goleman menyebutkan bahwa keberhasilan seseorang dapat ditentukan oleh kecerdasan emosinya, dan bukan hanya terfokus pada kecerdasan intelektualnya. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan juga mengelola emosinya sendiri maupun emosi orang lain (Rakhmat, 2007:49-51;

Uno, 2014:15).

Pada tahun 1993 Zohar dan Marshal mengembangkan teori kecerdasan spiritual atau theory of spiritual intelligence. Kecerdasan spiritual menurut Zohar dan Marshal (2002:12) adalah kemampuan seseorang untuk memberi makna apa yang sedang dialami dan dijalani.

(15)

31

Kecerdasan spiritual ini bukan hanya sekedar agama, tetapi bagaimana seseorang itu memaknainya lewat berbagai keyakinan yang diwujudkan seperti kecintaan terhadap Tuhan, sesama, serta diri sendiri, cinta pada alam, bahkan cinta pada bangsa dan negara.

Selanjutnya, Najati pada tahun 1996, Coles pada tahun 1997 (dalam bukunya yang berjudul The Moral Intelligence of Children), serta Ganjar pada tahun 2000 mengembangkan teori kecerdasan moral yang mendukung teori kecerdasan spiritual. Mereka menyatakan bahwa dalam menilai kesuksesan seseorang kita tadak boleh hanya melihat dari kecerdasan intelektual saja, karena kesuksesan seseorang juga didukung dengan faktor lain seperti kecerdasan moral yang ditandai dengan kemampuan untuk mengikuti aturan-aturan yang berlaku, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta memahami perasaan orang lain (Rakhmat, 2007:19-21; Uno, 2014:17).

(16)

32

Hariono (2007:60) menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Goleman pada tahun 1995 dan tahun 1998 menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi 20% saja pada kesuksesan seseorang, sedangkan kecerdasan sosial, emosional, dan spiritual memberikan kontribusi yang lebih besar yaitu 80%. Orang yang memiliki kecerdasan sosial lebih mudah berinteraksi dengan orang lain sehingga dapat mendukung pelaksanaan barbagai aktifitas kehidupan sosial dan mampu untuk meningkatkan kesuksesan.

b. Teori Perkembangan dan Fase Perkembangan

Ada beberapa teori yang menyangkut tentang perkembangan manusia, teori tersebut menurut Ahmadi dan Sholeh (2007:20) diantaranya adalah teori emperisme yang dicetuskan oleh Bacon dan Locke, teori nativisme oleh Shoupenhaver, dan teori konvergensi oleh Stern.

Ahmadi dan Sholeh (2007:20) menjelaskan bahwa teori

(17)

33

empirisme pada anak pada dasarnya dipengaruhi oleh pendidikan, anak dilahirkan dalam keadaan bersih seperti meja lilin, putih, kosong (tabularasa), maka yang akan menentukan bentuk serta corak perkembangan jiwanya adalah pengalaman anak itu sendiri. Berbeda dengan teori empiris, teori nativisme berpendapat bahwa anak lahir ke dunia ini sudah membawa wujud kepribadian, sehingga pendidikan tidak akan mengubahnya.

Pada tahun 1871-1979 Stern memadukan teori empirisme dengan teori nativisme. Perpaduan kedua teori ini dikenal dengan teori konvergensi. Sukarjo (2009:31) berpendapat bahwa dukungan dari lingkungan yang sesuai dapat mengembangkan bakat yang dimiliki anak sejak lahir, tanpat dukungan tersebut, bakatnya pun akan sulit berkembang. Begitu pula dengan teori konvergensi, teori ini berpendapat bahwa pembawaan seorang anak sudah melekat sejak ia dilahirkan, namun lingkungan pendidikan pun juga mempengaruhi proses pengalaman anak tersebut,

(18)

34

sehingga pembawaan dan pengalaman merupakan dua garis yang menuju pada satu tujuan atau memusat pada satu titik yang dikenal dengan konvergensi (Ahmadi dan Sholeh, 2007:21-22; Hafid dkk, 2014).

Fase perkembangan manusia dan juga tugas-tugas perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni fase biologis (tokoh Aristoteles dan Freud), fase dedaktis (tokoh Cornenius dan Rousseau), serta fase psikologis (tokoh Piaget). Fase perkembangan biologis menjelaskan bahwa pada usia antara 14-21 tahun (Aristoteles) dan 12 atau 13-20 tahun (Freud) merupakan usia pubertas atau remaja, yaitu masa peralihan yang ditandai dengan perubahan fisik dari anak-anak menjadi orang dewasa. Fase perkembangan didaktik menjelaskan bahwa pada usia antara 12-15 tahun (Rousseau) atau 12-18 tahun (Cornenius) merupakan usia sekolah latin yaitu usia anak mulai belajar bahasa asing, dan juga periode pendidikan akal yaitu kemampuan anak untuk tidak terikat

(19)

35

lagi oleh objek-objek yang sifatnya konkrit, anak mulai berpikir secara abstrak dengan menggunakan simbol- simbol tertentu atau pun mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal. Fase perkembangan psikologis anak usia 12- 19 tahun (Piaget) adalah masa remaja, masa ini ditandai dengan kebutuhan akan teman sebaya, kegoncangan batin, lebih sensitif, bersifat tidak tenang dan cenderung agresif (Ahmadi dan Sholeh, 2007:28-43; Desmita, 2014:20-26;

Hamalik, 2014:127).

Menurut Permendikbud No 63 tahun 2014, aliran konvergensi dapat menunjang teori multiple intelligences, ini berarti bahwa faktor lingkungan dapat mendukung keberhasilan pengembangan multiple intelligences peserta didik. Sekolah merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan agar bakat, potensi, serta minat yang dimiliki siswa dapat berkembang dengan baik. Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pramuka di sekolah telah

(20)

36

menerapkan teori kecerdasan serta teori perkembangan, pengimplementasiannya antara lain melalui:

a. Pendidikan kepramukaan berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik dalam lima area pengembangan kompetensi yaitu spiritual atau keagamaan, emosional, sosial, kecerdasan atau intelektual, dan fisik atau sensosif yang diwujudkan melalui SKU atau Syarat Kecakapan Umum yang wajib ditempuh oleh seluruh peserta), dan juga SKK atau Syarat Kecakapan Khusus yang sesuai dengan kompetensi setiap individu. SKK ini sifatnya tidak wajib bagi setiap peserta. Menurut Kwarnas (2011:3), kurikulum yang digunakan dalam ekstrakurikuler pramuka adalah SKU.

b. Setelah peserta ekstrakurikuler pramuka ini menyelesaikan SKU dan juga SKK, maka peserta dapat diterapkan sistem TKU atau Tanda Kecakapan

(21)

37

Umum, dan TKK atau Tanda Kecakapan Khusus (Kwarnas, 2011:1).

c. Menerapkan sistem pengelompokan usia pada peserta ektrakurikuler pramuka karena setiap individu memiliki fase perkembangan yang berbeda. Sesuai Kwarnas (2011:3) dan Powel (2008:26-27) maka Siswa SD yang berusia 7-10 tahun masuk dalam kelompok Siaga.

d. Melaksanakan kegiatan yang sifatnya interaktif progresif, misalnya belajar tentang nasionalisme dan kepahlawanan; penjelajahan alam dan petualangan;

kompetisi kelompok/beregu; mengaktualisasi diri lewat pentas seni dan budaya; kompetisi perorangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi;

kepedulian sosial dalam kegiatan bakti masyarakat;

pemantapan keimanan dan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa (Kwarnas,2011:4-5)

(22)

38

e. Memiliki kode etik kepramukaan yang berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 63 tahun 2014, dan UU No. 12 tahun 2010 yaitu Dwi Satya dan Dwi Darma bagi Siaga yang dijadikan pedoman dalam bertindak bagi anggota pramuka.

f. Menerapkan sistem penilaian autentik yang meliputi ranah sikap, kognitif dan psikomotor. Kunandar (2014:

35-43) menyatakan bahwa penilaian autentik adalah sebuah proses pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pencapaian dan perkembangan pembelajaran siswa melalui berbagai teknik yang dapat menunjukkan, membuktikan, atau mengungkapkan bahwa siswa benar-benar telah mencapai dan menguasai tujuan pembelajaran. Sikap siswa dinilai dengan teknik penilaian antar teman, penilaian diri, dan pengamatan. Sedangkan pengetahuannya dinilai dengan teknik penugasan, tes lisan atau tes tulis, atau pun tanya jawab. Keterampilan siswa dapat dilakukan

(23)

39

dengan menggunakan penilaian unjuk kerja (Permendikbud No. 63 tahun 2014, dan UU No. 12 tahun 2010).

2. Landasan Yuridis

Landasan yusridis adalah landasan resmi secara hukum.

Beberapa regulasi yang menjadi landasan yuridis dilaksanakannya ekstrakurikuler pramuka di sekolah yaitu:

a. Undang-undang tentang Gerakan Pramuka dalam Undang- Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2010.

UU RI No. 12 tahun 2010 menjelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan hendaknya berupaya untuk pengembangan potensi diri manusia salah satunya melalui gerakan pramuka yang berperan besar dalam membentuk generasi muda yang berkepribadian, sehingga mampu mengendalikan diri serta memiliki kecakapan hidup dalam menentukan sikap terhadap berbagai tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan dalam era kehidupan lokal, maupun nasional, atau bahkan global.

(24)

40

b. Permendikbud tentang pendidikan kepramukaan yakni No.

63 tahun 2014 yang menyatakan kepramukaan sebagai ekstrakurikuler wajib pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Permendikbud tersebut menjelaskan bahwa ekstrakurikuler wajib yang diterapkan sejak pendidikan dasar hingga menengah dan harus diikuti oleh seluruh peserta didik adalah kepramukaan. Artinya pendidikan kepramukaan merupakan sarana yang dapat dimanfaatkan sebagai wadah untuk mengembangkan psikologis-sosial-kultural (reinforcement) untuk mewujudkan keterampilan dan sikap sesuai dengan kurikulum 2013 yang secara psikopedagogis koheren dengan pengembangan kecakapan serta sikap dalam pendidikan kepramukaan. Dengan begitu lewat fasilitasi sistemik-adaptif pendidikan kepramukaan di lingkungan sekolah, sikap spiritual, sosial dan keterampilannya memperoleh penguatan bermakna (meaningfull learning) dapat tercapai.

(25)

41

Setiap peserta didik dapat mengekspresikan kecerdasannya melalui kegiatan ekstrakurikuler pramuka, selain itu peserta didik juga dapat mengaktualisasikan dirinya secara bebas sesuai bakat dan minat yang dimilikinya.

Nilandari (2007) menjelaskan bahwa setiap peserta didik berpeluang untuk belajar melalui kecerdasaan atau kelebihannya sehingga mereka mampu menunculkan perubahan-perubahan pada aspek kognitif, emosional, sosial, dan fisik yang positif sehingga dapat meningkatkan mutu dan prestasinya.

Powel (2008: 19-20), sebagai bapak pandu dunia menjelaskan bahwa kegiatan kepramukaan sangat penting untuk meningkatkan efisiensi perbaikan pendidikan yang selalu up to date, karena materi-materinya memuat tentang pendidikan dan pengenalan yang dimulai dari pendidikan dasar, kecakapan hidup, dan juga pendidikan yang mengarah pada pemikiran dan kualitas kerja. Pendidikan kepramukaan sebagai kegiatan ekstrakurikuler sangat penting secara

(26)

42

pedagogis maupun yuridis karena esensi pendidikannya memperhatiakan peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan.

2.2.3 Kompetensi Pendidikan Kepramukaan di Tingkat Sekolah Dasar

Usia siswa SD rata-rata 7 sampai 12 tahun, maka siswa SD dikelompokkan menjadi dua yaitu pramuka Siaga untuk peserta didik kelas 1 sampai 4 yang berumur 7-10 tahun dan pramuka Penggalang untuk peserta didik kelas 5 dan 6 yang berumur 11-15 tahun. Secara filosofis pramuka siaga termasuk dalam kelompok anak-anak. Siaga adalah proses mensiapsiagakan diri menjadi pramuka yang setingkat lebih tinggi yakni penggalang yang handal dan terampil, yang patuh dan baik sebagai anggota keluarga, tetangga dalam masyarakat yang serbaguna serta memiliki sikap tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia. Kejiwaan pramuka

(27)

43

siaga menurut Wardojo (1995:3) yaitu suka dan pandai meniru apa saja yang mereka lihat, lugu serta polos.

Berdasarkan ciri-ciri perkembangan siswa usia 7-12 tahun maka kwarnas menyusun kompetensi yang harus dikuasai oleh pramuka siaga yang mengacu pada UU No 12 Tahun 2010 Bab II Pasal 4 tentang gerakan pramuka yaitu mencetak setiap anggota pramuka agar menjadi manusia yang kuat dalam iman, takwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, disiplin, taat hukum, berjiwa patriotik, serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, cakap dalam mengamalkan Pancasila sebagai kader bangsa, membangun dan menjaga NKRI, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Kompetensi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan Pramuka Siaga yaitu Siaga Mula, Siaga Bantu, dan Siaga Tata.

Selain sebagai kurikulum kepramukaan, SKU merupakan kompetensi yang harus dipenuhi oleh setiap peserta Pramuka untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta untuk mendapatkan TKU (Kwarnas, 2011:2;

(28)

44

Kwarnas, 2014: 37-38). Pendidikan kepramukaan memiliki lima area pengembangan, maka dari itu SKU pun juga dibagi ke dalam lima area pengembangan kompetensi yaitu:

1. Spiritual, yakni pengembangan tentang pemahaman dan pengetahuan keagamaan masyarakat sehingga mampu mengamalkan agama sebagai pedoman hidup, serta menghargai kepercayaan orang lain.

2. Emosional, yakni pengembangan yang berhubungan dengan perasaan dan cara menguasai perasaan sehingga dapat mengungkapkannya dengan baik dan benar.

3. Sosial, yakni pengembangan pribadi yang berhubungan dengan ketergantungan manusia terhadap sesamanya sehingga mampu untuk bekerjasama dan mengaktualisasikan diri dengan baik dan benar.

4. Intelektual, yakni pengembangan yang berhubungan dengan kecakapan untuk menciptakan inovasi, menggunakan pikiran, dan informas, untuk melatih kemampuan dalam memecahkan masalah. Seperti yang

(29)

45

dikemukakan oleh Asrosi, (2009:38) serta Dirman dan Juarsih, (2014:22) bahwa setiap anak memiliki kompetensi intelektual dengan karakteristik yang berbeda-beda, yaitu ada yang cerdas, ada yang kurang cerdas, bahkan ada juga yang tidak cerdas; dalam menyelesaikan masalah misalnya, ada anak yang cepat mampu menyelesaikan, tapi ada pula yang lambat, bahkan tidak mampu; ada anak yang sanggup berpikir abstrak dan kreatif, namun ada juga yang mampu berpikir bila melihat wujud nyatanya.

5. Fisik, menurut Kwarnas (2011:11-14) adalah pengembangan kompetensi tentang organ tubuh, bagaimana cara memelihara dan memahami kebutuhannya sehingga memiliki tubuh sehat dan kuat.

(30)

46

2.2.4 Implementasi Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka di Sekolah

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang pendidikan kepramukaan sebagai ekstrakurikuler wajib pada jenjang pendidikan dasar dan menengah No. 63 tahun 2014, Keputusan Munas Gerakan Pramuka Tahun 2003, serta Undang-undang tentang gerakan pramuka No. 12 Tahun 2010, maka dapat dikaji beberapa pedoman pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pramuka di sekolah antara lain:

1. Juknis Pelaksanaan Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka Di Sekolah Dasar

Petunjuk teknis atau juknis implementasi kegiatan ekstrakurikuler pramuka secara umum adalah seperti berikut:

a. Kepramukaan merupakan sebuah proses Pendidikan untuk membentuk insan yang memiliki akhlak mulia, kecakapan hidup dan berkepribadian yang berlandaskan pada Dwi

(31)

47

Satya dan Dwi Darma untuk golongan Siaga sebagai kode kehormatannya.

b. Kegiatan kepramukaan merupakan proses memadukan perkembangan nilai pengetahuan, nilai sikap, dan juga nilai keterampilan.

c. Kepramukaan dilaksanakan sebagai ekstrakurikuler wajib untuk siswa kelas I dan II (tingkat Siaga Mula), siswa kelas III (tingkat Siaga Bantu), siswa kelas IV (tingkat Siaga Tata), siswa kelas V (tingkat penggalang Ramu), dan kelas VI (tingkat Penggalang Rakit).

d. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Powel (2008: 26- 27) maka siswa SD yang berusia sekitar 7 sampai 10 tahun menjadi anggota Pramuka Siaga dan yang berusia 11 sampai 15 tahun menjadi anggota Pramuka Penggalang yang masing-masing terdiri dari tiga tingkatan. Anggota Pramuka Siaga terdiri dari Siaga Mula, Siaga Bantu, dan Siaga Tata, sedangkan untuk anggota Pramuka Penggalang

(32)

48

terdiri dari Penggalang Ramu, penggalang Rakit, dan Penggalang Terap.

e. Pendidikan kepramukaan di SD dilaksanakan dalam tiga model yaitu blok, aktualisasi, dan regular. Model blok adalah kegiatan dalam bentuk persami atau perkemahan Sabtu-Minggu yang dilaksanakan satu kali dalam setahundan bersifat wajib. Model aktualisasi merupakan kegiatan wajib yang dipelajari dalam setiap kegiatan kepramukaan secara rutin, dan terjadwal dalam bentuk penerapan pengetahuan, sikap, dan juga keterampilan.

Model regular adalah kegiatan sukarela yang berbasis pada minat siswa yang dilaksanakan di gugus depan.

f. Metode dan teknik pelaksanaan kegiatan ektrakurikuler pramuka disesuaikan dengan kemampuan mental dan juga fisik siswa serta dilaksanakan dalam bentuk belajar yang interaktif dan progresif.

g. Menggunakan penilaian yang bersifat autentik dalam penilaian ektrakurikulernya. Penilaian tersebut dilakukan

(33)

49

dengan mencakup nilai sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhir sebagai syarat kenaikan kelas adalah minimal mendapat predikat “B (Baik)”.

h. Penilaian atas hasil pendidikan kepramukaan didasarkan atas pencapaian SKU dan SKK yang kemudian dinyatakan dalam sertifikat dan/atau TKU dan TKK.

i. Pembina, pelatih, instruktur dan juga pamong satuan karya, serta guru mapel/guru kelas merupakan tenaga pendidik dalam pendidikan kepramukaan. Pembina atau pelatih Pramuka adalah pria/wanita dewasa yang minimal berusia 20 tahun dan telah memperoleh sertifikat minimal Kursus Mahir Dasar (KMD). Pembina atau pelatih tersebut harus menguasai kompetensi kepramukaan, senang berinovasi, bekerja keras demi masa depan, dapat memberi motivasi, dapat membangun komitmen, sadar akan tugas dan tanggungjawabnya, serta bersedia membantu siswa agar tumbuh dewasa.

(34)

50

j. Penanggung jawab pengelolaan pendidikan kepramukaan di sekolah adalah kepala sekolah.

k. Pelaksanaaan kegiatan ekstrakurikuler pramuka harus mendapat dukungan dari komite sekolah yang merupakan mitra sekolah yang terdiri dari tokoh masyarakat dan perwakilan dari orang tua siswa.

l. Peran orang tua dalam kegiatan Kepramukaan menurut Ulomo (2015:136) yaitu memberikan perhatian dalam bentuk bimbingaan dan nasihat, pengawasan kegiatan yang dilakukan anak, memberi motivasi dan penghargaan, serta memenuhi kebutuhan kegiatan anak. Hal ini bertujuan agar anak memiliki kesadaran dalam menyelesaikan segala tugas dan kewajiban secara mandiri sehingga mudah mengembangkan potensi dirinya.

2. Prinsip, Metode dan juga Teknik Pelaksanaan Pendidikan Kepramukaan di Sekolah.

Sesuai Kwarnas (2014:9) dan UU No. 12 tahun 2010, prinsip pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka

(35)

51

didasarkan pada empat prinsip yaitu bertaqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kepedulian terhadap alam seisinya, sesama manusia, bangsa dan negara, serta memeliki kepedulian terhadap diri sendiri, dan juga menaati kode kehormatan pramuka.

Metode yang digunakan dalam kegiatan ekstrakurikuler Pramuka ini sesuai dengan Kwarnas (2012:101) dan Kwarnas (2014:9) yaitu metode interaktif dan progresif, melalui teknik praktik langsung, permainan, diskusi, perjalanan, produktif, gerak dan lagu, simulasi, widya wisata, dan napak tilas.

3. Tugas, Fungsi, dan Peran Kepala Sekolah, Guru/Pembina, serta Komite Sekolah dalam Kegiatan ekstrakurikuler Pramuka.

Tugas, fungsi, dan peranan kepala sekolah, guru kelas serta pembina/pelatih dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka yang sesuai dengan Lampiran 2 Permendikbud No. 63 Tahun 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ekstrakurikuler Wajib dan Keputusan Munas Gerakan

(36)

52

Pramuka tentang Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Gerakan Pramuka No. 11 Tahun 2013 yaitu:

a. Kepala Sekolah

Dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka, tugas kepala sekolah yaitu memberikan bimbingan kepada guru atau pembina pramuka, dan membangun kerjasama yang baik dengan orang tua. Kepala sekolah berfungsi untuk memberikan dukungan kepada guru pembina pramuka, memfasilitasi guru pembina pramuka, serta menjamin terlaksananya ekstrakurikuler wajib yaitu pendidikan kepramukaan di sekolah. Sedangkan peran kepala sekolah dalam ekstrakurikuler pramuka yaitu mengembangkan kelembagaan gugus depan di sekolah dengan cara berkoordinasi bersama Kwartir Ranting.

b. Guru Kelas

Dalam penyelenggaraan pendidikan kepramukaan, tugas guru adalah mengaktualisasikan pendidikan kepramukaan dengan cara menyiapkan bahan serta

(37)

53

informasi tentang sikap dan keterampilan siswa. Fungsi guru dalam pendidikan kepramukaan adalah berkolaborasi dengan pembina pramuka untuk melaksanakan kegiatan dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan peran guru dalam kepramukaan yaitu untuk menjalin kerjasama dengan pembina pramuka.

c. Pembina/Pelatih Pramuka

Dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka, pembina/pelatih bertanggung jawab untuk membuat perencanaan, melaksanakan, serta melakukan evaluasi pendidikan kepramukaan di sekolah sebagai ekstrakurikuler wajib. Pembina/pelatih berfungsi untuk menjamin pelaksanaan pendidikan kepramukaan bagi siswa agar kegiatan tersebut dapat menguatkan dan memantapkan kecakapan serta sikap peserta didik.

Sedangkan pembina/pelatih berperan untuk melakukan koordinasi dengan guru, kepala sekolah, dan antar

(38)

54

pembina/pelatih dalam pelaksanaan ekstrakurikuler wajib yaitu kepramukaan.

Pembina yang baik hendaknya memenuhi lima kriteria seperti yang Powel (2008:3) kemukakan. Kriteria tersebut yaitu: (1) memiliki semangat sebagai seorang yang muda, karena dengan semangat muda dapat menjadikan dirinya sebagai teladan dan pribadi yang ingin terus berkembang, (2) mampu menempatkan diri dalam lingkungan yang tepat dengan peserta didiknya sehingga mampu menjadi pengayom dan pembawa pembaharuan, (3) memahami kejiwaan anak dalam usia yang berbeda agar mampu membina peserta didik sesuai dengan perkembangannya, (4) mampu menjalin hubungan dekat dengan peserta didik sebagai hubungan saudara antara kakak dan adik untuk penggalang dan ayah dan bunda untuk siaga, (5) mampu membangkitkan semangat kebersamaan antar individu dalam rangka menciptakan sikap sosial yang suka tolong-menolong.

(39)

55

4. Administrasi Kegiatan ekstrakurikuler Pramuka.

Kelengkapan administrasi sangat diperlukan sebagai wadah pembinaan kepramukaan dan pusat gerak oleh gugus depan. Sesuai dengan Kwarnas (2011:1), administrasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib dan teratur karena diperlukan dalam penentuan arah perencanaan, pelaksanaan serta untuk mengendalikan kegiatan serta menentukan langkah-langkah selanjutnya. Administrasi yang perlu dipersiapkan dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka di sekolah sesuai dengan Kwarnas (2011:4-5) antara lain: (a) rencana kerja atau program kerja yaitu berkaitan dengan kegiatan selama satu tahun ke depan yang akan dilakukan; (b) pengorganisasian yaitu kegiatan yang mengkoordinasikan masing-masing unit yang terlibat dan pembagian tugas yang jelas; (c) pelaksanaan kegiatan atau latihan yang terdiri dari jenis latihan, materi latihan, tempat latihan, dan esensi latihan harus mengalami peningkatan dari latihan-latihan yang telah dilakukan sebelumnya; serta (d) pengendalian sebagai upaya menjamin

(40)

56

pelaksanaan kegiatan dengan baik dan mencapai sasaran.

Pengendalian tersebut meliputi supervisi, monitoring, evaluasi, dan sampai pada tahap penyusunan laporan kegiatan.

5. Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka di Sekolah

Kegiatan ekstrakulrikuler pramuka dapat berlangsung baik dan lancar di sekolah apabila semua pendukungnya tersedia sesuai standar. Menurut Kwarnas (2011:9), dalam melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah tentunya memerlukan beberapa sarana dan prasarana antara lain:

tempat terbuka sebagai sarana latihan pendidikan kepramukaan; sanggar atau tempat penyimpanan administrasi kepramukaan; peralatan latihan seperti bendera merah putih, bendera tunas kelapa, bendera lambang gerakan pramuka, tali, pasak, tenda, tongkat, peluit, senter, bendera morse, bendera semaphore, dan kompas, meubelair, serta komputer atau laptop sebagai penyimpan dokumen.

(41)

57 2.3 Karakter

2.3.1 Pengertian Karakter

Sriwilujeng (2017:2) mendefinisikan karakter sebagai unsur kepribadian yang di lihat secara etis dan moral.

Karakter merujuk pada rangkaian perilaku, sikap, motivasi, serta ketrampilan sebagai perwujudtan nilai dan kapasitas moral manusia untuk menghadapi berbagai kesulitan. Dalam karakter terdapat nilai khusus seperti nilai kebaikan dan mau melakukannya secara bulat hati, menerapkannya dalam hidup sehingga memberi dampak nyata dalam lingkungan sekitarnya, yang melekat dalam diri kemudian di laksanakan dalam perilaku. Secara menyeluruh karakter adalah hasil seseorang dari olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa dan olah karsa.

Lickona (1991: 50-63) menyatakan bahwa inti dari karakter adalah tindakan. Seseorang yang selalu bertindak dengan baik, berarti memiliki karakter yang baik pula.

Karakter seseorang berkembang dengan baik bila ia dapat

(42)

58

mengadaptasikan nilai-nilai menjadi sebuah keyakinan, kemudian menggunakan keyakinan tersebut untuk merespons suatu kejadian agar sesuai dengan nilai-nilai moral yang baik.

Apabila seseorang dapat membentuk karakter yang demikian maka ia akan memiliki keterkaitan antara tiga bagian moral yaitu konsep (moral knowing), perilaku (moral behaviour), dan sikap (moral feeling). Seseorang yang memiliki karakter baik berarti mempunyai pengetahuan tentang hal-hal baik dan berkeinginan untuk melakukan perbuatan yang baik pula.

Semua itu diperlukan untuk menjalani kehidupan yang berpedoman pada nilai-nilai moral dan pada akhirnya kematangan moralnya dapat terbentuk dengan baik.

Mengetahui yang baik (knowing the good) berarti orang tersebut paham dan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, dengan kata lain dapat mengembangkan kemampuan untuk menyimpulkan atau meringkas suatu keadaan, memilih sesuatu yang baik, dan kemudian melakukannya. Misalnya anak atau peserta didik dapat

(43)

59

merencanakan kegiatannya sendiri seperti bagaimana mengerjakan tugasnya, kapan ia harus mengerjakannya, dan apa yang terjadi apabila ia tidak mengerjakannya.

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas, karakter merupakan perilaku seseorang yang bersifat individual yang sering disebut juga keadaan moral seseorang yang terbentuk karena pengaruh tidakan dari lingkungan sekitarnya.

2.3.2 Pentingnya Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dapat membantu mengatasi krisis moral di negara kita seperti kasus pencurian, pornografi, perusakan properti orang lain, tingginya angka kekerasan di kalangan remaja dan anak-anak, kebisaaan menyontek saat ulangan, kenakalan terhadap sesama teman, dan penyalahgunaan obat-obatan. Hal-hal tersebut adalah sebagian contoh masalah sosial yang belum dapat diatasi secara tuntas hingga saat ini, dan menjadi indikasi bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah kebutuhan yang penting.

(44)

60

Menurut Lickona (1991:50), ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter harus disampaikan kepada peserta didik.

Tujuh alasan tersebut yaitu: (1) pendidikan karakter adalah cara terbaik yang dapat menjamin siswa agar memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupan sehari-harinya; (2) pendidikan karakter adalah salah satu cara yang dapat digunakan agar prestasi akademik siswa meningkat; (3) beberapa siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat untuk dirinya sendiri di tempat lain; (4) pendidikan karakter dapat digunakan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menghormati orang lain sehingga dapat hidup dalam keberagaman masyarakat; (5) pendidikan karakter berawal dari akar masalah yang berhubungan dengan masalah moral- sosial seperti ketidakjujuran, pelanggaran kegiatan seksual, ketidaksopanan, kekerasan, dan belajar (etos kerja) yang rendah; (6) pendidikan karakter dapat dimanfaatkan sebagai persiapan terbaik untuk mempersiapkan sikap di tempat kerja;

(7) pembelajaran nilai-nilai budaya yang merupakan bagian

(45)

61

dari kerja peradaban dapat diterapkan melalui pendidikan karakter.

2.3.3 Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Menurut Sriwilujeng (2017:8-10) terdapat lima nilai utama dalam penguatan pendidikan karakter. Nilai tersebut yaitu:

1. Religius adalah pencerminan sikap keimanan kepada Tuhan dengan melaksanakan ajaran agama sesuai keyakinan; dan toleransi dalam hal menghargai perbedaan agama, dengan rukun dan damai. Terdapat tiga dimensi relasi dalam nilai religious yaitu hubungan antara individu dengan Tuhan, hubungan individu dengan sesam manusia, serta hubungan antar individu dengan lingkungannya.

Subnilai religius yaitu: menghargai perbedaan agama, cinta damai, tidak memaksakan kehendak, kerjasama lintas agama, pendirian yang teguh, percaya diri, persahabatan,

(46)

62

anti-bully dan kekerasan, serta menjadi pelindung bagi yang kecil dan tersisih.

2. Nasionalis adalah sikap setia, peduli, menghargai bangsa, serta mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok demi kepentingan bangsa. Subnilai nasionalis yaitu: cinta tanah air, rela berkorban, disiplin, unggul dan berprestasi, apresiasi budaya bangsa, taat hukum, menjaga lingkungan.

3. Mandiri adalah sikap tidak menggantungkan diri pada orang lain, serta sikap yang menggunakan pikiran, tenaga, dan waktu untuk mewujudkan mimpi, harapan, dan cita- citanya. Subnilai kemandirian yaitu: kerja keras atau etos kerja, berdaya juang, tangguh, profesional, berani, kreatif, menjadi orang yang mau belajar disepanjang hidupnya.

4. Gotong-royong adalah pencerminan perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap semangat kerja sama seseorang untuk bersama-sama menyelesaikan suatu masalah; senang bersahabat dan bergaul dengan orang lain;

senang membantu orang yang tersingkir, berkekurangan,

(47)

63

dan yang butuh pertolongan. Subnilai gotong royong yaitu:

musyawarah mufakat, kerja sama, solidaritas, menghargai, inklusif, tolong menolong, komitmen dalam memutuskan masalah bersama, kerelawanan, dan empati.

5. Integritas adalah sikap yang didasarkan pada usaha untuk menjadikan dirinya dapat dipercaya dan mempunyai kesetiaan dan komitmen pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Karakter integritas antara lain: terlibat aktif dalam kehidupan sosial, bertanggung jawab sebagai warga negara, bertindak dan berucap berdasarkan kebenaran, sedangkan subnilai integritas yaitu: kesetiaan, kejujuran, komitmen moral, cinta kebenaran, tanggung jawab, anti korupsi, adil, dan teladan.

2.4 Evaluasi Program

2.4.1 Pengertian Evaluasi Program

Wirawan (2012:9) menjelaskan evaluasi sebagai sebuah kegiatan pemngumpulan berbagai informasi guna menentukan

(48)

64

penilaian dan manfaat suatu obyek yang sedang dievaluasi, selain itu juga untuk mengontrol, memperbaiki, serta mengambil keputusan mengenai obyek tersebut.

Selanjutnya Stufflebeam dan Shinkfield (1985:159) menjelaskan evaluasi dapat dimanfaatkan untuk mempertimbangkan harga dan jasa (the worth and merit) melalui proses penyediaan informasi dari tujuan yang hendak diraih, implementasi, desain, dan dampak untuk membantu membuat keputusan dan pertanggungjawaban sehingga pemahaman terhadap suatu fenomena dapat meningkat.

National Study Committee on Evaluation atau Komite Studi Nasional tentang Evaluasi dari UCLA (Stark & Thomas, 1994:12) mendefinisikan bahwa evaluasi adalah dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program selanjutnya melalui proses atau kegiatan untuk memilih, mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan informasi.

Dari rumusan-rumusan yang telah dipaparkan dapat dipahami bahwa inti dari evaluasi adalah sebuah proses yang

(49)

65

direncanakan untuk menyediakan atau mengumpulkan informasi tentang bekerjanya suatu kegiatan untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau penentuan alternatif solusi yang tepat untuk mengambil suatu keputusan.

Arikunto (2008:291) menjelaskan bahwa program merupakan suatu kegiatan yang sengaja direncanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam bukunya yang lain, Arikunto dan Jabar (2009:22) menjelaskan bahwa program merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan dari suatu kebijakan. Berbeda dengan Arikunto, Tayibnapis, (2000:9) mendefinisikan program sebagai suatu percobaan kegiatan yang dilakukan untuk membuahkan pengaruh atau hasil. Sedangkan Widiyoko (2014:8) menyampaikan bahwa program adalah perencanaan kegiatan dalam suatu perkumpulan dengan sebaik-baiknya untuk melaksanakan suatu kegiatan yang berkesinambungan.

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas tentang program yaitu suatu kegiatan yang dirancang untuk

(50)

66

melaksanakan suatu kebijakan secara berkesinambungan guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.

Evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program. Dengan kata lain, evaluasi terhadap suatu program itu perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program tersebut, dan seberapa tinggi kebijakan yang sudah dikeluarkan atau diambil untuk program yang telah dilaksanakan itu. Arikunto (2012:325), menegaskan bahwa melakukan evaluasi program berarti melakukan suatu kegiatan untuk memperoleh informasi mengenai tingkat keberhasilan dari kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya.

Arikunto dan Jabar (2009:5) mengutip definisi evaluasi program yang dikemukakan oleh Tyler (1950) yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk memperoleh informasi tentang realisasi tujuan pendidikannya. Arikunto dan Jabar (2009:5) juga mengutip evaluasi program menurut Cronbach (1963)

(51)

67

dan Stufflebeam (1971) yang menyatakan bahwa evaluasi program merupakan upaya menyampaikan informasi bagi pengambil keputusan. Sedangkan evaluasi program menurut Joint Committee on Standards for Educational Evaluation (1981:12) adalah evaluasi yang menilai seluruh aktivitas dalam bidang pendidikan dengan cara menyajikan data yang berkesinambungan.

Kesimpulan definisi evaluasi program berdasarkan uraian di atas yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengukur tingkat pelaksanaan atau keberhasilan suatu program yang sedang berjalan maupun program yang sudah berlalu dengan cara melihat efektivitas dari masing-masing komponennya.

Hal yang menjadi dasar dalam evaluasi program adalah rasa ingin tahu penyusun program untuk melihat tercapai atau tidaknya tujuan program yang telah ditetapkan sebelumnya.

Apabila tujuan tersebut telah tercapai, bagaimanakah kualitas pencapaiannya. Tetapi apabila belum tercapai, maka: a)

(52)

68

manakah bagian dari rencana kegiatan yang belum tercapai, dan b) hal apakah yang menyebabkan bagian dari rencana kegiatan tersebut belum tercapai.

Dari paparan yang telah disampaikan ada kesamaan persepsi tentang evaluasi yaitu dasar dari pelaksanaan evaluasi program adalah keingintahuan penyusun program terhadap keberhasilan suatu kegiatan, guna memperoleh gambaran, dan juga untuk mengumpulkan informasi guna mengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan. Oleh sebab itu kesimpulan dari evaluasi program adalah proses mengumpulkan berbagai informasi tentang suatu program yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan guna menentukan alternatif kebijakan. Arikunto dan Jabar (2014:18) menyimpulkan hasil evaluasi menjadi empat yaitu 1) menghentikan program apabila program tersebut tidak memberikan manfaat, 2) merevisi program apabila masih ada bagian program yang kurang sesuai, 3) melanjutkan program apabila program

(53)

69

tersebut dapat menghasilkan manfaat, dan 4) menyebarluaskan program apabila program tersebut berhasil dengan baik.

Dalam hal ini peneliti berupaya untuk mengumpulkan data-data tentang kondisi nyata suatu hal, kemudian membandingkannya dengan kriteria-kriteria yang telah dibuat, untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa tinggi kesenjangan yang ada antara kondisi nyata dengan kriteria sebagai kondisi yang diharapkan.

2.4.2 Tujuan Evaluasi Program

Mulyatiningsih (2011:114-115) menyatakan tujuan dari evaluasi adalah 1) memaparkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil dari evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama tetapi di tempat lain yang berbeda, 2) pengambilan kebijakan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program itu perlu diberhentikan, diperbaiki, atau diteruskan.

(54)

70

Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa evaluasi program bertujuan untuk mencari informasi yang obyektif dan akurat tentang suatu program. Informasi yang akan diperoleh dapat berupa dampak atau hasil yang dicapai, proses pelaksanaan program, pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program tersebut, efisiensi, serta untuk memutuskan apakah program yang telah dievaluasi tersebut sebaiknya dilanjutkan, diperbaiki, ataukah dihentikan.

Evaluasi juga dapat digunakan untuk kepentingan program yang selanjutnya ataupun untuk menyusun kebijakan yang terkait dengan program.

Dengan melakukan evaluasi program maka peneliti dapat mengukur program kegiatan yang telah dilaksanakan, meningkatkan efektivitas suatu kegiatan, dan menentukan prioritas program yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang.

(55)

71 2.4.3 Model Evaluasi Program

Terdapat delapan model evaluasi menurut Kaufman dan Thomas seperti yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2009:40). Delapan model evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:

Yang pertama adalah model evaluasi yang dikembangkan Tyler yakni Goal Oriented Evaluation Model.

Model ini lebih fokus pada tujuan dan kesinambungan kegiatan serta lebih menekankan tinjauan pada tujuan yang telah ditetapkan. Yang ke dua adalah model evaluasi yang dikembangkan Scriven yakni Goal Free Evaluation Model.

Model ini lebih fokus untuk menilai dan mengukur suatu program tanpa mengetahui tujuan programnya terlebih dahulu. Yang ke tiga adalah model evaluasi yang dikembangkan Michael Scriven yakni Formatif Summatif Evaluation Model. Model ini dilakukan dalam dua tahap yakni saat proses kegiatan berlangsung dan saat akhir kegiatan.

(56)

72

Yang ke empat adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Stake yakni Countenance Evaluation Model. Model ini dikembangkan karena yakin bahwa deskripsi dan pertimbangan sangat diperlukan oleh evaluan.

Yang ke lima adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Stake yakni Responsive Evaluation Model. Model ini lebih fokus pada keunikan, aktifitas, dan keragaman sosial suatu program. Yang ke enam adalah model evaluasi CSE-UCLA Evaluation Model yang memusatkan perhatian dalam pengumpulan, pemilihan, dan analisis informasi yang akurat demi mengambil keputusan dan untuk pelaporan ringkasan data bagi pengambil keputusan.

Yang ke tujuh adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Stufflebeam yakni CIPP Evaluation Model. Dalam model ini terdapat empat dimensi yang mendasarinya, keempat dimensi tersebut adalah konteks, input, proses, dan produk. Model evaluasi ini bertujuan untuk mendiskripsikan kelemahan dan kekuatan program yang

(57)

73

dievaluasi dengan cara membandingkan empat dimensi dengan kinerja sesuai dengan kriteria tertentu. Yang ke delapan adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Provus yakni Discrepancy Model. Evaluasi ini mengedepankan prosedur problem-solving untuk memilih standar atau mengidentifikasi kelemahan suatu program sehingga dapat menentukan tindakan korektif.

2.4.4 Model Evaluai Goal Free

Model evaluasi program bebas tujuan (goal free evaluation model) merupakan model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Michael Screiven pada tahun 1973. Screiven seperti yang dikutip oleh Wirawan (2011:84) menyatakan bahwa model evaluasi goal free adalah evaluasi tentang pengaruh yang sebenarnya, sehingga dapat mencapai program secara obyektif. Selain itu Screiven juga menyatakan bahwa tujuan

(58)

74

program seharusnya tidak diketahui evaluator sebelum ia melakukan evaluasi.

Tugas evaluator dalam model evaluasi ini adalah melakukan evaluasi untuk mengetahui pengaruh yang sesungguhnya dari operasi program. Pengaruh tersebut mungkin berbeda atau bahkan lebih banyak atau lebih luas dari tujuan yang telah dinyatakan dalam program.

Peneliti menggunakan model evaluasi ini untuk mengukur apakah tujuan yang telah ditetapkan dalam program ekstrakurikuler pramuka di SDN Tlompakan 03 tercapai atau tidak, sehingga fokus penelitiannya adalah untuk mengumpulkan informasi yang bertujuan untuk mengukur pencapaian tujuan program dalam rangka menentukan keputusan.

Karena peneliti akan menggunakan evaluasi model goal free maka peneliti perlu mendefinisikan tiga jenis pengaruh agar evaluasi dapat dilakukan dengan tujuan yang definitif tidak terbuka atau open ended sehingga melebar dan tidak

(59)

75

terkontrol. Pengaruh suatu program tersebut dapat digambarkan dengan bagan seperti berikut:

Bagan 2.1 Pengaruh Program Model Evaluasi Goal Free

Sumber: Wirawan (2011:86)

Ada tujuh langkah dalam yang harus dilakukan dalam goal free evaluation model menurut Wirawan (2011:86), langkah-langkah tersebut digambarkan dengan bagan berikut:

Pengaruh Program

Pengaruh sampingan yang negatif yg tidak diharapkan

Pengaruh positif sesuai dengan tujuan yg ditetapkan

Pengaruh sampingan yang positif di luar tujuan program yang ditetapkan

(60)

76

Bagan 2.2 Langkah-langkah Model Evaluasi Goal Free

Sumber: Wirawan (2011:86)

2.5 Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian tentang ekstrakurikuler pramuka yang telah dikaji sebagai penelitian terdahulu dan dapat

1. Evaluator mempelajari cetak biru program

2. mengidentifikasi tujuan evaluasi

3. Mengembangkan desain dan instrumen evaluasi

Pengaruh sampingan program yang negatif

Pengaruh sampingan positif di luar tujuan program

Pengaruh positif program yang diharapkan oleh tujuan program

4. Memastikan pelaksanaan program telah mencapai tujuannya

5. Menjaring dan menganalisis data

6. Menyususn laporan evaluasi hasil evaluasi

7. Pemanfaatan hasil evaluasi

(61)

77

dijadikan perbandingan atau dapat memberikan dukungan terhadap penelitian ini jarang ditemukan. Penelitian yang telah dikaji sebelumnya, sebagian besar berupa penelitian deskripsi implementasi tentang kegiatan ekstrakurikuler pramuka di sekolah. Namun hasil penelitian-penelitian tersebut tetap dapat digunakan untuk memberikan gambaran hampir senada dengan penelitian yang dilakukan yaitu tentang evaluasi program ekstrakurikuler pramuka untuk meningkatkan karakter siswa di SDN Tlompakan 03.

Evaluasi program ekstrakurikuler pramuka perlu dilaksanakan di SDN Tlompakan 03 karena dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pendidikan karakter siswa, hal ini sejalan dengan penelitian Muctharjo (2013:4) dalam jurnalnya yang berjudul Pembentukan Karakter Disiplin dan Tanggung Jawab melalui Pemahaman Dasadarma dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka pada Siswa SMA Negeri 3 Wonogiri Tahun 2013. Dalam penelitian yang disajikan secara deskriptif kualitatifnya, beliau menyebutkan bahwa

(62)

78

pendidikan kepramukaan dapat digunakan untuk menilai karakter siswa terutama karakter kedisiplinan, dan karakter tanggung jawab siswa.

Penelitian dengan judul Implementasi Kegiatan Pramuka Sebagai Ekstrakurikuler Wajib Berdasarkan Kurikulum 2013 dalam Upaya Pembinaan Karakter di SMPN 2 Rembang yang dilakukan oleh Lisayanti pada tahun 2014, dihasilkan kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pramuka di SMPN 2 Rembang belum terlaksanan dengan baik karena beberapa faktor antara lain:

(1) Pembina pramuka belum memiliki sertifikat Kursrs Mahir Dasar, (2) program kerja belum disusun dengan baik, (3) belum adanya transparansi dana, (4) ADART gerakan pramuka belum tersusun baik, (5) fasilitas pendukung masih kurang, (6) masih ada personal yang bertugas merangkap, (7) perijinan dalam mengikuti kegiatan di jam efektif belum jelas aturan petunjukknya, (8) pelaksanaan kegiatan masih belum bervariatif, (9) administrasi tidak terdokumentasi dengan baik

(63)

79

dan belum sesuai standar seperti Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK), Promes, Prota, Silabus, dan materi kegiatan, (10) unsur penilaian belum ada reward khususnya bagi siswa yang berprestasi di bidang kepramukaan, (11) belum ada evaluasi dalam kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Penelitian ini termasuk penelitian studi kasus yang menerapkan triangulasi teknik, dan triangulasi sumber yang hasilnya disajikan secara deskriptif kualitatif.

Penny dkk (2013) meneliti tentang Penanaman Nilai Tanggung Jawab Melalui Ekstrakurikuler Kepramukaan di SMPN 13 Semarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti program ekstrakurikuler sebagai wadah untuk penanaman nilai-nilai karakter bangsa. Dalam penelitian ini Penny menyatakan bahwa kepramukaan dapat dijadikan wadah penanaman nilai-nilai karakter bangsa seperti nilai tanggung jawab terhadap Tuhan, alam, diri sendiri, dan juga orang lain. Dengan menggunakan metode penjernihan nilai, keteladanan, dan siswa aktif. Faktor pendukung dalam

(64)

80

penelitian ini antara lain pengetahuan dan pengalaman pembina, sikap, motivasi dan kesadaran peserta untuk berpartisipasi dalam ekstrakurikuler pramuka, penunjang kegiatan yang berupa sarana dan prasarana, serta dukungan orang tua dan masyarakat sekitarnya. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu kurangnya minat siswa untuk mengikuti ekstrakurikuler pramuka, pengaruh membolos karena ajakan teman, dan juga faktor cuaca yang tidak dapat diprediksi.

Studi kasus dengan menerapkan teknik triangulasi sumber serta triangulasi teknik pengumpulan data yang kemudian hasilnya disajikan secara deskriptif kualitatif jenis penelitiannya.

Rahman (2015) dalam penelitiannya terhadap siswa SMA di Bandung dengan judul Ekstracurricular Activities as a Contribution to the Development of Civic Disposition, menyatakan bahwa siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka memiliki kesempatan lebih besar dalam mengembangkan kepribadian seperti tanggung jawab

(65)

81

dalam melaksanakan tugas, bersikap sportif dalam mengakui kesalahan, serta memiliki rasa cinta tanah air. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif, yang pengumpulan datanya dilakukan dengan kuesioner dan dipadukan dengan teknik wawancara serta studi dokumentasi.

Hasil penelitian tersebut disajikan secara deskriptif kualitatif.

Penelitian kuantitatif korelasional Annu dan Sunita (2014) yang dilaksanakan di Uttar Pradesh (India) dalam jurnalnya yang berjudul Ekstraccurricular Activities and Student’s Performance in Secondary School, menggunakan teknik kuesioner yang dipadukan dengan hasil wawancara dan juga studi dokumen, menyimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler berpengaruh terhadap kinerja dan juga perkembangan akademik, keterampilan sosial, serta kesempatan melanjutkan Pendidikan ke jenjang selanjutnya bagi siswa kelas VIII-IX. Selain itu, siswa yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler umumnya secara tidak langsung banyak mendapat keuntungan. Keuntungan tersebut

(66)

82

antara lain memperoleh nilai lebih baik, memiliki nilai tes standar dan tingkat pendidikan yang lebih baik, lebih teratur sekolah, dan juga mempunyai konsep diri yang lebih tinggi pula. Peserta didik yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler pun sering memiliki indeks prestasi yang rata- rata lebih tinggi, penurunan absensi, dan kehadirannya di sekolah menjadi lebih baik dari pada siswa yang kurang aktif.

Penelitian kuantitatif yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran di beberapa universitas di Inggris oleh Lumley (2015) dalam jurnal yang berjudul Self-reported extraccuriculer activity, academic success, and quality of life in UK medicalstudents, menyimpulkan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat meningkatkan prestasi akademiknya dibandingkan dengan mahasiswa yang yang tidak mengikuti kegiatan ektrakurikuler. Hal ini karena ektrakurikuler ternyata dapat membantu mahasiswa dalam belajar, sehingga mereka dapat meningkatkan prestasinya.

(67)

83

Terdapat dua jenis penelitian yang teridentifikasi dari enam penelitian tersebut yakni penelitian kualitatif oleh Muchtarjo (2013), Lisayanti (2014), dan Penny (2013), serta penelitian kuantitatif oleh Rahman (2015), Annu & Sunnita (2014), Lumley (2015). Berikut adalah uraiannya:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Muchtarjo, Lisayanti dan Penny termasuk dalam penelitian studi kasus dengan teknik pengumpulan datanya menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumen. Triangulasi teknik dan triangulasi sumber digunakan dalam penelitian ini sebagai teknik validasi datanya. Sedangkan penyajian hasil penelitiannya secara deskriptif kualitatif. Tema dalam ketiga penelitian tersebut juga serupa yakni tentang manfaat ekstrakurikuler pramuka untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang baik. Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian tersebut adalah pada jenis penelitiannya. Jenis penelitian ini adalah evaluasi program dengan model goal free, sedangkan

(68)

84

persamaannya terletak pada teknik pengumpulan data, teknik validasi, serta teknik analisis datanya.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Rahman, Annu & Sunnita, serta Lumley termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif dengan teknik korelasi. Kuesioner yang dilakukan secara random sampling dan dipadukan dengan hasil wawancara serta studi dokumen adalah teknik yang digunakan dalam pengumpulan datanya. Penyajian hasil penelitiannya secara deskriptif kuantitatif. Perbedaan ketiga penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada jenis penelitiannya. Penelitian ini termasuk penelitian evaluatif, penyajian hasil penelitian ini juga berbeda dengan ketiga penelitian tersebut karena penelitian ini disajikan secara deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan datanya pun juga berbeda, penelitian ini menggunakan wawancara yang didukung dengan observasi. Meski demikian ada persamaan antara ketiga penelitian tersebut dengan penelitian ini yakni

(69)

85

penggunaan studi dokumen sebagai teknik pengumpulan data penunjuangnya.

Penggunaan model evaluasi goal free merupakan ciri khas yang menjadi keunggulan penelitian ini dibandingkan dengan enam penelitian lainnya. Penelitian bebas tujuan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dalam pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler pramuka yang selama ini dianggap sebagai kegiatan kurang bermanfaat karena hanya identik dengan kegiatan bernyanyi, mencari jejak, dan berkemah saja. Keistimewaan ekstrakurikuler pramuka dibanding dengan ekstrakurikuler lainnya dapat digambarkan melalui evaluasi bebas tujuan ini yakni adanya pengembangan potensi peserta yang meliputi aspek pengembangan spiritual, emosional, sosial, intelektual dan fisik. Selain itu juga dapat diketahui faktor pendorong dan penghambat kegiatannya yang belum ditemukan oleh hasil penelitian lainnya.

Uraian kajian teori di atas serta hasil penelitian dalam jurnal nasional maupun internasional tersebut akan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan karakteristik sebaran temperatur udara di daerah pesisir pantai Kota Bengkulu bagian Utara, 2) mendeskripsikan

Untuk memprediksi permintaan di masa yang akan datang Perusahaan menggunakan metode peramalan yaitu: Tropical Botol 1 Liter dengan menggunakan Moving Average

Masa kampenye resmi pasangan megawati dan prabowo hari ini di yogyakarta / digunakan oleh tim pemenangan capres ini untuk melakukan kegiatan turba atau turun kebawah //

Hal lain yang menjadi penyebab kemunduran wanita adalah masalah kebodohan; dan yang terakhir diakibatkan oleh penetrasi asing (Barat), terutama dalam bidang budaya

Pada penelitian ini dapat dilihat sikap memiliki tingkat efek mediasi pada hubungan antara kepedulian lingkungan terhadap niat beli produk hijau di kota Bandung,

Jika suatu plot tidak dapat diukur karena alasan keselamatan seperti misalnya plot memiliki kemiringan ekstrim, terdapat cabang pohon yang menggantung, atau plot berada di daerah

Tercatat bahwa pada tahun 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian dengan luas lahan kurang dari 1.000 m 2 adalah sebesar 7.898 rumah tangga, mengalami penurunan sebesar